• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KEGIATAN SEBAGAI NARASUMBER SEMINAR NASIONAL STT IKAT 3 JUNI 2021

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LAPORAN KEGIATAN SEBAGAI NARASUMBER SEMINAR NASIONAL STT IKAT 3 JUNI 2021"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

LAPORAN KEGIATAN SEBAGAI NARASUMBER SEMINAR NASIONAL STT IKAT 3JUNI 2021

1. Saya selaku dosen STFT Jakarta bidang Studi Pendidikan Kristiani diundang untuk memberi pemaparan dalam acara Seminar Nasional STT IKAT dalam rangka wisuda STT IKAT Tahun 2021. Seminar ini diselenggarakan oleh Panitia Wisuda Tahun 2021 STT IKAT, Jakarta. Seminar nasional ini diperuntukkan untuk mahasiswa/i dan alumni/ae STT IKAT serta untuk kalangan umum.

2. Tema pemaparan pada seminar nasional ini adalah webinar ini adalah “Inovasi Pelayanan Bimbingan Pendidikan Kristiani di Era Kebiasaan Baru.” Pemaparan materi saya ini berfokus pada karakteristik yang menjadi prinsip pedagogis dan saran praktis pengembangan inovasi PK di era kebiasaan baru: (1) pergeseran dari tatap muka ke tatap maya; (2) dari yang bersifat kaku ke fleksibel; (3) dari sumber belajar tunggal ke sumber belajar yang beragam; (4) mindful teacher, mindful learner; dan (5) beriman sebagai proses menciptakan arti(meaning-making processi).

3. Pada saat kegiatan ini berlangsung ada sekitar 288 orang yang hadir dan mengikuti via zoom dan kurang lebih 75 orang mahasiswa yang tinggal di asrama yang mengikuti dari aula STT IKAT. Pemaparan dan diskusi berlangsung sekitar 2,5 jam (18.00-20.30 WIB) yang difasilitasi oleh moderator dan berlangsung dengan baik. Ada cukup banyak respons dan sharing pengalaman yang sangat baik disampaikan oleh peserta sebagai respons terhadap materi yang saya sampaikan.

4. Terlampir undangan, poster dan materi tertulis yang saya paparkan.

Jakarta, 30 Juni 2021

Justitia Vox Dei Hattu, Th.D.

(4)

Nomor : 285/B/STTIKAT/V/2021 Lamp : Kerangka Acuan Kegiatan

Perihal : PERMOHONAN PEMBICARA SEMINAR

Kepada Yth,

Dr. Justitia Vox Dei Hattu, Th.D Di Tempat

Salam dalam kasih Tuhan,

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas perkenananNya, Sekolah Tinggi Theologi IKAT sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi Terakreditasi yang mempersiapkan Sarjana-Magister dan Doktor Pendidikan Agama Kristen (PAK) dan Theologi dapat memasuki usia ke 35 tahun (12 Februari 1986 – 12 Februari 2021).

Dalam rangka kegiatan Akademik diakhir Tahun Ajaran 2020 – 2021, Panitia Wisuda STT IKAT hendak melaksanakan Seminar Nasional secara daring yang akan dilaksanakan dalam enam sesi.

Sehubungan dengan hal tersebut, kami memohon kepada Dr. Justitia Vox Dei Hattu, Th.D untuk menjadi Narasumber pada sesi Seminar prodi Sarjana Pendidikan Agama Kristen yang akan dilaksanakan pada :

Hari/tgl : Kamis, 03 Juni 2021 Jam : 18.00 – 20.20

Bentuk Pelaksanaan : Online menggunakan Aplikasi Zoom (Link Menyusul) Tema : “Inovasi Pelayanan Bimbingan Pendidikan Kristiani di Era

Kebiasaan Baru”

Kami memohon kepada Narasumber untuk mengirimkan Materi Presentasi (Makalah) paling lambat tanggal 30 Mei 2021 untuk dimuat dalam prosiding cetak dan online.

Demikian surat permohonan kami, atas perhatian dan kesempatannya disampaikan terima kasih.

Tuhan Memberkati.

Jakarta, 05 Mei 2021 Ketua Panitia Wisuda

Dr. Marcellius M. Lumintang, SE.,M.Th

(5)

Nomor : 285/B/STTIKAT/V/2021 Lamp : Kerangka Acuan Kegiatan

Perihal : PERMOHONAN PEMBICARA SEMINAR

Kepada Yth,

Dr. Justitia Vox Dei Hattu, Th.D Di Tempat

Salam dalam kasih Tuhan,

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas perkenananNya, Sekolah Tinggi Theologi IKAT sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi Terakreditasi yang mempersiapkan Sarjana-Magister dan Doktor Pendidikan Agama Kristen (PAK) dan Theologi dapat memasuki usia ke 35 tahun (12 Februari 1986 – 12 Februari 2021).

