• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asal mula nama air tiris: cerita rakyat Kampar, Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Asal mula nama air tiris: cerita rakyat Kampar, Riau"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Balai Bahasa Provinsi Riau

(2)
(3)

Asal Mula Nama Air Tiris

Zulkaidah

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Balai Bahasa Provinsi Riau

MILIK NEGARA TIDAK DIPERDAGANGKAN

(4)

ASAL MULA NAMA AIR TIRIS Cerita Rakyat Kampar, Riau Penulis : Zulkaidah.

Penerjemah : Aprianto

Penyunting : Noezafri Amar, Adeliany Azfar Ilustrator : Endi Astiko

Penata Letak : Azhar Bambang Gultom Diterbitkan pada tahun 2021 oleh Balai Bahasa Provinsi Riau

Jalan Bina Widya, Kompleks Universitas Riau Panam, Pekanbaru bekerjasama dengan Penerbit Candi (anggota IKAPI) Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Isi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan penulisan artikel atau karangan ilmiah

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Zulkaidah

Asal Mula Nama Air Tiris/Zulkaidah;

Penyunting: Noezafri Amar, Adeliany Azfar;

Pekanbaru: Balai Bahasa Provinsi Riau, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, 2021.

viii; 57 hlm.; 21 cm.

ISBN 978-623-98962-1-8 1. CERITA RAKYAT RIAU

2. KESUSASTRAAN ANAK INDONESIA

(5)

iii

Sambutan

Terdapat tiga puluh unit pelaksana teknis (UPT) Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Terknologi di seluruh Indonesia. Salah satunya ada di Riau, bernama Balai Bahasa Provinsi Riau (BBPR). BBPR adalah instansi pemerintah yang menangani bidang kebahasaan dan kesastraan, yang diberi otoritas untuk melaksanakan pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa dan sastra Indonesia di Provinsi Riau. BBPR juga ikut andil dalam upaya revitalisasi bahasa dan sastra daerah di Provinsi Riau, serta aktif melakukan berbagai kegiatan pengoptimalan Gerakan Literasi Nasional (GLN).

Salah satu program GLN adalah memperbanyak bahan bacaan berkualitas bagi masyarakat, khususnya pelajar. Cerita rakyat dianggap salah satu alternatif bahan bacaan

(6)

iv

yang mengusung kearifan lokal yang di dalamnya ada nilai moral, sosial, estetika, pendidikan, dan agama.

Dalam konteks itu, Provinsi Riau memiliki beragam cerita rakyat. Ada yang sudah diterbitkan dan ditulis dalam bahasa Indonesia, namun ada juga cerita rakyat yang masih ditulis dalam bahasa asli atau berbahasa Melayu Riau.

Khusus untuk cerita rakyat yang masih berbahasa Melayu Riau, pada tahun 2021 BBPR memberi perhatian khusus dengan melakukan kegiatan penjaringan dan penerjemahan teks sumber cerita rakyat yang masih berbahasa Melayu Riau ke bahasa Indonesia. Hasilnya, BBPR memeroleh 23 judul cerita rakyat dari 12 kabupaten/kota di Riau.

Kegiatan yang melibatkan para penerjemah ini bertujuan mengangkat kembali nilai-nilai karakter bangsa, seperti nilai kejujuran, kedisiplinan, toleransi, kerja keras,

(7)

v

religiositas, kreativitas, kemandirian, kepedulian akan lingkungan, kepedulian sosial, dan tanggung jawab. Nilai-nilai karakter bangsa itu diharapkan dapat menjadi sikap mental masyarakat hingga mereka menjadi masyarakat yang berkarakter, bermartabat, dan mulia.

Melalui buku ini saya berharap para pembaca—

khususnya kalangan pelajar—memeroleh informasi baru pelbagai cerita rakyat yang terdapat di Provinsi Riau.

Untuk itu, secara khusus, saya memberi apresiasi tinggi dan ucapan terima kasih kepada para penulis, penerjemah, ilustrator, penata letak, penyunting, dan tim Balai Bahasa Provinsi Riau. Tanpa kerja keras mereka, mustahil buku ini terwujud.

Kami menyadari sejumlah kekurangan dalam proses panjang kegiatan hingga terbitnya buku ini. Maka dari itu, tegur sapa yang

(8)

vi

konstruktif dari sidang pembaca adalah masukkan yang berarti bagi kami.

Semoga apa yang kita lakukan ini dicatat oleh Allah Swt. sebagai amal ibadah, amal saleh, dan amal jariah. Mari kita tumbuhkan budaya literasi.

Pekanbaru, 6 November 2021 Salam kami,

ttd.

Muhammad Muis

Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau

(9)

vii

Sekapur Sirih

Syukur alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu wataala karena dengan rida- Nya penulis bisa menyelesaikan buku Asal Mula Nama Air Tiris ini dengan lancar.

Pada hakikatnya, setiap manusia menyukai cerita. Dengan cerita, orang lebih mudah untuk menangkap maksud dan pesan dari suatu kejadian dalam cerita. Semoga pembaca bisa menemukan hikmah dan pesan kehidupan yang tersirat di dalam buku ini.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak terkait yang telah membantu penulis dalam menghadapi berbagai tantangan dalam penulisan buku ini.

Pekanbaru, 9 Mei 2021

Penulis

(10)

viii

Daftar Isi

Sambutan………. iii

Sekapur Sirih………. vii

Daftar Isi………. Viii Waktu Kecil……… 1

Kematian Ayah……….……… 3

Diseret oleh Ikan Tapah Besar.……….. 9

Sayembara……….. 19

Putra Putri Raja Meninggal Dunia…..………….. 33

Pulang ke Kampung Halaman……….. 46

Air Tiris………. 52

Biodata Penulis………. 55

Biodata Ilustrator……….. 56

Biodata Penerjemah……….. 57

(11)

1

Waktu Kecil

lkisah pada zaman dahulu, di sebuah desa yang bernama Koto Pukatan, tepatnya di pinggir hutan yang jauh dari keramaian, ada sebuah pondok kecil. Jalan menuju pondok tersebut hanyalah jalan setapak yang hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki. Sekeliling pondok tersebut dipagari oleh pepohonan berbatang besar yang rimbun dan lebat. Pondok itu merupakan tempat tinggal Syeh Aceh bersama istri dan anaknya. Anaknya berparas tampan, berkelakuan baik, sehat, lincah, dan cerdik. Namanya Khatib.

Khatib dibesarkan dengan kasih sayang dari orang tuanya. Sejak kecil, ia diajarkan ilmu agama yang cukup seperti mengaji dan tidak boleh meninggalkan salat.

Khatib tidak pernah dimarahi dengan cara kasar sebab kenakalan anak itu harus dihadapi dengan lemah lembut. Hal tersebut dimaksudkan agar kelak ia menjadi anak yang tidak

A

(12)

2

menggunakan kekerasan atau mengamuk ketika marah-marah.

Khatib anak yang berperangai baik dan rajin pula pergi mengaji ke surau bersama teman- temannya. Meskipun kampungnya dilanda banjir, tidak menjadi penghalang bagi Khatib untuk pergi ke surau. Ia diantar jemput oleh ayahnya dengan perahu kecil.

Selain ilmu agama, Khatib juga diizinkan menuntut ilmu bela diri asalkan tidak bertentangan dengan agama Islam. Jadi, Khatip pun juga menguasai ilmu bela diri.

Syeh Aceh hidup bertani. Ia berkebun kecil-kecilan. Syeh Aceh menanam kunyit, cabai, kacang panjang, terong, dan bayam. Sungai Kampar yang mengalir deras di belakang pondok merupakan tempat keluarga tersebut mencuci, mandi, dan mencari ikan.

