• Tidak ada hasil yang ditemukan

Samuel Clementh Pasaribu (Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Trisakti) (

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Samuel Clementh Pasaribu (Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Trisakti) ("

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

ANALISIS YURIDIS MENGENAI TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH SURIAH TERHADAP PENGGUNAAN GAS SARIN DALAM

PENYERANGAN KOTA KHAN SHAYKHUN DI SURIAH BERDASARKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Samuel Clementh Pasaribu

(Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Trisakti) (Email: samclementh00@gmail.com)

Aji Wibowo

(Dosen Fakultas Hukum Trisakti) (Email: aji.w@trisakti.ac.id)

ABSTRAK

Konflik bersenjata yang terjadi di Suriah merupakan konflik bersenjata non- internasional, yang melibatkan pasukan bersenjata pemerintah melawan pasukan pemberontak. Tindakan pemerintah Suriah yang menjatuhkan bom yang berisi gas sarin tepat didaerah pemukiman warga penduduk sipil menimbulkan permasalahan, yakni apakah tindakan penggunaan gas sarin tersebut sah dalam hukum humaniter internasional, serta bagaimana bentuk tanggung jawab pemerintah Suriah dalam serangan gas sarin tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dimana sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis dengan sumber data sekunder. Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka penulis berkesimpulan bahwa tindakan pemerintah Suriah sudah melanggar kaidah-kaidah yang terdapat dalam hukum humaniter internasional dan juga menimbukan tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh pemerintah Suriah, diantaranya adalah melakukan pemulihan dan menghukum pelaku yang melakukan dan memberi perintah untuk menggunakan gas sarin dalam serangan ke kota Khan Shaykhun.

Kata Kunci: Tanggung Jawab Pemerintah, Hukum Humaniter.

(2)

2 A. Pendahuluan

Dalam sejarah umat manusia, perang merupakan suatu bentuk hubungan yang hampir sama tuanya dengan peradaban manusia. Menurut Quincy Wright definisi perang adalah:1 “war will be considered the legal conditionwhich equally permits two or more hostile groups to carry out aconflict by armed forces. “

Perang adalah salah satu cara dalam menyelesaikan sebuah sengketa, dimana perang merupakan last resort (opsi terakhir) dalam menyelesaikan sebuah sengketa. Oleh karena perang merupakan salah satu cara dalam penyelesaian sengeta, maka dibuatlah suatu pengaturan hukum yang mengatur mengenai perang, yang pada awalnya disebut Laws of War (Hukum Perang), lalu kemudian berkembang menjadi Laws of Armed Conflict (Hukum Sengketa Bersenjata) dan yang saat ini dikenal dengan International Humanitarian Law disingkat IHL (Hukum Humaniter Internasional). Profesor Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang ke dalam dua kelompok, yaitu:2

1. Jus ad bellum, yaitu hukum tentang perang;

2. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang yang kemudian dibagi lagi menjadi 2, yaitu:

a. Hukum yang mengatur cara berperang, yang biasa disebut The Hague Laws.

b. Hukum yang mengatur perlindungan korban perang, yang biasa disebut The Geneva Laws.

Tujuan dari dibentuknya hukum humaniter adalah untuk menjaga agar suatu perang dilakukan dengan batasan-batasan tertentu agar sesuai dengan 3 asas utama dari hukum humaniter, yaitu:3

1 Fadillah Agus, Hukum Humaniter Suatu Perspketif (Jakarta: Pusat Studi Hukum Humaniter Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 1997). h. 1.

2 Arlina Permanasari, et.al.Pengantar Hukum Humaniter (Jakarta: Penerbit ICRC, 1999), h. 6.

3 Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter (Jakarta: Penerbit PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 34.

(3)

3

1. Military necessity (asas kepentingan militer), yang bermakna bahwa pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.

2. Humanity (asas kemanusiaan), yang bermakna bahwa pihak yang bersengketa dilarang menggunakan cara-cara yang dapat menyebabkan luka dan/atau penderitaan yang berlebihan.

3. Chivalry (asas kesatriaan), yang bermakna bahwa didalam peperangan, kejujuran harus diutamakan, seperti tidak menggunakan alat-alat yang terlarang dan cara-cara yang tidak terhormat.

