• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proseding Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun. 22 Desember 2015, Aula Gedung Pascasarjana Universitas Udayana.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Proseding Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun. 22 Desember 2015, Aula Gedung Pascasarjana Universitas Udayana."

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

iii

E d i t o r

Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEng.Sc., PhD. Ni Ketut Agusintadewi, ST., MT., PhD.

(3)
(4)

v

KATA PENGANTAR

Ide pelestarian menjadi sebuah keharusan di era pembangunan yang pesat ini, di belahan bumi manapun kita berada. Pelestarian bentang alam, sumber daya alam, energi, peninggalan bernilai historis, tata nilai budaya dan sosial, identitas, dan lain-lain menjadi kegiatan-kegiatan yang tidak boleh tidak harus diagendakan. Tujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat telah mendorong komponen-komponen serta para pelaku pembangunan untuk memanfaatkan sumberdaya pendukung yang ada secara maksimal atau malahan secara berlebihan. Seringkali langkah ini tidak atau belum disertai pertimbangan untuk menjaga keberlangsungan serta ketersediaan sumberdaya yang sama untuk generasi di masa yang akan datang. Kadang kala, ketika kita menyisakan sumber daya untuk anak cucu kita di masa yang akan datang, kualitas serta kuantitasnya kemungkinan tidak pada kondisi prima lagi.

Kota sebagai wadah beragam aktivitas pembangunan secara langsung dipengaruhi oleh situasi di atas. Ini direfleksikan oleh kondisi lingkungan binaan, dimana kita hidup dan berinteraksi. Timpangnya aktivitas pembangunan antara desa dan kota telah mendorong laju urbanisasi yang sangat pesat, khususnya di negara-negara di Asia. Kondisi ini diperparah oleh tingginya laju pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak terkontrol. Seringkali sudah didengungkan jika kota-kota kita mengalami masalah kemacetan yang kronis; kebanjiran yang menahun; polusi pada level yang membahayakan; tingkat kepadatan yang melumpuhkan pergerakan dalam maupun antar kota; menurunnya level livabilitas kota; kualitas-kualitas ruang kota yang menurun; dominasi dalam pemanfaatan kawasan strategis oleh kepentingan tertentu; konversi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya; merupakan beberapa tantangan dalam pertumbuhan kota saat ini. Sangat sering jika sebuah kota tumbuh dan berkembang tanpa ada rencana. Atau, jikapun blueprint pembangunan spasialnya ada, implementasi serta pengendaliannya yang bermasalah. Atau pada sirkumstansi yang berbeda, dimana terjadi koalisi anatar korporasi dengan para pengambil keputusan (pemerintah), produk perencanaan yang sudah jelas implementasinya bisa dibeli oleh para pemilik modal.

Dengan didasari oleh kondisi-kondisi inilah maka Program Studi Magister Arsitektur, Universitas Udayana dan Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Bali berkolaborasi untuk menyelenggarakan seminar tahunan dengan tema Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Binaan di tahun 2015 ini. Kepada Ibu dan Bapak Pembicara Kunci, saya ucapkan terima kasih atas waktu serta kesediaannya untuk berbagi di melalui Seminar ini. Kepada Ibu dan Bapak Pemakalah dan Peserta Seminar, saya ucapkan terima kasih atas partisipasinya. Akhirnya, kepada Ibu dan Bapak Panitia Pelaksana Seminar, saya sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk kerja kerasnya, sehingga Seminar tahun ini bisa terlaksana dengan sukses. Sebagai penutup, saya mohon maaf untuk kekurangan dan kesalahan.

Terima kasih.

(5)
(6)

vii

R I N G K A S A N

Proseding Seminar ini merupakan kumpulan paper-paper yang dipresentasikan dan dipublikasi dalam Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun yang diselenggarakan oleh Program Magister Arsitektur: Program Keahlian Perencanaan dan Manajemen Pembangunan Desa/Kota dan Program Keahlian Manajemen Konservasi, di Aula Pascasarjana, Lt III Gedung Pascasarjana Universitas Udayana, Kampus Denpasar pada hari Selasa, tanggal 22 Desember 2015.

Adapun sub tema yang diangkat dalam Seminar adalah:

1. Permukiman etnik 2. Permukiman informal 3. Tradisi, arsitektur, dan makna

4. Pelestarian arsitektur-tantangan dan potensi 5. Pusaka kota dan pembangunan kota berbudaya

6. Perencanaan kawasan strategis: ekowisata, pesisir, lindung, pendidikan, bersejarah, rentan bencana, ramah anak, pedestrians kota, dll

Masing-masing paper telah dipresentasikan, baik dalam sesi presentasi untuk para pembicara kunci maupun sesi pararel untuk para pemakalah. Partisipan dan presenter dalam Seminar ini berasal dari para akademisi, mahasiswa program pascasarjana, para pemerhati keberlanjutan lingkungan terbangun maupun bentang alamiah. Besar harapannya jika Seminar ini bisa menjadi ajang diskusi dan berbagi pengetahuan, pengalaman, ide berkenaan pembagunan lingkungan binaan serta pelestariannya. Ini termasuk pembangunan mekanisme terkait perencanaan tatanan spasial kota/daerah serta pelestarian legasi, potensi, serta sumber-sumber daya alamiah, dan non-alamiah yang ada di sekitar kita. Semoga aktivitas ini bisa dijadikan bagian kegiatan rutin, yang penyelenggaraannya dijadwal secara berkelanjutan.

(7)
(8)

ix

DAFTAR ISI

Halaman muka ………..…………. i

Editor ………..………. iii

Kata Pengantar ……….………. v

Ringkasan ……….…….. vii

Daftar Isi ………. ix

Daftar Pemakalah

Sesi Paralel 1:

Permukiman Etnik

Karakteristik Permukiman Tradisional Gampong Lubok Sukon ……… 1

Ahmad Sidiq Pelestarian Pola Permukiman Tradisional Suku Lio Dusun Nuaone, Kabupaten Ende ……. 11

Alfons Mbuu Struktur Organisasi dan Tata Zonasi Permukiman di Desa Adat Penglipuran, Kabupaten Bangli ………. 25

I Gusti Ayu Canny Utami Konsep Pola Desa dan Tata Hunian Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Bali ……… 33

Nyoman Siska Dessy Krisanti Perkembangan Fisik Bangunan pada Permukiman Tradisional Desa Bayung Gede ………… 39

Ida Rayta Wira Pratami Kenyamanan Thermal pada Rumah Tinggal Masyarakat Desa Pekraman Bugbug, Kabupaten Karangasem ……….. 47

Ida Bagus Gde Primayatna, Ida Bagus Ngurah Bupala Konsepsi Tri Hita Karana pada Pola Perumahan Utama Desa Pekraman Gunung Sari ……… 59

Gusti Ayu Cantika Putri

Sesi Paralel 2:

Permukiman Informal

Karakteristik dan Faktor Penyebab Kekumuhan pada Permukiman Jalan Cok Agung Tresna I, Denpasar ……….. 67

(9)

x

Sesi Paralel 3:

Tradisi, Arsitektur, dan Makna

Mandala Mamargi dalam Arsitektur Tradisional Bali

Pengalaman pada Peristiwa Nuntun Bhatara Hyang di Denpasar, Bali ……… 83 Anak Agung Ayu Oka Saraswati

Peran dan Makna Arsitektur Vernakular Indonesia sebagai Jatidiri

Menuju Arsitektur Nusantara ……… 90 Anak Agung Gde Djaja Bharuna S.

