• Tidak ada hasil yang ditemukan

untuk menciptakan stabilitas ekonomi makro sebagai prasyarat dalam rangka perekonomian di akhir dekade 1990-an. Kondisi makro ekonomi Indonesia yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "untuk menciptakan stabilitas ekonomi makro sebagai prasyarat dalam rangka perekonomian di akhir dekade 1990-an. Kondisi makro ekonomi Indonesia yang"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

1 I. PENDAHULUAN

Permasalahan ekonomi di era globalisasi semakin kompleks. Tantangan untuk menciptakan stabilitas ekonomi makro sebagai prasyarat dalam rangka mencapai tujuan perekonomian Indonesia semakin beragam, terlebih sejak krisis perekonomian di akhir dekade 1990-an. Kondisi makro ekonomi Indonesia yang senantiasa berfluktuasi dan cenderung tidak stabil telah mendorong beberapa pergeseran pemikiran dan implementasi kebijakan ekonomi makro.

Data empiris menunjukan bahwa sejak krisis ekonomi yang terjadi pada akhir tahun 1990-an nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika terus berfluktuasi dan cenderung mengalami depresiasi. Sebelum dihantam krisis perekonomian nilai tukar rupiah berada di angka Rp. 2.909 per US$ pada tahun 1997. Kemudian rupiah terdepresiasi hingga mencapai angka Rp 10.013 pada tahun 1998 dan terus berfluktuasi dan memiliki kecenderungan terdepresiasi hingga saat ini.

Meski beberapa kali mengalami apresiasi namun nilai tukar rupiah tidak kembali pada angka fundamentalnya seperti sebelum krisis 1997/98.

Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika mulai tahun 1997 dimuat pada Grafik 1.1

(2)

2

Grafik 1. 1 Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika Tahun 1997-2015

(Sumber : IMF, diolah)

Dalam upaya mencapai tujuan perekonomian, pemerintah Indonesia terus melaksanakan pembangunan di segala bidang. Alat ukur keberhasilan di bidang pembangunan ekonomi antara lain adalah: peningkatan pertumbuhan ekonomi, inflasi yang terkendali, tingkat pengangguran yang rendah dan neraca pembayaran yang sehat (Madjid, 2007).

Adanya keterbukaan perekonomian memiliki dampak pada neraca pembayaran suatu negara yang menyangkut arus perdagangan dan lalu lintas modal terhadap luar negeri. Negara dengan perekonomian yang terbuka akan menghadapi permasalahan keseimbangan, yaitu keseimbangan internal dan keseimbangan eksternal. Keseimbangan eksternal suatu negara dapat dipengaruhi oleh kebijakan nilai tukar yang ditujukan mempertahankan keseimbangan neraca pembayaran. Oleh karena itu dalam menetapkan arah kebijakan nilai tukar, suatu

(3)

3

negara akan mengutamakan upaya untuk menjaga daya saing ekspor dan menekan impor untuk mengurangi defisit transaksi berjalan (Darwanto 2014).

Berdasarkan konsep purchasing power parity (PPP), harga barang-barang ekspor dan impor suatu negara dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang asing. Devaluasi atau depresiasi nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang asing mengakibatkan harga barang impor lebih mahal dan harga barang ekspor menjadi lebih murah. Sebaliknya, apabila kebijakan revaluasi atau apresiasi dilakukan harga barang impor menjadi lebih murah dan harga barang ekspor lebih mahal ,Simorangkir & Suseno (2004).

Grafik 1. 2 Nilai Ekspor dan Impor Non-Migas Indonesia Tahun 1997-2015

(Sumber : Bank Indonesia, diolah)

Salah satu cara untuk melihat kondisi makro ekonomi Indonesia saat terjadinya depresiasi nilai tukar adalah dengan melihat ekspor dan impor sebagai salah satu faktor penting dalam menilai kinerja perekonomian. Grafik 1.2 menunjukkan kondisi ekspor dan impor non migas Indonesia pada tahun 1997- 2015. Dari grafik diatas terlihat bahwa terjadi perubahan impor yang cukup

(4)

4

signifikan pada tahun 1997-1998, hal tersebut berkaitan dengan terjadinya kriris ekonomi yang melanda. Meski demikian pasca krisis 1997/98 ekspor dan impor non-migas Indonesia terus mengalami fluktuasi dan memiliki kecenderungan meningkat. Perubahan ekspor dan impor yang cukup signifikan kembali lagi terjadi pada tahun 2008/2009. Dimana diketahui bahwa pada periode waktu tersebut terjadi krisis keuangan global akibat krisis kredit perumahan Amerika Serikat atau yang populer dengan sebutan “Subprime Mortgage”.

Dengan melihat kondisi perekonomian yang terus berfluktuasi dan tanpa kepastian diperlukan campur tangan pemerintah untuk mengatasi masalah perekonomian yang dihadapi. Alat pemerintah untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi adalah dengan menggunakan kebijakan fiskal dan moneter. Kebijakan fiskal tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tabel 1.1 memuat perkembangan penerimaan dan pengeluaran pemerintah pusat pasca krisis ekonomi 1997/98 yakni dari tahun 1999 sampai dengan 2015 (dalam miliar rupiah) sebagai cerminan perkembangan kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah.

(5)

5

Tabel 1. 1 Perkembangan Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Tahun 1999-2015 (miliar rupiah)

(Sumber : Bank Indonesia, diolah)

Dari Tabel 1.1 dapat disimpulkan bahwa secara umum dari tahun 1999 sampai 2015 pemerintah Indonesia cenderung menerapkan kebijakan fiskal ekspansif. Hal tersebut terlihat dari komposisi APBN yang menunjukan bahwa sisi pengeluaran lebih besar dibandingkan dengan sisi penerimaan.

Dari sisi moneter, kebijakan moneter dilakukan oleh Bank Indonesia melalui pengendalian tingkat suku bunga. Tabel 1.2 memuat perubahan tingkat suku bunga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia pasca krisis ekonomi 1997/98 mulai tahun 1999 sampai dengan 2015.

(6)

6

Grafik 1. 3 Perubahan Kebijakan Suku Bunga Bank Indonesia Tahun 1999- 2015

(Sumber : Bank Indonesia, diolah)

Berdasarkan Tabel 1.3 dapat diketahui bahwa penetapan tingkat suku bunga oleh Bank Indonesia sangat fluktuatif. Terdapat beberapa kali diterapkan kebijakan moneter ekspansif maupun kontraktif. Dalam dunia nyata, pilihan kebijakan mana yang lebih tepat antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter senantiasa terus menjadi bahan perdebatan klasik. Bersamaan dengan itu telah dilakukan penelitian-penelitian dalam rangka memilih kebijakan yang lebih efektif, namun penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan yang berbeda untuk masing-masing negara dan waktu penelitian. Sampai sekarang perdebatan tersebut terus berlangsung, perbedaan mazhab pemikiran menghasilkan solusi yang berbeda (Madjid, 2007).