Salah satu pembatasan yang diatur di dalam hukum humaniter adalah mengenai penggunaan senjata, dimana terdapat kategori senjata yang boleh digunakan dalam perang dan senjata yang tidak boleh digunakan dalam perang.

Yang termaksud kedalam kategori senjata yang dilarang untuk digunakan dalam peperangan adalah Weapon of Mass Destruction atau WMD (Senjata Pemusnah Massal) seperti bom atom, Biological weapon (Senjata Biologis) seperti wabah virus cacar, dan Chemical Weapon (Senjata Kimia) seperti gas sarin dan gas klorin.

Pada tahun 2013 dan 2017, Pemerintah Suriah menggunakan gas sarin dalam serangan yang ditujukan kepada pemberontak di kota Ghouta (2013) dan kota Khan Shaykhun (2017), lalu pada tahun 2018 Pemerintah Suriah menggunakan gas klorin dalam penyerangan ke kota Douma.4

Berdasarkan uraian diatas, dapat diuraikan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah tindakan penggunaan gas sarin oleh Pemerintah Suriah dalam Penyerangan Kota Khan Shaykhun di Suriah merupakan tindakan penyerangan yang sah menurut Hukum Humaniter Internasional?

4 Timeline of Syrian Chemical Weapon Activity” (On-Line), tersedia di:

https://www.armscontrol.org/factsheets/Timeline-of-Syrian-Chemical-Weapons-Activity (Maret 2019).

(4)

4

2. Bagaimana tanggung jawab Pemerintah Suriah terhadap tindakan penggunaan gas sarin dalam Penyerangan Kota Khan Shaykhun di Suriah menurut Hukum Humaniter Internasional?

B. Metode Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah penelitian hukum normatif, dimana penelitian dilakukan dengan cara meneliti data sekunder atau bahan pustaka sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur yang berkaitan dengan kasus yang dibahas.5 Penelitian ini dilakukan dengan mengadakan studi kepustakaan dengan meneliti bahan-bahan berupa buku- buku atau literatur, perjanjian internasional atau konvensi yang berkaitan dengan permasalahan karya tulis ini.

Sifat dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu memberikan gambaran dan menganalisa secara cermat, lengkap, dan sistematis karakteristik atau ciri-ciri suatu keadaan, perilaku suatu individu, atau perilaku suatu kelompok dengan memperoleh data mengenai hubungan antara gejala yang satu dengan gejala lainnya.6 Yang berarti penelitian ini nantinya akan memberikan gambaran mengenai ketentuan dalam instrumen hukum humaniter yang berkaitan dengan kasus yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu mengenai gas sarin.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang sudah dikumpulkan terlebih dahulu yang dapat berupa buku-buku, literatur, undang-undang, perjanjian internasional, dan konvensi ydang berhubungan dengan objek yang diteliti, yang teridiri dari bahan hukum primer yang berupa norma-norma atau kaidah- kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan/atau bahan hukum yang berlaku dan bahan hukum sekunder yang merupakan bahan hukum yang akan menjelaskan bahan hukum primer, yang didapat dengan menghubungkan permasalahan yang dihadapi

5 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Ilmu Hukum. (Depok: UI-Press, 2010), h.53.

6 Ibid., h.9.

(5)

5

dengan peraturan perundang-undangan, hasil-hasil penelitian yang disajikan dalam bentuk laporan, hasil karya dari kalangan hukum berupa buku, jurnal, majalah, artikel atau makalah ilmiah dan lain-lain yang berkaitan dengan Hukum Humaniter Internasional serta mengakses data melalui internet.

