• Tidak ada hasil yang ditemukan

Medika Respati Vol VI No 1 Januari 2011 ISSN :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Medika Respati Vol VI No 1 Januari 2011 ISSN :"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

KEJADIAN PENYAKIT ISPA PADA BALITA DI WILAYAH

KERJA PUSKESMAS WAINGAPAU, KECAMATAN KOTA

WAINGAPU KABUPATEN SUMBA TIMUR, PROPINSI NUSA

TENGGARA TIMUR

Nur Alvira Pascawati1

INTISARI

Latar Belakang: Hasil studi pendahuluan

yang dilakukan di Puskesmas Waingapu menyebutkan bahwa kasus ISPA berada diperingkat pertama dari 10 pola penyakit dengan persentase sebesar 15.37% pada tahun 2010. Variabel yang diteliti adalah tingakat pengetahuan, kebiasaan merokok pada saat bercengkrama bersama balita, jenis bahan bakar yang digunakan, penggunaan kayu bakar, atap,dinding dan lantai rumah.

Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Waingapu, Kecamatan Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Metode: Penelitian analitik observasional

menggunakan studi cross sectional. Analisis data menggunakan Chi Square dan Fisher’s

Exact Test dengan α=0.05 dengan jumlah

sampel 115. Teknik pengambilan sampel yang digunakan Accidental Sampling.

Sampel penelitian adalah sebagian populasi yang datang berobat dan bertempat tinggal

di wilayah kerja Puskesmas Waingapu serta memenuhi kriteria inklusi.

Hasil: Ada hubungan antara tingkat pengetahuan ISPA (RP=2.34;Sig=0.000), kebiasaan merokok pada saat bercengkrama bersama balita (RP=1.71;Sig=0.000), penggunaan kayu bakar (RP=1.91;Sig=0.000), pemakaian obat nyamuk bakar (RP=1.85;Sig=0.000), dan keadaan fisik rumah (atap,dinding, dan lantai) yang tidak memenuhi syarat, hasilnya secara berturu-turut sebagai berikut (RP=1.95;Sig=0.016,RP=2.09;Sig=0,000;

RP=2.25;Sig=0.001) dengan kejadian ISPA

pada balita

Kesimpulan: Ada hubungan antara tingkat

pengetahuan ISPA, kebiasaan merokok pada saat bercengkrama bersama balita, penggunaan kayu bakar, pemakaian obat nyamuk bakar, dan keadaan fisik rumah (atap, dinding, dan lantai rumah) yang tidak memenuhi syarat dengan kejadian ISPA pada balita.

Kata Kunci: ISPA, Pengetahuan, Perilaku dan kondisi fisik rumah

1

(2)

2

PENDAHULUAN

World Health Organization

(WHO), memperkirakan jumlah kematian ISPA setiap tahun sekitar 2,1 juta (20% dari seluruh kematian adalah balita). Selain itu juga WHO memperkirakan insidensi pneumonia di negara berkembang dengan angka kematian bayi diatas 40/1000 kelahiran hidup adalah 15-20% per tahun pada golongan usia balita. Kematian balita 90% disebabkan oleh ISPA1.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA),

merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di negara berkembang. ISPA menyebabkan 4% dari 15 juta perkiraan kematian pada anak berusia dibawah 5 tahun pada setiap tahunnya, sebanyak 2/3 kematian tersebut adalah bayi2. Penyakit saluran pernapasan berada di peringkat ke 10 yaitu dengan presentasi 5,1% sedangkan pneumonia berada di peringkat 12 dengan presentasi 3.8%3. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), merupakan penyakit infeksi yang menduduki peringkat pertama dari 10 pola penyakit terbanyak di puskesmas pada pasien rawat jalan di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yaitu sebanyak 996.946 kunjungan dengan persentase 24,47% dan jumlah penderita Pneumonia pada balita di tahun 2007 adalah 8.019 jiwa dengan persentase 2,02%. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian dari seluruh lapisan masyarakat4.