(7)

7

Lalu apakah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sudah tepat? Pertanyaan ini penting untuk ditanyakan, mengingat riset yang lain seperti riset di Venezuela (Hsing, 2005), Mexico (Sidaoui, et al, 2010), dan di 66 negara berkembang lain (Fetai, 2013) juga mempertanyakan hal yang sama, yaitu ketika ada pergerakan nilai tukar yang cenderung terdepresiasi lalu pemerintah merespon dengan kebijakan fiskal dan moneter maka dampak apa yang akan terjadi.

Hnatkovska,et al, (2014) menemukan bahwa dengan adanya kebijakan moneter kontraktif akan berdampak terhadap apresiasi nilai tukar nominal bagi negara maju, sedangkan bagi negara berkembang justru akan menyebabkan nilai tukar nominal terdepresiasi.

1.1 Rumusan Masalah

Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, akses perekonomian terhadap dunia secara luas tentu tidak dapat dibendung. Kondisi makro ekonomi Indonesia yang senantiasa berfluktuasi dan cenderung tidak stabil menjadi tantangan tersendiri bagi para policy maker untuk mencapai tujuan perekonomian di tengah globalisasi. Dalam jangka pendek, diperlukan kebijakan yang tepat untuk menstabilkan perekonomian agar berjalan pada arah yang tepat.

Keseimbangan perekonomian jangka pendek dipengaruhi interaksi antara pasar uang dan pasar barang. Dalam hal ini pasar barang ditentukan oleh kebijakan fiskal dan pasar uang ditentukan oleh kebijakan moneter.

(8)

8

Berdasarkan permasalahan tersebut maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah Kombinasi Kebijakan Fiskal kontraktif dan Kebijakan Moneter ekspansif baik bagi perekonomian Indonesia?

2. Dalam perspektif jangka pendek kebijakan apakah yang tepat untuk menstabilkan perekonomian Indonesia ?

3. Apakah perubahan kebijakan suku bunga Bank Indonesia sudah tepat?

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan :

1. Mengetahui apakah kombinasi kebijakan fiskal kontraktif dan kebijakan moneter ekspansif baik bagi perekonomian Indonesia 2. Mengetahui dalam jangka pendek kebijakan apa yang tepat bagi

perekonomian Indonesia

3. Mengetahui apakah perubahan tingkat suku bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia sudah tepat bagi perekonomian Indonesia.

Manfaat :

1. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan terhadap khasanah ilmu pengetahuan dengan menambah literatur terkait peran kebijakan fiskal dan moneter terhadap perekonomian Indonesia.

(9)

9

2. Dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah maupun otoritas moneter dalam menentukan kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia

II.TEORI

2.1 Model Mundell-Fleming

Model Mundell-Fleming merupakan sebuah model yang dilukiskan sebagai “model kebijakan dominan untuk mempelajari kebijakan moneter dan fiskal pada perekonomian terbuka”. Tidak jauh berbeda dengan model IS-LM, model ini menekankan interaksi antara pasar barang dan pasar uang. Ketika menjalankan kebijakan moneter dan fiskal, para pembuat kebijakan sering mengamati apa yang terjadi di mancanegara. Meskipun kemakmuran domestik merupakan tujuan satu-satunya, namun mereka perlu mempertimbangkan perkembangan di mancanegara. Arus barang dan jasa internasional serta aliran modal internasional bisa mempengaruhi perekonomian dalam banyak cara. Para pembuat keputusan yang mengabaikan pengaruh ini akan menghadapi bahaya (Mankiw, 2007).

Mankiw (2007) menyatakan bahwa perbedaan yang penting antara perekonomian terbuka dan perekonomian tertutup adalah bahwa, dalam perekonomian terbuka, pengeluaran suatu negara selama satu periode tertentu tidak perlu sama dengan yang mereka hasilkan dari memproduksi barang dan jasa.

Suatu negara bisa melakukan pengeluaran lebih banyak ketimbang dari

(10)

10

produksinya dengan meminjam dari luar negeri, atau bisa melakukan pengeluaran lebih kecil dari produksinya dan memberi pinjaman pada negara lain. Dalam perekonomian tertutup, seluruh output dijual di pasar domestik dan pengeluaran dibagi menjadi tiga komponen: konsumsi, investasi dan pengeluaran pemerintah.

Sementara dalam perekonomian terbuka sebagian output dijual untuk domestik dan sebagian lagi diekspor ke luar negeri.

Dari persamaan identitas : Y = C + I + G + (EX - IM) ...

(2.1)

Dapat diubah menjadi (EX - IM) = Y- (C + I + G) ...

(2.2)

Ekspor Neto = Output – Pengeluaran Domestik

Menurut Mankiw (2007) persamaan ini menunjukkan bahwa dalam perekonomian terbuka, pengeluaran domestik tidak perlu sama dengan output barang dan jasa. Sekali lagi menurut Mankiw (2007) jika output melebihi pengeluaran domestik, kita mengekspor perbedaan itu: ekspor neto adalah positif.

Jika output lebih kecil dari pengeluaran domestik, kita mengimpor perbedaan itu : ekspor neto adalah negatif.

Dari : Y – C – G = S ... (2.3)

Dimana S adalah tabungan nasional.

Didapatkan identitas untuk sistem perekonomian terbuka

(11)

11

S = I + (EX - IM) ... (2.4)

Menjadi : S – I = (EX – IM) ... (2.5)

Mankiw (2007) menambahkan dari persamaan (2.5) di atas, EX – IM adalah neraca perdagangan (trade balance), S – I adalah arus modal keluar neto (net capital outflow), terkadang disebut juga investasi asing neto (net foreign investment). Mankiw (2007) mengatakan arus modal keluar neto adalah jumlah dana yang dipinjamkan penduduk domestik ke luar negeri dikurangi jumlah dana yang dipinjamkan orang asing kepada kita. Jika arus modal keluar neto adalah positif, maka tabungan nasional kita melebihi investasi dan kita meminjamkannya kepada pihak asing. Sebaliknya jika arus modal keluar neto adalah negatif, perekonomian kita mengalami arus modal masuk : investasi melebihi tabungan, dan perekonomian membiayai investasi ekstra ini dengan meminjam dari luar negeri. Jadi arus modal keluar neto ini mencerminkan arus dana internasional untuk membiayai akumulasi modal. Identitas perhitungan pendapatan nasional menunjukkan bahwa arus modal keluar neto selalu sama dengan neraca perdagangan Mankiw (2007).

