1
Gitit I.P. Wacana*
ABSTRACT
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan relasi historis kekerabatan yang terdapat dalam bahasa Pamona, Bada dan Napu di Kabupaten Poso.Peneliti menggunakan teori leksikostatistik dengan menggunakan daftar kata dari Morrish Swadesh dalam menganalisis data.Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga bahasa tersebut presentasi kekerabatan yang bervariasi.Untuk bahasa Pamona dan bahasa Bada memiliki presentase kekerabatan yang rendah, begitu juga dengan bahasa Pamona dan bahasa Napu.Namun, dapat dilihat bahwa bahasa Bada dan bahasa Napu memiliki tingkat kekerabatan yang tinggi yaitu mencapai 75 %.Ini menunjukkan bahwa kedua bahasa itu merupakan bahasa yang berkerabat.
Kata kunci: relasi kekerabatan
Di negara Indonesia ini, terdapat banyak etnis yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.Setiap kelompok etnis memiliki bahasa dan dialek sendiri.Bahasa dan dialek tersebut digunakan untuk berkomunikasi antar sesama
masyarakat dalam etnis
tersebut.Selain itu, mereka juga memiliki budaya dan latar belakang sosial yang berbeda
dengan beragam jenis
vernacular.Oleh karena itu, berbagai bahasa dan budaya tersebut harus dipertahankan untuk menjaga keberagaman dalam persatuan sebagai warisan negara Indonesia.
Salah satu bahasa lokal yang terdapat di Indonesia adalah bahasa Pamona, Bada dan Napu. Ketiga bahasa ini memiliki status yang sama dengan bahasa-bahasa lokal lain di Indonesia. Ketiga bahasa ini juga digunakan oleh 3 suku besar
yang ada di Kabupaten Poso, Propinsi Sulawesi Tengah, yaitu
suku Pamona, Bada dan
Napu.Terdapat hipotesis awal bahwa ketiga bahasa tersebut memiliki kekerabatan dan berasal dari satu protobahasa.Oleh karena itu, penelitian ini diadakan untuk melihat relasi kekerabatan antar ketiga bahasa tersebut.
Penelitian mengenai relasi kekerabatan bahasa Pamona, Bada dan Napu di Kabupaten Poso ini membahas masalah
sejarah bahasa-bahasa
sekerabat tersebut dengan bertumpu pada kerangka teori Linguistik Historis Komparatif atau kajian Linguistik Diakronis.
Linguistik Historis Komparatif sebagai cabang ilmu Linguistik mempunyai tugas utama antara lain menetapkan fakta dan tingkat kekerabatan antarbahasa, yang berkaitan erat dengan pengelompokan bahasa-bahasa kerabat. Bahasa-bahasa-bahasa
sekerabat yang termasuk dalam anggota satu kelompok bahasa pada dasarnya memiliki sejarah perkembangan yang sama. Sesuai dengan tugas utama tersebut, Linguistik Historis Komparatif memiliki kewenangan dalam mengkaji relasi historis
kekerabatan di antara
sekelompok bahasa tertentu. Pada prinsipnya penelitian relasi kekerabatan antara bahasa Pamona, Bada dan Napu di Kabupaten Poso adalah suatu hal yang sangat menarik.Ketiga bahasa tersebut digunakan oleh 3 suku besar yang mendiami
wilayah Kabupaten
Poso.Walaupun demikian,
sumber referensi atau hasil penelitian yang berhubungan dengan ketiga bahasa ini masih sangat langka.Selain itu, dengan
mengetahui hubungan
kekerabatan antar ketiga bahasa,
dapat mempererat rasa
persaudaraan di antara para penutur bahasa-bahasa tersebut. Hal ini akan dapat memperkuat rasa persatuan dan kesatuan yang lebih baik. Untuk itulah peneliti merasa tertarik untuk meneliti hubungan kekerabatan antar ketiga bahasa.Diharapkan hasil penelitian dapat memberi kontribusi bagi terciptanya hubungan yang harmonis para pemakai bahasa yang ada di Kabupaten Poso.