(13)

3

Kematian Ayah

hatib merupakan anak yang rajin bekerja dan berbakti kepada orang tua. Ia sering membantu orang tuanya mencari ikan ke sungai dan sesekali mencari kayu bakar di hutan.

Pada suatu ketika, saat sedang mencari kayu bakar di sebuah hutan, Khatib dan ayahnya berjumpa dengan seekor harimau besar. Harimau tersebut tampak siap menerkam mereka. Ayah dan anak itu pun segera mencari tempat perlindungan. Namun, si harimau mengetahui persembunyian mereka, lalu mendekati ayah dan anak tersebut. Ayah Khatib tidak membiarkan hewan itu memangsa mereka begitu saja. Ia bertarung dengan si harimau dengan tangkas meskipun akhirnya kewalahan. Melihat ayahnya kewalahan, Khatib segera membantu ayahnya melawan hewan tersebut. Semua tenaga dan kekuatan pun dikerahkannya untuk melumpuhkan si harimau. Namun, ternyata harimau yang kuat

K

(14)

4

tersebut tidak mudah dilumpuhkan. Sebaliknya, malah ayah Khatib yang terluka parah.

Setelah bertarung beberapa jam lamanya, ayah dan anak tersebut akhirnya bisa melumpuhkan si harimau. Khatib dan ayahnya pun bergegas pulang ke rumah saat yakin bahwa si harimau telah mati. Namun dalam perjalanan pulang, badan Syeh Aceh melemah dan semakin tidak berdaya. Wajahnya pucat akibat menahan sakit. Khatib terkejut melihat ayahnya seperti itu. Rupanya, luka cakaran kuku harimau di perut Syeh Aceh mengandung bisa beracun. Bisa beracun yang sudah menjalar ke sekujur badan Syeh Aceh itulah yang menyebabkan badannya melemah.

“Apa pun yang terjadi, kamu harus tetap balik ke rumah. Sampaikan kepada ibumu kalau Ayah tidak bisa pulang lagi!” ucap si ayah terbata-bata, menahan sakit.

“Pulanglah, tinggalkan saja Ayah di sini, Nak,” lanjut Ayah.

Khatib terkejut mendengar permintaan ayahnya, apalagi saat melihat tubuh Syeh Aceh

(15)

5

membiru, mulai dari bekas luka cakaran sampai ke bagian leher. Badan ayahnya pun mulai kaku.

“Ayaaah!” jerit Khatib.

“Ayah harus kuat! Saya akan menolong Ayah! Bertahanlah, Yah...!” seru Khatib cemas.

“Wahai anak Ayah, kamu jangan bersedih melihat kondisi Ayah seperti ini, Nak,” pesan Syeh Aceh agak terbata.

“Sekarang, dengarlah pesan ayahmu ini, Nak. Jika Ayah mati sebelum kamu sampai ke rumah, kuburkanlah Ayah di hutan ini. Tepatnya dalam lubang besar di balik pohon kayu besar di ujung sana. Masukkan saja Ayah ke lubang itu.

Tidak perlu lagi kamu timbun. Tapi kamu harus ingat, jangan beri tahu siapa pun kalau itu kuburan Ayah. Sampaikan saja ke orang kampung kabar kematian Ayah, terutama kepada ibumu,”

lanjutnya setengah berbisik.

“Baiklah, Yah. Pesan Ayah akan saya sampaikan” jawab Khatib bersedih hati.

Tanda-tanda kematian Syeh Aceh mulai terlihat. Napasnya tinggal satu-satu. Tidak lama berselang, lelaki itu pun meninggal di pangkuan

(16)

6

Khatib. Khatib hanya bisa menangis sejadi- jadinya.

Sesuai permintaan ayahnya, Khatib pun memasukkan mayat ayahnya ke dalam lubang di balik pohon itu. Namun, Khatib terkejut bercampur heran. Begitu dimasukkan ke dalam lubang tersebut, tiba-tiba mayat ayahnya menghilang seperti ditelan bumi. Padahal, lubang itu tampak tidak begitu dalam.

Setelah selesai menguburkan ayahnya, Khatib pun melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Sesampai di rumah, berita tentang kematian ayahnya pun Khatib sampaikan kepada orang-orang di kampung, terutama kepada ibunya. Hati ibunya sangat bersedih mendapat berita buruk tersebut.

“Aduuuh, Nak, tidak kuat hati Mak ini, Nak. Ayahmu telah pergi untuk selamanya!”

Ibunya menangis tersedu-sedu.

“ Ya, Mak, saya juga bersedih hati, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa,” balas Khatib seraya menghapus air mata ibunya.

(17)

7

(18)

8

“Tapi Mak jangan terlalu berlarut-larut dalam kesedihan ini! Ada saya yang akan terus menemani Mak.” Khatib coba menghibur ibunya.

“Percayalah, Mak, saya akan membantu Mak mencari rezeki untuk kita berdua,” bujuk Khatib lagi.

Sejak saat itu, Khatib hanya hidup berdua dengan ibunya di pondok kecil mereka. Mak menggantikan posisi suaminya mencari nafkah.

Khatib pun rajin membantu ibunya. Mereka berdua tidak pernah mengeluh. Mereka tetap menjalani takdir yang digariskan oleh Allah dengan ikhlas.

(19)

9

Diseret oleh Ikan Tapah Besar

ari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan pun berganti tahun. Khatib tumbuh menjadi pemuda yang besar, tampan, gagah, lincah, dan santun.

Suatu hari, ketika Khatib pulang mengaji, dia melihat ibunya duduk termenung karena tidak ada lauk yang akan dimasak. Hal ini membuat hati Khatib tergerak untuk mencari ikan di Sungai Kampar. Ia lantas berangkat ke sungai dengan membawa alat-alat pancing yang lengkap.

Di sungai itu, sambil menunggu pancing dimakan ikan, dia berdendang di atas perahu.

Burung yang bertengger di atas batang kayu ikut pula berkicau mendengar suara pemuda yang sama bagusnya dengan perangainya. Sebab, selain dibekali ilmu agama dan bela diri, ia juga diberkahi suara yang bagus.

Sering umpannya dimakan oleh ikan, tetapi waktu pancingannya baru terangkat setengah, ikan terlepas lagi.

H

(20)

10

“Air pasang ditelan sampai ke insang, air surut ditelan sampai ke perut, tersangkutlah!

Biarlah putus pancing saya ini.” Terdengar dendang Khatib sambil melempar pancing.

Lambat laun, hari pun beranjak petang, tapi tak seekor pun ikan yang didapat.

“Alangkah tidak beruntungnya saya hari ini,” kata Khatib agak mengeluh.

“Apa yang terjadi hari ini, ya? Biasanya kalau menangkap ikan untuk dijual, saya dapat banyak. Paling sedikit dapat lima ekor. Kenapa hari ini tidak seekor pun saya dapatkan?” kata pemuda itu bertanya-tanya sambil melihat ke langit.

Matahari beranjak dari peraduan dan hampir terbenam. Seraya mengayuh sampan, Khatib pergi mencari tempat yang ikannya lebih banyak. Dalam beberapa menit saja, dia menemukan sebuah lubang serupa lubuk yang bernama Ayiu Lului (air lolos). Biasanya, terdapat banyak ikan di sana. Khatib lantas melihat baik-baik ke dalam lubuk dan tampaklah ikan tapah besar. Masyarakat Koto Pukatan tahu

(21)

11

betul dengan ikan itu karena ekornya yang buntung. Namun, ukuran ikan tersebut terlalu besar sehingga tidak ada seorang pun yang berani menangkapnya. Semua orang takut kepada ikan tersebut. Berhubung Khatib seorang bujang pemberani dan sakti, dia tidak merasa takut terhadap ikan tapah besar tersebut. Dia malah merasa tertantang untuk menangkapnya.