Arus Modal Keluar Neto = Neraca Perdagangan

S – I = EX – IM ... (2.6)

Mankiw (2007) mengatakan jika S – I dan EX – IM adalah positif, kita memiliki surplus perdagangan (trade surplus). Dalam kasus ini, kita adalah negara pendonor di pasar uang dunia, dan kita mengekspor lebih banyak barang serta jasa

(12)

12

dari pada mengimpornya. Jika S – I dan EX – IM adalah negatif, kita memiliki defisit perdagangan (trade deficit). Dalam kasus ini, kita adalah negara pengutang di pasar uang dunia, dan kita mengimpor lebih banyak barang serta jasa dari pada mengekspornya. Jika S – I dan EX – IM adalah nol, kita memiliki perdagangan berimbang (balanced trade) karena nilai ekspor sama dengan nilai impor, Mankiw (2007).

Mankiw (2007) menambahkan, model Mundell Fleming tidak jauh berbeda dengan model IS-LM. Kedua model ini menekankan interaksi antara pasar barang dan pasar uang. Keduanya juga mengasumsikan bahwa tingkat harga adalah tetap dan menunjukkan apa yang menyebabkan fluktuasi jangka pendek dalam pendapatan agregat (atau, sama dengan pergeseran dalam kurva permintaan agregat). Perbedaaan pentingnya adalah bahwa model IS-LM mengasumsikan perekonomian tertutup, sedangkan model Mundell Fleming mengasumsikan perekonomian terbuka (IS*-LM*). Model Mundell Fleming membuat suatu asumsi penting dan ekstrem yaitu: model ini mengasumsikan bahwa perekonomian yang sedang dipelajari adalah perekonomian terbuka kecil dengan mobilitas modal sempurna. Artinya, perekonomian bisa meminjam atau memberi pinjaman sebanyak yang ia inginkan di pasar keuangan dunia dan, sebagai akibatnya tingkat bunga perekonomian (r) ditentukan oleh tingkat bunga dunia (r*). Secara matematis, kita bisa menulis asumsi ini sebagai:

r = r* ... (2.7)

(13)

13

Menurut Mankiw (2007), tingkat bunga dunia ini diasumsikan tetap secara eksogen karena perekonomian tersebut relatif kecil dibandingkan perekonomian dunia sehingga bisa meminjam atau memberi pinjaman sebanyak yang ia inginkan di pasar keuangan dunia tanpa mempengaruhi tingkat bunga dunia. Tanda asterik pada IS* - LM* menunjukkan bahwa pada model ini menggunakan asumsi tingkat bunga konstan pada tingkat bunga dunia r*.

Menurut Mankiw (2007), dalam perekonomian terbuka kecil, tingkat bunga domestik mungkin naik sedikit selama jangka pendek, tetapi dalam sekejap, pihak asing akan melihat tingkat bunga yang lebih tinggi itu, dan mulai memberi pinjaman ke negara ini (misalnya dengan membeli obligasi negara ini). Aliran modal masuk akan mendorong tingkat bunga domestik kembali menuju r*.

Demikian juga jika setiap peristiwa yang terjadi mulai menggerakan tingkat bunga domestik turun ke bawah, modal akan mengalir ke luar negara untuk menghasilkan pengembalian yang lebih tinggi, dan aliran ke luar modal ini akan mendorong tingkat bunga domestik kembali naik menuju r*. Jadi, persamaan r = r* menunjukan asumsi bahwa aliran modal internasional cukup memadai untuk mempertahankan tingkat bunga domestik sama dengan tingkat bunga dunia.

Lebih lanjut, Mankiw (2007) menekankan bahwa sebelum menganalisis dampak kebijakan dalam perekonomian terbuka, perlu dilakukan spesifikasi sistem moneter internasional di mana negara tersebut memilih untuk beroperasi.

Di Indonesia, sistem moneter yang diterapkan adalah kurs mengambang (floating exchange rate). Di bawah kurs mengambang, kurs ditentukan oleh pasar dan

(14)

14

dibiarkan berfluktuasi dengan bebas untuk menanggapi kondisi perekonomian yang sedang berubah. Kurs menyesuaikan untuk mencapai keseimbangan simultan di pasar barang dan pasar uang. Ketika sesuatu terjadi pada keseimbangan tersebut, kurs memungkinkan untuk bergerak ke nilai keseimbangan baru Mankiw (2007).

2.1.1 Kebijakan Fiskal

Gambar 2. 1 Ekspansi Fiskal Dalam Sistem Kurs Mengambang

Ekspansi fiskal yang dilakukan yakni, peningkatan belanja pemerintah atau penurunan pajak menggeser kurva IS* ke kanan. Hal ini dapat menaikkan kurs tetapi tidak berpengaruh pada pendapatan. Ketika tingkat bunga berusaha naik melebihi tingkat bunga dunia r*, modal segera mengalir dari luar negeri untuk mengambil keuntungan dari tingkat bunga yang lebih tinggi. Aliran modal masuk ini tidak hanya mendorong tingkat bunga kembali ke r*, tapi juga memiliki

(15)

15

dampak lain: karena investor asing harus membeli mata uang domestik untuk berinvestasi di perekonomian domestik, aliran modal masuk ini mendongkrak permintaan terhadap mata uang dalam negeri di pasar valuta asing, sehingga meningkatkan nilai mata uang domestik. Apresiasi kurs membuat mata uang domestik relatif lebih mahal terhadap produk asing sehingga mengurangi ekspor neto. Penurunan ekspor neto mengurangi dampak kebijakan fiskal ekspansioner terhadap pendapatan, Mankiw (2007).

2.1.2 Kebijakan Moneter

Ketika bank sentral meningkatkan jumlah uang beredar, dengan asumsi bahwa tingkat harga adalah tetap maka kenaikan jumlah uang beredar bearti kenaikan dalam keseimbangan uang riil. Kenaikan keseimbangan uang riil menggeser kurva LM* ke kanan. Sehingga kenaikan jumlah uang beredar meningkatkan pendapatan dan menurunkan kurs, Mankiw (2007).