Kajian Elemen Arsitektur Gereja Tua Sikka sebagai Bangunan Bersejarah

Peninggalan Belanda ……………… 98 Yohanes Pieter Pedor Parera

Konsep Bentuk Uma Pangembe Melalui Pendekatan Kearifan Lokal

dan Budaya Setempat ……… 107 Ignatius Nugroho Adi

Fungsi dan Estetika dalam Arsitektur Tradisional Bali ………. 115 I Wayan Gomudha

Tradisi Meruang Masyarakat Tradisional Sasak Sade di Lombok Tengah ……….. 127 Ni Ketut Agusinta Dewi

Sesi Paralel 4:

Pelestarian Arsitektur-Tantangan dan Potensi

Eksistensi Teba sebagai Ruang Penampung Sampah Organik di Kecamatan Ubud ………… 141 I Gusti Ngurah Bagus Kusuma Putra

Pengembangan Desa Wisata di Desa Adat Pengotan Kabupaten Bangli ………... 150 Ishak Ferdiansyah

Transformasi Pemanfaatan Ruang di Sekitar Pura Kahyangan Tiga,

Desa Pakraman Peliatan ………...... 158 I Putu Hartawan

Puri Kanginan Singaraja: Konsep, Filosofi, dan Tipologi Bangunan ……… 167 Rohana Veramyta

Usaha Pelestarian Kearifan Lokal dalam Awig-Awig Penangkapan Ikan

(Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Kedonganan) ………... 176 Anak Agung Ayu Dyah Rupini

Dasar Pertimbangan Pengelolaan Karang Bengang di Desa Tegallalang Gianyar ……… 184 Made Prarabda Karma

Pelestarian Hutan Bambu sebagai Bentuk Kearifan Lokal

di Desa Adat Penglipuran, Bangli …... 191 Ni Luh Made Marini

(10)

xi

Sesi Paralel 5:

Pusaka Kota dan Pembangunan Kota Berbudaya

Pemanfaatan Ruang Pada Kawasan Catuspatha Desa Kesiman Melalui

Pemaknaan Lingkungan Sekitar ………………… 205 I Gede Artha Dana Jaya

Strategi Menumbuhkan Kesadaran Masyarakat sebagai Upaya Pelestarian Aset Pusaka

Kota Denpasar ……………….. 215 Anak Agung Ayu Sri Ratih Yulianasari

Mewujudkan Kota Pusaka Yang Berkelanjutan …………….. 222 Nyoman Ary Yudya Prawira

Pengaruh Perkembangan Pariwisata terhadap Fungsi Karang Desa

di Banjar Nyuhkuning, Ubud ……………….. 229 Made Bayu Indra Yudha

Pembangunan Denpasar Kota Berbudaya: dari Kota Kerajaan hingga Kota Kolonial ……… 237 Putu Ayu Hening Wagiswari

Identifikasi Stakeholder dan Peranannya dalam Menyelesaikan

Persoalan Pelestarian Kawasan ………. 244 Gede Windu Laskara

226 Tahun Kuatkan Posisi Denpasar sebagai Kota Pusaka ………. 255 Putu Rumawan Salain

Sesi Paralel 6:

Perencanaan Kawasan Strategis

Pengaruh Parkir terhadap Infrastruktur Transportasi Jalan di Kota Lama Singaraja ……… 263 I Putu Edy Rapiana

Pengolahan Limbah Cair Rumah Tangga Menuju Pembangunan Berkelanjutan

di Kawasan Pariwisata Ubud ……… 271 Anak Agung Ayu Sara Kusumaningsih

Infrastruktur Manajemen Air sebagai Antisipasi Banjir di Tukad Buleleng,

Pusat Kota Lama Singaraja ……… 278 Anak Agung Ngurah Ardhyana

Kajian Implementasi Tata Ruang dan Bangunan pada Bangunan Hotel

di Kawasan Pesisir Sawangan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung ……… 287 Putu Gede Wahyu Satya Nugraha

Optimalisasi Moda Transportasi sebagai Antisipasi Rencana Pembangunan

Bandar Udara Bali Utara dan dalam Upaya Pemerataan Pembangunan ……… 292 Ni Ketut Ayu Intan Putri Mentari Indriani

(11)

xii

Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Transportasi Umum di Kota Denpasar ……… 308 Wayan Daton Yudhyanggara

Implementasi Konsep Green Architecture pada Bangunan Four Season Tent Camp ………. 315 Kadek Bayu Dwi Laksana

Konsep Penyediaan Taman Kota sebagai Perwujudan Fungsi Sosial

Ruang Terbuka Hijau di Kota Mangupura ………... 323 Kadek Ary Wibawa Patra

Pengaruh Kebijakan Penataan Ruang Tukad Badung terhadap Perilaku Masyarakat

di Desa Pemogan ………... 332 I Ketut Adi Widiadinata

Pengembangan Infrastruktur yang Terintegrasi dengan Kondisi Iklim

pada Lingkungan Pantai Boom Banyuwangi ………..……….. 339 Abu Sufyan

Hutan Kota ………. 349

Cokorda Gede Putra Danendra

Sistem Subak di Desa Jatiluwih, Tabanan dalam Konsep Lingkungan Berkelanjutan ……… 356 L.G. Rara Bianca Sarasaty

Perubahan Fungsi Kawasan di Sekitar Kali Semarang Dari Era Kolonial hingga Modern

(Studi Kasus Kawasan Kali Semarang dari Gang Lombok hingga Kebon Dalem) ……….. 362 Yudistira Nugroho

Potensi Pengembangan Kawasan Pesisir Pantai Air Sanih Sebagai Objek Pariwisata

Perencanaan Berbasis Sustainable Development di Kabupaten Buleleng ……… 369 Untung Bagiotomo

