AKTIVITAS HAMBAT BUBUK EKSTRAK BAKTERIOSIN
DARI Lactobacillus sp. GALUR SCG 1223
(Inhibitory Activity of Bacteriocin Extract From Lactobacillus sp.
Strain SCG 1223)
SRI USMIATI1danW.P.RAHAYU2
1Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16114 2
Departemen Ilmu Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
ABSTRACT
Bacteriocin is antibacterial agent that has been used extensively as bio-preservative of food based on plant and animal sources. It is unstable to changes in temperature and pH. Encapsulation was part of efforts to stabilize the bacteriocin extract produced by Lactobacillus sp. strain SCG 1223. Inhibitory activity of bacteriocin extract powder after stored and re-hydrated was done to test its inhibitory activity against
Escherichia coli and Pediococcus acidilactici. The study aimed to determine shelf life bacteriocin extract
powder of Lactobacillus sp. strain SCG 1223 based on inhibitory activity against E. coli (representing Gram negative) and P. acidilactici (representing Gram positive). The results showed that the optimum inhibitory activity of bacteriocin extract powder of Lactobacillus sp strain SCG 1223 against E. coli was 1862.5 AU/ml and towards to P. acidilactici was 1303.5 AU/ml on the dissolution condition of pH 10 and temperature degree of 55°C. Storage of bacteriocin extract powder effectively inhibited E. coli was at 4°C after 6 weeks on dissolution condition of pH 10 and temperature degree of 55°C with an increased inhibitory activity of 58.2%. Inhibitory activity of bacteriocin extract powder stored at 4°C for 12 weeks to 984 AU/ml against E.
coli (down 24.5%) and 736 AU/ml against P. acidilactici (down 44.4%).
Key Words: Bacteriocin extract powder, Lactobacillus sp. strain SCG 1223, inhibitory activity, Pediococcus acidilactici, Escherichia coli
ABSTRAK
Bakteriosin adalah agen antibakteri yang telah digunakan secara luas sebagai biopreservatif pangan yang berasal dari tanaman maupun ternak, bersifat labil terhadap perubahan suhu dan pH. Pengkapsulan bakteriosin dilakukan sebagai upaya menstabilkan ekstrak bakteriosin yang dihasilkan oleh Lactobacillus sp. strain SCG 1223. Aktivitas hambat bubuk ekstrak bakteriosin setelah disimpan dan direhidrasi dilakukan untuk menguji aktivitas hambatnya terhadap Escherichia coli dan Pediococcus acidilactici. Penelitian bertujuan untuk mengetahui umur simpan bubuk ekstrak bakteriosin Lactobacillus sp. galur SCG 1223 berdasarkan aktivitas hambatnya terhadap E. coli (mewakili Gram negatif) dan P. acidilactici (mewakili Gram positif). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas hambat optimum bubuk ekstrak bakteriosin
Lactobacillus sp. galur SCG 1223 pada kondisi pelarutan pH 10 dan suhu 55°C yaitu 1862,5 AU/ml terhadap Escherichia coli dan 1303,5 AU/ml terhadap Pediococcus acidilactici. Penyimpanan bubuk ekstrak
bakteriosin yang efektif menghambat Escherichia coli adalah pada suhu 4°C setelah 6 minggu dengan kondisi pelarutan pH 10 dan suhu 55°C dengan peningkatan aktivitas hambat sebesar 58,2%. Aktivitas hambat bubuk ekstrak bakteriosin yang disimpan pada suhu 4°C selama 12 minggu menjadi 984 AU/ml terhadap
Escherichia coli (turun 24,5%) dan 736 AU/ml terhadap Pediococcus acidilactici (turun 44,4%).
Kata Kunci: bubuk ekstrak bakteriosin, Lactobacillus sp. galur SCG 1223, aktivitas hambat, Pediococcus acidilactici, Escherichia coli
PENDAHULUAN
Sebagian besar pangan termasuk yang berasal dari komoditas peternakan dapat
mengalami kerusakan karena kontaminasi selama pengolahan, transportasi dan penyimpanan, antara lain adanya pertumbuhan mikroba patogen. Kerusakan yang
ditimbulkannya mengakibatkan penurunan masa simpan beberapa komoditas yang
perishable. Potensi penggunaan sel dan
metabolit bakteri asam laktat dalam mengontrol pertumbuhan mikroba patogen pada produk pangan telah dievaluasi. Salah satu senyawa antimikroba yang dihasilkan BAL adalah bakteriosin sebagai biopreservatif yang telah digunakan di beberapa negara maju.
Bakteriosin adalah komponen peptida antimikroba yang digunakan sebagai biopreservatif pangan (KLAENHAMMER et al., 1992), dan dihasilkan oleh berbagai spesies bakteri (DE VUYST dan VANDAMME, 1994b).
Sintesis bakteriosin pada tiap tahap pertumbuhan bakteri berbeda untuk setiap galur mikroba. Bakteriosin dari Lactobacillus sp. galur SCG 1223 menunjukkan aktivitas antibakteri tertinggi pada fase stasioner, sehingga dianggap sebagai metabolit sekunder (JANUARSYAH, 2007) yaitu senyawa yang disintesa oleh organisme untuk mempertahankan eksistensinya terhadap perubahan lingkungan (GRIFFIN, 1991).
