• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kekerasan seksual anak (KSA) adalah masalah kesehatan masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kekerasan seksual anak (KSA) adalah masalah kesehatan masyarakat"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kekerasan seksual anak (KSA) adalah masalah kesehatan masyarakat luas dengan konsekuensi negatif bagi anak korban. Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa konsekuensi dari KSA termasuk berbagai masalah mental, fisik, dan sosial, seperti nyeri kronis panggul, depresi, kecemasan, perilaku masalah, penyalahgunaan narkoba, dan sensitivitas interpersonal (Chen, Dunne, & Han, 2006). Heritunjung (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa korban kekerasan seksual akan menanggung dampak negatif yang sangat besar baik secara fisik maupun secara psikologis. Dampak fisik yang mungkin terjadi antara lain kerusakan pada organ genital, penyakit menular seksual, terkena HIV/AIDS, dan terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki. Dampak psikologis antara lain rasa malu, tersinggung, terhina, marah, rasa trauma yang mendalam, dan sebagainya.

Kekerasan seksual pada anak dapat diartikan juga sebagai segala bentuk aktivitas seksual, baik kontak maupun non-kontak (Kinnear, 2007). Aktivitas seksual meliputi meraba, penetrasi, pencabulan, dan pemerkosaan (Shaul & Audage, 2007). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 mengatur tentang perlindungan anak. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,

(2)

secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Dikpora DIY, 2013).

Kejadian kekerasan seksual pada anak setiap tahun kian meningkat. Yogyakarta sebagai kota dengan slogan berhati nyaman juga tidak terlepas dari kekerasan seksual pada anak. Kekerasan seksual pada anak (KSA) merupakan aktivitas seksual pada anak yang dilakukan dengan paksaan atau ancaman oleh orang dewasa atau teman sebayanya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahun. Hasil pemantauan KPAI dari tahun 2011 sampai tahun 2014 terjadi peningkatan yang sifnifikan. Tahun 2011 terjadi 2.178 kasus kekerasan, 2012 ada 3.512 kasus, 2013 ada 4.311 kasus, 2014 ada 5.066 kasus (Setyawan, 2015). Menurut KPAI di tahun 2015 angka pengaduan kekerasan seksual menurun banyak, ada 1.698 pengaduan. (Fauzi, 2016).

KPAI menyebutkan bahwa anak dapat menjadi korban ataupun pelaku kekerasan dengan fokus kekerasan pada anak, yaitu di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah, dan di lingkungan masyarakat. Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi menunjukkan bahwa 91% anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87.6% di lingkungan sekolah dan 17.9% di lingkungan masyarakat. 78.3% anak menjadi pelaku kekerasan dan sebagian besar karena mereka pernah menjadi korban kekerasan sebelumnya atau pernah melihat kekerasan dilakukan kepada anak lain dan menirunya. KPAI memaparkan bahwa pelaku kekerasan pada anak bisa dibagi menjadi tiga. Pertama, orang tua, keluarga, atau orang yang dekat di lingkungan rumah. Kedua, tenaga kependidikan yaitu guru dan orang-orang yang ada di lingkungan

(3)

sekolah seperti cleaning service, tukang kantin, satpam, sopir antar jemput yang disediakan sekolah. Ketiga, orang yang tidak dikenal. (Setyawan, 2015)

Berdasarkan data KPAI di atas tersebut, anak korban kekerasan di lingkungan masyarakat jumlahnya termasuk rendah yaitu 17,9%. Artinya, anak rentan menjadi korban kekerasan justru di lingkungan rumah dan sekolah. Lingkungan yang mengenal anak-anak tersebut cukup dekat. Artinya lagi, pelaku kekerasan pada anak justru lebih banyak berasal dari kalangan yang dekat dengan anak. (Setyawan, 2015).

Banyaknya kasus kekerasan seksual pada anak di dalam rumah tangga merupakan ancaman serius bagi kesejahteraan keluarga, namun justru berbagai kasus tersebut cenderung sulit untuk diungkapkan, bahkan dirahasiakan berbagai pihak (Zahra, 2007).