Dalam rangka kegiatan Akademik diakhir Tahun Ajaran 2020 – 2021, Panitia Wisuda STT IKAT hendak melaksanakan Seminar Nasional secara daring yang akan dilaksanakan dalam enam sesi.

Sehubungan dengan hal tersebut, kami memohon kepada Dr. Justitia Vox Dei Hattu, Th.D untuk menjadi Narasumber pada sesi Seminar prodi Sarjana Pendidikan Agama Kristen yang akan dilaksanakan pada :

Hari/tgl : Kamis, 03 Juni 2021 Jam : 18.00 – 20.20

Bentuk Pelaksanaan : Online menggunakan Aplikasi Zoom (Link Menyusul) Tema : “Inovasi Pelayanan Bimbingan Pendidikan Kristiani di Era

Kebiasaan Baru”

Kami memohon kepada Narasumber untuk mengirimkan Materi Presentasi (Makalah) paling lambat tanggal 30 Mei 2021 untuk dimuat dalam prosiding cetak dan online.

Demikian surat permohonan kami, atas perhatian dan kesempatannya disampaikan terima kasih.

Tuhan Memberkati.

Jakarta, 05 Mei 2021 Ketua Panitia Wisuda

Dr. Marcellius M. Lumintang, SE.,M.Th

(6)

Seminar Nasional Sekolah Tinggi Teologi IKAT Kamis, 3 Juni 2021

Inovasi Pelayanan Bimbingan Pendidikan Kristiani di Era Kebiasaan Baru (Oleh: Justitia Vox Dei Hattu)

Saya ingin memulai tulisan ini dengan sebuah disklaimer bahwa penulisan makalah ini lebih bersifat sebuah refleksi tentang apa yang bisa dipelajari (learning lessons) atas pelaksanaan Pendidikan Kristiani selama masa pandemi COVID-19 dan era kebiasaan baru (yang akan atau sudah kita masuki bersama-sama). Oleh karena sifatnya reflektif, maka uraian dalam makalah ini akan berfokus pada dua hal utama: persoalan yang muncul dalam ranah Pendidikan Kristiani selama masa pandemi COVID-19 (dan era kebiasaan baru) dan bagaimana respons pedagogis atas persoalan-persoalan tersebut dengan menggunakan lensa Pendidikan Kristiani. Respons-respons pedagogis ini saya pahami sebagai basis bagi pengembangan inovasi pelayanan bimbingan Pendidikan Kristiani di era kebiasaan baru (yang sudah/segera kita masuki). Saya memetakannya dalam lima poin sebagai berikut.

1. Dari Tatap Muka ke Tatap Maya

Berkumpul dan bertatap muka langsung adalah sebuahplatformyang sudah kita hidupi dalam dunia pendidikan formal maupun gereja sejak lama. Bahkan berkumpul menjadi salah satu praktik utama, bahkan definitif, dari hampir semua kelompok agama di Indonesia dan menjadi fitur utama model pembelajaran yang dianggap paling mapan (lih.

juga Mercer 2021, 1). Oleh karena “kemapanan” ini, maka tidaklah mengherankan ketika pandemi COVID-19 melanda negeri ini dan diikuti dengan pemberlakukan stay at home/work from home/worship from home, semua orang secara cepat dipaksa untuk berpindah segera dari ruang-ruang tatap muka langsung ke ruang-ruang tatap maya.

Perasaan canggung, gagap dan ketakutan menghinggapi kita semua, mulai dari anak-anak sampai usia lanjut. Tidak ada satu orangpun yang bebas dari perasaan ini. Namun, pada saat itu, kita tidak memiliki pilihan lain, selain menggunakan: Grup WhatApps (WA), Google Form, Google Classroom, Youtube, dan Zoom Meeting sebagai platforms baru untuk bisa tetap terkoneksi dengan yang lain (Herliandry, dkk. 2020, 66; Anugrahana 2020, 285).

(7)

Refleksi: Pandemi ini, setidaknya membuka sebuah cakrawala berpikir yang baru bahwa ruang-ruang virtualpun bisa menjadisacred spacebagi siapapun, tanpa terkecuali.

Dalam situasi seperti ini tentu kita menggumuli bersama bagaimana kualitas relasi antara kita (entah dalam kapasitas sebagai pengajar maupun pembelajar) bisa terjaga baik dengan orang-orang yang hadir di ruang virtual bersama dengan kita. Meskipun perjumpaan terjadi di ruang virtual (virtual space), namun kualitas relasi perjumpaan harus diperhatikan dengan saksama. Menurut Karen B. Tye dalam bukunya Basics of Christian Education, “...there are at least three key qualities of such a space. These are hospitality, openess, and a sense of safety” (Tye 2000, 39). Hospitalitas (hospitality) merujuk pada tindakan menerima orang lain dengan hangat dan penuh perhatian;

keterbukaan (openness) ditandai oleh sikap terbuka dan merasa bebas untuk membagikan apa yang dipikirkan dan dirasakan; dan rasa aman (safe) merujuk pada kemampuan untuk menciptakan ruang belajar yang aman serta bebas dari berbagai tindakan kekerasan, verbal maupun nonverbal (Tye 2000, 39-40).