Gambar 2. 2 Ekspansi Moneter Dalam Sistem Kurs Mengambang

(16)

16

Kenaikan jumlah uang beredar akan menekan tingkat bunga domestik, modal mengalir keluar dari perekonomian karena investor mencari pengembalian yang lebih tinggi di tempat lain. Aliran keluar modal ini melindungi tingkat bunga domestik agar tidak turun di bawah tingkat bunga dunia r*. Kebijakan ini juga memiliki dampak lain: karena berinvestasi di luar negeri mengharuskan dilakukannya konversi mata uang domestik menjadi mata uang asing, menyebabkan kurs mengalami depresiasi. Penurunan kurs membuat barang- barang domestik relatif murah terhadap barang-barang luar negeri dan meningkatkan ekspor neto. Sehingga, kebijakan moneter mempengaruhi pendapatan dengan mengubah kurs, bukan tingkat bunga, Mankiw (2007)

2.2 Marshall - Lerner Condition

Depresiasi mata uang dapat mempengaruhi keseimbangan neraca perdagangan suatu negara melalui perubahan harga relatif barang dan jasa internasional. Suatu negara dapat memperbaiki defisit neraca perdagangan dengan menurunkan harga relatif sehingga terjadi kenaikan ekspor dan impor menurun.

Hal tersebut dapat terjadi apabila mata uang negara domestik mengalami depresiasi atau dengan secara resmi mendevaluasi mata uang tergantung pada elastisitas harga permintaan untuk impor suatu negara dan elastisitas harga permintaan untuk ekspor, Carbaugh (2008).

Carbaugh (2008) menjelaskan bahwa perubahan kuantitas yang diminta, baik ekspor maupun impor berasal dari perubahan 1- persen dalam nilai tukar.

(17)

17

Secara matematis Carbaugh (2008) menunjukan bahwa elastisitas ekspor dan elastisitas impor dapat dinotasikan sebagai berikut:

Elastisitas ekspor =

...(2.8) dan

Elastisitas impor =

...(2.9)

Carbaugh (2008) menambahkan, Marshall-Lerner Condition menyatakan bahwa depresiasi mata uang akan memperbaiki neraca perdagangan apabila penjumlahan elastisitas ekspor dan elastisitas impor lebih dari 1. Sedangkan depresiasi sekali lagi menurut Carbaugh (2008) tidak akan memperbaiki neraca perdagangan apabila jumlah elastisitas ekspor dan elastisitas impor kurang 1.

Carbaugh (2008) mengatakan depresiasi nilai tukar yang tejadi tidak akan memberikan dampak terhadap neraca perdagangan apabila jumlah elastisitas ekspor dan elastisitas impor sama dengan 1.

2.3 Hubungan Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter, Neraca Perdagangan dan Marshall Lerner Condition

Kebijakan fiskal ekspansioner dalam negeri, seperti peningkatan belanja pemerintah atau pemotongan pajak, dapat menyebabkan berkurangnya tabungan nasional. Akibatnya, pengurangan tabungan menurunkan jumlah mata uang domestik yang dikeluarkan menjadi mata uang asing. Dampak dari adanya perubahan kebijakan dapat dilihat pada Gambar 2.3.

(18)

18

Perubahan kebijakan tersebut menggeser garis vertikal S – I ke kiri, mengurangi persediaan mata uang domestik yang akan diinvestasikan ke luar negeri. Persediaan mata uang domestik yang lebih sedikit ini menyebabkan kurs riil ekuilibirum meningkat dari €1 ke €2 dan membuat mata uang domestik menjadi lebih berharga. Karena mata uang domestik mengalami kenaikan, maka barang-barang domestik menjadi relatif lebih mahal dibanding barang-barang impor, yang menyebabkan ekspor turun dan impor naik, perubahan ekspor dan impor ini akan mengurangi ekspor neto, Mankiw (2007)

Gambar 2. 3 Dampak Kebijakan Fiskal Ekspansioner Terhadap Ekspor Neto

Berdasarkan apa yang terjadi terhadap kurs riil akibat dari adanya perubahan kebijakan fiskal terdapat beberapa faktor penentu kurs ril. Pertama, kurs riil terkait dengan ekspor neto. Bila kurs riil lebih rendah, barang-barang domestik relatif lebih murah dibanding barang-barang luar negeri, dan ekspor neto lebih besar. Kedua, neraca perdagangan (ekspor neto) harus sama dengan arus

(19)

19

modal keluar neto, yang sama dengan tabungan dikurangi investasi. Tabungan dipengaruhi oleh fungsi konsumsi dan kebijakan fiskal; sementara investasi dipengaruhi oleh fungsi investasi dan tingkat bunga dunia (Mankiw, 2007).

Menurut Mankiw, (2007) kurs riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang-barang ke dua negara. Nilai tukar riil menyatakan tingkat dimana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Sedangkan kurs nominal (nominal exchange rate), adalah harga relatif dari mata uang dua negara yang melakukan perdagangan internasional.

Kurs riil dan kurs nominal memiliki hubungan sebagai berikut :

Kurs Riil = Kurs Nominal x Rasio Tingkat Harga …………..……(2.10)

€ = e x (P/P*) ……….(2.11)

Atau dapat menulis kurs nominal sebagai

e = € x (P/P*) ………(2.12)

Dari persamaan tersebut dapat diketahui bahwa kurs nominal bergantung pada kurs riil dan tingkat harga di kedua negara. Berdasarkan nilai kurs riil, jika tingkat harga domestik P meningkat, maka kurs nominal e akan turun.

Perubahaan presentase dalam kurs nominal antara mata uang dari kedua negara sama dengan presentase perubahan dalam kurs riil ditambah selisih tingkat inflasinya. Namun demikian, model Mundell-Fleming mengasumsikan bahwa

(20)

20

tingkat harga dalam dan luar negeri adalah tetap, sehingga kurs riil proporsional terhadap kurs nominal, Mankiw (2007).

Mankiw (2007) menambahkan bahwa kebijakan moneter dapat mempengaruhi kurs nominal melalui pertumbuhan jumlah uang beredar yang tinggi menyebabkan inflasi yang tinggi. Konsekuensi dari adanya inflasi yang tinggi adalah mata uang yang mengalami depresiasi. Depresiasi yang terjadi akan menurunkan harga relatif ekspor dan meningkatkan daya saing produk ekspor tersebut sehingga permintaan luar negeri terhadap produk ekspor akan meningkat yang mengimplikasikan peningkatan volume ekspor. Sebaliknya harga produk impor menjadi lebih tinggi yang selanjutnya akan menekan permintaan produk impor sehingga volume impor akan menurun.

Peningkatan ekspor dan penurunan impor tersebut belum tentu akan meningkatkan nilai neraca perdagangan atau net ekspor. Neraca perdagangan hanya akan meningkat saat nilai tukar riil terdepresiasi bila persyaratan kondisi Marshall-Lerner yang terpenuhi, yaitu apabila jumlah elastisitas ekspor dan elastisitas impor terhadap nilai tukar riil lebih besar dari 1.

