• Tidak ada hasil yang ditemukan

Patient Safety Development Program Based on Six Goal International Patient Safety Standard in Surabaya Oncology Hospital

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Patient Safety Development Program Based on Six Goal International Patient Safety Standard in Surabaya Oncology Hospital"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Pengembangan Program

Patient Safety Berdasarkan Standar Six Goal International

Patient Safety di Rumah Sakit Onkologi Surabaya

Patient Safety Development Program Based on Six Goal International Patient Safety

Standard in Surabaya Oncology Hospital

MIRRAH SAMIYAH* THINNI NURUL R*

*Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRACT

Hospital patient safety goal was to prevent injuries caused by errors due to performing an action or not taking it. The issues raised in this study was the persistence of 429 patient safety incidents from January untul July 2011. The objective of this study was to make recommendations for patient safety program development based on Six Goal International of Patient Safety (SGIPS) standards in Rumah Sakit Onkologi Surabaya (RSOS). This was a descriptive study with cross sectional approach. The results showed that knowledge, motivation, commitment, and intention of employees in the working units towards RSOS patient safety program mostly were good; perceived behavioral control of the culture and of standard operating procedures were favorable, Employees awareness in the working units towards RSOS patient safety program mostly were very good, although there were some working units with poor awareness of patient safety program, Perceived behavioral control of employees in the working units on patient safety policy and the existence of RSOS patient safety committee were in the most unfavorable, The readiness of the working units on RSOS patient safety program implementation based on SGIPS standards showed that in all RSOS working units were still in the category of partial met.

Keywords: knowledge, awareness, commitment, motivation, intention, perceived behavioral control

Correspondence: Mirrah Samiyah, Regency 21 A-14, Jl. Arif Rahman Halum Surabaya, Email: mirrahsamiyah@gmail. com., Telp. 081357455211

PENDAHULUAN

Tujuan patient safety di rumah sakit adalah mencegah cedera disebabkan kesalahan pelaksanaan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya. Besar risiko kesalahan medis yang dialami pasien di rumah sakit dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu, lama (waktu) kontraktual pelayanan, keadaan pasien, kompetensi dokter, serta prosedur dan kelengkapan fasilitas Depkes. Kesalahan medis tersebut bisa saja terjadi pada saat komunikasi dengan pasien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis maupun terapi dan tindak lanjut. Risiko klinis tersebut bisa mengakibatkan atau berpotensi cedera pada pasien, bisa berupa near miss atau adverse event (Kejadian Tidak Diharapkan atau KTD).

Near miss atau Nyaris Cedera (NC) merupakan suatu kejadian akibat pelaksanaan suatu tindakan (commission) atau tidak melaksanakan tindakan yang seharusnya diambil (omission). Kejadian tersebut dapat mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi karena keberuntungan (misal, pasien menerima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat). Kejadian nyaris cedera juga akibat pencegahan, dan peringanan (suatu obat dengan dosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidote-nya). Adverse event atau Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) merupakan suatu kejadian yang

mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena commission atau omission, dan bukan karena underlying disease atau kondisi pasien. Kejadian risiko yang mengakibatkan pasien tidak aman sebagian besar masih dapat dicegah dengan beberapa cara, antara lain, meningkatkan kompetensi diri, kewaspadaan dini dan komunikasi aktif dengan pasien.

Kemajuan teknologi yang pesat telah memberi harapan besar bagi penderita kanker. Di sisi lain prosedur penanganan penyakit kanker menjadi semakin kompleks dan rumit, sehingga standar penanganan yang jelas semakin diperlukan. Era global dan era informasi mengharuskan setiap pelayanan medik yang diberikan bertumpu pada good clinical governance dan evidence based medicine. Artinya, setiap tindakan medik termasuk diagnostik, terapi dan prevensi harus berdasarkan bukti ilmiah akurat dan ditelaah secara teliti. Pelayanan kesehatan dituntut lebih transparan, selalu terukur, efektif, efisien, serta aman untuk penderita (Profil RSOS, 2010).

(2)

tipe insiden terjadi di unit kerja rawat inap yaitu sebesar 30,5% dan di unit laboratorium yaitu sebesar 26,6%. Sebagian besar tipe insiden yang terjadi di unit rawat inap adalah ketidaklengkapan rekam medis, sedangkan tipe insiden di unit laboratorium adalah informed consent tidak lengkap.