Konsepsi Pengembangan Wilayah Agropolitan di Kabupaten Karangasem ……… 380 Putu Indra Yoga Sariasa

Kontroversi “Datu Swing” sebagai Salah Satu Objek Pariwisata di Gili Trawangan ………… 389 Putu Bayu Aji Krisna

Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan Fungsi Ekologis

di Kawasan Perkotaan Kabupaten Badung ……… 396 Afriyanti Noorwahyuni

Potensi Kawasan Pesisir Pemuteran ……….…. 404 Ayu Mega Silvia Lukitasari

Keragaman Budaya dalam Mewujudkan Sustainabilitas Pembangunan Ekonomi ……… 410 Gede Surya Pramana

Kawasan Wisata Seni dan Budaya Berbasis Ekonomi Kreatif di Kecamatan Sukawati …… 420 Kadek Wira Wibawa

Integrasi Kebijakan Perencanaan dan Prioritas Pembangunan yang Berbasis Masyarakat di Kawasan Pesisir Pantai Amed ……… 428 Kurnia Dwi Prawesti

Ekonomi Hijau sebagai Solusi untuk Mengatasi Dampak Negatif

(12)

xiii Perencanaan Kawasan Pesisir Pantai Soka: Identifikasi Potensi

dan Permasalahan Makro Kawasan Pantai Soka ……….. 444 Mutiara Nandya Putri Narendra Anom

Perkembangan Ruas Pesisir Pantai Geger-Nusa Kecil sebagai Kawasan Wisata

di Kabupaten Badung ……… 450 Ida Ayu Catur Maharani

Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian pada Kawasan Jalur Hijau di Subak Kedampang ……… 459 I Putu Anom Widiarsa

Perilaku Teritorialitas Pengunjung Monumen Bom Bali di Legian, Kuta ……… 467 I Wayan Yogik Adnyana Putra

Teritorialitas Pedagang di Selasar Pertokoan Tekstil Jalan Sulawesi Denpasar ………... 475 Ida Ayu Kade Paramita Pradnyadewi

Pemanfaatan Ruang Greenfield di Kecamatan Ubud, Gianyar ………. 483 Anak Agung Ayu Kasmarina

Telaah Kritis terhadap Diagram Model Penelitian pada Thesis

di Program Pascasarjana Unud: Suatu Usulan Pemikiran ………..……… 491 Syamsul Alam Paturusi

Menjaga Eksistensi Wilayah Pesisir Bali: Antara Teori dan Tradisi ……… 498 I Ketut Mudra

Pemberdayaan Petani Lokal dalam Pengembangan Restoran Organik di Ubud

sebagai Contoh Penerapan Green Development ………. 508 Made Agastya Kertanugraha

Pendidikan Melalui Pendekatan Perilaku: Menanamkan Sikap Ramah Lingkungan Dari Anak-Anak Sekolah Dasar Di Desa Bedulu (Gianyar), dalam

Menanggulangi Permasalahan Sampah ……… 514 Gusti Ayu Made Suartika

(13)

xiv

SUSUNAN PANITIA PELAKSANA SEMINAR

Ketua Panitia Pelaksana : Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEngSc., PhD.

Wakil Ketua Panitia Pelaksana : Ni Ketut Agusintadewi, ST., MT., PhD.

Sekretaris : Ni Made Swanendri, ST., MT.

Seksi Acara : Dr. Ir. Ni Ketut Ayu Siwalatri, MT.

Seksi Seminar Kit : Dr. Ir. Widiastuti, MT.

Seksi Sertifikat : Dr. I Nyoman Widya Paramadhyaksa, ST., MT.

Seksi Proseding : I Wayan Yuda Manik, ST., MT.

Seksi Perlengkapan : Dr. Eng. I Wayan Kastawan, ST., MA.

Seksi Transportasi : Ir. I Gusti Bagus Budjana, MT.

Seksi Publikasi dan Kepesertaan : I Kadek Prana, ST., MT, IAI

I Gde Suryawinata, ST., IAI

Seksi Konsumsi : I G.A. Dewi Indira Sari, SE.

Seksi Dokumentasi : I Gusti Ngurah Putu Eka Putra

(14)

115

I Wayan Gomudha

Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana

Abstract

Traditional Balinese architecture (ATB) as one of the cultural work, its existence is rounded with elements of Balinese culture that is based on Hinduism. Explicitly there is no theory that can be studied architecture, but architecture has established guidelines that very instant and easy to implement. ATB functionality in developed as form follows function and meaning, every form that appears on the basic function always contains the meaning derived from the philosophy of harmony between man (Bhuana Alit) with the architectural equivalent of the universe (Bhuana Agung). Aesthetics as applied art in its implementation refers to the strategies and methods of ornaments and decorations as decorative architecture to support the creation of harmonization. Symbolic value and identity at the same instructions, decorative architecture has always been open to stylization, hybrid, or blending in harmony with new elements that can generate local genius of the work culture itself.

Keywords: Architecture, Function and Aesthetics

Abstrak

Arsitektur Tradisional Bali (ATB) sebagai salah satu karya budaya, keberadaannya sangat membulat dengan unsur-unsur budaya Bali yang dilandasi oleh Agama Hindu. Secara explisit belum ada teori arsitektur yang dapat dipelajari, namun telah memiliki pedoman berarsitektur yang sangat instant dan mudah dilaksanakan. Fungsionalitas dalam ATB dikembangkan sebagai form follows function and meaning, setiap bentuk yang muncul atas dasar fungsi selalu mengandung makna yang diturunkan dari filosofi keharmonisan antara manusia (bhuana alit) dengan arsitektur yang setara alam semesta (bhuana agung). Estetika sebagai seni terapan dalam implementasinya merujuk kepada strategi dan metode ornamen dan dekorasi sebagai ragam hias arsitektur untuk mendukung terciptanya harmonisasi. Nilai simbolik dan sekaligus petunjuk jati diri, ragam hias arsitektur selalu menjadi terbuka bagi stilisasi, hibrida, maupun pencampuran yang serasi dengan unsur-unsur baru yang dapat membangkitkan local genius dari karya budaya itu sendiri.

Kata kunci: Arsitektur, Fungsi dan Estetika

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bali sebagai terminal akhir perjalanan kultur budaya Hindu Indonesia, telah berkembang di Indonesia semenjak abad ke empat di Kutai. Perjalanan panjang selama berabad-abad melalui Pajajaran di Jawa Barat, berlanjut ke Jawa Tengah, melalui Jawa Timur untuk menuju Bali. Pulau Bali sebagai bagian wilayah Nusantara sebagaimana peradaban bangsa-bangsa di dunia juga mengalami masa peradaban budaya. Peradaban budaya Bali lebih nyata dicetuskan dalam

bisama Samuan Tiga (pertemuansegitiga) di Bata Anyar (Bedahulu saat ini) satu millennium

yang lalu. Selanjutnya tatanan kehidupan budaya Hindu inilah yang diwarisi dan menjadi tradisi masyarakat Hindu di Bali sampaisaatini.

