• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHASA SEBAGAI SARANA BERPIKIR DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERDASARKAN KURIKUKUM 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAHASA SEBAGAI SARANA BERPIKIR DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERDASARKAN KURIKUKUM 2013"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

327

BERDASARKAN KURIKUKUM 2013

Zulfahmi HB

Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Imam Bonjol Padang

Abstract:The purpose of teaching Indonesian language to enable the student to have good skill in Indonesian, a student must cover fourth language skills listening, speaking, reading and writing. Language as the symbol of sound, means that another form is not included in the scope of language primarily. The process of thinking in as the personal effort aimed at solving the problem to find the relationship or the detail connections. An effective curriculum can fulfill the need of community. If the people require the ethical graduator and honorable, the design of the curriculum must be design by considering the needs required by community.

Key words:language, utility think, curriculum

Abstrak: Tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia yakni membentuk siswa terampil berbahasa Indonesia. Agar dapat dikatakan terampil dalam berbahasa Indonesia, seorang siswa harus memiliki empat keterampilan berba-hasa yakni keterampilan menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Baberba-hasa sebagai lambang bunyi artinya bentuk-bentuk bahasa selain yang berwujud bunyi bukan termasuk bahasa dalam arti yang primer.Berpikir ada-lah suatu aktivitas pribadi yang bertujuan untuk memecahkan suatu masaada-lah hingga menentukan hubungan-hubungan dan menentukan sangkut pautnya. Kurikulum dikatakan efektif manakala kurikulum tersebut mampu menyiapkan lulusan sesuai kepentingan masyarakat. Kalau pada saat ini masyarakat sangat berharap agar lulusan suatu jenjang pendidikan semakin beradab dan bermartabat maka sudah semestinya desain kurikulumnya perlu ditata dan dikembangkan untuk memenuhi kehendak masyarakat.

Kata kunci: bahasa, sarana berpikir, kurikulum

A. Pendahuluan

Banyak orang dapat berbahasa Indonesia, tetapi tidak banyak yang mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Dapat berbahasa Indo-nesia artinya bukan sekedar dapat berbicara da-lam bahasa Indonesia pada situasi-situasi yang nonformal. Mampu berkomunikasi dalam baha-sa Indonesia berarti terampil menggunakan ba-hasa Indonesia baik pada situasi yang formal maupun yang nonformal. Keterampilan meng-gunakan bahasa Indonesia ini merupakan sebu-ah keterampilan yang sangat diperlukan oleh se-orang calon guru, sebab calon guru akan senan-tiasa berhubungan dengan masalah penjelasan sebuah materi.

Terdapat gejala yang tampak di kalangan para mahasiswa ketika berdiskusi, seminar, pre-sentasi atau orasi ilmiah. Dalam situasi itu tam-pak adanya pembicaraan yang menarik dan mu-dah dipahami walaupun juga banyak pembi-caraan yang kurang menarik dan sulit untuk

di-pahami. Berbicara pada situasi formal tidak se-mudah berbicara pada situasi nonformal. Sese-orang yang lancar ketika berbicara pada situasi nonformal belum tentu dapat lancar pula ketika harus berbicara pada situasi formal. Oleh karena itu, biasanya orang-orang tertentu telah mem-persiapkan diri sebaik mungkin ketika dirinya mendapat kesempatan atau tugas untuk tampil berbicara di depan publik. Persiapan yang dila-kukan itu diantaranya membuat catatan kecil, baik sekedar untuk mengingat maupun sekedar untuk panduan.

Untuk melaksanakan pembelajaran Bahasa Indonesia pada Kurikulum 2013, kemampuan menjelaskan sangat diutamakan. Hal ini sangat sesuai dengan tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia yakni membentuk siswa terampil ber-bahasa Indonesia. Agar dapat dikatakan teram-pil dalam berbahasa Indonesia, seorang siswa harus memiliki empat keterampilan berbahasa yakni keterampilan menyimak, berbicara,

(2)

mem-baca dan menulis. Namun demikian, karena ba-hasa dalam bentuk primer adalah berbicara, ma-ka keterampilan utama dari dari keempat kete-rampilan itu adalah ketekete-rampilan berbicara. O-leh karena itu, dikatakan terampil berbahasa pa-da hakikatnya seseorang harus terampil berbica-ra. Jika tujuan pembelajaran bahasa Indonesia pada umumnya adalah membentuk siswa teram-pil berbahasa Indonesia, maka hal ini sama hal-nya dengan membentuk siswa terampil berbi-cara Indonesia.

Seseorang dikatakan terampil berbicara, a-pabila orang tersebut mampu mengungkapkan gagasan dengan baik (menarik, jelas, cermat, lancar) dan benar (bahasa yang digunakan se-suai kaidah) secara spontan. Spontan ini lebih diutamakan sebab lebih natural dan lebih men-cerminkan kemampuannya dalam berbicara. Abdulhayi dkk (1979:20) mengatakan bahwa keruntutan kaitan kalimat dalam pembicaran pa-ra siswa atau mahasiswa sering kupa-rang jelas. Akibatnya, ada kalimat yang kurang fungsinya atau mengandung kerancuan. Hal itu menanda-kan bahwa para siswa atau mahasiswa tersebut belum terampil dalam berbicara.