Tiga kualitas yang dikemukakan oleh Tye ini menjadi sebuah penanda penting bagi kita karena dengan beralihnya semua proses pembelajaran dari tatap muka ke tatap maya, membuat cukup banyak ruang private di kalangan para siswa/mahasiswa/umat yang tidak bisa dengan mudah tersentuh oleh para pengajar. Atau sebaliknya, para siswa/mahasiswa/umat tidak lagi memiliki ruang private karena dengan mudah dipantau oleh anggota keluarga yang lain. Pada titik ini kualitas keterbukaan dan rasa aman (dan nyaman) tidaklah menjadi milik siswa/mahasiswa/umat sepenuhnya karena ada pihak (yang lebih memiliki otoritas) yang yang mengawasi dan mengontrol. Saat membaca ini, kita tentu mengingat kembali sebuah video singkat yang sempat viral di beberapa media sosial tentang orang tua yang mendampingi anaknya belajar online sambil memegang rotan di tangannya. Realitas ini juga berjalan beriringan dengan terus meningginya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KdRT) selama masa pandemi ini, yang memperlihatkan bahwa ruang maya tidak selamanya menjadi ruang yang terbuka sepenuhnya karena mereka yang terlibat di dalamnya, pada ruang maya mereka masing- masing dikungkung oleh dominasi pihak otoriter. Anak, sebagai korban terbesar mengalami apa yang disebut sebagai pandemi di dalam pandemi. Oleh karenanya, tantangan paling besar bagi kita saat ini adalah bagaimana membuat ruang maya dan segala percakapan yang terjadi didalamnya sebagai ruang yang bisa menolong dan memulihkan mereka yang berproses bersama dengan kita.

(8)

2. Dari yang Bersifat Baku ke yang Fleksibel

Dengan beralihnya tatap muka ke tatap maya dan dengan memanfaatkan sejumlah platforms yang ada, kita menyaksikan tetapi juga mengalami bagaimana berbagai penyesuaian harus kita lakukan. Beberapa penyesuaian terjadi pada konten pengajaran, pemanfaatan ragam teknologi sebagai media pembelajaran, penyesuaian metode belajar, dll. Penyesuaian-penyesuaian ini harus terjadi karena ragam pertimbangan: kemampuan dan daya tahan siswa/mahasiswa/umat untuk belajar tatap maya tidaklah sekuat tatap muka; variasi-variasi penggunaan metode di ruang virtual dianggap lebih terbatas dibandingkan bertemu langsung; kekuatan jaringan internet setiap siswa/mahasiwa/umat berbeda-beda, sehingga “masuk-keluar” ruang kelas virtual adalah hal yang lumrah, sesuatu yang mustahil (bahkan mungkin tidak sopan) jika terjadi dalam pembelajaran tatap muka.

Refleksi: Joyce Mercer, dalam catatan editorialnya bertajukReports from Religious Educators at Work amid the COVID-19 Global Pandemic di Jurnal Religious Education menyatakan bahwa, “Oleh karena fleksibilitas adalah sebuah persyaratan utama yang tidak tertulis dalam deskripsi tugas masing-masing pengajar, maka dalam konteks pandemi ini, para pendidik dapat memenuhi panggilan implisit ini untuk tetap luwes di bawah tekanan (Mercer 2021, 1). Pernyataan Mercer ini mengingatkan kita bahwa setiap desain pendidikan pada konteksnya, ia harus fleksibel dan adaptabletanpa melupakan tujuan yang mau dicapai dari desain itu sendiri.

Dalam pendidikan (secara khusus pada desain kurikulum dan implementasinya), fleksibilitas didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa setiap orang memiliki kapasitas yang berbeda untuk belajar dan memahami sesuatu dalam konteks dimana dia berada/berasal. Fleksibilitas kurikulum (dan pembelajaran) selama masa pandemi dalam konteks kita di Indonesia ini setidaknya harus didasarkan pada sejumlah alasan berikut: kategori usia, wilayah domisili (yang tentu berpengaruh pada akses internet dan sumber-sumber belajar), motivasi, gaya belajar, dukungan keluarga dan lingkungan sekitar, dan literasi digital yang dimiliki (lih. juga Jonker, März, dan Voogt 2020, 69).

