Studi tentang Koordlnasi antar Instansi Pengelola Sekolah Dasar
di Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta
TESIS
Diajukan untuk memenuhi sebagian dari
Syarat memperoleh Gdar Maglster Pendidikan
Bidang Studi Administrasi Pendidikan
O I e h :
UDIK BUDI WIBOWO NIM: 9032193
PROGRAM PASCASARJANA
PROF. DR: ENGKOSWARA, M.Ed.
PEMBIMBING I
PEMBIMBING
PENGELOLAAN SEKOLAH DASAR:
Studi tentang Koordinasi antar Instansi Pengelola
Sekolah Dasar di Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta
Oleh: ,/
Udik Budi Wibowo
Pengelolaan sekolah dasar (SD) di daerah
melibat-kan dua jajaran instansi, yaitu Dinas P & K dan Kanwil
Depdikbud beserta instansi bawahan masing-masing. Dinas
berfungsi
mengatur
urusan kepegawaian,
keuangan
dan
sarana prasarana; dan Kanwil mengatur urusan kurikulum
atau
teknis edukatif.
Dengan pembagian fungsi
semacam
itu
maka kegiatan koordinasi antar kedua
jajaran
in
stansi
tadi menjadi kebutuhan mutlak,
sebab
ketiadaan
koordinasi
dapat menimbulkan masalah,
seperti:
saling
berebut
wewenang, perasaan saling lepas,
atau
terjadi
program-program yang tumpang tindih dan bertentangan
satu
sama
lain; yang pada akhirnya
akan
berpengaruh
terhadap pengelola pada tingkat sekolah. Berdasarkan
hal
itulah,
penulis tertarik untuk meneliti pelaksanaan
kegiatan koordinasi antar instansi tersebut beserta
implikasinya dalam penyelenggaraan sekolah.
Untuk
memperoleh
pemahaman dan
pengertian
yang
mendalam,
penelitian ini menggunakan pendekatan
kuali-tatif; dengan mengambil lokasi
di Kodya Dati II Yogya
karta.
Untuk
itu sampel yang
dijadikan
nara
sumber
adalah:
(1) Kepala Dinas P & K DIY,
(2) Kepala Cabang
Udik Budi NibONO (Pengelolaan
SD: Studi tentang Koordinasi, 1993)
Dinas
Kodya
Yogyakarta,
(3) Koordinator
Ranting
di
tiga
wilayah,
(4)
Kepala/Kasi Dikdas Kanwil
Depdik
bud, (5) Kepala dan Kasi Dikdas Kandepdikbud Kotamadya,
(6)
Penilik
TK/SD
di
empat
wilayah/kecamatan,
dan
(7) Kepala Sekolah dan Guru-guru SD masing-masing
lima
orang.
Pengumpulan
data
dilakukan
dengan
wawancara,
observasi dan studi dokumentasi; yang orientasi dan
eksplorasinya
berlangsung
dari
bulan
Maret
sampai
Oktober
1992.
Alat
pengumpul
datanya,
sebagaimana
umumnya dalam penelitian kualitatif, adalah peneliti
sendiri
{human instrument)
dengan alat
bantu
seperti
buku catatan,
tape recorder
dan kamera foto. Data
yang
dikumpulkan
dianalisis
dengan
mengikuti
prosedur:
(a)
reduksi data,
(b) display data,
dan (c) pengambilan
kesimpulan dan verifikasi.
Dari
analisis
tersebut
ditemukan
bahwa
obyek
kegiatan koordinasi antar kedua jajaran instansi tadi
hanya meliputi sebagian kecil dari aspek-aspek pengelo
laan: (1) kelembagaan, (2) kemuridan, (3) kurikulum dan
(4) personil.
Aspek-aspek pengaturan sarana
prasarana,
keuangan
dan hubungan sekolah dengan masyarakat
belum
dikoordinasikan
sebagaimana
mestinya.
Kedua
jajaran
instansi tadi juga lebih mengutamakan koordinasi intern
(vertikal) dalam jajaran instansinya. Pelaksanaan
koordinasi ekstern (horisontal)
tergantung
pada
tuhan,
tidak diprogram secara mantap dengan
mengikuti
tahap-tahap perencanaan program, pelaksanaan dan
eva-luasi hasil-hasilnya. Hal ini dapat diartikan bahwa
koordinasi antar instansi pengelola SD tersebut belum
menyeluruh atau belum komprehensif, kurang sistematik
dan tidak kontinyu.
Adapun cara-cara yang digunakan, mencakup antara
lain:
(1)
saling mengundang rapat
kerja,
(2)
saling
memberikan
informasi pada rapat koordinasi daerah,
(3)
pembuatan surat edaran bersama dan surat pemberitahuan,
(4)
pembentukan panitia, (5) peninjauan lapangan,
dan
(6) konsultasi maupun pembicaraan secara informal. Pada
umumnya untuk jenjang instansi atas lebih banyak
meng-gunakan cara-cara formal, sedangkan pada jenjang ins
tansi bawah lebih banyak menggunakan cara informal.
Cara-cara yang bervariatif itu, baik resmi maupun
tidak resmi, dapat mempererat hubungan kerjasama dan
koordinasi antar kedua jajaran instansi tadi relatif berjalan lancar. Namun demikian sesungguhnya koordinasi
tersebut masih menghadapi berberapa masalah seperti:
(a)
ada
instansi yang melakukan pekerjaan
yang
bukan
menjadi wewenangnya, (b) program-program ganda, teruta
ma yang berkenaan dengan guru dan alat pendidikan, (c)
program-program yang bersamaan waktu, (d) ada wewenang
yang masih dirasakan kabur, seperti tentang urusan
siswa, atau (e) terjadi saling tidak mengetahui program
kerja
pihak
lain, yang menunjukkan
semacam
perasaan
saling
lepas
satu sama
lain.
Permasalahan
tersebut
menunjukkan
bahwa koordinasi antar kedua jajaran
ins
tansi tadi belum sepenuhnya efektif.
Implikasi
dari
kegiatan
koordinasi
yang
belum
menyeluruh
(komprehensif),
kurang
sistematik,
tidak
kontinyu,
dan
belum sepenuhnya efektif
tadi
adalah:
bagi
kepala
sekolah fungsinya
lebih
banyak
sebagai
administrator
daripada sebagai pemimpin
yang
membawa
inovasi-inovasi,
dan
merasakan konflik
peran
{role
conflict)
dan
kekaburan
peran
{role
ambiguity);
adapun bagi guru beban kerja administratifnya dirasakan
cukup berat,
yang sedikit banyak dapat mengganggu
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas.
Selanjutnya dapat diidentifikasikan bahwa
faktor-faktor yang diduga sebagai penghambat maupun
pendukung
kelancaran pelaksanaan koordinasi adalah: (a) orientasi
penyusunan program, (b) gaya kepemimpinan, (c) tingkat
hubungan
interpersonal
antar
pejabat,
(d)
kondisi
tempat kerja, dan (e) kelengkapan struktur organisasi.
Berdasarkan
hal
itu
maka
untuk
kedua
jajaran
instansi
tadi
disarankan:
(1)
memberikan
wewenang,
tugas
dan tanggung jawab yang lebih besar kepada
ins
tansi
tingkat kotamadya atau kecamatan untuk
menyusun
program
sendiri, dengan orientasi kepada sasaran
(SD)
bukan
pada
unit-unit kerja;
(2)
kegiatan
koordinasi
diprogram secara sistematik dan menyatu dari tahap
perencanaan program, pelaksanaan dan evaluasi hasilnya;
(3) melakukan pendefinisian kembali wewenang yang kabur, terutama masalah personil, siswa dan sarana prasarana, dan (4) mempersiapkan secara matang, guru-guru yang akan diangkat menjadi kepala sekolah. Selain itu, bagi peneliti lain disarankan mengadakan peneli tian untuk menguji atau mengetahui besar sumbangan faktor-faktor yang diidentifikasi sebagai penghambat atau pendukung kelancaran koordinasi di atas.
diprogram
secara
sistematik dan
menyatu
dari
tahap
perencanaan program, pelaksanaan dan evaluasi hasilnya;
(3)
melakukan
pendefinisian
kembali
wewenang
yang
kabur, terutama masalah personil, siswa dan sarana
prasarana,
dan
(4) mempersiapkan secara matang,
guru-guru yang akan diangkat menjadi kepala sekolah. Selain
itu,
bagi peneliti lain disarankan mengadakan
peneli
tian
untuk
menguji
atau
mengetahui
besar
sumbangan
faktor-faktor
yang diidentifikasi
sebagai
penghambat
atau pendukung kelancaran koordinasi di atas.
—-<UBW>
PUSTAKA ACUAN
Aman,
Sofyan. (1980).