Kurang terampilnya para mahasiswa dalam berbicara tersebut tampak sekali ketika dosen mengajukan pertanyaan secara klasikal. Pada u-mumnya, mahasiswa cenderung diam. Apabila ditunjuk secara spontan, maka tetap cenderung diam. Baru mau menjawab pertanyaan apabila sudah diam beberapa saat dan dengan dipaksa untuk menjawab.

Kenyataan-kenyataan di atas, menunjukan bahwa mahasiswa kurang terampil dalam berba-hasa Indonesia, khususnya dalam hal keteram-pilan berbicara. Ada sebagian mahasiswa yang terampil dalam berbicara, tetapi juga banyak yang tidak terampil berbicara. Kenyataan-ke-nyataan yang demikian itu tidak dapat dibiarkan begitu saja sebab sebagai calon guru, terlebih menghadapi Kurikulum 2013 keterampilan ber-bicara (menjelaskan) sangat diperlukan.

Selain kemampuan menjelaskan, kemam-puan berpikir juga sangat dibutuhkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia Kurikulum 2013. Materi bahasa Indonesia pada Kurikulum 2013 sudah berorientasi pada ranah kognitif ta-taran analisis dan sintesis serta ranah psiko-motor. Tataran ranah ini, sangat membutuhkan

kemampuan dan keterampilan guru dalam hal membuat analogi-analogi, menganalisis dan me-nyintesis pembicaraan siswa dalam menjelaskan berbagai topik yang mungkin topik itu berada di luar bahasa Indonesia. Selain itu, seorang guru harus mampu memberikan saran perbaikan apa-bila siswanya mengalami kerancuan dalam ber-pikir pada waktu menjelaskan sebuah topik. Sementara itu, bahasa merupakan sarana untuk berpikir. Peranan bahasa dalam hal ini menjadi sangat istimewa yakni sebagai sarana untuk menjelaskan materi dan sebagai sarana untuk melogikakan materi. Oleh karena itu, tulisan ini bermaksud membahas bagaimana peranan ba-hasa dalam berpikir dan dalam pembelajaran bahasa Indonesia berdasarkan Kurikulum 2013.

B.Pembahasan 1. Pengertian Bahasa

Bahasa adalah suatu lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang bersifat arbitrer dan konvensional. Bahasa sebagai lam-bang bunyi artinya bentuk-bentuk bahasa selain yang berwujud bunyi bukan termasuk bahasa dalam arti yang primer. Tulisan, gambar, isyarat gestur, atau semaphore misalnya, bukan terma-suk bahasa sebab tidak berwujud lambang bu-nyi. Lambang bunyi yang dimaksud dalam hal itu harus yang dihasilkan oleh alat ucap manu-sia. Bunyi kentongan, peluit, atau tepuk tangan sekalipun memiliki makna bukan terkategori ba-hasa sebab tidak dihasilkan oleh alat ucap ma-nusia.

Bahasa itu bersifat arbitrer dan kon-vensional artinya penamaan konsep atau benda tertentu bersifat bebas. Konsep binatang berkaki empat yang biasa digunakan orang untuk mena-rik kereta, oleh orang Minangkabau dinamai

kudo; oleh orang jawa jaran; dalam bahasa In-donesia kuda; dan orang Inggris dinamai horse. Penamaan konsep atau benda tersebut bersifat bebas namun kebebasan yang dimaksud harus

konvensional artinya mendapat kesepakatan pa-ra pemakai bahasa yang bersangkutan.

2. Fungsi Bahasa

a. Fungsi Umum Bahasa

Fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi sosial. Sebagai alat komunikasi

(3)

so-sial, bahasa menghubungkan antar anggota mas-yarakat. Untuk keperluan itu dipergunakan sua-tu wahana yang dinamakan bahasa. Dengan de-mikian setiap masyarakat dipastikan memiliki dan menggunakan alat komunikasi sosial terse-but. Tidak ada masyarakat tanpa bahasa, dan ti-dak ada pula bahasa tanpa masyarakat. Dua hal itu bagai dua sisi mata uang. Bahasa tanpa mas-yarakat tidak dapat berkembang, sedangkan masyarakat tanpa bahasa tidak akan saling ber-hubungan.