Berdasarkan data yang diperoleh, penyakit ISPA merupakan penyakit nomor 1 yang

menyerang balita. Penyakit ISPA pada balita terbanyak terdapat di Puskesmas Waingapu dengan persentase sebanyak 15,37%, setelah itu diikuti oleh Puskesmas-puskesmas lainnya secara berturut-turut sebagai berikut: Kambaniru, Lewa, Kawangu, Rambangaru, Baing, Mangili, Kananggar, Melolo, Kombapari, Malahar, Nggongi, Nggoa, Kataka, Lailunggi, Tanaraing, dan Tanarara5.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut, merupakan penyakit yang paling banyak diderita oleh anak-anak. Salah satu penyebab penyakit ISPA adalah pencemaran kualitas udara di dalam ruangan. Sumber pencemaran dalam ruangan adalah pembakaran bahan bakar yang digunakan untuk memasak, keadaan rumah dan kebiasaan menggunakan obat nyamuk bakar6. Berdasarkan penelitian sebelumnya, kejadian ISPA pada balita dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko antara lain: lantai rumah, kebiasaan merokok dan dinding7. Berdasarkan penelitian sebelumya atap merupakan faktor risiko terjadi ISPA pada balita8. Berdasarkan hasil Survei, rumah sehat yang terdapat di wilayah kerja Puskesmas Waingapu sebanyak 51% sedangkan rumah yang tidak sehat 49% yang diukur dari beberapa kategori seperti lantai masih tanah, atap tidak diberi plafon atau langit-langit dan bahkan atap rumah masih terbuat dari alang-alang serta dinding yang masih terbuat dari gedek (bambu yang dianyam). Kebiasaan merokok dalam rumah,

(3)

3

memasak menggunakan kayu bakar dan menggunakan obat nyamuk bakar pada saat tidur9.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut, pada balita juga dapat disebabkan karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan orang tua tentang tanda dan gejala ISPA. Pengetahuan berhubungan erat dengan pendidikan. pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kematian akibat ISPA

pada balita. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka akan lebih muda menerima pesan kesehatan dan cara pencegahan penyakit ISPA10. Presentasi tinggkat pendidikan masyarakat yang berada di Kecamatan Waingapu, berturut-turut adalah sebagai berikut: SMA (47,02%), SMP (21,32%), SD (12,68), Perguruan Tinggi (10,28%) dan Buta Huruf (8,7%)9.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional menggunakan studi

cross sectional, dilakukan di wilayah kerja

Puskesmas Waingapu, Kecamatan Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, NTT. Sampel dari penelitian ini adalah sebagian dari ibu yang datang mengantarkan balita untuk berobat dan ke Puskesmas Waingapu dan jaringanya (Puskesmas Keliling) serta bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Waingapu, Kecamatan Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, NTT dan memenuhi kriteria inklusi dengan jumlah sampel 115. Teknik pengambilan

sampel yang digunakan Non random

sampling dengan metode Accidental Sampling. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner dan Check-list. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengetahuan orang tua, perilaku yang meliputi kebiasaan merokok, jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak, dan penggunaan obat nyamuk bakar serta keadaan fisik rumah yang meliputi, atap, dinding, dan lantai sedangkan variabel terikat adalah kejadian ISPA pada balita. Analisis data menggunakan Chi Square dan

Fisher’s Exact Test dengan α=0.05.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Univariate

1. Karakteristik Responden

Karakteristik responden berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan disajikan dalam Tabel sebagai berikut:

(4)

4

Tabel 1. Karakteristik berdasarkan Tingkat Pendidikan responden dan Jenis Kelamin Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Waingapu

Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur NTT (Juni 2011)

Variabel Sakit Persentase

(%) Tidak Sakit Persentase (%) Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA/SMK

Tamat Perguruan Tinggi

5 47 23 9 2 5,8 54,7 26,7 10,5 2,3 3 3 8 13 2 10,3 10,3 27,6 44,8 6,9 Total 86 100,0 29 100,0 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 51 35 59,3 40,7 14 15 48,3 51,7 Total 86 100,0 29 100,0

Berdasarkan tabel diatas responden yang membawa balita untuk berobat ke Puskesmas rata-rata berpendidikan SD dan yang menderita ISPA sebanyak 47 orang (54,7%) dan yang tidak menderita ISPA

sebanyak 3orang (10,3%). Balita yang menderita ISPA paling banyak berjenis kelamin Laki-laki sebanyak 51 orang (59,3%) dan perempuan berjumlah 35 orang (40,7%).

2. Variabel Penelitian

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengetahuan orang tua, perilaku yang meliputi kebiasaan merokok, jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak, dan penggunaan obat nyamuk bakar serta keadaan fisik rumah yang meliputi, atap, dinding, dan lantai sedangkan variabel terikat adalah kejadian ISPA pada balita.