Perkembangan Organisasi
Pengurus-an Sekolah-Sekolah di Indonesia. Jakarta: Kurnia
Esa.
Amidjaya,
Imat
R.
(1991).
Permasalahan
dan
Inovasi
Pendidikan Dasar di Amerjika Serikat dan
Implikasi-Implikasi
t
Praktis
untuk
Peningkatan
Kualitas
Pendidikan Dasar di Indonesia.
Makalah pada
Semi
nar
Pengembangan
Program Pascasarjana
FPS
IKIP
Bandung tanggal 28 Dese>mber 1991.
Arikunto,
Ny.
Suharsimi/
(1987).
Administrasi
dan
Supervisi Pendidikan. Yogyakarta: FIP IKIP YOGYA
KARTA.
Barnard, Chester I. /l950).
The Functions of Executive.
Massachusett: /Harvard University Press.
Beck, Clive.
(19//4) .
Educational Philosophy and Theory:
An Introdj/ction.
Boston: Little Brown and Co.
Beeby, C.E. (1987) .Pendidikan di Indonesia: Penilaian dan Pedoman Perencanaan. Alih bahasa oleh BP3K dan
YIIS/ Jakarta: LP3ES.
Bogdan, Robert C. & Sari Knopp Biklen. (1982).
Qualita
tive Research for Education: An Introduction to
Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon Inc.
Culver,
Carmen M.
and Gary J. Hoban. (1973).
The
Power
to Change: Issues for The Innovative Educator. New York: McGraw-Hill Book Company.
Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan
Olah
Raga.
(1990).
Konperensi Dunia tentang
Pen
didikan
bagi
semua
memenuhi
Kebutuhan
Belajar
Dasar.
Jakarta:
Ditjen Diklusepora Depdikbud.
Duke, Daniel
L.
& Robert Lynn Canady.
(1991).
School
Policy. New York: McGraw-Hill, Inc.
Engkoswara.
(1984).
Menata Peningkatan Kualitas Manusia
Indonesia Tinggal Landas. Pidato Ilmiah dalam
rangka
penerimaan
Jabatan Guru
Besar.
Bandung:
IKIP Bandung.
. (1987). Dasar-Dasar Administrasi Pendidi
kan.
Jakarta:
PPLPTK Ditjendikti Depdikbud
Etzioni, Amitae. (1982).
Organisasi-Organisasi
Modern.
a.b. Suryatim. Jakarta: UI Press dan PustakaBradjaguna.
Fraenkel,
Jack R.
& Norman E. Wallen.
(1990).
How
to
Design and Evaluate Research in Education. New York: McGraw Hill Book Company.
Gaffar, M. Fakry. (1987). Perencanaan Pendidikan: Teori
dan
Metodologi.
Jakarta:
PPLPTK Ditjendikti
Dep
dikbud .
. (1991). Disentralisasi dan
Implika-sinya Terhadap Perencanaan Pendidikan. Makalah pada Temu Ilmiah dan Kongres I Divisi Administrasi
Pendidikan
ISPI di Bukittinggi,
16-18
September
1991.
Gie, The Liang. (1978). Unsur-unsur Administrasi.
Yogyakarta: Karya Kencana.
. (1984). Administrasi Perkantoran
Modern.
Yogyakarta:
Supersukses dan Nur Cahaya.
Hack, Walter G. et.al. (1971). Educational Administra
tion:
Selected Readings.
Bosto: Allyn and
Bacon,
Inc.
Hadisubroto,
Subino.
(1989).
Pokok-Pokok
Pengumpulan
Data, Analisis Data, Penafsiran Data dan
Rekomen-dasi
dalam Penelitian Kualitatif.
Bandung:
IKIP
Bandung.
Hick,
Herbert
G. and C. Ray Gullet.
(1975).
Organiza
tion: Theory and Behavior.
Auckland-Tokyo:
McGraw-Hill Book Company.Hoy, Wayne K. and Cecil G. Miskel. (1987). Educational
Administration: Theory Research and Practice. New
York: Random House.
Jassin, Anwar. (1991). Karakteristik Pendidikan Dasar
Yang Bermutu Dan Persyaratan Manajemen Yang
Menun-jang. Makalah pada Seminar Manajemen Pendidikan Dasar di IKIP JAKARTA tanggal 2 Maret 1991.
Junurahardjo dan Udik Budi Wibowo. (1987). Identifikasi
Masalah Organisasi dan Tatalaksana pada Pemerintah
Kotamadya
Daerah Tingkat II
Yogyakarta.
Laporan
Penelitian Kerjasama Pemda Kodya Yogyakarta dengan
Kopertis Wilayah V.
Kamars,
Dachnel
H.M.
(1989).
Sistem Pendidikan
Dasar,
Menengah
dan
Tinggi:
Suatu
Studi
Perbandingan
antar Beberapa Negara.
Jakarta:
PPLPTK Ditjendikti
Depdikbud.
Koesoemahatmadja, RDH. (1979). Pengantar Ke Arab Sistim Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
Komaruddin. (1983). Ensiklopedia Menejemen. Bandung: Alumni.
Krajewsky, Robert J. et.al. (1983). The Elementary School Principalship: Leadership for The 1980s.
New York: Holt, Rinehart and Winston.
Likert, Rensis. (1967). The Human Organization: Its
Management and Value. Tokyo: McGraw-Hill Kogaku-sha, Ltd.
Lundgren, Earl F. (1974). Organizational Management:
Systems and Process. New York: Harper and Row
Publishers, Inc.
Miles, Matthew B. and A. Michael Huberman. (1984).
Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. Newbury Park London: Sage Publications. Muhadjir, Noeng. (1990). Metodologi Penelitian Kualita
t i f . Yogyakarta: Rake Sarasin.
Monahan, William G. dan Herbert R. Hengst. (1982). Contemporary Educational Administration. New York: MacMillan Publishing Co., Inc.
Nasution, S. (1988). Metode Penelitian Naturalistik
Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Nawawi, Hadari. (1981). Administrasi Pendidikan. Jakar
ta: Gunung Agung.
Newman, William H. (1951). Administrative Action: The
techniques of Organization and Management. New
Jersey: Prentice Hall-Englewood Cliffs.
Nurhadi, Muljani A. (1983). Administrasi Pendidikan di Sekolah. Yogyakarta: Andi Offset.
Organization For Economic Co-operation and Development. (1983). Compulsory Schooling in A Changing World. Paris: OECD.
Orlosky, Donald E. et.al. (1984). Educational Adminis tration Today. Columbus: Charles E. Merril Pub
lishing Company.
Pamudji, S. (1977). Praktek Organisasi dan Metode (O & M). Jakarta: Pusdiklat Depdagri.
Pfiffner, John M., dan Robert V. Presthus. 1960. Public
Administration.
New York: The Ronald Press
Compa
ny.
Purwanto,
M.
Ngalim dan Sutadji Djojopranoto.
(1981).
Administrasi Pendidikan. Jakarta: Mutiara.
Pusat Informatika
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pengembangan
Sistem Indikator Mutu Pendidikan SD/MI. Buram
Terbatas,
Jakarta:
Pusinfot Balitbang
Depdikbud,
1991.
Robbins, Stephen P. (1978). The Administrative Process: Integrating Theory and Process. New Dehli: Pren tice Hall of India.
Satlita, Lena. (1985). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Koordinasi Pelaksanaan Pemerintahan di Daerah.
Skripsi pada Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UNIVERSITAS GAJAH MADA Yogyakarta.
Sergiovanni, Thomas J. et.al. (1980). Educational Governance and Administration. New Jersey: Pren
tice Hall, Inc., Englewood Cliffs.
Syafrudin, Ateng. (1982). Pemerintahan di Daerah dan Pelaksanaanya. Bandung: Tarsito.
Sudjud, Ny. Aswarni dan Tatang M. Amirin. (1987). Dasar-Dasar Konseptual Administrasi Pendidikan.
Yogyakarta: Yayasan Purbasari.
Sudjud, Ny. Aswarni, dkk. (1989). Matra Fungsional Administrasi Pendidikan. Yogyakarta: Yayasan
"Purbasari".
Sugandha, Dann. (1988). Koordinasi: Alat Pemersatu
Gerak Administrasi. Jakarta: Intermedia.
Suryaningrat, Bayu. (1989). Perumusan Kebijaksanaan dan Koordinasi Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Sutarto. (1983). Dasar-Dasar Organisasi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Sutisna, Oteng. (1989). Administrasi Pendidikan: Dasar
Teoritis untuk Praktek Profesional. Bandung:
Angkasa.
Sutjipto. (1991). Manajemen di Sekolah Dasar dan Mene-ngah. Makalah pada Temu Ilmiah dan Kongres Nasio nal I Divisi Administrasi Pendidikan ISPI di
tinggi, 16-18 September 1991.