Fleksibilitas dalam pembelajaran juga dimungkinkan ketika situasi dan kondisi sekeliling tidak seperti yang kita harapkan. Dalam situasi ini, saya kira perspektif pedagogis seorang pengajar harus kuat dalam membaca situasi, tetapi juga memikirkan modifikasi dan penyesuaian sehingga proses pembelajaran tetap terjadi dan orang-orang

(9)

yang terlibat di dalamnya tetap “menikmatinya.” Courtney T. Goto sebagaimana dikutip oleh Rachelle R. Green dalam artikelnya berjudulPlaying in the Face of Deathmenyatakan bahwa “the primary task of religious education is to help form and transform people to create a more just and peaceful world” (Green 2021, 17). Dalam proses belajar mengajar, pernyataan ini mengingatkan kita bahwa ada tanggung jawab besar yang diemban untuk menciptakan sebuah ruang pembelajaran yang damai. Ruang ini bisa tercipta jika kita mampu untuk membaca tanda-tanda, melakukan modifikasi-modifikasi yang sesuai dengan situasi mereka yang belajar bersama kita sehingga kita menjadi kawan seperjalanan yang peka dengan kebutuhan yang lain. Bagi Green, “dalam masa krisis pengajaran dan lingkungan pembelajaran dapat menjadi tanda-tanda pengharapan, signal-signal yang mengarah pada masa depan yang lebih berpengharapan” (Green 2021, 17). Green, berdasarkan pengalamannya bersama dengan para mahasiswa di Fordham University, New York, mengembangkan beberapa modifikasi dalam desain pembelajaran mereka ketika COVID-19 mulai mewabah di wilayah mereka. Bermain adalah cara yang mereka pilih dan praktikkan secara bersama-sama di ruang belajar virtual. Cara ini menolong mereka untuk menghadapi berbagai tekanan yang dibawa oleh pandemi dan berita kematian yang terus berdatangan menghantui mereka. Green dalam kesimpulan bersama-sama dengan semua peserta kelas menyatakan, “dengan bermain bersama sebagai pembelajar-pembelajar dewasa, kami mengeksplorasi fungsi terapis dari bermain untuk kehidupan kami di masa yang tidak mudah ini” (Green 2021, 20). Bagi Green, pengalaman bermain di ruang belajar virtual selama pandemi, mengilustrasikan pentingnya menubuhkan pengharapan-pengharapan kita dalam masa krisis dan mengingatkan kita karunia-karunia yang dimiliki dalam komunitas belajar yang darinya kita ditolong dan diarahkan untuk melihat pada kehidupan di hadapan kematian (Green 2021, 20).

3. Dari Sumber Belajar Tunggal ke Sumber Belajar yang Beragam

Terlepas dari kompleksitas persoalan yang dibawa oleh pandemi COVID-19, kita menyaksikan dan juga mengalami bagaimana terjadi pergeseran yang sangat signifikan dalam hal pengajar dan sumber-sumber belajar lainnya di luar pengajar. Dalam konteks bergereja, sebelum pandemi terjadi, mereka yang dikategorikan sebagai pengajar hanyalah segelintir orang: pendeta dan orang-orang yang berlatar-belakang pendidikan teologi. Namun, saat ini dengan terbukanya akses informasi, kita menemukan sejumlah

(10)

“pengajar” dan “sumber belajar” baru. Dalam konteks bergereja online, dengan hadirnya ibadah-ibadah online, warga jemaat bisa dengan mudah berpindah dari satu channelke channellainnya demi “memuaskan” kebutuhannya, jika rumah virtual dimana dia berada kurang memuaskan.

Refleksi: Figur-figur tunggal di dalam gereja, kini harus “berdampingan” di ruang- ruang virtual warga jemaat dengan figur-figur atau sumber-sumber lain, termasuk sejumlah media sosial, seperti Facebook, Youtube, Instagram, dan Twitter yang penggunanya meningkat pesat di era pandemi ini. Dalam situasi ini, para pendeta (pengajar) ditantang untuk bisa menyajikan “makanan yang bernilai gizi tinggi” agar umatnya tidak berpindah ke ruang-ruang virtual yang lain. Dengan hadirnya beragam sumber belajar ini, akses seseorang untuk belajar dan menyampaikan pendapatnya juga meningkat pesat. Klaus Schwab dalam bukunya berjudul The Fourth Industrial Revolutionmengemukakan bahwa beberapa media sosial, seperti Facebook, Instagram dan Twitter menciptakan “ruang yang memadai” untuk orang-orang (dari kalangan kalangan dan latar belakang manapun untuk untuk bersuara dan berpartisipasi di ruang publik (Schwab 2017, 95). Apa yang dikatakan oleh Schwab jauh sebelum pandemi ini, terbukti kebenarannya dalam masa pandemi ini.