(5)

5 Tabel 2. Variabel Penelitian

Variabel Jumlah Orang Persentase (%) ISPA Ya Tidak 86 29 74,8 25,2 Total 115 100,0 Pengetahuan Rendah Tinggi 79 36 68,7 31,3 Total 115 100,0

Merokok pada saat bercengkrama bersama balita Ya Tidak 90 25 78,3 21,7 Total 115 100,0

Menggunakan kayu bakar Ya Tidak 94 79 81,7 68,7 Total 115 100,0

Menggunakan obat nyamuk bakar Ya Tidak 79 36 68,7 31,3 Total 155 100,0 Atap Baik Tidak baik 10 105 8,7 91,3 Total 115 100,0 Dinding Baik Tidak baik 18 97 15,7 84,3 Total 115 100,0 Lantai Baik Tidak baik 14 101 12,2 87,8 Total 115 100,0

(6)

6

Berdasarkan hasil analisis diatas balita yang menderita ISPA sebanyak 86 orang (74,8%), responden yang pengetahuan tentang ISPA rendah sebanyak 79 orang (68,7%), kebiasaan anggota keluarga merokok pada saat bercengkrama bersama balita sebanyak 90 orang (78,3%), kebiasaan menggunakan kayu bakar sebanyak 94 orang (81,7%),

menggunakan obat nyamuk bakar 79 orang (68,7%), atap rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 105 rumah (91,3%) dinding rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 97 rumah (84,3%) dan yang memiliki lantai yang tidak memenuhi syarat sebanyak 101 rumah (87,8%).

B. Hasil Bivariate

1. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan tentang ISPA dengan Kejadian ISPA pada

Balita

Hasil analisis Chi Square untuk melihat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian ISPA pada balita disajikan dalam tabel sebagai berikut

:

Tabel 3. Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang ISPA dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Waingapu Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur- NTT (Juni 2011)

Variabel ISPA RP CI (95%) Sig X2

Ya % Tidak % Pengetaguan Rendah Tinggi 72 14 83,7 16,3 7 22 24,1 75,9 2,34 1,541-3,550 0,000 35,8 Total 86 100,0 29 100,0

Berdasarkan hasil analisis menggunakan Chi Square diketahui bahwa pengetahuan yang rendah menyebabkan balita responden yang terkena ISPA lebih banyak dibandingkan dengan balita responden yang memiliki pengetahuan yang tinggi (baik). Dari 115 responden, yang pengetahuannya rendah dan balitanya terkena ISPA sebanyak 72 orang (83,7%) sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 7 orang (24,1%). Responden yang pengetahuannya tinggi (Baik) dan terkena ISPA sebanyak 14 orang (16,3%) sedangkan yang tidak terkena ISPA sebanyak 22 orang (75,9%). Secara

statistik bermakna, yaitu ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian ISPA pada balita (Sig=0,000) dan prevalensi ISPA pada balita akan meningkat 2,34 kali pada responden yang pengetahuannya rendah dibandingkan dengan responden yang pengetahuan tinggi (baik). Komponen pertanyaan yang diberikan untuk mengetahui tingkat pengetahuan responden adalah pengertian, gejala, penyebab, cara penularan, faktor pemberat, dampak, dan pencegahan. Dari komponen-komponen pertanyaan tersebut yang mengetahui pengertian dan cara penularan ISPA sebanyak 16,5%, faktor pemberat

(7)

7

terjadinya ISPA sebanyak 15,7%, gejala terjadinya ISPA sebanyak 27,8%, penyebab terjadinya ISPA sebanyak 32,2%, dampak dari ISPA sebanyak 32,2%, dan pencegahan ISPA 33%. Pengetahuan responden yang berada di wilayah Puskesmas Waingapu tentang ISPA rata-rata masih rendah, berdasarkan hasil analisis proporsi pengetahuan responden sebesar 31,3%, penyebabnya adalah pendidikan responden yang rendah yaitu rata-rata responden berpendidikan SD sebanyak 43,5% serta masih masih kurangya penyuluhan tentang ISPA, hal ini dapat meningkatkan angka kematian akibat penyakit ISPA

pada balita. Dengan semakin tinggiya pendidikan orang tua diharapkan akan lebih muda menerima pesan kesehatan dan cara pencegahan penyakit.

Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumya, yang menyatakan bahwa masyarakat yang berpendidikan rendah lebih berpotensi menderita penyakit ISPA 1,34 kali dibandingkan yang tingkat pendidikan tinggi dan secara statistik bermakna (Sig=0,000)11. Pengetahuan seseorang sangat dipengaruhi oleh pendidikan, semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pengetahuannya12.