Masalah hubungan
antarbahasa sekerabat dalam telaah komparatif pada prinsipnya dapat dibuktikan berdasarkan unsur-unsur warisan dari bahasa asal atau protobahasa
(proto-language). Protobahasa,
sebagaimana dikemukakan
Bynon (1979: 71) adalah suatu
gagasan teoritis yang
dirancangkan atas cara yang
amat sederhana guna
menghubungkan sistem-sistem bahasa sekerabat dengan memanfaatkan sejumlah kaidah. Gagasan tersebut menyatakan ikhtisar pemahaman kita pada
masa sekarang mengenai
hubungan gramatikal yang sistematis dari bahasa-bahasa yang mempunyai pertalian historis.
Dalam kajian itu perangkat kognat atau kata seasal seringkali mendapat perhatian penting pada taraf paling awal dalam rangka pengamatan hubungan kekerabatan antar bahasa.Pengamatan terhadap perangkat kognat mempunyai relevansi historisnya karena dengan memanfaatkan perangkat kognat dapat diformulasikan kaidah-kaidah perubahan bunyi yang teratur atau korespondensi
fonem antarbahasa
sekerabat.Sesuai dengan teori perubahan bahasa, bukan mustahil dari padanya dapat ditarik kesimpulan mengenai fakta atau keterangan yang berhubungan dengan peristiwa historis yang mempengaruhi bahasa.Berdasarkan
pemahaman terhadap kaidah perubahan bunyi yang teratur, misalnya dapat dilakukan pemilihan kata-kata bahasa sekarang yang merupakan kelanjutan dari bahasa asalnya.
Rekonstruksi protobahasa adalah suatu proses penemuan serta pemerian unsur-unsur warisan dan kaidah-kaidah dari bahasa asal (Arlotto, 1972: 10). Rekonstruksi protobahasa dalam arti yang terbatas merupakan
3
suatu alat yang terpenting yang dikembangkan untuk tujuan pengleompokan bahasa. Melalui prosedur yang dikenal sebagai metode komparatif dilakukan rekonstruksi protobahasa karena berpegang pada asumsi bahwa
bahasa-bahasa sekerabat
biasanya menyimpan dan
mengubah unsur-unsur warisan serta kaidah-kaidah melalui bermacam cara. Hubungan kekerabatan antarbahasa dapat ditetapkan secara lebih seksama dan tepat apabila dilakukan rekonstruksi protobahasa.Oleh karena itu, secara tradisional para sarjana ahli komparatif cenderung beranggapan bahwa rekonstruksi protobahasa perlu ditempuh sebelum diadakan
pengelompokkan bahasa
sekerabat (Dyen, 1978: 35).
Secara genetis
pengelompokkan bahasa dalam telaah komparatif dapat menyajikan keterangan tentang hubungan historis bahasa-bahasa sekerabat secara khusus.Sekurang-kurangnya semenjak Brugmann (1884), para
sarjana pada umumnya
cenderung sependapat bahwa
pengelompokkan harus
berdasarkan bukti-bukti kualitatif berupa inovasi bersama secara eksklusif (exclusive shared innovations).
Istilah inovasi berarti pembaharuan, yaitu perubahan
yang memperlihatkan
penyimpangan dari kaidah perubahan yang lazim berlaku.Di bidang fonologi pembaharuan itu bertalian dengan kaidah perubahan yang mendorong pembentukan kosa kata baru
sebagai penanda
pengelompokkan bahasa. Inovasi fonologis tampak dalam berbagai wujud perubahan misalnya yang menyangkut jumlah dan distribusi fonem seperti dikemukakan Antila (1972: 69) berupa split (pisahan), merger (paduan), partial merger (paduan sebagian), pelesapan, subtitusi, dsbnya. Dalam kaitannya dengan perubahan fonem yang teratur yang dijumpai pada bahasa-bahasa sekerabat sebagai warisan bahasa yang lebih awal, inovasi fonologis berupa split dapat diterangkan sebagai perubahan sebuah protofonem menjadi dua fonem atau lebih pada bahasa sekarang. Sebaliknya, apabila dua fonem atau lebih dari
protobahasa mengalami
perubahan menjadi satu fonem bahasa sekarang, inovasi tersebut dinamakan merger. Partial merger terjadi jika inovasi yang berupa split terjadi serentak dengan merger dua protofonem yang berbeda (misalnya x > x, y sekaligus y > y). Pelesapan dapat pula merupakan inovasi fonologis berupa pelesapan sebagian atau seluruhnya.Pada pelesapan sebagian protofonem adakalanya tidak berubah dan adakalanya mengalami pelesapan pada bahasa sekarang.Pelesapan seluruhnya memperlihatkan perubahan protofonem menjadi zero (0) pada bahasa sekarang.
