• Tidak ada hasil yang ditemukan

Utang Pemerintah dan Kesinambungan Fiskal 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Utang Pemerintah dan Kesinambungan Fiskal 1"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Utang Pemerintah dan Kesinambungan Fiskal

1

Ascarya

dan

Diana

Yumanita

Center for Central Banking Education and Studies, Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin 2, Radius Prawiro Tower, 18th fl., Jakarta 10110, Indonesia

Email: [email protected]; [email protected]

ABSTRACT

There are two main issues in this study of government fiscal sustainability. First, what is the impact of a huge public debt to government fiscal sustainability, and second, whether the government fiscal will be sustainable in the future. There are several studies about government fiscal sustainability of Indonesia. This study tries to look from an approach different from those approaches ussually used in analysing

government fiscal sustaibaility. This approach is called an operational recursive

algorithm developed by Croce and Juan-Ramon (2003). This approach is also

different in the data frequency used. Instead of using yearly data commonly used in other approaches, this approach uses quarterly data. The use of quarterly data is superior than yearly data for the purpose of monitoring the behavior of government fiscal, especially in the short period of time. Using this approach the government would be able to make quicker response when the fiscal trend moves away from its sustainable path. Based on, operational recursive algorithm approach, the fiscal condition in the period of 1994-2002 showed a sustainable trend, except for the year 1994 due to fiscal factors and 1998 due to financial and banking crises. Using projected data of APBN and macroeconomy of Bappenas, government fiscal condition is projected to be sustainable up to the year 2007. In short, this study tries to present fiscal condition of the government from time to time (in quarterly basis), so that the government would be able to monitor and take necessary policy response when the fiscal trend moves away from its sustainable path.

JEL Classification: H63, H81

Keywords: Utang Pemerintah, Kesinambungan Fiskal

1. Pendahuluan

1.1

Latar Belakang

Keberadaan utang pemerintah baik domestik maupun luar negeri cukup mengkawatirkan. Pada akhir tahun 2002, posisi total utang pemerintah sudah mencapai Rp1.219,2 triliun, atau mencapai 75,7% dari output nasional (produk domestik bruto/PDB). Dari total utang pemerintah tersebut, utang luar negeri pemerintah (tidak termasuk utang luar negeri yang dikelola oleh Bank Indonesia) mencapai Rp568,8 triliun, atau 35,3% dari PDB, dan utang

(2)

domestik pemerintah mencapai Rp650,4 triliun, atau 40,4% dari PDB. Posisi utang pemerintah ini mulai meningkat drastis semenjak tahun 1999 ketika pemerintah menerbitkan obligasi negara (utang domestik) untuk menyelamatkan dan menyehatkan kembali sektor perbankan yang mengalami krisis sejak terjadinya krisis keuangan dan perbankan di Asia Timur pada Juli 1997.

Dalam era globalisasi sekarang ini, pembahasan mengenai utang dalam negeri dan utang luar negeri tidak dapat dipisahkan, karena keduanya menjadi semakin saling terkait satu sama lain. Suatu negara yang menganut rezim open capital account ‘aliran modal terbuka’, utang dalam negeri dapat diubah menjadi utang luar negeri, dan sebaliknya, dengan cukup mudah. Utang luar negeri tidak lebih penting dari utang dalam negeri, karena keduanya adalah utang yang harus dilunasi dengan penciptaan nilai tambah, bukan dengan pencetakan uang. Pandangan seperti ini telah terbukti keliru dan menimbulkan berbagai permasalahan fiskal di negara-negara berkembang yang pada akhirnya menyebabkan krisis, seperti krisis utang pada tahun 1982, hiperinflasi di negara-negara Amerika latin pada tahun 1980-an, krisis Meksiko pada tahun 1994-1994, dan krisis Asia Timur pada tahun 1997.

Besarnya total utang pemerintah ini lebih besar dari beberapa negara yang tergolong sebagai Highly Indebted Poor Countries/HIPC (baca tabel 2). Total utang pemerintah Indonesia lebih besar dari total utang Honduras dan Uganda yang besarnya masing-masing 67,3% dan 68,8% dari PDB. Selain itu, utang dalam negeri Indonesia termasuk besar dibandingkan dengan rata-rata utang dalam negeri HIPC yang hanya sebesar 16,5%.

Tabel 1.1 Utang Pemerintah Beberapa Negara HIPC, Akhir 2001 (% PDB)

Negara

Utang LN

Utang DN

Total Utang

Honduras 64,1 3,2 67,3 Uganda 63,6 5,2 68,8 Burkina Faso 63,8 13,0 76,8 Cameroon 77,6 15,6 93,2 Niger 87,2 10,4 97,6 Gambia 128,2 33,6 161,8 Rwanda 175,9 1,0 176,9 Guyana 176,9 84,3 261,2 Nicaragua 227,5 52,5 280,0 Rata-rata HIPC 156,2 16,5 172,7

Sumber: Edward (2002), diolah.

Angka yang sangat fantastis sekali. Besarnya utang domestik ini tentu saja memperburuk struktur anggaran pemerintah. Dalam APBN 2003, beban pembayaran bunga saja mencapai 22.1% dari anggaran pengeluaran sedangkan porsi anggaran pembangunan saja hanya sebesar 18%. Komposisi ini tentu saja menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah lebih banyak digunakan untuk membiayai kegiatan yang “non produktif” daripada kegiatan yang “produktif”. Beban utang yang terlalu besar akan mengakibatkan kerawanan fiskal, yang pada akhirnya akan mempengaruhi manajemen ekonomi makro. Akibatnya, investasi swasta akan cenderung stagnan sampai masalah ini terpecahkan.

(3)

Beban utang domestik yang sangat besar itu merupakan sisa-sisa kebijakan masa lampau yang ditinggalkan demi membiayai restrukturisasi perbankan. Sebenarnya beban utang domestik ini merupakan beban sektor swasta yang kemudian di transfer menjadi beban sektor publik melalui metode bail out perbankan yang terjadi pada awal tahun 1998 tersebut. Namun, disisi lain tingkat keberhasilan program penyehatan perbankan ini pun masih dipertanyakan. Aset-aset perbankan yang disita negara, ternyata jauh dibawah nilai burden

untuk membiayai perbankan itu sendiri. Sehingga kondisi lebih besar pasak daripada tiang pun terjadi. Di sisi lain, sumber penerimaan negara juga terbatas. Selama ini anggaran penerimaan masih bertumpu kepada penerimaan pajak. Namun, dengan kondisi perekonomian yang sedang lesu, sangat kecil mengharapkan peningkatan penerimaan dari menaikkan tarif pajak. Disamping itu, kenaikkan tarif pajak justru akan kontra produktif, dengan keinginan investor untuk berinvestasi, padahal perekonomian sangat membutuhkan suntikan investasi baru untuk meningkatkan output nasional. Begitu juga penerimaan pemerintah dari penjualan aset negara yang merupakan sitaan bank-bank rekapitalisasi dan privatisasi masih jauh dari kebutuhan untuk menutupi beban utang tersebut.

Pada dasarnya kebijakan utang bukanlah suatu yang salah. Utang suatu negara selama ini dianggap sebagai “pengisi” dari gap ‘kesenjangan’ yang ditimbulkan oleh saving ‘tabungan’ tidak mampu menutupi kebutuhan untuk membiayai perekonomian suatu negara. Hampir di semua negara di dunia melakukan kebijakan utang. Amerika Serikat sekali pun telah membiayai perekonomiannya dengan utang selama hampir 200 tahun. Begitu juga negara-negara di Eropa, menggunakan kebijakan utang dalam strategi pembangunan ekonominya selama bertahun-tahun, bahkan ratusan tahun. Namun, semua itu kembali kepada persoalan bagaimana membatasi utang tersebut agar berada dalam batas yang sustainabel. Oleh sebab itu, kemampuan me-manage utang pada suatu negara menjadi penting.

Kajian mengenai beban utang terhadap sustainabilitas fiskal sudah cukup banyak dilakukan, antara lain kajian yang dilakukan oleh APK-DKM (2001). Dalam kajian ini DKM dengan menggunakan pendekatan intertemporal budget constraint yang dikembangkan oleh Dinh (1999), hasilnya menunjukkan bahwa kondisi fiskal pemerintah dalam periode 2001-2005 secara umum diproyeksikan masih berada dalam kondisi yang sustainabel. Penelitian ini dilakukan pada saat kebijakan reprofilling terhadap obligasi pemerintah belum diterapakan. Sedangkan penelitian lainnya yang dilakukan oleh SEI-DKM (2002) juga terkait dengan kajian terhadap kemampuan perekonomian menanggung beban utang luar negeri. Dengan menggunakan pendekatan intertemporal solvency untuk mengetahui kemampuan sektor eksternal dalam membiayai utang luar negeri pemerintah dan swasta (baca tabel 3) dilihat dari kesinambungan transaksi berjalan menunjukkan bahwa sektor eksternal Indonesia akan mengalami kondisi tidak solvabel sampai dengan tahun 2005. Sementara itu, Ikhsan (2003) dengan menggunakan pendekatan Dinh (1999) dan Croce dan Juan-Ramon (2003) menyimpulkan bahwa apabila kondisi makro ekonomi terjamin, maka fiskal akan sustainabel dalam jangka menengah, dan target penurunan rasio utang menjadi 60% dari PDB dapat tercapai pada tahun 2007.

Sementara itu, kajian ini mencoba untuk memberikan gambaran sekali lagi mengenai kondisi sustainabilitas fiskal Indonesia dengan menggunakan pendekatan lain, yaitu pendekatan operational recursive algorithm, yang dikembangkan oleh Croce dan Juan-Ramon (2003) yang berbeda dari pendekatan-pendekatan yang biasa dipergunakan. Selain itu, dengan adanya perkembangan-perkembangan terbaru (seperti adanya debt switching, keluarnya Indonesia dari IMF, dan proyeksi terbaru) apakah kondisi fiskal Indonesia masih sustainabel untuk jangka menengah. Selain itu, mengingat bahwa telah terjadi perubahan kebijakan yang cukup signifikan dalam penyelesaian utang domestik, apalagi dalam kondisi pasar obligasi

(4)

penyelesaian masalah utang luar negeri melalui Paris Club yang diduga akan terhambat, kajian mengenai sustainabilitas fiskal kedepan ini masih relevan untuk dilakukan.