2. Hubungan Kebiasaan Anggota Keluarga yang Merokok pada Saat Bercengkrama

Bersama Balita dengan Kejadian ISPA pada Balita

Hasil analisis Chi Square untuk melihat hubungan antara kebiasaan merokok pada saat bercengkrama

bersama balita dengan kejadian ISPA pada balita disajikan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 4. Hubungan Kebiasaan Merokok Pada Saat Bercengkrama Bersama Balita dengan Kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesma Waingapu

Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur- NTT (Juni 2011)

Variabel ISPA RP CI (95%) Sig X2

Ya % Tidak % Merokok Ya Tidak 74 12 86,0 14,0 16 13 55,2 44,8 1,71 1,126-2,605 0,000 12,2 Total 86 100,0 29 100,0

Berdasarkan hasil analisis menggunakan Chi Square diketahui bahwa kebiasaan merokok pada saat

bercengkrama bersama balita menyebabkan balita responden yang terkena ISPA lebih banyak dibandingkan

(8)

8

dengan responden yang tidak merokok pada saat bercengkrama bersama balita. Dari 115 responden, yang merokok pada saat bercengkrama bersama balita dan balitanya terkena ISPA sebanyak 74 orang (86%) sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 16 orang (55,2%). Responden yang tidak merokok pada saat bercengkrama bersama balita dan terkena ISPA sebanyak 12 orang (14,0%) sedangkan yang tidak terkena ISPA sebanyak 13 orang (44,8%). Secara statistik bermakna, yaitu ada hubungan antara kebiasaan merokok pada saat bercengkrama bersama balita dengan kejadian ISPA pada balita (Sig=0,000) dan prevalensi ISPA pada balita akan meningkat 1,71 kali pada responden yang memiliki kebiasaan merokok pada saat bercengkrama bersama balita dibandingkan dengan responden yang tidak merokok pada saat bercengkrama bersama balita. Rata-rata bapak dari balita adalah perokok, responden yang merokok sebanyak 87,8% dan mereka cenderung memiliki kebiasaan merokok dalam rumah. Proporsi responden yang merokok dalam rumah sebanyak 81,7%. Responden yang anggota keluarganya tidak merokok dapat terkena ISPA karena ketika ada orang lain yang datang bertamu dan perokok, responden segan

untuk memberitahukan atau melarang tamu tersebut untuk merokok di dalam rumah sedangkan perokok didaerah penelitian masih ada yang merokok dengan bahan dasar daun lontar yang menghasilkan asap yang sangat banyak karena tidak ada filter.

Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan yang menyatakan bahwa, balita dalam rumahnya terdapat perokok mempunyai risiko untuk menderita ISPA sebesar 1, 095 kali dibandingkan balita yang dalam rumahnya tidak terdapat perokok dan secara statistik bermakna (Sig=0,000)7. Di Indonesia kebiasaan merokok merupakan hal yang dianggap biasa dalan kehidupan sehari-hari. Asap pembakaran sebatang rokok mengandung bahan-bahan kimia beracun, seperti karbon monoksida, formaline, cadmium, nikel, plonium,tar dan lain sebagainya. Zat-zat kimia berbahaya ini jika terhirup oleh balita maka akan mengalami gangguan mekanisme pernapasan dan jika melebihi ambang batas maka akan menyebabkan kerusakan mekanisme kerja paru dan yang sangat membahayakan adalah kanker paru-paru13.

3. Hubungan Jenis Bahan Bakar yang Digunakan untuk Memasak dengan Kejadian ISPA

pada Balita

Hasil analisis Chi Square untuk melihat hubungan antara jenis bahan

(9)

9

bakar yang digunakan dengan kejadian ISPA pada balita disajikan dalam tabel

sebagai berikut

Tabel 5. Hubungan Jenis Bahan Bakar yang Digunakan untuk Memasak dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Waingapu

Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur- NTT (Juni 2011)

Variabel ISPA RP CI (95%) Sig X2

Ya % Tidak % Kayu Bakar Ya Tidak 77 9 89,5 10,5 17 12 58,6 41,4 1,91 1,156-3,160 0,000 13,9 Total 86 100,0 29 100,0

Berdasarkan hasil analisis menggunakan Chi Square diketahui bahwa penggunaan kayu bakar menyebabkan balita responden yang terkena ISPA lebih banyak dibandingkan dengan responden yang tidak menggunakan kayu bakar. Dari 115 responden, yang menggunakan kayu bakar dan balitanya terkena ISPA sebanyak 77 orang (89,5%) sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 17 orang (58,6%). Responden yang tidak

menggunakan kayu bakar dan terkena ISPA sebanyak 9 orang (10,5%) sedangkan yang tidak terkena ISPA sebanyak 12 orang (41,4%). Secara statistik bermakna, yaitu ada hubungan antara penggunakan kayu bakar dengan kejadian ISPA pada balita (Sig=0,000) dan prevalensi ISPA pada balita akan meningkat 1,91 kali pada responden yang memasak menggunakan kayu bakar dibandingkan dengan responden yang tidak memasak menggunakan kayu bakar. Hal ini disebabkan karena

responden pada saat memasak membawa balita ke dapur dan kamar tidur balita yang berdekatan dengan dapur bahkan masih ada yang tidur di dapur.