Persoalan lain yang muncul yakni mana yang menentukan ―bahasa menentukan corak suatu masyarakat, ataukan masyarakat menen-tukan corak suatu bahasa‖. Pada umumnya o-rang lebih cenderung memilih gagasan yang kedua. Akan tetapi, lain halnya Whorf dan Sapir, dua ahli ini mengemukakan suatu hipo-tesis yang terkenal dengan nama Hipotesis Whorf-Sapir. Menurut hipotesis ini bahasalah yang menentukan corak suatu masyarakat. Hi-potesis ini memang agak mengejutkan dan me-lawan arus. Walaupun begitu kebenaran hipo-tesis itu masih harus diuji.

b. Fungsi Khusus Bahasa

Fungsi khusus bahasa menurut Jacobson dibedakan menjadi enam macam, yakni fungsi emotif, kognitif, referensial, puetik, fatik, dan metalingual. Hal ini didasarkan atas tumpuan perhatian atau aspek. Menurut ahli ini, bahasa memiliki enam aspek, yakni aspek addresser, context, message, contact, code, dan addresce.

Apabila tumpuannya pada si penutur

(addresser), maka fungsi bahasanya emotif. A-pabila tumpuan pembicara pada konteks ( con-text), maka fungsi bahasanya referensial. Apa-bila tumpuan pembicaraan pada amanat ( mes-sage), maka fungsi bahasanya puitik (poetic). Apabila tumpuan pembicaraan pada kontak (contact), maka fungsi bahasanya fatik (phatic). Apabila tumpuan pembicaraan pada kode ( co-de), maka fungsi bahasanya metalingual. Apa-bila tumpuan pembicaraan pada lawan bicara (addresce), maka fungsi bahasanya konatif.

Fungsi emotif misalnya apabila kita meng-ungkapkan rasa gembira, kesal, sedih, dan seba-gainya. Jika kita membicarakan suatu perma-salahan dengan topik tertentu maka hal tersebut tercakup di dalam fungsi referensial. Jika kita

menyampaikan suatu amanat atau pesan tertentu fungsi bahasa yang terlibat adalah fungsi puitik. Istilah puitik ini barangkali agak membingung-kan karena di dalam bidang sastra sudah diper-gunakan untuk konsep tertentu yang sangat ber-beda dengan istilah puitik yang dipergunakan di dalam fungsi bahasa versi Jakobson ini. Selan-jutnya apabila kita di dalam berbicara sekedar ingin mengadakan kontak dengan orang lain, maka fungsi bahasa yang terlibat adalah fungsi

fatik. Orang Minang apabila berpapasan dengan orang yang sudah dikenal selalu menggunakan fungsi fatik ini, dengan ucapan: assala-mualaikum atau dengan kalimat tanya: ka pai kama? Yang semuanya itu tiada maksud lain ke-cuali sebagai alat kontak semata. Apabila kita berbicara masalah bahasa dengan menggunakan bahasa tertentu, maka fungsi bahasa di situ ada-lah metalingual. Selanjutnya apabila kita berbi-cara dengan berbahasa dengan tumpuan pada la-wan tutur misalnya agar orang yang kita ajak berbicara tidak tersinggung agar lawan bicara kita senang, maka fungsi bahasa tersebut adalah

kognitif.

3. Pengertian Berpikir

Berpikir adalah suatu aktivitas pribadi yang bertujuan untuk memecahkan suatu masalah hingga menentukan hubungan-hubungan dan menentukan sangkut pautnya (Dakir, 2006:76). Dari konsep ini diketahui bahwa seseorang yang berpikir itu pada dasarnya didahului oleh ada-nya suatu masalah, keaktifan pribadi diarahkan untuk menemukan jawaban dari suatu masalah dalam berpikir. Hal demikian ini berbeda apabi-la dibandingkan dengan mengingat. Keaktifan pribadi diarahkan untuk menemukan kembali sesuatu yang telah terlupakan pada mengingat. Namun demikian, kedua kegiatan tersebut – mengingat dan berpikir—pada dasarnya sama-sama merupakan suatu aktivitas pribadi untuk menemukan. Yang satu menemukan sesuatu yang belum pernah diketahui, sementara yang lain untuk menemukan sesuatu yang sudah per-nah diketahui.

Berpikir untuk memecahkan suatu masalah, seseorang akan menemukan unsur-unsur yang berbeda dan yang sama. Unsur yang berbeda a-kan cenderung disisiha-kan sementara unsur-unsur yang sama akan dicari sangkut-pautnya

(4)

untuk dianalisis lebih lanjut. Seseorang yang memiliki kemampuan berpikir yang baik (cer-das) biasanya mampu menemukan sangkut paut unsur-unsur yang sama secara cepat dan tepat yang pada kesempatan berikutnya akan mampu menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat pula. Cepat dan tepat sengaja ditekankan dalam hal ini sebab seseorang yang mampu menyele-saikan masalah dengan cepat saja tetapi tidak te-pat bukan termasuk orang yang cerdas dalam berpikir. Sebaliknya, seseorang yang mampu menyelesaikan masalah dengan tepat namun memerlukan waktu yang lama juga tidak dapat dikatakan sebagai seseorang yang cerdas ber-pikir bahkan dapat dikategorikan sebagai orang yang lamban.

