• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of LOGIKA ISTINBATH DALAM THORIQ AL-KHOLASH DALAM BAB RIBA (TELA’AH ATAS PEMIKIRAN ZAINUDDIN BIN ABDUL AZIS AL-MALIBARY)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of LOGIKA ISTINBATH DALAM THORIQ AL-KHOLASH DALAM BAB RIBA (TELA’AH ATAS PEMIKIRAN ZAINUDDIN BIN ABDUL AZIS AL-MALIBARY)"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

LOGIKA ISTINBATH DALAM THORIQ AL-KHOLASH DALAM BAB RIBA (TELA’AH ATAS PEMIKIRAN ZAINUDDIN BIN ABDUL AZIS AL-MALIBARY)

Article details:

Published: 31 Desember 2019

"Bank and Riba are inseparable entities. But on the other hand the bank is an institution that is always needed by most people.

While usury is clearly forbidden and has been explained in al- Hadith or in the Qur'an.

However, when it is associated with the rotation and development of the times, it will be a little difficult, especially to meet the needs in every line of life, especially if you see that banking has become one of the leading institutions in managing State finances and has interest products that some Ulama are punished as usury . Besides that, in some regions it has become commonplace for moneylenders who will give loans by requiring more repayments.

Sheikh Zainuddin Abdul Aziz al- Malibary who gave rise to the

concept of Thoriqu Al-Kholas in the book Fafhu al-Mu'in as a solution in avoiding usury practices, how to avoid usury contracts for people who sell gold with gold or silver with silver but with there the advantages are each of the people who transact to grant rights or goods to their partners ". Or each transaction deals with their rights or goods, then frees them so that they can avoid usury for those who sell gold for gold or silver for silver who do not handover in the contract.

Key words: istinbath, Thoriqu Al-Kholash and Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibary

Keyword : Logic Istinbath, Thoriq Al-Kholash, Riba Jonwari

Abiazka082@gmail.com Budi Hartawan

Fakultas Syari'ah dan Ekonomi Islam Universitas Ibrahimy Sukorejo Situbondo Abdul Wasik

Kepala P3M dan Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) At Taqwa Bondowoso abdul_wasik80@yahoo.co.id

(2)

A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang penuh rahmat dengan beragam petunjuk untuk mencapai kebahagiaan dunia ataupun akhirat. Islam juga penuh dengan aturan main untuk mengatur segala persoalan yang berkaitan dengan manusia, baik yang berkaitan dengan duniawi ataupun ukhrawi. Petunjuk-petunjuk dalam al-Qur‟a n dan al-Hadit s belum mencakup dan belum bisa menjawab semua permasalan yang selalu berubah dan berkembang setiap saat sesuai dengan perubahan tempat dan waktu, terutama pada era globalisasi dan modernisasi seperti sekarang ini, sehingga menuntut kalangan tertentu dari cendikiawan muslim yang sudah memenuhi syarat untuk melakukan ijtiha d berupa mencurahkan segala kemampuan untuk memperoleh hukum Syar‟i dari mengkaji dalil-dalil yang terperinci1, dengan menyesuaikan perkembangan dan kemajuan yang dalam rangka menghadirkan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia sebagai tujuan akhir dari Syariat. Untuk memudahkan manusia di dalam menjalankan kehidupan modern maka harus tidak terlalu fanatik terhadap satu atau beberapa pendapat tertentu, akan tetapi dengan memilah pendapat yang memang layak untuk diaplikasikan dan memperoleh maslahat, terutama dalam perkara-perkara yang masih bersifat z honniyah (Fikih Ansih ).

Hukum secara umum di bagi menjadi dua bagian: pertama, hukum-hukum yang sudah disepakati(Ittifaq) tentang kebolehan dan keharamannya seperti wajibnya shalat, zakat, puasa, haram memakan harta anak yatim, minum khamer, memakan riba. Kedua, hukum-hukum yang masih diperselisihkan(Ikhilaf) tentang kebolehan dan keharamannya seperti jumlah fardu wudlu‟, hukum shalat berjama‟ah, dan lain-lain. Dalam kajian ini akan memfokuskan pembahasan tentang riba yang sudah termasuk dalam hukum yang sudah di sepakati ulama tentang keharamannya.

1 Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushu l al-Fiqh. (t. t: t.p. , t.th. ),hlm. 188.

(3)

Dalam al-Quran sudah dijelaskan tentang keharaman riba dalam empat tahap2. Pertama, menolak anggapan masyarakat Mekkah bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam surah ar-Rum (30) ayat 39:

ِرُت ٍةاَكَز ْنِم ْمُتْيَ تآ اَمَو ِوَّللا َدْنِع وُبْرَ ي َلََف ِساَّنلا ِلاَوْمَأ ِفِ َوُ بْرَ يِل اًبِر ْنِم ْمُتْيَ تآ اَمَو { :مورلا[ }نوُفِعْضُمْلا ُمُى َكِئَلوُأَف ِوَّللا َوْجَو َنوُدي

]39

Ayat tersebut turun ketika Nabi Muhammad SAW berada di Mekkah yang menjelaskan bahwa riba tidak akan menambah keberkahan dalam harta mereka3. Kedua, riba di gambarkan sebagai sesuatu yang buruk dan Allah SWT akan mengancam memberi balasan yang keras kepada orang yahudi yang memakan riba.

Sebagaimana firman-Nya dalam surah an-Nisa ayat 160-161:

ِثَك ِوَّللا ِليِبَس ْنَع ْمِىّْدَصِبَو ْمَُلذ ْتَّلِحُأ ٍتاَبّْيَط ْمِهْيَلَع اَنْمَّرَح اوُداَى َنيِذَّلا َنِم ٍمْلُظِبَف { اًير

ْمِهِلْكَأَو ُوْنَع اوُهُ ن ْدَقَو اَبّْرلا ُمِىِذْخَأَو :ءاسنلا[}اًميِلَأ اًباَذَع ْمُهْ نِم َنيِرِفاَكْلِل اَنْدَتْعَأَو ِلِطاَبْلاِب ِساَّنلا َلاَوْمَأ

161 ]160

ketiga, riba dikaitkan pada sesuatu yang berlipat ganda. Allah SWT berfirman dalam surah Ali-Imran ayat 130

ْأَت َلَ اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ اَي{

:نارمع لآ[ } َنوُحِلْفُ ت ْمُكَّلَعَل َوَّللا اوُقَّ تاَو ًةَفَعاَضُم اًفاَعْضَأ اَبّْرلا اوُلُك ]130

Secara umum ayat ini harus difahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat terjadinya keharaman riba, tetapi ini merupakan gambaran bahwa yang terjadi pada saat itu adalah riba yang berlipat ganda4, sehingga tidak dapat di pahami sebaliknya5. Keempat, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman, ini adalah ayat terakhir diturunkan yang berkaitan dengan riba, yaitu surah al baqarah ayat 278-279

}ينِنِمْؤُم ْمُتْنُك ْنِإ اَبّْرلا َنِم َيِقَب اَم اوُرَذَو َوَّللا اوُقَّ تا اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ اَي{

ْمُكَلَ ف ْمُتْبُ ت ْنِإَو ِوِلوُسَرَو ِوَّللا َنِم ٍبْرَِبِ اوُنَذْأَف اوُلَعْفَ ت َْلَ ْنِإَف{

:ةرقبلا[ } َنوُمَلْظُت َلََو َنوُمِلْظَت َلَ ْمُكِلاَوْمَأ ُسوُءُر ]279

2 .Idri.Ekonomi dalam persfektif hadis nabi.Tt.(Kencana Prenada Media Group).Hlm.183.

3 Ibnu Jazi, Tafsi r At-Tashi l Li „Ulu mi At-Tanzi l TtJuz 1.Hlm 1464.

4 Imam As-Sya‟rowi. Tafsi r As-Sya‟rowi. Juz1. (t. t: t.p. , t.th. ).hlm.763.

5 Imam Abi Yahya zakaria Al Anshori. Gha yathul Wushu l Syarh Lubbul Ushu l. (t. t: t.p. , t.th.

).hlm.38.

(4)

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), makaketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya.(QS.An-Nisa 278-279) 6.

Bahkan di dalam al-Hadits dijelaskan semua pihak yang terlibat dalam riba seperti orang yang mentransaksikan, memakan, mewakili dan yang mencatat serta yang menjadi saksi mendapat laknat dari Allah SWT7.

Begitu jelas keharaman riba yang telah dipaparkan dalam al-Quran dan al- Hadits yang tidak dapat di toleransi lagi. Namun di dalam kepastian keharaman ini akan menimbulkan banyak masalah ketika dikaitkan dengan permasalahan modern yang seperti menyebarnya perbankan baik yang berupa Bank Syari‟ah ataupun Bank Konvensional. Di satu sisi bunga adalah produk perbankan, di sisi lain kehadiran perbankan sangat di butuhkan untuk meningkatkan kualitas perekonomian di Indonesia umumnya dan masyarakat umat Islam khususnya yang masih merupakan Negara berkembang dan masyarakatnya yang masi berada dibawah kelayakan.

Bukan hanya sebatas itu, bahkan di suatu daerah sudah menjadi lumrah menghutangkan uang dengan syarat membayar lebih dari jumlah utang dengan prosentasi limit waktu, dan realitas-realitas seperti ini sudah tidak dapat di pungkiri dan sangat sulit untuk di hilangkan, sehingga dalam keadaan seperti ini kita membutuhkan jalan keluar agar bisa terhindar dari praktek riba.