(15)

116

berarsitektur sudah adaberupapustakasuciberwujudlontar. Untuk membedah, memilah dan memilih nilai-nilai/makna arsitektur yang terkandung dalam ATB diperlukan ancangan teori arsitektur relevan dalam ranah ilmiah sesuai dengantemakajian.

Selama lebih dari 2000 tahun yang lalu Marcus Vitruvius Pollio menulis buku De Architectura, buku tertua dalamarsitektur. Dalam buku Vitruvius menyatakan pemikiran kuno untuk pengembangan kualitas arsitektur, yang dikenal dengan ‘Triade Vitruvian’ terdiri atas Utilitas/fungsi arsitektural, Firmitas/daya tahan arsitektural, dan Venustas/keindahan arsitektural. Deskripsi kualitas arsitektur berasal dari interaksi yang erat antara Firmitas (daya tahan), Utilitas (kenyamanan) dan Venustas (keindahan), (Morgan, 1960).

Kualitas fungsi dan estetika sejak lama merupakan isu yang selalu menjadi perdebatan dan dipertentangkan antara arsitektur tradisionaldengan arsitektur modernselaku oposisi-biner

(rwa bhinneda). Posisi ini sangat dipengaruhi oleh sikap tradisional konservatif sebagai ‘agen

pelestari’ dengan sikap modern revolusioner selaku ‘agen pengubah’tatanan yang sudah ada ibarat minyak dengan air.Perdebatan dan pertentangan tersebut sangat menarik dikaji untuk menemukan suatu bentuk dan formasi arsitektur Bali, yang beridentitas lokal dalam pergaulan global.

Tinjauan Filosofis, Teoritis-Empiris Fungsionalisme dan Estetika dalam Arsitektur

Arsitektur adalah suatu bentuk hasil karya seni yang diterapkan ke dalam wujud bangunan, tidak semua bangunan disebut arsitektur. Dalam diagram Triade Vitruvian disebutkan bahwa persyaratan minimal suatu spasial dan bangunan sebagai karya arsitektur, apabila telah memenuhi tiga syarat utama sebagai berikut:

Diagram-01. Triade Vitruvian menjelaskan kualitas arsitektur sebagai keutuhan yang terdiri dari interaksi antara Utilitas (kenyamanan/fungsional),firmitas (daya tahan), dan Venustas (keindahan). i). Utilitas adalah isu-isu penting dalam fungsi arsitektural. Sebuah pemahaman konsep bangunan yang memiliki kemampuan untuk menanggapi kebutuhan dari pengguna dan masyarakat sekitarnya. Pada prinsipnya arsitek harus merancang atas dasar kegunaan dari suatu bangunan, sehingga terjadi keharmonisan hubungan antara manusia dengan bangunan dan lingkungannya. ii). Firmitas adalah daya tahan bangunan, dalam penggunaan konsep Vitruvius ini dikembangkan untuk mengatasi semua masalah penting terkait dengan daya tahan fisik arsitektur, yang mencakup kekokohan/keamanan strktur dan bahan. iii). Venustas adalah tentang keindahan arsitektur, Vitruvius percaya bahwa alam adalah ekspresi dari tatanan kosmis berdasarkan hukum universal, dan ia percaya, bahwa kualitas arsitektur dicapai ketika desain arsitektur berdasarkan hokum-hukum ini dan ketika arsitektur demikian 'meniru' tatanan kosmis alam.

Kualitas Ars

Venustas

(16)

117

aliran architecture as art and craft and technology pada awalnya dipelopori oleh John Ruskin dan William Moris dari Inggris awal abad 19. Aliran tersebut menjadi embrio dari Arsitektur Modern. Aliran tersebut terbagi beberapa fase, salah satu adalah aliran Arsitektur Modern Fungsionalisme atau Rasioanlisme yang berasaskan rasio dan pemikiran yang logis. Perkembangan Arsitektur Modern Fungsionalisme diwarnai dengan anti pada pengulangan bentuk-bentuk lama (tradisional) dengan teknologi baru (beton bertulang, baja) sejalan dengan perkembangan revolusi industri. Pada awal abad 20 terjadi perubahan besar, radikal, cepat, dan revolusioner dalam pola pikir serta gaya hidup. (Sumalyo, 1997).

Pada waktu bersamaan, Louis Henry Sullivan mempopulerkan ungkapan “bentuk bangunan yang mengikuti fungsi” (forms follows function). Tujuannya untuk menangkap suatu ukuran, ruang dan karakteristik dalam bangunan harus terlebih dahulu ditujukan semata-mata kepada fungsi dari bangunan tersebut. Implikasinya bahwa jika aspek fungsional dicukupi, maka keindahan arsitektur akan secara alami mengikuti. Idealisme dari suatu arsitektur merupakan perpaduan antara bentuk dan fungsi. Setiap bangunan harus menemukan bentuk sesuai dengan fungsinya. Lebih lanjut dalam perkembangan arsitektur Modern terungkap bahwa makna fungsi terkait bentuk dipahami sebagai ‘multifungsionalisme’ yang dikristalisasikan dari tujuan dan keinginan/cita-cita hidup manusia antara lain: esthetic function, symbolic

function, social milieu, asas manfaat/nilai guna, dsb. (Ragon, dalam Sumalyo,1997).

Pemasyarakatan fungsionalisme adalah meninggalkan hiasan atau ornamen bentuk lama dan menonjolkan kenyataan kemajuan teknologi, konstruksi dan struktur bangunan semakin meluas. Ornamen mulai diyakini sebagai wujud ‘kejahatan arsitektur’, karena tempelan dari ukiran dianggap kebenaran palsu. Arsitek proto-rasionalis Austria Adolf Loos yang mengetengahkan model dasar arsitektur modern melalui esainya berjudul ‘Ornament and

Crime’.Arsitektur berkembang sejalan dengan perkembangan budaya, pola pikir dan gaya

hidup suatu masyarakat pada umumnya, khususnya dalam seni, keindahan dan teknologi.