4. Perilaku Kemampuan Berpikir

Kemampuan berpikir seseorang tercermin pada perilakunya. Individu yang satu dengan yang lain itu pada dasarnya memiliki perbedaan kemampuan berpikir. Perilaku individu satu de-ngan yang lain bergantung pada kemampuan berpikirnya. Ada individu yang berkemampuan berpikir tinggi, normal, dan rendah. Oleh karena itu, perilaku masing-masing dengan sendirinya berbeda. individu yang memiliki kemampuan berpikir tinggi lazimnya memperlihatkan ciri-ciri (1) memiliki kesanggupan untuk memeli-hara perhatiaannya, (2) mempunyai perbendaha-raan kata yang luas dan teliti serta tepat dalam menggunakannya, (3) tajam pengamatan dan ce-pat dalam memberi sambutan-sambutan, (4) ba-nyak mengajukan pertanyaan, dan (5) mempu-nyai pikiran rasional.

Individu yang memiliki kemampuan berpi-kir rendah atau anak yang mengalami mental retardasi lazimnya memperlihatkan ciri-ciri (1) sangat mudah dipengaruhi, (2) memilih anak-a-nak yang lebih muda sebagai kawan bermain, (3) kekurangan kesanggupan untuk mengkon-sentrasikan diri pada sesuatu kecuali pada hal-hal yang mudah, dan (4) mempunyai kakak-kakak atau adik-adik yang bermental retardasi (Crow & Crow, 2004:212). Individu yang miliki kemampuan berpikir sedang tidak me-miliki ciri-ciri khusus. Lazimnya mempunyai kehidupan sama dengan manusia pada umum-nya.

5. Peranan Bahasa dalam Berpikir

Berpikir adalah suatu aktivitas pribadi un-tuk menghubungkan pengertian satu dengan yang lain guna mendapatkan pemecahan ter-hadap persoalan yang diter-hadapinya (Walgito, 2003:121). Penghubungan pengertian-penger-tian tersebut pada hakikatnya merupakan peng-gunaan bahasa. Oleh karena itu, seseorang yang sedang berpikir pada hakikatnya juga menggu-nakan bahasa. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Dakir (2006:86) yakni bahwa alat berpikir yang utama itu adalah bahasa. Laibniz juga menerangkan bahwa bahasa merupakan cermin yang terbaik bagi pikiran manusia dan bahwa analisis yang tepat terhadap arti kata-kata dapat memberitahu kita lebih banyak tentang cara kerja pemahaman (Cumnings, 2005:155). Hal ini berarti dapat dikatakan bahwa ada keter-kaitan yang saling mempengaruhi antara berpi-kir dan bahasa seseorang.

Sulit tampaknya untuk membicarakan ma-salah berpikir tanpa membicarakan mama-salah ba-hasa. Bahasa dan berpikir itu bagaikan dua sisi mata uang. Apalagi salah satu sisi mata uang itu tidak ada maka mata uang tersebut menjadi ti-dak laku. Demikian halnya dengan bahasa dan berpikir, apabila salah satu diantara kedua hal tersebut diabaikan maka hakikat dari berpikir atau berbahasa itu menjadi tidak bermakna.

Bahasa adalah alat berpikir yang paling efi-sien dan efektif. Seseorang tidak mungkin dapat berpikir apabila orang yang bersangkutan itu ti-dak memiliki bahasa. Dengan kata lain, pikiran (otak) tidak mungkin dapat bekerja apabila tidak menggunakan bahasa. Muller mengatakan bah-wa seseorang yang mempunyai penyakit bahasa berarti juga mempunyai penyakit pikiran (Cassirer, 2007:67). Niuwenhuis mengatakan bahwa bahasa itu kadang-kadang berupa bunyi, kadang-kadang berupa tanda, tetapi selalu beru-pa pikiran (Affandi, 1988:18). Dengan bahasa, kita bukan hanya bercakap-cakap, melainkan ju-ga sekaligus berpikir bersama-sama (Affandi, 1988:218). Berbicara mengenai hubungan baha-sa dengan pikiran. Steinberg menyatakan bahwa hubungan bahasa dengan pikiran dapat dilihat dari (1) produksi ujaran yang merupakan dasar pikiran, (2) bahasa yang merupakan basis dasar pikiran, (3) sistem bahasa yang menunjukkan spesifikasi pandangan, dan (4) sistem bahasa

(5)

yang menunjukkan spesifikasi budaya (Pateda, 2000:33).

6. Desain Kurikulum

a. Desain Kurikulum yang Bermartabat dan Berabad

Kurikulum dikatakan efektif manakala kuri-kulum tersebut mampu menyiapkan lulusan se-suai kepentingan masyarakat. Kalau pada saat ini masyarakat sangat berharap agar lulusan su-atu jenjang pendidikan semakin beradab dan bermartabat maka sudah semestinya desain kuri-kulumnya perlu ditata dan dikembangkan untuk memenuhi kehendak masyarakat tersebut. Hal ini penting diupayakan mengingat kurikulum merupakan jantungnya aktivitas pendidikan.