Bakteriosin merupakan biopreservatif yang aman (RAY dan FIELD, 1992), karena dapat
didegradasi oleh enzim-enzim proteolitik di lambung (DE VUYST dan LEROY, 2007). Sensitivitas bakteriosin berbeda-beda terhadap kisaran pH dan suhu. Beberapa bakteriosin diketahui lebih toleran terhadap pH asam (TAGG et al., 1976) dan stabil terhadap panas. Stabilitas terhadap suhu tinggi merupakan karakteristik penting bakteriosin sebagai pengawet pangan karena banyak pengolahan pangan yang melibatkan proses pemanasan, misalnya produk pasteurisasi.
Umumnya bakteriosin memiliki spektrum penghambatan yang luas dan stabil pada kisaran suhu dan pH yang luas. Bakteriosin yang dienkapsulasi diharapkan tetap memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram positif dan negatif. Karakterisasi terhadap luas spektrum penghambatan bakteriosin dapat digunakan untuk menentukan jenis pangan segar yang sesuai dan tepat dalam aplikasinya. Keluasan spektrum daya hambat bakteriosin biasanya diuji terhadap bakteri Gram negatif dan positif yang bersifat patogen. Escherichia
coli merupakan bakteri Gram negatif, bersifat
parasit di usus manusia dan hewan, dan banyak di antaranya bersifat patogen (WILSON dan MILES, 1964 dalam BELL dan KYRIAKIDES,
2002). Pediococcus acidilactici adalah bakteri
yang mendominasi fermentasi sayuran, dan secara tipikal bersifat katalase negatif (PRIEST, 1996). Isolasi genus Pediococcus dari manusia yang terinfeksi dilaporkan adanya bahaya kesehatan dari sebagian spesies genus ini(RAY
danMILLER,2003).
Resistensi bakteri Gram negatif oleh aktivitas antibakteri bakteriosin lebih tinggi dibandingkan dengan Gram positif, karena struktur dinding selnya memiliki membran luar yang tersusun atas lipopolisakarida (LPS), lipoprotein, dan fosfolipid. Aktivitas bakteriosin terhadap Gram negatif tampak pada saat integritas membran luar bakteri terganggu misalnya oleh tekanan osmotik, pH rendah, adanya deterjen, agen pengkelat, getaran listrik, dan tekanan tinggi (STEVENS et al.,
1991; DE VUYST dan LEROY, 2007). Nisin mampu menghambat Gram negatif yang membran terluarnya rusak secara subletal oleh pengkelat ethylene diamine tetraacetic acid yang mengikat ion magnesium dari LPS
(OUWEHAND dan VESTERLAND, 2004).
Bakteriosin dari Lactobacillus sp. galur SCG 1223 menunjukkan spektrum zona hambat yang luas terhadap bakteri Gram positif (Listeria monocytogenes) dan Gram negatif (Salmonella typhimurium, Escherichia coli) (USMIATI danMARWATI, 2007).
Faktor yang mempengaruhi aktivitas bakteriosin (misalnya nisin) antara lain kondisi lingkungan seperti suhu dan pH (JUNG et al., 1992). Aktivitas ekstrak bakteriosin cair dari
Lactobacillus sp. galur SCG 1223 terhadap E. coli menurun setelah 4 bulan penyimpanan
pada pH > 7 (USMIATI dan NOOR, 2009). Salah satu upaya untuk memperpanjang masa simpan bakteriosin, mempermudah pendistribusian, serta tidak bulky dalam penyimpanan maka bakteriosin perlu dilindungi dengan cara enkapsulasi dan dikeringkan. Selain bersifat lebih awet dan ringan, bakteriosin dalam bentuk serbuk lebih inert terhadap kondisi eksternal (SCANNELL et al., 2000) dan lebih aktif. Bakteriosin serbuk dapat disimpan lebih lama pada kondisi penyimpanan yang sesuai tanpa terjadi reaksi dekomposisi.
Enkapsulasi merupakan penyalutan terhadap matriks inti dalam kapsul dan merupakan proses immobilisasi matriks (KING, 1995 dalam KAILASAPATHY, 2002). Pengkapsulan dengan
industri pangan, ekonomis, fleksibel, menghasilkan produk bermutu baik (DZIEZAK,
1988), dengan ukuran partikel yang sangat kecil sehingga mudah larut.
Serbuk ekstrak bakteriosin dari
Lactobacillus sp. galur SCG 1223 mengandung
20% ekstrak bakteriosin cair memiliki daya hambat 779,82 AU/m terhadap E. coli; 947,25 AU/ml terhadap S. thypimurium; dan 912,68 AU/ml terhadap L. Monocytogenes (NASUTION,
2009). Penelitian tentang daya simpan serbuk ekstrak bakteriosin dari Lactobacillus sp. galur SCG 1223 belum dilakukan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui umur simpan bubuk ekstrak bakteriosin Lactobacillus sp. galur SCG 1223 berdasarkan aktivitas hambatnya terhadap E. coli (mewakili bakteri Gram negatif) dan P. acidilactici (mewakili bakteri Gram positif).