Tilaar,
HAR.
(1991a).
Sistem Pendidikan Nasional
Yang
Kondusif Bagi Pembangunan Masyarakat Industri
Modern Berdasarkan Pancasila.
Makalah pada Kongres
Ilmu Pengetahuan Nasional V,
Jakarta 3-7 September
1991.
(1991b). Manajemen Pendidikan Dasar dan Pembangunan Daerah. Makalah pada Temu Ilmiah dan
Kongres I Divisi Administrasi Pendidikan ISPI di
Bukittinggi,.16-18 September 1991.
Trisiyani, Ratna. (1989). Pengaruh Koordinasi dan
Legitimasi
terhadap Tingkat Keberhasilan
Program
Kejar Paket A di Kodya Yogyakarta. Skripsi JurusanAdministrasi Perkantoran FPIPS IKIP YOGYAKARTA.
Wardhana,
Goenawan Ardi. (1990).
Manajemen
Sumberdaya
Pendidikan. Makalah pada Seminar Profesionalisasi
Manajemen Pendidikan dalam rangka Penningkatan
Mutu Pendidikan, di Jakarta 29 - 31 Oktober 1990.
Westra,
Pariata.
(1981).
Pokok-Pokok Pengertian Manaje
men. Yogyakarta: BPA-AAN.
(1983). Manajemen Pembangunan Daerah.
Jakarta: Ghalia Indonesia
ARTIKEL:
Anonim.
(1991).
"Kesamaan Persepsi Dua Nahkoda Menanga
ni SD". Kompas, 11 Pebruari 1991.
. (1991). "Menapak Jalan Panjang Pendidikan" (Tajuk Rencana). Kompas, 2 Mei 1991.
(1991). "Membuat Skenario Peningkatan Kualitas
Pendidikan Dasar" (Tajuk Rencana). Kompas, 20 Pe
bruari 1991.
-. (1991). "SD dan SMTP Jenjang Pendidikan Paling
Rawan". Kompas, 19 Pebruari 1991
. (1991). "Tiga Persoalan Pokok Jenjang Pendidikan
Dasar" (Tajuk Rencana). Kompas, 11 Januari 1991.
Suryohadiprojo,
Sayidiman.
(1991).
"Penyelenggaraan
Pembangunan Sumberdaya Manusia". Kompas, 5 Januari
1991.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Ketetapan MPR RI Nomor: II/MPR/1988 tentang Garis-Garis
Besar Haluan Negara. Bandung: Lubuk Agung, 1988.
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia
Nomor: 0173/0/1983, Nomor: 0255/0/1983, Nomor:
0304/0/1984 dan Nomor: 0262/0/1984. Yogyakarta:
Sub-bag Penerangan Bagian Tatausaha Kanwil Depdik bud DIY.
Kumpulan Peraturan Pelaksanaan Sistem Pendidikan Na
sional, Jakarta: Armas Duta Jaya, 1990.
Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 10 Tahun 1981 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tatakerja Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi DIY. Lembaran Daerah Propinsi DIY Nomor 23 Tahun
1982.
Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tentang Pelaksanaan Tugas di Daerah. Jakarta:
Kloang Klede Jaya, 1988.
UndangrUndang Pemerintahan Desa dan Pokok-Pokok Peme
rintahan di Daerah. Surakarta: Pabelan, 1988.
<UBW>
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sekolah
Dasar (SD) merupakan
jenjang
pendidikan
yang strategis. Strategis bukan hanya dalam arti bagi
kepentingan nasional sebagai bagian dari nation build ing dan demokratisasi pendidikan, tetapi juga bagi masa depan anak (Kompas, 11-2-1991). Selain itu jika dikait kan dengan jenjang pendidikan lain, sekolah dasar
mempunyai peran yang sangat sentral sebab merupakan
"fondasi" dan sekaligus pencetak "bahan baku" untuk
jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Kompas,
19-2-1991). Dengan demikian pendidikan di sekolah dasar
menjadi penentu mutu jenjang pendidikan selanjutnya. Pada tahun 1988/1989 angka partisipasi murni
sekolah dasar telah mencapai 99,6 %. Persentase terse
but sangat impresif apabila dikaitkan dengan upaya
pemerataan pendidikan di atas. Namun demikian serentak
dengan itu muncul keresahan masyarakat tentang
penurun-an mutu lulusannya (Kompas, 20-2-1991). Keadaan ini
mendorong perubahan kebijakan pembangunan pendidikan dari semula yang menekankan pada kuantitas menjadi
lebih menekankan pada upaya peningkatan kualitas. Jadi selain tetap mengusahakan pemerataan, pemerintah juga
berusaha meningkatkan mutu pendidikan tersebut (GBHN
1988; Buku REPELITA V Bab 20).
Udik Budi Hibouo (Pengelolaan SD: Studi tentang Koordinasi)
Upaya meningkatkan mutu pendidikan merupakan tugas yang berat, yang tidak hanya menyangkut permasalahan
teknis pendidikan tetapi juga mencakup persoalan
peren-canaan, pendanaan dan efisiensi penyelenggaraan sistem sekolah itu sendiri (Tilaar, 1991a: 10). Oleh karena
itu upaya peningkatan mutu pendidikan dengan sendirinya
memerlukan penataan pendidikan yang lebih baik (Engkos-wara, 1988: 63).
Berdasarkan pemikiran tersebut maka dapat dikata-kan bahwa pengelolaan pendidikan merupakan alternatif
strategik untuk mencapai keberhasilan upaya peningkatan
mutu atau kualitas pendidikan di sekolah dasar. Hal ini
didukung oleh salah satu kesimpulan penelitian Pusat Informatika Balitbang Depdikbud (1991: 10) yang menya-takan bahwa manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan di sekolah dasar. Dalam ungkapan yang senada, HAR Tilaar (1991b:
10) juga menyatakan bahwa:
Sistem pengelolaan pendidikan itu akan menentukan efektif tidaknya kurikulum, berbagai peralatan bela-jar, waktu mengajar dan proses mengajar itu sendiri dalam proses belajar yang menghasilkan tamatan pen didikan dasar yang diinginkan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa persoalan mutu atau kualitas pendidikan sebenarnya berkaitan erat dengan kelemahan sistem manajemen pendidikan (Gaffar,
1987: 38); sehingga apabila ingin meningkatkan mutu pendidikan sekolah dasar, persoalan-persoalan pengelo
laan sekolah tersebut harus dipecahkan lebih dahulu.
Hal ini perlu ditekankan sebab sebagaimana dinyatakan
oleh C.E. Beeby (1987: 241) bahwa:
"... dibalik semua rencana dan usul perbaikan mutu pendidikan di Indonesia terletak setumpuk masalah administrasi yang saling berkaitan: apabila hal ini tidak dipecahkan maka tugas meningkatkan standar pendidikan serta membuatnya lebih relevan dengan kebutuhan negara dan masyarakat yang dilayaninya
pasti akan tertumbuk pada kesulitan".
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat
disim-pulkan bahwa untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah dasar maka masalah-masalah pengelolaan sekolah
dasar tersebut harus dapat diidentifikasi dan dipecah
kan terlebih dahulu.
Pengelolaan sekolah dasar sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor: 65 Tahun 1951,
Undang-Undang Nomor: 2 Tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah
Nomor: 28 Tahun 1990, melibatkan dua perangkat utama pemerintah, yaitu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) dan Departemen Dalam Negeri (Pemerintah Daerah). Dalam hal ini Depdikbud bertugas menangani aspek teknis edukatifnya, dan Depdagri menangani aspek administratifnya. Pembagian tugas dan wewenang semacam ini sudah tentu menimbulkan saling ketergantungan, dan untuk itu diperlukan koordinasi (Thompson dalam Sutar-to, 1983: 129 dan Sugandha, 1988: 22). Oleh karena itu kunci pokok dalam penyelenggaraan sekolah dasar di daerah ialah adanya koordinasi. Dalam hal ini koordina
si antara Kepala Wilayah dengan Dinas P & K Daerah serta Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (Tilaar, 1991b: 7).
Dengan
kata lain akan sangat sulit
atau
hampir-hampir
mustahil untuk menaikkan mutu pendidikan
dasar
(termasuk mutu sekolah dasar, pen.)
secara langgeng dan
merata
keseluruh negara tanpa adanya
kolaborasi
yang
erat
dan intensif antara Depdikbud dan Depdagri;
mak-sudnya, pengelolaan atau administrasi pendidikan
dasar
baru dapat efektif atau ada hasilnya kalau ada
koordi
nasi,
kolaborasi
atau integrasi antara
semua
badan-badan
Dinas P dan K di seluruh daerah
dengan
Kanwil-kanwil
P
dan
K,
dengan
Kandep-kandep
dan
Kancam-kancamnya (Amidjaya, 1991: 21).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
koordinasi
merupakan aktivitas yang sangat penting
di
dalam
rangka
penyelenggaraan
pendidikan
di
sekolah
dasar.