Istilah retensi dibedakan dari inovasi karena retensi merupakan unsur warisan dari bahasa asal yang tidak mengalami perubahan pada
bahasa sekarang. Dalam
perkembangan historis bahasa sekerabat unsur retensi bersama dapat terjadi secara mandiri
tanpa melalui suatu masa perkembangan yang sama. Akan tetapi inovasi bersama yang dialami bahasa sekerabat secara eksklusif pada umumnya melalui suatu masa perkembangan bersama (Greenberg, 1957: 49). Menurut Greenberg, pengenalan suatu perangkat perubahan yang umum berlaku bagi suatu kelompok bahasa merupakan
masalah pokok dalam
pengelompokan bahasa.
Perubahan (yang berupa inovasi bersama) tersebut diasumsikan terjadi ketika keluarga bahasa sebagai suatu keseluruhan
mengalami pemisahan
(divergensi) atau ketika terjadi pencabangan suatu kelompok bahasa menjadi sejumlah subkelompok tertentu.
Adakalanya inovasi
bersama secara fonologis pada dua bahasa sekerabat atau lebih (misalnya subtitusi j > g yang dialami dua bahasa yang terpisah secara geografis dapat ditafsirkan sebagai dua inovasi yang terjadi secara terpisah (Nothofer, 1986: 13).Selain itu, karena dalam kenyataan seringkali inovasi bersama yang terjadi agak terbatas pula, dalam penetapan
pengelompokan bahasa
sekerabat kriteria yang digunakan tidak cukup kalau hanya meliputi inovasi fonologis yang dimiliki bersama secara eksklusif saja.Sebagai kelanjutannya diperlukan dukungan bukti-bukti berupa inovasi leksikal yang berguna untuk menjelaskan hubungan sejarah yang dialami oleh bahasa-bahasa sekerabat. Bukti-bukti lain di bidang gramatikal dan semantik dapat digunakan pula untuk melengkapi
kriteria pengelompokan secara fonologis dan leksikal tersebut.
Bukti-bukti kualitatif yang diperoleh melalui pendekatan kualitatif dapat ditelusuri secara lebih tuntas dan sistematis dalam prosedur rekonstruksi bahasa asal.Semakin banyak bukti kualitatif itu ditemukan semakin
meyakinkan pula hasil
pengelompokkan yang
mencerminkan relasi historis kekerabatan
antarbahasa.Pengelompokan pada umumnya dipandang tidak bermanfaat.
Pendekatan kuantitatif yang dilakukan melalui prosedur pengelompokan bahasa sesuai dengan perhitungan prosentase leksikostatistik banyak diterapkan para sarjana dalam menetapkan
pengelompokan bahasa
sekerabat disamping pendekatan kualitatif (Nothofer, 1986: 1). Pendekatan itu oleh sejumlah sarjana dipandang sebagai pendekatan yang lebih seksama untuk pengelompokan bahasa-bahasa sekerabat (Dyen, 1978: 50). Metodenya yang dipandang sederhana dapat diikhtisarkan sebagai berikut. Pendekatan ini menggunakan alat utama berupa daftar Swadesh (dua ratus kosa kata dasar yang baku) untuk menelusur padanan perangkat kognat ditetapkan dengan
mengandalkan pemahaman
tentang hukum perubahan bunyi yang teratur antarbahasa tersebut. Garis silsilah
kekerabatan atau pohon
kekerabatan (family tree) yang dihasilkan pendekatan kualitatif menggambarkan kekerabatan yang lebih erat atau tidak antarbahasa sekerabat dalam
5
usaha pengelompokan bahasa-bahasa tersebut (Dyen, 1975: 52).
Ada kecenderungan di kalangan para sarjana untuk lebih mengutamakan bukti-bukti kualitatif bilamana terdapat pertentangan antara bukti-bukti tersebut dengan bukti-bukti kuantitatif.Seperti dikemukakan Blust (1981), bukti-bukti kualitatif tampaknya menjadi dasar yang lebih terpercaya untuk penentuan pengelompokan.Bilamana
terdapat bukti-bukti kuantitatif yang sejalan dengan bukti-bukti kualitatif maka hasil yang dicapai oleh pendekatan kuantitatif dapat merupakan hipotesis yang sah bagi pendekatan kualitatif.Dalam kaitannya dengan itu ada kecenderungan beberapa sarjana untuk menerapkan pendekatan kuantitatif sebelum pendekatan kualitatif dilaksanakan.Gambaran
mengenai kekerabatan
antarbahasa yang dicapai
berdasarkan perhitungan
persentase leksikostatistik dapat diuji secara lebih seksama dan mendalam melalui pengamatan terhadap ciri-ciri inovasi bersama (Dyen, 1978: 51).