Dalam kajian ini sustainabilitas fiskal Indonesia akan dianalisis dengan menggunakan dua model, yaitu model Dinh (1999) dan Croce dan Juan-Ramon (2003). Model Dinh (1999) digunakan untuk melihat kembali keadaan sustainabilitas fiskal seperti yang telah dilakukan oleh APK-DKM (2001), dengan perkembangan terbaru (seperti adanya debt switching, keluarnya Indonesia dari IMF, dan proyeksi terbaru). Dengan semua perubahan ini, apakah kondisi fiskal Indonesia masih sustainabel atau tidak untuk lima tahun ke depan. Sementara itu, model Croce dan Juan-Ramon (2003) digunakan untuk membandingkan hasil dari model Dinh (1999), karena pendekatan yang digunakan oleh Croce dan Juan-Ramon berbeda. Dalam pendekatannya, Croce dan Juan-Ramon berusaha mengatasi kelemahan model-model sebelumnya, termasuk model Dinh (1999), yang mengandalkan pada data-data proyeksi yang menurut mereka banyak mengandung kelemahan. Untuk mengatasi kelemahan ini mereka mengembangkan model yang hanya menggunakan data-data yang sudah tersedia (data-data saat ini dan masa lalu) ditambah dengan data atau angka target yang ingin dicapai oleh pengambil keputusan.

Kajian ini akan terdiri dari 5 bab. Setelah bab pendahuluan yang memaparkan latar belakang penelitian mengenai utang pemerintah dan sustainabilitas fiskal Indonesia ini, bab kedua menguraikan landasan teori dan metodologi penelitian yang akan digunakan untuk menganalisis permasalahan di atas. Selanjutnya pada bab ketiga dibahas mengenai kajian atau penelitian terdahulu mengenai topik yang senada. Bab keempat membahas mengenai hasil analisis dengan menggunakan beberapa alternatif simulasi, dan diakhiri dengan kesimpulan dan implikasi kebijakan pada bab kelima.

1.2

Identifikasi Masalah

Utang luar negeri dan sustainabilitas fiskal pemerintah Indonesia masih menjadi topik yang hangat untuk didiskusikan, baik oleh pihak pemerintah sebagai pemegang otoritas fiskal maupun oleh pihak swasta sebagai pelaku usaha. Kondisi beban utang pemerintah Indonesia dihadapkan kepada beberapa permasalahan (1) dampak dari keluarnya Indonesia dari IMF, yang selanjutnya akan mempengaruhi penyelesaian utang luar negeri Indonesia dengan tidak adanya Paris Club, dan (2) kondisi penyelesaian beban utang domestik dengan pola debt

switching yang baru saja diterapkan dengan kondisi pasar sekunder yang masih

dipertanyakan perkembangan kedepannya. Sementara itu, kajian-kajian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa meskipun kondisi beban utang pemerintah Indonesia cukup berat, kondisi fiskal Indonesia diperkirakan akan tetap sustainabel dalam jangka menengah. Dengan perkembangan-perkembangan terbaru dan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda, penelitian ini mencoba memberikan alternatif gambaran sejauh mana sustainabilitas keuangan pemerintah di masa lalu, yang akan dapat dipergunakan oleh pemerintah sebagai dasar untuk menentukan respon kebijakan fiskal kedepan.

1.3

Manfaat Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk dapat memberikan alternatif gambaran mengenai kondisi sustainabilitas fiskal Indonesia dengan adanya perkembangan-perkembangan terbaru dan pendekatan yang berbeda, serta langkah-langkah apa yang diperlukan agar keseimbangan fiskal menjadi sustainabel. Pendekatan ini juga akan memberikan gambaran kecenderungan

(5)

fiskal pemerintah di masa yang lalu sebagai dasar untuk mengambil respon kebijakan yang mengarah kepada kondisi fiskal yang tetap sustainabel.

2. Landasan Teori

2.1 Gambaran Umum

Sustainabilitas dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana tidak ada ketidakpastian (Croce dan Juan-Ramon, 2003). Pada umumnya sustainabilitas fiskal suatu negara dikaitkan dengan sustainabilitas utangnya, dan selalu dikaitkan dengan rasio terhadap output nasional. Dalam pembahasan mengenai utang perlu dikemukakan beberapa konsep yang sering digunakan (IM F, 2002).

1. Solvabilitas

Suatu entitas dikatakan solvabel jika present discounted value (PDV) dari pengeluaran primer saat ini dan yang akan datang tidak lebih besar dari PDV dari penerimaan saat ini dan yang akan datang, setelah dikurangi hutang.

2. Likuiditas

Suatu entitas dikatakan illiquid ‘tidak likuid’ jika, tanpa memperhatikan kondisi solvabilitas, aset likuid dan pendanaan yang tersedia tidak cukup untuk membayar atau

me-roll-over hutang-hutang yang jatuh waktu.

3. Sustainabilitas

Suatu entitas dikatakan sustainabel jika posisi utangnya memenuhi present value budget

constraint tanpa penyesuaian besar dalam keseimbangan penerimaan dan pengeluaran,

dengan beban pembiayaan sesuai suku bunga pasar.

4. Vulnerabilitas

Vulnerabilitas merupakan risiko ketika kondisi solvabilitas dan likuidity dilanggar dan peminjam mengalami krisis.

Sementara itu, dalam pembahasan sustainabilitas fiskal terdapat konsep solvabilitas dan

likuiditas yang diambil dari teori finansial (Dinh, 1999).

1. Solvabilitas

Suatu perusahaan dikatakan insolvent ‘tidak solvabel’ jika net worth (assets dikurangi

liabilities) dari perusahaan tersebut negatif.

2. Likuiditas

Suatu perusahaan dikatakan tidak tidak likuid jika perusahaan tersebut tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya.

Suatu perusahaan mungkin dalam keadaan solvabel (mempunyai net worth positif) tapi mengalami kesulitan likuiditas (cash flow). Sebaliknya, suatu perusahaan mungkin dalam keadaan likuid tapi tidak solvabel. Solvabilitas berhubungan dengan sisi asset dari neraca (net

worth), sedangkan likuiditas berhubungan dengan sisi liability. Dalam prakteknya solvabilitas

dan likuiditas berkaitan erat. Perbedaan utamanya adalah pada implikasi yang ditimbulkannya. Keadaan tidak solvabel sulit diperbaiki dan mengarah pada likuidasi, sedangkan keadaan tidak likuid biasanya merupakan masalah sementara.

(6)

Sampai saat ini, tidak ada definisi yang baku mengenai sustainabilitas fiskal. Hal ini tergantung kepada indikator yang akan digunakan. Disamping itu, juga lebih didorong oleh intuisi dalam membedakan kebijakan fiskal yang sustainabel dengan yang tidak sustainabel. Buiter (1985) mengemukakan bahwa kebijakan fiskal yang sustainabel adalah kebijakan yang mampu mempertahankan rasio kekayaan bersih suatu negara terhadap output nasionalnya pada current level. Sementara itu, menurut Edwards (2002), suatu ekonomi dapat dikatakan telah mencapai sustainabilitas fiskal ketika rasio utang sektor publik terhadap PDB adalah stasioner, dan konsisten dengan permintaan secara keseluruhan – domistik dan asing – untuk surat berharga pemerintah. Pada subbab selanjutnya akan dibahas beberapa konsep yang dikembangkan untuk mengukur solvabilitas dan sustainabilitas.

2.2 Model Solvabilitas dan Sustainabilitas Fiskal

2.2.1 Solvabilitas Fiskal

Dinh (1999) mengembangkan konsep solvabilitas sektor publik yang diturunkan dari definisi bahwa, seperti halnya entitas lain dalam ekonomi, solvabilitas harus memenuhi intertemporal budget constraint. 0 0 B dt e S rt t = − ∞

(1)

Dimana St adalah primary balance ‘keseimbangan primer’ (keseimbangan anggaran, yaitu

pendapatan dikurangi pengeluaran, sebelum pembayaran bunga) pada periode t, r adalah

discount rate ‘tingkat diskonto’ dan B0 adalah utang publik pada periode 0 (awal). Persamaan

(1) harus memenuhi syarat transversality:

0 exp 1 = − ∞ → rt t B Lim (2)

Persamaan (1) di atas menyatakan bahwa PDV dari utang pemerintah suatu negara akan menurun menjadi 0 (nol) dengan berjalannya waktu. Defisit fiskal yang permanen tidak konsisten dengan keadaan di atas. Defisit pada suatu (periode) waktu harus diimbangi dengan surplus pada (periode) waktu yang lain.

Apabila s* adalah proporsi output yang memenuhi persamaan (1), maka

∞ − = 0 0 0 ) ( * Y B dt e s g rt (3)

Dari persamaan di atas s* dapat diperoleh.

) ( * 0 0 r g Y B s = − 2 (4)

Dimana Y adalah output (PDB), g adalah tingkat pertumbuhan Y, dan B0 adalah utang pemerintah pada periode 0 (awal). Semakin besar s* semakin besar proporsi output yang harus disisihkan untuk membayar utang untuk menjaga sektor publik tetap solvabel.