Namun
demikian
sebagaimana
diungkapkan
oleh
Amitae
Etzioni (1982: 164) bahwa
dalam
negara-negara
yang sedang berkembang pada umumnya, sistem
koordinasi
tersebut
cenderung tidak memadai. Keadaan
serupa
ini
jelas
dapat
mempengaruhi
keberhasilan
pengelolaan
sekolah
dasar, dan pada gilirannya
akan
mempengaruhi
keberhasilan upaya peningkatan mutu pendidikan
sekolah
dasar tersebut.
Pengelolaan sekolah dasar, sesuai dengan
Peratur
an
Pemerintah
Nomor: 65 Tahun
1951,
menjadi
urusan
Pemerintah
Propinsi
Daerah
Tingkat
I.
Dan
sejalan
dengan pemberian otonomi yang nyata dan
wab
kepada
Daerah
Tingkat
II
(lihat
Undang-Undang
Nomor:
5 Tahun 1974), maka pelaksanaan
urusan
penye
lenggaraan sekolah dasar tersebut lebih banyak
melibat-kan Pemerintah Daerah Tingkat II atau
Kabupaten/Kotama-dya.
Berdasarkan pemikiran di atas maka penulis
terdo-rong untuk mengkaji pelaksanaan koordinasi antar in
stansi
pengelola sekolah dasar di daerah
tingkat
II,
yakni Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta. Penekanan ini juga berdasarkan asumsi bahwa tingkat ini memiliki jangkauan wilayah pengelolaan pendidikan yang tidak
terlampau besar, dan secara struktural dekat dengan pusat dan juga dengan sekolah dasar. Selain itu, pene
kanan ini juga sejalan dengan rencana pemerintah untuk meningkatkan derajat desentralisasi kepada satuan-satuan administratif pemerintah daerah tingkat dua.
Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta mempunyai luas 32,5 Km2 atau 3.250 Ha, yang membentang antara 110°24'53" sampai 110°28'53" B.T. dan 07°49'26" sarapai 07°15'24" L.S. Wilayah ini terletak di tengah-tengah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan batas-batas: di sebelah utara dan timur adalah Kabupaten Daerah
Tingkat II Sleman; dan di sebelah selatan dan barat
adalah Kabupaten Daerah Tingkat II Bantul (lihat
Lampi-ran 10 tentang Gambar Peta).
Kotamadya Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar
atau kota pendidikan. Wilayah kotamadya ini terdiri dari 14 kecamatan dengan 45 kalurahan. Data
kan yang berkenaan dengan sekolah dasar di daerah
ini,
antara
lain terdapat 286 gedung sekolah
dasar
dengan
1.726 ruang kelas. Adapun keadaan muridnya dapat
dili-hat dari data pada tabel di halaman berikut ini.
Tabel 1.1
JUMLAH MURID SEKOLAH DASAR DI KOTAMADYA DATI II YOGYAKARTA
TAHUN 1991/1992
SEKOLAH DASAR
K E L A S
JUMLAH
I II III IV V VI
Negeri Swasta 5.148 2.804 5.202 2.829 5.407 2.908 5.562 3.032 5.270 2.825 4.691 2.585 31.280 16.983 JUMLAH 7.952 8.031 8.315 8.594 8.095 7.276 48.263
Sumber: Diolah dari Laporan Tahunan Kanwil Depdikbud
Propinsi DIY Tahun 1991/92.
Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah keseluruhan
murid
sekolah
dasar di Kotamadya Dati
II
Yogyakarta
adalah 48.263 murid. Apabila dibandingkan dengan jumlah
penduduk usia sekolah dasar (7-12 tahun),
yakni
42.391
anak; maka angka partisipasi sekolah dasar di daerah
ini adalah 113,85 %. Angka ini berarti SD-SD di
Yogya
karta menampung juga anak-anak di luar umur 7-12 tahun
tadi; dan angka tersebut melebihi angka partisipasi
SD
secara nasional. Bahkan pada perkembangan akhir-akhir ini beberapa sekolah dasar di daerah ini menerima murid
baru
untuk
kelas satu lebih kecil
dari
jumlah
yang
ditetapkan, karena jumlah anak usia sekolah dasar banyak berkurang.
Menurut Rustamaji, Kasubdin TNT Dinas P dan K Propinsi DIY, dari 286 SD di Kotamadya Yogyakarta yang menerima siswa kelas satu kurang dari 30 (batas maksi-mal yang diijinkan) tercatat 187 SD; tetapi 10 SD lainnya menerima di atas 40 siswa (Kompas, 12 Juni 1992).
Selain itu, dari Data Kependidikan Persekolahan
Tahun 1990/1991 terungkap bahwa lulusan SD/MI di Kodya Dati II Yogyakarta berjumlah 7.293 murid. Dari sejumlah lulusan itu yang melanjutkan ke SMP sebanyak 5604 siswa
(76,84 %), ke SKKP = 53 siswa (0,73 %) dan yang ke Mts = 631 siswa (8,65 %). Dengan demikian lulusan SD yang
melanjutkan ke SLTP berjumlah 6.288 murid, atau dengan
kata lain angka melanjutkan murid SD ke SMTP di daerah
ini adalah (6.288 : 7.293) x 100 % = 86,22 %.
Persen-tase ini lebih tinggi daripada yang terjadi pada ting
kat propinsi (DIY) yang besarnya hanya 83,36 %.
Angka melanjutkan murid SD ke SLTP seperti di atas
dapat dikatakan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
pengelolaan sekolah dasar di Kotamadya Dati II Yogya
karta cukup berhasil, sebab angka melanjutkan tersebut
paling tidak menujukkan kegairahan belajar yang tinggi,
yang merupakan salah satu kriteria keberhasilan penge
lolaan pendidikan sebagaimana pendapat Engkoswara
(1984: 11 dan 1990: 2), bahwa:
Kriteria atau ukuran keberhasilan administrasi
pendidikan
adalah
produktivitas
pendidikan,
yang
dapat dilihat pada produk, hasil atau efektivitas dan pada proses, suasana atau efisiensi. Efektivitas
dapat dilihat pada 1) masukan yang merata, 2)
kelu-aran yang banyak dan bermutu tinggi, 3) ilmu dan
keluaran yang gayut dengan kebutuhan masyarakat yang
sedang membangun dan 4) pendapatan tamatan atauluaran
yang
memadai.
Sedangkan
efisiensi
dapat
dilihat
pada
1)
kegairahan atau
motivasi
belajar
yang tinggi (cetak miring, pen.), 2) semangat beker
ja yang besar,'3) kepercayaan berbagai fihak dan
4)
pembiayaan,
waktu dan tenaga yang
sekecil
mungkin
tetapi hasil yang besar mendekati rasio 1.
Penyelenggaraan pendidikan di sekolah
dasar-seko-lah dasar di atas melibatkan banyak tenaga guru
dengan
perincian sebagaimana disajikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.1
JUMLAH GURU SEKOLAH DASAR DI KOTAMADYA DATI II YOGYAKARTA
TAHUN 1991/1992
GURU
SEKOLAH DASAR
JUMLAH
Negeri Swasta
1. Kepala Sekolah 2. Guru Agama 3. Guru Orkes 4. Lain-lain 251 346 135 1.650 82 19 0 599 333 365 135 2.249
JUMLAH 2.382 700 3.082
Sumber: Diolah dari Laporan Tahunan Kanwil Depdikbud
Prop. DIY Tahun 1991/92.
Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah guru yang ada di Kotamadya Dati II Yogyakarta adalah 3.082 orang.
Apabila dibandingkan dengan murid yang ada (48.263
anak); maka rasio guru murid adalah 1:15. Rasio ini
dapat dikatakan cukup untuk menyelenggarakan pendidikan
dengan baik.
Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa keberhasilan penyelenggaraan pendidikan tidak semata-mata didasarkan
pada kelengkapan fasilitas, keadaan guru maupun
murid-nya; tetapi juga bagaimana mengelola penyelenggaraan
pendidikan tersebut. Sementara itu kunci keberhasilan
pengelolaan sekolah dasar, terutama terletak pada
kesuksesan pelaksanaan koordinasi antar instansi penge
lola sekolah tersebut. Berdasarkan pemikiran itulah
maka penulis terdorong untuk mengkaji pelaksanaan
koordinasi dalam pengelolaan sekolah dasar di Kotamadya
Daerah Tingkat II Yogyakarta.