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) menetapkan 2016 sebagai kondisi darurat nasional kejahatan seksual terhadap anak. Berdasarkan data dan informasi Komnas Anak, sepanjang tahun 2016 terdapat 625 kasus. Rinciannya, kasus kekerasan fisik 273 kasus (40%), kekerasan psikis 43 kasus (9%), dan paling banyak berupa kasus kekerasan seksual 309 kasus (51%). Komnas Perlindungan Anak mengatakan bahwa tempat kejadian kekerasan terhadap anak ada di lingkungan keluarga terdekat 40%, lingkungan sosial 52%, lingkungan sekolah 5%. Berdasarkan ratusan kejadian, laporan kekerasan sebagian besar berasal dari keluarga kelas menengah. Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi di keluarga menengah ke bawah (miskin) dan keluarga atas (kaya), tapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di keluarga menengah. Latar belakang kasus kekerasan seksual karena pengaruh media pornografi ada 9 kasus (5%), terangsang korban sebanyak 128 kasus (35%), dan

(4)

yang paling banyak adalah hasrat yang tidak tersalurkan sebanyak 150 kasus (50%). (Ferdianto, 2016).

Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2 kekerasan seksual anak di Indonesia dari tahun 2011 sampai 2016.

0 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Kekerasan Seksual Anak di Indonesia

Gambar 1. Data Jumlah Kasus KSA dari tahun 2011-2016 di Indonesia

Kasus kekerasan seksual terhadap anak juga terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Jumlah kasus di DIY mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Mayoritas pelaku merupakan keluarga, teman dekat, kerabat, hingga tetangga korban. Berdasarkan komunikasi pribadi dengan staf Yayasan Lembaga Perlindungan Anak (YLPA) Yogyakarta diperoleh informasi tentang adanya peningkatan jumlah kasus kekerasan seksual dan pelaku yang melakukan kekerasan seksual anak. Berikut hasil wawancaranya:

”Data laporan kekerasan seksual anak yang masuk ke YLPA setiap tahun mengalami peningkatan, kemudian pelakunya biasanya orang terdekat dengan korban termasuk keluarga, teman, pacarnya, tetangganya”. (wawancara dengan staf YLPA, 30 Januari 2017).

Berdasarkan komunikasi pribadi dengan staf Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rifka Annisa menyatakan bahwa yang menjadi pelaku

(5)

kekerasan seksual anak biasanya keluarga, tetangga, dan orang yang terdekat dengan korban kekerasan seksual anak. Berikut hasil wawancaranya:

“Biasanya yang menjadi pelaku kekerasan seksual adalah ayahnya, pamannya, kakaknya, dan tetangganya. Biasanya kalau kakaknya yang melakukan kekerasan seksual di atas 18 tahun akan dikenakan hukum dan dipenjara. Kalau kakaknya yang melakukan kekerasan seksual di bawah 18 tahun setelah persidangan kakaknya gak kena hukum tapi dikembalikan ke keluarga atau panti sosial seperti Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) direhabilitasi oleh pemerintah. Begitu juga ayahnya kalau melakukan kekerasan seksual kepada anaknya akan dikenakan hukum yang berat dan dimasukkan ke penjara”. (wawancara dengan staf LSM Rifka Annisa, 1 Februari 2017)

Data dari Yayasan Lembaga Perlindungan Anak (YLPA) DIY menyebutkan bahwa KSA di DIY merupakan kasus yang tertinggi dibandingkan dengan kasus yang lainnya (kasus kekerasan fisik). Tahun 2012 ada 22 kasus, 2013 terdapat 34 kasus, 2014 ada 60 kasus, 2015 terdapat 28 kasus, dan sampai dengan Juni 2016 ada 31 kasus kekerasan seksual (YLPA DIY, 2016). Berdasarkan data dari YLPA DIY bahwa daerah yang banyak mengalami kekerasan seksual anak adalah kabupaten Sleman dan yang paling sedikit terjadi kekerasan seksual anak adalah kabupaten Gunung Kidul. Perempuan lebih tinggi mengalami kekerasan seksual dibandingkan laki-laki (YLPA DIY, 2016). Jumlah tersebut diprediksi dapat lebih banyak karena masih banyak warga yang enggan melapor kepada lembaga perlindungan anak dan petugas kepolisian lantaran ada perasaan malu dan takut.