Dari persamaan (4) dapat disimpulkan bahwa untuk negara-negara pengutang, yang berarti bahwa B0/Y0>0, apabila tingkat suku bunga riil lebih besar dari tingkat pertumbuhan output

2 Persamaan (4) dibuat dalam bentuk berkesinambungan (continuous terms). Dalam bentuk diskrit (r-g) menjadi

(7)

atau (r-g)>0, surplus keseimbangan primer diperlukan untuk mencapai fiskal yang solvabel. Besarnya pembayaran utang paling tidak sebesar s*, sehingga negara yang bersangkutan harus memiliki surplus keseimbangan primer sebesar s*. Apabila surplus keseimbangan primer kurang dari s*, maka hutang sektor publik akan bertambah terus sepanjang waktu. Apabila (r-g)<0, defisit keseimbangan primer yang tidak melebihi s* masih konsisten dengan solvabilitas. Sebagian besar negara berkembang bermasalah karena memiliki tingkat suku bunga riil lebih besar dari tingkat pertumbuhan output atau memiliki defisit keseimbangan primer yang lebih besar dari s*.

Persamaan (4) dapat digunakan untuk menilai posisi fiskal suatu negara dari waktu ke waktu atau dari negara ke negara. Selisih antara s* dan defisit keseimbangan primer aktual menunjukkan seberapa besar tambahan kebutuhan fiskal yang diperlukan untuk agar sektor publik menjadi solvabel kembali, dan inilah yang disebut dengan fiscal solvency adjustment

‘penyesuaian solvabilitas fiskal’. Angka penyesuaian solvabilitas fiskal yang positif menunjukkan bahwa negara tersebut harus melakukan penyesuaian untuk mengembalikan solvabilitasnya, sedangkan angka yang negatif menunjukkan tidak diperlukannya penyesuaian fiskal. Evolusi dari indikator ini dari waktu ke waktu menunjukkan apakah suatu negara bergerak semakin dekat ke atau semakin jauh dari posisi fiskal yang solvabel.

Penggunaan persamaan (4) memerlukan beberapa variabel jangka panjang, seperti tingkat suku bunga riil dan tingkat pertumbuhan riil, yang tidak secara langsung bisa diperoleh dan harus di aproksimasi.

2.2.2 Sustainabilitas Fiskal

Dalam literatur empirik, untuk menilai sustainabilitas fiskal suatu negara dapat dilakukan dengan pengujian sustainabilitas dan indikator sustainabilitas. Pengujian sustainabilitas ditujukan untuk memverifikasi apakah kondisi solvabilitas dipenuhi oleh kebijakan anggaran di masa lalu, dan berdasarkan hasil ini berusaha mengambil pelajaran untuk masa yang akan datang. Hasilnya sangat beragam karena pengujian-pengujian tersebut sangat sensitif terhadap data (kualitatif dan kuantitatif) yang digunakan dan metode statistik yang digunakan. Namun, kelemahan utamanya adalah bahwa solvabilitas pada periode sampel tidak menjamin solvabilitas di masa yang akan datang.

Sementara itu, penggunaan indikator sustainabilitas telah dipakai secara luas, mengikuti model-model yang dikemukakan oleh antara lain Buiter (1985), Blanchard (1990), dan terutama Dinh (1999). Model-model pengembangan dari model Dinh (1999) antara lain model-model yang dikemukakan oleh Edward (2002) dan Croce dan Juan-Ramon (2003). 1. Model Buiter (1985)

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, Buiter (1985) mengemukakan bahwa kebijakan fiskal yang sustainabel adalah kebijakan yang mampu mempertahankan rasio kekayaan bersih suatu negara terhadap output nasionalnya pada current level. Indikatornya adalah:

t t t t t r n w d d d− =( − ) − (5)

Dimana, d adalah rasio primary deficit ‘defisit keseimbangan primer’ terhadap output, w

adalah rasio net worth ‘kekayaan bersih’ terhadap output dan n adalah pertumbuhan output. Indikator sustainabilitas menunjukkan perbedaan antara constant wealth primary deficit

(8)

primer terlalu besar untuk berperan dalam menstabilkan kekayaan bersih suatu negara, yang berarti bahwa negara tersebut dalam kondisi fiskal yang tidak sustainabel.

2. Model Blanchard (1990)

Dalam model Buiter (1985), informasi mengenai kekayaan bersih suatu negara sangat sulit diperoleh. Oleh sebab itu Blanchard (1990) mencoba memodifikasi indikator sustainabilitas ini dengan rasio utang terhadap output nasional pada current level. Dalam hal ini, Blanchard mengembangkan 2 indikator yaitu :

a. Indikator primary gap yang didasarkan pada permanent primary deficit dalam menstabilkan rasio utang.

t t t t t r n b d d d− =( − ) − (6)

Dimana b adalah rasio utang terhadap output nasional.

Jika indikator ini menunjukkan nilai yang negatif maka kondisi current primary defisit

terlalu besar, yang berarti bahwa kebijakan fiskal tidak sustainabel. Pengurangan defisit keseimbangan primer akan mendorong kebijakan fiskal menjadi sustainabel.

b. Tax gap indicator.

Sebagai alternatif Blanchard mengajukan perhitungan dengan menggunakan tax gap indikator. Perhitungan ini didasarkan kepada rasio penerimaan pajak terhadap output nasional untuk menstabilkan rasio utang, sehingga persamaan yang terbentuk adalah:

t t t t t t t t r n b g t − = +( − ) − (7)

Persamaan di atas menunjukkan perbedaan antara constant debt tax ratio dengan current

tax ratio. Jika indikator tax gap menunjukkan hasil yang negatif maka current taxes

terlalu rendah untuk menstabilkan rasio utang. Artinya jika rasio pajak dapat ditingkatkan akan mendorong kebijakan fiskal menjadi sustainabel.

Meskipun assessment terhadap sustainabilitas berbeda-beda, namun sustainabilitas fiskal selalu dikaitkan dengan dua dimensi yaitu indikator dari utang pemerintah dan defisit fiskal jangka menengah. dalam hal ini indikator utang pemerintah tergambar dalam rasio utang pemerintah terhadap PDB. Adalah primary fiscal surplus ‘surplus keseimbangan primer’ yang diharapkan dapat menyeimbangkan rasio utang terhadap PDB, artinya seberapa besar usaha dalam hal me-manage surplus keseimbangan primer agar rasio utang terhadap PDB ini dapat stabil. Sehingga beberapa negara berusaha untuk me-manage surplus keseimbangan primernya. sebagai contoh Turki mentargetkan bahwa surplus keseimbangan primernya harus mencapai 6-7% PDB, sedangkan Argentina mentargetkan sebesar lebih dari 1% PDB (IMF, 2002).

Penggunaan indikator fiskal tersebut sangat tergantung kepada cakupan utang publik dari suatu negara, termasuk di dalamnya utang yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, data mengenai utang BUMN agak sulit diperoleh. Jika cakupan data publik relatif kecil, maka data yang tercermin akan understated, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kondisi sustainabilitas. Jika data understated maka perhitungan sustainabilitas akan terlihat baik padahal belum tentu baik.

Umumnya sustainabilitas fiskal dianalisis dengan menggunakan intertemporal budget

constraint. Dalam hal ini suatu negara dianggap telah berada dalam debt overhang apabila

(9)

utang luar negerinya. Artinya, pergerakan utang suatu negara harus stasioner untuk mencapai kondisi yang solvabel, dan tidak terus bertambah secara eksplosif setiap kali terjadi tekanan (shocks) terhadap ekonomi negara tersebut.

3. Model Dinh (1999)

Pendekatan intertemporal dikembangkan oleh Dinh (1999) dengan mengembangkan indikator untuk mengukur solvabilitas dan sustainabilitas keuangan pemerintah dalam hubungannya dengan beban kewajiban pembayaran utang domestik dan luar negerinya. Dalam modelnya, Dinh (1999) mengembangkan konsep suatainabilitas fiskal dengan menggunakan one-period

budget constraint. • • • + − + = − + +iB Ei B B EB M D *(1 µ) * *(1 µ) (8)

Dimana D adalah defisit keseimbangan primer, i dan i* adalah tingkat suku bunga nominal utang domestik dan luar negeri, B dan B* adalah utang publik domestik dan luar negeri, B

dan *B• adalah perubahan utang publik domestik dan luar negeri, E adalah nilai tukar nominal mata uang domestik terhadap mata uang asing, µ adalah komponen hibah dalam anggaran belanja, dan M adalah perubahan besaran moneter.

Dengan asumsi bahwa velositas permintaan uang konstan dan membuat variabel-variabel dalam besaran riil, setelah melalui sejumlah langkah perhitungan diperoleh persamaan budget

constraint pemerintah. ) ( / 1 ) * ( * ) / )( 1 ( ) ( * ) 1 ( g r x y x r e v p g y x y d =+ + + ++ β µ β β µ β (9)

Dimana β dan β* adalah stok utang publik domestik dan luar negeri, β• dan β• * adalah perubahan stok utang publik domestik dan luar negeri, x/y adalah proporsi ekspor terhadap output, ∧x adalah tingkat pertumbuhan ekspor, r* adalah tingkat suku bunga riil internasional,

e adalah perubahan nilai tukar riil, m/y adalah inverse dari velositas permintaan uang 1/v, dan p∧ adalah laju inflasi.

Sustainabilitas fiskal didapat pada saat β• =β• *=0, sehingga didapat: ) ( / 1 ) * ( * ) / )( 1 ( ) (g r x y x r e v p g y d + + − − − + − =β µ β ∧ ∧ ∧ (10)

Dari persamaan (7) dapat ditarik kesimpulan bahwa sumber pembiayaan defisit keseimbangan primer ada tiga: 1) utang domestik, apabila (g-r)>0 atau tingkat pertumbuhan GDP lebih tinggi dari tingkat suku bunga utang domestik; (2) utang luar negeri, apabila (∧x

-r*-e∧)>0 atau pertumbuhan ekspor lebih tinggi dari suku bunga internasional ditambah depresiasi nilai tukar; dan (3) pencetakan uang, apabila konsisten dengan seignorage.