Apa yang dilakukan bangsa Indonesia sejak merdeka, sesungguhnya, telah mengembangkan dan menerapkan desain kurikulum yang diarah-kan pada penyiapan lulusan yang beradab dan bermartabat. Lantaran ketidakjelasan rumusan tentang masyarakat beradab dan bermartabat maka apa-apa yang terkandung di dalam kurikulum yang berlaku menjadi mandul dan tidak mampu mencapai sasaran. Apalagi ada ke-bijakan-kebijakan pendidikan yang kadangkala bertentangan dan bahkan mematikan imple-mentasi kurikulum, misalnya; kebijakan peme-rataan pendidikan yang memaksakan mutu pen-didikan.

Desain kurikulum mana lagi yang diasum-sikan relevan dan mampu menyiapkan lulusan menjadi anggota warga negara yang beradab dan bermartabat? Salah satu desain yang di-asumsikan relevan adalah desain kurikulum berbasis budaya (cultural based curriculum). Mengapa demikian? Kurikulum berbasis budaya mampu menyiapkan lulusan menjadi warga masyarakat yang beradab dan bermartabat. Alaska Native Knowledge Network (1998) mengatakan bahwa :

By shifting the focus in the curriculum from teaching/learning about cultural heritage as another subject to teaching/learning through the local culture for all education, it is intended that all forms of knowledge, ways of knowing and world views be recognized as equally valid, adaptable dan complementary to one another in mutually beneficial ways.

Dengan demikian, kurikulum berbasis bu-daya memungkinkan peserta didik mampu mengadaptasikan berbagai pengetahuan, kete-rampilan, dan sikap dalam konteks budaya mas-yarakat setempat. Peserta didik disiapkan untuk mampu berpikir secara global dan bertindak se-cara lokal (think globally, act locally).

b. Masyarakat beradab dan bermartabat Beradab dan bermartabat merupakan dua kata kunci yang perlu terlebih dahulu dibahas dan dicari kesepakatan makna. Hal ini perlu di-lakukan karena perbedaan makna dari kedua ka-ta tersebut berpengaruh terhadap pengembangan masyarakat beradab dan bermartabat, seba-gaimana yang dicita-citakan dalam UU No. 20 tahun 2004.

Kata beradab dan bermartabat seringkali di-gunakan secara terpisah-pisah, namun ada kalanya disatupadukan. Beradab dan bermar-tabat yang memiliki kata dasar "adab" dan "martabat" merupakan dua kata yang saling ber-kaitan. Orang beradab biasanya menjunjung tinggi martabat kemanusiaan sesamanya.

Di dalam kamus besar bahasa Indonesia (2001) dinyatakan bahwa "adab" menunjuk pa-da kehalusan pa-dan kebaikan budi pekerti, keso-panan, atau akhlak. Beradab berarti mempunyai adab, mempunyai budi bahasa yang baik, berku sopan, atau telah maju tingkat kehidupan la-hir batinnya. Sedangkan "martabat" menunjuk pada tingkat harkat kemanusiaan, harga diri. Bermartabat berarti mempunyai martabat.

Berdasarkan kedua makna kata di atas ma-ka masyarama-kat beradab dan bermartabat adalah suatu bentuk kehidupan masyarakat maju yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Dengan demikian, ciri-ciri masyarakat beradab dan ber-martabat, antara lain; adanya penghargaan mar-tabat manusia, berbudi bahasa yang baik, ber-laku sopan, dan menekankan harga diri.

c. Pendidikan berbasis budaya

Penggunaan pendekatan budaya untuk me-mecahkan masalah kemanusiaan telah dilakukan sejak zaman Aristoletes (Djohar, 1999). Dalam konteks pemecahan masalah mutu pendidikan, pendekatan budaya dipandang relevan untuk di-gunakan karena pendekatan struktural disinyalir mengalami banyak kegagalan. Dengan

(6)

pende-katan budaya diharapkan peningpende-katan mutu pen-didikan menjadi sebuah budaya yang berkem-bang di kalangan warga sekolah.

Pendidikan, sesungguhnya, merupakan juga proses budaya. Djohar (1999) mengatakan pen-didikan sebagai proses budaya bertujuan me-nyiapkan masyarakat mampu memasuki kehi-dupan pada zamannya. Peserta didik disosia-lisasikan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam tatanan kehidupan pada zamannya itu. O-leh karena itu, pendidikan berlaku bagi semua orang dan terjadi sepanjang masa.

Apa implikasi atas pernyataan tersebut, ter-utama dalam konteks pengembangan kurilumnya? Mengacu pada pandangan bahwa ku-rikulum merupakan jantungnya kegiatan pendikan maka semestinya kurikulumnya perlu di-kembangkan atas dasar-dasar nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakatnya. Visua-lisasinya dapat disajikan sebagai berikut.