Oleh karena itu menjadi menarik bagi penulis untuk mengkaji lebih mendalam terhadap pendapat Syeikh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibary yang memunculkan konsep Thoriqu Al- Kholas di dalam kitab Fafhu al-Mu‟in sebagai solusi dalam menghindar dari praktek riba dalam fokus pembahasan “Logika

6 Lajnah pentashih kementrian agama RI, al-Qur‟an dan terjemahannya,(Bandung, 2009),h.94

7 Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub, Al-mu‟ja m al-Ausat h at- Thabrani, juz 15. (t. t: t.p. , t.th. ).Hlm 339.

(5)

Istinbath Tentang Thori qu al-Kholash Dari Riba Dalam Kitab Fath Al-Mu‟in” sehingga nantinya tidak meragukan lagi untuk di terapkan di masyarakat yang membutuhkan.

B. Seputar Riba

Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis8 berarti tambahan

“azziyadah”, berkembang “an-numuw”, membesar “al-'uluw” dan meningkat “al- irtifa'”. Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa tersebut, ada ungkapan Arab kuno; arba fulan 'ala fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan riba terhadap orang lain jika di dalamnya terdapat unsur tambahan).

Menurut terminologi ilmu fikih, riba merupakan tambahan khusus yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu. Riba sering juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai"Usury" dengan arti tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syariat, baik dengan jumlah tambahan yang sedikit atau pun dengan jumlah tambahan banyak.

Jika melihat ayat yang menyinggung riba dalam al-Qur‟an, dikaitkan dengan aktivitas kaum Yahudi (QS an-Nisa‟ ayat 161). Saat dibebaskan oleh Nabi Musa as.

dari perbudakan Fir‟aun di Mesir, bangsa Yahudi mendapat berbagai kenikmatan hidup. Tetapi pada era Nabi Isa as mereka mengalami penderitaan. Salah satu sebabnya adalah karena mereka gemar memakan harta orang lain dengan cara lalim melalui praktek riba—seperti yang disebutkan al-Qur‟an—yang dilarang dalam kitab Taurat dan Zabur 9.

Bangsa Yahudi memang memiliki reputasi yang terkenal dalam bisnis pembungaan uang. Pada masa kini pun praktek pembungaan oleh kelompok etnis

8 Al jamal sulaiman, hasyiah al-jamal „ala al-minhaj, (Dar al-Fikr : Beirut, juz 2,t.th),h.392

9 Muhammad Asad, The Message of al-Qur‟an, versi digital (pdf), Hal. 200, tt, diunduh dari http://muhammad-asad.com/Message-of-Quran.pdf

(6)

Yahudi di AS di luar lembaga perbankan berupa credit union10 menjadi fenomena yang jamak ditemui.

Pada masa menjelang abad modern, timbul gerakan untuk menghapus larangan riba. Penghapusan terhadap larangan riba baru terjadi di Inggris tahun 1854, dan Belanda tahun 1857. Pada masa yang sama beberapa negara bagian di AS masih mempertahankan peraturan anti-riba. Hingga pada kelanjutannya, bunga dan riba dimengerti secara berbeda. Riba diterjemahkan sebagai woeker dalam bahasa Belanda, yaitu bunga yang terlalu tinggi persentasinya. Adapun persentase bunga yang masih di bawah ambang kewajaran ditolerir.11

Di dalam Alquran, kata riba beserta berbagai bentuk derivasinya disebut 20 (dua puluh) kali dalam empat surah, tiga diantaranya turun setelah Nabi hijrah dan satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah, 8 (delapan) berbentuk kata riba itu sendiri.

Kata ini dalam Alquran digunakan dengan berbagai macam arti, seperti tumbuh, bertambah, menyuburkan, mengembang, menjadi besar dan banyak.

Meskipun berbeda beda, namun secara umum riba berarti bertambah Adapun secara istilah, riba berarti tambahan khusus yang dimiliki (diambil) salah satu dari dua pihak yang terlibat (utang piutang atau jual beli barang ribawi) tanpa ada imbalan tertentu, atau akad yang terjadi atas pertukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya/kesamaannya menurut hukum syara‟, baik dilakukan ketika akad berlangsung atau dengan mengakhirkan pertukaran salah satu benda atau keduanya 12. Inti riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip

10 Credit Union atau koperasi kredit adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak di bidang simpan pinjam yang dimiliki dan dikelola oleh anggotanya, dan yang bertujuan untuk menyejahterakan anggotanya sendiri. Biasanya lembaga ini mempunyai bunga yang lebih rendah dari bunga standar bank.

Lihat entri “credit union” di kamus Merriam-Webster versi online http://www.merriam- webster.com/dictionary/credit%20union

11 M. Dawam, Ensiklopedi, (t. t: t.p. , t.th. ), Hal. 595.

12 Amr al-Bujairomi Sulaiman bin Muhammad, tuhfah al-habib „ala syarh al-khotib,(Libanon: Dar al- kutub al-„ilmiyyah, Beirut ,1996, juz 3,Tt),h.295

(7)

muamalah dalam Islam. Dengan demikian, terdapat tiga unsur yang melekat pada riba, yaitu:

1. Adanya tambahan atau kelebihan atas pokok pinjaman.

2. Penentuan tambahan atau kelebihan atas pokok pinjaman itu berkaitan dengan unsur pertambahan waktu.

3. Kelebihan atau tambahan atas pokok pinjaman disepakati.

C. Macam-Macam Riba

Menurut Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibary, riba terbagi menjadi empat 13. Pertama, riba fadl (لضف ابر) adalah riba yang melebihkan salah satu dari dua alat tukar. Kedua, riba qard (ضرقلا ابر ) , yaitu mensyaratkan adanya manfaat lebih yang harus di peroleh oleh pemberi utang ( debitur ). Ketiga, riba yad ( دي ابر) yaitu tidak menyerahkan dua alat tukar pada majlis akad. Keempat, riba nasi‟ah (ءاسن ابر) yaitu mensyaratkan pengakhiran salah satu alat tukar. Menurut Syafi‟i Antonio membagi riba menjadi dua, yaitu riba utang-piutang dan riba jual beli14 sehingga mencakup empat macam riba yang di atas.

D. Illat pengharaman riba

Menurut ulama Hanafiyah, illat hukum keharaman riba al-nasi‟ah adalah kelebihan pembayaran dari pokok hutang yang ditunda pembayarannya pada waktu tertentu, Ulama Malikiyyah , Syafi‟iyyah dan Hanabilah memandang illat hukum larangan riba an-nasi‟ah, karena ada kelebihan (tambahan-bunga) yang dikaitkan dengan pembayaran tunda (tenggang waktu), baik kelebihan itu dari pokok hutang atau pada barang sejenis maupun tidak sejenis.

Berdasarkan pendapat ulama ahli fiqh mengenai riba diatas, maka dapat dipahami bahwa illat hukum larangan riba adalah adanya tambahan (bunga) dari

13 Al-Malibary Zainuddin Abdul-„Aziz, fath al- Mu‟in (Surabaya: al-Haraomain,juz 1,t.th),h.68

14 Idri.Ekonomi dalam persfektif hadis nabi.(Kencana Prenada Media Group(t. t: t.th.).Hlm.183.

(8)

pokok harta yang tidak dimbangi oleh transaksi pengganti yang dibenarkan oleh syara‟.

M. Quraish Shihab menambahkan Illat hukum larangan riba dalam al-Qur‟an adalah bukan sekedar kelebihan atau penambahan jumlah hutang tetapi kelebihan yang dipungut bersama jumlah hutang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan (zhulm). Perbedaan Pendekatan Ahli Fiqh dengan M.Quraish Shihab dalam merumuskan illat hukum larangan riba terletak pada perbedaan di dalam memahami teks (nash) al-Qur‟an dan al Hadits tentang riba. Pendekatan Ahli fiqh lebih condong pada makna tekstual ayat ataupun hadits, sehingga setiap bentuk kelebihan dari jumlah hutang adalah riba yang diharamkan. Sementara pendekatan M.Quraish Shihab lebih menekankan pada pemahaman makna subtansi (kontekstual) dari ayat ataupun hadits, sehingga tidak setiap kelebihan dari jumlah hutang dinamakan riba, tetapi kelebihan yang terdapat unsur penganiayaan dan penindasan.

E. Seputer Istinbath

Istinbath” berasal dari kata “nabth” yang berarti : “air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali”. Dengan demikian, menurut bahasa, arti istinbath ialah “mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya15 .

Setelah dipakai sebagai istilah dalam studi hukum islam, arti istinbath menjadi

“upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya”. Makna istilah ini hampir sama dengan ijtihad. Fokus istinbath adalah teks suci ayat-ayat Al-Qur‟an dan hadis-hadis Nabi. Karena itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbath.

Upaya istinbath tidak akan membuahkan hasil yang memadai, tanpa pendekatan yang tepat. Tentu saja pendekatan ini terkait dengan sumber hukum.

15 Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1996), hlm.25

(9)

Menurut „Ali Hasaballah, sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli16 melihat ada dua cara pendekatan yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbath, yakni melalui kaidah-kaidah kebahasan dan melalui pengenalan maksud syariat.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan istinbath atau ijtihad adalah sebagai berikut :

1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Qur‟an yang berhubungan dengan masalah hukum.

2. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan dengan masalah hukum.

3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijma‟, agar dalam menentukan hukum sesuatu, tidak bertentangan dengan Ijma‟.

4. Meiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya untuk istinbath hukum.

5. Mengetahui ilmu logika, agar dapt mengahasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya.

6. Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena al-Qur‟an dan Sunnah tersusun dalam bahasa Arab, dan lain-lain17.

Di bawah ini beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya:

1. Kontruksi Hukum dengan Analisa Tata Bahasa

Maksud analisa tata bahasa adalah memahami bahasa teks yang tampak.

Teks ini bisa diucapkan, ditulis, dan dipahami pengertiannya.18 Sasaran kajian teks ini adalah ayat-ayat al-Qur‟an dan Sunnah Nabi yang termaktub dalam kitab-kitab hadis. Teks tersebut ditulis dalm bahasa Arab, sehingga penalarannya juga menggunakan kajian bahasa Arab.

16 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 110-118

17 Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1996),h.29

18 Hamka Haq, Falsafah Ushul Fikih, (Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam, 1998) hlm. 203.

(10)

Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus. Sasaran hukum dalam pernyataan hukum yang umum adalah tanpa pengecualian. Ungkapan “barangsiapa” berarti menunjuk kepada siapapun, jenis kelamin apapun, generasi manapun tanpa pembatasan. Sedangkan pernyataan khusus mengandung pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para pakar studi hukum islam sepakat bahwa pernyataan hukum yang khusus bersifat final dan pasti sehingga menutup pengertian yang lain. Namun demikian, pernyataan hukum yang khusus ini ada yang bersifat mutlak tanpa pembatasan dan ada pula yang dibatasi19.

Suatu pernyataan dianggap mutlaq jika tidak ada pembatasan sama sekali yang mempersempit keluasan pengertiannya. Sebaliknya pernyataan dianggap terbatas karena ada pembatasan yang mempersempit pengertiannya.

Dalam al-Qur‟an, banyak terjadi pengulangan kata, baik yang mutlak maupun maupun terbatas. Para studi hukum Isam membuat rumusan mengenai hal ini. Jika kata yang diulangi bermakna mutlak semua, maka maknanya juga mutlak dan sebaliknya.

Akan tetapi jika pengulangan itu membuat kata yang mutlak dan terbatas dalam tempat yang berlainan, maka terdapat dua kemungkinan makna, Pertama, kata yang mutlak diberi pembatasan sesuai kata yang terbatas. Kedua, kata yang mutlak tidak dibatasi sebagaimana kata yang terbatas, jika masing-masing berbeda dalam hukum dan sebabnya.

Selain mutlak dan terbatas, pernyataan hukum yang khusus juga disertai perintah dan larangan. Perintah adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah. Larangan adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya20. Perintah

19 Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 205

20 Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 187

(11)

menuntut pelaksanaan, bukan perdebatan. Begitu pula, larangan mengharuskan untuk ditinggalkan. Ketaatan terhadap perintah dan larangan Allah mendapatkan pahala dan sebaliknya penentangannya akan mendapatkan dosa.

2. Kontruksi Hukum dengan Analisa Makna

Pernyataan hukum tentu mengandung makna yang dapat dikontruksikan. Ada empat teknik analisa untuk menggali hukum melalui makna suatu pernyataan hukum yaitu analisa makna terjemah („ibarah nash), analisa pengembangan makna (dilalah al-nash), analisa kata kunci dari suatu pernyataan (isyarah al-nash), dan analisa relevansi makna (iqtidla‟ al-nash). Untuk menerapkan keempat teknik analisa tersebut, dapat dikemukakan contoh penggalan ayat 23 surat al-Nisa‟ yang bisa diterjemahkan:

“Diharamkan atas kalian ibu-ibu kalian dan putri-putri kalian”. Ternyata, terjemahan ini tidak bisa dipahami, sehingga muncul pertanyaan, “Dalam hal apakah, orang laki-laki diharamkan atas ibunya dan putrinya?‟. Agar bisa dipahami perlu tambahan kata yang relevan pada penggalan ayat diatas.

Relevansinya didasarkan pada ayat sebelum dan sesudahnya, sehingga kata yang relevan sebagai tambahan adalah “menikahi”. Inilah kontruksi hukum dengan analisa relevansi makna. (istidla‟ al-nash). Penting dicatat bahwa tambahan ini bukan berarti menambahi ayat Al-Qur‟an, apalagi merubahnya, melainkan memudahkan pemahaman saja. Karena penggalan ayat tersebut bisa dipahami jika terjemahnya berbunyi : “Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibu dan putri-putri kalian….”.

Terjemah penggalan ayat tersebut memberikan dua pengertian yaitu orang laki-laki dilarang menikahi ibunya dan putri kandungnya. Pengertian sederhana ini merupakan hasil analisa makna terjemah („ibarah al-nash). Jika makna ini diperluas lagi, maka muncul banyak kesimpulan hukum. Perluasan makna ini merupakan analisa pengembangan makna (dilalah al-nash). Kata kunci dari penggalan ayat tersebut adalah “diharamkan atas kalian”. Ketika keharaman itu disertai dengan kata kunci “atas kalian” maka hal itu akan

(12)

menunjukkan bahaya dan kerusakan bila hukum haram itu dilakukan.

Pemahaman ini adalah hasil dari analisa kata kunci “(isyarah al-nash).

3. Thori qu al-Kholashh atau (ةليح) 1. Definisi Etimologi Hîlah

Kata Hîlah (ةليح) berderivasi dengan kata Ihtiyâl (لايتحا) artinya adalah thalab al-hîlah (ةليلحا بلط) atau tahawwul (لوتح), bentuk plural (jamak)nya adalah Hiyal (ليح). Sementara hîlah sendiri artinya adalah kecerdikan (قذلحا), pemikiran yang bagus (رظنلا ةدوج), dan kemampuan dalam mengatasi problematika secara saksama, dalam artian mengotak-atik pikiran hingga mencapai suatu petunjuk yang diinginkan. Ihtiyal juga bermakna dain (hutang-piutang).21 Rasulullah SAW bersabda,

اَم ْاوُبِكَتْرَ ت َلَ

ِتَبَكَتْرا ِلَيِلحا نىْدَأِب ِللها َمِراََمَ ْاوُّلِحَتْسَتَ ف ُدْوُهَ يلا

Artinya:”Janganlah kalian melakukan tindakan orang yahudi Mereka menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dengan sekecil tipu muslihat”22

Secara spesifik, kata hîlah secara etimologi memiliki makna sebagai berikut:

a. Kecerdikan dalam mengurusi sesuatu. Yakni mengutak-atik pikiran sehingga mencapai titik yang dituju. Dalam hal ini, hîlah merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan secara teliti di samping kecermatan dalam berpikir.23

21 Kementerian Waqaf Islam Kuwait, Al-Mausû‟ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, juz 2, (Kuwait, Dar Salasil, Mesir, Dar Shafwah, 2005),hlm. 101,

22 Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Batthah dari Abu Hurairah. Sanadnya hasan, namun menurut Turmudzy shahih (Ibnu Jabrain. Syarh 'Umdah al-Ahkam, juz 46, (t. t: t.p. , t.th. ),hlm. 13, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, 'Aunul Ma‟bûd Syarh Sunan Abi Daud, juz 9,,hlm. 340, Madinah: Maktabah Salafiyah, cet. II, 1968)

23 Ahmad bin Muhammad bin 'Aly al-Fayûmy, Al-Mishbâh al-Munîr fi Gharîbi Syarh al-Kabîr, juz 2, hlm. 486, Ibrahim Musthafa, et. Al, Al-Mu‟jam al-Wasîth, vol, 1,( Dar ad-Da‟wah,t.th) hlm. 209,

(13)

b. Beralih dari yang tidak diinginkan menuju hal yang disenangi. Pada makna ini, hîlah berderivasi dengan kata tahawwul dan ihtiyal.24

c. Mendatangi rumah dari jalan belakang atau melakukan sesuatu dengan cara-cara terselubung.

2. Definisi Terminologis Hîlah

Berikut definisi Hîlah yang disampaikan oleh ulama:

a. Imam asy-Syâtibi: Makna sebenarnya yang populer dari kata hîlah adalah melakukan perbuatan yang secara lahir legal, namun bertujuan untuk merusak tatanan syariat dan merekayasa hukumnya

َّنِإ اَهَ تَقْ يِقَح َخآ ٍمْكُح لىِإ ِرِىاَّظلا ِفِ ُوُلْ يِوَْتحَو ٍّيِعْرَش ٍمْكُح ِلاَطْبِِلِ ِزاَوَلجا ِرِىاَظ ٍلَمَع ُْيِْدْقَ ت َةَرْوُهْشَلدَا َر

.25

b. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah: Hîlah adalah suatu bentuk tindakan tertentu yang bisa membuat pelakunya berpindah dari suatu kondisi ke kondisi yang lain.

ِوِب ُلَّوَحَتَ ي ْيِذَّلا ِلَمَعلاَو ِفُّرَصَّتلا َنِم ٌصْوُصَْمَ ٌعْوَ ن َيِى ُةَلْ يِلحاَف ُوُلِعاَف

ٍلاَح لىِإ ٍلاَح ْنِم

Kemudian, kata ini pada biasanya digunakan untuk menyebut suatu cara khusus yang samar (dalam arti hanya bisa dilakukan dengan ketelitian tingkat tinggi oleh orang-orang tertentu) untuk sampai pada tujuan yang diinginkan, baik tujuan tersebut legal maupun ilegal. Kemudian, makna dari kata ini terspesifikasi lagi hanya untuk tujuan yang dilarang, baik oleh syariat, akal, maupun tradisi.26

Muhammad bin Mukarram bin Mandzur al-Afrîqi al-Mishri, Lisân al-Arab, juz 11, (Beirut, Dar Shadir, cet.

1,t.th,), hlm. 184

24 Ali bin Muhammad bin Aly al-Jurjany, At-Ta‟rifat, juz 1, (Beirut, Dar el-Kotob el- 'Araby,t.th),hlm. 127

25 Ibrâhîm bin Mûsa bin Muhammad al-Lumkhy al-Gharnathy as-Syâthiby, Al-Muwâfaqât,( Dar ibn 'Affan, cet. 1, 1997.) hlm. 201, juz 4,

26 Muhammad bin Abu Bakar Ayyub az-Zar‟iy Abu Abdillah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I‟lâmu al-Muwaqqi‟în „an Rabbi al-„Alamîn, ( Beirut, Dar al-Jil, 1973.) hlm. 240, juz 3

(14)

c. Ibnu Hajar al-Asqalâni: Sebuah cara atau jalan untuk mencapai tujuan dengan cara yang samar ( ٍّيِفَخ ٍقْيِرَطِب ٍدْوُصْقَم لىِإ ِوِب ُلَّصَوَ تُ ي اَم َيِىَو).27

d. Dalam kitab Kasyâf al-Qinâ‟ disebutkan bahwa hîlah adalah Menampakkan sebuah transaksi yang secara lahiriah diperbolehkan, dilakukan untuk sebuah tujuan yang diharamkan, sebagai media untuk melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Allah, untuk menggugurkan kewajiban, atau menolak hak yang menjadi tanggungannya.28

Dari beberapa definisi yang dipaparkan, dapat ditarik benang merah bahwa hîlah adalah suatu cara atau alat untuk menggapai tujuan tertentu. Cara ini merupakan alternatif pengganti dari cara lain. Di samping itu, cara ini dilakukan dengan samar, dalam arti hanya orang yang memiliki kecerdasan tingkat tinggi yang dapat melakukannya. Jika dilakukan, cara tersebut memiliki konsekwensi atau hukum berbeda daripada cara yang tidak dilakukan dengan cara hîlah. menurut Syafiiyah dan Hanafiyah, hîlah semacam ini diperbolehkan. Akan tetapi, jika ada maksud ribawi, maka makruh.29 Namun demikian, jika transaksi yang dibuat hîlah dimaksudkan untuk riba, maka pelaku hîlah telah melakukan kejahatan terselubung dengan cara lahir yang diperbolehkan.

Namun, definisi tersebut masih menyulut kontroversi mengenai hukum perbuatan hîlah. Kontroversi tersebut ditengarai karena klaim yang mengatakan bahwa secara terminologis, hîlah sudah biasa diungkapkan oleh fuqaha‟ sebagai cara untuk mencapai tujuan yang tidak benar. Seakan-akan, klaim tersebut mengatakan tidak ada hîlah yang benar atau direstui syariat. Begitu juga definisi-definisi lain yang tidak penulis cantumkan di sini. Rata-rata menjurus pada definisi hîlah yang haram.

27 Ahmad bin 'Ali bin Hajar Abu al-Fadl al-Asqalâny as-Syâfi'i, Fathul Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, (Beirut, Dar al-Ma‟rifah,t.th.,)hlm. 326, juz 12,

28 Manshur bin Yunus bin Idris al-Buhuty, Kasyâf al Qinâ‟, juz 9, (t. t: t.p. , t.th. )hlm. 304.

29 Mausu‟ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, juz 38, (t. t: t.p. , t.th. ),hlm. 248.

(15)

F. Biografi Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibary

Syekh Zainuddin bin Abdul Azis al-Malibary, tak banyak riwayat yang menjelaskan tentang ketokohannya, Ulama asal Malabar India selatan ini. Kalau ada, itu hanya sebatas mengungkapkan keterangan dalam berbagai karya yang ditulisnya. Tak banyak yang diketahui secara pasti, kapan syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibary lahir. Bahkan, wafatnya pun muncul berbagai pendapat.

Beliau diperkirakan meninggal duniasekitar tahun 970-990 H, dan dimakamkan di pinggiran Koro Ponani India. Beliau adalah cucu dari sekh Zainuddin bin Ali pengarang kitab Irsyadul Qoshidin mukhtashor Minhajul Abidin, sejak kecil,Syekh Zainuddin bin Abdul Azis al-Malibary telah terdiddik dalam keluarga yang sangat agamis, selain sekolah di al-Madrasy yang didirikan oleh kakeknya, Beliau juga berguru kepada beberapa ulama Arab, termasuk Ibnu Hajar al-Haitami dan Ibnu ziyad.

Syekh Zainuddin bin Abdul Azis al-Malibary merupakan keturunan bangsa Arab. Beliau dikenal pula dengan nama Makhdhum Tangal. Julukan ini dikaitkan dengan daerah tempat Beliau tinggal. Ada yang menyebutnya dengan nama Zainuddin Mkhdum, atau zainuddin Tangal atau Makhdum Tangal. Julukan ini mencerminkan keutamaan dan penghormatan masyarakat setempat yang disematkan pada dirinya.

Masjid Agung Ponani atau Funani, adalah Masjid Agung yang pertama kali dibangun oleh Makhdum Thangal. Ia termasuk seorang ulama yang mengikuti madzhab Syafi‟i. Tidak seperti masjid masa kini, masjid agung ponani ini menggabungkan arsitektur lokal dengan arsitektur hindu. Hal ini dikarenakan, islam masuk ke india yang di bawa oleh pedagang Arab yang datang melalui laut dan diterima oleh raja-raja Hindu setempat. Makam Syaikh Zainuddin Al-Malibari terletak di samping masjid. Tak hanya arsitektur masjid, masyarakat muslim di india ini juga mengadopsi gaya bangunan, pakaian dan makanan dengan menyesuaian pada kondisi yang ada. Seperti kebanyakan ulama lainnya. Syaikh Zainuddin Al-

(16)

Malibari juga dikenal sebagai ulama yang sangat tegas, kritis, konsisten, dan memiliki pendirian yang teguh. Ia pernah menjadi seorang hakim dan penasehat kerajaan, dan diplomat.

G. Karya-karya Syaikh Zainuddin Al-Malibari

Syaikh Zainuddin Al-Malibari selain dikenal sebagai ulama fiqih ia juga dikenal ahli tasawuf, sejarah dan sastra. Karya-karyanya adalah:

1. Fathul Muin (pintu pertolongan)adalah syarahnya atas kitab Qurrat al-Ayan Hidayat al-Azkiat ila Thariq

2. Irsyad al-Ibad ila Sabili al-Rasyad 3. Tuhfah al-Mujahidin.

H. Kitab Fathul Muin

Kitab Fathul Muin merupakan karya syaikh Zainuddin Ibn Syaikh Abdul Aziz Ibn Zainuddin (pengarang Hidayah al-Adzkiya Ila Thariqa al-Aulya) Ibn syaikh Ali Ibn Syaikh Ahmad Asy-Syafi‟i Al-Malibari al-fannani. Zainuddin Ibn Abdul Aziz M.

Malibari menyelesaikan karyanya ini pada hari jum‟at, 24 Ramadhan 892 H.30

Kitab fathul muin terdiri dari 160 halaman yang memuat beberapa bab.

Menelalah fathul muin ini seakan akan kita membaca banyak kitab, karena disamping memuat pendapat imam Zainuddin Al-malibari sendiri juga disebutkan pendapat-pendapat lain dari berbagai sumber yang terkadang menjadi pro dan kontra dalam suatu masalah.

Namun demikian, sebagaimana dinyatakan azyumardi azra, bahwa dalam penulisan kitab kuning tidak disertakan rujukan (refrensi) dan footnote dikarenakan tradisi akademik yang berlaku pada waktu itu belum terkondisikan seperti sekarang dengan demikian sulit untuk melacak secara pasti apakah yang ditulis dalam kitab kuning merupakan pendapat pribadi atau pendapat orang lain.31

30 Zainuddin Ibn Abdul Aziz al-Malibary, Fathul Mu‟in, (Semarang Toha Putra), hlm 157 31 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara Abad VII-IX (Bandung: Mizan, 1998), hlm76

(17)

Kitab ini merupakan kitab fiqh yang tergolong lengkap, karena didalamnya memuat berbagai permasalahan fiqh dengan berbagai hal, disertai dasar-dasar hukum al-Quran maupun al-Hadist serta pendapat-pendapat ulama mujtahid yang lain dan juga ijtihan pengarang sendiri. Penulisan kitab ini zainuddin Ibn abdul Aziz Al-Malibari pada setiap bab menyebutkan al-Fashl, al-fur‟i, dan masalah-masalah umum, juga ditambahkan al-tanbih, al-khatmah dan titimah.

I. Mekanisme Thori qu al-Khola sh dari riba menurut Syeikh al-Malibary dalam kitab Fathu al-Mu’i n

a) Hibah

ازرأ وأ برب ارب وأ ةضفب ةضف وأ بىذب ابىذ عيبي نلد ابرلا دقع نم صلَلخا قيرطو وقح ينعئابلا نم لك بهي نأب لَضافتم زرأب

رخلآل

32

“cara terhindar dari akad riba bagi orang yang menjual emas dengan emas atau perak dengan perak tetapi dengan adayang kelebihan adalah masing-masing dari orang yang bertransaksi menghibahkan hak atau barangnya kepada mitranya”.

b) Qard dan ibra‟

قرفت لبق ضبق لَب برلاب زرلأا وأ بىذلاب ةضفلا عيب فِ ضرقلاب ونم صلختيو وئبري ثم وبحاص لك ضرقي وأ

33 .

“Atau masing-masing yang bertransaksi menghutangkan hak atau barangnya, kemudian membebaskannya sehingga dengan menghutangkan bisa terhindar dari riba bagi orang-orang yang menjual emas dengan emas atau perak dengan perak yang tidak melakukan serah terima di majlis akad “

Sesungguhnya mekanisme hîlah yang ditawarkan ini bukanlah satu- satunya cara untuk bisa terhindar dari riba karena pada dasarnya melakukan hal supaya terhindar dari sesuatu yang dilarang adalah perbuatan mulia, melainkan semua bentuk cara yang diperbolehkan oleh syara‟ dan mempunyai tujuan yang diperbolehkan syarak seperti dengan cara saling

32 Zainuddin Ahmad Bin Abdul Aziz Al-Malibary, Fath Al-Mu‟in (Dar Bin Jazm, Juz 1,Cet I, t.th.

),Hlm.325

33 Ibid

(18)

shadaqah. jika melihat makna tersurat dari ibarat fathu al-mu‟in diatas seolah-olah hîlah dari macam riba fadl saja tetapi bukanlah demikian, karena yang menjadi pertimbangan atau hikmah hukum nya adalah diperbolehkan hîlah dari riba adalah supaya tidak terjerumus kepada riba yang diharamkan, sehingga semua jenis riba bisa di hindari dengan cara yang diperbolehkan , termasuk dengan cara hibah, ini sejalan dengan ketengaran i‟anah at-tholibin yang merupakan syarah dari fath al-mu‟in yang mengomentari ibarat tersebut dengan mengatakan bahwa hîlah yang diatas itu berlaku dengan semua pembagian riba34

J. Logika Istinbat h Tentang Thori qu Al-Khola sh Dari Riba Dalam Kitab Fathu al- Mu’i n

Terjadinya perubahan atau penyimpangan dari norma secara praktis zaman sekarang ini merupakan kondisi yang tidak dapat di hindari karena adanya kepentingan yang bahkan sangat mendesak sehingga menuntut adanya konsekuensi terjadinya perubahan kepentingan yang menuntut kepastian hukum yang sesuai dengan teori dan praktik, sehingga ulama‟ memunculkan term al-Hîlah yang dapat dinilai sebagai jalan keluar dari suatu permasalahan, disamping itu juga bisa dijadikan sebagai alasan untuk menghindar dari pembebanan hukum, karena hîlah muncul sebagai reaksi dari nilai-nilai kemaslahatan yang oleh masyarakat dipandang urgen, sedangkan nilai hukum yang ada dianggap belum menyentuh kebutuhan yang terkadang bersifat dharuri35. Dengan keadaan ekonomi yang masih rendah tidak jarang menuntut masyarakat untuk mendapatkan rezeki dengan jalan riba, perbankan yang sudah menjadi lembaga keuangan yang terpercaya pun melakukannya, begitu juga rentenir2 yang sudah sangat banyak di temukan bahkan sudah menjadi kebiasaan di sebagaian masyarakat yang menghutang uang dengan pengembalian lebih.

34 abu bakr Usmant as-sattho ad-dymyathi, i‟anah at-tholibin,( dar al-fikr li at-thoba‟ah an-nasyr wa at-tauri‟,1997, juz 3),hlm.27

35 Al-anshori abi yahya zakariyya, Ghayah al-Wushul Syarh lubb al-Ushul,(Surabaya: al hidayah, t.th. ),h. 122

(19)

Dengan pertimbangan Urf yang mengakibatkan sangat sulit menghindar , maqasidu as Syaria‟h yang tujuannya adalah menciptakan kemaslahatan dan menolak kemafsadatan36 dan prinsip Islam yang selalu menghendaki kemudahan37 maka hîlah secara umum masih dibutuhkaan dan masih relevan untuk perkembangan zaman ini.

Bahkan dari pendapat yang mengatakan illat riba itu adalah bukan hanya

“adanya tambahan” tetapi di tambahkan dengan “adanya aniaya” ini bisa memunculkan bahwa riba baru tejadi jika pihak itu merasa teraniaya karena adanya kelebihan itu, berbeda halnya jika pihak itu tidak merasa keberatan atau sebagai tanda balas jasa semisal dalam kasus hutang-piutang,

Di bawah ini akan di paparkan beberapa dalil logika istinbath tentang Thoriqul Kholas atau hîlah

1. Al-quran

{98 :ءاسنلا[ } ًلَيِبَس َنوُدَتْهَ ي َلََو ًةَليِح َنوُعيِطَتْسَي َلَ ِناَدْلِوْلاَو ِءاَسّْنلاَو ِلاَجّْرلا َنِم َينِفَعْضَتْسُمْلا َّلَِإ Artinya:kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak- anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), (QS.

Annisa:98).38

Ayat ini turun dalam kontek memberikan keringanan kepada orang-orang tertentu untuk tidak ikut hadir di medan perang yaitu mereka yang tidak memiliki kemampuan dalam siasat kemiliteran. 39. Sebagian ulama‟ Syafiiyah dan hanafiyah cendrung sepakat tentang kebolehan hîlah dengan tidak memutlakkannya bahkan menjadikan sebagai adopsi produk hukum. Mereka merumuskan hîlah sebagai untuk menghindari beban hokum yang berat untuk di alihkan pada beban yang lebih ringan dan lebih efektif penerapannya.

} ٌباَّوَأ ُوَّنِإ ُدْبَعْلا َمْعِن اًرِباَص ُهاَنْدَجَو اَّنِإ ْثَنَْتح َلََو ِوِب ْبِرْضاَف اًثْغِض َكِدَيِب ْذُخَو :ص[

44

36 As-shon‟ani Muhammad bin isma‟il al-amir,ijabatu as-sail syarh bughyah al amal,( muassasah ar- risalah: Beirut, 1986),h.424

37 Qs.Al-Baqarah:185

38 Lajnah pentashih kementrian agama RI, al-qur‟an dan terjemahannya,(Bandung, 2009),h.94

39 Abdul qadir ali gazi, bayan al ma‟ani (damaskus:t. t: , t.th. ),hal. 599

(20)

Artinya: Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan-nya)( QS. As-shod:44).40

Ayat ini menceritakan tentang Nabi Ayyub yang bersumpah akan memukul istrinya ( karena istrinya lalai terhadap kewajibannya) sebanyak seratus kali setelah beliau sembuh dari sakitnya. Namun ketika sembuh, beliau tidak tega memukul istrinya sebagaimana beliau telah bersumpah pada waktu sakit. Dalam hukum syariat, sumpah harus dilaksanakan , akan tetapi Allah SWT memberikan keringanan kepada Nabi Ayyub dengan mengganti pukulan seratus kali itu dengan pukulan menggunakan seikat rumput, sehingga Nabi Ayyub terbebas, Allah memberikan perintah hîlah tersbut mempunyai tujuan melepaskan beban hokum yang berat yang akan di tanggung istrinya Nabi Ayyub karena telah melalaikan kewajibannya.

Hîlah dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari jalan keluar atas problematika masyarakat. ulama Hanafiyyah bahkan mempunyai karya tersendiri berkaitan dengan hîlah yang kemudian di ikuti beberapa ulama syafi‟iyah, terbukti di bererapa kitab syafiiyah, semisal dengan istilah lain thoriqu al kholas, kebolehan menghutang kepada debitur dengan adanya tambahan.

Sedangkan pelopor yang tetap menolak hîlah adalah al- syathibi,Meskipun demikian, bagi al-Syathibi, tidak semua al-hīlah tidak boleh dilakukan. Sebab, pada dasarnya setiap hukum yang disyariatkan adalah untuk kepentingan maslahat manusia. Maka, bila al-hīlah itu bertentangan dengan maslahat, maka ia tidak boleh dilakukan. Berbeda halnya bila ia tidak bertentangan dengan maslahat, maka tentunya hal itu sangat mungkin dilakukan , sehingga untuk kasus hîlah dari riba sudah sangat jelas kemaslahatan berupa terhindar dari keharaman yang sulit dihindari dan mafsadat yang di tolak berupa terjerumus

40 Lajnah pentashih kementrian agama RI, al-Qur‟an dan terjemahannya,(Bandung, 2009),h.456

(21)

kepada keharaman. Bahkan, syariah pun dengan tegas memperbolehkannya41. Menurut Ibnu Hajar, hîlah bermacam-macam bergantung pada motivasi pelakunya.

Berikut rinciannya:42

a. Apabila hîlah dilakukan dengan cara yang benar untuk memberangus kebenaran dan menegakkan kebatilan, maka hîlah tersebut haram.

b. Apabila hîlah dilakukan dengan cara yang benar untuk menegakkan kebenaran dan menolak keburukan, maka hîlah tersebut bisa jadi wajib atau sunnah. Sehingga dengan tujuan menghindar dari riba atau menghindar dari keharaman yang sudah menjadi tradisi ini sudah membolehkan kita melakukan hîlah dari riba.

Secara lebih spesifik, Ibnu Qayyim membagi hîlah sebagai berikut:43

ُةَّيِفَلخا ُقُرُّطلَا :ُلَّوَلأْا ُمْسِقْلَا تَِمَف ، ٍلاَِبِ ِبَبَّسلا َكِلذ ِلْثِِبِ ُّلَِيَ َلَ ُثْيَِبِ ِوِسْفَ ن ِفِ ٌمَّرَُمَ َوُى اَم لىِإ اَِبِ ُلَّصَوَ تُ ي ِتَِّلا

ٌماَرَح َىِهَف ِوِسْفَ ن ِفِ اًمَّرَُمَ اَِبِ ُدوُصْقَلدا َناَك

اَوْ نَأ ىلَع ىِوَطْنَ ي ُمْسِقْلا اَذَىَو .َْينِمِلْسُلدا ِقاَفّْ تاِب :ٍةَثَلََث ٍع

a. Cara samar yang dibuat untuk mengakibatkan/mengantarkan pada perbuatan haram itu sendiri. Hîlah jenis ini terbagi menjadi tiga macam:

.ُمَّرَحُلدا اَِبِ ُدَصْقُ يَو ًةَمَّرَُمَ ُةَلْ يِلحا َنْوُكَت ْنَأ :اَىُدَحَأ 1) Hîlah haram yang dimaksud untuk sesuatu yang haram

َك ِلِئاَسَولا َْيِْرَْتح اًماَرَح ُرْ يِصَتَ ف ،ُمَّرَحُلدا اَِبِ ُدَصْقُ يَو .اَهِسْفَ ن ِفِ ًةَحاَبُم َنْوُكَت ْنَأ : ِنىاَّثلَا . ِةَمْوُصْعَلدا ِِْفَّ نلا ِلْتَ قَو ِقْيِرَّطلا ِعْطَقِل ِرَفَّسلا

2) Hîlah mubah yang dimaksud untuk sesuatu yang haram. Hîlah seperti ini menjadi haram seperti bepergian untuk merampok dan lain sebagainya.

41 Mausû‟ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, juz 38,Tt, hlm. 40

42 Ibnu Hajar al-Asqalâni, Fathul Bâry, juz 12,(t. t: t.p. , t.th. ),hlm. 236. Lihat pula, Mausû‟ah al- Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, juz 38, (t. t: t.p. , t.th. ), hlm. 241, Ibnu Hajar menukil pendapat Imam Syafii bahwa beliau menegaskan hukum makruh (tahrim menurut Al Ghazali atau tanzih menurut sebagian murid Imam Syafii) bagi hîlah yang motivasinya untuk menghilangkan hak dan pelakunya berdosa dengan maksud demikian.

Ini didasarkan pada hadits nabi muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.

ىَوَ ن اَم ٍئِرْما ّْلُكِل اََّنَِّإَو Oleh karena itu, seseorang yang berakad jual beli namun bermaksud riba, maka ia akan terjerumus pada dosa riba meski yang dilakukan adalah jual beli yang diperbolehkan

43 Kementerian Wakaf Mesir, Mausû‟ah al-Fiqh al-Islâmy, juz 1(t. t: t.p. , t.th. ),hlm. 61. Lihat pula, I‟lâm al-Muwaqqi‟în, juz 4, (t. t: t.p. , t.th. ) hlm. 126-130.

(22)

Menurut Ibnu Qayyim, kedua macam hîlah ini memang dimaksudkan untuk perbuatan yang dilarang serta mengantarkan pada perbuatan tersebut sebagaimana ia diperuntukkan atas sesuatu yang diperkenankan.

َْلَ ُقْيِرَّطلا َنْوُكَت ْنَأ :ُثِلاَّثلَا ْعَضْوُ ت

ِلذاَو ِحاَكّْنلاَو ِعْيَ بلاَو ِراَرْ قِلِاَك ِعْوُرْشَلدا لىِإ ًةَيِضْفُم ْتَعِضُو اََّنَِّإَو ،ِمَّرَحُلدا لىِإ ِءاَضْفِْلِْل

ُلدا اَىُذِخَّتَيَ ف َكِلَذ ِوَْنََو ِةَّب اًمَّلُس ُلّْيَحَت

.ِماَرَلحا لىِإ اًقْ يِرَطَو 3) Hîlah tidak dibuat sebagai cara untuk mengantarkan pada keharaman namun

pada hal yang disyari‟atkan, akan tetapi, cara ini digunakan untuk menuju keharaman.

Dari aspek yang lain, Ibnu Qayyim membagi hîlah sebagai berikut:44

ِةَثَلََث لىِإ ُمِسَقْ نَ ي مْسِقْلا اَذَىَو ،ٍلِطاَب ُعْفَد ْوَأ ٍّقَح ُذْخَأ ِةَلْ يِْلحاِب َدَصْقُ ي ْنَأ : ِنىاَّثلا ُمْسِقْل َا :اًضْيَأ ٍعاَوْ نَأ

b. Dari segi tujuan, hîlah dimaksud untuk mengambil hak atau menolak kebatilan.

Bagian ini terbagi menjadi tiga macam:

ُكَي ْنَأ ُلْثِم اِّقَح ِوِب ُدْوُصْقَلدا َناَك ْنِإَو ِوِسْفَ ن ِفِ اًمَّرَُمَ ُقْيِرَّطلا َنْوُكَي ْنَأ :ُلَّوَلأا ُعْوَّ نلَا َلَع ُوَل َنْو

ٍرْوُز ْىَدِىاَش ُوُبِحاَص ُمْيِقُيَ ف ،ُوَل َةَنّْ يَ ب َلََو ُهُدَحْجَيَ ف ّّقَح ٍلُجَر ى

ِم ِفَِو ،ِدْوُصْقَلدا َنْوُد ِةَلْ يِسَولا ىَلَع َُثمْأَي اَذَهَ ف ،ّْقَلحا َكِلَذ َتْوُ بُ ث ِناَمَلْعَ ي َلََو ،ِوِب ِناَدَهْشَي َمَلأا ّْدَأ ُثْيِدَلحا َءاَج اَذَى ِلْث

َكَناَخ ْنَم ْنَُتَ َلََو َكَنَمَتْ ئا ِنَم َلىِإ َةَنا

1) Cara yang digunakan adalah haram/salah meski tujuannya adalah benar.

Misalnya seseorang memiliki piutang pada orang lain namun orang lain tersebut mengingkarinya dan ia tidak memiliki bukti untuk menguatkan kebenarannya.

Karena begitu, lantas ia mengajukan saksi palsu yang tidak tahu menahu mengenai hutang-piutang tersebut. Nah, dalam hal ini, yang disematkan dosa adalah wasilahnya, bukan maksudnya.

ْشَم ُقْيِرَّطلا َنْوُكَت ْنَأ : ِنىاَّثلا ُعْوَّ نلَا َبَّبَسُم َلىِإ ًةَيِضْفُم ُعِراَّشلا اَهَ بَصَن ِتَِّلا ُباَبْسَلأا َىِى ِهِذَىَو ،ٌعْوُرْشَم ِوْيَلِإ ىَضْفُ ت اَمَو ،ًةَعْوُر

ِفِ ُلُخْدَيَو ،ِةَراَجِلِاَو ِعْيَ بْلاَك اَِِا

ّْراَضَلدا ِعْفَد ىَلَعَو ِعِفاَنَلدا ِبْلَج ىَلَع ُلاَيِتْحِلَا ِعْوَّ نلا اَذَى َم ُزِجاَعلا ِلَب ،ِعْوَّ نلا اَذَِلذ ًلَِواَنَ تُم ِلَيِلحا ّْمَذ ِفِ ُحِلاَّصلا ُفَلَّسلا ُمَلََك َلََو اَنُمَلََك َِْيَلَو ،

.ُوْنَع َزَجَع ْن

2) Caranya disyari‟atkan, serta tujuannya pun disyari‟atkan. Ini merupakan asbab as-syar‟iyyah, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan lain semacamnya. Termasuk bagian ini adalah hîlah untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudlarat.

Para ulama tidak melarang hîlah ini untuk dilakukan. untuk kasus hîlah dari riba termasuk dalam kategori yang ini karena teknis hîlah dan maqashid

44 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I‟lâm al-Muwaqqi‟în, juz 4(t. t: t.p. , t.th. ),hlm. 128

(23)

nya sama-sama di syariatkan yaitu hibah dan qard beserta tujuan untuk terhindar dari keharaman riba.

ُ ت َْلَ ٍةَحاَبُم ٍقْيِرَطِب ِمْلُّظلا ِعْفَد ىلَع ْوَأ ّْقَلحْا لىِإ ِلُّصَوَّ تلا ىَلَع َلاَتَْيَ ْنَأ :ُثِلاَّثلا ُعْوَّ نلَا لىِإ ًةَلِصْوُم ْعَضْو

اَذَى لىِإ اًقْ يِرَط َوُى اَىُذِخَّتَيَ ف ،ِهِْيرَغِل ْتَعِضُو ْلَب ،َكِلذ

.اََلذ ُنَطْفُ ي َلََو ٌةَّيِفَخ اَهَّ نِكَلَو ْتَعِضُو ُنْوُكَت ْدَق ْوَأ ،ِحْيِحَّصلا ِدْوُصْقَلدا 3) Melakukan hîlah untuk menuju kebenaran atau menolak kedzaliman dengan cara

yang diperbolehkan, yang pada awalnya cara tersebut tidak dibuat untuk itu, namun untuk yang lain kemudian digunakan sebagai maksud baik di atas, atau memang pada awalnya digunakan untuk hal tersebut namun cara itu sangat samar.

Kiranya benar apa yang disampaikan oleh seorang ulama bermadzhab Hanafiyah, yakni Imam as-Sarkhâsi, bahwa tidak semua hîlah itu haram.

Akhirnya, beliau berkesimpulan bahwa apapun yang dibuat cara atau alat oleh seseorang untuk menyelamatkan diri dari hal yang diharamkan oleh Allah atau untuk melakukan perbuatan yang diperintahnya, maka hîlah semacam itu adalah baik. Namun, apabila hîlah digunakan untuk mengambil hak seseorang atau bahkan melahirkan syubhat, maka hîlah semacam itu dilarang.45

2. Qiyas

Berdasarkan surat as-Shad ayat 44 yang menjelaskan perintah Allah kepada Nabi Ayyub untuk memukul istrinya hanya dengan seikat rumput sebagai ganti dari sumpahnya untuk memukul istrinya sebanyak seratus kali dengan illat memberikan kemudahan dan tidak menyakitkan bisa di tularkan kepada hokum-hukum lain yang terlihat memberatkan untuk diamalkan seperti dalam kasus riba, dalam kontek riba, seseorang akan merasa sulit untuk memperoleh kebutuhan kecuali dengan berhutang kepada perbankan atau rentenir-rentenir yang sudah pasti akan memberikan pinjaman dengan keharusan melebihkan pengembalian dari modal.

3. Pertimbangan Prinsip-Prinsip Syariat46

45 Mausû‟ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, juz 38, (t. t: t.p. , t.th. ), hlm. 40

46 As-Syatiby, Al-Muwâfaqât, juz 2(t. t: t.p. , t.th. ),hlm. 278

(24)

Imam as-Syâthibi menegaskan bahwa mempertimbangkan tujuan dari sebuah perbuatan itu penting dan menjadi maksud dari syariat. Seorang mujtahid tak mungkin memberikan keputusan hukum untuk suatu perbuatan sebelum ia menemukan akibat atau efek akhir dari perbuatan tersebut. Jelasnya, apabila suatu perbuatan disyariatkan untuk menarik maslahat dan menolak mafsadah, maka perbuatan tersebut dilarang apabila ia dapat menggagalkan maslahat yang lebih penting atau malah menimbulkan mafsadah yang lebih besar. Begitu pula, apabila sebuah perbuatan yang tidak diperkenankan sebab ada unsur mafsadah atau memberangus maslahah, maka ia dapat diperkenankan bila dapat mendatangkan maslahat dan menolak mudlarat yang sama atau lebih.

Di dalam praktek hîlah, sebenarnya perbuatan yang dibuat wasilah berupa teknis hibah dan menghutangkan barangnya itu adalah perbuatan yang diperkenankan (masyrû‟) secara dhahir karena ada unsur maslahat. Namun, unsur maslahat tersebut tidak menjadi pertimbangan pelaku hîlah, melainkan mafsadah yang bertentangan dengan tujuan syariat. sehingga hîlah ini masih sangat mungkin di gunakan bahkan bisa menjadi wajib ketika tidak ada cara lain lagi untuk menghindar dari riba sementara kebutuhan sangat mendesak pada saat itu dengan tujuan supaya terhindar dari riba yang di haramkan Allah SWT.

Misalnya, orang yang menghibahkan hartanya yang hampir wajib zakat hingga nishabnya berkurang untuk lari dari kewajiban zakat. Pada dasarnya, hibah itu diperbolehkan, namun, melihat tujuannya adalah untuk lari dari kewajiban, maka hibah dapat menimbulkan mafsadah dan itu tidak diperbolehkan. Contoh yang lain adalah hîlah dari riba, wasa‟il yang dengan cara hibah atau qard secara dhohir di perbolehkan, melihat tujuan dari pelaku melakukannya adalah menghindar dari sesiuatu yang di haramkan.

4. Pertimbangan Hîlah Dalam Hal Wasâ’il dan Maqâshid

(25)

Dijelaskan pada pembagian sebelumnya, bahwa hîlah memiliki kaitan erat dengan cara pelaku melakukan hîlah serta tujuan yang ia maksud. Di sana juga dijelaskan bahwa cara yang dilakukan tidak semuanya haram. Bahkan adapula yang menggunakan cara yang mubah.

dalam hal hîlah dari riba bisa dikelompokkan menjadi dua macam, pertama, wasilah nya adalah hibah dan qard yang beserta pembebasan sedangkan maqhasid nya adalah terhindar dari keharaman riba. kedua, wasilahnya sama denga yang pertama, namun, maqashidnya adalah merekayasa hukum.

Oleh karena itu, penulis merasa urgen untuk menjelaskan secara singkat tentang Wasâ‟il / wasîlah dan maqâshid dalam fiqh sebab sangat erat kaitannya dengan fenomena hîlah.

a. Pengertian Wasâ’il secara Bahasa dan Istilah

Wasâ‟il (لِئاَسَو) secara bahasa adalah bentuk plural dari kata wasîlah (ةَلْ يِسَو). Sedangkan wasîlah sendiri artinya adalah sesuatu yang dengannya dapat dicapailah sesuatu yang lain dan mendekatinya ( ِءْيَّشلا لىِإ ِوِب ُلَصَّوَ تُ ي اَم ُةَلْ يِسَولاَو ِوِب ُبَّرَقَ تُ يَو). Wasilah juga dapat berarti kedudukan (ةَلِزْنَلدا), derajat (ةَجَرَدلا), kerabat (ةَباَرَقلا), dan kesenangan (ةَبْغَرلا).47

Dalam terminologi pakar ushul, wasîlah memiliki makna umum dan makna khusus. Makna umum terminologis wasîlah sesuai dengan makna leksikalnya, yaitu:

ِدِساَفَلداَو ِحِلاَصَلدا لىِإ ُةَيِضْفُلدا ُقُرُّطلَا

“Media/jalan yang mengantarkan kepada kebaikan (maslahah) dan keburukan (mafsadah)”48

Sedangkan makna khusus terminologisnya adalah,

47 Basyir bin Maulud Juhaisy, AI-jtihâd at-Tanzîly, juz 1(t. t: t.p. , t.th. ),hlm. 61.

48 Ibid. Bandingkan pula dengan Khalid bin Ibrahim as-Saq‟iy, Syarh Manzhûmah al-Qawâ‟id al- Fiqhiyyah li as-Sa‟dy, juz 1, (t. t: t.p. , t.th. ) hlm. 60.

(26)

ِلاَصَلدا ِقْيِقَْتح لىِإ ُةَيِضْفُلدا ُكِلاَسَلدا ِةَّيِعْرَّشلا ِح

“Adalah cara-cara yang mengantarkan terwujudnya maslahat syar‟I Sedangkan Ibnu „Asyur menyatakan bahwa wasîlah adalah ketentuan- ketentuan yang disyari‟atkan untuk menghasilkan ketentuan-ketentuan lain.

(ىرْخُأ ٍماَكْحَأ َلْيِصَْتح اَِبِ َّنَِلأ ْتَعِرُش ِتَِّلا ُماَكْحَلأا).49 Dalam terminologi kalangan Malikiyah, istilah wasâ‟il ini biasa diungkapkan dengan dzarâ‟i‟ ( ِعِئاَرَّذلا).50

b. Pengertian Maqâshid secara Bahasa dan Istilah

Secara bahasa, maqâshid (دِصاَقَلدا) adalah bentuk plural (jamak) dari kata maqshid (دِصْق ), maknanya adalah sesuatu yang diinginkan ( ُبْوُلْطَلدا ُءْيَّشلا). Apabila َم kata ini dikaitkan dengan syariat, maka yang dimaksud oleh syariat, yaitu sesuatu tersebut mengandung kemaslahatan dan mafsadah.51 Dalam hal ini, syariat ingin memeroleh maslahah, sementara mafsadah ingin ditolak. Inilah yang menjadi destinasi (ةَدْوُصْقَلدا ُةَياَغلا) syariat pada hukum yang dibebankan untuk manusia.

Dari kedua pengertian di atas, dapat dilihat bahwa keberadaan wasâ‟il tidak bisa terlepas dari maqâshid. Dalam pembahasan tentang hukum, yang menjadi objek kajiannya (mawârid al-ahkâm) adalah maqâshid dan wasâ‟il.52 beberapa pertimbangan yang bisa membolehkan hîlah dari riba.

1) Kedudukan wasâ‟il berada di bawah maqâshid. Oleh karena itu, Ulama menetapkan kaidah:53

ِلِئاَسَولا ِةَياَعِر ىلَع ٌةَمَّدَقُم ِدِصاَقَلدا ُةاَعاَرم

“Mementingkan maqâshid itu didahulukan daripada memperhatikan wasâ'il”

49 Basyir bin Maulud Juhaisy, Al-Ijtihâd at-Tanzîly, juz 1, (t. t: t.p. , t.th. ), hlm. 62.

50 Anwârul Buruq fi Anwâ‟i al-Furûq, juz 3, (t. t: t.p. , t.th. ),hlm. 51.

51 Syihabuddin al Qarafy, Tanqîhu al-Fushûl fî 'Ilmi al-Ushûl, juz 1, (t. t: t.p. , t.th. ), hlm. 70,

52 Anwârul Buruq fi Anwâ‟i al-Furûq, juz 3, (t. t: t.p. , t.th. ) ,hlm. 50.

53 Abdurrahman bin Shalih Abdul Latif, Al-Qawâ‟id al-Fiqhiyyah al-Mutadlamminah li at-Taisîr, juz 1,( Madinah, al-Bahts al-'Ilmy, cet. 1, 2003),Hlm.455

(27)

Pada dasarnya melakukakn hîlah dari riba yang ditawarkan didalam kitab fathu al-mu‟in adalah bukan satu-satunya untuk menghindar dari riba. karena wasail dalam bentuk apapun selama tidak bertentangan dengan syara‟ itu diperbolehkan, tetapi yang menjadi patokan adalah harus memerhatikan tercapainya maslahat yang menjadi tujuan syari‟at. karena hukum-hukum yang disematkan pada wasîlah itu lebih "lunak" dibandingkan hukum maqâshid. Dari situ, muncullah kaidah:

ِدِصاَقَلدا ِفِ ُرَفَ تْغُ ي َلَ اَم ِلِئاَسَولا ِفِ ُرَفَ تْغُ ي

"Hukum yang tidak bisa ditoleransi dalam maqâshid dapat ditoleransi dalam wasâ'il"54

2) Tutup-Buka peluang ( dzarâ‟i)

Dalam bahasa leksikal Malikiyah, wasâ‟il juga disebut dengan dzarâ‟i‟. dalam hal ini, ada satu dalil terkenal dari kalangan Malikiyah, yakni sadd adz-dzarî‟ah (menutup jalan). Namun, dalil ini sebenarnya tidak hanya khusus kalangan Malikiyah saja, melainkan juga menjadi argumentasi bagi kalangan lain. Dari situlah, timbul pembagian dzarâ‟i‟

atau wasâ‟il dari segi ditutup atau dibukanya:55

Pertama: wasîlah yang ulama sepakat untuk menutupnya atau melarangnya. Misalnya mencaci maki berhala pada orang yang diketahui akan menghina Allah. Perbuatan tersebut bisa menjadi alasan bagi mereka untuk mencaci Allah. Kedua: wasîlah yang disepakati untuk tidak dilarang dan ditutup. Misalnya tidak menanam anggur karena takut dibuat khamr. Ketiga: wasîlah yang masih diperselisihkan, apakah ditutup atau dibiarkan? Seperti keharaman melihat wanita

54 As-Suyûthi, Al-Asybâh wa an-Nadzâ‟ir,( Beirut, Dar el-Kutub el-Ilmiah, cet. 1, 1983.) Hlm 293.Termasuk dari cabang masalah kaidah ini adalah tidak haram melakukan bepergian di malam Jumat yang berakibat tidak dilaksanakannya shalat jum‟at, tidak haram melakukan hîlah yang dapat menyelamatkan dari riba, namun hukumnya makruh menurut Ibnu Hajar. [lihat: Abdullah bin Sa‟id Muhammad 'Ubbady al-Hadramy, Idlâh al-Qawâ‟id al-Fiqhiyyah, juz 1, (t. t: t.p. , t.th. ), hlm. 91.

55 Anwar al-Burûq…., juz 3, (t. t: t.p. , t.th. ) hlm. 45.

(28)

karena takut mengantarkan pada zina. Masih diperselisihkan, apakah haram ataukah tidak.

Dari ketiga pembagian ini, dapat dilihat bahwa dzarâ'i' tidak melulu harus ditutup atau dihindari (sadd adz-dzarî'ah), melainkan harus dibuka lebar-lebar jika mengantarkan pada maslahat yang lebih besar.56sehingga memunculkan simpulan tidak selamanya membuka peluang adalah mengantarkan kepada keharaman dengan mempunyai anggapan bahwa hîlah adalah tindakan merekayasa hukum, tetapi misalnya didalam kasus hîlah riba, membuka peluang hîlah dengan tujuan mulia yaitu terhindar dari riba sudah memastikan kebolehan dari syari‟at.

3) Hukum-Hukum Wasâ’il yang Mengantarkan pada Maqâshid

Di atas telah dipaparkan mengenai kriteria khusus wasâ'il, salah satunya ia mengikuti maqâshidnya dalam hukum. Jika wasilah dan maqâshidnya sama-sama dilegalkan oleh syariat (mubah, sunnah, atau wajib) maka hukumnya disesuaikan. sehingga melihat dari hukum maqashid berupa menghindar dari kemaraman riba adalah suatu kewajiban maka hukum wasa‟il yang dalam hal ini adalah bentuk hîlah juga bisa di wajibkan terlebih dengan pertimbangan kondisi masyarakat. Begitu juga pendapat yang mengatakan bahwa hîlah adalah tindakan merekayasa hukum, namun yang diperhatikan adalah kemaslahatan yang lebih besar sehingga tetap hîlah dari riba bisa diperbolehkan.

Meski demikian, bukan berarti maqâshid yang berupa maslahat membuat wasilah yang dilarang bisa dilakukan. Pernyataan ini selaras dengan bunyi kaidah;

56 Anwar al-Burûq, juz 3, (t. t: t.p. , t.th. ), hlm. 46.

(29)

ٍلْيِلَدِب َّلَِإ َةَلْ يِسَولا ُرّْرَ بُ ت َلَ ُةَياَغْلَا

"Tujuan yang baik tidak bisa menghalalkan segala cara, kecuali ada dalil (yang melegalkan)"57.Artinya, seseorang tidak boleh beralasan sebab maqâshidnya baik, wasîlah yang dilarang yang ia gunakan untuk mencapainya menjadi baik dan dilegalkan pula. Misalnya, seseorang melihat perempuan ajnabiah lalu ia berargumen: "dengan melihat perempuan, saya bisa merenungkan ciptaan Allah SWT. Sebagaimana yang Ia perintahkan." Ini tidak bisa diterima berdasarkan kaidah di atas.

Namun, jika ada dalil yang melegalkan, seperti seseorang yang berbohong untuk menyelamatkan nyawanya atau orang lain (dalam kondisi darurat) baru diperbolehkan.

Catatan: Untuk suatu perkataan atau tindakan yang mengantarkan pada mafsadah, itu ada dua macam;58 Pertama, Perbuatan tersebut dibuat untuk mengantarkan pada perbuatan baik atau diperbolehkan, lantas perbuatan tersebut dibuat media untuk mencapai perbuatan yang dilarang, baik disengaja atau tidak. Seperti menikah dengan maksud tahlil, berakad jual beli dengan tujuan riba, dan lain semacamnya. Wasilah model ini adakalanya Maslahatnya lebih besar daripada mafsadahnya, dan Mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya.59 Kedua, Wasilah yang dibuat untuk perbuatan yang diperbolehkan dan tidak dimaksudkan untuk suatu mafsadah melainkan untuk memperoleh maslahat.

Dari pembagian diatas sudah jelas bahwa wasilah berupa hibah dan qard yang di bebaskan adalah hal yang tidak bertentangan dengan syara‟ dan di ciptakan untuk memperolah maslahat berupa terhindar dari riba yang sangat sulit untuk di hindari oleh masyarakat.

57 Walid bin Rasyid, Talqîh al-Ifham al-'Illiyyah bi Syarhi al-Qawâ'id al-Fiqhiyyah, juz 3, (t. t: t.p. , t.th.

) hlm. 23.

58 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I‟lâm al-Muwaqqi‟în, juz 2,( Kairo, Dar el-Hadits, 2004.) hlm. 103-104

59 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam artikel ini, berbagai macam program pendeteksi celah keamanan aplikasi website telah diperiksa dan dievaluasi secara terperinci untuk mengetahui program scanner

SEAM ENIM pada lokasi penelitian memiliki potensi untuk dilakukan pengembangan dalam pemanfataan batubara dengan metode gasifikasi bawah permukann.. Kata kunci: Batubara,

Dengan memanfaatkan beberapa bagian (pair) dari kabel jaringan yang tidak digunakan dalam proses pengaliran data dari sumber input ke proses output dapat dimanfaatkan untuk

Sedangkan, lokasi penelitian lain seperti daerah 30-32 Ilir, daerah pasar 16 Ilir, pelabuhan Boom Baru, daerah 7-10 Ulu, daerah Tangga Takat merupakan jalur

Sejak pertama kali muncul 8 tahun silam sampai saat ini Android telah banyak mengalami perubahan yang sangat pesat. Hal tersebut terbukti dari diluncurkannya versi-versi Android

Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan memperoleh bukti empiris tentang kepemilikan saham publik, pertumbuhan perusahaan, profitabilitas, ukuran dewan komisaris,

Pada umumnya Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) telah dilaksanakan, namun berdasarkan telaah dokumen pada pasien BPJS yang dilakukan masih ditemukan perbedaan

8 Metode ini digunakan oleh peneliti untuk memperoleh informasi yang mendalam terkait dengan tipe kepemimpinan dan usaha dalam mengembangkan pendidikan islam,