MATERI DAN METODE
Bakteri penghasil ekstrak bakteriosin yang digunakan adalah Lactobacillus sp. galur SCG 1223 yang diisolasi dari susu segar oleh Balai Besar Sumber Daya Genetika Bogor. Bakteri uji aktivitas bakteriosin adalah Escherichia coli BCC 1756 dari laboratorium Mikrobiologi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB dan
Pediococcus acidilactici F 11 dari FNCC
Universitas Gadjah Mada. Bahan-bahan kimia dan media pertumbuhan untuk bakteri adalah
deMann Rogosa Sharpe agar dan broth; Endo Agar; Muller-Hinton Agar; Nutrient Broth dan Eosin Methylene Blue Agar seluruhnya dari
Oxoid, bahan pengkapsul (susu skim,
maltodekstrin), garam fisiologis (NaCl 0,85%), NaOH 4 N, NaOH 0,1 N, HCl 4 N, dan HCl 0,1 N dari Merck, plastik HDPE, membran filter 0,22 μm (Miliphore), dan larutan buffer pH 5 dan pH 7.
Alat yang digunakan adalah inkubator (Memmert), inkubator goyang/orbital shaker (orbital incubator SI 50 Stuart Scientific),
waterbath (K&K), homogenizer (Kinematica),
pH-meter (Eutech), termometer, lemari pendingin, membran filter ukuran 0,2 µm (Miliphore), centrifuge (Tomy TX-160), standar
McFarland No. 9, cork borer, oven (Imperial V),
autoclave (Hirayama Manufacturing
Corporation), spray dryer (Buchi), timbangan
analitik (Precisa), vortex (Thermolyne),
Laminar air flow (Esco), jangka sorong, dan
alat-alat gelas untuk uji mikrobiologi.
Metode penelitian
Aktivasi Lactobacillus sp. galur SCG 1223 Sebanyak 1 ml inokulum Lactobacillus sp. galur SCG 1223 dari kultur induk diinokulasikan ke dalam 9 ml MRS broth steril dalam tabung reaksi bertutup kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam menjadi kultur kerja. Kultur tersebut selanjutnya diambil 4 ml dan dimasukkan ke dalam 36 ml MRSB steril dalam erlenmeyer 100 ml pada kondisi pH 5 diinkubasi pada suhu dan waktu yang sama dengan sebelumnya. Kultur kemudian disimpan di lemari pendingin suhu 4°C untuk selanjutnya digunakan pada tahap produksi ekstrak bakteriosin. Tahap aktivasi dilakukan pula terhadap bakteri-bakteri uji menggunakan media spesifik NB untuk E. coli dan media MRSB untuk P. acidilactici.
Produksi ekstrak bakteriosin
Produksi ekstrak bakteriosin dari
Lactobacillus sp. galur SCG 1223 dilakukan
pada fase pertumbuhan stasioner yaitu jam ke-25, setelah dilakukan aktivasi selama 24 jam pada suhu 37°C menggunakan MRSB. Hasil aktivasi diinkubasi kembali selama9 jam dalam inkubator bergoyang pada suhu 37°C. Kultur kemudian dikondisikan pada pH 7 dengan menambahkan NaOH 4 N (proses adsorpsi bakteriosin ke dalam sel produser), selanjutnya dipanaskan pada suhu 80°C selama 15 menit untuk mematikan sel produser. Tahap berikutnya kultur diinkubasi pada suhu 4°C selama 24 jam, dan disentrifyus pada kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit untuk memisahkan supernatan dengan massa sel berisi bakteriosin. Keasaman media berisi sel produser diatur pada pH 4 menggunakan HCl 4 N (proses desorpsi bakteriosin dari sel ke lingkungan) dan diinkubasi kembali pada suhu 4°C selama 24 jam dilanjutkan sentrifyus dengan kondisi serupa dengan sebelumnya. Supernatan dipisah dari sel produser menggunakan membran filter ukuran 0,22 µm
untuk memperoleh supernatan bebas sel yang disebut ekstrak bakteriosin.
Mikroenkapsulasi ekstrak bakteriosin Mikroenkapsulasi ekstrak bakteriosin dilakukan menggunakan pengering semprot. Sebanyak 20% ekstrak bakteriosin cair dienkapsulasi menggunakan pengkapsul campuran 16,67% susu skim dan 83,33% maltodekstrin. Maltodekstrin sebanyak 166,66 g dan susu skim sebanyak 33,34 g dicampurkan dan dilarutkan dalam 760 ml akuades untuk mendapat 1.000 g larutan. Selanjutnya campuran dihomogenisasi selama 30 menit dengan kecepatan putar 4.000 rpm. Homogenisasi pertama diikuti oleh pendinginan selama 12 – 24 jam pada suhu 4°C. Homogenisasi kedua dilakukan setelah penambahan 40 g ekstrak bakteriosin dengan kecepatan putar 4.000 rpm selama 15 menit. Campuran yang telah homogen kemudian dimasukkan ke dalam chamber pengering semprot. Pengeringan dilakukan dengan suhu masukan 100 – 110°C, suhu keluaran 70 – 80°C, dan laju alir (feed) 20 ml/menit. Tahap pengeringan dilakukan hingga diperoleh kadar air bubuk ekstrak bakteriosin sebesar 0,2 – 0,4%.
Penentuan kondisi pelarutan ekstrak bakteriosin
Volume ekstrak bakteriosin untuk uji hambat adalah 50 µl dengan konsentrasi bubuk ekstrak bakteriosin 80% (w/w) (NASUTION, 2009). Pelarutan ekstrak bakteriosin dilakukan pada faktor perlakuan kondisi pH (basa pH 10, netral/pH 7, asam pH 2), dan faktor suhu pelarutan (55° dan 85°C). Satu perlakuan diuji terhadap kedua bakteri uji secara duplo dengan dua ulangan.
Sebanyak 1 ml bakteri uji konsentrasi 106 cfu/ml dalam larutan garam fisiologis dimasukkan ke dalam cawan berisi MHA (DELGADO et al., 2001) dan dibuat sumur uji.