4. Mindful Teacher, Mindful Learner

Dalam rentang waktu satu tahun lebih, sejak tahun lalu kita berupaya semaksimal mungkin untuk menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan untuk menjadi mahir di ruang-ruang virtual. Berbagai fitur menarik kita uji-cobakan supaya proses pembelajaran (pada level pendidikan formal maupun gereja) berjalan dengan baik. Masastay at home memungkinkan kita untuk memiliki lebih banyak waktu berselancar secara virtual dari ruang seminar/pelatihan yang satu ke ruang seminar/pelatihan yang lain. Pertemuan- pertemuan virtual (yang bersifat formal maupun informal) terjadi sampai tengah malam.

Beberapa dari antara kita bahkan bisa mengikuti dua pertemuan dalam waktu bersamaan. Kapasitasmulitaskingkita meningkat.

Lalu dengan berlalunya waktu, kita mulai menyadari, ternyata tugas-tugas sekolah anak bukannya bertambah sedikit, malah lebih banyak dari biasanya. Anak mulai mengeluh banyak sekali pekerjaan rumah; orang tua mulai mengeluh kewalahan berbagi diri dengan tugas-tugas harian yang harus dilakukan dan memberi perhatian pada kegiatan belajar anak; para siswa dan guru, para mahasiswa dan dosen mulai kelelahan

(11)

karena setiap hari yang ditatap adalah layarhandphonedanlaptop.Segala sesuatu yang dulunya baru dan harus dipelajari di tahun yang lalu, kini berganti menjadi sebuah rutinitas yang melelahkan dan mungkin tidak lagi menggairahkan. Banyak yang akhirnya mulai rentan dengan pelbagai tekanan dan berujung pada stres dan burnout. Rupa- rupanya, kita harus mengakui bahwa kesibukan (di ruang virtual) tanpa kita sadari menuntun kita kepada sebuah rutinitas yang berulang terus menerus. Kita lalu berubah menjadi seperti robot. Belum lagi target-target yang harus dicapai yang akhirnya membuat kita semakin stres. Dalam banyak hal, kita melakukan segala sesuatu (dengan kapasitasmultitaskingyang meningkat selama masa pandemi ini) tetapi kita tidak benar- benar hadir di sana dan melakukan apa yang semestinya kita lakukan. Jon Kabat-Zinn, sebagaimana dikutip oleh Robert Burnett membahasakannya begini: “We may eat without really tasting, see without really seeing, hear without really hearing, touch without really feeling, and talk without really knowing what we are saying” (Burnett 2011, 83).

Refleksi: Kondisi ini memanggil kita untuk kembali fokus pada apa yang kita kerjakan, menjadi seorang yangmindful(berkesadaran penuh). Richard Burnett secara sederhana mendefinisikan mindfulness sebagai “memberi perhatian pada waktu sekarang (bukan lampau atau akan datang) dengan bijaksana” (Burnett 2011, 84-85).

Mindfulnessmenjadi sebuah kebutuhan yang perlu dilatih di era pandemi ini karena kita terdistraksi oleh berbagai hal yang akhirnya membuat sebagian besar dari kita menjadi orang-orang yang tidak bisa lagi berfokus secara maksimal pada apa yang sedang kita kerjakan. Dalam proses pembelajaran di era pandemi ini, tuntutan untuk menjadi seorangmindful teacher,mindful student, danmindful partneradalah sebuah keharusan.

Seorang bijak pernah mengatakan: “When teachers are fully present, they teach better.

When students are fully present, the quality of their learning is better.”

Untuk menjadi seorang mindful teacher/student/partner, kita membutuhkan

“ruang” untuk melatih dan mengembangkan kapasitas yang ada di dalam diri kita di tengah-tengah berbagai distraksi yang kita alami selama pandemi COVID-19 ini.

Mindfulness terjadi melalui sebuah pembiasaan dan dilatih melalui beragam aktivitas, baik yang berbentuk sangat sederhana sampai kepada yang sangat kompleks, misalnya:

berjalan di sekeliling rumah dan fokus mengamati apa yang ada di sekitar, mengatakan satu-dua kalimat sederhana yang memotivasi (loving-kindness practice), mendengarkan dengan baik ketika orang sedang berbicara (hindarilahmultitasking), mengimajinasikan

(12)

sesuatu, merenung, menggerakkan tubuh mengikuti pola/ritme tertentu, menulis kreatif, membuat jurnal, mendengarkan musik, dan menciptakan karya seni tertentu (lih. Lau dan Hue 2011, 319). Semua contoh yang diusulkan ini bisa diintegrasikan dalam model- model pembelajaran yang kita desain, termasuk dalam rutinitas kita sehari-hari, supaya kita benar-benar berkesadaran penuh ketika melakukan suatu hal.