Depresiasi nilai tukar itu sendiri pada dasarnya akan mempengaruhi neraca perdagangan melalui dua cara yaitu melalui perubahan volume dan perubahan nilai. Kondisi Marshall-Lerner menyatakan bahwa perubahan volume akan mendominasi perubahan nilai, sehingga meskipun nilai impor akan meningkat dan nilai ekspor akan menurun namun peningkatan volume ekspor dan

(21)

21

penurunan volume impor akan mendominasi sehingga secara total neraca perdagangan akan membaik , Husman (2005).

III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data time series, yaitu data nilai tukar rupiah yang diunduh dari International Money Fund (IMF), nilai riil ekspor dan nilai riil impor non migas1, suku bunga, serta data penerimaan pemerintah dan pengeluarannya yang diunduh dari website Bank Indonesia (bi.go.id). Data yang digunakan dalam penelitian ini memuat beberapa informasi yang terkait dengan depresiasi nilai tukar di Indonesia selama kurun waktu 1999.1 – 2016.10.

3.2 Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode statistik deskriptif. Hasan (2001) menjelaskan bahwa statistik deskriptif adalah bagian dari statistika yang mempelajari cara pengumpulan data dan penyajian data sehingga mudah dipahami. Statistika deskriptif hanya berhubungan dengan hal menguraikan atau memberikan keterangan-keterangan mengenai suatu data atau keadaan. Dengan kata lain statistika deskriptif berfungsi menerangkan keadaan, gejala, atau persoalan. Penarikan kesimpulan pada statistika deskriptif (jika ada) hanya

1 Nilai ekspor riil diperoleh dari rasio nilai ekspor nominal dibagi dengan indeks harga ekspor.

Nilai impor riil diperoleh dari rasio nilai impor nominal dibagi dengan indeks harga impor.

(22)

22

ditujukan pada kumpulan data yang ada. Dalam riset ini, lingkup bahasan statistik deskriptif mencakup grafik, distribusi frekuensi, dan ukuran nilai pusat, yakni rata-rata dan modus.

Metode analisis statistik deskriptif digunakan untuk menginterpretasikan data-data yang telah diperoleh dari buku teks, jurnal, skripsi, serta data sekunder yang diolah dengan bantuan MS. Excel. Deskriptif statistik dalam penelitian ini dipilih agar konteks permasalahan bisa dipahami dengan lebih spesifik, mendalam, dan menyeluruh khususnya tentang interaksi kebijakan makro ekonomi dengan neraca perdagangan Indonesia dengan analisis Marshall-Lerner Condition. Selain itu, analisis dilakukan berdasarkan periode tertentu yang telah diklasifikan menurut periode kebijakan yang dilaksanakan dalam jangka pendek sehingga deskriptif statistik lebih tepat untuk menggambarkan dan menjelaskan permasalahan yang terjadi. Hasil analisis menghasilkan angka elastisitas ekspor, impor, penjumlahan elastisitas ekspor dan impor, dan rata-rata penjumlahan tersebut. Nilai rata-rata elastisitas sebagaimana dimaksud diolah dengan berdasarkan metode perhitungan rata-rata elastisitas ekspor dan impor yang digunakan oleh Tokarick (2010).

Yang perlu ditekankan dalam riset ini adalah riset ini mengasumsikan selama periode 1999.1-2016.10 terjadi depresiasi. Asumsi ini berdasarkan pada tren perkembangan nilai tukar rupiah tehadap dollar Amerika yang terus mengalami depresiasi sebagaimana ditunjukkan oleh Grafik 1.1. Berdasarkan pada grafik tersebut depresiasi dilihat berdasarkan trennya.

(23)

23 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kombinasi Kebijakan Fiskal kontraktif dan Kebijakan Moneter Ekspansif: Apakah Baik?

Sejak dimulainya krisis ekonomi global yang terus berlanjut hingga saat ini paling tidak sejak dari krisis ekonomi Jepang awal tahun 1990an, krisis Asia Timur tahun 1997/98, krisis keuangan global 2008, dan krisis utang pemerintah di kawasan eropa tahun 2012/13 paradigma pemikiran kebijakan ekonomi makro mulai mengalami pergeseran. Sampai dengan awal tahun 1980an, terdapat beberapa landasan dalam merumuskan kebijakan makro salah satunya adalah pemikiran yang mempercayai bahwa peran kebijakan fiskal berada pada posisi dibelakang setelah kebijakan moneter, alasan utamanya adalah: selama kebijakan moneter telah dianggap mampu untuk memperkecil output gap, maka kebijakan lainnya kurang diperlukan, Yulius (2014). Lalu bagaimana dengan kombinasi kebijakan keduanya?

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan Excell diketahui nilai rata-rata2 elastisitas permintaan ekspor dan elastisitas permintaan impor atas kurs nominal masing masing sebesar 2,5 dan 0,9 sehingga penjumlahan elastisitas secara absolut menghasilkan angka lebih besar dari satu yaitu sebesar 3,4.

Penjumlahan atas nilai rata-rata elastisitas pemintaan ekspor dan impor yang menunjukan angka lebih besar dari satu merupakan cerminan dari adanya

2Keterangan: cara menghitung rata-rata MLC ini didasarkan pada metode yang disusun oleh Tokarick, 2010.

(24)

24

Marshall-Lerner Condition. Artinya depresiasi yang terjadi akan memperbaiki neraca perdagangan. Jadi, kombinasi kebijakan fiskal kontraktif dan moneter ekspansif akan memperbaiki neraca perdagangan.

Secara teoritis kebijakan fiskal kontraktif dan moneter ekspansif merupakan kombinasi kebijakan yang tepat bagi perekonomian. Karena, kebijakan fiskal kontraktif yang menggeser kurva IS ke kiri menyebabkan pergeseran IS1 ke IS2 yang berdampak terhadap turunnya kurs dari e1 ke e2. Ditambah dengan kebijakan moneter ekspansif yang menggeser kurva LM ke kanan atau dari LM1 ke LM2 sehingga perpotongan baru antara IS2 dan LM2 menyebabkan kurs kembali mengalami penurunan dari e2 ke e3. Penurunan kurs atau depresiasi yang terjadi diharapkan mampu meningkatkan ekspor neto sehingga dapat merubah output nasional dari Y1 menjadi Y2. Seperti yang terlihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4. 1 Kombinasi Kebijakan Fiskal Kontraktif dan Moneter Ekspansif

(25)

25

Dengan demikian kombinasi kebijakan fiskal kontraktif dan moneter ekspansif menghasilkan depresiasi nilai tukar rupiah yang pada akhirnya akan membuat ekspor neto naik. Dalam konteks Marshall Lerner Condition kenaikan ini menunjukkan bahwa nilai elastisitas impor yang terjadi akan cenderung lebih dari 1.