Khatib mengendalikan perahu agar posisinya tepat berada di atas ikan tapah besar berekor buntung itu. Seperti kilat, Khatib menembak tepat di atas punggung tapah besar.

Tapah besar terkejut dan langsung berenang secepat-cepatnya menahan rasa sakit.

Akibatnya, sang pemuda tercebur ke dalam air dan diseret oleh ikan tapah. Khatib sengaja tidak melepaskan tali tombak yang terikat di tangannya agar ikan tapah tidak terlepas.

Apabila Khatib berhasil menangkap ikan tapah, penduduk Koto Pukatan akan merasa aman mencari ikan di Sungai Kampar.

(22)

12

(23)

13

Sudah berhari-hari Khatib diseret bolak- balik oleh tapah besar sehingga ia pun merasa penat. Namun, Khatib tidak berputus asa.

Dia bertekad untuk melumpuhkan tapah buntung itu. Tidak lama, tibalah Khatib di sebuah lubuk yang agak dalam. Ada sebuah batang kayu besar di sana. Tapah buntung langsung bersembunyi di dalam rongga kayu tersebut.

Merasa agak longgar, Khatib segera mengikat tali tombak ke akar kayu. Dia lantas naik ke permukaan sungai untuk melihat ke mana ikan itu membawanya.

Setelah dua belas hari diseret tapah, jelas saja Khatib merasa lelah. Khatib merasa sangat lapar, maka dia berenang ke tepi. Ketika sampai di tepian, Khatib kebingungan karena tidak mengetahui tempatnya berada. Saat itu, masih pagi karena matahari belum terlalu tinggi. Khatib bermaksud mencari makanan, tapi ia merasa malu karena tubuhnya tidak lagi tertutup sehelai benang pun. Setelah melihat sekeliling sungai dan tidak ada menemukan seorang pun, Khatib lantas bergegas merangkak ke semak-semak di tepi

(24)

14

sungai. Dia mengambil daun yang agak besar, lalu mengikatnya ke pinggang menggunakan akar.

Khatib melakukannya untuk menutupi badannya seraya berharap ada yang akan meminjamkan kain kepadanya.

Tidak lama kemudian, nampaklah dua orang gadis turun ke sungai. Mereka tampak hendak mencuci.

Dengan suara serak, Khatib memanggil kedua gadis tersebut dari balik semak, “Gadis!

Gadis! Oiii, Gadis!”

Mendengar ada yang memanggil, kedua gadis tersebut mendekat ke semak-semak. Dari balik semak, nampaklah oleh mereka sesosok makhluk aneh.

Khatib kembali memanggil mereka. Kali ini sambil melambaikan tangannya. “Oi, Gadis, bolehkah saya meminjam sehelai kain?”

Karena melihat seorang pemuda yang hanya membalut tubuhnya dengan sehelai daun, jelas saja kedua gadis tersebut merasa takut.

Tanpa memedulikan kain yang hendak mereka

(25)

15

cuci, keduanya gemetaran sambil berteriak- teriak dan berlari ke atas tebing.

“Hantuuu! Hantuuu! Ada hantu di tepian!”

teriak mereka bersahutan.

Saat itu, kebetulan hulubalang sedang berada di tepian, lalu bergegas datang dan bertanya kepada mereka, “Apa yang terjadi pada kalian? Coba ceritakan kepada saya.”

Salah seorang dari kedua gadis tersebut langsung bercerita, “Begini, Tuan, waktu kami mencuci di tepian tadi, tiba-tiba kami mendengar ada suara memanggil-manggil! Kami coba mencari asal suara. Ternyata, suara tersebut berasal dari semak di hulu sungai.

Karena suaranya serak dan kurang jelas, kami mendekat ke sana.” Dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan,

“Kami melihat makhluk yang badannya dipenuhi lumut dan pinggangnya ditutupi dedaunan kayu. Kami rasa makhluk itu bukan manusia. Makhluk itu melambai-lambai dan berkata ingin meminjam kain. Tentu saja kami semakin takut dan lari tunggang-langgang.”

(26)

16

“Kalau seperti itu, mari kita lihat ke sana!”

kata hulubalang.

“Jangan, Tuan! Saya takut, panggil saja bantuan, Tuan!” larang gadis tersebut.

“Baiklah, saya akan memberi tahu Baginda Raja agar ikut melihat dan dapat mengambil keputusan mengenai hal ini,” jawab hulubalang.

Dia pun bergegas kembali ke istana.

Tidak lama kemudian, hulubalang, Baginda Raja, beserta rombongan tiba di tepian yang disebutkan kedua gadis tadi.

Baru saja hulubalang hendak mendekat ke semak-semak, dia mendengar suara seseorang.

“Tuan, tolong pinjamkan saya kain! Saya tidak memakai sehelai baju pun!” sahut makhluk aneh itu sambil berusaha menutupi tubuhnya.

“Makhluk itu bisa berbicara!” seru Hulubalang.

“Apa katanya?” tanya Baginda Raja.

“Dia ingin meminjam kain, Baginda!”

“Coba selidiki, apakah dia manusia atau bukan!” perintah Raja.

(27)

17

“Saya manusia, Baginda!” sahut makhluk itu ketika mendengar percakapan mereka.

“Jika mendengar suaranya, jelas dia manusia. Mungkin dia memang manusia, tapi kalau melihat rupanya yang berlumut, saya jadi ragu. Mari kita lihat baik-baik dari dekat,” ajak Raja seraya berbisik kepada hulubalang.

“Jangan mendekat, Baginda! Saya tidak berpakaian!” larang makhluk itu seraya menunduk malu dan menutup pangkal pahanya dengan kedua tangan.

“Baginda, menurut saya dia benar-benar manusia.” Hulubalang berbicara kepada Raja.

“Saya pun berpikir begitu,” kata Baginda.

“Baiklah, kalau begitu beri dia pakaian!”

perintah Raja

Tidak lama setelah itu, Datuk Bendahara menghampiri Raja dan berbisik kepadanya,

“Baginda, sebaiknya kita kasih saja dia pakaian dan pisang. Jika pisang itu langsung dimakan, berarti dia orang hutan atau hantu. Apabila kulit pisang tersebut dia buka menjadi empat bagian, dia orang yang beradat seperti kita.”

(28)

18

“Itu cara yang pintar, Baginda!” kata Hulubalang menyetujui.

“Kalau begitu, cobalah Datuk berikan dia kain sarung dan baju!” pinta Raja.

Datuk Bendahara lalu memberikannya kepada Khatib. “Ini, pakailah kain ini.”

Khatib menerima kain sarung dan baju tersebut, lalu memakainya pelan-pelan. Begitu selesai, barulah dia berani berdiri.

Hulubalang lantas maju beberapa langkah.

“Makanlah pisang ini!” katanya seraya mengulurkan dua buah pisang.

Khatib menerima pisang itu sambil menggigil karena terlalu lapar. Setelah itu, dia membuka kulit pisang tadi menjadi empat bagian sebelum memakannya sepotong demi sepotong.

Keempat orang yang melihatnya merasa terkagum-kagum. Timbul keyakinan di hati mereka bahwa makhluk tersebut adalah manusia yang beradat. Setelah itu, Raja kembali ke istana dan memerintahkan hulubalang memeriksa orang asing tersebut di balai kerajaan.