5. Beriman sebagai Proses Menciptakan Arti (Meaning-making Process)

Pandemi COVID-19 membuat kita mempertanyakan banyak hal dalam hidup beriman kita secara personal maupun komunal. Kita bertanya tentang Tuhan dan kemahakuasaan-Nya melampaui virus COVID-19; kita bertanya tentang kematian orang- orang terdekat, sahabat dan kerabat yang sangat kita kasihi; kita bertanya tentang arti kepedulian terhadap diri dan sesama di tengah-tengah pembatasan sosial yang masih terus berlangsung; kita bertanya tentang kemampuan bertahan dan berjuang di tengah- tengah peliknya kehidupan; kita bertanya tentang masih adakah harapan untuk hari depan ketika pemutusan hubungan kerja terjadi, usaha tidak memberikan hasil gemilang, anak tidak bisa bersekolah dengan baik, dan rasa sakit yang masih harus dibawa karena terinfeksi COVID-19. Semua pertanyaan ini muncul dalam benak setiap kita. Lalu, apakah dengan mempertanyakan semua ini kita sedang menunjukkan sikap tidak beriman kita kepada Tuhan? Saya kira tidak. Sebab semua pertanyaan ini mengingatkan kita kembali bahwa pandemi ini membuka ruang untuk mempercakapkan kembali hal-hal yang mendasar dari hidup beriman kita, yakni: Tuhan, sesama dan kasih kepada sesama di masa pembatasan sosial, kehidupan dan kematian, dukacita yang tertunda, trauma yang tertinggal, daya juang, daya lenting, kerapuhan, spiritualitas yang harus terus dihidupi di tengah krisis, dan sebagainya. Semua hal ini, pada masa sebelum pandemi kita hanyatake them for granted. Kita menerimanya sebagai sebuah doktrin, menyimpannya baik-baik tanpa melatih dan membiasakan diri kita untuk terus mempelajarinya. Akibatnya, ketika pandemi menghantam, kita seperti kelabakan karena semua yang kita terima di masa lampau itu hanya sebagai sebuah warisan, yang tidak kita gunakan, tapi kita simpan rapat-rapat di lemari kehidupan beriman kita. Salah satu krisis terbesar yang dialami seluruh penduduk dunia, termasuk orang Kristen di masa pandemi ini adalah krisis identitas. Menurut Hyun-Sook Kim, “krisis identitas ini menuntut dari kita jawaban langsung, yang mendorong kita untuk melihat dari dekat apa yang sudah kita lakukan,

(13)

siapa kita pada masa sekarang ini, dan masa depan seperti apa yang bisa diharapkan (Kim 2021, 46).

Refleksi: Proses mempertanyakan kembali berbagai hal ini, mengingatkan saya pada teori perkembangan iman James Fowler. Fowler memahami iman sebagai sesuatu yang dinamis, tidak statis. Itu sebabnya Fowler mendefinisikan iman sebagai sebuah kata kerja (verb), bukan kata benda (noun). Bahkan Fowler memahami iman itu sebagai sebuah proses menciptakan arti (meaning-making). Iman adalah cara seseorang melihat dirinya dalam relasi dengan sesama, Tuhan, dan dunia ini; iman adalah cara kita menemukan keterhubungan dengan yang lain dan berbagai pengalaman hidup yang kita alami yang darinya kita menciptakan arti (Fowler 2000, 4). Iman adalah sesuatu yang mendorong kita maju dan membuat kita terus memberi arti dan bentuk pada setiap pengalaman yang kita alami.

Dari pengertian Fowler ini, saya setidaknya mereflesikan dua hal penting, bahwa:

(1) pandemi COVID-19 ini membuat kita semakin sadar bahwa hidup beriman ini adalah sesuatu yang dinamis, tidak statis. Oleh karenanya, setiap pengalaman perjumpaan kita dengan Tuhan, sesama dan alam sekitar, entah itu dalam keadaan baik atau tidak baik, seharusnya menuntun kita untuk lebih memaknai keberimanan kita; (2) pandemi COVID- 19 ini membuat kita, Gereja (dan juga sekolah-sekolah) untuk segera berpindah dari model-model pengajaran yang sifatnya indoktrinatif, kepada model-model pengajaran yang dialogis, yang membuka “ruang” untuk orang bertanya, berefleksi, merasakan secara mendalam dan menciptakan pemahaman-pemahaman baru yang memperkaya hidup berimannya.