Dari persamaan di atas, surplus keseimbangan primer yang diperlukan untuk mencapai sustainabilitas utang sektor publik, didefinisikan sebagai s**, adalah sama dengan -d/y (% dari GDP).

(10)

) ( / 1 ) * ( * ) / )( 1 ( ) ( * * r g x y r e x v p g s =β − + −µ β +•−∧ + ∧+ (11)

Angka s** merupakan indikator, benchmark atau passing grade dari sustainabilitas fiskal. Apabila keseimbangan fiskal aktual lebih besar dari s** maka keadaan fiskal sustainabel. Sebaliknya, apabila keseimbangan fiskal aktual ≤s** maka keadaan fiskal tidak sustainabel, dan diperlukan fiscal sustainability adjustment ‘penyesuaian fiskal’ sebesar selisih tersebut.

4. Model Edward (2002)

Penelitian lain mengenai sustainabilitas fiskal dilakukan oleh Edward (2002). Dalam hal ini, penelitian yang dilakukannya terkait dengan debt relief dan sustaibailitas fiskal, dengan studi kasus Nicaragua. Nicaragua merupakan salah satu negara yang memiliki rasio utang terhadap PDB yang sangat besar (250%). Sustainabilitas fiskal yang dimaksudkan di dalam kajiannya dedefinisikan sebagai kondisi dimana rasio utang publik terhadap GDP dalam kondisi stasioner dan konsisten terhadap keseluruhan permintaan surat utang pemerintah baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Hal yang sangat penting dalam analisis sustainabilitas fiskal adalah perhitungan keseimbangan primer dibandingkan dengan rasio utang terhadap GDP yang sustainabel dan stabil. Sustainabilitas dari keseimbangan primer ini menjadi variabel yang sangat signifikan didalam analisis makroekonomi.

Edwards (2002) mengasumsikan ada dua tipe utang publik: 1) utang luar negeri yang dikeluarkan lembaga donor maupun multilateral atau utang lunak, DC; dan 2) utang komersial, DD. Dalam hal ini setiap kenaikkan dari kedua tipe utang tersebut akan meningkatkan pula total utang. dalam hal ini persamaan akan berwujud :

t t

t DC DD

D =∆ +∆

∆ (12)

Kenaikkan kedua utang publik tersebut umumnya akan sama dengan pembayaran bunga utang ditambah keseimbangan primer dikurangi seignoarge. Dalam hal ini seignorage didefinisikan sebagai perubahan dalam monetary base. Sehingga persamaan diatas dapat ditulis sebagai berikut:

t t t D t t C t t r DC r DD pb B D = + + −∆ ∆ { 1 1} (13)

Dimana rtC dan rtD adalah tingkat suku bunga nominal utang luar negeri dan domestik, pbt

adalah keseimbangan primer, dan ∆Bt adalah perubahan dalam monetery base (mencerminkan seignorage).

Edwards (2002) memfokuskan kajiannya kepada rasio keseimbangan primer terhadap PDB (pb/Y) yang konsisten dengan sustainabilitas fiskal pasca kebijakan debt relief. Oleh sebab itu rasio dari pb/Y akan konsisten dengan perubahan dalam agregat utang publik dalam jalur yang sustainabel. Utang publik dalam jalur yang sustainabel didefinisikan sebagai situasi dimana kenaikan dari masing-masing utang publik baik luar negeri maupun domestik sejalan dengan keinginan yang tinggi dari kreditor baik nasional maupun internasional dalam mengakumulasi surat utang pemerintah.

Perilaku dinamik dari keseimbangan dari rasio antara keseimbangan primer dengan PDB dapat diformulasikan sebagai berikut:

] ) / }( { ) / }( [{ ) / ( ( *)( 1) 0 0 ) 1 *)( ( 0 0 − − − − − − + − = D g t t t g C t t t Y r DC Y e r DD Y e pb θ θ π β θ π ) / )( ( *)] 1 /( 1 [ +g+π − gB0 Y0 (14)

(11)

Dimana DC0/Y0 dan DD0/Y0 adalah rasio utang lunak dan utang komersial terhadap PDB, π

adalah target inflasi domestik, B0/Y0 adalah rasio base money terhadap PDB. Defisit

keseimbangan primer terjadi apabila (pbt/Yt) > 0.

Persamaan diatas menunjukkan jalur dinamik dari sustainabilitas keseimbangan primer tergantung kepada beberapa variabel termasuk tingkat suku bunga nominal utang lunak maupun utang komersial, inflasi dalam dan luar negeri, tingkat pertumbuhan riil PDB, dan sustainabilitas tingkat pertumbuhan kedua jenis utang publik tersebut.

5. Model Croce dan Juan-Carlos (2003)

Croce dan Juan-Carlos (2003) mengajukan model operational recursive algorithm ‘algoritma rekursif operasional’ yang sederhana dan operasional untuk memonitor sustainabilitas fiskal yang diturunkan dari law of motion dari rasio utang terhadap PDB subject to fungsi reaksi pemerintah. Apabila rasio utang terhadap PDB aktual melebihi rasio yang ditargetkan, pemerintah akan bereaksi dengan menghasilkan surplus keseimbangan primer yang konsisten dengan penurunan rasio utang ke arah yang ditargetkan. Setelah hal ini tercapai, algoritma ini diharapkan akan dapat dipakai sebagai patokan kebijakan untuk memastikan bahwa rasio yang ditargetkan dapat dijaga dari waktu ke waktu. Indikator sustainabilitas yang dihasilkan ini mirip dengan yang dikembangkan oleh Blanchard (1990). Kelebihan model ini dari model-model sebelumnya, termasuk model Blanchard, adalah bahwa model ini tidak membutuhkan angka-angka proyeksi PDB maupun tingkat suku bunga di masa yang akan datang. Model ini hanya memerlukan data-data saat ini, masa lalu, dan target yang akan dicapai.

3. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini, model yang akan digunakan untuk mengukur sustainabilitas fiskal adalah model operational recursive algorithm yang dikembangkan oleh Croce dan Juan-Ramon (2003). Kerangka model meliputi tiga persamaan yaitu: 1) persamaan law of motion dari rasio utang; 2) persamaan untuk mendefinisikan variabel target; dan 3) persamaan fungsi reaksi pemerintah. Ketiga persamaan tersebut dalam dituliskan sebagai berikut:

t t t t d ps d1− (15) * ) 1 * ( * d ps = β − (16) *) ( * d 1 d ps pst = +λt t − (17)

Dimana, d adalah rasio utang terhadap PDB, d* adalah target d pada periode N yang besarnya 0 < d* < dt, βt = (1+rt)/(1+gt), dimana rt adalah tingkat suku bunga riil, ps adalah rasio

surplus keseimbangan primer terhadap PDB, β* dan ps* adalah β dan ps yang akan berlaku pada saat d* tercapai, dan λ adalah intensitas respon kebijakan terhadap debt ratio gap

‘kesenjangan rasio utang’ periode sebelumnya.

Dari ketiga persamaan diatas law of motion dari rasio utang menjadi: * ) 1 * ( ) ( d 1 d dt = βt −λt t − β −λt − (18)

Karena yang diinginkan adalah rasio utang masa yang akan datang lebih kecil dari yang lalu maka diasumsikan bahwa d > d*. Persamaan (18) menunjukkan bahwa d akan bergerak ke

(12)

arah d* apabila /βt −λt /<1. Angka inilah yang akan digunakan sebagai indikator sustainabilitas fiskal (dinotasikan dengan IFS).

⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − − − + + = − = − * * 1 1 ) ( 1 d d ps ps g r IFS t t t t t t λ β (19)

Apabila IFS < 1 berarti posisi fiskal sustainabel, sedangkan apabila IFS ≥ 1 berarti posisi fiskal yang tidak sustainabel, dan kebijakan pemerintah harus diarahkan untuk menuju pada target sustainabilitas fiskal.

Komponen pertama IFS, yaitu βt, mengukur spread antara tingkat suku bunga riil dan tingkat

pertumbuhan pada waktu t. Komponen ini merupakan lead indicator dimana spread yang lebih tinggi dan berlangsung terus mengarah pada utang publik yang lebih besar. Nilai ekspektasi β seharusnya berada di sekitar 1 untuk ekonomi yang mapan dan stabil, sedikit lebih tinggi dari 1 untuk ekonomi yang memiliki modal terbatas dan biaya intermediasi finansial tinggi, dan sangat lebih tinggi dari 1 dan lebih volatile dalam kondisi ketidakpastian ekonomi dan politik. Selanjutnya, β* < 1 dikesampingkan karena dengan r < g, menurut Barro (1976), pada keadaan steady state, akan membawa ke kondisi akumulasi kapital berlebihan yang tidak efisien.

Komponen kedua IFS, yaitu λt, mengukur rasio antara i) deviasi rasio surplus keseimbangan

primer aktual dari rasio surplus keseimbangan primer yang akan berlaku pada saat d*

tercapai; dan ii) deviasi dari rasio utang aktual dari targetnya. Dari sini terlihat bahwa λt

merupakan angka perkiraan yang tidak hanya mencerminkan intensitas respons kebijakan terhadap deviasi surplus keseimbangan primer dan rasio utang dari targetnya pada waktu t

(persamaan 17), tetapi juga berbagai shocks yang mempengaruhi variabel-variabel ini, termasuk perubahan kebijakan pajak dan pengeluaran.

Perhitungan indikator sustainabilitas fiskal ini bermuara pada satu angka yang harus dibandingkan dengan angka threshold-nya 1. Namun demikian, satu angka indikator ini sudah mencakup semua indikator yang terkait untuk menilai sustainabilitas fiskal, seperti tingkat suku bunga riil, tingkat pertumbuhan, surplus keseimbangan primer, dan hutang publik saat ini dan targetnya. Jika surplus keseimbangan primer turun, maka λ juga turun (yang pada gilirannya akan memicu kenaikan β), dan IFS akan naik. Apabila IFS menembus batas threshold 1 dan berlangsung terus menerus, hal ini memberikan tanda bahwa sustainabilitas fiskal di masa yang akan datang bermasalah.