(29)

19

Sayembara

etibanya di istana, Khatib menceritakan kisahnya.

“Tuan, nama saya Khatib. Saya berasal dari Dusun Ghonah di Negeri Koto Pukatan. Takdir Allah-lah yang membawa saya sampai ke negeri ini.”

“Bagaimana kamu bisa sampai ke Negeri Gunung Sahilan ini?” tanya hulubalang keheranan.

“Ceritanya panjang, Tuan, mungkin terdengar tidak masuk akal. Tuan tidak akan percaya,” jawab Khatib.

“Kalau begitu, hal ini perlu diketahui oleh Raja. Mari kita menghadap Baginda,” ajak hulubalang.

Setibanya di depan singasana, hulubalang mengatur sembah. “Ampun patik, Baginda, kalau digantung patik tinggi, kalau dipancung patik mati, Baginda juga yang rugi....”

S

(30)

20

“Kabar apa yang mau kamu sampaikan, Hulubalang? Coba beri tahu!” perintah Baginda Raja.

“Ampun Baginda, apa yang Baginda perintahkan kepada patik tadi sudah patik kerjakan. Meskipun baru sebagian kecil kisah pemuda tadi yang patik dengarkan, patik tahu bahwasanya dia adalah pemuda berhati dan berbudi baik. Karena kisahnya panjang sekali, perlu pemahaman mendalam. Menurut pemikiran patik, sebaiknya Baginda langsung mendengarkan dan memberikan pertimbangan!”

hulubalang memberi saran.

“Kalau itu baik menurutmu, saya setuju.

Bawalah pemuda tersebut ke sini!” perintah Raja.

Kemudian, hulubalang datang membawa Khatib yang langsung mengatur sembah di hadapan Raja. Raja mempersilakan keduanya duduk dan bercerita.

“Saya berkenan mendengarkan ceritamu, wahai anak muda. Mulailah ceritamu! Kami akan mendengarkan.”

(31)

21

“Baiklah, titah Baginda akan saya laksanakan.”

Khatib menceritakan kepada Raja bahwa dirinya berasal dari Koto Pukatan. Ayahnya sudah meninggal dan merupakan orang Aceh yang terkenal dengan sebutan Syeh Aceh, sedangkan ibunya asli keturunan Koto Pukatan.

“Jadi, negerimu terletak di tepi Sungai Kampar Kanan?” tanya Raja.

“Ya, Baginda,” jawab Khatib.

“Apakah di sini Negeri Kampar Kiri?”

Khatib balas bertanya.

“Ya, betul sekali,” jawab hulubalang.

“Bagaimana kisahnya sehingga kamu sampai ke sini?” Raja kembali bertanya.

Khatib menceritakan kisahnya, mulai dari menangkap tapah buntung berukuran besar, lalu diseret oleh ikan tersebut selama dua belas hari melalui terowongan air bawah tanah sampai tiba di Gunung Sahilan.

“Setelah terjerumus di Lubuk Ayiu Lului, kamu diseret oleh ikan tapah buntung melalui terowongan bawah air selama dua belas hari

(32)

22

hingga sampai ke sini. Lalu, bagaimana caranya kamu bernapas?” tanya Baginda Raja.

“Ampuni patik, Baginda, tidak ada maksud hati untuk berbangga diri. Saya mempelajari beberapa ilmu dunia, salah satunya ilmu pawang air. Atas rida Allah, jika kita menyelam menggunakan ilmu tersebut, kita bisa bertahan dalam air selama empat puluh hari, Baginda,”

jawab Khatib.

“Selama itu kamu tidak makan apa-apa?”

tanya Raja lagi.

“Tidak ada, Baginda. Saya hanya minum air. Berkat pertolongan Allah, saya bisa bertahan,” jawabnya penuh kemantapan.

“Hebat kamu, Khatib, lengkap ilmu dunia dan akhirat,” puji Baginda Raja.

Raja memaklumi Khatib yang tampak penat karena bercerita, padahal dia masih ingin mendengar cerita perjalanan Khatib dari Ayiu Lului ke Gunung Sahilan. Raja lalu mengajak Khatib makan.

(33)

23

Setelah makan, sambil melepas penat, Khatib pun melanjutkan ceritanya karena permintaan Raja dan Hulubalang.

“Mungkin Baginda dan Hulubalang ingin tahu pula mengapa setelah hampir dua pekan di dalam air, saya baru sampai di sini. Kalau melalui jalan darat, hanya memakan waktu dua hari.

Apakah benar begitu, Baginda?” tanya Khatib memastikan.

“Ya, benar. Suara meriam di Limo Koto bahkan terdengar sampai ke sini,” jawab Baginda Raja.

Khatib pun melanjutkan ceritanya,

“Apabila kita melalui jalan lurus tanpa penghalang, mungkin tidak akan terasa jauh.

Waktu tempuhnya pun terasa singkat. Namun, terowongan yang saya lalui bersama tapah buntung itu berkelok-kelok, kadang ke hulu dan kadang ke hilir.”

“Ada bagian yang lapang, tetapi banyak pula bagian yang sempit. Ditambah lagi, ikan tapah berenang tidak memilih jalan. Dia senang mencari tempat yang sulit dilalui. Sering sekali

(34)

24

tali tombak saya tersangkut ke batang kayu atau batu runcing di dalam terowongan. Tidak hanya itu, di sana ada banyak pula ular besar dan buaya. Itulah yang menambah waktu perjalanan saya,” jelas Khatib.

“Di mana tapah buntung tersebut sekarang?” tanya Baginda Raja.

“Tapah buntung itu masuk ke dalam lubuk, bersembunyi di bawah batang kayu yang dipenuhi duri. Karena terlampau penat, saya melepaskan ikatan tali tombak di pergelangan tangan saya dan mengikatnya di sebuah akar kayu. Kemudian saya pun berenang ke tepian. Kain saya hancur karena ditarik ikan tapah. Itulah kisahnya sebelum saya bertemu dengan Baginda.” Khatib menyudahi kisahnya.

“Wah, ini benar-benar pengalaman yang sangat berharga. Hanya orang yang istikomah dan memiliki kesaktian luar biasa yang mampu melalui perjalanan seperti itu,” puji Baginda Raja sekaligus menutup percakapan mereka.

Di luar istana, terdengar alunan suara gong.

(35)

25

Akibat penasaran, Khatib bertanya kepada hulubalang, “Ampun, Tuanku, bolehkah saya tahu apa yang terjadi di luar sana?”

“Beberapa minggu lalu, ada seseorang yang menemukan benda aneh. Tidak ada seorang pun yang tahu nama dan kegunaan benda tersebut. Sebab itulah, pihak istana mengadakan sayembara. Siapa pun yang mengetahui nama dan kegunaan benda tersebut, Baginda Raja akan memberikan hadiah besar,” jelas hulubalang kepada Khatib.

“Maksudnya, siapa saja yang bisa menyebutkan nama beserta kegunaan benda itu, maka akan dianugerahkan hadiah berupa benda berharga, pangkat, dan fasilitas yang mewah,”

jelas Raja, lalu menambahkan, “Jika berminat, kamu juga boleh ikut sayembara tersebut.”

“Ampun patik, Baginda, apakah boleh saya melihat benda tersebut?” pinta Khatib, tampak penasaran.

“Bagaimana pendapat kamu, Hulubalang?”

tanya Baginda Raja.