C. Hasil Penelitian

1. Awal Mula Konflik Bersenjata di Suriah

Awal konflik Suriah dipicu oleh beberapa masalah diantaraya kesenjangan ekonomi, kebijakan yang terlalu berpihak ke militer karena hampir 50% dana dialokasikan ke bidang militer, isu perang Sunni-Syiah yang terus didengungkan oleh sebagian media-media Barat.7 Pada tanggal 6 Maret 2011, lima belas anak sekolah berusia antara 10-15 tahun membuat coretan di dinding sekolah yang berbunyi As Shaab Yoreed Eskaat el Nizam yang berarti “Rakyat Ingin Menumbangkan Pemerintahan”.8 Kepolisian pemerintah Suriah menangkap para pelajar itu kemudian memenjarakan mereka selama satu bulan. Selama dalam masa penahanan, para pelajar itu mengalami penyiksaan, hal itu diketahui setelah para pelajar itu dibebaskan.

Mengetahui penyiksaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, tanggal 11 Maret 2011 masyarakat kemudian melakukan aksi demontrasi yang digelar di Kota Barat-Daya Daraa yang memprotes penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Pasukan keamanan berupaya membubarkan demonstrasi, namun para demonstran tak bergeming, sampai akhirnya pasukan keamanan melepaskan tembakan ke arah para demonstran. Pada 23 Maret 2011, demonstrasi kembali melanda kota Daraa, pasukan keamanan kembali melepaskan tembakan untuk membubarkan para demonstran, pada kasus ini 20 orang demonstran dikabarkan tewas.

Pada 8 April 2011, pasukan keamanan menembaki demonstran di beberapa kota Suriah, menewaskan sedikitnya 35 orang. Menyusul sebuah

7 M. Agastya, Arab Spring: Badai Revolusi Timur Tengah. (Jogjakarta: IRSCiSoD, 2013), h.

173.

8 Trias Kuncahyono, Musim Semi di Suriah: Anak-anak Penyulut Revolusi. (Jakarta: Kompas, 2012), h. 114.

(6)

6

laporan bahwa jumlah korban tewas telah mencapai lebih dari 200 orang.

Muncullah kecaman internasional terhadap pemerintah Suriah. Pasukan keamanan terus menggunakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa di seluruh negeri, Assad menunjuk kabinet baru dan berjanji untuk melembagakan reformasi politik dan mencabut hukum darurat Suriah. Pada tanggal 19 April kabinet mencabut undangundang darurat dan membubarkan Mahkamah Agung Keamanan Negara Suriah.

2. Penggunaan Gas Sarin sebagai Senjata oleh Pemerintah Suriah dalam Penyerangan Kota Khan Shaykhun

Pada 4 April 2017, sebuah serangan senjata kimia kembali dilakukan di kota Khan Shyakhun yang menyebabkan lebih dari 100 penduduk sipil termaksud wanita dan anak-anak menjadi korban. Dikutip dari laporan Organization for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW) Fact- Finding Mission, para korban yang berhasil diwawancara menceritakan bahwa mereka mendengar suara jet-jet tempur terbang diatas pemukiman warga pada pagi hari dimana kebanyakan warga masih pada tertidur atau sedang bersiap-siap untuk beraktivitas. Kemudian mereka mendengar suara ledakan yang diikuti dengan jatuhnya korban yaitu penduduk sipil yang berada area terbuka atau diluar rumahya.

Berdasarkan sampel yang diperoleh oleh OPCW Fact-Finding Mission, mereka mengkonfirmasi bahwa serangan di kota Khan Shaykhun merupakan serangan kimia dengan senjata gas sarin. Sebuah organisasi yang bernama Syrian Archive, juga ikut melaporkan serangan di kota Khan Shaykhun tersebut.

Dikutip dari website resmi mereka, mereka mengatakan bahwa sekitar pukul 6.45 pagi waktu setempat, sebuah pesawat tempur berjenis sukhoi-22 yang dioperasikan oleh pasukan tempur Suriah menjatuhkan 3 bom biasa dan 1 bom yang berisi gas sarin di tengah kota Khan Shaykhun. Serangan ini menewaskan sedikitnya 83 orang, dimana diantaranya 23 perempuan dan

(7)

7

28 anak-anak serta melukai sedikitnya 293 orang dan 103 diantaranya merupakan anak-anak.9

3. Unsur Kimia dan Efek Gas Sarin

Sarin merupakan cairan yang tidak berbau dan tidak berwarna yang pada mulanya digunakan sebagai bahan pestisida.10 Sarin diklasifikasikan sebagai senjata pemusnah massal dalam Resolusi PBB Nomor 687 dan bahkan berada dalam Daftar 1 kategori Zat Kimia Beracun nomor 1.