B. Pernasalahan
Penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar, seba gaimana dijelaskan di muka, melibatkan dua perangkat pemerintah, yaitu: Depdikbud dan Depdagri (Pemda). Dalam hal ini Depdikbud bertugas menangani aspek teknis edukatifnya, dan Depdagri menangani aspek administra tifnya. Dualisme pengelolaan semacam ini mungkin tidak menjadi soal bagi pengelola tingkat atas, tetapi bagi pengelola tingkat bawah merupakan persoalan tersendiri, sebab sebagaimana dikatakan oleh Haynes, Massie dan Gullick (dalam Sutarto, 1983: 168), bahwa "No man can
s e r v e two bosses" atau "A man cannot serve two mas
t e r s " .
Pada umumnya para pengelola tingkat bawah (sekolah
atau lembaga penyelenggara pendidikan),
seperti
kepala
sekolah
dan
guru, akan lebih mementingkan
tugas
dan
kewajiban
administratif yang dibebankan
oleh
Cabang/
Dinas P dan K. Hal ini disebabkan instansi inilah
yang
lebih menentukan nasib kepegawaiannya.
Akibatnya
tugas-tugas dari Kandepdikbud seringkali diabaikan; apalagi
di tiap kecamatan di Kodya Yogyakarta belum ada
Kandep-dikbudcam. Dengan demikian terjadilah "kekosongan
kerja".
Pemisahan penanganan antara urusan edukatif dan
urusan administratif juga cenderung menimbulkan friksi, yakni setiap instansi akan lebih mementingkan urusan masing-masing. Sebuah anekdot di kalangan pegawai Dinas
P dan K secara tepat menggambarkan keadaan tersebut, yakni "Tak usah pusing, kita punya uang banyak; persoa
lan mutu atau akademik adalah urusan Kanwil/Kandep".
Jadi pemisahan kedua urusan di atas melahirkan perasaan
saling lepas di antara instansi pengelola sekolah
d a s a r .
Pemisahan penanganan urusan edukatif dan adminis
tratif di atas sebenarnya juga tidak sesuai dengan pandangan pendidikan sebagai suatu sistem yang
menghen-daki kesatuan dan keterpaduan penanganan berbagai unsur
pendidikan. Seperti diketahui, guru, kurikulum, siswa,
fasilitas
dan biaya serta lingkungan merupakan
bagian
integral dari suatu sistem pendidikan. Oleh karena itu
pemisahan penga- turan unsur-unsur tersebut cenderung
melahirkan ketidak-paduan,
inefisiensi dan
inefektivi-tas
penyelenggaraan
pendidikan
di
tingkat
sekolah
tersebut.
Kontroversi
tentang
siapa
yang
sebaiknya
(paling
berwenang)
menangani sekolah
dasar
dan
isu
tentang pendekatan sentralisasi versus
desentralisasi,
menunjukkan adanya ketidak-paduan tersebut. Kontroversi
dan isu demikian juga terasa gejolaknya dalam
pengelo
laan
sekolah
dasar
di Kotamadya
Daerah
Tingkat
II
Yogyakarta.
Berdasarkan
peraturan yang ada, sebenarnya
kewe-nangan
masing-masing instansi sudah jelas, yakni
Dep
dikbud mena- ngani aspek teknis edukatif dan Pemerintah
Daerah menangani aspek administratif.
Selain itu secara
yuridis
formal,
asas dekonsentrasi dan
desentralisasi
diterapkan bersama-sama dalam sistem pemerintahan
kita
(lihat
Undang-Undang
Nomor: 5 Tahun 1974).
Dan
jika
ditinjau
dari
hakekat tujuannya,
kedua
pendekatan
(sentralisasi dan desentralisasi) itu sesungguhnya sama
yaitu untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar
(Tilaar
1991b: 2-3). Oleh karena itu yang menjadi pokok
perso
alan
sebenarnya
adalah bukan
siapa
yang
seharusnya
mengelola sekolah dasar, tetapi
bagaimana agar berbagai
instansi
yang
terkait dalam
penyelenggaraan
sekolah
dasar
tersebut dapat melaksanakan tugas
dan
wewenang
masing-masing
tetapi tetap dalam
kerangka
pencapaian
tujuan
penyelenggaraan sekolah itu.
Dengan kata
lain,
bagaimana mengkoordinasikan berbagai instansi tadi agar
penyelenggaraan
pendidikan
di
sekolah
dasar
dapat
berjalan
dengan
efektif dan
efisien;
tidak
terjadi
rebutan wewenang maupun saling lempar tanggungjawab.
Untuk
melaksanakan
koordinasi
semacam
di
atas
memang tidaklah mudah.
Hal ini terutama disebabkan ada
inkonsistensi isi peraturan tersebut. Seperti diketahui
berdasarkan P.P. Nomor: 65 Tahun 1951 pasal 7, wewenang
pengaturan pegawai pada sekolah dasar diserahkan kepada
daerah
(Mendagri/Pemda). Sementara peraturan
tersebut
masih
tetap berlaku atau belum
dicabut,
diberlakukan
pula P.P. Nomor: 28 Tahun 1990. Pada peraturan terakhir
ini,
pada pasal 9 ayat 1 disebutkan
bahwa
pengadaan,
pendayagunaan
dan
pengembangan
tenaga
kependidikan
diselenggarakan oleh Mendikbud. Dengan dasar legal yang
sama-sama berlaku tersebut maka timbulah saling berebut
wewenang dalam mengelola pegawai (guru) antara
jajaran
instansi
Depdikbud
dengan Depdagri.
Dengan
demikian
koordinasi dalam penyelenggaraan sekolah dasar tersebut
mendapat tantangan yang serius.
Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, penyeleng
garaan
koordinasi dalam penyelenggaraan sekolah
dasar
seperti di atas antara lain diupayakan dengan membentuk
Tim
Pembinaan Pelaksanaan Program Bantuan
Pembangunan
SD
dengan S.K. Gubernur No. 73/TIM/1991 dan
Tim
Koor
dinasi
dan Tim Teknis Peningkatan Hutu
Pendidikan
SD
berdasarkan
S.K. Gubernur No. 120/TIM/1991).
Pemben-tukan
ketiga tim tersebut dimaksudkan
untuk
mencapai
sinkronisasi dalam pengelolan sekolah dasar. Untuk
itu
salah
satu tugasnya adalah mengkoordinasikan
kegiatan
pengelolaan
sekolah dasar di daerah tingkat
dua
yang
ada.
Tim
koordinasi
tadi baru dibentuk
pada
tingkat
propinsi,
belum
diikuti
oleh
Pemerintah
Kotamadya
Daerah Tingkat II* Yogyakarta. Oleh karena itu efektivi
tas kerja dari tim koordinasi
ini di wilayah
Kotamadya
perlu dipertanyakan.
Sebab sebagaimana sinyalemen umum,
masih
banyak terjadi pemindahan guru
tanpa
memperhi-tungkan segi teknis edukatif dan tanpa konsultasi
dengan
instansi
vertikal;
atau
penilaian
terhadap
kepala sekolah dilaksanakan oleh Dinas yang
seharusnya
oleh Penilik pada Kandepdikbud Kecamatan (lihat Tilaar,
1991b: 9-10).
Sementara itu instansi pengelola sekolah dasar di
Kotamadya Yogyakarta tidak lengkap sebagaimana peratur
an yang ada. Cabang Dinas P & K DIY tidak mempunyai
perangkat di setiap kecamatan; yang ada adalah Koordi
nator Ranting Dinas P & K suatu wilayah yang membawahi beberapa kecamatan. Demikian pula Kandepdikbud, tidak mempunyai Kantor Depdikbud Kecamatan. Beberapa tugas pengelolaan sekolah dasar yang menjadi kewajiban Kan
depdikbud
Kecamatan dibebankan kepada
Penilik
TK/SD,
yang menumpang berkantor di Kantor Koordinator Ranting. Dengan kata lain struktur organisasi pengelola sekolah dasar di Kotamadya Yogyakarta, timpang. Dengan kondisi
seperti itu, bagaimanakah pelaksanaan kegiatan
asi dalam penyelenggaraan sekolah dasar tadi ?
Beberapa permasalahan di atas menunjukkan bahwa
berbagai
peraturan
dan
pengaturan
koordinasi
belum
berjalan sebagaimana mestinya dan juga belum mampu
mengatasi kerancauan yang terjadi dilapangan penyeleng
garaan
sekolah
dasar.
Isu dualisme
dan
sentralisasi
versus desentralisasi di atas sebenarnya juga
menegas-kan adanya koordinasi yang lemah tersebut. Keadaan ini
bagaimanapun membawa implikasi atau berpengaruh terha dap proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar,
dan dengan sendirinya akan mempengaruhi upaya peningka
tan mutu pendidikan di sekolah itu.
Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi
pertanyaan
pokok
dalam penelitian ini
adalah
hingga
manakah pelaksanaan kegiatan koordinasi antar instansi
pengelola sekolah dasar di Kotamadya Daerah Tingkat
II
Yogyakarta ?
Pengertian koordinasi dalam pertanyaan di atas,
yaitu
upaya-upaya yang dilakukan
untuk
menyelaraskan
dan atau menyatupadukan berbagai kegiatan atau program
kerja yang berkenaan dengan penyelenggaraan sekolah dasar. Upaya koordinasi ini akan dilihat dari obyek (substansi) yang dikoordinasikan dan cara-cara (bentuk
atau proses)
pengkoordinasiannya dan implikasi kegiat
an koordinasi tersebut pada tingkat sekolah. Selain itu juga akan ditelusuri penyebab mengapa obyek itu yang
dikoordinasikan dan mengapa cara itu yang dilakukan.
Adapun
yang
dimaksud dengan
instansi
pengelola
sekolah dasar yaitu badan atau lembaga pemerintah
yang
mengatur
penyelenggaraan pendidikan di
sekolah
dasar
yang
ada di wilayah Yogyakarta; atau dengan kata
lain
instansi
pengelola subsistem pendidikan
pada
tingkat
daerah.
Instansi tersebut terdiri dari: Dinas P & K dan
Kanwil Depdikbud pada tingkat propinsi, Cabang Dinas
P
& K dan Kandepdikbud pada tingkat kotamadya, dan
Koor
dinator
Ranting
Dinas
P & K dan
Penilk
TK/SD
yang
menjadi pengelola pada tingkat kecamatan.
Dengan
demikian
dari pertanyaan
pokok
di
muka
dapat
dirumuskan pertanyaan-pertanyaan khusus
seperti
berikut:1.
Hingga
manakah
Dinas
Pendidikan
dan
Kebudayaan
(Dinas P & K) dan Kantor Wilayah Departemen Pendidi
kan dan Kebudayaan (Kanwil Depdikbud) Daerah Istime
wa Yogyakarta melakukan koordinasi dalam
menetapkan
kebijakan-kebijakan
yang berkaitan dengan
pengelo
laan sekolah dasar ?
Pertanyaan
ini diperinci lagi menjadi:
a. Bidang pengelolaan apa saja yang penetapan
kebi-jakannya
dikoordinasikan
oleh Dinas P &
K
dan
Kanwil Depdikbud DIY ? Mengapa bidang pengelolaan
itu yang dikoordinasikan ?
b. Bagaimanakah
kedua instansi
tersebut
melakukan
koordinasi
dalam menetapkan
kebijakan-kebijakan
yang berkaitan dengan pengelolaan sekolah dasar ?
Mengapa cara itu yang dilakukan ?
2.
Hingga
manakah
Cabang Dinas P dan K
dan
Kantor
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(Kandepdikbud)
Kotamadya
Daerah Tingkat II
Yogyakarta
melakukan
koordinasi
dalam
melaksanakan
kebijakan-kebijakan
yang berkenaan dengan pengelolaan sekolah dasar yang
telah
ditetapkan oleh
Kanwil Depdikbud
dan
Dinas
P & K DIY ?
Pertanyaan itu diperinci lebih lanjut menjadi:
a. Pelaksanaan kebijakan apa saja yang dikoordinasi
kan
oleh
Kandepdikbud dan Cabang Dinas
P
&
K
Kotamadya
Yogyakarta
? Mengapa
hal
itu
yang
dikoordinasikan ?
b. Bagaimanakah proses pengkoordinasian yang dilaku
kan
oleh
Kandepdikbud dan Cabang Dinas
P
&
K
Kotamadya Yogyakarta ? Mengapa proses pengkoordi
nasian itu yang dilakukan ?
c. Faktor-faktor
apakah
yang
memperlancar
atau
menghambat pelaksanaan koordinasi tersebut ?
3.
Hingga
manakah Koordinator Ranting Dinas P & K
di
Kotamadya
Daerah Tingkat II Yogyakarta dan
Penilik
TK/SD melakukan koordinasi dalam kegiatan
mengelola
sekolah dasar ?
Pertanyaan ini diperinci lagi menjadi:
a. Kegiatan pengelolaan apa saja yang
dikoordinasi
kan
oleh
Koordinator Ranting Dinas P
&
K
dan
Penilik
TK/SD di Kotamadya Dati II Yogyakarta
?
Mengapa
kegiatan pengelolaan itu yang
dikoordi
nasikan ?
b. Bagaimanakah
Koordinator
Ranting
dan
Penilik
TK/SD tersebut melaksanakan kegiatan koordinasi ?
Mengapa cara koordinasi itu yang dilakukan
?
4. Bagaimanakah dampak kegiatan koordinasi dalam
prak-tek
pengelolaan sekolah dasar di
Kotamadya
Daerah
Tingkat II Yogyakarta ?
Perincian lebih lanjut dari pertanyaan ini adalah:
a. Apakah implikasi kegiatan koordinasi bagi
pelak
sanaan tugas kepala sekolah dasar ?
b. Apakah implikasi kegiatan koordinasi bagi
pelak
sanaan tugas guru-guru sekolah dasar ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk
mengiden-tifikasi, mendeskripsikan dan menganalisis
pelaksanaan
koordinasi dalam pengelolaan sekolah dasar di Kotamadya
Daerah
Tingkat II Yogyakarta sehingga dapat
ditemukan
permasalahan-permasalahan dan kemungkinan jalan
keluar-nya guna meningkatkan hasilguna dan dayaguna penyeleng
garaan pendidikan pada tingkat sekolah dasar di
daerah
tersebut.
2. Tujuan Khusus
Tujuan
khusus
penelitian
ini
adalah
untuk:
(1) mendeskripsikan dan menganalisis pelaksanaan
koor
dinasi antara Dinas P & K dan Kanwil Depdikbud Propinsi
Dati
I Yogyakarta dalam menetapkan
kebijakan
tentang
pengelolaan
sekolah
dasar,
(2)
mendeskripsikan
dan
menganalisis upaya-upaya koordinasi antara Cabang Dinas
P & K dengan Kadepdikbud Kotamadya
Dati II
Yogyakarta
dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan sekolah dasar,
(3) mendeskripsikan dan menganalisis kegiatan koordina
si antara Koordinator Ranting Dinas P & K dengan
Peni
lik
TK/SD
di Kotamadya Daerah Tingkat
II
Yogyakarta
dalam mengelola sekolah dasar, (4) mendeskripsikan
dan
menganalisis dampak pelaksanaan koordinasi yang
selama
ini
telah
dilakukan,
di
dalam
praktek
pengelolaan
sekolah dasar di Kotamadya Daerah Tingkat II
Yogyakar
ta, dan (5) mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempe
ngaruhi kelancaran pelaksanaan koordinasi dalam
penge
lolaan
sekolah
dasar di Kotamadya Daerah
Tingkat
II
Yogyakarta.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini berusaha mengkaji secara mendalam
kegiatan
koordinasi dalam rangka
pengelolaan
lembaga
pendidikan.
Oleh karena itu hasil penelitian ini secara
teoritis
dapat memperkaya khasanah studi
administrasi
pendidikan,
terutama dalam bidang pengelolaan
lembaga
pendidikan formal. Selain itu hasil penelitian ini juga
dapat
dijadikan
bahan kajian lebih Ianjut
bagi
para
sarjana administrasi pendidikan guna mempertajam
wawa-san keilmuannya.
2. Kegunaan Praktis
Kegunaan praktis penelitian ini antara lain:
(a)
dapat memperluas wawasan peneliti tentang
praktek
pengelolaan
lembaga pendidikan atau sekolah,
terutama
tentang pelaksanaan koordinasi dalam mengelola
sekolah
dasar,
(b)
dapat dijadikan
masukan
bagi
Pemerintah
Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pemerintah Kodya Dati II
Yogyakarta
untuk meningkatkan dayaguna
dan
hasilguna
penyelenggaraan sekolah dasar, dan (c) hasil penelitian
ini dapat dijadikan sebagai acuan (referensi) bagi para
pengelola sekolah dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Uraian di muka memberikan suatu gambaran bahwa ruang lingkup penelitian ini dapat dibuat dalam bentuk
bagan seperti di halaman berikut ini:
KANWIL DEPDIKBUD PROPINSI KANDEPDIKBUD KOTAMADYA PENILIK TK/SD
> < \ (
> m KOORDINASI DALAM PENGELOLAAN SEKOLAH DASAR ' KEBIJAKAN PENGELOLAAN SEKOLAH DASAR 1 >• PRAKTEK PENGELOLAAN DI SEKOLAH DASAR 3 >
,i ;>
J \ , \
DINAS P DAN K
DATI I
CABANG DINAS P DAN K DATI II
KOORDINATOR RANT.DIN. P&K
Gambar 1.1
RUANG LINGKUP PENELITIAN
KOORDINASI ANTAR INSTANSI PENGELOLA SEKOLAH DASAR DI KOTAMADYA DAERAH TINGKAT I I YOGYAKARTA
Penelitian i n i difokuskan pada kegiatan koordinasi
dalam pengelolaan sekolah dasar negeri di Kotamadya
Daerah Tingkat II Yogyakarta. Kegiatan koordinasi yang
dimaksudkan yaitu koordinasi yang dilakukan antar
instansi pengelola sekolah dasar di daerah, yang dapat
disebut juga sebagai bagian dari jajaran pengelola
subsistem pendidikan nasional.