Namun pada kenyataannya tidak. Kombinasi kebijakan fiskal kontraktif dan kebijakan moneter ekspansif tidak serta-merta memberikan dampak yang baik pada kondisi perekonomian Indonesia yang dilihat berdasarkan kinerja ekspor neto. Hal tersebut terlihat pada Grafik 4.1. bahwa pada periode yang sama kurs atau nilai tukar rupiah mengalami kecenderungan penurunan atau terdepresiasi tetapi tidak memberikan perbaikan pada ekspor neto dimana terlihat bahwa ekspor neto tidak menunjukan pergerakan menuju perbaikan yang cukup berarti.

Grafik 4. 1 Ekspor Neto Dan Nilai Tukar Indonesia Pada Periode Diterapkannya Kebijakan Fiskal Kontraktif Dan Moneter Ekspansif

(Sumber : IMF & Bank Indonesia, diolah)

(26)

26

Padahal menurut teori, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS seharusnya memberi pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekspor Indonesia.

Hal ini berkaitan dengan masih tergantungnya ekspor non migas Indonesia terhadap input yang harus diimpor. Berdasarkan data yang diperoleh, pada periode dilakukannya kombinasi kebijakan fiskal kontraktif dan moneter ekspansif impor bahan baku untuk industri dalam negeri justru mengalami peningkatan dan menunjukan tren yang meningkat setiap tahunnya. Seperti yang terlihat pada Grafik 4.2

Grafik 4. 2 Impor Bahan Baku Untuk Industri

(Sumber : Badan Pusat Statistik (1999-2013), diolah)

Ketergantungan komoditi ekspor non migas terhadap input yang harus diimpor menyebabkan tingginya ongkos produksi sehingga produk domestik tidak dapat memperbaiki daya saing ketika terjadi depresiasi. Hingga akhir periode

(27)

27

dilakukannya kombinasi kebijakan fiskal kontraktif dan moneter ekspansif yakni tahun 2013 terdapat 10 komoditi impor utama yang masih di dominasi oleh barang input industri seperti : impor mesin-mesin / pesawat mekanik sebesar 27.

290 Juta US$ atau sebesar 18% dari total impor nasional. Disusul impor mesin / Peralatan listrik 18.201 Juta US$, plastik dan barang dari plastik 7.774 Juta US$, besi dan baja 9.553 Juta US$, bahan kimia organik 7.041 Juta US$, kendaraan dan bagiannya 7.914 Juta US$, benda-benda dari besi dan baja 4.747 Juta US$, gandum-ganduman 3.621 Juta US$, ampas / sisa industri makanan 3.042 Juta US$

dan kapas 2.554 Juta US$ ( BPS, 2016) .

4.2 Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter: Mana Lebih Baik?

Di Indonesia, data empiris menunjukan bahwa pasca krisis ekonomi tahun 1997/98 terdapat beberapa periode dimana pemerintah menerapkan kebijakan fiskal ekspansif dan moneter ekspansif seperti yang terlihat pada Tabel 4.1.

(28)

28

Tabel 4. 1 Kebijakan Fiskal Ekspansif dan Kebijakan Moneter Ekspansif

(Sumber : Bank Indonesia (1999.1-2016.10), diolah)

Keterangan: cara menghitung rata-rata MLC ini didasarkan pada metode yang disusun oleh Tokarick, 2010.

Menurut Mankiw (2007) dengan melihat nilai rata-rata dari ekspor neto akan diketahui kebijakan mana yang lebih dominan. Apabila kondisi ekspor neto mengalami kecenderungan peningkatan hal tersebut menunjukan bahwa kebijakan moneter ekspansif lebih kuat dibandingkan kebijakan fiskal. Begitu pula sebaliknya. Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa kebijakan moneter lebih kuat muncul lebih banyak yakni 11 kali. Hal ini menunjukkan bahwa moneter lebih kuat menang dibandingkan dengan fiskal lebih kuat yang hanya muncul 9 kali.

(29)

29

Dengan lebih kuatnya kebijakan moneter, secara teoritis hal ini akan menyebabkan terjadinya depresiasi nilai tukar. Pada riset ini depresiasi nilai tukar ditunjukkan oleh tren pergerakan nilai tukar yang semakin melemah seperti yang terlihat pada Grafik 1.1. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah depresiasi yang terjadi dapat memperbaiki neraca perdagangan? Dampak dari adanya kebijakan moneter ekspansif dan fiskal ekspansif terhadap perekonomian terangkum pada Tabel 4.2.

Tabel 4. 2 Dampak Kebijakan Moneter Ekspansif dan Fiskal Ekspansif

(Sumber: Bank Indonesia (1999.1-2014.12), diolah)

Keterangan: cara menghitung rata-rata MLC ini didasarkan pada metode yang disusun oleh Tokarick, 2010.

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa pada saat kebijakan moneter lebih kuat nilai rata-rata MLC sebesar 38,1 nilai tersebut artinya ketika nilai tukar terdepresiasi 1% maka akan menyebabkan kenaikan ekspor neto sebesar 38,1%.

Sementara itu, pada saat kebijakan fiskal lebih kuat nilai rata- rata MLC adalah sebesar -11,6. Artinya ketika nilai tukar terdepresiasi 1% maka akan menyebabkan turunnya ekspor neto sebesar 11,6%.

(30)

30

Selain sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka perlu diingat kembali bahwa Indonesia menggunakan sistem nilai tukar (kurs) mengambang. Dalam model Mundell-Fleming telah ditunjukan bahwa kekuatan kebijakan fiskal dan moneter untuk mempengaruhi pendapatan agregat tergantung pada rezim kurs yang digunakan.

Ringkasan dampak kebijakan Model Mundell-Fleming tersaji dalam Tabel 4.3.

Tabel 4. 3 Model Mundell Fleming : Ringkasan Dampak Kebijakan

(Sumber: Mankiw, 2007)

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat ditarik kesimpulan bahwa pada rezim kurs mengambang hanya kebijakan moneter yang dapat mempengaruhi pendapatan.

Dengan demikian kondisi empiris yang terjadi telah sesuai dengan teori dimana kebijakan moneter lebih kuat mempengaruhi perekonomian melalui neraca perdagangan dibandingkan kebijakan fiskal.