(Sumber: Nana Syaodih Sukmadinata, 2011) d. Kurikulum berbasis budaya

Desain kurikulum berbasis budaya me-rupakan sebuah desain kurikulum yang bero-rientasi pada penyiapan lulusan berbudaya. Berbudaya berarti setiap individu mampu me-nampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang berkembang di masya-rakat. Nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku dan diakui masyarakat dijadikan acuan untuk me-nentukan materi, proses, dan sistem evaluasnya. Alaska Native Knowledge Network (2004) menyatakan;

….. scope and sequence of the curriculum will be extended to include the interaction between content, process and context, and thus go beyond the usual culture-bound

determinations that are associated with an emphasis on content alone.

Ciri-ciri kurikulum berbasis budaya: per-tama, berorientasi pada pembentukan manusia berbudaya dan bermartabat; kedua, materi pem-belajarannya dikembangkan dari berbagai sum-ber; ketiga, menekankan pada pembudayaan se-genap potensi peserta didik; keempat, sistem pe-nilaiannya menekankan dimensi proses dan ha-sil.

Kurikulum berbasis budaya dapat juga di-pahami sebagai suatu bentuk inovasi kurikulum yang ingin mengedepankan pengembangan se-genap potensi peserta didik secara beradab dan bermartabat. Kurikulum perlu dikaitkan dengan tatanan nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku di masyarakat. Banyaknya materi pelajaran bukan lagi merupakan prioritas utama pengembangan-nya, namun, yang lebih penting adalah "bagai-mana mengembangkan dimensi-dimensi kuriku-lum yang mampu membuka pengekangan-pengekangan yang menghalangi perkembangan potensi peserta didik" (Tilaar, 1999).

Berdasarkan uraian di atas, sesungguhnya, kurikulum berbasis budaya dipandang relevan diterapkan dalam sisdiknas kita. Ditinjau dari si-si filosofi, kurikulum berbasi-sis budaya sesuai de-ngan hakikat proses pendidikan yang pema-nusiaan peserta didik. Proses pendidikan me-rupakan proses pembudayaan peserta didik. Dari sisi sosiologi, kurikulum berbasis budaya, sesungguhnya, merupakan suatu desain kuriku-lum yang menyiapkan warga masyarakat yang menghargai nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakat. Lulusan suatu jenjang pendi-dikan diharapkan tidak terasing dengan ling-kungannya. Sedangkan ditinjau dari sisi psiko-logis, kurikulum berbasis budaya mengutama-kan pengembangan potensi peserta didik yang manusiawi.

Bagaimana implementasinya dengan desain kurikulum yang sedang berjalan? Apabila kita sepakat bahwa desain kurikulum berbasis buda-ya sebagai alternatifnbuda-ya, hal ini bukan berarti bahwa desain kurikulum yang ada dianggap ti-dak berlaku sama sekali. Di sini, diperlukan adanya berbagai modifikasi atas berbagai kom-ponen kurikulum, terutama yang berkaitan de-ngan implementasi kurikulum. Pola pengem-bangannya bersifat integrated.

(7)

Dua pola penerapan desain kurikulum ber-basis budaya. Pertama, mengembangkan desain kurikulum (GBPP, Silabus, atau satuan pela-jaran) dengan berwawasan budaya. Artinya, aspek-aspek kurikulum yang terkait dalam de-sain kurikulum dikembangkan dengan mengacu pada wawasan budaya bangsa, misalnya; pe-ngembangan materi pembelajaran dikaitkan de-ngan nilai-nilai luhur yang berlaku di masya-rakat. Konsekuensinya, dalam implementasinya tentu menggunakan model-model pembelajaran berbasis budaya. Kedua, menggunakan desain kurikulum berbasis budaya dalam implementasi kurikulum yang sedang berjalan. Di sini, yang perlu ditekankan adalah penggunaan model-model pembelajaran berbasis budaya dalam ke-giatan pembelajaran sehari-hari. Model-model pembelajaran berbasis budaya yang bisa diguna-kan adalah model pembelajaran pemecahan ma-salah, model pembelajaran inkuiri, model pem-belajaran kontektual, dan lain-lain.

e. Peranan Bahasa dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013

Pembelajaran Bahasa Indonesia yang ber-basis kurikulum 2013 banyak menggunakan teks dan atau wacana. Teks digunakan dalam kaitannya dengan keterampilan menulis dan membaca. Wacana digunakan dalam kaitannya dengan keterampilan menyimak dan berbicara. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, siswa sudah dikenalkan lagi dengan berbagai teori ke-bahasaan seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Siswa langsung dikenalkan de-ngan berbagai bentuk wacana komunikasi dalam masyarakat misalnya, menyapa, bertanya, mene-rangkan, negoisasi, diskusi, menguraikan (ana-lisis), dan atau menyimpulkan (sintesis).