KTD di RSOS sebesar 33 kejadian dan KPC 396 kejadian di RSOS. Dari total tipe insiden (429 kejadian) selama bulan Januari sampai dengan Juli 2011 sebagian besar adalah ketidaklengkapan informed consent yaitu sebesar 57,1% dan ketidaklengkapan rekam medis yaitu sebesar 21,4%. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah masih adanya insiden keselamatan pasien di RSOS pada bulan Januari sampai dengan Juli 2011 sebesar 429 insiden.

METODE PENELITIAN

Rancang bangun penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan di RSOS. Unit analisis adalah unit kerja di RSOS. Responden dalam penelitian ini adalah seluruh unit kerja yang ada di RSOS sejumlah 23 unit kerja. Variabel yang diteliti diukur dengan menggunakan kuesioner dan lembar check list. Variabel yang diteliti meliputi pengetahuan karyawan di tingkat unit kerja tentang program patient safety di RSOS, awareness karyawan di tingkat unit kerja tentang program patient safety di RSOS, motivasi karyawan di tingkat unit kerja tentang program patient safety di RSOS, komitmen karyawan di tingkat unit kerja tentang program patient safety di RSOS, perceived behavioral control karyawan di tingkat unit kerja tentang kebijakan patient safety, perceived behavioral control karyawan di tingkat unit kerja tentang budaya patient safety, perceived behavioral control karyawan di tingkat unit kerja tentang standar prosedur operasional patient safety, perceived behavioral control karyawan di tingkat unit kerja tentang keberadaan KKPRS, niat karyawan di tingkat unit kerja dalam pelaksanaan program patient safety di RSOS, kesiapan unit kerja dalam pelaksanaan program patient safety berdasarkan standar six goal international patient safety di RSOS dan rekomendasi terhadap pengembangan program patient safety di RSOS berdasarkan six goal international patient safety di RSOS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengetahuan Karyawan, Awareness, Motivasi dan Komitmen di Tingkat Unit Kerja tentang Program Patient Safety di RSOS

Pengetahuan karyawan di tingkat unit kerja tentang program patient safety sebagian besar adalah sangat baik. Terdapat 95,7% unit kerja yang dominan memiliki pengetahuan sangat baik dan 4,3% unit kerja yang memiliki pengetahuan baik tentang program patient safety di RSOS.

Peranan sumber daya manusia di RSOS dalam pengembangan program patient safety yang masih perlu dilakukan perbaikan adalah faktor awareness meskipun sebagian besar awareness unit kerja tentang program patient safety sangat baik (52,2%), namun perlu mendapat perhatian karena masih ada empat unit kerja yang memiliki awareness tentang program patient safety yang jelek (17,4%) sehingga faktor awareness ini perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan program patient safety di RSOS.

Salah satu penentu untuk berperilaku melakukan program patient safety di RSOS adalah adanya niat. Niat untuk melakukan perilaku merupakan kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan atau tidak suatu pekerjaan (Ajzen, 2002). Mayoritas niat karyawan di tingkat unit kerja dalam melakukan program patient safety sangat baik.

Niat berperilaku adalah keinginan untuk melakukan perilaku, niat berperilaku belum berupa perilakunya. Niat tidak selalu statis dan niat dapat berubah dengan berjalannya waktu. Semakin lebar interval waktu, semakin mungkin terjadi perubahan pada niat (Jogiyanto, 2007). Banyak faktor yang berperan dalam membentuk niat seseorang berdasarkan theory of planned behavior. Faktor yang memengaruhi niat untuk melakukan program patient safety di RSOS diantaranya adalah pengetahuan, awareness, komitmen, motivasi, perceived behavioral control tentang kebijakan, budaya patient safety, keberadaan KKPRS dan SPO patient safety di RSOS.

Awareness pentingnya pelaksanaan program patient safety harus selalu dibangun agar pelaksanaan program patient safety selalu menjadi jiwa dalam pelayanan terhadap pasien. Tanpa sebuah awareness pelaksanaan program patient safety atau asuhan pelayanan yang aman terhadap pasien hanya dilakukan sebagai kewajiban terhadap standar yang berlaku di rumah sakit. Apabila tidak terdapat upaya dalam peningkatan awareness maka pelaksanaan program patient safety tidak akan berjalan dengan baik.