Positioning ATB dalam Budaya Bali

Sebelum melihat fokus perlu dikemukakan posisi ATB dalam hubungan antara agama Hindu, Adat dan Tradisi di Bali.Agama Hindu yang dianut oleh masyarakat Bali telah disesuaikan dan dikembangkan menurut tempat, kondisi dan kehidupan masyarakat di Bali.Penyesuaian ini telah membentuk nilai-nilai, norma-norma, pandangan-pandangan serta hukum-hukum yang dikembangkan tetap berlandaskan pada agama semula,yang disebut ‘adat agama’. Di samping berkaitan dengan adat dan agama masih ada faktor yang mempengaruhi ATB yaitu ‘tradisi’ dari masyarakat di mana dia tumbuh. Tradisi dimaksud adalah unsur-unsur asli yang dimiliki masyarakat dan diwariskan secara turun temurun. Posisi ATB di antara ketiganya berada ditengah-tengah dipengaruhi dan dibentuk oleh Agama, Adat Agama dan Tradisi.

(17)

118

dalamnya. Hubungan wujud aktivitas dengan wujud fisik/artefak melahirkan pola hunian/pola menghuni yaitu bagaimana masyarakat Bali menjaga keharmonisan hidup dan penghidupannya dalam suatu bentuk hunian/permukiman liaht Diagram-02, Diagram-03, Diagram-04,(Gomudha, 1999:278).

Filosofi Kosmos dan Filosofi ATB

Masyarakat Bali dalam hidup dan kehidupannya yakin dan percaya bahwa segala isi alam semesta ini ada melalui suatu proses Tapa dalam wujud Tri Kona : Utpeti (kelahiran), Sthiti

(kehidupan) dan Pralina (kematian). Keberadaan makluk hidup manusia (tri pramana) dan alam semesta terdiri atas ‘unsur yang sama’ yakni Tri Hita Karana.Tri: tiga; Hita: baik, senang, gembira, dan Karana: sebab-musabab atau sumbernya, berarti ‘tiga jenis unsur yang merupakan sumbernya sebab yang memungkinkan timbul kebaikan atau kehidupan’.

Unsur unsur tersebut dalam manusia selaku Bhuana Alitterdiri atas: Atma/jiwa manusia yang menyebabkan hidup; Prana atau tenaga, yakni kekuatan (bayu, sabda, idep) atau daya yang

(makro kosmos) membentuk susunan struktur ‘Tri Loka’ (bagian dari Sapta-loka).Struktur alam dikuasai oleh zat padat dan zat cair disebut Bhur-loka, alam yang dikuasai oleh zat padat dan teja disebut Bhuah-loka, alam yang dikuasai oleh sinar dan bayu disebut

Swah-loka/Swarga-loka/Dewa-loka).Sedangkan pada tubuh manusia (jagat kecil/mikro kosmos)

terbentuk susunan struktur ‘Tri Angga’ terdiri atas: kepala (utama angga),badan (madya

angga) dan, kaki (nista angga).

(18)

119

POLA TIGA TINGKATAN ZONE POLA TIGA TINGKATAN ZONE KOMBINASI

POLA SANGA MANDALA

[ TRI MANDALA ] 9 NILAI ZONING

DIAG RAM BUANA ALIT - BUANA AGUNG

[ MIKRO KO SMO S - MAKRO KO SMOS ]

Diagram-05. Filosofi Diagram-06. Konsep Tata-Ruang & Bangunan vertikal-horizontal

Tabel-01. Nilai-nilai substansi konsep tata-ruang pada tingkat gama adalah: Nilai-nilai/kerangka dasar agama Hindu (tattwa, susila/etika dan upacara). Tri Hita Karanasebagai unsur bhuana alit dan bhuana agung dalam kesetaraan:

Bhuana Agung Bhuana Alit Regional Bali Palemahan Desa Palemahan Umah

Paramatma

Angga Sarira Pulau Bali Palemahan Palemahan

Tabel-02. Nilai-nilai konsep tata-ruang pada tingkat gama adalah : nilai hulu - (tengah)- teben

baik arah horizontal maupun vertikal yaitu, kesetaraan Tri Loka dan Tri Angga sebagai susunan struktur unsur Angga Sarira dalam kesetaraan:

TATA NILAI

Paumahan Jaba Tengah Tegak Umah/ Pawongan

(19)

120

FUNGSI DAN ESTETIKA DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI (ATB)

Jalinan yang harmonis antara manusia selaku bhuana alit dengan arsitektur yang disetarakan alam semesta selaku bhuana agung, secara filosofis berimplikasi kepada seluruh tatanan hidup dan penghidupan masyarakat Bali. Implementasinya dalam arsitektur dengan fokus fungsi dan estetika akan menjadi bahasan berikut:

Fungsi dalam Arsitektur Tradisional Bali

Masyarakat Bali pada masa lalu sangat taat dengan norma-norma adat dan etika yang berlaku dalam suatu lingkungan kerajaan. Relevansi fungsi atau nilai guna dalam ATB sangat dipengaruhi olehCatur warna sebagai strata profesi dalam masyarakat Bali. Hal ini akan menentukan klasifikasi tipologi bangunan yang dapat dipakai oleh masyarakat, baik berupa

Paumahan maupun Bale. Bagi warna Brahmanaadalah berupa Griya; Kesatrya berupa Jero;

Waysia berupa Jeroan; dan Sudra/Jaba diluar ketiga warna tadi disebut Umah; sedang Puri

bagi Raja yang memegang pemerintahan sesuai tingkat kekuasaannya.

Klasifikasi tipologi ini akan tercermin dari wujud Peyengker dan Paduraksa dan terpadu dengan Kori/Angkul-angkulsebagai keluar-masuk penghuni.Penyengker berasal dari kata

‘sengker’ yang artinya kurung (‘kurung’), kurung itu sendiri memiliki pengertian dan

fungsi:pertama sebagai tanda untuk mengumpulkan beberapa unsur menjadi satu kelompok yang membentuk satu unit hunian; kedua mengkonotasikan suatu keberadaan di dalam rumah, kamar/bilik/sangkar; dan ketiga melindungi dan mewadahi segala sesuatu yang ada di dalam kurungan.

Sebagai petanda, pertamapenyengkerberfungsi sebagai batas properti dari sebidang tanah, pada tempat mana terkumpul unsur-unsur fisik pembentuk hunian beserta penghuninya. Pada pengertian kedua, penyengker yang dilengkapi ‘Angkul-angkul’ dan ‘Paduraksa’ menandakan suatu unit ‘umah’ dan sekaligus berfungsi sebagai petunjuk status penghuninya, apakah sebagai Griha untuk profesi Brahmana, Puri untuk profesi Ksatria, Jero bagi Ksatria yang tidak memegang jabatan, Jeroan bagi profesi Waisya, serta Umah atau Kubu bagi golongan masyarakat kebanyakan. Pengertian ini menandakan bahwa penyengker, Paduraksa dan Kori

dapat dipandang sebagai satu unit bangunan rumah.