Sarin merupakan senjata kimia yang diklasifikasikan sebagai agen saraf, hal ini berarti sarin akan bekerja dengan menyerang fungsi sistem saraf dalam tubuh.11 Dalam beberapa detik setelah terpapar sarin, kontrol otot polos kemudian akan terhambat. Otot polos adalah jaringan yang memastikan organ seperti lambung, usus dan kandung kemih bekerja secara efektif. Akibatnya, akan ada produksi air mata berlebihan, diikuti pula oleh air liur, air kencing, feses, dan muntah yang tak terkendali. Penglihatan juga kabur dan pernapasan jadi sangat terbatasi karena dada terasa sesak. Jika seseorang telah terpapar dengan jumlah sarin yang mematikan, tubuh akan mulai mengalami kejang hebat dan kemudian lumpuh dan kemudian akan meninggal.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, sarin 26 kali lebih mematikan daripada sianida. Setelah menghirup langsung dosis yang mematikan, dibutuhkan waktu sekitar 60 detik untuk korban bisa meninggal. Korban serangan sarin tidak selalu terbunuh, namun mereka menderita dan tersiksa sangat parah selama beberapa menit sampai efek dari sarin tersebut menghilang.

9 Sarin Gas Attack on Khan Sheykoun” (On-line), tersedia di: https://syrianarchive.

org/en/collections/chemicalweapons/database?incident=KHA040417 ( 4 April 2017).

10 Sarin diambil dari nama empat penemunya, Gerhard Schrader, Otto Ambros, Gerhard Ritter, and Hans-Jürgen von der Linde. Awalnya sarin dikembangkan sebagai pestisida, namun para penemunya menyadari bahwa sarin tidak hanya membunuh serangga, melainkan juga dapat membunuh manusia.

11 Facts about Sarin” (On-line), tersedia di: https://emergency.cdc.gov/ agent/sarin/basics/

facts.asp (4 April 2018).

(8)

8

Sarin merupakan bahan kimia yang rentan. Bahan kimia ini mudah rusak dalam waktu singkat dan memiliki masa aktif hanya beberapa minggu.

D. Pembahasan

1. Larangan Penggunaan Gas Sarin sebagai Sarana dan Alat menurut Instrumen Hukum Humaniter Internasional

Penggunaan gas sarin dalam penyerangan kota Khan Shaykhun oleh pasukan pemerintah merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum humaniter internasional, yakni:

a. Humanity (Kemanusiaan);

b. Necessity (Kepentingan);

c. Proportionality (Proporsionalitas);

d. Chivalry (Kesatriaan);

e. Distinction (Pembedaan);

f. Prohibiation of causing unnecessary suffering (Pelarangan menyebabkan penderitaan yang tidak perlu);

Selain itu penggunaan gas sarin juga melanggar Pasal 23 Hague Regulations. Hal ini dapat terlihat jelas sebagaimana dalam Konvensinya yang berjudul Convention with respect to the Laws and Customs of War on Land Pasal 23 Hague Regulations yang tertulis:12 “Besides the prohibitions provided by special Conventions, it is especially prohibited:

(a.) To employ poison or poisoned arms;

(b.) To kill or wound treacherously individuals belonging to the hostile nation or army;

(c.) To kill or wound an enemy who, having laid down arms, or having no longer means of defence, has surrendered at discretion;

(d.) To declare that no quarter will be given;

(e.) To employ arms, projectiles, or material of a nature to cause superfluous injury;

(f.) To make improper use of a flag of truce, the national flag, or military· ensigns and the enemy's uniform, as well as the distinctive badges of the Geneva Convention;

12 Pasal 23 Hague Regulations.

(9)

9

(g.) To destroy or seize the enemy's property, unless such destruction or seizure be imperatively demanded by the necessities of war. ”