Awareness adalah suatu kesadaran penuh terhadap apa yang akan dilakukan (Lubis, 2010). Melalui awareness ini kita bukan saja sadar akan apa yang sedang dilakukan, tetapi juga tahu komitmen kita sedang ditujukan kemana dan kepada siapa. Awareness ini sangat menentukan orientasi atau arah tindakan yang akan dilakukan.

Penelitian Rogers (1974) dalam Passengereng (2007) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni awareness (kesadaran), di mana

orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek); interest (merasa tertarik)

terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek sudah mulai timbul; evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi;

(3)

sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus;

Adoption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai

dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Kesadaran (awareness) tentang program patient safety didefinisikan sebagai suatu kesadaran penuh dari unit kerja di RSOS terhadap apa yang akan dilakukan dalam melaksanakan program keselamatan pasien. Menurut Tim National Health Services (NHS) United Kingdom (2009) sistem awareness merupakan salah satu dasar dalam pembentukan good clinical governance yang merupakan konsep pengembangan sistem yang berkualitas dalam mendukung efektivitas kinerja dan menurunkan terjadinya risiko terhadap pasien.

Self awareness adalah kesadaran secara rasional mengenai diri sendiri (dalam hal ini adalah unit kerja). Melalui kesadaran ini, manusia mampu memahami kekuatan diri, kelemahan dan keterbatasan serta memahami posisi diri terhadap berbagai faktor luar. Menurut Bahaudin (2007), self awareness adalah proses rasional dan merupakan kerja dari kecerdasan intelektual (intelectual intelligence). Kesadaran diri merupakan salah satu kompetensi emosional paling penting yang dibutuhkan untuk menciptakan karir yang sukses. Self awareness atau kesadaran diri merupakan suatu proses untuk pengembangan diri dan untuk melakukan perubahan yang menuju perbaikan.

Melakukan upaya peningkatan atau perubahan awareness merupakan suatu proses yang tidak mudah karena melibatkan kecerdasan atau kompetensi emosi untuk pengembangan diri dan melakukan perubahan yang menuju perbaikan, sehingga memerlukan pengelolaan khusus yang harus direncanakan dengan cermat dan waktu yang relatif lebih lama. Kesadaran (awareness) akan pentingnya pelayanan kesehatan yang mengutamakan keselamatan harus dibangun dan selalu dipupuk agar patient safety menjadi fokus utama dalam melaksanakan pelayanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Lubis (2009) bahwa peningkatan awareness sulit apabila dilakukan secara tiba-tiba tetapi memerlukan suatu usaha yang dilakukan secara terus-menerus.

Brown (2003) memberikan definisi kesadaran sebagai tingkat kesiagaan individu terhadap rangsangan eksternal dan internal. Pengertian ini memiliki makna adanya kewaspadaan dan inistiatif terhadap lingkungan. Kesadaran (awareness) memiliki hubungan dengan persepsi dan perhatian (attention). Biasanya seseorang yang memiliki awareness didahului dengan adanya perhatian dan persepsi terhadap suatu hal.

Berdasarkan hasil FGD juga direkomendasikan perlu pemahaman mengenai pentingnya pelaksanaan program patient safety, agar merka tidak hanya melakukan suatu prosedur sebagai kewajiban saja tapi sebagai kebutuhan untuk keselamatan pasien. Hal ini juga sesuai dengan prinsip utama dalam menuju keselamatan pasien rumah sakit (Depkes, 2008) yaitu bangun kesadaran (awareness) akan nilai keselamatan pasien. Harus

ditekankan kepada seluruh karyawan rumah sakit bahwa awareness merupakan suatu proses untuk pengembangan diri dan untuk perubahan yang lebih baik. Sehingga dengan awareness yang baik dari semua unit kerja akan berdampak pada pengembangan program patient safety di RSOS.

Kabat-Zinn (2002) menjelaskan bahwa awareness merupakan proses yang diawali oleh sebuah perhatian terhadap perubahan yang terjadi di sekitar individu dan dilanjutkan dengan reaksi terhadap sesuatu yang menjadi perhatian tersebut. Semua yang dirasakan, dilihat, didengar, reaksi emosi dan pemikiran yang menyertai, diperhatikan sebagai peristiwa yang muncul merupakan elemen dari perubahan lingkungan. Keadaan awareness diartikan bahwa pemikiran dan perasaan merupakan peristiwa yang muncul di pikiran tanpa perlu mengidentifikasikannya secara berlebihan, dan bereaksi secara otomatis dengan kebiasaan perilaku yang cenderung terdorong secara emosional (Susanto, 2011).