Gugus-gugus massa di dalam penyengker yang disebut ‘Bale’, akhirnya setara peruntukannya sebagai bilik-bilik rumah sebagaimana pengertian rumah non tradisional pada umumnya. Sedang pengertian melindungi dan mewadahi, di samping berfungsi sebagai pelindung dari pengelihatan (privacy); juga sebagai pelindung bagi segenap isi dari marabahaya (keselamatan/keamanan) baik secara nyata maupun magis, dengan adanya Paduraksa pada keempat sudut pertemuannya (Sri Raksa, Aji Raksa, Rudra Raksa dan Kala Raksa). Sebagai wadah hunian, penyengker akan memberikan suatu keleluasaan dan kenyamanan bagi isinya untuk beraktivitas didalamnya, [lihat : Gbr-02.].

Sejalan dengan profesi penghuni, maka luas pekarangan ditetapkan dengan ukuran utama:

depa agung, depa alit dan ahasta, amusti, anyari adalahpengurip (pelebih), dengan klasifikasi:

(20)

121

pekarangan, demikian seterusnya.

Sebidang tanah yang sudah ter-sengker diibaratkan sebagai sebidang kertas kosong berbentuk segi empat panjang diletakkan di tanah dengan orientasi Kaja-Klod dan Kangin-Kauh (gunung-laut dan matahari terbit-matahari terbenam). Kemudian gugus-gugus massa berupa bale ditata dengan satuan ukuran tapak kaki untuk kegiatan manusia (Pawongan dan Palemahan), dan tapak tangan untuk tempat suci (Parahyangan). Penggunaan unsur-unsur antropometri sebagai satuan dasar ukuran, merupakan upaya kesesuaian dan keharmonisan antara penghuni selaku isi (buana alit) dengan bale selaku wadahnya (disetarakan buana agung). Kelipatan ukuran ini didasarkan atas kelipatan perhitungan asta dewa (delapan personifikasi dewa) dari perhitungan ini akan menentukan watak bale. Setiap satuan ukuran dan pengurip yang dipilih, masing-masing membawa perwatakan yang diyakini berpengaruh terhadap keberuntungan penghuni. [Gbr-01].

Bale dalam ATB sesungguhnya setara dengan bilik (room), karena Penyengker,Paduraksa dan

Kori sebagai penanda Umah atau Rumah.

Bale berfungsi serba guna, pada malam hari sebagai tempat tidur/kamar tidur (bed room) dan pada siang hari sebagai tempat melakukan kegiatan rumah tangga lainnya seperti menerima tamu, bekerja, upacara, memasak/pawon, makan, menyimpan dan sebagainya, jadi peruntukannya dapat berlapis-lapis (layering).Pada hunian standar setiap umahmemiliki beberapa baleyang ditata menganut suatu pola yang tersirat dan tersurat dalam lontar-lontar:

Asta-bumi, Sikuting Umah, Asta-kosali, Asta-kosala, Swakarma, dll.[Gbr-04]

Gbr-02.TIPOLOGI BALE DALAM HUNIAN ATB Sumber : Sulistyawati

Gbr-01. SATUAN JARAK ANTROPOMETRI

KAJA-

(21)

122

Tipologi Bale dan Fungsinya dalam Hunian Tradisional Bali

1. Bale Daja (kaja) atau Meten berasal dari kata Mati + an, dimaksudkan bukan mati kehilangan nyawa, tetapi mati dari aktivitas atau tidur. Meten difungsikan sebagai tempat tidur anak gadis/wanita, disebut Gedong bila difungsikan sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka/sakral atau benda-benda berharga lainnya. Disebut Bale Bandung

kalau dipadukan dengan serambi/amben meten. Disebut Gunung Rata apabila serambi depan memiliki dua teras/andê, ini merupakan tipe terbesar yang biasanya digunakan di Puri, Geria, dan Jero.

2. Bale Dauh yang terletak di bagian barat tapak sebagai tempat tidur orang tua di malam

hari, sedang pada siang hari dipakai sebagai tempat kerja dan ruang terima tamu pada umumnya, letaknya berdekatan dengan Pawon/Dapur agar ibu dan ayah mudah kedapur..

3. Bale Dangin, dari letaknya di Purwa/Dangin/Timur/mata hari terbit, fungsinya sebagai

tempat tidur Nenek dan Kakek yang telah memasuki fase kehidupan wanaprasta yang dekat dengan Marajan sebagai stana para leluhur dan Ida sang Hyang Widi, agar mudah bersembahyang dalam rangka mendekatkan diri pada penciptanya.

4. Tempat suci keluarga disebut ‘Marajan’ atau ‘Sanggah’, berasal dari bahasa Sansekertha, yaitu ‘Raja’ juga disebut ‘Rajan’. Raja adalah sebutan/gelar bagi Kepala Pemerintahan dari suatu sistem peme-rintahan Kerajaan, dan merupakan jabatan yang mulia atau dimuliakan. Kata Rajan dalam bahasa Sansekertha kemudian memperoleh awalan ‘ma’

lalu menjadi ‘marajan’ atau ‘mrajan’ yang bermakna tempat memuliakan dan memuja, terutama untuk para leluhur. Sedang kata ‘Sanggah’ berasal dari ‘Sanggar’ yang secara harfiah berarti ‘kuil’ atau ‘Sangga’ dalam kaitannya dengan kata ‘Anangga’ yang berarti memegang tinggi-tinggi, juga dapat bermakna menjunjung atau memuja [Soebandi, Ktut, 1992].

5. Su(e)manggen, asal kata Sema + anggen artinya dipakai kuburan sementara. Bale

sumanggen merupakan tempat melaksanakan upacara manusia-yadnya dan

pitra-yadnya/upacara ngaben, sehingga memiliki kedudukan paling sakral dibanding bale

Pawongan lainnya. Fungsi profannya sebagai tempat tidur anak laki-laki, tempat belajar

(22)

123 Gbr-05. KONSTRUKSI, ORNAMEN DAN

DEKORASI MENYATUDG TEKTONIKA

Gbr-06. SOSOK DAN BENTUK DG ORNAMEN, UKIRAN DG DEKORASI

tempat menyimpan/gudang padi dan hasil bumi lainnya.

7. Lumbung/Jineng, berfungsi sebagai tempat menyimpan padi dalam ruang atas, dan bale-bale dibagian bawah sebagai tempat kerja anggota keluarga wanita dan peria serta menyimpan hasil bumi lainnya di bawah bale-bale.