Responden yang memiliki kebiasaan membawa balita kedapur pada saat memasak sebanyak 91 orang (79.1%), responden yang memiliki kebiasaan tersebut, rata-rata balitanya menderita ISPA yaitu sebanyak 75 orang (87,2%). Kamar tidur balita yang berdekatan dengan dapur dan masih ada yang tidur di dapur sebanyak 76 orang (66,1%), rata-rata balita yang kamar tidurnya

berdekatan dengan dapur menderita ISPA sebanyak 67 orang (77,9%). Kebanyakan responden menggunakan kayu bakar karena faktor ekonomi yang rendah dan kayu bakar mudah didapat tanpa harus mengeluarkan biaya.

Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa, balita yang rumahnya menggunkan bahan bakar minyak tanah mempunyai risiko 10, 194 kali untuk menderita ISPA dari pada balita yang rumahnya menggunakan bahan bakar gas dan secara statistik bermakna (Sig=0,005)6. Pencemaran udara dilingkungan rumah akan merusak

(10)

10

mekanisme pertahanan paru-paru, seperti bahan bakar yang digunakan untuk memasak karena mengeluarkan asap dan bau yang tidak sedap sehingga mempermudah timbulnya gangguan pada

saluran pernapasan. Pemaran yang terjadi tergantung pada lamanya orang berada dalam dapur atau ruang lain yang telah terpapar oleh bahan pencemar14.

4. Hubungan Penggunaan Obat Nyamuk Bakar dengan Kejadian ISPA pada Balita

Hasil analisis Chi Square untuk melihat hubungan antara penggunaan obat nyamuk bakar dengan kejadian ISPA

pada balita disajikan dalam tabel sebagai berikut

Tabel 6. Hubungan Penggunaan Obat Nyamuk Bakar dengan ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Waingapu Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur NTT (Juni 2011)

Variabel ISPA RP CI (95%) Sig X2

Ya % Tidak % Obat nyamuk Ya Tidak 69 17 80,2 19,8 10 19 34,5 65,5 1,85 1,296-2,639 0,000 21,1 Total 86 100,0 29 100,0

Berdasarkan hasil analisis menggunakan

Chi Square diketahui bahwa penggunaan

obat nyamuk bakar menyebabkan balita responden yang terkena ISPA lebih banyak dibandingkan dengan responden yang tidak menggunakan obat nyamuk bakar. Dati 115 responden, yang menggunakan obat nyamuk bakar dan balitanya terkena ISPA sebanyak 69 orang (80,2%) sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 10 orang (34,5%). Responden yang tidak menggunakan obat nyamuk bakar dan terkena ISPA sebanyak 17 orang (19,8%) sedangkan yang tidak terkena ISPA sebanyak 19 orang (65,5%). Secara statistik bermakna, yaitu ada hubungan antara penggunakan obat nyamuk bakar dengan kejadian ISPA pada balita

(Sig=0,000) dan prevalensi ISPA pada balita akan meningkat 1,85 kali pada responden yang menggunakan obat nyamuk bakar dibandingkan dengan responden yang tidak memasak menggunakan kayu bakar. Obat nyamuk masih digunakan karena dalam satu kamar berpenghuni lebih dari 3 orang sedangkan kalau menggunakan kelambu tidak leluasa sehingga tidur tidak lelap.

Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa, balita yang rumahnya menggunkan obat nyamuk bakar mempunyai risiko 19,070 kali untuk menderita ISPA dari pada balita yang rumahnya tidak menggunakan (Sig=0,005)6. Gangguan pernapasan yang terjadi diakibatkan karena obat nyamuk

(11)

11

bakar yang mengeluarkan asap dan bau yang tidak sedap sehingga menyebabkan adanya pencemaran udara dilingkungan rumah. Lingkungan rumah yang tercemar oleh obat nyamuk bakar yang bermanfaat

sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernapasan6.