Dalam menghitung IFS terdapat tiga variabel target, yaitu d*, β*, dan ps*, tetapi yang harus ditentukan hanya dua variabel, yaitu d* dan β*, sedangkan ps* diperoleh dari perhitungan persamaan (16). Sensitivitas perubahan β* tidak terlalu signifikan dalam merubah angka indikator IFS, seperti yang dikemukakan oleh Croce dan Juan-Ramon (2003). Sebagai contoh, jika nilai β* dinaikkan dari 1,006 menjadi 1,01 untuk Amerika, rata-rata IFS akan naik dari 0,962 menjadi 0,970.

Dalam penelitian ini akan dilakukan beberapa exercise dengan menggunakan model Dinh (1999) dan model Croce dan Juan-Ramon (2003). Model Dinh akan digunakan untuk menganalisis data aktual periode tahun 1994-2002 untuk melihat kembali apakah dengan kondisi sekarang kondisi fiskal Indonesia sustainabel seperti yang dikemukakan oleh APK-DKM (2001). Sementara itu, model Croce-Juan-Ramon (2003) akan digunakan untuk menganalisis data aktual periode tahun 1994-2002 untuk memberikan gambaran alternatif kondisi fiskal Indonesia, dan data proyeksi periode tahun 2003-2009 untuk melihat sustainabilitas fiskal Indonesia dalam jangka menengah. Exercise menggunakan model ini akan dilakukan dengan menggunakan nilai β* rata-rata negara berkembang sebesar 1,03 dan

(13)

nilai d* yang merupakan angka rasio hutang terendah pada periode data, yaitu sebesar 20%. Dalam hal ini diasumsikan bahwa tidak ada tambahan utang domestik selama tahun pengamatan. (2003-2008).

4. Studi Literatur

Sustainabilitas fiskal dan utang luar negeri Indonesia merupakan topik yang sering disorot semenjak terjadinya krisis keuangan dan perbankan pada pertengahan 1997. Beberapa studi dan kajian tentang beban utang dan pengaruhnya terhadap sustainabilitas fiskal telah dilakukan oleh pihak intern Bank Indonesia maupun oleh pihak luar. Penelitian atau kajian yang dilakukan oleh Bank Indonesia antara lain:

1. Kesinambungan Fiskal Indonesia Jangka Menengah, Bagian APK-DKM, 2001.

2. Kajian Kemampuan Perekonomian Menanggung Beban Utang Luar Negeri, Bagian SEI-DKM, September, 2002.

Sementara itu, penelitian atau kajian yang dilakukan oleh pihak luar antara lain:

1. Debt Sustainability Exercise, Raden Pardede, Round Table Discussion PPSK BI, Juni, 2003.

2. Profil Utang Pemerintah, A. Fuad Rahmany, Round Table Discussion PPSK BI, Juni, 2003.

3. Apakah Fiskal Kita Berkesinambungan?, Dr. Mohamad Ikhsan, Seminar 50 tahun LPEM FEUI “Ekonomi Indonesia dalam Tanda Tanya”, Oktober, 2003.

4.1 Kesinambungan Fiskal Indonesia Jangka Menengah (APK-DKM, 2001)

Kajian yang dilakukan oleh APK-DKM menggunakan pendekatan intertemporal budget

constraint yang dikembangkan oleh Dinh (1999). Formula yang digunakan sama dengan

persamaan 11. Model ini diterapkan pada dua periode data series, yaitu periode 1996-2000 dengan data aktual dan periode 2001-2005 dengan data proyeksi MODBI (Model Bank Indonesia) dan PROPENAS (Program Pembangunan Nasional).

Untuk periode 1996-2000, fiskal pemerintah berada pada kondisi yang sustainabel, kecuali untuk tahun 1998 dan 1999 yang disebabkan adanya perubahan drastis kondisi makroekonomi karena munculnya krisis keuangan dan perbankan pada pertengahan 1997. (baca tabel 4.1).

Tabel 4.1 Sustainabilitas Fiskal Pemerintah Pusat, 1996-2000

Data Aktual

1996

1997

1998

1999

2000

Domestic Debt (% of GDP) 0.0 0.0 10.5 45.1 50.4

Domestic Real Intertest Rate 10.4 12.3 -28.4 24.0 3.3

Real GDP Growth 7.8 4.7 -13.1 0.8 4.8

(14)

Export to Output Ratio 27.2 28.0 35.8 24.3 26.9 External Debt (% of Export) 145.5 120.8 156.8 185.1 148.8

External Real Intertest Rate 2.7 4.1 3.5 2.8 4.1

Rupiah Change -9.6 5.9 48.3 -38.1 5.7

Export Growth 7.6 7.8 11.2 -31.6 16.1

Monetary Base Velocity 15.3 13.4 12.7 10.9 10.3

Inflation Rate 6.6 11.6 77.6 2.0 9.4

Growth of GDP Deflator 8.7 12.6 75.3 15.2 11.0

Sustainable Primary Balance -6.8% -0.5% 16.3% 7.3% -4.9% Actual Primary Balance 1) 3.2% 1.0% -0.1% 2.1% 4.6% Sustainability Adjustment 10.0% 1.5% -16.4% -5.2% 9.4%

1) Jika lebih kecil dari sustainable primary balance, berarti tidak sustainabel. Sumber: APK-DKM (2001)

Untuk periode 2001-2005, kondisi fiskal pemerintah secara umum diproyeksikan masih berada dalam kondisi yang sustainabel dengan batasan (passing grade) yang cukup longgar dengan angka yang negatif (baca tabel 4.2). Hal ini berarti bahwa defisit keseimbangan primer sampai batas passing grade masih dimungkinkan.

Tabel 4.2 Proyeksi Sustainabilitas Fiskal Pemerintah Pusat, 2001-2005

MODBI

PROPENAS

2001 2002 2003 2004 2005

2001 2002 2003 2004

Domestic Debt (% GDP) 42.7 40.7 35.4 30.2 30.2 45.2 40.7 35.4 30.2

Domestic Real Int. Rate 2.3 3.3 4.6 5.2 5.1 4.2 5.1 6.0 6.9

Real GDP Growth 3.4 3.9 4.8 5.0 5.4 5.0 5.5 6.5 6.5

Grant Share 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

Export to Output Ratio 28.4 27.9 27.3 27.2 27.4 27.8 27.5 26.6 25.9

External Debt (% Export) 130.8 105.9 98.5 94.8 98.2 122.2 116.2 97.9 88.4

External Real Int. Rate 1.8 -0.1 1.7 2.2 2.7 1.8 -0.1 1.7 2.2

Rupiah Change -3.2 -12.1 -6.5 -6.2 -6.1 -23.7 -15.6 -3.5 -2.6

Export Growth 9.3 2.1 2.5 4.5 6.4 8.6 4.2 3.0 3.8

Monetary Base Velocity 10.9 11.2 11.6 12.2 12.8 10.2 10.1 10.1 10.1

Inflation Rate 12.7 10.7 9.4 9.8 9.9 7.0 6.0 5.0 4.0

Growth of GDP Deflator 14.2 10.2 9.5 11.6 11.3 3.4 3.6 3.7 3.9

Sustainable Primary Balance -6.0% -5.7% -0.5% -3.5% -4.0% -11.5% -7.4% -2.5% -1.9%

(15)

Sustainability Adjustment 8.4% 8.7% 1.5% 7.5% 9.0% 14.0% 11.4% 7.7% 7.1% 1) Jika lebih kecil dari sustainable primary balance, berarti tidak sustainabel.

Sumber: APK-DKM (2001)

Sementara itu, keseimbangan primer aktual diproyeksikan akan selalu mengalami surplus dengan kecenderungan terus meningkat dari 2,3% sampai dengan 4,9% (Proyeksi MODBI) atau dari 2,4% sampai dengan 5,2% (Proyeksi PROPENAS). Secara umum, proyeksi PROPENAS lebih optimis dari pada proyeksi MODBI, terutama untuk tahun 2001 dan 2002. Kondisi ini tidak terlepas dari asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam memproyeksikan besaran-besaran ekonomi makro. Apabila angka aktual besaran ekonomi makro meleset cukup jauh dari angka proyeksinya, maka kondisi di atas tidak akan tercapai.

Lebih jauh lagi, proyeksi dilakukan untuk melihat tiga alternatif sumber pembiayaan, yaitu dari hutang domestik, hutang luar negeri, dan seignorage (baca tabel 4.3). Dari tabel 4.3 dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintah masih mempunyai keleluasaan gerak untuk meningkatkan hutang luar negeri karena angka r*+e-x mempunyai nilai negatif yang cukup besar, yang berarti bahwa pendapatan ekspor masih memiliki surplus yang cukup besar untuk membayar tambahan cicilan utang apabila pemerintah ingin menambah hutang luar negerinya. Sementara itu, sisi utang domestik tidak ada ruang kerak lagi dan seignorage tidak memungkinkan karena inflasi harus diturunkan.