Lebih jelasnya dapat digambarkan dengan grafik gambar 2:

Gambar 2. Data Jumlah Kasus KSA dari tahun 2011-2016 di Yogyakarta

0 10 20 30 40 50 60 2012 2013 2014 2015 2016

Kekerasan Seksual Anak di Yogyakarta

(6)

Reaksi psikologis yang muncul dari peristiwa kekerasan seksual tentunya memberikan dampak bagi diri anak dan anggota keluarga terutama ibu. Randal (2010) menyebutkan bahwa peristiwa kekerasan seksual yang dialami salah satu anggota keluarga merupakan sebuah stressor event yang cukup berat bagi keluarga. Hal ini akan menimbulkan dampak bagi anggota keluarga lain terutama bagi ibu korban, untuk menghadapi kondisi tersebut perlu memiliki coping agar dapat menyelesaikan masalah yang terjadi. Ibu sebagai sosok yang paling dekat dengan anak, dan cenderung berada sebagai subjek yang mempunyai banyak waktu untuk berinteraksi dengan anak di rumah akan merasakan tekanan lebih besar dari dua sisi yang berbeda. Dibanding ayah, ibu cenderung mudah lebih merasa bersalah, dengan alasan subjektif dialah sumber penyebab gangguan yang diderita anaknya, menurut Noor (dalam Nova 2003).

Ketika seorang anak mengalami masalah seperti kekerasan seksual, ibu juga akan mengalami masalah dalam dirinya seperti emosi yang tidak stabil, kecemasan yang muncul, serta masalah psikologis lainnya. McCubbin, Balling, Possin, Frierdich dan Bryne (2002) berpendapat bahwa ketika seseorang anak mendapatkan masalah tertentu terkait penyakit (fisik maupun psikologis) maka akan memberikan dampak trauma yang besar bagi keluarga. Sistem keluarga akan banyak sekali menghadapi tekanan dan tuntutan seperti kunjungan ke rumah sakit yang berulang-ulang dengan treatman sesering mungkin, perubahan hubungan anak dengan orangtua dengan perhatian saudara kandung yang lain, pekerjaan orangtua, dan perubahan peran, serta konsentrasi yang akan memberikan dampak berkepanjangan pada anak dan keluarga.

Folkman dan Lazarus (1986) mendefinisikan coping sebagai upaya kognitif dan perilaku untuk mengatasi, mengurangi, dan bersikap sabar dalam

(7)

menghadapi tuntutan terhadap dirinya. Tuntutan tersebut dapat berupa eksternal dan internal. Coping juga dapat diartikan sebagai proses menggunakan strategi emosi, kognitif, dan behavior untuk mengatur stress yang dimiliki seseorang, dalam rangka untuk mengurangi potensi buruk secara psikologis dari stress tersebut (Yang, Brothers, & Andersen, 2008).

Upaya menggali lebih dalam mengenai coping pada ibu korban kekerasan seksual anak, peneliti melakukan pengumpulan data awal dengan salah satu konselor LSM Rifka Annisa yang melakukan pendampingan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual. Berikut hasil wawancaranya:

“ Ibu yang anaknya mengalami kekerasan seksual biasanya reaksi pertama shock terus cemas, takut masa depan anaknya, malu. Ibu korban kekerasan seksual anak akan memperbanyak informasi, memproses apa yang terjadi pada anak”. (wawancara dengan konselor LSM Rifka Annisa, 3 Februari 2017)

Berdasarkan uraian tentang data dan fenomena yang ada, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang coping pada ibu korban kekerasan seksual anak dengan melakukan pendekatan studi kasus.

B. Perumusan Masalah

Kekerasan seksual yang dialami salah satu anggota keluarga merupakan sebuah peristiwa traumatis bagi keluarga terutama bagi ibu korban, untuk menghadapi kondisi tersebut perlu memiliki coping agar dapat menyelesaikan masalah yang terjadi. Peneliti mengajukan rumusan masalah mengenai: Bagaimana dinamika coping pada ibu korban kekerasan seksual anak?

(8)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana strategi coping pada ibu yang memiliki anak korban kekerasan seksual dan mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi coping pada ibu.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan serta dapat digunakan sebagai salah satu rujukan dalam melakukan penelitian selanjutnya, terutama dalam menggali dinamika coping pada ibu korban kekerasan seksual anak, serta diharapkan dapat mengetahui strategi coping yang dilakukan oleh seorang ibu ketika anaknya mengalami kekerasan seksual.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai dinamika coping yang dilakukan ibu korban kekerasan seksual anak, sehingga dapat memberikan referensi bagi masyarakat dalam melakukan coping jika coping itu dilakukan dengan benar dan baik, namun jika coping yang dilakukan oleh ibu itu kurang tepat perlu adanya pelatihan coping.