Dalam konteks seperti di atas, instansi pengelola
sekolah dasar negeri di Kodya Dati II Yogyakarta
meliputi dua jajaran instansi pemerintah, yaitu
Cabang
Dinas
P* &
K dan Kantor
Depdikbud
Kodya
Yogyakarta
beserta instansi bawahannya, seperti: Koordinator
Ranting
Dinas
P & K (bawahan dari Cabang
Dinas)
dan
Penilik
TK/SD
(bawahan dari
Kandepdikbud
Kotamadya)
yang mempunyai wilayah kerja pada tingkat kecamatan.
Perlu
dijelaskan
bahwa di Yogyakarta,
Ranting
Dinas
maupun Kakandepdikbud Kecamatan tidak ada. Selain itu
Penilik TK/SD memang secara yuridis formal (lihat P.P.
No.
38
Tahun 1992) bukan merupakan
pengelola
tetapi
sebagai pengawas. Namun demikian karena khusus di
Yogyakarta, mereka disampiri juga sebagian tugas Kakan depdikbud Kecamatan; dan secara konseptual, pengawasan
itu merupakan salah satu fungsi pengelolaan maka dalam
penelitian ini Penilik TK/SD tersebut digolongkan
sebagai pengelola sekolah dasar.
Sementara itu, segala kebijakan tentang penye lenggaraan sekolah dasar tersebut ditetapkan pada
tingkat propinsi, yakni oleh Dinas P & K dan Kanwil
Depdikbud Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Untuk itu penelitian ini selain mencakup kegiatan
koordinasi di antara instansi pengelola sekolah dasar
negeri yang ada di Kotamadya Daerah Tingkat II Yogya
karta di atas; juga mencakup koordinasi antara Dinas P & K dan Kanwil Depdikbud DIY tadi.
Pada dasarnya semua kebijakan penyelenggaraan
sekolah
dasar
dan pelaksanaannya akan
bermuara
pada
tingkat
institusi
sekolah
tersebut.
Untuk
itulah,
penelitian ini juga berusaha lebih jauh untuk mendes kripsikan dan menganalisis dampak pelaksanaan koordina si dalam praktek pengelolaan lembaga sekolah dasar negeri itu.
-«UBW>
A. Metode Penelitian
Tujuan pokok dari penelitian ini adalah mendes
kripsikan
dan menganalisis pelaksanaan kegiatan
koor
dinasi
dalam
pengelolaan sekolah dasar
di
Kotamadya
Daerah Tingkat II Yogyakarta. Dengan kata lain
bertu-juan untuk memperoleh pemahaman (verstehen) dan penger
tian {understanding) tentang suatu peristiwa atau
perilaku manusia yang berperan serta dalam penyelengga
raan sekolah dasar. Untuk mencapai tujuan semacam itu maka penelitian ini paling cocok menggunakan pendekatan
kualitatif
(lihat Cook dan Reichardt,
1982:
10;
atau
Bogdan dan Biklen, 1982: 31).
Penelitian kualitatif sering disebut dengan metode
etnografik, metode fenomenologis atau metode
naturalis-tik. Pendekatan atau metode penelitian semacam ini
mempunyai karakteristik, antara lain: a) data diambil
langsung dari setting alami, b) penentuan sampel secara
purposive, c) peneliti sebagai instrumen pokok, d) le bih menekankan pada proses daripada produk sehingga
bersifat deskriptif analitik, e) analisis data secara
induktif atau interpretasi bersifat idiografik, dan
f) mengutamakan makna di balik data (Bogdan dan Biklen, 1982: 27-29; Lincoln dan Guba, 1985: 1985: 39-42;
Nasution, 1988: 9-12; Sudjana dan Ibrahim, 1989:
197-Udik Budi Hibono (Pengelolaan SD: Studi tentang Koordinasi)
200). Dengan demikian karakteristik-karakteristik itulah yang dijadikan acuan bagi seluruh proses peneli tian ini.
Dengan karakteristik pertama, peneliti sendiri
menggali data atau informasi secara langsung dari nara
sumber yang representatif tanpa memberikan suatu
"perlakuan" (treatment) seperti pada penelitian
ekspe-rimen. Maksud pendekatan semacam ini adalah agar dapat diperoleh suatu gambaran tentang fenomena sosial yang dinamakan kegiatan koordinasi, sebagaimana adanya. Hal
ini sesuai dengan anjuran Philips (1967: 17) yang
menyatakan bahwa "Approaches to be used in studying
social phenomena should be closely related and referred
to the real condition where the phenomena exist".
Karakteristik kedua mengisyaratkan bahwa
pengam-bilan sampel harus disesuaikan dengan tujuan peneli
tian. Dengan demikian jumlah sampel tergantung pada
pertimbangan kelengkapan informasi yang diperlukan.
Dalam hal ini Nasution (1988: 32-33) menjelaskan bahwa
untuk memperoleh informasi tertentu, sampling dapat
diteruskan sampai dicapai taraf "redudancy", ketuntasan
atau kejenuhan, artinya bahwa dengan menggunakan
res-ponden selanjutnya boleh dikatakan tidak lagi diperoleh
tambahan informasi baru yang berarti. Dengan kata lain
sampel dianggap memadai apabila sudah ditemukan pola
tertentu dari informasi yang dikumpulkan.
Sebagaimana dijelaskan di atas, pengambilan data
penelitian ini dilakukan langsung oleh peneliti, dengan
kata lain "the researcher is the key instrument through wich all data are collected an interpreted" (Williams, 1984: 4). Karakteristik ini menempatkan peneliti seba gai instrumen utama dalam penelitian kualitatif.
Ra-sional dari karakteristik ini adalah karena manusia
(peneliti) mempunyai adaptabilitas yang tinggi, senan-tiasa dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah-ubah, dan dapat senantiasa memperhalus perta-nyaan-pertanyaan untuk memperoleh data yang terinci dan
mendalam sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai (lihat Nasution, 1988: 54-55).
Karakteristik berikutnya berimplikasi bahwa data
yang dikumpulkan dalam penelitian ini lebih cenderung dalam bentuk kata-kata daripada angka-angka, dan hasil
analisisnya pun berupa uraian (Miles dan Huberman,
1984: 15). Jadi laporan penelitian kualitatif kaya
dengan deskripsi dan penjelasan tentang aspek-aspek
masalah yang menjadi fokus penelitian. Namun demikian
bukan berarti bahwa dalam penelitian kualitatif sama
sekali bebas dari laporan yang berbentuk angka-angka
tadi.
Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa sampel pene litian kualitatif tidak didasarkan atas pertimbangan
statistik, tetapi berdasarkan ketuntasan informasi yang
diperlukan. Oleh karena itu analisis dalam penelitian
ini bukan bertujuan untuk memperoleh generalisasi,
tetapi
data
dianalisis secara induktif
untuk
dicari
"keajegan" atau polanya;
untuk selanjutnya dicari makna
dari
pola tersebut.
Dengan demikian
hasil
penelitian
ini bersifat idiografik,
lebih mementingkan makna dalam
konteks ruang dan waktu.
B. Unit Analisis dan Sunber Data
Penelitian ini berfokus pada kegiatan koordinasi
yang dilakukan instansi pengelola sekolah dasar
negeri
di Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta. Dengan
demikian unit analisis penelitian ini bersifat
institu-sional,
dalam
arti yang menjadi fokus
kajian
adalah
organisasi
atau
lembaga-lembaga
yang
terkait
dalam
penyelenggaraan sekolah dasar; bukan atas nama individu
atau pejabat pelaksananya.