Pandemi COVID-19 mungkin akan segera berakhir dalam satu atau dua tahun lagi, namun dampaknya itu akan membekas di ingatan kita, di tubuh kita, karena ada duka yang tertunda selama pandemi ini yang butuh ruang untuk diekspresikan, ada trauma yang tertinggal karena berbagai peristiwa duka dan kekerasan yang menyakitkan dan melukakan hati, ada hati yang terluka karena berbagai tindakan kekerasan yang dialami dalam rumah tangga selama masa stay at home, dan berbagai persoalan lainnya. Oleh karenanya, desain-desain bahan ajar perlu untuk mempercakapkan hal ini, desain-desain pembinaan dan pelatihan perlu memperlengkapi orang dengan kapasitas untuk mengidentifikasi, berefleksi atas dan belajar sesuatu darinya. Konten-konten pengajaran dan pelayanan pastoral Gereja harus menjangkau dan mengakomodir berbagai isu ini

(14)

sehingga setiap orang mendapatkan ruang untuk menuturkan narasi kehidupannya, narasi keberimanannya selama dan pasca pandemi ini.

Akhir kata, semoga catatan-catatan refleksi ini sedikit menginspirasi kita

GambarZentangle: “Allah Sumber Pengharapan Kami”

Sumber: Koleksi Pribadi Justitia Vox Dei Hattu

(15)

Daftar Acuan

Anugrahana, Andri. 2020. “Hambatan, solusi dan harapan: Pembelajaran daring selama masa pandemi Covid-19 oleh guru sekolah dasar.”Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan10, no. 3 (September): 282-289.

Burnett, Richard. 2011. “Mindfulness in secondary schools: Learning lesson from the adults, secular and Buddhist.” Buddhist Studies Review28, no. 1: 79-121.

Fowler, James W. 1995.Stages of faith: The psychology of human development and the quest for meaning. New York: HarperCollins.

Green, Rachelle R. 2021. “Playing in the face of death: Pedagogical play as love and lament in a time of COVID.Religious Education116, no. 1 (Januari): 16-25.

Herliandry, Luh Devi, dkk. 2020. “Pembelajaran pada masa pandemi Covid-19.”

Jurnal Teknologi Pendidikan22, no. 1: 65-70.

Jonker, Herma, Virginie März, dan Joke Voogt. 2020. “Curriculum flexibility in a blended curriculum.Australasian Journal of Educational Technology36, no. 1: 64-84.

Kim, Hyun-Sook. 2021. “Beyond doubt and uncertainty: Religious education for a post-COVID-19 world.Religious Education116, no. 1 (Januari): 41-52.

Lau, Ngar-sze dan Ming-tak Hue. 2011. “Preliminary outcomes of a mindfulness-based programme for Hong Kong adolescents in schools: Well-being, stress and

depressive symptoms.”International Journal of Children’s Spirituality16, No. 4 (November): 315-330.

Mercer, Joyce. 2021. “Reports from religious educators at work amid the COVID-19 global pandemic.”Religious Education116, no. 1 (januari): 1-2.

Https://doi.org/10.1080/00344087.2021.1876607.

Schwab, Klaus. 2017.The fourth industrial revolution.New York: Curency.

Tye, Karen. B. 2000.Basics of Christian education.danvers, MA: Chalice Press.

(16)

STT IKAT – 3 Juni 2021

(17)

Karakteristik

Dari Tatap Muka ke Tatap Maya

Rumah menjadi sekolah, rumah menjadi gereja, rumah menjadi kantor.

1

(18)

Dari Gereja ke Rumah ...

(19)

Model A

Church Centered – Home Supported Model B

Home Centered – Church Supported

(20)

Mereka yang Terpinggirkan

(21)

Catatan Refleksi

✓ Ruang virtual menjadi “sacred space”

✓ Ruang virtual harus memiliki tiga

karakteristik: hospitalitas ( hospitality ),

keterbukaan ( openness ) dan keamanan

( safe )

(22)

Catatan Refleksi

✓ Apakah ruang virtual kita sudah menjadi ruang pemulihan selama masa pandemi ini?

✓ Pandemi di dalam pandemi

(23)

Karakteristik

Dari yang Bersifat Baku ke yang Fleksibel

Kebutuhan akan fleksibilitas, modifikasi, dan adaptasi

2

(24)
(25)

Catatan Refleksi

“Fleksibilitas adalah sebuah persyaratan utama yang tidak tertulis dalam deskripsi tugas pengajar,

maka dalam konteks pandemi ini, para pendidik dapat memenuhi panggilan implisit ini untuk

tetap luwes di bawah tekanan.”

(Mercer 2021, 1)

(26)

Catatan Refleksi

Alasan fleksibilitas: usia, wilayah domisili (berpengaruh pada akses internet dan sumber-sumber belajar), motivasi, gaya belajar, dukungan keluarga dan lingkungan

sekitar, dan literasi digital yang dimiliki.

(27)

Catatan Refleksi

“Dalam masa krisis pengajaran dan lingkungan pembelajaran dapat menjadi tanda-tanda

pengharapan, signal-signal yang mengarah pada masa depan yang lebih berpengharapan”

(Green 2021, 17)

(28)

Karakteristik

Dari Sumber Belajar Tunggal ke Sumber Belajar

yang Beragam

Tersedia banyak pengajar dan sumber belajar

3

(29)

Catatan Refleksi

Para pendeta/pengajar/sumber belajar

ditantang untuk bisa menyajikan

“makanan yang bernilai gizi tinggi”

agar umatnya tidak berpindah

ke ruang-ruang virtual yang lain.