Bubuk ekstrak bakteriosin yang telah direhidrasi dipipet sebanyak 50 μl dan dituangkan ke dalam sumur uji pada permukaan MHA. Setelah larutan ekstrak bakteriosin meresap ke dalam agar dilanjutkan inkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Aktivitas hambat ditentukan dengan mengukur
luas zona bening di sekitar sumur uji. Aktivitas bakteriosin diekspresikan sebagai Arbitrary
Units per ml (AU/ml) dari medium kultur
(SIMONOVÁ dan LAUKOVÁ, 2007). Satu AU/ml merupakan luas daerah hambat per satuan volume sampel bakteriosin uji (mm2/ml) (TAGG andMCGIVEN, 1971). Secara matematis dituliskan persamaan sebagai berikut:
Aktivitas bakteriosin (mm2/ml) = 1AU/ml =
Lz = Luas zona bening (mm2) Ls = Luas sumur (mm2) V = Volume contoh (ml)
Kondisi penyimpanan bubuk ekstrak bakteriosin
Bubuk ekstrak bakteriosin untuk pengujian terhadap E. coli dan P. acidilactici disimpan selama 12 minggu. Penyimpanan bubuk ekstrak bakteriosin masing-masing dilakukan pada suhu dingin/refrigerasi (4°C) dan suhu ruang (25 – 31°C).
HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas hambat bubuk ekstrak bakteriosin pada berbagai kondisi pelarutan
Pengujian kemampuan aktivitas hambat bubuk bakteriosin terhadap E. coli dan P.
acidilactici diperlukan tahap rehidrasi atau
pelarutan pada konsentrasi tertentu dengan mengatur pH dan suhu pelarutannya. Pengaruh berbagai pH dan suhu pelarutan aktivitas hambat bubuk ekstrak bakteriosin dari
Lactobacillus sp. galur SCG 1223 terhadap E. coli dan P. acidilactici disajikan pada Gambar
1. Gambar 1 menunjukkan bahwa secara umum, aktivitas hambat bubuk ekstrak bakteriosin terhadap E. coli pada berbagai kondisi pelarutan lebih tinggi dibandingkan dengan terhadap P. acidilactici. Aktivitas hambat bubuk ekstrak bakteriosin terhadap E.
coli cenderung meningkat dengan suhu
pelarutan yang lebih tinggi. Pada suhu pelarutan 55°C dan 85°C aktivitas bubuk ekstrak bakteriosin memiliki pengaruh yang
Lz – Ls V
Gambar 1. Aktivitas hambat bubuk ekstrak bakteriosin Lactobacillus sp. galur SCG 1223 terhadap Escherichia coli dan Pediococcus acidilactici
relatif sama pada pH 7 dan 10, namun pada pH 2suhu pelarutan 85°C menurunkan kemampuan hambatnya terhadap E. coli. Hal ini menunjukkan kestabilan bubuk ekstrak bakteriosin terhadap kondisi panas dengan pH sampai basa. Mekanisme ketahanan bakteriosin terhadap panas terkait dengan struktur molekul bakteriosin yang merupakan peptida sederhana tanpa struktur tersier. Menurut DE VUYST dan
VANDAMME (1994a), stabilitas panas
disebabkan oleh adanya daerah yang sangat hidrofobik, ikatan silang yang stabil, dan tingginya kandungan glisin. Terganggunya aktivitas hambat bubuk ekstrak bakteriosin pada kondisi asam kemungkinan karena pada pH yang rendah muatan total bakteriosin menjadi positif sehingga bakteriosin menjadi bersifat polar dan kehilangan bagian hidrofobiknya (MURANO,2003).
Pengujian aktivitas hambat bubuk ekstrak bakteriosin terhadap P. acidilactici memiliki fenomena yang relatif sama dengan terhadap E.
coli. Suhu pelarutan 55°C menyebabkan
aktivitas hambat bubuk ekstrak bakteriosin terhadap P. acidilactici meningkat dengan meningkatnya nilai pH, namun pada penggunaan suhu pelarutan 85°C dengan pH
10 daya hambat menjadi turun. Hal ini kemungkinan karena adanya perubahan sisi aktif tertentu pada bakteriosin akibat pemanasan pada pH 10, salah satunya berupa reaksi Maillard (DE MAN, 1997) yang merubah gugus amina peptida bakteriosin, sehingga mengurangi sifat kationik bakteriosin. Hal ini mengurangi interaksi destabilisasi antara bakteriosin dengan lipoteichoic acid dan menjadikannya kurang aktif dalam menghambat
P. acidilactici (RAY,1994).
Kombinasi suhu dan pH pelarutan optimum ditunjukkan dengan aktivitas hambat bubuk ekstrak bakteriosin yang relatif paling tinggi. Aktivitas hambat bubuk bakteriosin yang relatif tinggi terhadap kedua bakteri uji ditunjukkan oleh kombinasi suhu pelarutan 55°C dan pH 10. Dengan kombinasi pelarutan tersebut, bubuk ekstrak bakteriosin dapat menghambat E. coli dengan aktivitas sebesar 1862,5 AU/ml dan menghambat P. acidilactici sebesar 1303,5 AU/ml.