(36)

26

(37)

27

“Ampun, Baginda, menurut pemikiran patik, memang sebaiknya begitu. Jika dia bisa menebak, secara resmi akan disahkan di depan orang ramai!” jawab hulubalang.

Sesudah itu, Raja menyuruh hulubalang mengambil benda yang dimaksud. Setelah

mengambilnya, hulubalang lantas memperlihatkan benda aneh yang dibungkus

dengan tiga lapis kain dan diikat dengan benang tersebut kepada Khatib. Ketika Khatib menengoknya, dia pun tertawa.

“Oooh, saya tahu nama dan kegunaan benda ini, Baginda!” jawab Khatib.

“Kamu tahu nama dan kegunaannya? Coba sebutkan!” perintah Raja.

“Ampun, Baginda, benda ini biasa dipakai oleh para petani di Negeri Limo Koto, namanya sangkal bajak. Alat ini ditarik oleh seekor atau dua ekor kerbau untuk membajak sawah,”

jelasnya kepada Raja.

“Astagfirullah! Hampir saja kami melakukan hal yang tidak patut. Untunglah

(38)

28

Khatib mengetahuinya,” ucap Raja begitu mendengarkan penjelasan Khatib.

Berkat keterangan yang diberikan Khatib, Raja merasa yakin bahwa nama benda aneh tersebut adalah sangkal bajak yang biasa digunakan untuk membajak tanah.

Setelah berpikir sejenak, Raja kemudian melanjutkan pembicaraannya, “Sekarang waktunya memulai sayembara!”

Hingar bingar di luar istana semakin jelas terdengar. Suara gong dan celempong semakin lantang, bunyi tabuh pun bertalu-talu pertanda sayembara akan dimulai. Bersamaan dengan itu, Datuk Bendahara datang menghadap Raja, melaporkan bahwa seluruh rakyat Kerajaan Gunung Sahilan telah berkumpul untuk menyaksikan perhelatan besar yang akan dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam dengan menyembelih seekor kerbau. Setelah Datuk Bendahara selesai menyampaikan laporannya, Baginda Raja memerintahkan hulubalang untuk mempersiapkan segala keperluan sayembara tersebut.

(39)

29

Sebelum Raja beranjak untuk melangsungkan pembukaan sayembara tersebut, beliau berpesan kepada Khatib, “Sesudah pembukaan sayembara nanti, semua rakyat akan dipersilakan untuk menjelaskan nama dan kegunaan benda itu. Saya yakin tidak ada seorang pun yang tahu. Namun, biarkan dulu beberapa orang memberi jawaban mereka.

Setelah beberapa lama berselang dan tidak ada lagi yang akan memberikan jawaban, barulah kamu tampil ke khalayak dengan jawaban yang sempurna. Kamulah yang akan menjadi pemenang sayembara besar ini sehingga sayembara ini tidak kelihatan enteng. Pahamkah kamu maksud saya?” tanya Baginda kepada Khatib.

“Hamba maklum, Tuanku. Hamba akan berupaya memenuhi segala sesuatu yang Tuanku titah-kan!” jawab Khatib dengan hormat.

Setelah Baginda Raja dan Khatib selesai mengenakan pakaian, hulubalang pun datang menjemput. Baginda Raja diiringi permaisuri, Khatib dan pembesar kerajaan berjalan menuju

(40)

30

balairung tempat rakyat telah berkumpul.

Kedatangan Raja disambut meriah oleh hadirin.

Lelo dibunyikan sebanyak tiga kali sebagai penanda sayembara telah dimulai. Dalam pidato pembukaan, Baginda Raja sengaja memperkenalkan Khatib kepada seluruh pembesar kerajaan, para undangan, dan seluruh rakyat. Raja mengatakan bahwa Khatib adalah tamu kerajaan. Oleh karena itu, ia berhak mengikuti sayembara tersebut.

Sayembara segera berlangsung, beberapa peserta telah tampil dan memberikan jawaban. Di antara jawaban-jawaban tersebut, ada yang mengatakan benda tersebut sejenis beliung, ada yang mengatakan sabit, senjata untuk berburu, alat pengupas kelapa, dan lain-lain. Baginda Raja yang bertindak sebagai hakim menyatakan bahwa jawaban para peserta belum ada yang sempurna.

Sesuai rencana semula, Khatib mendapat giliran terakhir. Dengan lancar Khatib menjelaskan perihal benda tersebut. Ia menambahkan kemungkinan bahwa mungkin benda tersebut hanyut dari daerahnya, Ayiu Lului

(41)

31

Kampar, melewati terowongan bawah air hingga sampai di Gunung Sahilan. Semua yang hadir dapat menerima jawaban Khatib. Dengan demikian, Khatib dinyatakan sebagai pemenang sayembara.

Sesuai perjanjian, Baginda Raja mengumumkan hadiah yang akan dianugerahkan kepada pemenang. Khatib dianugerahkan gelar panglima kerajaan, diberi tanah ulayat yang luas, dan dicarikan calon istri yang sepadan. Namun, hadiah yang diberikan oleh Raja ia tolak, kecuali gelar kebesaran, panglima. Khatib menolak jabatan, harta, dan pendamping hidup yang diberikan Raja karena ia tidak ingin lama tinggal di Gunung Sahilan. Ia ingin segera kembali ke Koto Pukatan. Khatib selalu teringat kepada ibunya yang mungkin menganggapnya telah meninggal dunia saat ia dilarikan ikan tapah buntung itu.

Baginda Raja menghendaki Khatib tetap tinggal di Gunung Sahilan selama beberapa hari karena masih banyak yang perlu dikerjakannya.

Setelah mempertimbangkan kepentingan Raja

(42)

32

yang baik itu, Khatib menyetujui untuk tinggal selama tujuh puluh hari. Raja sangat bersukacita sehingga beliau mengadakan upacara pulang sanak untuk Khatib yang berlangsung selama tujuh malam berturut-turut.

(43)

33

Putra Putri Raja Meninggal Dunia

aginda Raja memiliki seorang anak laki-laki bernama Buyung dan seorang anak perempuan bernama Gadih. Buyung adalah seorang anak muda berkulit hitam dan sifatnya agak ceroboh. Gadih berwajah cantik jelita dan kulitnya putih bagaikan embun.

Saat jamuan makan, kebetulan Gadih bertatap muka dengan Khatib. Seketika, Khatib jatuh hati kepada gadis jelita itu. Demikian pula halnya dengan Gadih. Diam-diam ia juga menaruh hati kepada pemuda pemberani dan berwajah tampan itu. Namun sebagai seorang gadis, tidak mungkin ia mengutarakan isi hatinya lebih dahulu.

Pada suatu kesempatan, kedua anak muda itu bertemu. Kesempatan yang baik itu tidak disia-siakan oleh Khatib.

“Adinda Gadih,” panggil Khatib hati-hati.

“Sejak pertama bertemu pandang denganmu, hatiku berdebar-debar. Aku yakin

B

(44)

34

kaulah gadis yang akan menjadi pendamping hidupku.” Khatib melanjutkan.

“Benarkah begitu, Kanda?” sahut Gadih.

“Jika Kanda memang berkenan kepada Dinda, alangkah baiknya Kanda segera bertanya kepada ayahanda. Kanda akan mengetahui apakah Dinda masih sendiri atau sudah ada yang punya.”

“Baiklah, memang itulah yang sepantasnya kulakukan,” kata Khatib.

Kemudian, Khatib pergi menemui Baginda Raja untuk menyampaikan maksud hatinya. Sejak semula, Baginda Raja menaruh simpati kepada pemuda yang berhasil menaklukkan ikan tapah tersebut. Bukan karena ketampanan dan keberaniannya, melainkan sifat sopan dan tingkah laku pemuda itu yang tanpa dibuat-buat.