D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya

Penelitian tentang dinamika coping dan kekerasan seksual anak bukan termasuk tema yang baru di Indonesia maupun di negara lainnya. Walaupun demikian, penelitian ini tetap memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian

(9)

sebelumnya, Penelitian oleh Fu’ady (2011) menggali tentang Dampak Psikologis Kekerasan Seksual dengan menggunakan metode kualitatif pendekatan fenomenologi. Penelitian ini mengungkap secara mendalam tentang peristiwa kekerasan sebagai kejadian menekan, karakteristik kepribadian korban, dukungan sosial yang didapatkan, serta dampak psikologis dan dinamika psikologis yang diterima oleh korban kekerasan seksual. Hasil penelitiannya lebih berfokus pada mengungkap dampak psikologis kekerasan seksual pada setiap individu yang pernah menjadi korban kekerasan seksual.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Paramastri, Supriyati, & Priyanto (2010) dengan judul Early Prevention Toward Sexual Abuse on Children yang mengambil lokasi penelitian di beberapa Sekolah Dasar di Yogyakarta dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program pencegahan kekerasan seksual pada anak sangat diharapkan untuk dilakukan agar jumlah korbannya tidak terus bertambah. Program prevensi dini terhadap kekerasan seksual pada anak dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu seperti gambar, komik, karikatur, maupun dengan menggunakan audiovisual.

Penelitian Fariani (2012) dengan judul Kader Posyandu Sebagai Agen Prevensi Primer Terhadap Kekerasan Seksual Pada Anak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa promosi kesehatan dengan menggunakan leaflet dan ceramah dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat. Leaflet dapat meningkatkan pengetahuan KSA masyarakat lebih tinggi dibanding ceramah.

Whitffen & MacIntosh (2005) dengan judul Mediators of the Link Between Childhood Sexual Abuse and Emotional Distress: A critical review. trauma, violence, & abuse. Hasil penelitiannya menemukan bahwa pengalaman

(10)

kekerasan seksual pada anak-anak berhubungan dengan stress emosional pada masa dewasa dan kesulitan dalam menjalin relasi intim pada saat dewasa.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Kvam (2004) dengan judul Sexual Abuse of Deaf Children: A Retrospective Analysis of The Prevalence and Characteristics of Childhood Sexual Abuse Among Deaf Adults In Norway. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 220 responden baik yang mengalami kekerasan fisik maupun kekerasan seksual ditemukan sebagian besar anak yang berkebutuhan khusus tidak menyadari dan mengerti bahwa dirinya mengalami kekerasan seksual, yang dilakukan oleh keluarga dan pengasuhnya sendiri.

Morano (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Sexual Abuse of the Mentally Reterded Patient: Medical and Legal Analysis for the Primary Care Physician. Hasil penelitiaannya menunjukkan 28% sampai 90,8% dari 162 anak yang mengalami retardasi mental pernah mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terdekat seperti keluarga, pengasuh, guru dan tetangga baik laki-laki ataupun perempuan.

Perbedaan yang sangat mendasar adalah penelitian terdahulu lebih menfokuskan dampak kekerasan seksual, program yang dirancang untuk mencegah kekerasan seksual, sementara penelitian ini lebih menfokuskan pada dinamika coping ibu yang anaknya mengalami kekerasan seksual. Menggunakan metode kualitatif dengan desain studi kasus. Selain itu, penelitian ini juga mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika coping pada ibu korban kekerasan seksual anak.

Gambar

Gambar 1. Data Jumlah Kasus KSA dari tahun 2011-2016 di Indonesia
Gambar 2. Data Jumlah Kasus KSA dari tahun 2011-2016 di Yogyakarta

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan terdapat pengaruh nyata varietas tanaman yang diuji terhadap tinggi tanaman, namun tidak terdapat pengaruh nyata

Cara pengamatan populasi nematoda parasit pada akar dan tanah adalah sebagai berikut: Untuk pengambilan contoh akar tanaman kopi pada petak yang diperlakukan dan petak kontrol

(1) Rencana Kerja (RENJA) Dinas Perhubungan Kabupaten Pacitan Tahun 2018 disusun dengan berpedoman pada Perubahan Rencana Strategis (RENSTRA) Dinas Perhubungan

Peneliti tertarik pada aspek kajian ini karena dari hasil evaluasi tes tertulis mengenai soal-soal yang berhubungan dengan struktur gramatikal atau jabatan kalimat

Penyusunan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dalam

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Komputer, Fakultas Teknologi Informasi Program Studi Teknik Informatika,