Stabilitas bakteriosin pada kisaran pH yang luas penting dalam penerapannya pada berbagai jenis pangan, baik pangan berasam tinggi, netral, maupun pangan berasam rendah. Nisin yang dihasilkan oleh Lactococcus lactis secara komersial telah digunakan sebagai bahan 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 E. coli P. acidilactici Bakteri Uji A kt ivi ta s H am ba t B u buk B ak te ri os in da ri B A L ga lu r S C G 12 23 ( A U /m L ) pH2/55°C pH7/55°C pH10/55°C pH2/85°C pH7/85°C pH10/85°C
tambahan pangan pada sebagian besar negara-negara penghasil pangan (ANASTASIADOU et
al., 2007), pada keju olahan dan pangan
kalengan (GROSS danMOREL, 1971; LEE et al., 1999), serta produk kesehatan dan kosmetik, pasta gigi, dan mouthwash (HARLANDER, 1993
dalam KHALID et al., 1999), karena memiliki spektrum penghambatan yang luas dengan aktivitas antimikroba dan stabilitas yang tinggi pada kisaran pH dan suhu yang luas.
Aktivitas hambat bubuk ekstrak bakteriosin terhadap Escherichia coli
Kondisi dan lama waktu penyimpanan dapat mempengaruhi aktivitas hambat bubuk ekstrak bakteriosin dari Lactobacillus K sp. galur SCG 1223. Tidak terdapat ketentuan khusus bagi aktivitas hambat minimal bakteriosin sebagai agen antimikroba, karena 250 AU/ml enterocin (bakteriosin dari
Enterococcus faecium) diketahui masih mampu
menghambat 34% L. monocytogenes pada suhu 6°C setelah 48 jam aplikasi (HILL,1994).
Umur simpan optimum bubuk ekstrak bakteriosin penting untuk mengetahui waktu simpan maksimal. Gambar 2 menunjukkan aktivitas bubuk ekstrak bakteriosin terhadap E.
coli selama penyimpanan hingga 12 minggu
pada suhu dingin (4°C) dan suhu ruang (25 – 31°C).
Berdasarkan Gambar 2, aktivitas hambat bubuk ekstrak bakteriosin terhadap E. coli pada penyimpanan di suhu dingin meningkat sebesar 58,2% pada minggu ke-6, namun kembali menurun sebesar 52,3% pada minggu ke-12. Menurut THOMAS dan DELVES-BROUGHTON
(2005), beberapa proporsi nisin akan hilang seiring dengan waktu penyimpanan yang semakin lama. Selain waktu simpan, aktivitas nisin juga dipengaruhi oleh faktor suhu dan pH produk. Tingkat kehilangan tersebut relatif kecil dan stabil selama penyimpanan pada suhu rendah ( < 10°C). Peningkatan aktivitas hambat pada penyimpanan bubuk ekstrak bakteriosin dari Lactobacillus sp. galur SCG 1223 kemungkinan disebabkan oleh denaturasi protein susu skim yang menyelaputi ekstrak bakteriosin selama penyimpanan suhu rendah, karena menurut PARKER (2003), denaturasi protein adalah salah satu kerusakan (chilling
injury) yang disebabkan oleh suhu rendah
(4 – 10°C). Denaturasi protein menyebabkan perubahan struktur molekul protein tanpa pemutusan ikatan kovalen, biasanya diiringi
Gambar 2. Perubahan aktivitas hambat bubuk ekstrak bakteriosin dari Lactobacillus sp. galur SCG 1223
terhadap Escherichia coli selama penyimpanan 12 minggu 0 500 1000 1500 2000 2500 0 6 12
Umur Simpan (minggu)
A kt ivi ta s H am ba t B u buk B ak te ri os in da ri B A L ga lu r S C G 12 23 ( A U /m L ) 4°C 25 – 31°C
oleh hilangnya aktivitas biologi (DE MAN, 1997). Dengan demikian, ekstrak bakteriosin dapat keluar dari matriks pengkapsul dan menjadi lebih mudah dalam melakukan aksi penghambatannya terhadap E. coli.
Penurunan aktivitas hambat bubuk ekstrak bakteriosin terjadi pada saat menuju penyimpanan hingga 12 minggu. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya denaturasi bakteriosin yang telah bebas dari penjerapan bahan pengkapsul. Menurut OPHART (2003), denaturasi dapat terjadi pada struktur sekunder protein, dalam hal ini kemungkinan diantaranya adalah transkonformasi struktur α-heliks bakteriosin menjadi β-sheet yang lebih stabil pada kondisi terdenaturasi (MEERSMAN et al., 1999).
Suhu ruang menyebabkan bubuk ekstrak bakteriosin mengalami penurunan aktivitas sebesar 27,3% setelah penyimpanan 6 minggu pertama dan mengalami penurunan kembali sebesar 28,6% hingga minggu ke-12. Hal ini karena suhu penyimpanan dapat mempengaruhi kemampuan antibakteri bubuk ekstrak bakteriosin, seperti halnya bubuk nisin (MURRAY dan RICHARDS, 1998; MILLETTE,
2007). Suhu mampu mempengaruhi laju perubahan mutu suatu produk terkait dengan terjadinya reaksi kimia atau biokimia pada produk. Semakin tinggi suhu lingkungan yang mempengaruhi sistem, maka reaksi kimia atau biokimia yang memicu kerusakan produk menjadi semakin cepat terjadi. Laju reaksi kimia umumnya meningkat dua kali lebih tinggi setiap kenaikan suhu 10°C (PARKER, 2003). Untuk menghambat E. coli yang paling optimum bubuk ekstrak bakteriosin disimpan selama 6 minggu pada suhu dingin (4°C) dengan kondisi pelarutan suhu 55°C dan pH 10
menghasilkan aktivitas hambat sebesar 2062,5 AU/ml.