Pengunaan gas sarin secara jelas dilarang dalam artikel 23 huruf (a) dan (e) Hague Regulations dimana gas sarin merupakan senyawa beracun yang dapat menyebabkan penderitaan yang tidak perlu. Kemudian penggunaan gas sarin juga bertentangan dengan Protokol Genewa 1925 tentang Larangan Penggunaan Metode yang Menyebabkan Sesak Napas, Racun atau Gas Beracun, dan Bakteriologis dalam Konflik Bersenjata, dimana Suriah merupakan salah satu negara penandatangan protokol ini. Dalam protokol ini terdapat deklarasi bahwa negara pihak setuju untuk melarang penggunaan metode yang menyebabkan sesak napas, penggunaan racun atau gas beracun, dan bakteriologis dalam konflik bersenjata dan menyatakan bahwa senjata seperti itu dikutuk oleh masyarakat yang beradab.

Penggunaan gas sarin juga bertentangan dengan Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dimana dalam Pasal melarang kekerasan terhadap jiwa manusia, terutama pembunuhan. Hal ini dapat dilihat dalam ayat (1) yang tertulis:13

“To this end, the following acts are and shall remain prohibited at any time and in any place whatsoever with respect to the above-mentioned persons:

a) Violence to life and person, in particular murder of all kinds, mutilation, cruel treatment and torture; “

Tindakan pemboman dengan menggunakan pesawat untuk menjatuhkan bom yang berisi gas sarin di tengah kota Khan Shaykhunmerupakan pelanggran terhadap Pasal 25 Hague Regulations yang berbunyi:14

”The attack or bombardement, by whatever means, of towns, villages, dwellings, or buildings which are undefended is prohibited.“

13 Geneva Convention for The Amelioration of The Good Condition of The Wounded and Sick In Armed Forces In the Field of 12 August 1949, Artikel III.

14 Pasal 25 Hague Regulations.

(10)

10

Pemerintah Suriah terbukti melanggar beberapa ketentuan yang terdapat dalam Protokol ini dalam serangan gas sarin di kota Khan Shaykhun. Dalam Pasal 13 Protokol Tambahan II 1977 mengenai perlindungan bagi penduduk sipil yang berbunyi:15

“Perlindungan bagi penduduk sipil:

a) Penduduk sipil dan orang-orang sipil (individual civilians) harus memperoleh perlindungan umum terhadap bahaya yang timbul dari operasi-operasi militer. Agar perlindungan itu berjalan baik, maka ketentuan-ketentuan berikut ini harus ditaati dalam segala keadaan.

b) Penduduk sipil maupun orang-orang sipil tidak boleh menjadi sasaran serangan. Dilarang melakukan tindakan-tindakan atau ancaman-ancaman kekerasan yang tujuan utamanya adalah menyebarkan teror dikalangan penduduk sipil.

c) Penduduk sipil harus memperoleh perlindungan sesuai ketentuan dalam Bab ini, kecuali dan apabila mereka turut serta langsung dalam permusuhan. “

Penggunaan gas sarin juga telah melanggar Chemical Weapon Convention (1993), dimana Suriah juga merupakan negara peserta. Hal ini menurut penulis dapat dilihat dari Pasal 1 Chemical Weapon Convention 1993, dimana dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa setiap negara peserta konvensi ini, baik dalam keadaan apapun dilarang untuk mengembangkan, memproduksi, menyimpan serta memindahtangankan secara langsung maupun tidak langsung senjata kimia kepada siapa saja.

Tindakan pemerintah Suriah dengan menggunakan gas sarin menandakan bahwa Suriah telah mengembangkan, memproduksi dan menyimpan gas sarin meskipun telah menjadi peserta dalam Konvensi ini.

Kemudian dalam ayat (2) dan (4) Pasal ini dinyatakan bahwa negara peserta wajib untuk menghancurkan segala senjata kimia dan fasilitas pengembangan atau penyimpanan senjata kimia yang berada dalam jurisdiksi atau wilayah negara masing-masing negara peserta konvensi.

Fakta bahwa pada tahun 2017 tedapat serangan dengan gas sarin

15 Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II), Artikel XIII.

(11)

11

menunjukan bahwa pemerintah Suriah benar-benar mengabaikan Konvensi ini.