Namun berbanding terbalik dengan nilai rata-rata elastisitas impor yang terjadi, nilai rata-rata ekspor neto menunjukan angka yang lebih besar pada saat

(31)

31

kebijakan fiskal lebih kuat, sebesar 18,52 miliar US$ atau lebih besar 3,41 miliar US$. Angka tersebut lebih besar dibandingkan saat kebijakan moneter lebih kuat yang hanya 15,11 miliar US$. Meski perbedaan tersebut tidak begitu besar nampaknya terjadi keanehan dimana seharusnya ketika nilai elastisitas impor lebih besar dibarengi dengan kenaikan ekspor neto yang semakin meningkat, dan juga sebaliknya.

Hal tersebut dapat saja terjadi, diduga saat dilakukannya kebijakan moneter ekspansif dan fiskal ekspansif faktor eksternal lebih kuat dalam mempengaruhi perekonomian. Misalnya saja ketidakstabilan perekonomian global yang ditunjukan dari fluktuasi harga minyak dunia.

Ketika harga minyak dunia cenderung mengalami kenaikan, partner dagang Indonesia yang merupakan konsumen minyak sedang mengalami kesulitan dalam melakukan konsumsi atau sedang mengurangi belanjanya sehingga berdampak terhadap turunnya permintaan impor.

Misalnya saja pada tahun 2009 menuju tahun 2010, saat itu diketahui sisi moneter lebih kuat dalam perekonomian namun ekspor neto yang terjadi tidak lebih besar dari periode sebelumnya. Hal tersebut berkaitan dengan perubahan harga minyak dunia dari tahun 2009 yang berada pada angka 58 US$ per barel naik menjadi 77,11 US$ per barel. Selain itu elastisitas impor yang terjadi mengalami penurunan dari (-1) menjadi (-293). Kondisi tersebut menunjukan depresiasi yang terjadi tidak memberikan perbaikan terhadap neraca perdagangan.

Perubahan harga minyak dunia dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Grafik 4.3.

(32)

32

Grafik 4. 3 Perubahan Harga Minyak Dunia 1999-2014

(Sumber : Inflationdata (2014), diolah)

Nizar (2012) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk melihat dampak fluktuasi harga minyak di pasar dunia terhadap perekonomian Indonesia pada periode 2000 – 2011 menemukan bahwa fluktuasi harga minyak dunia berdampak negatif terhadap nilai tukar rupiah. Dalam kondisi harga minyak internasional yang tinggi, impor minyak akan menambah biaya produksi dan selanjutnya berdampak pada kenaikan harga barang-barang (inflasi). Selain itu, impor minyak juga akan mengurangi cadangan devisa, yang pada gilirannya akan menyebabkan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap US dolar.

Hasil riset tersebut mengindikasikan mendukung apa yang menjadi argumen dalam riset ini. Bahwa selain faktor internal yakni kebijakan fiskal dan kebijakan moneter, faktor eksternal seperti kondisi perekonomian global yang

(33)

33

tercermin melalui harga minyak dunia turut memberikan dampak terhadap perekonomian Indonesia.

4.3 Apakah Perubahan Kebijakan Suku Bunga Bank Indonesia Sudah Tepat?

Secara umum kebijakan suku bunga yang diterapkan oleh otoritas moneter Indonesia selama kurun waktu 1999.1-2016.10 di bagi menjadi 4 periode. Secara berturut-turut periode suku bunga SBI 1 bulan, kombinasi antara suku bunga SBI 1 bulan dan BI Rate, BI Rate dan BI 7-Day Repo Rate seperti yang terlihat pada Tabel 4.4.

(Sumber : Bank Indonesia (1999-2016), diolah)

Keterangan: cara menghitung rata-rata MLC ini didasarkan pada metode yang disusun oleh Tokarick, 2010.

Tabel 4. 4 Perubahan Tingkat Suku Bunga Periode 1999.1- 2016.10

(34)

34

Berdasarkan Tabel 4.4 di atas dapat diamati bahwa perbedaan rezim suku bunga memberikan dampak yang beragam terhadap perekonomian jika dilihat dari ekspor neto dan MLC. Penggunaan BI Rate cenderung lebih efektif bagi perekonomian terlihat dari kondisi MLC yang berubah naik lebih tinggi menjadi 21,95 dibandingkan periode sebelumnya yang hanya sebesar -57,60.

Perbaikan semakin meningkat ketika menggunakan BI 7 – Day Repo Rate yang berada di angka 80,81.

Suku bunga domestik nampaknya mulai mempengaruhi perekonomian Indonesia melalui neraca perdagangan pada pertengahan 2010. Hal tersebut terkait dengan perhatian pemerintah terhadap sektor UMKM. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997/98 telah memberikan pelajaran yang sangat berharga. Dari peristiwa tersebut bangsa Indonesia belajar bahwa Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional. Ketika dihantam badai krisis 1997/98 terbukti hanya UMKM yang mampu tetap berdiri kokoh. Hal tersebut karena mayoritas usaha berskala kecil tidak terlalu tergantung pada modal besar atau pinjaman dari luar dalam mata uang asing. Sehingga, ketika ada fluktuasi nilai tukar, tidak berpotensi mengalami imbas krisis.

Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan, pasca krisis ekonomi 1997/98 jumlah UMKM tidak berkurang, justru meningkat terus bahkan mampu menyerap 85 juta hingga 107 juta tenaga kerja sampai tahun 2012. Pada tahun itu, jumlah pengusaha di Indonesia sebanyak 56.539.560 unit. Dari jumlah tersebut, UMKM

(35)

35

sebanyak 56.534.592 unit atau 99,99 %. Sisanya, sekitar 0,01% atau 4.968 unit adalah usaha besar. Dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 57.895.721 unit usaha.

Kontribusi UMKM terhadap PDB nasional atas dasar harga berlaku pada tahun 2012 sebesar Rp. 4.869.568,1 milyar atau sebesar 59,08 % dan meningkat menjadi Rp. 5.440.007,9 milyar pada tahun 2013. Sektor UMKM juga memiliki kapasitas ekspor dan menyumbang 14,06% atau Rp. 166.626,5 milyar dari total ekspor nasional pada tahun 2012 dan meningkat menjadi Rp. 182.112,7 pada tahun 2013. Selain itu UMKM juga menyumbang terhadap investasi nasional atas dasar harga berlaku yang setiap tahunnya mengalami kenaikan. Dari tahun 2012 ke 2013 saja terjadi kenaikan investasi sebesar Rp. 404.432,4 milyar. Peran UMKM terhadap perekonomian nasional dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4. 5 Peran UMKM Terhadap Perekonomian Indonesia

(Sumber : Badan Pusat Statistik, 2016)

Karena UMKM tidak terlalu tergantung pada modal besar atau pinjaman dari luar dalam bentuk mata uang asing maka kebijakan suku bunga domestik akan sangat menentukan perekonomian nasional, mengingat UMKM mewakili 99,99% usaha di Indonesia.