Perbandingan penghambatan bubuk ekstrak bakteriosin terhadap Escherichia coli dan Pediococcus acidilactici
Berdasarkan hasil pengujian daya hambat, diperoleh hasil bahwa bubuk ekstrak bakteriosin dari Lactobacillus sp. galur SCG 1223 memiliki aktivitas menghambat bakteri Gram positif (P. acidilactici) dan Gram negatif (E. coli). Setelah penyimpanan 12 minggu, terjadi penurunan aktivitas hambat terhadap kedua indikator tersebut (Tabel 1).
Pada penyimpanan 12 minggu,
penyimpanan pada suhu 4°C dapat meminimalisir persentase penurunan aktivitas hambat bubuk ekstrak bakteriosin dari
Lactobacillus sp. galur SCG 1223 terhadap E.
coli, dibandingkan penyimpanan suhu
25 – 31°C. Berbeda dengan daya hambat terhadap P. acidilactici, persentase penurunan aktivitas hambat pada penyimpanan di suhu 4°C dan 25 – 31°C pada minggu ke-12 relatif sama.
Penghambatan terhadap P. acidilactici
kemungkinan melalui mekanisme pembentukan kompleks antara ekstrak bakteriosin dari
Lactobacillus sp. galur SCG1223 dengan lipoteichoic acid pada dinding sel bakteri uji
untuk mengawali insersi kerusakan membran sel Gram positif tersebut. Menurut BHUNIA et
al. (1991), lipoteichoic acid yang merupakan
jenis teichoic acid, merupakan reseptor spesifik dan terkait dengan pengikatan pediosin AcH pada Gram positif yang resisten dan sensitif.
Menurut KLAENHAMMER et al. (1992), bakteriosin umumnya aktif melawan spesies
Tabel 1. Pengaruh kondisi penyimpanan terhadap aktivitas hambat bubuk bakteriosin Lactobacillus sp. galur
SCG 1223
Aktivitas hambat bubuk bakteriosin dari
Lactobacillus sp. galur SCG 1223
Bakteri uji Suhu simpan (oC) 0 minggu 12 minggu Penurunan aktivitas hambat setelah 12 minggu (%) Escherichia coli 4 1303,5 984,0 24,5 25 – 31 1862,5 966,5 48,1 4 1324,0 736,0 44,4 Pediococcus acidilactici 25 – 31 1303,5 737,0 43,4
yang erat hubungannya dengan bakteri produser pada ekologi yang serupa. Dengan demikian sensitivitas P. acidilactici terhadap bubuk ekstrak bakteriosin menunjukkan bahwa
Lactobacillus sp. galur SCG 1223 memiliki
hubungan kekerabatan filogeni dengan bakteri genus Pediococcus tersebut, antara lain pada homolog DNA, misalnya 16S rRNA, serta kemungkinan beberapa sifat fisiologi dan biokimia lainnya (RAY, 1994). Pediococcus acidilactici merupakan mikroba penting pada daging dan sayuran sehingga bubuk ekstrak bakteriosin Lactobacillus sp. galur SCG 1223 (diisolasi dari produk peternakan berupa susu sapi) dapat menjadi alternatif pilihan biopreservatif pada produk pangan peternakan dan sayuran.
Berdasarkan Tabel 1, aksi penghambatan bubuk ekstrak bakteriosin terhadap E. coli dan
P. acidilactici selama penyimpanan 12 minggu
mengalami penurunan terutama terhadap P.
acidilactici cukup signifikan. Tampak bahwa
pada 0 minggu, daya hambat bubuk ekstrak bakteriosin relatif tinggi terhadap E. coli. Namun bila dilihat dari persentase penghambatan, maka penurunan daya hambat terbesar (48,1%) justru terjadi terhadap E. coli pada penyimpanan bubuk ekstrak bakiteriosin suhu ruang selama 12 minggu, dibandingkan yang disimpan di suhu dingin (24,5%) dalam periode waktu yang sama, sedangkan penurunan daya hambat terhadap P. acidilactici relatif sama pada penyimpanan
suhu ruang dan dingin selama 12 minggu. Bubuk ekstrak bakteriosin Lactobacillus sp. galur SCG 1223 memiliki aktivitas hambat tertinggi terhadap E. coli yaitu 2062 AU/ml, kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh nisin terhadap bakteri Gram negatif. Hal ini karena membran luar bakteri Gram negatif bersifat protektif mencegah lintasan molekul-molekul yang berukuran melebihi 700 Da, sehingga nisin yang berukuran 3353 Da tidak mampu mencapai tempat aksinya (ADAM, 2003), kecuali dengan perlakuan pendahuluan secara mekanis (tekanan osmotik, tegangan listrik, dan tekanan tinggi). Aktivitas hambat ekstrak bakteriosin
Lactobacillus sp. galur SCG 1223
kemung-kinan karena ada sisi aktif bakteriosin yang bersifat sangat hidrofobik (bermuatan negatif) sehingga mampu mengikatkan diri pada membran luar E. coli, atau kemampuannya mengikat Mg2+ pada membran luar E. coli
seperti halnya agen pengkelat logam EDTA. Terikatnya ion-ion Mg2+ menghilangkan integritas lapisan lipopolisakarida dan kerusakan membran luar bakteri tersebut. Membran luar dinding sel bakteri Gram negatif berperan sebagai penghalang antibiotik tertentu (penisilin, sulfonamida), enzim pencernaan (lisozim), deterjen, logam berat, dan garam empedu (TORTORA et al., 2007).