Motivasi karyawan di tingkat unit kerja tentang program patient safety di RSOS sebagian besar adalah baik. Terdapat 87% unit kerja yang memiliki motivasi baik. Tetapi terdapat 4,3% unit kerja yang memiliki motivasi yang jelek tentang program patient safety di RSOS. Komitmen karyawan di tingkat unit kerja tentang program patient safety sebagian besar adalah baik, karena terdapat 78,3% unit kerja yang memiliki komitmen kerja yang baik tentang program patient safety di RSOS. Meskipun terdapat 8,7% unit kerja yang memiliki komitmen kerja yang jelek. Perceived Behavioral Control (PBC) Karyawan

di Tingkat Unit Kerja tentang Kebijakan, Budaya

Patient Safety, Standar Prosedur Operasional Patient Safety dan Keberadaan KKPRS di RSOS

Perceived behavioral control merupakan persepsi terhadap kekuatan beberapa faktor yang mempermudah atau mempersulit suatu perilaku (Wijaya, 2008). Perceived behavioral control memiliki pengaruh terhadap niat untuk berperilaku (Ajzen, 2002). Perceived behavioral control karyawan di tingkat unit kerja tentang kebijakan, budaya patient safety dan keberadaan KKPRS di RSOS berperan dalam menentukan niat karyawan di tingkat unit kerja dalam pelaksanaan program patient safety.

Kebijakan rumah sakit adalah penetapan Direktur rumah sakit pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang mengikat (panduan penyusunan dokumen akreditasi KARS, 2012). Kebijakan bersifat garis besar maka untuk penerapan kebijakan tersebut perlu disusun pedoman atau panduan dan prosedur sehingga ada kejelasan langkah untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Kebijakan ditetapkan dengan peraturan atau keputusan Direktur rumah sakit. Kebijakan dituangkan dalam pasal di dalam peraturan tersebut atau merupakan lampiran dari peraturan atau keputusan.

(4)

RSOS baik tentang pedoman pelaksanaan di lapangan maupun penetapan Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Tim KPRS) sesuai peraturan yang ditetapkan Departemen Kesehatan belum berjalan dengan baik. Artinya masih terdapat kebijakan sebagai payung hukum dan pedoman yang belum tersosialisasikan dengan baik dan evaluasi terhadap kebijakan program keselamatan pasien yang disesuaikan kondisi rumah sakit belum dilakukan, sehingga tim merasa tidak wajib melaksanakan implementasi program patient safety. Sistematika langkah penerapan keselamatan pasien rumah sakit (KPRS) (Depkes, 2008: 42–45) meliputi 3 tahap yaitu persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi. Pada tahap persiapan langkah penerapan keselamatan pasien rumah sakit yang utama adalah pimpinan rumah sakit perlu menetapkan kebijakan rumah sakit, rencana jangka pendek dan program yang disesuaikan dengan kondisi rumah sakit.

Sebagian besar PBC pada karyawan di tingkat unit kerja tentang kebijakan patient safety di RSOS adalah mendukung (65,2%). Tetapi PBC karyawan di tingkat unit kerja tentang kebijakan menjadi isu strategis karena masih terdapat 26,1% unit kerja yang menyatakan bahwa PBC karyawan di tingkat unit kerja tentang kebijakan patient safety di RSOS adalah tidak mendukung. PBC karyawan di tingkat unit kerja tentang budaya patient safety di RSOS sebagian besar adalah mendukung. Hal ini dikarenakan terdapat 91,3% unit kerja yang dominan memiliki PBC yang mendukung tentang budaya patient safety. PBC karyawan di tingkat unit kerja tentang standar prosedur operasional patient safety di RSOS sebagian besar adalah mendukung (78,3%). Artinya penilaian unit kerja tentang standar prosedur operasional patient safety sudah mendukung terhadap pelaksanaan program patient safety dan bahwa secara umum PBC karyawan di tingkat unit kerja tentang keberadaan KKPRS di RSOS adalah mendukung (69,6%) terhadap pelaksanaan program patient safety. Keberadaan KKPRS menjadi isu strategis karena terdapat 30,4% yang menyatakan bahwa PBC unit kerja tentang keberadaan KKPRS di RSOS adalah tidak mendukung terhadap pelaksanaan program patient safety.