Dalam
penelitian kualitatif,
jumlah
sumber
data
atau narasumber tidak menjadi kriteria utama; tetapi
lebih
kepada sejauhmana sumber data
dapat
memberikan
informasi sebanyak mungkin sesuai dengan tujuan peneli tian. Untuk itu penentuan sumber data dalam penelitian ini sejalan dengan teknik purposif (purposive sam
pling),
yakni pejabat yang dipandang dapat
memberikan
informasi sebanyak mungkin tentang fokus penelitian ini. Dalam hal ini yang dijadikan narasumber adalah:
a. Kepala
Dinas P & K Propinsi Daerah Istimewa
Yogya
karta,
yang diwakili oleh Kepala Sub
Dinas
Tenaga
Teknis dan Non-Teknis.
b. Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang diwakili oleh Kepala Bidang Pendidikan Dasar.
c. Kepala Cabang Dinas P & K Kotamadya Dati II Yogya
karta, yang diwakili oleh Kepala Tatausaha.
d. Kepala Kantor Depdikbud Kotamadya Dati II Yogyakarta
beserta staf, antara lain: Kabag PRP dan Kasi Pen
didikan Dasar.
e. Koordinator Ranting Dinas P & K Wilayah Yogyakarta
Utara, Timur dan Selatan, Kotamadya Dati II Yogya
karta.
f. Penilik TK/SD sebagai dirinya sendiri dan selaku
pelaksana tugas Kepala Kantor Depdikbud Kecamatan.
g. Kepala Sekolah Dasar di Kodya Dati II Yogyakarta. h. Guru-Guru Sekolah Dasar di Kodya Dati II Yogyakarta.
Untuk sampel kepala sekolah dan guru,
masing-masing diambil lima nara sumber dari sekolah dasar negeri dan swasta. Jadi narasumbernya adalah lima kepala sekolah dasar dan lima guru sekolah dasar,
dengan perincian: dua dari sekolah dasar negeri yang
dipandang paling favorit dan dua dari sekolah dasar
yang tidak favorit. Adapun sisanya, yaitu satu kepala sekolah dan satu guru diambil dari sekolah dasar swas
ta. Penentuan jumlah satu ini hanya sekedar untuk
mengecek apakah ada pengaruh kegiatan koordinasi yang dilakukan instansi pemerintah terhadap sekolah swasta
tersebut.
C. Teknik Pengunpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: wawancara, observasi dan studi
dokumentasi. Ketiga teknik tersebut digunakan untuk memperoleh informasi yang saling menunjang atau meleng-kapi tentang penyelenggaraan koordinasi pengelolaan sekolah dasar. Adapun instrumen penelitiannya adalah diri peneliti sendiri.
Dalam wawancara, peneliti menggunakan pedoman wawancara (lihat lampiran) dengan pertanyaan-pertanyaan
yang bersifat terbuka. Pedoman ini dimaksudkan untuk
menjaga agar wawancara dapat berlangsung tetap pada konteks permasalahan penelitian.
Untuk melengkapi informasi dari wawancara tadi, dan sekaligus untuk melakukan recheck atau triangulasi, maka dilakukan pula observasi dan studi dokumentasi dengan melihat peristiwa-peristiwa dan catatan-catatan
atau laporan tentang pelaksanaan koordinasi yang dila
kukan oleh unit analisis penelitian.
Menurut Bogdan dan Biklen (1982: 73-74), "keber hasilan suatu penelitian naturalistik atau kualitatif sangat tergantung kepada ketelitian dan kelengkapan
catatan lapangan {field notes) yang disusun peneliti.
Untuk itu dalam penelitian ini, peneliti melengkapi diri dengan buku catatan, tape recorder dan kamera.
Peralatan-peralatan tersebut digunakan agar dapat
merekam informasi verbal maupun non-verbal selengkap
mungkin. Penggunaan peralatan tersebut dibicarakan terlebih dahulu dengan nara sumber agar tidak menggangu proses pengumpulan informasi.
D. Pelaksanaan Penelitian
Tahap-tahap dalam penelitian kualitatif tidak mempunyai batas-batas yang tegas, namun secara garis besar dapat dibedakan menjadi: (1) tahap orientasi,
(2) tahap eksplorasi, dan (3) tahap "member check"
(Lincoln dan Guba, 1985: 235-236; Nasution, 1988: 33). Untuk itu penelitian ini mengikuti prosedur seperti
itu .
1. Tahap Orientasi
Tahap ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas mengenai masalah yang hendak diteli-ti. Hal ini sekaligus untuk memantapkan disain dan menentukan fokus penelitian berikut narasumbernya. Tahap ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai Juni
1992.
Pada tahap ini peneliti melakukan kunjungan infor mal ke Kanwil Depdikbud, Dinas P & K , Biro Pembangunan Daerah Setwilda Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Cabang Dinas P & K Kotamadya Dati II Yogyakarta, guna
menjajagi lapangan dan mencari informasi awal untuk
menentukan permasalahan atau fokus penelitian. Selama
itu pula peneliti, dengan pengarahan dan bantuan dari
dosen pembimbing, menyusun dan memantapkan disain
penelitian untuk dijadikan arahan kerja pada tahap
berikutnya.
2. Tahap Eksplorasi
Tahap ini dapat disebut sebagai penelitian yang
sesungguhnya, yaitu mengumpulkan data sesuai dengan
fokus dan tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Tahap ini dilaksanakan setelah diberi rekomendasi atau
ijin penelitian dari instansi yang berwenang, yakni raulai dari tanggal 10 Juli 1992 sampai dengan 6 Oktober 1992. Jadi waktu ini melebihi batas waktu yang diijin-kan (29 September 1992). Hal ini sama sekali tidak
mengganggu karena peneliti dapat menjalin hubungan baik dengan nara sumber; dan pengunduran waktu itu guna menyesuaikan dengan waktu luang yang diberikan oleh
nara sumber.
Pengumpulan data atau informasi dilakukan melalui
wawancara dengan para nara sumber yang representatif sebagaimana telah ditentukan pada Sub-bab 2 di atas. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman sebagai mana terlampir (lihat halaman 120-126) agar pembicaraan
dapat berlangsung terarah, tetap pada konteks yang menjadi fokus penelitian. Selain itu untuk melengkapi data yang terkumpul sekaligus untuk mengecek atau triangulasi, peneliti melakukan observasi dan studi
dokumentasi; dan untuk dapat merekam data atau informa si selengkap mungkin digunakan buku catatan, alat
perekam dan kamera foto.
Dalam
tahap
ini juga dilakukan
analisis
dengan
cara mereduksi data atau informasi, yakni dengan
menye-leksi
catatan lapangan yang ada dan merangkum
hal-hal
yang penting secara lebih sistematis agar dapat
ditemu-kan tema atau polanya. Dengan cara ini dapat
mempermu-dah
peneliti untuk mempertajam gambaran tentang
fokus
penelitian.
3. Tahap Member Check
Tahap ini dimaksudkan untuk mengecek kebenaran
dari
informasi-informasi yang telah dikumpulkan,
agar
hasil
penelitian
dapat
lebih
dipercaya.
Pengecekan
informasi ini dilakukan setiap kali peneliti selesai
wawancara, yakni dengan mengkonfirmasikan kembali
catatan-catatan hasil wawancara. Selain itu, setelah catatan lapangan tersebut diketik dengan komputer,
beberapa hari kemudian hasilnya dimintakan koreksi dari
nara sumber yang bersangkutan. Dan untuk lebih meman-tapkan lagi dilakukan pula observasi dan studi dokumen
tasi serta triangulasi kepada responden maupun nara sumber lain yang berkompeten. Dengan demikian waktu pelaksanaan member check ini dilakukan seiring dengan
tahap eksplorasi.
E. Prosedur Analisis Data
Untuk memahami dan memberikan makna kepada data
yang dikumpulkan maka dilakukan analisis dan
tasi. Dalam penelitian kualitatif ini, analisis dilaku
kan secara terus menerus, atau bersifat interaktif
(Miles & Huberman, 1984: 22) semenjak data awal dikum
pulkan sampai penelitian berakhir. Selanjutnya
inter-pretasi atau penafsiran dilakukan dengan mengacu kepada
rujukan
teoritis "yang berhubungan dengan
permasalahan
penelitian ini.
Kegiatan analisis data dilakukan dengan mengikuti prosedur sebagaimana disarankan oleh Nasution (1988:
129-130) dan Miles & Huberman (1984: 21) sebagai beri
kut: (1) reduksi data, (2) "display" data, dan (3) me
ngambil kesimpulan dan verifikasi.
Reduksi data dilakukan dengan meringkas kembali catatan-catatan lapangan dengan memilih hal-hal yang pokok atau penting, yang berkaitan erat dengan permasa
lahan koordinasi yang menjadi fokus penelitian. Selan
jutnya hal-hal pokok tadi dirangkum dalam susunan yang
lebih sistematis sehingg