KESIMPULAN
Aktivitas hambat optimum bubuk ekstrak bakteriosin Lactobacillus sp. galur SCG 1223 pada kondisi pelarutan pH 10 dan suhu 55°C yaitu 1862,5 AU/ml terhadap E. coli dan 1303,5 AU/ml terhadap P. acidilactici. Penyimpanan bubuk ekstrak bakteriosin yang efektif menghambat E. coli adalah pada suhu 4°C setelah 6 minggu dengan kondisi pelarutan pH 10 dan suhu 55°C dengan peningkatan aktivitas hambat sebesar 58,2%. Aktivitas hambat bubuk ekstrak bakteriosin yang disimpan pada suhu 4°C selama 12 minggu menjadi 984 AU/ml terhadap E. coli (turun 24,5%) dan 736 AU/ml terhadap P. acidilactici (turun 44,4%).
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Nur Annisa Utami, STP, alumnus Departemen Ilmu Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor atas terlaksananya penelitian ini. Demikian pula kepada Rachmiati Nasution, STP, atas bantuannya kepada Nur Annisa Utami, STP selama pelaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
ADAM, M. 2003. Nisin in Multifactorial Food Preservation. In: Natural Antimicrobials for the Minimal Processing of Foods. (S. ROLLER, Ed.), CRC Press, England.
ANASTASIADOU, S.,M. PAPAGIANNI, F. GEORGE, I. AMBROSIADIS and P. KOIDIS. 2007. Pediocin SA-1, an antimicrobial peptide from
Pediacoccus acidilactici NRRL B5627: Production conditions, purification and characterization. J. Bioresource Technol. 99(13): 5384 – 5390.
BELL, C. and A. KYRIADES. 2002. Pathogenic Eschericia coli. In: Foodborne Pathogens: Hazards, Risk Analysis and Control (BLACKBURN, CLIVE DE W. and PETER J. MCCLURE, (Eds.), Woodhead Publishing Limited, England. 280.
BHUNIA, A.K., M.C. JOHNSON, B. RAY, and N. KALCHAYANAND. 1991. Mode of action of pediocin AcH from Pediococcus acidilactici H on sensitive bacterial strains. J. Appl. Bacteriol. 70: 25 – 33.
DE MAN,J.M. 1997. Kimia Pangan, Ed. 2. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
DE VUYST, L. and E.J. VANDAMME. 1994a. Antimicrobial Potential of Lactic Acid Bacteria. In: Bacteriocins of Lactic Acid Bacteria (DE VUYST, L. and E.J. VANDAMME, Eds). Blackie Academic & Professional, Glasgow. pp. 91 – 142.
DE VUYST, L.andE.J. VANDAMME. 1994b. Lactid Acid Bacteria and Bacteriocins: Their Practical Importance. In: Bacteriocins of Lactic Acid Bacteria: Microbiology, Genetics, and Applications (LUC DE VUYST and ERICK J. VANDAMME, Ed), Blackie Academic & Professional, London. pp. 1 – 8.
DE VUYST,L.andF.LEROY. 2007. Bacteriocins from Lactic Acid Bacteria: Production, Purification, and Food Applications. J Molecular Microbiol. and Biotechnol. 13: 194 – 199. DELGADO, A., D. BRITO, P. FEREIRO, C. PERES and
J.F. MARQUES. 2001. Antimicrobial activity of
L. plantarum isolated from a traditional lactic
acid fermentation of table olives. EDP Sciences 81: 203 – 215.
DELVES-BROUGHTON, J. 1990. Nisin and its uses as a food preservative. J. Food Technol. 44: 100 – 112.
DZIEZAK, J.D. 1988. Microencapsulation and encapsulated ingredients. Food Technol. 42(151): 136 – 148.
GRIFFIN, D.H. 1991. Fungal Physiology. AWilley Interscience Publication, New York. pp 131 – 168.
GROSS, E.andJ. MORELL. 1971. The structure of nisin. J. Am. Chem. Sot. 93: 4634 – 4635. HILL, C. 1994. Enterocin 1146, A Bacteriocin
Produced by Enterococcus Faecium
DPC1146. In: Bacteriocins of Lactic Acid Bacteria: Microbiology, Genetics, and Applications (LUC DE VUYST and ERICK J. VAN DAMME, Eds.), Blackie Academic & Professional, London. p. 526.
JANUARSYAH, T. 2007. Kajian Aktivitas Hambat Bakteriosin dari Bakteri Asam Laktat Galur SCG 1223. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. JUNG, D.S.,F.W. BODYFELT and M.A. DAESCHEL.
1992. Influence of fat and emulsifier on the efficacy of nisin in inhibiting Listeria
monocytogenes in fluid milk. J. Dairy Sci. 75:
387 – 393.
KAILASAPATHY, K. 2002. Microencapsulation of Probiotic Bacteria: Technology and Potential Applications. Microencapsulation of Probiotic Bacteria 3: 39 – 48.
KHALID, F., R. SIDDIQI and N. MOJGANI. 1999. Detection and characterization of a heat stable bacteriocin (lactocin lc-09) produced by a clinical isolate of Lactobacilli. Med. J. Islamic Academy of Sci. 12(3): 67 – 71.