Fungsi bahasa yang digunakan dalam pem-belajaran bahasa Indonesia tidak lagi menggu-nakan fungsi metalingual melainkan sudah fungsi referensial, kognitif, emotif, puitik, dan atau fungsi fatik. Dalam kaitannya dengan fung-si referensial anak diajari bagaimana membica-rakan sebuah topik dengan bahasa yang benar dan baik, misalnya siswa diminta menjelaskan bagaimana cara menanam bunga pada sebuah pot, bagaimana cara menyampaikan hasil rapat kepada orang lain. Keterampilan menjelaskan suatu topik ini perlu diajarkan sebab dalam

ke-hidupan sehari-hari banyak kegiatan yang mengharuskan kita untuk menjelaskan sebuah topik.

Fungsi kognitif bahasa Indonesia perlu di-ajarkan kepada siswa agar dalam berbahasa ke-lak siswa dapat menghargai perasaan orang lain dan memiliki daya empati yang tinggi. Ke-nyataan sekarang menujukkan bahwa banyak o-rang yang sudah meninggalkan unggah-ungguh

(sopan santun). Orang tidak lagi memikirkan apakah orang lain tersinggung dengan kata-katanya atau bukan. Hal ini lebih tampak jika seseorang itu menyampaikan sebuah kritik dan atau usul dalam sebuah diskusi.

Fungsi emotif bahasa misalnya apabila kita mengungkapkan rasa gembira, kesal, sedih, dan sebagainya. Mengungkapkan rasa gembira tam-paknya sederhana dan mudah tetapi jika tidak hati-hati orang akan terjebak pada sikap ria dan sombong. Seseorang perlu memperhatikan kon-teks dalam hal itu. Kesalahan pemilihan konkon-teks dapat menyebabkan seseorang dijauhi orang-o-rang sekitarnya. Seseoorang-o-rang yang baru saja lulus ujian misalnya, untuk mengungkapkan rasa ba-hagianya ia melakukan corat-coret baju dan naik sepeda motor secara bergerombol keliling kota. Hal demikian merupakan contoh pengungkapan rasa senang yang tidak baik. Seorang pendidik pada pembelajaran bahasa Indonesia hendaknya dapat menyampaikan hal demikian ini kepada para siswanya. Demikian pula untuk mengung-kapkan rasa sedih dan kesal, seseorang harus memilih kata-kata yang baik dan konteks yang sesuai. Jika tidak, orang lain akan merasa ter-singgung dan tersakiti oleh kata-kata kita. Yang dimaksud konteks dalam hal ini adalah kepada siapa kita bicara, kapan bicaranya, dimana pem-bicaraannya, dan apa masalah yang kita bicara-kan.

Fungsi puitik merupakan fungsi bahasa yang dianggap sederhana dan kurang begitu ber-manfaat. Padahal fungsi ini sebenarnya merupa-kan bukti peranan bahasa yang tidak kalah pen-tingnya dalam bersosialisasi. Fungsi puitik ada-lah penggunaan bahasa untuk menyampaikan amanat tertentu. Amanat adalah pesan yang ha-rus dilaksanakan oleh menerima amanat. Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang sering meneri-ma ameneri-manat dari orang lain. Sebenarnya, orang itu tidak sanggup melaksanakan amanat yang

(8)

diterimanya namun karena ada rasa rikuh untuk menolak atau tidak memiliki kemampuan ber-bahasa untuk menolaknya, akhirnya amanat itu diterimanya dengan terpaksa. Konskuensinya, ada kemungkinan amanat itu tidak dilaksana-kan. Hal demikian ini berarti penerima amanat telah berbuat zalim kepada pemberi amanat. Sis-wa perlu kita ajari bagaimana cara menerima dan atau menolak amanat dengan cara yang ba-ik.

Fungsi fatik bahasa Indonesia merupakan suatu fungsi bahasa yang tidak kalah pentingnya dengan fungsi-fungsi yang lain. Banyak anak muda sekarang ini yang cenderung diam jika bertemu dengn orang lain yang tidak begitu dikenalnya, walaupun itu tetangganya sendiri. Hal demikian ini terjadi sebab fungsi fatik baha-sa belum begitu dikenakan kepada siswa. Dalam hidup bermasyarakat, fungsi fatik ini sangat di-perlukan agar kita tidak terkesan sombong. Sapaan kepada orang yang lebih muda, seusia, atau orang yang lebih tua sangat berbeda. para siswa perlu mengetahui hal itu dan mampu menggunakannya sehingga tidak terkesan som-bong.

C. Penutup

Peranan bahasa dalam berpikir adalah seba-gai alat dan sebaseba-gai sarana. Sebaseba-gai alat berarti bahasa itu merupakan perangkat untuk berpikir. Sebagai sarana berarti bahasa itu sebagai fasi-litas untuk berpikir. Otak manusia, tidak mung-kin dapat digunakan untuk berpikir jika tidak ada alat dan sarananya. Jika alat dan sarana itu rusak, hasil dan sarannya baik, hasil pemi-kirannya pun juga kurang sempurna. Seba-liknya, jika alat dan sarananya baik, hasil pemi-kirannya pun juga akan baik dan sempurna.