Perceived behavioral control karyawan di tingkat unit kerja tentang keberadaan KKPRS di RSOS adalah mendukung, namun terdapat sebagian unit kerja yang memiliki perceived behavioral control tentang keberadaan KKPRS di RSOS tidak mendukung terhadap pelaksanaan program patient safety. Keberadaan KKPRS di RSOS saat ini vakum hal ini terjadi karena banyak faktor di antara kekosongan jabatan ketua KKPRS dan belum ada kebijakan yang baru dalam pengangkatan ketua KKPRS. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 1691/ Menkes/ Per/VIII/ 2011 tentang keselamatan pasien menyebutkan bahwa setiap rumah sakit wajib membentuk tim keselamatan pasien rumah sakit yang ditetapkan oleh kepala RS sebagai pelaksana kegiatan patient safety.

Tindakan yang harus dilakukan oleh RSOS adalah

segera dilakukan restrukturisasi KKPRS di RSOS, dan untuk posisi ketua KKPRS tidak harus dokter anestesi, sehingga tugas dan kewajiban KKPRS di RSOS dalam menjalankan program keselamatan pasien di RS dapat berjalan kembali. Proses pembentukan KKPRS yang harus ditekankan di awal adalah team work. Dalam suatu team work yang terdiri dari berbagai macam individu dari latar belakang yang berbeda, dengan keahlian yang berbeda maka diperlukan suatu kerja sama yang baik dan kompak (solid) agar tujuan organisasi dapat tercapai. Suatu kelompok dikatakan sebagai team work dan menghasilkan suatu hasil yang optimal (kinerja tim yang efektif) sangat dipengaruhi oleh peran individu.

Dua individu, atau lebih yang berinteraksi dan saling bergantung, dan bergabung untuk mencapai sasaran tertentu (Robbins, 2003). Definisi tersebut memberikan pengertian pada kita bahwa dalam sebuah kelompok harus terdapat interaksi dan ketergantungan satu dengan yang lain untuk mencapai sebuah tujuan yang sama. Keutuhan sebuah tim terletak pada kesungguhan setiap individu yang tergabung dalam kelompok untuk saling memperbaharui semangat kolektivitas dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan secara bersama mampu menampung aspirasi anggota, karena semakin banyak aspirasi anggota kelompok yang terakomodasi maka semakin puas anggota kelompok tersebut (Wahjono, 2010). Tim yang terbentuk dari individu fleksibel memiliki anggota yang dapat melengkapi tugas satu sama lain. Ini jelas merupakan nilai tambah bagi suatu tim, karena fleksibilitas sangat memperbaiki kemampuan adaptis tim dan membuat tim tidak tergantung hanya pada satu anggota saja.

Sehingga berdasarkan hasil FGD direkomendasikan perlu ada sosialisasi kebijakan rumah sakit tentang program keselamatan pasien yang lebih teknis sampai ke level pelaksana, karena dinilai sosialisasi kebijakan saat ini masih pada level manajemen dan pimpinan rumah sakit secara berkala melakukan monitoring dan evaluasi program keselamatan pasien yang dilakukan unit kerja keselamatan pasien. Unit kerja keselamatan pasien secara berkala melakukan evaluasi maksimal dua tahun terhadap pedoman, kebijakan dan prosedur keselamatan pasien yang digunakan di rumah sakit (Depkes, 2008). Setelah kebijakan tersebut terbentuk maka yang perlu dilakukan adalah mekanisme kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan. Karena salah satu aktivitas kontrol dalam organisasi adalah kontrol terhadap kebijakan itu sendiri, seperti yang disampaikan oleh Tambunan (2008).

Niat Karyawan di Tingkat Unit Kerja dalam Pelaksanaan Program Patient Safety di RSOS

(5)

penentu untuk berperilaku melakukan program patient safety di RSOS adalah adanya niat. Niat untuk melakukan perilaku merupakan kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan atau tidak suatu pekerjaan (Ajzen, 2002). Mayoritas niat karyawan di tingkat unit kerja dalam melakukan program patient safety sangat baik.