8. Kandang, berfungsi sebgai tempat memelihara ternak terutama babi, berfungsi sebagai

penampungan limbah atau sisa makanan dan sebagai Celengan.

9. Angkul-ngkul, berfungsi sebagai tempat keluar/pemesuan/exitbukan tempat masuk

(entrance) penghuni rumah.Pemesuan/pintu keluar bermakna orientasi keluar, sebagai

penanda jati-diri atau identitas penghuninya.

Estetika dalam Arsitektur Tradisional Bali

Ornamen dan dekorasi sebagai bagian dari seni/estetika terapan,bagi masyarakat Bali adalah sesuatu yang sangat berharga, karena alam dan penciptanya telah memberikan keindahan bagi tanah Bali. Seni dan keindahan merupakan salah satu sarana/media komunikasi dengan alam dan penciptanya; diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol akibat keterbatasan manusia. Tiada hari tanpa seni dan keindahan, diwujudkan dalam setiap bentuk sesaji maupun persembahan lainnya sebagai umat Hindu di Bali. Profesi masyarakat sebagai petani pada masa lalu, cukup luang untuk mengisi waktu membuat berbagai karya seni.

Harmonisasi dengan alam, lingkungan dan penciptanya diupayakan dengan berbagai strategi dan metoda dalam ATB. Penyetaraan sosok dan bentuk buana alit selaku isi dengan bangunan selaku wadah yang dipersonifikasikan sebagai buana agung ditempuh melalui pembagian tiga atas unsur Angga/Sariramenjadi Tri Angga. Pembagian tiga ini berlaku dari makro sampai ke mikro: Regional Bali, Desa Pekraman, Pekarangan, Bale dan komponen Bale. Implementasi dalam tata-ruang dengan pembagian mandala/loka, pada tata-bangunan dilaksanakan dengan ‘bentukan ornamen’; sedang dekorasi lebih menekankan pada penciptaan atau perubahan suasana yang diinginkan, lihat Gbr-06 di atas.

(23)

124

‘sakral’(wujud obyek personifikasi Ida Sang Hyang Widi Wasa, benda-benda disakralkan, orang-orang yang disucikan) dipergunakan untuk keperluan upacara/perlengkapan/ bangunan keagamaan (parhyangan) dan kepercayaan, sedang yang bersifat ‘profan’ (diluar obyek sakral) untuk keperluan perlengkapan/bangunan permukiman (pawongan, palemahan) atau tempat-tempat kegiatan kemanusiaan. ii) Berdasarkan jenis/tema: ragam-hias flora, fauna, unsur-unsur alam, agama dan kepercayaan, ragam-hias lainnya seperti pepalihan,

pepatran, kekupakan, reruitan, simbol-simbol atau lambang keagamaan. iii) Berdasarkan atas

tata-letak vertikal dan horizontal. Ke arah vertikal dari yang berkarakter berat di bawah seperti karang gajah, karang batu; tengah yang berwujud kala/manusia seperti karang tapel, karang bentulu dan bagian atas yang berkarakter ringan: karang guak, karang sae, karang

boma, karang singa, simbar. Ke arah horizontal: bercorak kasar di daerah teben/profan makin halus ke arah hulu/sakral. Demikian pula dalam penataan material/bahan dari yang karakter berat di bawah, makin keatas makin ringan.

Ditinjau dari tata-cara/teknik tata-hias pada umumnya ada dua cara yang dapat ditempuh, yakni pemahatan dan pembubuhan [Josef Prijotomo, 1996]: 1) Teknik pemahatan merujuk pada penggarapan komponen arsitektural dikatakan telah rampung, bila unsur tata-hias juga telah rampung. Dalam teknik ini jelas ada penghapusan atau pembuangan terhadap bagian permukaan komponen arsitektur. Dengan demikian antara bagian yang dipakai komponen arsitektural dengan bahan untuk unsur tata-hias tidak terlihat adanya perbedaan, bahkan hanya satu bahan yang menerus. Dapat disimpulkan bahwa teknik ini ditempuh dalam rangka pembuatan ‘ornamen’. 2) Teknik pembubuhan merujuk pada pemberian unsur-unsur tata-hias pada bidang-bidang komponen arsitektur yang dalam perwujudan akhirnya masih terkesan bahwa unsur-unsur tadi dihadirkan setelah komponen arsitektural terampungkan. Sebagai hasil pembubuhan unsur-unsur tata-hias ini setiap saat bisa saja dicopot atau dipasanglagi. Jadi teknik ini ditempuh dalam rangka men-‘dekorasi’ arsitektur/bangunan. Penggunaan ornamen dan dekorasi yang tepat dan serasi dipasang dengan teknik tektonika (senidalamkonstruksi), sehingga konstruksi berfungsi ganda.

Dalam perwujudannya dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu: 1) konsepsual obyek, adalah ornamen dan dekorasi yang ditampilkan berupa bagan dan berwujud abstrak dalam bentuk pepalihan atau tata-hias abstrak lainnya; dan 2) visual obyek, adalah ornamen dan dekorasi yang ditampilkan secara tuntas/terselesaikan/real dalam bentuk ukiran atau tata-hias lainnya.

Dalam ATB secara substansial ornamen dan dekorasi berfungsi sebagai salah satu sarana/media komunikasi antara pengamat dengan bangunan, di samping dapat memberikan suatu karakter kewibawaan, magis, kemegahan dan menunjukkan jatidiri Bali. Bangunan tanpa ornamen dan dekorasi di ibaratkan manusia telanjang tanpa busana dan tata-rias sangat sulit dikenali jati dirinya. Bagi masyarakat Bali identitas dianggap sesuatu yang sangat penting, apalagi dihubungkan dengan klan atau leluhur.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pola/gaya hidup yang serba praktis saat ini penggarapan ornamen dan dekorasi telah berubah. Perubahan dari yang berkarakter

handicraft menjadi berkarakter machine/mass prodction, sehingga identitas/style

(24)

125

Fungsionalitas dalam ATB dikebangkan sebagai paham form follows function and meaning, bahwa bentuk dalam ATB sebagai salah satu unsur utama rancangan tidak saja ditentukan oleh nilai guna tetapi juga memiliki hirarkhi nilai aktifitas dan penanda simbolik. Bale sebagai bagian dari Umah memiliki fleksibilitas fungsi yang sangat tinggi dalam penggunaansecara berlapis (layering), didukung oleh konsep shelter/umbrella.

Nilai simbolik (melambang) dan sekaligus pembentuk jatidiri. Meskipun nilai simboliknya sama atau serupa untuk beberapa daerah, namun setiap daerah akan menggoreskannya dengan corak dan gaya daerah itu sendiri.Sekaligus merupakan bagian dari ensiklopedia tentang masyarakat pemilik dan penggunanya.