METODOLOGI
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif karena data yang ada adalah dalam bentuk teks tertulis dan bukan merupakan angka-angka.Menurut Strauss and Corbin (3002: 1) penelitian kualitatif adalah penelitian yang hasilnya tidak dalam bentuk statistik.Dapat juga dikatakan sebagai penelitian
yang menghasilkan data
deskriptif dalam bentuk kata-kata, ujaran dan tingkah laku.Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan linguistik historis komparatif. Penelitian ini dikatakan deskriptif karena meneliti suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki. (Nazir, 2005: 54)
ANALISIS
A. Tahap Pengelompokan Bahasa
I. Teknik Leksikostatistik Untuk dapat mengetahui hubungan kekerabatan antara kedua bahasa, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah
menganalisis hubungan
kekerabatan bahasa itu dengan metode leksikostatistik. Leksikostatistik adalah suatu teknik dalam pengelompokkan bahasa yang lebih cenderung mengutamakan peneropongan kata-kata (leksikon) secara statistic, untuk kemudian
berusaha menetapkan
pengelompokan itu berdasarkan prosentase kesamaan dan perbedaan suatu bahasa dengan bahasa lain.
Sebagaimana diketahui
beberpaa metode sudah
dikembangkan terlebih dahulu
untuk mengadakan
pengelompokan bahasa-bahasa, guna mengetahui tingkat kekerabatan antar bahasa.Tetapi metode-metode tersebut tidak dapat dipakai untuk menghitung
eratnya hubungan antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Melalui korespondensi fonemis dapat ditentukan fonem proto melalui rekonstruksi fonemis, morfem proto melalui rekonstruksi atas fonem-fonem proto yang terdapat pada sebuah bentuk, dan dapat ditentukan pula usia relatif unsur-unsur bahasa, dan tahap diferensiasi dialek-dialek. Dengan kata lain dapat ditetapkan hirarki perpisahan antara bahasa-bahasa kerabat, tetapi mettode-metode itu tidak memungkinkan para ahli mengatakan dengan pasti kapan bahasa-bahasa itu berpisah satu dari yang lain.
II. Penetapan kata kerabat (cognate)
Sebuah pasangan kata akan dinyatakan sebagai kata kerabat jika memenuhi salah satu ketentuan berikut:
1. Pasangan itu identik
Pasangan kata yang identik adalah pasangan kata yang semua fonemnya sama betul. Berikut ini akan disajikan dari ketiga bahasa yang diteliti.
Bahasa Pamona dan Bahasa Bada
Gloss Pamona Bada
‘abu’ awu awu
‘anak’ ana ana’
‘batu’ watu watu
Bahasa Pamona dan bahasa Napu
Gloss Pamona Napu
‘abu’ awu awu
‘alir’ moili moili
‘batu’ watu watu
Bahasa Bada dan bahasa Napu
Gloss Bada Napu
‘abu’ awu awu
‘apa’ apa apa
‘api’ api api
2. Pasangan kata yang memiliki korespondensi fonemis
Bila perubahan fonemis antara kedua bahasa itu terjadi secara timbal balik dan teratur, serta tinggi frekuensinya, maka bentuk yang berimbang antara kedua
bahasa tersebut dianggap berkerabat. Dalam hubungan ini okurensi fonem-fonem yang menunjukkan korespondensi itu dapat mengikutsertakan gejala-gejala kebahasaan lain yang disebut ko-okurensi.
Gloss Bahasa Pamona Bahasa Bada
‘alir’ moili ili
7
‘asap’ rangasu ranahu
3. Kemiripan secara fonetis Bila tidak dapat dibuktikan bahwa sebuah pasangan kata dalam kedua bahasa itu mengandung korespondensi fonemis, tetapi pasangan kata itu ternyata mengandung kemiripan secara fonetis dalam posisi artikulatoris
yang sama, maka pasangan itu dapat dianggap sebagai kata kerabat. Yang dimaksud dengan mirip secara fonetis adalah bahwa ciri-ciri fonetisnya harus cukup serupa sehingga dapat dianggap sebagai alofon.