KLAENHAMMER,T.R.,C.AHN,C.FREMAUX and K. MILTON. 1992. Molecular Properties of
Lactobacillus Bacteriocins. In: Bacteriocins,
Microcins, and Lantibiotics (RICHARD JAMES, CLAUDE LAZDUNSKI and FRANC PATTUS, Eds.), Springer-Verlag Berlin Heidelberg, Germany. LEE, H.J., Y.J. JOO, C.S. PARK, S. HO KIM, I.K. HWANG, J.S. AHN and T.I. MHEEN. 1999. Purification and characterization of a bacteriocin produced by Lactococcus lactis subsp. lactis H-559 isolated from kimchi. J. Biosci. and Bioeng. 88(2): 153 – 159. MEERSMAN,F.L.SMELLER andK.HEREMANS.1999.
Pressure-assisted cold denaturation of proteins compared to pressure and heat denaturation: application to food components. J. the High Pressure School. Proc. of the III International Warsaw, 13 – 16 Sept. 1999.
MILLETTE, M.C.L.T., W. SMORAGIEWICZ and M. LACROIX. 2007. Inhibition of Staphylococcus
aureus on beef by nisin-containing modified
alginate films and beads. Food Control 18: 878 – 884.
MURANO, P.S. 2003. Understanding Food Science and Technology. Thomson-Wadsworth, United States.
MURRAY,M.andJ.A.RICHARDS. 1998. Comparative study on the antilisterial activity of nisin A and pediocin AcH in fresh ground pork stored aerobically at 5°C. J. Food Protection 60: 1534 – 1540.
NASUTION, R.S. 2009. Kajian Aktivitas Hambat Pertumbuhan Bakteri Patogen oleh Serbuk Bakteriosin yang Dihasilkan Bakteri Asam Laktat Galur SCG 1223. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
OPHART, C.E. 2003. Virtual Chembook. Elmhurst College, Elmhurst, Illinois.
PARKER, R. 2003. Introduction to Food Science. Delmar, USA.
PRIEST, F.G. 1999. Gram-positive Brewery Bacteria.
In: Brewing Microbiology, 2nd Ed. (F.G. PRIEST dan I. CAMPBELL, Eds.), Aspen Publication, Great Britain.
RAY, B. and R.A. FIELD. 1992. Antibacterial Effectiveness of a Pediocin AcH Based Biopreservatif Against Spoilage and Pathogenic Bacteria from Vacuum Packaged Refrigerated Meat. Proc. 38th International Congress of Meat Science and Technology, 23 – 28 Agustus 1992, Clermont Ferrand, France.
RAY,B. 1994. Pediocins of Pediococcus Species. In: Bacteriocins of Lactic Acid Bacteria: Microbiology, Genetics, and Applications (LUC DE VUYST and ERICK. J. VANDAMME, Eds.), Blackie Academic & Professional, London. pp. 465 – 495.
RAY,B.andK.W.MILLER. 2003. Bacteriocin Other Than Nisin: The Pediocin-Like Cystibiotics Of Lactic Acid Bacteria. In: Natural antimicrobials for the minimal processing of foods. (S.ROLLER, Ed.), CRC Press, England. SCANNELL, A.G.M.,C. HILL, R.P.ROSS, S.MARX,
W. HARTMEIER and E.K. ARENDT. 2000. Development of bioactive food packaging materials using immobilised bacteriocins Lacticin 3147 and Nisaplin. Int. J. Food Microbiol. 60: 241 – 249.
SIMONOVA,M.andA.LAUKOVA. 2007. Bacteriocin activiy of enterococci from rabbits. Summary of J. Vet. Res. Comm: 143 – 152.
STEVENS, K.A., B.W.SHELDON, N.A. KLAPES, and T.R. KLAENHAMMER. 1991. Nisin treatment for inactivation of Salmonella species and other Gram negative bacteria. Appl Environ Microbiol, 57: 3613 – 3615.
TAGG,J.R.andA.R.MCGIVEN. 1971. Assay System for Bacteriocins. J. Appl. Microbiol. 21: 943. TAGG, J.R.,A.S.DAJANI, andL.W.WANNAMAKER.
1976. Bacteriocins of Gram-positive bacteria. Bacteriol. Rev. 40: 722 – 756.
THOMAS, L.V. and J. DELVES-BROUGHTON. 2005. Nisin. In: Antimicrobials in Food, 3rd ed. (DAVIDSON,P.M.,J.N.SOFOS &A.L.BRANEN, EDS.). Taylor & Francis Group.
http://books.google.co.id/books?id=_L1c6rR-Mp4C&dq=cold+storage+of+nisin&source=g bs_navlinks_s. (12 Agustus 2009).
TORTORA, G.J. B.R. FUNKE andC.L. CASE. 2007. Microbiology: an Introduction, 9th ed. Pearson Benjamin Cummings, San Francisco. p.88. USMIATI, S. dan T. MARWATI. 2007. Seleksi dan
optimasi proses produksi bakteriosin dari
Lactobacillus sp. J. Penelitian Pascapanen
Pertanian. 4(1): 27 – 37.
USMIATI, S. dan E. NOOR. 2009. Karakter ekstrak bakteriosin dari bakteri asam laktat galur SCG 1223 selama penyimpanan pada berbagai pH dan suhu pemanasan. Pros. Simposium Pascapanen Pertanian 14 Agustus 2009. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian. hlm. 223 – 230.