(30)

Catatan Refleksi

Media sosial, seperti Facebook, Instagram dan

Twitter menciptakan “ruang yang memadai”

untuk orang-orang (dari kalangan kalangan dan

latar belakang manapun untuk untuk bersuara

dan berpartisipasi di ruang publik.

(31)

Karakteristik

Mindful Teacher, Mindful Learner

Berkesadaran penuh dalam segala hal yang kita lakukan

4

(32)
(33)

Catatan Refleksi

We may eat without really tasting,

see without really seeing, hear without really hearing,

touch without really feeling, and talk without really knowing what we are saying”

(Burnett 2011, 83

(34)

Catatan Refleksi

Mindfulness adalah

“memberi perhatian pada waktu sekarang (bukan lampau atau akan

datang) dengan bijaksana.”

(35)

Catatan Refleksi

Contoh: berjalan di sekeliling rumah dan fokus mengamati, mengatakan satu-dua kalimat memotivasi, mendengarkan

dengan baik, mengimajinasikan sesuatu, merenung,

menggerakkan tubuh mengikuti pola/ritme tertentu,

menulis kreatif, membuat jurnal, mendengarkan musik,

dan menciptakan karya seni tertentu.

(36)

Zentangle...

(37)

Zentangle sebagai Ekspresi Diri ...

Jika kata yang diucap bisa terlupakan, maka gambar

mengingatkan kita.

Gambar (baca: zentangle) adalah memori dari apa yang pernah kita

rasakan dan katakan.

(38)

Proses zentangle tidak

memulihkan sepenuhnya semua

rasa sakit, ketakutan, dll, tetapi ia mengurangi perasaan-

perasaan tersebut dan melahirkan

perasaan-perasaan baru yang

lebih menenangkan.

(39)

Karakteristik

Beriman sebagai Proses Menciptakan Arti

( Meaning-making Process )

Menciptakan arti melalui berbagai interaksi dan pengalaman hidup

5

(40)

Catatan Refleksi

James Fowler mendefinisikan iman sebagai sebuah kata kerja ( verb ), bukan kata

benda ( noun ), sesuatu yang dinamis bukan statis. Iman itu sebagai sebuah proses

menciptakan arti ( meaning-making ).

(41)

Catatan Refleksi

Ingat, ada duka yang tertunda dan butuh ruang untuk diekspresikan, ada trauma yang tertinggal karena duka dan kekerasan yang menyakitkan, ada hati yang

terluka karena berbagai tindakan kekerasan yang dialami dalam rumah tangga selama masa stay at

home , dan berbagai persoalan lainnya.

(42)

Spiritualitas Menanti

1 2 3

DAYA TAHAN

untuk hidup dan bertahan

di masa sulit

BEING

PRAYERFUL :

Apapun yang kita lakukan adalah doa kita

MEMILIKI SUKACITA

( Joy )

Gambar

Gambar Zentangle : “Allah Sumber Pengharapan Kami”

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Seminar Nasional/Bimtek dua hari ini dengan mengambil tema “Tantangan Administrasi Negara dan Pencegahan Korupsi di Masa Pandemi Covid 19 Dalam Mewujudkan World Class

Penelitian ini akan berfokus pada wacana dalam hoaks terkait Covid-19 dan Islam di media sosial selama pandemi Covid-19 di Indonesia, serta tipologi hoaks

Dari tahun 2008 sampai 2020 kita tidak pernah rubah sistem karena leader butuh kepastian, tapi di tahun 2021 karena faktor pandemi kita harus lebih aktraktif, kita ingin

Dari tabel 9 diperoleh data hasil belajar siswa pada mata pelajaran SKI pada pre-test yang diajarkan dengan dengan menerapkan berbasis Linguistik Intelegence

perangkat pembelajaran guided discovery bersuplemen digital beserta assessment for learning untuk mengoptimalkan penguasaan konsep fisika materi listrik dinamis berbasis

Sementara di depan terbentang banyak ketidakpas- tian terkait Covid-19, dari pertanyaan kapan pandemi akan berakhir, bagaimana pencegahan perlintasan manusia “pembawa” virus

Pada kondisi pandemi covid 19 ini pasti ada multi problem yang melingkupi kita semua terlebih dalam hal urusan sekolah, namun dengan ijtihad atau kesungguhan para guru tentang

¾ Untuk komputer client, kita menggunakan untuk akses jaringan ini adalah notebook merk acer dan emachines yang sebelumnya telah terinstall driver dari printer yang telah ada