Tabel 4.3 Penerapan Model Dinh untuk Kasus Indonesia

MODBI PROPENAS

2001 2002 2003 2004 2005 2001 2002 2003 2004

Utang Domestik

Domestic Real Int. Rate r 2.30 3.30 4.60 5.20 5.10 4.20 5.10 6.00 6.90

Real GDP Growth g 3.40 3.90 4.80 5.00 5.40 5.00 5.50 6.50 6.50

(r-g) -1.10 -0.60 -0.20 0.20 -0.30 -0.80 -0.40 -0.50 0.40

Utang Luar Negeri

External Real Int. Rate r* 1.80 -0.10 1.70 2.20 2.70 1.80 -0.10 1.70 2.20

Rupiah Change e -3.15 -12.13 -6.46 -6.20 -6.06 -23.69 -15.58 -3.52 -2.60 Export Growth x 9.30 2.10 2.50 4.50 6.40 8.56 4.18 3.04 3.80 (r*+e-x) -10.65 -14.33 -7.26 -8.50 -9.76 -30.45 -19.86 -4.86 -4.20 Seignorage Growth of GDP Deflator p 14.20 10.20 9.50 11.60 11.30 3.41 3.56 3.72 3.89 Real GDP Growth G 3.40 3.90 4.80 5.00 5.40 5.00 5.50 6.50 6.50 (p+g) 17.60 14.10 14.30 16.60 16.70 8.41 9.06 10.22 10.39 Sumber: APK-DKM (2001)

4.2 Kajian Kemampuan Perekonomian Menanggung Beban Utang Luar

Negeri (SEI-DKM, 2002)

Kajian yang dilakukan oleh SEI-DKM menggunakan pendekatan intertemporal solvency

(16)

(pemerintah dan swasta). Konsep pendekatan ini adalah bahwa suatu negara dianggap solvabel pada saat tertentu apabila discounted value dari surplus keseimbangan primer mencukupi untuk membayar utang luar negeri yang diakumulasi ke periode tertentu. Cara menghitungnya adalah dengan mengukur solvabilitas neraca transaksi berjalan pada periode tertentu, yang dilakukan dengan membandingkan posisi utang luar negeri pada tahun dasar (awal periode analisis) dengan penjumlahan antara akumulasi surplus/defisit neraca transaksi berjalan dan posisi utang pada akhir periode analisis. Selisih antara posisi utang pada tahun dasar dan pada akhir periode analisis menunjukkan beban pembayaran utang sepanjang periode analisis. Sementara itu, akumulasi surplus/defisit neraca transaksi berjalan yang merupakan pendapatan bagi suatu perekonomian mencerminkan kemampuan perekonomian tersebut untuk membayar utang luar negeri. Kondisi solvabel tercapai apabila kemampuan membayar melebihi beban pembayaran utang, demikian pula sebaliknya.

Dua model dengan pendekatan level dan rasio digunakan untuk menghitung solvabilitas neraca transaksi berjalan:

a. Pendekatan level: N t N k t k N k t D i T i D = ++ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + + ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + =

1 1 1 1 1 (20)

Dimana Dt adalah posisi utang luar negeri pada periode t, Tt adalah keseimbangan primer.

Persamaan di atas berarti bahwa dalam jangka panjang, dimana Dt+N =0, seluruh utang luar negeri harus sudah dibayar pada akhir periode ke-N, sehingga akumulasi dari present value keseimbangan neraca transaksi berjalan minimal harus sama dengan posisi utang saat ini (Dt).

b. Pendekatan rasio: N t N k t k N k t d r g tb r g d = ++ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + + + ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + + =

1 1 1 1 1 (21)

Dimana d adalah rasio utang luar negeri terhadap PDB, tb adalah rasio keseimbangan primer terhadap PDB, g adalah tingkat pertumbuhan riil PDB, dan r adalah tingkat suku bunga riil. Persamaan di atas berarti bahwa dalam jangka panjang, dimana dt+N =0, semakin tinggi tingkat pertumbuhan dibandingkan dengan tingkat suku bunga riil, maka semakin rendah surplus keseimbangan primer yang dibutuhkan untuk membayar utang. Selain itu, kondisi g > r juga dapat memenuhi kriteria solvabilitas meskipun discounted value dari jumlah surplus keseimbangan primer yang diharapkan negatif.

Model ini diterapkan pada periode 1998-2005 dengan data aktual untuk periode 1998-2001 dan data proyeksi MODBI untuk periode 2002-2005. Setelah dilakukan exercise dengan berbagai skenario diperoleh kesimpulan bahwa neraca transaksi berjalan Indonesia berada dalam kondisi yang tidak solvabel sampai dengan tahun 2005, dan adjustment ‘penyesuaian’ yang harus dilakukan untuk mencapai kondisi yang solvabel relatif berat.

4.3 Debt Sustainability Exercise, Raden Pardede, Round Table Discussion

PPSK BI, Juni, 2003.

Exercise sustainabilitas utang pemerintah yang dilakukan oleh Raden Pardede menggunakan pendekatan intertemporal budget constraint dengan persamaan:

(17)

) ( ) ) ( g r cl cr d m g b − − + − + ≤ π (22)

Dimana b adalah rasio bond terhadap PDB (penerbitan utang untuk pembiayaan defisit anggaran), r adalah tingkat suku bunga riil, g adalah laju pertumbuhan ekonomi, π adalah inflasi, m adalah rasio monetary base terhadap PDB, d adalah rasio defisit fiskal terhadap PDB, cr adalah rasio capital revenue terhadap PDB, dan cl adalah rasio contingent liabilities terhadap PDB. Persamaan di atas mengimplikasikan bahwa kondisi fiskal akan sustainabel apabila pemerintah tidak berhutang (b≤0), atau present value dari potensi penerimaan pemerintah lebih besar dari pada kewajiban utangnya. Apabila terjadi sebaliknya maka pemerintah dianggap telah berada dalam debt overhang ‘jebakan hutang’. Ini berarti bahwa pergerakan hutang negara tersebut harus stationer agar solvabilitas dapat tercapai, dan tidak terus bertambah secara eksplosive setiap kali terjadi shocks ‘goncangan’ terhadap ekonomi negara tersebut.

Setelah dilakukan berbagai simulasi dapat diambil kesimpulan bahwa sustainabilitas fiskal pemerintah Indonesia dapat tercapai dengan adanya kenaikan GDP yang lebih besar (minimal 5%), suku bunga yang lebih rendah, adanya surplus fiskal yang lebih besar, adanya pengeluaran modal yang lebih besar, dan goncangan terhadap perekonomian kecil. Dari kesimpulan ini pemerintah Indonesia disarankan terus berupaya agar terjadi peningkatan mobilisasi sumber-sumber dana domestik dan mengurangi hambatan-hambatan pertumbuhan ekonomi.

4.4 Profil Surat Utang Negara dan Kerangka Kebijakan Pengelolaannya,

A. Fuad Rahmany (RTD PPSK BI, 2003)

A. Fuad Rahmany melakukan analisa deskriptif mengenai pengelolaan Surat Utang Negara dalam rangka menjaga sustainabilitas fiskal pemerintah. Strategi utama yang diusulkan adalah dengan memperbesar surplus primer anggaran pemerintah melalui peningkatan pendapatan pajak (rasio pajak) dan non-pajak, dan penghematan belanja dengan meningkatkan efisiensi sistem dan mekanisme anggaran, dan mengurangi subsidi dan pengeluaran yang kurang produktif secara bertahap. Surplus primer anggaran pemerintah ini pada akhirnya dapat dipergunakan untuk mengurangi pokok utang pemerintah.

4.5 Apakah Fiskal Kita Berkesinambungan?, Dr. Mohamad Ikhsan

(Seminar 50 tahun LPEM FEUI “Ekonomi Indonesia dalam Tanda

Tanya”, Oktober 2003)

Kajian yang dilakukan oleh Mohamad Ikhsan juga menggunakan pendekatan intertemporal

solvency dan intertemporal budget constraint yang dikembangkan oleh Dinh (1999), dengan

menggunakan persamaan 4 dan 11. Model ini diterapkan pada data series periode 2000-2007. Selain itu, model Croce dan Juan-Ramon (2003) juga digunakan untuk melihat apakah penurunan rasio utang menjadi 60% dari PDB dapat dicapai. Persamaan yang digunakan adalah persamaan 19, yang kemudian dielaborasi menjadi:

(

)

(

1 *

)

1 * * 1 * d g r ps ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − + + = (23)

(18)

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kondisi fiskal pemerintah dalam keadaan yang sustainabel dalam jangka menengah, sepanjang kondisi makro ekonomi terjamin. Namun, dari pengujian stress test dan perhitungan contingent liability menunjukkan bahwa keadaan fiskal ini rentan terhadap goncangan eksternal. Perubahan dalam faktor-faktor eksternal secara sensitif mempengaruhi sustainabilitas fiskal. Selain itu, target penurunan rasio utang menjadi 60% dari PDB dapat tercapai pada tahun 2007.

5. Analisis Sustainabilitas Fiskal Indonesia

5.1 Uji Sustainabilitas

Uji sustainabilitas dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan yaitu dengan menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh Dinh dengan melakukan uji sustainabilitas secara tahunan. Sedangkan uji sustainabilitas yang kedua dengan menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh Enzo Croce dan V. Hugo Juan-Ramon secara kuartalan. Data yang digunakan adalah data aktual periode 1994-2002.

5.1.1 Uji Sustainabilitas dengan Model Dinh

Pengujian dengan menggunakan model Dinh dilakukan selama periode 1994-2002. Dari hasil pengujian terhadap data aktual 1994-2002, terlihat bahwa kondisi fiskal cukup sustainabel pada periode 1994-1997, namun memburuk menjadi tidak sustainabel pada tahun 1998-1999 dan tahun 2001.