(36)

36

Anggap pemerintah melakukan kebijakan moneter ekspansif dengan menurunkan tingkat suku bunga untuk membantu usaha domestik, namun fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan sistem perekonomian terbuka tidak dapat ditutupi. Sehingga ketika terjadi penurunan suku bunga domestik akan menyebabkan terjadinya capital outflow atau arus modal keluar yang menyebabkan perekonomian domestik tidak stabil. Ketidakstabilan yang terjadi diakibatkan oleh terdepresiasinya nilai tukar rupiah yang kemudian berdampak terhadap harga barang input sektor industri yang harus diimpor menggunakan kurs atau mata uang asing.

Tetapi hal tersebut tidak akan berdampak terhadap UMKM, karena UMKM tidak terpengaruh terhadap suku bunga dunia dan tetap bergerak dalam ekspor sehingga dapat menyumbang terhadap total ekspor nasional. Depresiasi yang terjadi justru akan memberikan peluang bagi UMKM untuk melakukan ekspor lebih banyak, dan memperbaiki nilai elastisitas impor. Hal tersebut terbukti dari total ekspor non-migas yang dilakukan oleh UMKM menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun 2009 sampai 2013 seperti yang terlihat pada Tabel 4.5 dan terjadinya peningkatan elastisitas impor dari –57,60 berubah menjadi 21,95 dan terakhir menjadi 80, 81.

Sebagai usaha yang bergerak dalam skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bergantung terhadap tingkat bunga domestik untuk melakukan pinjaman guna memperbesar kapasitas usahanya. Dari tahun 2011 – 2014 berdasarkan Grafik 4.4 terlihat jelas terjadi peningkatan secara signifikan

(37)

37

penyaluran kredit yang dilakukan perbankan kepada UMKM. Kenaikan kredit UMKM rata-rata mencapai 13,63 % per tahun. Hal tersebut dapat menjadi indikasi bahwa perekonomian di Indonesia yang 99,99% diwakili oleh usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sangat bergantung terhadap tingkat suku bunga domestik.

Grafik 4. 4 Penyaluran Kredit UMKM Oleh Bank Umum 2011 - 2014

(Sumber : Badan Pusat Statistik (2016), diolah)

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interaksi kebijakan makro ekonomi dengan neraca perdagangan Indonesia menggunakan analisis Marshall – Lerner Condition. Berdasarkan hasil analisis didapatkan hasil sebagai berikut : pertama, kombinasi kebijakan fiskal kontraktif dan moneter ekspansif bukanlah

(38)

38

pilihan yang tepat. Hal ini bertentangan dengan teori yang mengatakan bahwa kombinasi kebijakan fiskal kontraktif dan moneter ekspansif akan memperbaiki perekonomian melalui neraca perdagangan. Pertentangan tersebut dibuktikan dengan terjadinya penurunan ekspor neto Indonesia pada saat ditetapkannya kebijakan tersebut yang disebabkan oleh kenaikan impor bahan input industri.

Kedua, pemerintah dan otoritas moneter telah melakukan kebijakan jangka pendek yang tepat untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi dengan melakukan kebijakan fiskal ekspansif dan moneter ekspansif karena kebijakan ini dibuktikan telah sesuai dengan teori makro. Dalam jangka pendek kebijakan moneter cenderung lebih dominan dibandingkan dengan kebijakan fiskal.

Terakhir, penetepan kebijakan BI Rate sebagai suku bunga acuan terbukti lebih efektif dilihat dari kondisi MLC dan menunjukan peningkatan pada ekspor neto pada saat menggunakan BI 7 – Day Repo Rate.

Mengacu pada kesimpulan di atas, implikasi yang dapat diberikan, pertama adalah pemerintah hendaknya meninjau kembali penggunaan kebijakan makro yang mengkombinasikan antara fiskal kontraktif dan moneter ekspansif.

Karena diketahui bahwa kombinasi kedua kebijakan tersebut tidak cukup efektif bagi perekonomian Indonesia yang merupakan open small economy. Kedua, pemerintah dan otoritas moneter disarankan untuk terus bekerja sama dalam menjalankan kebijakan fiskal dan moneter ekspansif dalam jangka pendek, namun harus memperhatikan kondisi eksternal.

(39)

39

Pada akhirnya riset ini memberikan dua rekomendasi. Pertama rekomendasi kebijakan ditujukan kepada otoritas moneter yang mana pada riset ini telah membuktikan bahwa penggunaan BI Rate sudah tepat. Oleh karena itu dimasa yang akan datang Bank Indonesia tetap dapat menggunakan instrumen tersebut. Kedua, dari hasil pembahasan diatas belum diketahui level BI Rate yang paling baik berada pada ambang batas berapa. Oleh karena itu terkait penelitian lebih lanjut, paper ini menyarankan perlunya analisis yang lebih mendalam mengenai ambang batas bawah maupun batas atas BI Rate yang tepat bagi perekonomian Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

(2) Rata-rata nilai tambah yang didapat dari pengolahan kedelai menjadi tempe dari kelurahan Plaju Ulu kecamatan Plaju sebesar Rp.4,513.79 /kg dengan hasil produksi

Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung curah hujan rata-rata harian dengan metode yang terpilih, menghitung besarnya erosi dan sedimentasi

Dari hasil yang didapatkan, kemudian dilakukan analisis dengan uji anova untuk mengetahui perbedaan rata-rata penambahan berat badan pasien schizophrenia dengan status gizi

Michaelis-Menten kinetika secara luas digunakan untuk menggambarkan hubungan antara O2 konsentrasi dan O2 Tingkat konsumsi : keseluruhan respirasi jalur diasumsikan

Kekeringan merupakan bencana alam yang disebabkan akibat distribusi air hujan yang tidak merat yang terjadi pada suatu wilayah yang kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan

Adalah metode pengumpulan data yang diperoleh dari pengamatan yang sistematis dan akurat pada perusahaan mengenai analisis laporan keuangan Untuk Menilai Tingkat

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Religiusitas dan Kepercayaan terhadap Preferensi masyarakat menabung dibank syariah dengan Pelayanan sebagai

Variabel ini diproksikan dengan debt to equity ratio (DER). Rasio ini menggambarkan perbandingan kewajiban dan ekuitas dalam pendanaan perusahaan dan menunjukkan kemampuan