2. Tanggung Jawab Pemerintah Suriah atas Serangan Gas Sarin di Kota Khan Shaykhun

Pemerintah Suriah diwajibkan untuk memberikan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi dari tindakan penggunaan senjata kimia yang berupa gas sarin. Bentuk tanggung jawab yang dapat diberikan oleh pemerintah Suriah antara lain:

a. Reparation (pemulihan) yang dapat berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Menurut Pasal 3 Konvensi Den Haag IV 1907, jika ada pihak yang melanggar konvensi ini, maka pihak yang melanggar tersebut harus membayar kompensasi. Pihak tersebut harus bertanggung jawab terhadap semua tindakan yang dilakukan oleh setiap orang yang menjadi bagian dari angkatan bersenjatanya. Kompensasi yang dimaksud dalam Pasal ini berupa kompensasi materil, hal ini sesuai dengan penggunaan kata pay yang merujuk pada pembayaran sejumlah uang. Rehabilitasi merupakan kewajiban untuk memulihkan korban secara medis dan sosial. Pemerintah Suriah juga wajib memberikan rehabilitasi khususnya rehabilitasi sosial bagi para korban yang berhasil selamat dari serangan gas sarin tersebut. Hal ini dikarenakan gas sarin mempunyai efek yang mengerikan ketika digunakan terhadap manusia.

b. Selain itu tindakan penggunaan gas sarin dalam penyerangan kota Khan Shaykhun termaksud kedalam kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, sehingga pemerintah Suriah bertanggung jawab untuk mencari dan mengadili pelaku dan pemberi perintah dalam penggunaan gas sarin dalam penyerangan kota Khan Shaykhun. Dalam hal ini berlaku dengan prinsip exhaustion of local remedies, yaitu sebelum suatu kasus diajukan ke pengadilan internasional, upaya hukum yang harus ditempuh terlebih dahulu adalah upaya hukum yang disediakan negara yang dituntut (local remedies). Namun jika melalui hukum

(12)

12

nasionalnya gagal dan/atau terbukti negara Suriah tidak bersedia untuk mengadili pelaku, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 17 ayat (1) Statuta Roma 1998, maka kasus tersebut dapat dibawa ke pengadilan internasional, dalam hal ini Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court-ICC). Kasus serangan gas sarin di kota Khan Shaykhun tersebut dapat diajukan untuk diadili ke International Criminal Court (ICC). Hal ini dikarenakan ICC memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma 1998. Berdasarkan ayat (b), Pasal 13 Statuta Roma 1998, disebutkan bahwa Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) dapat meneruskan kejahatan yang tampak telah dilakukan itu kepada Penuntut Umum sehingga Mahkamah dapat melaksanakan juridiksinya walaupun Suriah bukan pihak dalam Statuta ini. Hal ini dikarenakan, atas dasar Pasal 25 Piagam PBB, DK-PBB dapat mengeluarkan suatu resolusi/keputusan yang harus diterima dan dilaksanakan oleh semua anggota PBB.

E. Penutup

1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang penulis telah uraikan, maka dapat disimpulkan bahwa:

a. Hukum Humaniter Internasional melarang penggunaan gas sarin sebagai senjata dalam konflik bersenjata Internasional dan non- Internasional. Dalam Pasal 22 Hague Regulations, tertulis bahwa hak para pihak dalam menggunakan alat-alat untuk melukai musuh adalah tidak tak terbatas. Kemudian dalam Pasal 23 Hague Regulations, diperjelas bahwa penggunaan senjata beracun dan yang dapat menyebabkan gas cekik adalah dilarang. Pada Protokol Jenewa 1925, terdapat deklarasi bahwa para pihak dalam protokol ini sepakat untuk tidak menggunakan gas-gas, cairan, benda atau peralatan sejenis yang mengakibatkan sesak napas dan beracun, serta melarang penggunaan

(13)

13

bakteri dalam metode peperangan. Kemudian dalam Konvensi Senjata Kimia 1993, juga secara jelas melarang pengembangan, produksi, pemilikan, penguasaan, penimbunan, penggunaan dan juga pemusnahannya.