Tabel 5.1 Sustainabilitas Fiskal Periode 1994-2002

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

Domestic Real Int. Rate 3.60 4.48 10.40 12.30 (7.89) 24.00 8.77 2.95 3.31

Real GDP Growth 7.54 8.22 7.82 4.70 (13.13) 0.79 4.90 3.32 3.82

Grant Share - - -

External Real Int. Rate 2.50 2.60 2.70 4.10 3.50 2.80 4.10 3.78 1.80

Rupiah Change 3.06 6.65 (9.60) 5.90 48.30 (38.10) 5.70 8.39 (14.04)

Export Growth 9.24 17.98 7.60 7.80 11.20 (31.60) 16.10 (12.30) 2.46

Monetary Base Velocity 14.00 14.50 15.30 13.40 12.70 10.90 10.30 10.90 11.20

Inflation Rate 8.51 9.44 6.60 11.60 77.60 2.01 9.35 12.55 10.03 Growth of GDP Deflator 7.00 8.00 8.70 12.57 75.27 15.20 11.00 10.98 7.21 r-g (3.94) (3.74) 2.58 7.60 5.24 23.21 3.87 (0.37) (0.51) r*+e-x (3.68) (8.73) (14.50) 2.20 40.60 (3.70) (6.30) 24.47 (14.70) p+g 14.54 16.22 16.52 17.27 62.14 15.99 15.90 14.29 11.03 Pst -9% 3% 3% 18% 17% 0% 3% 3% 4%

(19)

ps* -8% -8% -2% 9% 30% 39% 0% 10% -8%

Sustainability Adjustmt 1% -12% -5% -9% 14% 39% -3% 7% -11%

Penyebab kondisi fiskal yang sustainabel tersebut dari sisi makroekonomi disebabkan karena faktor eksternal dimana laju pertumbuhan ekspor masih lebih besar daripada laju pertumbuhan suku bunga riil serta depresiasi nilai tukar rupiah. Pengaruh eksternal inilah yang mendorong fiskal pada kondisi yang sustainabel.

Sedangkan penyebab tidak sustaibalelnya kondisi fiskal pada periode 1998-1999 dapat dilihat bahwa depresiasi nilai tukar rupiah masih jauh lebih besar daripada pertumbuhan ekspor, sehingga beban utang luar negeri dalam nilai nominal menjadi lebih besar jika dibandingkan dengan kemampuan ekspor untuk menutupi beban utang luar negeri.

Hasil ini sejalan dengan hasil yang dikemukakan oleh APK-DKM, dengan menggunakan pendekatan yang sama terjadi kondisi fiskal pemerintah yang tidak sustainable pada periode 1998 dan 1999. Sedangkan pada periode 2001, berbeda, namun data yang digunakan pada tahun 2001 adalah data aktual, sedangkan yang digunakan oleh APK-DKM masih menggunakan data proyeksi.

5.1.2 Uji Sustainabilitas dengan Model Croce dan Juan-Ramon

Seperti telah dipaparkan didalam landasan teori, bahwa uji sustainbilitas yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan Croce dan Juan-Ramon ini dimaksudkan untuk melakukan monitoring terhadap kesinambungan fiskal dimasa lalu. Sehingga pemerintah dapat melihat

trend ‘kecenderungan’ perilaku fiskal apakah kearah sustainabel atau sebaliknya. Apabila

kecenderungan perilaku fiskal mengarah kepada kondisi tidak sustainabel, pemerintah dapat segera melakukan respon kebijakan untuk mendorong fiskal kembali kearah sustainabel. Untuk melihat kesinambungan fiskal pada periode 1994.01 – 2002.04, rasio utang terhadap output nasional yang digunakan adalah sebesar 20%. Seperti telah disebutkan di dalam landasan teori rasio utang pemerintah (d*) harus berada diantara 0<d*<dt. Selama periode pengamatan rasio utang pemerintah terhadap output yang paling kecil adalah sebesar 22%. Dalam hal ini rasio utang ini menggambarkan target atau kebijakan pemerintah.

Periode 1994-1996

Selama periode 1994-1996, kondisi fiskal pemerintah menunjukkan kecenderungan yang tidak sustainabel, terutama di awal tahun 1994. Namun, pada pertengahan tahun 1995 cenderung kembali ke arah sustainabel. Penyebab dari tidak sustainabelnya kondisi keuangan pemerintah ini, lebih disebabkan karena faktor fiskal. Khususnya dari sisi pengeluaran yang meningkat cukup pesat dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan pengeluran ini terutama disebabkan kerena peningkatan gaji pegawai negeri sipil serta ABRI, serta para peneriman tunjangan pensiun.

Periode 1994-1996

Sedangkan peningkatan dari penerimaan tidak mampu mengimbangi peningkatan dari sisi pengeluaran. Perubahaan undang-undang perpajakan pada tahun 1994, turut memicu rendahnya penerimaan, khususnya penerimaan dari pajak penghasilan. Salah satu butir dari

(20)

tarif pajak penghasilan ini tentu saja mempengaruhi penerimaan, karena kontribusi pajak penghasilan terhadap total penerimaan dalam negeri cukup besar, pangsanya sudah mencapai 21%.

Tabel 5.2 Rasio Penerimaan Dalam Negeri dan Pengeluaran Pemerintah Periode 1994-1996 (% GDP)

1994

1995

1996

Keterangan

I

II III IV

I

II III IV

I

II III IV

Penerimaan dlm Negeri 6.1% 3.3% 4.0% 4.6% 6.2% 3.6% 3.7% 3.9% 5.1% 3.7% 3.5% 3.8%

Pajak 1.7% 0.9% 1.1% 1.1% 1.9% 1.1% 1.1% 1.2% 1.3% 1.3% 1.1% 1.1%

Migas 0.3% 0.6% 0.8% 0.6% 1.0% 0.6% 0.6% 0.6% 0.8% 0.6% 0.6% 0.7%

Pengeluaran 11.4% 6.0% 7.7% 8.0% 6.3% 3.3% 3.8% 4.7% 5.8% 3.4% 4.7% 4.3%

Belanja Pegawai 0.6% 0.9% 0.8% 0.8% 0.8% 0.9% 0.7% 0.7% 0.5% 0.8% 0.7% 0.7%

Cicilan dan bunga utang 2.1% 0.8% 1.4% 1.4% 1.2% 0.9% 1.1% 1.0% 1.9% 1.0% 1.0% 1.2%

Periode 1997-1999

Pada awal periode 1997, kondisi fiskal pemerintah cenderung sustainabel, namun seiring dengan krisis yang terjadi pada pertengahan tahun 1997, kondisi fiskal juga cenderung menjadi tidak sustainabel. Namun, dapat dikatakan bahwa selama periode tersebut kondisi fiskal cenderung kearah sustainabel. Hal ini dapat dilihat dari frekuensi tidak sustainabel pada periode tersebut hanya mencapai 25%, atau hanya terjadi 3 kali dalam periode tersebut yaitu pada kuartal II dan III tahun 1998 dan periode III tahun 1999. Jika dibandingkan dengan frekensi sustainabel yang mencapai 75%.

Tabel 5.3 Rasio Penerimaan Dalam Negeri dan Pengeluaran Pemerintah Periode 1997-1999 (% of GDP)

1997

1998

1999

Keterangan

I

II III IV

I

II III IV

I

II III IV

Penerimaan dlm Negeri 5.7 3.5 3.8 4.0 6.3 3.6 5.4 2.4 4.1 3.2 4.7 4.7 Pajak 3.2 2.3 2.8 2.9 3.3 2.6 3.1 1.3 2.2 2.5 2.3 0.0 Non Pajak 3.4 1.6 1.5 1.6 3.7 1.5 5.1 1.7 4.5 2.4 2.8 0.0 Pengeluaran 7.1 2.7 3.5 4.1 8.8 4.0 6.8 4.8 6.9 2.9 3.9 0.9 Rutin' 4.2 2.0 2.2 2.2 6.8 3.2 5.3 2.9 4.1 2.5 3.4 0.0 Pembangunan 2.9 0.7 1.3 1.9 2.0 0.8 1.5 1.8 2.8 0.3 0.4 0.0 Bunga Utang 2.0 0.5 0.8 0.9 2.6 1.7 2.2 1.0 1.3 0.8 1.3 0.2

Penyebab dari kondisi fiskal yang sustainabel pada periode tersebut lebih didorong oleh sisi fiskal dibandingkan dengan kondisi makroekonomi. Tingginya suku bunga dalam negeri, pertumbuhan ekonomi, dan nilai tukar yang mengalami depresiasi dengan amat tajamnya, direspon dengan kebijakan fiskal yang sangat ketat. Hal ini tampak bahwa porsi anggaran pembangunan selama periode tersebut sangat kecil dibandingkan dengan periode

(21)

sebelumnya, bahkan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan pengeluaran rutin pemerintah. Sedangkan dari sisi penerimaan, kondisi makro ekonomi yang menurun dengan tajam membawa dampak kepada penerimaan, khususnya dari pajak yang selama ini memberikan kontribusi yang paling besar kepada penerimaan pemerintah.

Periode 2000-2002

Pada periode ini, kondisi makroekonomi cenderung stabil, dari sisi fiskal pun terjadi perbaikan khususnya beban pembayaran pinjaman luar negeri yang berhasil di-reschedule, sehingga tidak terlalu memberatkan anggaran pengeluaran pemerintah. Sehingga secara keseluruhan, kondisi fiskal pada periode ini menunjukkan kecenderungan yang sustainabel, meskipun pada level IFS yang mendekati 1.

Periode 2003-2009

Berdasarkan hasil pengamatan atas kecenderungan perilaku fiskal selama periode 1994.01-2002.04, dengan asumsi target rasio utang terhadap output nasional yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 20% maka kondisi fiskal Indonesia pada periode tersebut cenderung berada dalam kondisi yang sustainabel. Hal ini tampak bahwa frekuensi kondisi fiskal sustainabel mencapai 77% sedangkan frekuensi unsustainable hanya mencapai 23%. Berdasarkan pendekatan yang sama, dengan menggunakan target rasio utang terhadap output nasional sebesar 20%, dan menggunakan data-data proyeksi APBN serta makroekonomi dari Bappenas, maka proyeksi kondisi fiskal Indonesia sampai dengan tahun 2009 masih tetap sustainabel.

Grafik 5.1 Indikator Sustaibalitas Keuangan Indonesia Periode 2003-2009

5.2 Analisis Karakteristik Dasar Indikator Sustainabilitas Keuangan

Analisis ini dimaksudkan untuk melihat karakteristik dasar dari Indikator Sustainabilitas Keuangan yang dihasilkan. Dalam hal ini analisis karakteristik dasar mencakup analisis terhadap rata-rata dan standar deviasi dari IFS berdasarkan beberapa periode.