Niat berperilaku adalah keinginan untuk melakukan perilaku, niat berperilaku belum berupa perilakunya. Niat tidak selalu statis dan niat dapat berubah dengan berjalannya waktu. Semakin lebar interval waktu, semakin mungkin terjadi perubahan pada niat (Jogiyanto, 2007). Banyak faktor yang berperan dalam membentuk niat seseorang berdasarkan theory of planned behavior. Faktor yang memengaruhi niat untuk melakukan program patient safety di RSOS diantaranya adalah pengetahuan, awareness, komitmen, motivasi, perceived behavioral control tentang kebijakan, budaya patient safety, keberadaan KKPRS dan SPO patient safety di RSOS.

Kesiapan Unit Kerja RSOS dalam Pelaksanaan Program Patient Safety berdasarkan Standar Six

Goal International Patient Safety di RSOS

Menurut Depkes (2008) penerapan program keselamatan pasien dapat secara sistematis dan terarah maka dalam melaksanakan program diperlukan fase persiapan, fase pelaksanaan dan fase monitoring dan evaluasi. Untuk kesiapan unit kerja RSOS dalam pelaksanaan program patient safety berdasarkan standar Six Goal International Patient Safety di RSOS seluruh unit kerja di RSOS masih berada dalam kategori partial met artinya dari 6 sasaran berdasarkan standar dari JCI belum seluruh tindakan dilakukan, sehingga perlu adanya suatu evaluasi terhadap pengembangan program patient safety berdasarkan standar six goal international patient safety di RSOS.

Berdasarkan urutan tingkat kesiapan unit kerja di RSOS dalam pelaksanaan program patient safety berdasarkan standar six goal international patient safety, maka sasaran 6 (Berkurangnya risiko bahaya jatuh (reduce the risk of patient harm resulting from falls)) merupakan sasaran yang harus mendapatkan prioritas perhatian. Kemudian sasaran 3 (meningkatnya keselamatan pada pengobatan berisiko tinggi (improve the safety of high alert medications)), sasaran 5 (berkurangnya risiko infeksi nosokomial (reduce the risk of health care associated infections)), sasaran 4 (memastikan lokasi, prosedur dan pada pasien yang benar ketika operasi bedah (ensure correct site, correct procedure, correct patient surgery)), sasaran 1 (identifikasi pasien secara benar (identify patients corrrectly)), dan yang terakhir adalah sasaran 2 (meningkatnya komunikasi yang efektif (improve effective communications)).

Setelah ada kesiapan dari tiap unit kerja, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah melakukan enhancement program khususnya program keselamatan pasien berdasarkan standar six goal international patient

Safety di RSOS. Dalam strategic management system programming adalah tahap perencanaan yang pertama kali bersifat kuantitatif. Dan program adalah peta perjalanan, oleh karena itu, program harus jelas sasarannya, rationale-nya, deskripsirationale-nya, tahapanrationale-nya, kebutuhan danarationale-nya, dan hasil keuangannya. Sehingga pengembangan program patient safety di RSOS berdasarkan six goal international patient safety di RSOS dapat terlaksana dengan optimal.

Seluruh unit kerja berada pada kategori partial met atau cukup siap. Artinya terdapat beberapa tindakan yang masih perlu untuk diperbaiki atau ditingkatkan menuju pengembangan program patient safety berdasarkan standar six goal international patient safety.

Rekomendasi

Melakukan identifikasi kebijakan RSOS mengenai program patient safety berdasarkan six goal international patient safety. Membentuk perilaku karyawan di tingkat unit kerja di RSOS dalam pelaksanaan program patient safety berdasarkan standar six goal international patient safety. Melakukan evaluasi dan pembuatan SPO sebagai panduan untuk mendukung pengembangan program patient safety berdasarkan six goal international patient safety. Evaluasi perilaku petugas dalam melakukan program patient safety berdasarkan six goal international patient safety. Mendukung sarana prasarana dalam pengembangan program patient safety berdasarkan six goal international patient safety.