b. Penggunaan gas sarin dalam penyerangan Kota Khan Shaykhun tersebut tentu saja menimbulkan tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh pemerintah Suriah. Tanggung jawab yang timbul tersebut berupa tanggung jawab untuk memberikan pemulihan dan juga tanggung jawab untuk mencari dan mengadili pelaku dan pemberi perintah dalam penggunaan gas sarin dalam penyerangan kota Khan Shaykhun. Namun jika melalui hukum nasionalnya gagal dan/atau terbukti negara Suriah tidak bersedia untuk mengadili pelaku, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 17 ayat (1) Statuta Roma 1998, maka kasus tersebut dapat dibawa ke pengadilan internasional, dalam hal ini Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court-ICC), Hal ini sesuai dengan prinsip exhaustion of local remedies.

2. Saran

Adapun saran yang diajukan oleh penulis adalah sebagai berikut:

a. Suriah yang merupakan pihak dari Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan 1977, Protokol Jenewa 1925, dan Konvensi Senjata Kimia 1993 seharusnya mematuhi segala ketentuan yang ada didalam konvensi-konvensi tersebut, khususnya dalam hal mengenai prinsip pembedaan dan prinsip proporsionalitas.

b. Oleh karena Suriah bukan merupakan Pihak Statuta Roma 1998, maka Suriah sebaiknya meratifikasi Statuta Roma 1998 tersebut, karena untuk menjamin penghormatan terhadap aturan-aturan Hukum Humaniter Internasional sehingga tujuan Hukum Humaniter Internasional, yakni memberikan perlindungan terhadap korban perang, terutama penduduk sipil, dapat tercapai secara optimal.

(14)

14

DAFTAR REFERENSI BUKU

Agus, Fadillah. Hukum Humaniter Suatu Perspketif. Jakarta: Pusat Studi Hukum Humaniter Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 1997.

Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, Achmad Romsan, Supardan Mansyur, Michael G Nainggolan. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta:

ICRC, 1999.

Haryomataram. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.

Kuncahyono, Trias. Musim Semi di Suriah: Anak-anak Penyulut Revolusi. Jakarta:

Kompas, 2012.

M. Agastya. Arab Spring: Badai Revolusi Timur Tengah. Jogjakarta: IRSCiSoD, 2013.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Ilmu Hukum. Depok: UI-Press, 2010.

ON-LINE DARI INTERNET

Timeline of Syrian Chemical Weapon Activity” (On-Line), tersedia di:

https://www.armscontrol.org/factsheets/Timeline-of-Syrian-Chemical- Weapons-Activity (Maret 2019)

Facts about Sarin” (On-line), tersedia di: https://emergency.

cdc.gov/agent/sarin/basics/facts.asp (4 April 2018).

Sarin Gas Attack on Khan Sheykoun” (On-line), tersedia di:

https://syrianarchive.org/en/collections/chemical-

weapons/database?incident=KHA040417 ( 4 April 2017).

Referensi

Dokumen terkait

Dan menurut hasil wawancara penulis dengan saksi kecelakaann lalu lintas tersebut dapat dibuktikan bahwa pihak pengangkut yang bersalah karena pengemudi bus Sinar Jaya

Indikator pembeda untuk dua kelompok tersebut adalah : peternak yang memelihara sapi dara merupakan anggota kelompok peternak yang melakukan penggantian

(3) Dalam hal anggota Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri tidak terbukti

Dalam molase masih banyak kandungan zat yang dapat dimanfatkan sebagai media pertumbuhan mikroba, hal tersebut dikarenakan molase masih mengandung

Susunan batuan di daerah penelitian dapat dibagi menjadi dua asosiasi fasies, yang pertama yaitu asosiasi fasies perselingan batupasir dan napal sedangkan yang

Biro Perekonomian sebagaimana Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 77 Tahun 2019 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Serta Tata Kerja

Dari Pasal-Pasal tersebut diatas maka jika dikaitkan dengan kasus maka Megawati Tanudibroto dan Paul Tanudibroto tidak terbukti melakukan keempat unsur diatas, namun

Dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 5 Tahun 1999, pemusatan kegiatan adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat