HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI GURU TERHADAP SERTIFIKASI
DENGAN PROFESIONALISME DALAM MENGAJAR
SKRIPSI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
dalam mencapai derajat S-1
Diajukan oleh :
Toni Gunawan Rahmanto
F. 100 030 211
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menghadapi pesatnya persaingan pendidikan di era global ini, semua pihak
perlu menyamakan pemikiran dan sikap untuk mengedepankan peningkatan mutu
pendidikan. Pihak-pihak yang ikut meningkatkan mutu pendidikan adalah pemerintah,
masyarakat, stakeholder, kalangan pendidik serta semua subsistem bidang pendidikan
yang harus berpartisipasi mengejar ketertinggalan maupun meningkatkan prestasi yang
telah diraih. Dari pihak yang disebutkan di atas, dalam pembahasan tulisan ini yang
disoroti hanya masalah “guru”, sebab ”guru menjadi fokus utama dari kritik-kritik atas
ketidakberesan sistem pendidikan”. Namun tidak dapat dimungkiri bahwa, “pada sisi
lain guru juga menjadi sosok yang paling diharapkan dapat mereformasi tataran
pendidikan.
Guru menjadi mata rantai terpenting yang menghubungkan antara pengajaran
dengan harapan akan masa depan pendidikan di sekolah yang lebih baik” Pandangan
di atas, rasanya tidak mudah untuk menjadi guru dewasa ini, sebab guru menjadi fokus
utama dari kritik-kritik permasalahan pendidikan di Indonesia. Menjadi guru
merupakan profesi yang penuh dengan tantangan. Guru berhadapan dengan tuntutan
kualitas profesi, amanah dari orang, masyarakat, pemerintah dan karena guru tetap
dianggap memiliki akuntabilatas atas keberhasilan pembalajan akademis siswa. Guru
juga berhadapan dengan tuntutan perubahan yang begitu cepat, seperti informasi yang
aspek-aspek pendidikan konpensional yang selama ini ditekuni. Hal ini, tentu saja akan
memaksa para guru untuk mengubah model dan metode belajar – mengajar yang
selama ini ditekuni serta materi dan jenis tugas-tugas yang diberikan kepada murid.
Permasalahan guru di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung
berkaitan dengan masalah mutu profesionalisme guru yang masih belum memadai dan
jelas hal ini ikut menentukan mutu pendidikan nasional. Mutu pendidikan nasional.
Kualitas guru berdasarkan penelitian Tillar (1995) pada tahun 1995/1996 diketahui
bahwa dari 2,17 juta guru SD,SLTP, dan SLTA hanya 27 % yang memenuhi syarat dan
selebihnya tidak memenuhi syarat. Yang tidak memenuhi syarat adalah 54% guru SD
dan 19% guru SLTP/SLTA.
Masalah lain yang dihadapi yang dihadapi Indonesia terkait dengan guru
menyangkat pembinaan dan penempatan mereka sesuai dengan bidang ilmu yang
dikuasainya (Haryono, 1992). Penempatan guru untuk menjalankan tugasnya
disekolah-sekolah seringkali tidak sesuai dengan bidang ilmu yang menjadi
spesifikasinya. Data yang diperoleh dari Sekretariat Jendral Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan pada tahun 1990 terdapat sekitar 30 % guru SLTA yang mengajar
tidak sesuai dengan bidangnya,sedangkan di SLTP sekitar 40% guru matematika
adalah mereka yang berlatar belakang pendidikan agama dan ilmu sosial lainnya. Hal
seperti ini jelas memberikan hasil yang kurang optimal bagi proses belajar mengajar
karena guru tersebut belum tentu secara profesional mengusai materi diluar
spesifikasinya dan pada akhirnya akan merugikan peserta didik. Selain itu, proses
penempatan guru tidak didukung dengan dana yang memadai dan sering memakan
Seorang politis Amerika Serikat Hugget (Catty, 2007) mengatakan guru kurang
profesional, sedang orang tua menuduh, guru tidak kompeten dan malas. Kalangan
bisnis dan industripun memprotes guru karena hasil didikan mereka dianggap tidak
bermanfaat. Tuduhan dan protes ini telah merendahkan harkat dan martabat para guru.
Masalah lain yang muncul yaitu rendahnya tingkat kompetensi profesionalisme guru.
Upaya peningkatan profesionalisme guru harus menyangkut peningkatan
kualitas pengetahuannya sekaligus sikapnya. Seorang calon guru harus dibekali dengan
pengetahuan dan motivasi yang menyebabkan adanya komitmen terhadap kualitas
dirinya, sehingga ia sadar akan perlunya meningkatkan pelayanannya kepada peserta
didik melalui ketrampilan mengajarnya dan peningkatan pengetahuannya dengan terus
menerus belajar (Bambang, 1999).
Masih lesunya pendidikan di Indonesia sendiri tidak terlepas dari kebijakan
Pemerintah yang tidak konsisten dalam memajukan pendidikan itu sendiri. Dalam hal
ini kurangnya penghargaan profesi guru. Banyak faktor-faktor yang melatar belakangi
rendahnya penghargaan profesi guru oleh pemerintah diantaranya gaji yang masih
sangat rendah dan kecilnya tunjangan. Sehingga itu sangat mempengaruhi kinerja guru
itu sendiri yang mengarah pada profesionalisme guru karena banyak ditemukan guru
diinstitusi sekolah negeri sering meninggalkan muridnya dengan memberikan tugas.
Bahkan banyak guru yang ijin mengajar dengan alasan yang kurang jelas.
Gaji guru diIndonesia yang hanya mencapai rata-rata 1 juta rupiah perbulan,
dapat kurang atau lebih sedikit. Jadi, dengan gaji yang diterima, ada sebagian guru
yang bercanda " Bagaimana dapat menabung,untuk keperluan hidup saja,sudah habis
bulan sisanya? Sebagian guru mengakui ada yang mencari objekan diluar tugas
mengajar, seperti menjadi guru private menjadi tukang ojek,yang lebih seru lagi harus
menjadi tukang kredit, dan lain-lain. Tidak dipungkiri, guru juga menjadi langganan
mengambil kredit dibank untuk keperluan perbaikan rumah, anak sekolah, kredit
sepeda motor, dan lain-lain. Melihat nasib dan kesejahteraan guru yang
memprihatinkan itulah, pemerintah Indonesia ingin memberikan Reward berupa
pemberian tunjangan profesional yang berlipat dari gaji yang diterima. Harapan
kedepan adalah tidak ada lagi guru yang bekerja mencari objekan di luar dinas karena
kesejahteraannya sudah terpenuhi. Akan tetapi, syaratnya tentu saja guru harus lulus
ujian sertifikasi, baik guru yang mengajar di sekolah TK, SD, SMP, maupun SMA.
(Muslich, 2007).
Pelaksanaan pendidikan di Indonesia belum bisa dikatakan berhasil. Guru
sebagai ujung tombak keberhasilan pendidikan mempunyai peran dan tanggung jawab
yang berat untuk mensukseskan tujuan pendidikan nasional. Masih banyak lembaga
pendidikan yang tenaga pengajarnya masih belum layak untuk menjadi tenaga pengajar
yang professional. Adanya program sertifikasi guru menumbuhkan motivasi guru
untuk lebih meningkatkan profesionalismenya, namun dilain pihak juga merugikan
bagi guru yang notabene memiliki keterbatasan dalam bidang administrasi.
Pembenahan system pelaksanaan program sertifikasi harus dilakukan agar dapat lebih
berdaya guna. (Depdiknas 2004).
Program sertifikasi ternyata cukup ampuh untuk membangkitkan
profesionalisme guru. Hal itu dapat dilihat dari maraknya kegiatan seminar, lokakarya,
baik dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas swasta dan negeri. Dulu
sebelum adanya program sertifikasi didengungkan pemerintah sangat jarang guru yang
antusias untuk melakukan kegiatan itu dan sekarang banyak guru yang semangat untuk
meneruskan jenjang pendidikan dengan mengikuti program penyetaraan. Diharapkan
dengan antusiasme melakukan kegiatan guru menjadi lebih profesional. Karena dengan
guru mengikuti program penyetaraan dan kegiatan ilmiah meningkatkan intelektualitas
dalam mengajarkan anak didiknya.
Upaya untuk meningkatkan kompetensi guru gencar dilakukan sertifikasi guru
adalah salah satunya. Betapa berharga dan pentingnya guru dalam transformasi
pendidikan mulai disadari oleh semua elemen. Hingga mereka para calon guru yang
tak lulus dalam uji sertifikasi harus rela dengan lapang dada untuk belajar ulang
dengan mengikuti diklat demi meningkatkan kompetensinya. Uji sertifikasi hanya
sekedar penyaringan. Setelah disaring, guru mempunyai tugas terberat untuk
mengemban amanah mengejar secara lebih demokratis, humanis dan transformatif.
Bagaimana komitmen dan spirit guru dalam memfasilitatori peserta didik adalah
tantangan tersendiri bagi guru.
Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru.
Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional
guru. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik
pendidikan yang berkualitas. Dasar utama pelaksanaan sertifikasi adalah
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang disahkan
Peningkatan mutu guru lewat program sertifikasi ini sebagai upaya
peningkatan mutu pendidikan. Rasionalnya adalah apabila kompetensi guru bagus yang
diikuti dengan penghasilan bagus,diharapkan kinerjanya juga bagus. Apabila
kinerjanya bagus maka KBM-nya juga bagus. KBM yang bagus diharapkan dapat
membuahkan pendidikan yang bermutu. Pemikiran itulah mendasari bahwa guru perlu
disertifikasi. (Muslich, 2007)
Sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan,
bukan tujuan itu sendiri. Perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua pihak bahwa
sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Kesadaran dan pemahaman ini akan
melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai
kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk meningkatkan
kualifikasinya, maka belajar kembali ini bertujuan untuk mendapatkan tambahan ilmu
pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1. Ijazah S-1 bukan
tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar
melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan
ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru mengikuti sertifikasi, tujuan utama bukan
untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa
yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standar
kompetensi guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya
kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari
jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan
belajar yang benar untuk menghadapi sertifikasi. Berdasarkan hal tersebut, maka
Berkaitan dengan proses belajar mengajar, seorang guru harus dapat
mengimplementasikan kurikulum dengan kreatif. Kurikulum harus dipahami secara
komprehensif dan disadari sebagai suatu pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa.
Seorang guru tidak boleh terpaku kepada GBPP secara kaku. Ia harus kreatif
memodifikasi proses belajar mengajarnya dengan disesuaikan kebutuhan siswa.
Adanya program sertifikasi dari pemerintah diharapkan membangkitkan
motivasi para guru dalam meningkatkan profesionalitas guru terutama dalam hal
pendapatan. Guru yang lulus sertifikasi dengan otomotis dapat tunjangan profesi. Oleh
sebab itu dengan mendapatkan tunjangan profesi profesionalitas dapat naik dengan
sendirinya. Kenyataannya masih banyak dilihat diberbagai sekolah negeri dari mulai
tingkat dasar sampai sekolah tingkat menengah umum banyak sekali guru yang tidak
menjunjung profesionalitas dalam mengajar. Hal ini memicu tidak berkembangnya
prestasi belajar siswanya.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti mengajukan rumusan masalah:
“Apakah ada hubungan antara persepsi guru terhadap sertifikasi dengan
profesionalisme dalam mengajar?”.Berlandaskan dari rumusan masalah tersebut maka
penulis tertarik untuk menguji secara empirik dengan melakukan penelitian berjudul“
Hubungan antara Persepsi Guru terhadap Sertifikasi dengan Profesionalisme dalam
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui:
1. Hubungan antara persepsi guru terhadap sertifikasi dengan profesionalisme dalam
mengajar.
2. Tingkat persepsi guru terhadap sertifikasi.
3. Tingkat profesionalisme dalam mengajar.
4. Peranan persepsi guru terhadap sertifikasi terhadap profesionalisme dalam
mengajar.
C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi:
1. Guru
Memberikan informasi mengenai hubungan antara persepsi guru terhadap
sertifikasi dengan profesionalisme dalam mengajar, sehingga dapat dijadikan
sebagai bahan evaluasi bagi diri sendiri untuk mengetahui profesionalisme dalam
mengajar dan persepsi terhadap sertifikasi yang selama ini dimiliki.
2. Kepala Sekolah
Memberikan informasi empiris mengenai hubungan antara persepsi guru terhadap
sertifikasi dengan profesionalisme dalam mengajar sehingga kepala sekolah
mampu memilih pendekatan pembelajaran yang tepat untuk dapat
mengimplementasikan manfaat pengujian dalam sertifikasi guru sebagai sarana
3. Departemen pendidikan pemuda dan olahraga
Sebagai sumber informasi dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan
hubungan antara persepsi guru terhadap sertifikasi dengan profesionalisme dalam
mengajar.
4. Peneliti
Memberikan kontribusi akademis dan hasil empiris sebagai perluasan cakrawala
pada ilmu pengetahuan khususnya pada disiplin ilmu psikologi pendidikan tentang
hubungan persepsi guru terhadap sertifikasi dengan profesionalisme dalam