Peranan bahasa dalam pembelajaran bahasa Indonesia kurikulum 2013 adalah untuk meng-aplikasikannya lima fungsi bahasa yakni fungsi

referensial, emotif, fatik, puitik, dan kognitif.

Fungsi bahasa yang metalingual tidak lagi memegang peranan. Pengaplikasian lima fungsi bahasa itu sangat penting agar tujuan pembela-jaran bahasa Indonesia pada umumnya yakni siswa terampil berbahasa Indonesia dengan baik dan benar dapat tercapai.

Desain kurikulum berbasis budaya dapat di-jadikan desain kurikulum alternatif untuk

semakin mempercepat terwujudnya masyarakat dan bermartabat. Dengan desain kurikulum ber-basis budaya diharapkan lulusan memiliki wa-wasan pengetahuan luas, tetapi tetap bermar-tabat dan beradab sesuai nilai-nilai yang berlaku di Indonesia. Pola pelaksanaannya dapat terjadi sejak pengembangan GBPP, Silabus, atau sa-tuan pembelajaran. Demikian pula, dapat terjadi dalam implementasi kurikulum sedang berjalan (kurikulum yang berlaku).

Referensi

Abdulhayi, dkk. Penelitian Kemampuan Eks-presi Tulis Siswa SPG Kelas III di Kota-madya Yogyakarta. Yogyakarta: Sub Pro-yek Normalisasi Kehidupan Kampus IKIP, 1979

Affandi, AM. Pengajaran Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Dalam Harimurti Kri-dalaksana-Djoko Kencono (ed.) Seminar Bahasa Indonesia (halaman 200-220). Ende-Flores: Nusa Indah, 1988

Assembly of Alaska Native Educators. Guide-lines for Cross-cultural Orientation Prog-rams. www.ankn.uaf.edu/standards/ xcop., tanggal 2 Januari 2014, 2003

______ Alaska Standard for Culturally Respon-sive Schools. www.ankn. uaf.edu/ standards/xcop., tanggal 2 Januari 2014, 2003

______Guidelines for preparing culturally res-ponsive teachers for Alaska’s schools. www.ankn.uaf.edu/standards/xcop, tang-gal 2 Januari 2014, 2003

______Guidelines for Respecting Cultural Knowledge. www.ankn.uaf.edu/standards/ tanggal 2 Januari 2014, 2003

______Guidelines for Culturally Responsive Schools Boards. www.ankn.uaf.edu/ standards/xcop., tanggal 2 Januari 2014, 2003

(9)

______Culture, Community, and Curriculum. www.ankn.uaf.edu/standards/xcop.html tanggal 2 Januari 2014, 2003

Cassier, E., Manusia dan Kebudayaan. (Terj.

Oleh Alois A. Nugroho). Jakarta:

Gramedia, 2007

Crow, L D dan Crow A., Psikologi Pendidikan

(Terj. Oleh Z. Kasijan). Surabaya: Bina Ilmu, 2004

Cumnings, Louis, Pragmatics A Multidicip-linary Perspective. Edinburgrh University Press, 2005

Dakir. Dasar-dasar Psikologi. Yogyakarta: Ka-liwangi Ofset, 2006

Djohar. Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999

NWT Teacher Induction. Culture-Based

Education. www.newteachersnwt.ca/ culture_based_education2, tanggal 2 Janu-ari 2014, 2004.

Pateda, Mansur. AspekAspek Psikolinguistik. Ende-Flores: Unsa Indah, 2000.

Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan

Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011

Tilaar. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masya-rakat Madani Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999

Walgito, B., Pengantar Psikologi Umum.

Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 2003

Referensi

Dokumen terkait

Sejalan dengan turunnya tutupan karang dan rekrutmen karang akibat pemutihan karang, kelimpahan dan biomassa ikan terumbu juga mengalami penurunan di TWP Gili

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam model syariah, variabel yang signifikan sebagai indikator dini krisis hanyalah variabel mikro perbankan, yaitu rasio

Jl Gatot Subroto tanpa gang yang saya tampilkan di awal bisa dipahami sebagai menggunakan SUBNET MASK DEFAULT, atau dengan kata lain bisa disebut juga bahwa Network tersebut

Kajian Karakteristik Fisik dan Sensori Serta Aktivitas Antioksidan dari Granul Effervescent Buah Beet (Beta Vulgaris) dengan Perbedaan Metode Granulasi dan Kombinasi

9 Regina Tutik Padmaningrum...regina_tutikp@uny.ac.id Menanyakan „pengertian peralatan laboratorium “ yang telah dipelajari pada pertemuan yang lalu dan mengarahkan

Pilihlah salah satu jawab yang paling benar dengan menyilang (X) tepat pada huruf pilihan jawaban,8. Semua jawaban dituliskan pada lembar jawab yang

[r]

[r]