0.6 1.0 I 1994 II III IV I 1995 II III IV I 1996 II III IV I 1997 II III IV I 1998 II III IV I 1999 II III IV I 2000 II III IV

(22)

5.2.1 Uji Kestasioneran

Sebelum mengkaji karaktersitik dasar suatu variabel, perlu dilakukan pengujian kestasioneran variabel tersebut melalui uji unit-root, yaitu pengujian untuk melihat apakah proses perkembangan suatu variabel memiliki unit-root atau tidak. Apabila proses perkembangan suatu variabel memiliki unit-root, maka variabel tersebut bersifat tidak stasioner, dan sebaliknya. Secara teknis, variabel yang bersifat stasioner mempunyai sifat utama yaitu perkembangannya bersifat constant mean dan time invariant, serta mempunyai pola

correlogram yang cepat lenyap (Enders, 1995), yang berarti bahwa perkembangan variabel

tersebut akan terjadi di sekitar nilai rata-ratanya dengan variasi yang relatif sama dari waktu ke waktu.

Uji unit-root lain yang banyak dilakukan adalah menggunakan uji Augmented Dickey-Fuller

(ADF). Spesifikasi pengujian yang digunakan adalah mencakup konstanta dan tidak ada trend

‘kecenderungan’. Sementara itu, autoregressive lag yang ditetapkan adalah 4 periode. Tabel 5.4 mengenai hasil pengujian melalui uji ADF memperlihatkan bahwa hipotesis adanya unit-root pada perkembangan masing-masing variabel ditolak, yang menyimpulkan bahwa pada semua level variable tersebut stasioner.

Tabel 5.4 Uji Unit Root

t-statistik

AIC

ADF 1 -3.3842 -1.092499

ADF 2 -3.5919 -1.101426

ADF 3 -2.5725 -1.044943

ADF 4 -2.3468 -0.942455

Hasil uji stasioner itu juga dibuktikan dengan kondisi mean dan deviasi yang terjadi menunjukkan bahwa pola IFS cenderung mendekati rata-ratanya. Pada periode 2000-2002, bahkan standar deviasi pun sangat kecil hanya 0,01. Hal ini menunjukkan bahwa variasi IFS pada periode tersebut sangat sedikit dan cenderung berada di wilayah rata-ratanya.

5.2.2 Penaksiran Persistensi Pengaruh Shocks

Sedangkan analisis persistensi ditujukan untuk mengukur sampai sejauhmana persistensi penagruh shocks yang terjadi terhadap perkembangan suatu variabel. Untuk variabel yang tidak stasioner (non-stasionary), pengaruh suatu shocks yang terjadi umumnya bersifat langgeng, dan sebaliknya.

Pendekatan yang digunakan untuk menaksir persistensi perkembangan suatu series terhadap pengaruh shocks adalah persistence measure (Campbell and Mankiw, 1987) yang didasarkan pada taksiran parameter model time-series ARIMA. Representasi model ARIMA(p,d,q) adalah:

yt= µ + φ1 yt-1 +φ2 yt-2 + … + φp yt-p + εt + θ1εt-1 + … + θqεt-q

dimana φi adalah parameter autoregressive (lag 1 sampai dengan p) dari series yang

bersangkutan, sementara θi merupakan parameter moving average (lag 1 sampai dengan q)

dari residual, εt.

(23)

d* = 20%

Asumsi :

ß* = 1,03

Mean 94-02 0.92 SD 94-02 0.31 Mean 94-96 0.99 Mean 97-98 0.81 Mean 00-02 0.97 SD 94-96 0.44 SD 97-99 0.30 SD 00-02 0.01

Dengan asumsi suatu series mempunyai proses ARIMA(p,d,q), maka parameter persistensi dihitung sebagai: p q Pcm φ φ θ θ − − − + + + = ... 1 ... 1 1 1

Untuk perkembangan series yang memiliki proses random walk, Pcm = 1. Perlu dikemukakan bahwa dalam menentukan proses ARIMA yang mencerminkan perilaku series

dalam domain waktu, kriteria pemilihan “spesifikasi terbaik” dilakukan dengan berdasarkan pada statistik/kriteria informasi, yaitu Akaike Information Criterion (AIC) dan/atau Scwartz

Bayesian Criterion (SBC).

Hasil penaksiran model ARIMA untuk variable IFS adalah sebagai berikut :

yt = 0.894 + 0.481 yt-1 + 0.453 et-1 + 0.751 et-2 1 75 , 7 480504 , 0 1 750639 , 0 452798 , 0 1 = > − + + = Pcm

Dari hasil perhitungan di atas, dapat disimpulkan bahwa variable IFS memiliki tingkat persistensi yang sangat tinggi.

5.2.3 Benchmarking

Setelah dilakukan beberapa pengujian di atas, selanjutnya dapat dilakukan suatu

benchmarking untuk mengetahui pada range berapa primary balance ‘keseimbangan primer’

itu dapat ditoleransi. Dengan mempertimbangkan beberapa skenario, baik dengan menggunakan standar deviasi pada periode 1994-2002 atau standar deviasi pada periode 2000-2002, diperoleh bahwa kondisi keseimbangan primer yang dapat ditolerir dalam pilihan yang sangat longgar. Artinya dengan pencapaian target rasio utang pemerintah terhadap output nasional sebesar 20%, keseimbangan primer yang dapat ditolerir berkisar pada defisit

(24)

pertumbuhan dalam jangka panjang sebesar 5% dengan tingkat suku bunga riil jangka panjang sebesar 3%.

Tabel 5.6 Simulasi Keseimbangan Primer

Simulasi

1

2

3

4

5

Pertumbuhan Ekonomi 4 4.5 5 5.5 6

Tingkat suku bunga riil 4 3.5 3 6 7

S* (IFS=1) 0.0% -0.2% -0.4% 0.1% 0.2% S* (1 SD) -6.2% -6.4% -6.6% -6.1% -6.0% S* (0.5 SD) -3.1% -3.3% -3.5% -3.0% -2.9% S* (M 00-02) -0.2% -0.4% -0.6% -0.1% 0.0%

5. Penutup

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan terhadap sustainabilitas keuangan pemerintah dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

• Dengan menggunakan dua pendekatan yaitu (1) Dinh (1999), kondisi keuangan pemerintah dilihat secara tahunan cenderung sustainabel. Hal yang sama juga diperoleh dengan menggunakan pendekatan dari (2) Croce-Juan Ramon (2003), dimana pemerintah menetapkan suatu policy target yaitu rasio utang pemerintah terhadap output nasional menjadi sebesar 20% di masa yang akan datang, kondisi keuangan pemerintah menunjukkan kecenderungan yang sustainabel. Meskipun pendekatan yang kedua ini tidak berbeda dengan pendekatan yang pada umumnya digunakan untuk menganalisis sustainabilitas keuangan pemerintah, dan sama-sama diturunkan dari persamaan

intermporal budget constraint, pendekatan ini lebih menekankan kepada policy yang

diinginkan pemerintah untuk mencapai kondisi keuangan yang sustainabel, dengan monitoring kecenderungannya dari waktu ke waktu.

• Hasil analisis dengan menggunakan pendekatan kedua menunjukkan bahwa kondisi keuangan pemerintah dalam jangka menengah juga cenderung berada dalam kondisi yang sustainabel.

• Hasil review terhadap beberapa literatur mengenai kajian terhadap kondisi keuangan pemerintah yang sudah dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan, menunjukkan kecenderungan yang sama bahwa kondisi fiskal Indonesia berada dalam kondisi yang sustainabel.

• Namun demikian, berdasarkan uji persistensi dari angka Indicator of Financial

Sustainability yang dihasilkan, diperoleh bahwa meskipun keuangan pemerintah berada

dalam kondisi yang sustainabel tapi cukup rentan terhadap shocks ‘goncangan’ yang akan terjadi dan cukup langgeng. Hal ini tampak bahwa goncangan pada periode kuartal tertentu tidak langsung direspon pada periode berikutnya.

Gambar

Tabel 1.1 Utang Pemerintah Beberapa Negara HIPC, Akhir 2001 (% PDB)  Negara  Utang LN  Utang DN  Total Utang
Tabel 4.1 Sustainabilitas Fiskal Pemerintah Pusat, 1996-2000  Data Aktual   1996  1997  1998  1999  2000
Tabel 4.2 Proyeksi Sustainabilitas Fiskal Pemerintah Pusat, 2001-2005
Tabel 5.1 Sustainabilitas Fiskal Periode 1994-2002
+5

Referensi

Dokumen terkait

Peningkatan harga CPO dunia pada periode 1992- 1996 dan 1998-2001 menyebabkan peningkatan penerimaan devisa dari ekspor CPO lebih besar daripada penurunan penerimaan devisa

Berdasarkan hasil analisis data diatas pada penelitian pengaruh inflasi, nilai tukar, dan suku bunga terhadap utang luar negeri pemerintah Indonesia periode Januari 2014 sampai

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan Nilai Ekspor neto ,Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai tukar rupiah terhadap US dollar di Indonesia, selama periode tahun

dari surplus atau defisit fiskal pemerintah, yang bermanfaat untuk menentukan dampak moneter otoritas moneter terhadap fiskal pemerintah atau koordinasi antara kebijakan fiskal

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan Nilai Ekspor neto ,Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai tukar rupiah terhadap US dollar di Indonesia, selama periode tahun

Defisit anggaran yang terjadi pasca krisis, yaitu pada periode 1998 dan 1999 terutama disebabkan oleh meningkatnya pembayaran bunga utang dan subsidi yang disebabkan oleh

Peningkatan harga CPO dunia pada periode 1992- 1996 dan 1998-2001 menyebabkan peningkatan penerimaan devisa dari ekspor CPO lebih besar daripada penurunan penerimaan devisa