Oleh karena ikatan dengan nilai lambang dan jatidiri itu, maka dalam berornamen dan berdekorasi masyarakat tidak menolak proses peniruan (dalam arti mimesis). Dengan tidak ditolaknya peniruan itu tidak sedikit ornamen dan dekorasi menjadi terbuka bagi stilisasi, hibrida, maupun pencampuran yang serasi dengan unsur-unsur baru.Berbekal desa, kala dan

patra serta catur dresta akan dapat membangkitkan local genius dari karya budaya itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Broadbent, Geoffrey; Bunt, Richard; Jencks ,Charles. [1980]. Sign, Symbol and Architecture. John Willey & Son, Chichester, New York, Brisbane, Toronto.

Dharmayuda, Suasthawa. D, I Made. [1990]. Hubungan Adat dengan Agama dan Kebudayaan , CV. Kayumas, Denpasar.

Gelebet. I Nyoman, dkk. [1982]. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi.

Gomudha, I Wayan. [1999]. Pernik Manik Spasial Hunian Tradisional Bali, dalam Ngawangun Ki

Nusantara - Wacana Teori Arsitektur. Laboratorium Sejarah, Teori dan Falsafah

Arsitektur Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Uniiversitas Katolik Parahyangan , Bandung.

---, [1997] Ke-Jatidiri-an Ragam Hias (Ornamen dan Dekorasi), Studi Kasus Arsitektur

Tradisional Bali, Seminar Arsitektur, “Kuliah Arsitektur Nusantara” , PS. Arsitektur

Program Pascasarjana, ITS, Surabaya.

---, [1999]. Masyarakat Tradisional dan Modern di Simpang Jalan,HarianUmumBali Pos, 31 Maret 1999. Denpasar.

---, [1999]Reformasi Nilai-nilai Arsitektur Tradisional Bali pada Arsitektur Kontemporer di

Bali, Studi Kasus Pada Bangunan Fasilitas Umum di Bali,Tesis S2 Program Pasca

Sarjana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Harris, Cyril, M. [1975]. Dictionary of Architecture and Construction, Mc. Graw Hill Book Company, New York.

Josef Prijotomo. [1988]. Pasang-Surut Arsitektur di Indonesia, CV. Arjun, Surabaya. ---, (ed), [1996]. Himpunan Materi Arsitektur Dekonstruksi dalam Tinjauan Indonesia,

Jurusan Arsitektur FTSP, ITS Surabaya, (tidak dipublikasikan)

Meganada, I Wayan. [1990] Pola Tata Ruang Arsitektur Tradisional Bali dalam Perumahan

(25)

126

Morgan, M.H. [1960]. Vitruvius: the ten books on architecture, Dover Publication, New York, 1960

Parisada Hindu Dharma. [1978]. Upadesa, tentang Ajaran-ajaran Agama Hindu, Parisada Hindu Dharma Pusat, Denpasar.

Purwita, Ida Bagus Putu. [1993]. Desa Adat Pusat Pembinaan Kebudayaan Bali, Majelis Pembina Lembaga Adat Daerah Tingkat I Bali, PT. Upada Sastra, Denpasar.

Sulistyawati, A. [1995]. Balinese Tradisional Architectural Principles in Hotel Building. Desertation of Doctor of Philosophy, Oxpford Brookes University, England.

Sumalyo Yulianto, [1977], Arsitektur Modern Akhir Abad XIX dan Abad XX, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

I WAYAN GOMUDHA lahir di Bajar Teges Gianyar pada hari Soma Manis Pujut, tanggal 8 Desember 1952, Menyelesaikan Pendidikan Sarjana Muda Arsitektur (BAE) di Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana tahun 1977, dengan tugas akhir: Sekolah Menengah Industri Kerajinan di Gianyar; dan melanjutkan studi jenjang Sarjana Arsitektur (Insinyur) di Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana tahun 1980, dengan Tugas Akhir: Arena Budaya di Gianyar. Jenjang pendidikan S2 (Magister Teknik/MT) di Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Bidang Studi: Perancangan dan Kritik Arsitektur, dengan predikat Cum Laude, tahun 1999, Tesis: Reformasi Nilai-nilai Arsitektur Tradisioonal Bali pada Arsitektur Kontemporeri di Bali, Studi Kausus Bangunan Fasilitas Umum.

Sejak tahun 1981-1984 bekerja sebagai Staf Perencanaan di Bali Tourisme Development Corporation (BTDC) Nusa Dua; sejak tahun 1981-2011 sebagai Anggota Design Committee Kawasan Wisata Nusa Dua. Dari tahun 2009-2013 sebagai Tim Ahli Bangunan Gedung Kota Denpasar dan tahun 2015 diangkat sebagai Anggota Kelompok Ahli Kota Pusaka Kabupaten Gianyar.

Tahun 1984 diangkat menjadi pegawai negeri sipil sebagai dosen di Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana sampai sekarang. Sebagai finalis lomba karya tulis Arsitektur Nusantara - Ngewangun Ki Nusantara - judul karya tulis : Penik dan Manik Hunian Arsitektur Tradisional Bali, di Universitas Parhyangan Bandung tahun 1999. Di bidang penelitian aktif melakukan penelitian, menulis makalah, mengikuti seminar dalam berbagai temu ilmiah.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari perancangan ini adalah bahwa dengan optimasi ini dapat memberikan hasil laba yang maksimum sehingga dapat membantu perusahaan dalam mengambil keputusan dengan cepat

senantiasa memerintahkan kepada setiap orang beriman untuk memiliki sifat shiddiq dan menciptakan lingkungan yang shiddiq. Hal penting dari nasihat Nabi adalah

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Tugas Akhir yang berjudul SIMULASI

Beberapa literatur melaporkan reduksi terbuka dan fiksasi internal adalah pilihan tepat dan lebih baik karena memiliki rata rata komplikasi yang lebih sedikit dibandingkan

Dalam konstruksi tersebut dapat dilihat bahwa setiap unit WDE akan menangani satu motor yang terintegrasi dengan flywheel dan satu sensor gyro, untuk

Broling (1989) dalam Pedoman Penyelenggaraan Program Kecakapan Hidup Pendidikan Non Formal mengelompokkan life skills menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) kecakapan

Penggunaan Vmware, sebagai software virtualisasi yang bisa digunakan untuk membuat virtual machine dan juga teknologi Jaringan VOIP (Voice over Internet Protocol)

ditegakkan hanya jika kejang terjadi selama perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat dihubungkan dengan tanda dan