SIMPULAN

Adapun simpulan dari penelitian ini adalah Pengetahuan karyawan di tingkat unit kerja tentang program patient safety di RSOS sebagian besar adalah sangat baik. Awareness karyawan di tingkat unit kerja tentang program patient safety di RSOS sebagian besar adalah sangat baik, meskipun terdapat sebagian unit kerja yang memiliki awareness yang jelek tentang program patient safety. Motivasi karyawan di tingkat unit kerja tentang program patient safety di RSOS sebagian besar adalah baik. Komitmen karyawan di tingkat unit kerja tentang program patient safety di RSOS sebagian besar adalah baik. Niat karyawan di tingkat unit kerja dalam pelaksanaan program patient safety di RSOS sebagian besar adalah baik. Kesiapan unit kerja dalam pelaksanaan program patient safety berdasarkan standar Six Goal International Patient Safety di RSOS, bahwa seluruh unit kerja masih berada dalam kategori partial met (cukup siap).

SARAN

(6)

dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA

Ajzen I. 1988. Changing The Behavior of People. Explanation of the

Theory of Planned Behavior. http://people.umass.edu//aizen/ tpb.html. [Diakses tanggal 12 Desember 2011]

Ajzen I. 1991. “The Theory of Planned Behavior” in Organizational

Behavior and Human Decision Processes 50: 179–211.

Brown K. 2003. “The Benefi t of Being Present: Mindfulness and It’s Role in Psychological Well Being”, Journal of Personality

and Social Psycology 84: 822–48.

Departemen Kesehatan RI. 2005. Panduan Nasional Keselamatan

Pasien Rumah Sakit (Patient Safety). Jakarta: Depkes RI.

Departemen Kesehatan RI. 2008. Panduan Nasional Keselamatan

Pasien Rumah Sakit (Patient Safety), 2nd ed. Jakarta: Depkes RI.

Jogiyanto HM. 2007. Sistem Informasi Keperilakuan, Yogyakarta: CV. Andi offset

Tim Penyusun Komisi Akreditasi Rumah Sakit. 2012. Panduan

Penyusunan Dokumen Akreditasi. Jakarta: Komisi Akreditasi

Rumah Rumah Sakit.

Lubis N. 2010. “Self Awareness”. http://www.lptui.com /artikel.

php?fl3nc= 1&param=c3VpZD0wMDAyMDAwMDAwY2M mZmlkQ29udGFpbmVyPTY2&cmd=articleDetail. diakses

Agustus 2010

Passengereng. 2007. “Pengetahuan Petugas Kesehatan tentang Patient Safety di RSU Daya Makassar” http://irwanashari.

blogspot.com/2009/03/ pengetahuan-petugas-kesehatan-tentang.html. Diakses November 2009.

Robins, Stephen. P. 1998. Organizational Behavior: Concepts,

Controversies, Applications. Edisi 8. New York: Prentice-Hall.

Susanto AD. 2011. “Upaya Peningkatan Program Patient Safety Berdasarkan Tujuh Prinsip Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”. Tesis, Surabaya: Universitas Airlangga.

Referensi

Dokumen terkait

kemampuan metabolit sekunder pada ekstrak air jahe merah sebagai reduktor dan peningkatan aktivitas antibakteri setelah terbentuk nanopartikel perak, pada penelitian ini

namun hal ini masih kurang optimal, karena prosedur pengolahan data pada bagian pembelian masih secara manual, dan barang yang dipesan oleh pembeli terkadang tidak sesuai

Adapun fokus penelitian dalam penelitian ini adalah bagaimana interaksi simbolik pada perempuan muslim bercadar yang membentuk identitas diri atau cara individu dan

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pengembangan dan tambahan ilmu pengetahuan yang lebih luas mengenai akurasi Capital Asset Pricing Model

Fasilitas Produksi mengirimka n data nomor registrasi(in formasi produk),no mor bets, tanggal kedaluwars a, dan serialisasi BPOM membuat 2d barcode dan dikirimkan ke

Tahap evaluation, penilaian yang dilakukan guru pada pembelajaran dengan model ini antara lain: keterampilan berpikir kritis dan penguasaan konsep siswa, kinerja siswa dalam

Hasil uji t pada uji hipotesis 1 untuk melihat keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together diperoleh nilai t sebesar 13,07 dengan

Proyeksi, Dasar-dasar Menggambar Perspektif, Menggambar Ikatan batu Bata, Menggambar Pondasi, Menggambar Sambungan Kayu, Menggambar Sambungan Pipa, Menggambar