5. Hubungan Atap Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

Hasil analisis Fisher’s Exact Test untuk melihat hubungan antara atap rumah dengan kejadian ISPA pada balita disajikan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 7. Hubungan Atap rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Waingapu Kecamatan Kota Waingapu

Kabupaten Sumba Timur NTT (Juni 2011)

Variabel ISPA RP CI (95%) Sig X2

Ya % Tidak % Atap Tidak baik Baik 82 4 95,3 4,7 23 6 79,3 20,7 1,95 0,908-4,199 0,016 7,03 Total 86 100,0 29 100,0

Berdasarkan hasil analisi diatas diketahui bahwa, atap rumah yang tidak memenuhi syarat menyebabkan balita responden yang terkena ISPA lebih banyak dibandingkan dengan responden yang atap rumahnya memenuhi syarat. Dari 115 responden, yang atap rumahnya tidak memenuhi syarat dan balitanya terkena ISPA sebanyak 82 orang (95,3%) sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 23 orang (79,3%). Responden yang atap rumahnya memenuhi syarat dan terkena ISPA sebanyak 4 orang (4,7%) sedangkan yang tidak terkena ISPA sebanyak 6 orang (20,7%). Secara statistik bermakna, yaitu ada hubungan antara atap rumah dengan kejadian ISPA pada balita (Sig=0,016), Significance yang digunakan adalah Fisher’s Exact

Test karena ada sel yang nilainya kurang

dari 5 dan prevalensi ISPA pada balita

akan meningkat 1,95 kali pada responden yang atap rumahnya tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan responden yang atap rumahnya memenuhi syarat. Rata-rata rumah responden masih terbuat dari Seng tanpa plafon dan bahkan masih ada yang menggunakan alang-alang. Kebiasaan masyarakat untuk menyimpan hasil panen di langit-langi rumah masih dilakukan oleh beberapa responden. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa, balita yang menderita ISPA lebih banyak yang tinggal di rumah dengan jenis atap baik dibandingkan jenis atap yang kurang baik (OR=0,973) dan secara statistik tidak bermakna (Sig=0,239). Hal ini dapat terjadi karena data yang dipergunakan dalam penelitian tersebut adalah data sekunder yaitu menggunakan data hasil Riset Kesehatan Dasar

(12)

12

(Riskesdas) 2007, tidak semua daerah melaoporkan kondisi yang sebenarnya7.

Salah satu fungsi atap rumah yaitu melindungi masuknya debu dalam

rumah. Atap yang memenuhi syarat, sebaiknya diberi plafon atau langit-langit, agar debu tidak langsung masuk ke dalam rumah8.

6. Hubungan Dinding Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita Hasil analisis Fisher’s Exact Test

untuk melihat hubungan antara dinding

rumah dengan kejadian ISPA pada balita disajikan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 8. Hubungan Dinding Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Waingapu Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur NTT (Juni 2011)

Variabel ISPA RP CI (95%) Sig X2

Ya % Tidak % Dinding Tidak baik Baik 79 7 91,9 8,1 18 11 62,1 37,9 2,09 1,165-3,766 0,000 14,6 Total 86 100,0 29 100,0

Berdasarkan hasil analisis diatas diketahui bahwa, dinding rumah yang tidak memenuhi syarat menyebabkan balita responden yang terkena ISPA lebih banyak dibandingkan dengan responden yang dinding rumahnya memenuhi syarat. Responden yang dinding rumahnya tidak memenuhi syarat dan balitanya terkena ISPA sebanyak 79 orang (91,9%) sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 18 orang (62,1%). Responden yang dinding rumahnya memenuhi syarat dan terkena ISPA sebanyak 7 orang (8,1%) sedangkan yang tidak terkena ISPA sebanyak 11 orang (37,9%). Secara statistik bermakna, yaitu ada hubungan antara dinding rumah dengan kejadian ISPA pada balita (Sig=0,000),

Significance yang digunakan adalah Fisher’s Exact Test karena ada sel yang

nilainya kurang dari 5 dan prevalensi ISPA pada balita akan meningkat 2,09

kali pada responden yang dinding rumahnya tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan responden yang dinding rumahnya memenuhi syarat. Rata-rata responden dinding rumah masih terbuat dari ayamam bambu (gedek). Bambu jika dibiyarkan dalam jangka waktu yang panjang maka akan lapuk, debu yang dihasilkan akan dapat mengganggu saluran pernapasan.

Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa, balita yang tinggal di rumah dengan jenis dindingnya kurang baik memilki risiko untuk menderita ISPA sebesar 1,069 kali dibanding balita yang tinggal dengan jenis dindingnya baik dan secara statistik bermakna (Sig=0,002)7. Rumah yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu dan bambu dapat menyebabkan penyakit pernafasan yang berkelanjutan seperti ISPA, karena angin malam yang langsung masuk ke dalam

(13)

13

rumah. Jenis dinding mempengaruhi terjadinya ISPA, karena dinding yang sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu. Debu akan mengganggu sistem pernapasan dan merupakan media yang baik untuk

perkembang biakan kuman8. Bahan bangunan tidak terbuat dari bahan yang dapat melepas zat-zat yang dapat membahayakan kesehatan antara lain debu15.

7. Hubungan Lantai Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

Hasil analisis Fisher’s Exact Test untuk melihat hubungan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita disajikan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 9. Hubungan lantai rumah dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Waingapu Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur NTT (Juni 2011)

Variabel ISPA RP CI (95%) Sig X2

Ya % Tidak % Lantai Tidak baik Baik 81 5 94,2 5,8 20 9 69,0 31,0 2,25 1,105-4,565 0,001 12,9 Total 86 100,0 29 100,0

Berdasarkan hasil analisis diatas diketahui bahwa, lantai rumah yang tidak memenuhi syarat menyebabkan balita responden yang terkena ISPA lebih banyak dibandingkan dengan responden yang lantai rumahnya memenuhi syarat. Responden yang lantai rumahnya tidak memenuhi syarat dan balitanya terkena ISPA sebanyak 81 orang (94,2%) sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 20 orang (69,0%). Responden yang lantai rumahnya memenuhi syarat dan terkena ISPA sebanyak 5 orang (5,8%) sedangkan yang tidak terkena ISPA sebanyak 9 orang (31,0%). Secara statistik bermakna, yaitu ada hubungan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita (Sig=0,001),

Significance yang digunakan adalah Fisher’s Exact Test karena ada sel yang

nilainya kurang dari 5 dan prevalensi ISPA pada balita akan meningkat 2,25 kali pada responden yang lantai rumahnya tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan responden yang lantai rumahnya memenuhi syarat, hal ini dapat terjadi karena beberapa alasan. Rata-rata lantai rumah responden masih terbuat dari tanah, semen kasar (tidak diplester) serta masih ada rumah panggung. Rata-rata responden masih kurang memperhatikan kebersihan lantai rumah, karena responden yang memiliki kebiasaan menyapu lantai rumah kurang dari 1 kali dalam sehari sebanyak 81 orang (70,4%) dan balita responden yang menderita ISPA karena kurangnya kebersihan lantai sebanyak 70 orang (81,4%). Balita responden yang dibiarkan bermain ditanah sebanyak 84 orang

(14)

14

(73,0%), dan balita yang menderita ISPA karena dibiarkan bermain di tanah sebanyak 72 orang (83,7%). Keadaan ini semakin diperparah dengan adanya kebiasaan dari masyarakat yang memiliki rumah panggung, mereka menempatkan hewan ternak pada malam hari dibawah rumah demi keamanan hewan-hewan tersebut.

Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa, balita yang tinggal di rumah dengan jenis lantai kurang baik memilki risiko untuk menderita ISPA sebesar 1,151 kali dibanding balita yang tinggal dengan jenis lantainya baik dan secara statistik bermakna (Sig=0,000)7. Lantai rumah

dapat mempengaruhi kejadian penyakit ISPA karena lantai yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik untuk perkembang biakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab8. Bahan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, jadi paling tidak lantai perlu diplester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan. Bahan bangunan tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikro organisme patogen15.

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Waingapu 2. Ada hubungan antara kebiasaan

merokok anggota keluarga pada saat bercengkrama bersama balita dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Waingapu

3. Ada hubungan antara jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Waingapu

4. Ada hubungan antara pemakaian obat nyamuk bakar dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Waingapu

5. Ada hubungan antara atap rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Waingapu 6. Ada hubungan antara dinding rumah

dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Waingapu 7. Ada hubungan antara lantai rumah

dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Waingapu.

B. Saran

(15)

15

Dapat meningkatkan sistem kewaspadaan dini terhadap kejadian ISPA pada balita melalui peningkatan pengetahuan, perilaku dan sanitasi fisik rumah dengan cara pemberian penyuluhan oleh petugas kesehatan kepada setiap ibu, misalnya pada saat Posyandu.

2. Bagi Masyarakat

Dapat mengurangi perilaku yang berisiko untuk terjadi ISPA pada balita, misalnya tidak merokok pada saat bercengkrama dengan balita, tidak merokok dalam rumah, tidak

membawa balita pada saat memasak, tidak membiarkan balita bermain di tanah serta lebih memperhatikan kebersihan rumah.

3. Bagi Peneliti Lain

Untuk peneliti lain yang ingin melakukan penelitian tentang ISPA pada balita dapat menambah variabel penelitian selain variabel yang telah diteliti dengan menggunakan desain penelitian yang lebih tinggi derajatnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bahar, B., St. Fatimah & Muh.Kidri A. (2007). Evaluasi Efek Terapeutik Terhadap Berat dan Lama ISPA serta Status Gizi Anak Balita. Ebers Papyrus-Vol 14. No

1, April 2008: 9-17.

2. Susi, N. [Editor]. (2002).

Penanggulangan ISPA pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang, Jakarta: EGC.

3. Departemen Kesehatan RI. (2011).

Riset Kesehatan Dasar Indonesia 2007. [Internet] Yogyakarta: http://www. depkes.go.id/. [Diakses, 16-08-2011; 23:30] 4. Dinas Kesehatan Nusa Tenggara

Timur. (2011). Profil Kesehatan

Propinsi NTT 2007. [Internet]

Yogyakarta: http://www.

nttprov.go.Id/ntt/indeks.php. [Diakses, 11-08-2011; 20:12] 5. Dinas Kesehatan Sumba Timur.

(2011). Laporan Penemuan Kasus

ISPA per Puskesmas

6. Nurmaini, I. (2004). Faktor-Faktor

kesehatan Lingkungan perumahan yang Mempengaruhi Kejadian ISPA pada Balita di Perumahan Nasional (Perumnas) Mandala, Kecamatan Percut, Kabupaten Deli Serdang. Majalah Kedokteran Nusantara- Vol 38. No 3, September 2005: 232-236.

7. Hapsari, D., Suraptini. & Miko, H.(2007). Faktor-Faktor Pencemaran dalam Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Indonesia.

(16)

16

Jurnal Ekologi Kesehatan-Vol. 9. No 2, Juni 2010: 1238-1247. 8. Oktaviani, V. (2009). Hubungan

antara Sanitasi Fisik Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Cepago, Kabupaten Boyolali. Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

9. Puskesmas Waingapu. (2011).

Profil Kesehatan Puskesmas Waingapu 2011.

10. Sulistyoriny, S dan Anak, A. (2006). Determinan Sanitasi Rumah dan Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Kejadian ISPA pada Anak Balita serta Manajemen Penanggulangan di Puskesmas.

Jurnal Kesehatan Lingkungan-Vol 3. No 1, Juli 2006: 49-59

11. Mutiatikum dan Noer, E. (2007).

Penyakit ISPA Hasil Riskesdas di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. 2009: 50-55.

12. Soekanto, S. (2003). Sosiologi

Suatu Pengantar. Edisi baru. Cetakan ke-36, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

13. Triswanto, S. (2007). Stop Smoking, Yogyakarta: Progresif

Books.

14. Sulistyorini, S dan Nur, A. (2004).

Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik dengan Kejadian ISPA pada Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan-Vol 1. No 2, Januari 2005: 110-119.

15. Mentri Kesehatan RI. (2002).

Keputusan Mentri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/Sk/VII/1990 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan.

(17)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, renstra ini akan menjadi “jembatan” yang akan mengantar FKIK Untad meraih mimpi tersebut melalui beberapa tahapan, antara lain : peningkatan

pada penderita diare anak di Puskesmas Rawat Inap kota Pekanbaru yaitu sebanyak 10 orang (10,41%) yang lebih banyak didapat pada anak laki-laki dengan usia 1-3 tahun..

Faktor penentu sosial kesehatan fisik dan mental pada populasi orang dewasa yang lebih tua, jaringan sosial yang kuat dengan tingkat dukungan sosial yang tinggi

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Kelloway, Turner, Barling dan Loughlin (2012) yang membuat penyelidikan tentang hubungan antara persepsi pekerja terhadap gaya

dan menulis, berapa waktu yang diperlukan untuk setiap kegiatan pada garis waktu. 2) Menulis: Membantu peserta didik menulis informasi tentang waktu, kegiatan, dan

Pada kesempatan yang berbahagia ini pula kami selaku Pengurus Pemuda Peduli Dhuafa Gresik mengucapkan terima kasih atas bantuan yang telah diberikan oleh

Untuk menguji hipotesis mengenai perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan dipanti asuhan dengan remaja yang sejak masa

Meskipun demikian, untuk meningkatkan efisiensi dalam penaksiran volume tegakan dengan tidak mengurangi ketelitian yang diharapkan, diusahakan dalam penyusunan tabel