Maka, dengan senang hati Baginda Raja menerima lamaran Khatib.

“Tapi, Ananda Khatib, terpaksa pernikahan ditunda sampai tiga bulan lagi. Saya masih harus menuntaskan urusan yang belum

(45)

35

selesai,” kata Baginda setelah menerima lamaran Khatib.

Khatib hendak berkata bahwa pernikahannya tidak perlu diselenggarakan besar-besaran dan segala keperluan untuk pernikahan dialah yang akan menanggung.

Namun, niat itu ia urungkan karena takut hal itu dapat menyinggung perasaan calon mertuanya.

“Baik, Tuanku!” Khatib menyetujui.

“Hamba cukup maklum maksud Tuanku.

“Terima kasih atas pengertian Ananda!”

sahut Baginda Raja, tampak lega. Ia makin senang kepada calon menantunya yang tahu adat itu.

Sebelum berangkat, Baginda Raja berpesan kepada Buyung agar menjaga adiknya dengan baik sehingga tidak ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Barulah setelah itu Baginda Raja pergi menuntaskan urusannya.

Di Daerah Gunung Sahilan, apabila ada waktu senggang, semua anak laki-laki dan pemuda senang bermain gasing. Pada suatu hari, Panglima Khatib dan Buyung sedang asyik

(46)

36

bermain gasing di halaman istana. Mereka tertawa bergelak-gelak. Semakin lama semakin asyik sehingga orang-orang yang mendengar pun ikut tertawa senang. Hal itu menggugah hati Gadih yang sedang menyulam di ruang tengah. Ia menuju ke jendela untuk melihat keasyikan tunangan dan kakaknya bermain gasing.

Kehadiran Gadih terlihat oleh kedua pemuda itu.

Sambil melihat ke anjungan, Khatib melepaskan gasingnya. Gasing itu mengenai gasing Buyung.

Gasing Buyung melayang dan terpelanting tinggi.

Mereka masih tertawa-tawa melihat gasing itu.

Namun, tiba-tiba gasing itu bergerak ke arah Gadih. Sontak semua terkesiap. Sebelum mereka sadar apa yang terjadi, tiba-tiba gasing berputar persis di atas kening Gadih.

“Aaahhh!” Gadih menjerit kesakitan.

Namun, semua tindakan tidak ada manfaatnya. Gadis yang cantik jelita itu akhirnya mengembuskan napas terakhirnya.

“Dindaaa!” Khatib dan Buyung menjerit keras sambil berlari ke arah Gadih.

(47)

37

(48)

38

Panglima Khatib langsung memeluk jasad tunangannya itu. Namun, tiba-tiba Buyung histeris melihat adik kesayangannya meninggal.

Beliau masih belum percaya atas apa yang telah terjadi.

Setelah yakin adiknya meninggal, Buyung merasa kecewa dan putus asa. Ia takut kalau ayahnya pulang, beliau akan murka kepadanya karena telah melalaikan pesan beliau.

“Sungguh celaka! Semua gara-gara aku!”

teriaknya dengan suara parau.

Seketika itu, Buyung melihat dua buah tombak bersilang di dinding. Secepat kilat, ditariknya tombak itu. Dengan sekuat tenaga, tombak itu Buyung lemparkan ke halaman.

Pangkal tombak menancap ke tanah dan mata tombak mencuat ke atas. Tindakan tersebut hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang mengerti ilmu silat dan ilmu perang.

Khatib yang masih memeluk tunangannya tak sempat mencegah perbuatan Buyung.

Namun, sepasang mata pemuda itu membelalak ngeri saat berpaling ke arah calon kakak iparnya.

(49)

39

Ia benar-benar tidak menyangka Buyung akan berbuat senekat itu. Saat itu, dengan gerakan yang sukar diikuti mata, Buyung melompat ke halaman. Tubuhnya meluncur ke arah mata tombak yang mencuat ke atas, mengenai mata tombak yang mencuat. Serta-merta, mata tombak menembus perut Buyung langsung ke belakang punggung.

“Adinda Gadih, Kanda segera menyusulmu!” Suara pemuda itu tersendat- sendat, menjelang sekarat. Usai berkata demikian, Buyung pun meninggal dunia.

Khatib segera berteriak keras memanggil siapa pun untuk melihat kejadian itu.

“Tolooong!” teriaknya.

Orang-orang lantas berdatangan menyaksikan kejadian tersebut. Tidak ada seorang pun yang bisa berkata-kata.

“Cepat kita urus jenazah mereka berdua!”

seru salah seorang kerabat istana.

Sementara kerabat istana merawat jenazah kedua kakak beradik itu, hati Khatib kacau balau. Tidak dapat dibayangkan marahnya

(50)

40

calon mertuanya, Baginda Raja, apabila mengetahui kejadian ini.

Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, Khatib neminta agar mayat orang- orang yang disayanginya itu segera dikuburkan.

“Mari segera kita kuburkan mayat mereka!

Tapi, kedua mayat ini harus dikuburkan di tempat terpisah!” perintahnya.

Mayat Buyung dimakamkan di tepi sungai.

Agar kuburannya tidak terlihat dari seberang sungai, kuburannya diberi pagar sehingga daerah tersebut diberi nama ‘Sungai Pagar’. Sementara itu, mayat Gadih dibawa ke seberang dan dikuburkan di sana. Karena Gadih merupakan kekasih Khatib, tempat itu kemudian diberi nama

‘Rantau Kasih’.

Sejenak Khatib, merasa lega. Namun, tatkala ingat Baginda Raja akan pulang, pikirannya kembali kacau. Bagaimana perasaan Baginda Raja setelah tahu kedua anak yang sangat disayanginya ternyata telah meninggal dunia. Dan salah satu penyebab kematian tunangannya adalah dirinya sendiri.

(51)

41

“Seandainya aku tidak bermain gasing, tidak mungkin terjadi hal seperti ini,” gumamnya penuh sesal.

“Semua ini salahku jua!” Ia terus-menerus menyalahkan dirinya.

“Sekarang apa yang harus kulakukan?”

gumamnya kebingungan.

“Apa yang harus kukatakan kepada Baginda Raja?”

Setelah berpikir keras, Khatib kemudian mengumpulkan semua penduduk. Diajaknya mereka berunding. Akhirnya setelah berunding, pemuda bergelar panglima itu memutuskan untuk meninggalkan kerajaan karena yakin bahwa Baginda Raja tidak akan memaafkannya. Ia pun mengajak orang-orang kampung untuk ikut serta naik ke perahu. Perahunya dibelokkan ke arah hulu. Di hulu sungai itu, mereka berhenti untuk istirahat sambil menenangkan pikirannya yang sedang kacau. Namun, mereka tidak tahu nama tempat itu. Mereka hanya tahu bahwa mereka berada di hulu sungai. Oleh karena itu, tempat itu diberi nama ‘Siak Hulu’. Sekarang, tempat itu

(52)

42

merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Kampar.

Meskipun sudah istirahat, pikiran Khatib masih saja kacau. Hatinya bertambah sedih.

Beliau tidak sampai hati meninggalkan kerajaan yang sedang berduka. Akhirnya, Khatib memutuskan kembali ke istana karena tidak tega membiarkan Baginda Raja bersedih dengan duka cita.

Khatib kembali seorang diri. Orang-orang yang ikut dengannya diantarkannya ke sebuah daerah. Di tempat itu, tumbuh beberapa pohon pinang sehingga mereka bisa istirahat di bawah pohon tersebut. Bahkan pelepah pinang tersebut bisa mereka manfaatkan sebagai pembungkus makanan. Akhirnya, daerah itu dinamakan

‘Kampung Pinang’.

Baginda Raja telah merapat dengan perahunya. Beliau heran melihat kampungnya sepi. Baginda lantas naik ke istana. Istana juga tampak lengang. Setelah penduduk yang berada di sekitar istana menceritakan kejadian

(53)

43

sebenarnya, barulah ia mengetahui apa yang telah terjadi.

Baginda Raja merasa sedih. Kemudian dengan beberapa pengikut, beliau berangkat meninggalkan kerajaan dan pergi ke seberang dusun untuk mengobati rasa sedihnya. Setelah agak lama menempuh perjalanan, Baginda mulai merasa lelah. Beliau lantas berhenti di suatu daerah. Derah tersebut terletak di antara Sungai Pagar, tempat Buyung dikuburkan, dan Kampung Pinang. Berhubung daerah itu merupakan tempat perhentian Raja, daerah itu diberi nama

‘Perhentian Raja’. Perhentian Raja merupakan salah satu nama kecamatan yang terdapat di Kabupaten Kampar dan bersebelahan dengan Kecamatan Siak Hulu.

Setelah rasa sedihnya mulai berkurang, Baginda Raja memutuskan untuk kembali ke istana. Sesampainya di istana, beliau menemukan Khatib yang tengah bersiap-siap kembali ke kampungnya. Baginda Raja yang arif dan bijaksana itu langsung memeluk Khatib dengan penuh kasih sayang.

(54)

44

“Kamulah satu-satunya anakku,” ucap Baginda. “Mohon jangan tinggalkan, Ayahanda!”

lanjut Baginda.

“Ampun, Tuanku, bagaimanapun juga hamba harus kembali ke kampung halaman hamba! Rasanya hamba tidak mungkin berlama- lama di sini!” jelas Khatib kepada Baginda Raja.

“Orang tua hamba mungkin mengira hamba sudah meninggal. Untuk itu, hamba harus pulang menemuinya! Jika Tuanku masih menghendaki hamba di sini, hamba akan kembali setelah hamba meminta izin kepada orang tua Hamba,” lanjut Khatib.

Dengan berat hati, Raja pun melepas kepergian Khatib pulang ke Koto Pukatan.

“Baiklah, Ananda Khatib, Ayanda izinkan Ananda pulang ke Koto Pukatan, dengan catatan setelah Ananda minta izin orang tua, Ananda harus kembali ke istana ini karena Ananda merupakan panglima di kerajaan ini,” titah Baginda.

(55)

45

“Baiklah, Tuanku! Titah Tuanku akan hamba laksanakan. Kalau begitu, hamba mohon pamit.”

Setelah berpamitan, Khatib berangkat ke kampung halamannya. Untuk kepulangannya, pihak kerajaan telah mempersiapkan sebuah perahu yang cukup besar dengan ukiran yang indah sebagai ucapan terima kasih. Usai bermaaf-maafan, panglima itu pun mulai meninggalkan Gunung Sahilan diiringi beberapa perahu kerajaan. Lelo pun dibunyikan tujuh kali melepas kepergian Khatib.

(56)

46

Pulang ke Kampung Halaman

etelah enam hari menyusuri Sungai Kampar, tibalah Khatib di kampungnya, Koto Pukatan. Di tepian sungai, ia melihat banyak gadis yang sibuk bekerja. Ada yang mengupas dan mencincang cempedak muda, sebagian lagi membersihkan ayam dan ikan yang telah dipotong-potong.

Pemuda yang telah bergelar panglima itu merasa penasaran, lalu ia menegur gadis-gadis tersebut.

“Sepertinya masyarakat desa ini akan melakukan kenduri besar?”

“Benar, Tuanku, kami akan mengadakan perhelatan besar,” jawab salah seorang dari mereka.

“Perhelatan untuk apa?” tanya Panglima Khatib.

“Kami hendak mengadakan upacara peringatan seratus hari meninggalnya pemuda desa sini!”

Panglima Khatib termenung sejenak, lalu ia kembali bertanya, “Apa penyebab kematiannya?”

S

(57)

47

“Dia dilarikan ikan tapah buntung.”

“Oh begitu, apakah pemuda itu bernama Khatib?”

Semua gadis yang bekerja di tepian sungai tersebut terkejut mendengar nama yang disebutkan orang asing itu. Mereka kaget saat tahu ada orang asing yang mengetahui nama Khatib.

“Sesungguhnya, saya adalah pemuda yang kalian anggap telah meninggal itu.”

Panglima Khatib lantas menjelaskan bahwa dirinya adalah pemuda yang mereka sangka telah meninggal sejak seratus hari lalu. Gadis-gadis itu terkejut dan mengamati Panglima Khatib dengan saksama.

Salah seorang dari mereka lalu bertanya untuk meyakinkan bahwa apa yang dikatakan orang asing itu benar.

“Apakah ini Khatib? Berarti Khatib tidak meninggal? Syukur alhamdulillah!”

Panglima Khatib hanya mengangguk sebelum melanjutkan perjalanan menuju

(58)

48

rumahnya, meninggalkan mereka dalam kebingungan.

Dari kejauhan, Panglima Khatib dapat mendengar suara gaduh dari rumahnya. Anggota keluarganya telah mendapat kabar bahwa ia masih hidup dan sedang berada di tepian.

Sesampainya di halaman rumah, Khatib bergegas naik ke rumah sambil mengucapkan salam.

“Assalamualaikum!” ucapnya.

“Waalaikumsalam!” jawab orang seisi rumah.

Melihat Panglima Khatib pulang, seluruh keluarga segera menghampirinya. Tangisan dan ratapan terdengar, semakin menjadi-jadi.

“Bapak-bapak, ibu-ibu, sanak saudara sekalian, harap tenang dan jangan meratap lagi.

Syukur alhamdulilah saya telah kembali. Memang benar pepatah orang tua-tua: indak gowuo bapantang luko, indak ajal bapantang mati (kalau tidak ada sebab tidak akan ada luka, kalau tidak ajal tidak akan mati),” kata Panglima Khatib untuk mengatasi situasi yang demikian.

(59)

49

Sekonyong-konyong, Mak Khatib mendekat dan menepuk bahu anaknya.

“Itulah, Nak! Bukankah Mak tidak menyuruhmu menombak tapah buntung!?” ratap Mak sambil memeluk anaknya yang disangka telah tiada itu.

“Akhirnya kami kehilangan kamu seratus hari, Nak! Kami kira kamu sudah meninggal!

Inilah upacara seratus hari kematianmu, Nak!

Orang kampung sudah diundang untuk datang malam ini!” lanjut Mak dengan suara keras dan terus meratap.

Panglima Khatib langsung mamegang tangan ibunya yang masih meratap.

“Sabar, Mak. Coba Mak dengarkan cerita saya! Ini terjadi bukan karena siapa-siapa!

Semua terjadi karena suratan hidup saya!”

jelasnya.

“Kini, acara seratus hari saya telah diadakan, kita ganti saja dengan doa selamat pulangnya saya ke desa ini!” lanjut Khatib.

(60)

50

“Lalu, bagaimana caranya kita memberitahukan hal ini kepada panduduk?”

sahut anggota kaluarganya yang lain.

“Masalah itu tidak perlu dirisaukan. Orang kampung pasti ingin tahu pula kisah hilangnya saya selama seratus hari. Oleh karena itu, nanti malam kalau orang kampung sudah datang, saya sendiri yang akan mangumumkan bahwa acara ini diubah manjadi doa selamat kepulangan saya,”

jawab Panglima Khatib.

Selesai melaksanakan salat Magrib, orang- orang pun berdatangan ke rumah Panglima Khatib. Sebelum upacara peringatan seratus hari kematiannya dilangsungkan, Panglima Khatib memberikan kata sambutan. Beliau menceritakan bagaimana dirinya diseret ikan tapah buntung sehingga sampai ke Gunung Sahilan, ikut serta dan memenangkan sayembara di sana, menerima gelar panglima dan menolak semua hadiah lainnya, hingga proses kembalinya ia ke Koto Pukatan. Sebelum menyelesaikan sambutannya, Panglima Khatib menjelaskan tentang keadaan Ayiu Lului yang sebenarnya merupakan jalan

(61)

51

tembus menuju Sungai Kampar sebelah kiri.

Panglima Khatib juga mengatakan juga bahwa tidak hanya dirinya, tapi sebuah mata bajak dari Koto Pukatan pernah pula ditemukan oleh orang Gunung Sahilan di Sungai Kampar Kiri. Khatib memperkirakan bahwa mata bajak tersebut terbawa juga oleh arus terowongan bawah Ayiu Lului.

Mendengar cerita Khatib, semua orang yang datang ke rumahnya tercengang.

(62)

52

Air Tiris

itik-titik hujan pagi menari-nari senang menyaksikan pulangnya Panglima Khatib. Langit tertutup awan hitam. Khatib mengajak ibunya pergi menengok kuburan ayahnya di hutan sebagai pengobat hati ibunya yang sedih. Mereka lalu sampai di tempat ayahnya dikubur dulu.

Ternyata, tempat itu telah berubah menjadi sebuah terowongan yang tembus ke Lubuk Ayiu Lului, tempat Khatib mencari ikan. Air terowongan tersebut sangat deras. Tentu saja hati Mak semakin sedih karena dia sangat berharap akan bertemu dengan kuburan suaminya.

Melihat kejadian itu, Mak menangis sejadi- jadinya dan tidak bisa berhenti. Air mata Mak maleleh dan terus berjatuhan ke tanah sehingga tidak bisa dibendung. Lama-kelamaan, air mata Mak yang tidak terbendung itu bagai tanggul dan bendungan yang terlepas. Airnya mengalir hingga ke Desa Pukatan.

T

(63)

53

(64)

54

Desa Pukatan menjadi tenggelam oleh air mata Mak. Air mata tersebut terus mengalir bagai cucuran air dari ceret yang bocor.

Sejak kejadian yang menakjubkan itu, daerah Koto Pukatan tempat lahir Khatib disebut orang dengan nama Air Tiris. Itulah asal mula terjadinya nama daerah Air Tiris.

Tamat

(65)

55

Biodata Penulis

Zulkaidah, dilahirkan pada 8 November 1971 di Desa Pulau Birandang yang berada di seberang Pasar Kampar, Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Sejak masa kanak-kanak, penulis gemar mendengar cerita rakyat, terutama cerita tentang legenda dan asal mula. Selain itu, penulis juga gemar membaca dan menulis puisi, bermain drama, dan menari.

Saat ini, ia bertugas sebagai Guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 2 Siak Hulu. Selain mengajar, ia sibuk menulis berbagai buku literasi.

(66)

56

Biodata Ilustrator

Lahir di Kota Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 29 Juli 1982 dengan nama Endi Astiko, anak kedua dari tiga bersaudara. Sejak menikah tahun 2007 berpindah domisili di Pemalang, Jawa Tengah hingga sekarang. Berawal dari bakat menggambarnya, sejak kecil bercita-cita menjadi seorang animator. Pada pertengahan tahun 2002 mengikuti sebuah pelatihan animasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Tegal.

Bekerja sebagai ilustrator freelance di kampung halaman hingga sekarang. Karya- karyanya diterbitkan di penerbitan lokal hingga mancanegara. Berikut beberapa karya terbaru yang sudah terbit; Seri Benda-Benda Langit (penerbit Bestari dzikrul), Where's My Dad?

(Ambry L.ivy), Little Miss Wash Your Hands (Erica Basora), Explore the World of Chemistry (Christi Sperber), The War of Soaps and Sponges (Phoebe Akinteye), dsb.

(67)

57

Biodata Penerjemah

Penerjemah bernama Aprianto, S.Pd. atau dikenal juga dengan nama Apri. Lahir di Pulau Tinggi, Kabupaten Kampar, pada 23 April 1995 dari pasangan suami istri bernama Lukman (ayah) dan Nursyam (ibu). Penerjemah merupakan anak bungsu dari empat bersaudara.

Ia menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi pada tahun 2018. Saat ini bekerja sebagai Guru Pendidikan Kesenian di beberapa sekolah, baik sekolah negeri maupun swasta. Selain itu, Apri juga mengajar di MAN 4 Kota Pekanbaru sebagai guru honorer. Penerjemah bermukim di Dusun 2 Pulau Tinggi, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.

Pendidikan penerjemah dimulai dari SDN 025 Padang Mutung, SMPN 1 Kampar Timur, SMAN Model 1 Kampar Timur, dan melanjutkan pendidikan di Universitas Islam Riau (UIR).

(68)

Catatan

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

(69)

Catatan

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

(70)

Catatan

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

(71)
(72)

A

IR Tiris

merupakannama sebuah Ibukota kecamatan yang terdapat di Kabupaten Kampar. Asal mula terjadinya nama air tiris berasal dari cerita seorang pemuda yang baik budi saat

diseret ikan tapa raksasa selama berhari- hari, lalu sampai di sebuah daerah yang

memiliki kerajaan.

Di kerajaan tersebut dia diangkat menjadi panglima. Suatu hari, panglima mengajak ibunya melihat kuburan ayahnya. Namun, terjadi sesuatu yang menakjubkan. Ibunya

menangis karena tidak bisa menemukan kuburan suaminya. Tangis Mak tidak bisa

berhenti sehingga air matanya mengalir sampai menenggelamkan desa tempat

panglima Khatib dibesarkan.

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun keputusan bisnis yang dibuat oleh perusahaan dimaksudkan untuk meningkatkan nilainya, tetapi keputusan tersebut tidak boleh melanggar etika dan tanggung jawab

Sebuah perusahaan (corporation) merupakan suatu bentuk organisasi usaha yang mempunyai badan hukum, perusahaan dianggap sebagai suatu kesatuan usaha yang berdiri sendiri dan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial variabel ROA berpengaruh signifikan terhadap harga saham, dan secara parsial variabel ROE, NPM dan EPS tidak

PENGARUH DISIPLIN BELAJAR DAN KONSEP DIRI TERHADAP PRESTASI BELAJAR KOGNITIF SISWA JURUSAN ADMINISTRASI PERKANTORAN KELAS XI DI SMK SANGKURIANG 1 KOTA CIMAHI Universitas

Tujuan penelitian adalah untuk membandingkan berapa besaran bunga pinjaman yang diberikan Kopkar Praesty berdasarkan perhitungan nilai uang dari waktu dan untuk mengetahui

Sumber: Data sekunder diolaha. Test distribution

Parameter pengujian yang digunakan yaitu analisa fisikokimia (pH, sineresis, daya hisap) dan organoleptik (tingkat kesukaan panelis terhadap kemudahan dihisap,

Sedangkan menurut Suharsimi (2013:272) menyatakan bahwa metode observasi adalah format yang disusun berisi item-item tentang kejadian atau tingkah laku yang digambarkan