Gloss Bahasa Pamona Bahasa Bada
‘baru’ wo’u dawo’u
‘beri’ wai we’i
‘cuci’ wuso’i baho’i
Gloss Bahasa Pamona Bahasa Napu
‘anak’ ana anangkoi
‘apung’ molanto nanto
‘bunuh’ pepate rapapate
Gloss Bahasa Bada Bahasa Napu
‘alir’ ili moili
‘anak’ ana anangkoi
‘bagaimana’ nu’umba noumba
4. Satu fonem berbeda
Bila dalam satu pasangan kata terdapat perbedaan satu fonem, tetapi dapat dijelaskan bahwa perbedaan itu terjadi karena pengaruh lingkungan yang
dimasukinya, sedangkan dalam bahasa lain pengaruh lingkungan itu tidak mengubah fonemnya, maka pasangan itu dapat ditetapkan sebagai kata kerabat, asal segmennya cukup panjang
Gloss Bahasa Pamona Bahasa Bada
‘anjing ‘ asu ahu
‘api’ apu api
‘belah’ bira bika
Gloss Bahasa Pamona Bahasa Napu
‘api’ apu api
‘baring’ moturu maturu
‘bulan’ wuya wula
Gloss Bahasa Bada Bahasa Napu
‘air’ uwai owai
‘bagaimana’ nu’umba noumba
Sesuai dengan hasil pengamatan yang berdasarkan pendekatan kuantitatif terhadap 3 bahasa dari 3 suku besar yaitu bahasa Pamona, Bada dan Napu
dengan perhitungan
leksikostatistik yang
menggunakan daftar dua ratus
kosa kata dasar Swadesh, presentasi kata seasal (kognat) ketiga bahasa yang diteliti adalah sebagai berikut.
Prosentase kekerabatan antara bahasa Pamona dan bahasa Bada:
PK = C x 100 % PK = prosentase kekerabatan 200 - n C = jumlah kata kerabat
n = jumlah kata tidak diperhitungkan PK = 94 x 100 %
200 - 0
PK = 9400 % = 47 % 200
Jadi presentase kekerabatan antara bahasa Pamona dan bahasa Bada adalah sebesar 47%.
Prosentase kekerabatan antara bahasa Pamona dan bahasa Napu:
Jadi presentase kekerabatan antara bahasa Pamona dan
bahasa Napu adalah sebesar 35%. Prosentase kekerabatan antara bahasa Bada dan bahasa Napu:
PK = C x 100 % PK = prosentase kekerabatan 200 - n C = jumlah kata kerabat
N = jumlah kata tidak diperhitungkan PK = 149 x 100 %
200 - 0
PK = 14900 % = 74.5 % = 75 % 200
Jadi presentase kekerabatan antara bahasa Bada dan bahasa Napu adalah sebesar 75 %.
Dari data hasil
penghitungan melalui metode leksikostatistik sederhana diatas dapat dilihat bahwa diantara ketiga bahasa tersebut yang memiliki kekerabatan paling
dekat adalah antara bahasa Pamona dan Bada (47 %).Juga terdapat kekerabatan antara bahasa Bada dan Mori (35 %).Sedangkan antara bahasa Bada dan bahasa Napu hanya
9
kekerabatannya yaitu sebesar 75 %.
Selanjutnya akan
dilakukan proses rekonstruksi fonologis secara sederhana dengan merekonstruksi fonem demi fonem protobahasa. Cara ini dimaksudkan agar dapat merumuskan kaidah perubahan setiap protofonem (reflex fonem-fonem protobahasa) terlebih dahulu sebelum melanjutkan pada tahap rekonstruksi leksikal.
SIMPULAN
Berdasarkan bukti
kuantitatif (perhitungan leksikostatistik), persentase perangkat kognat bahasa Pamona dan bahasa Bada sebesar 47 %, bahasa Pamona dan bahasa Napu 35 %, dan bahasa Bada dan bahasa Mori 75 % seperti terlihat dalam bagan berikut ini
Pamona - 35 % 47 %
Napu 35 % - 75 %
Bada 47 % 75 % -
Pamona Napu Bada
Dari hasil penghitungan tersebut dapat dilihat bahwa ketiga bahasa tersebut presentasi
kekerabatan yang
bervariasi.Untuk bahasa Pamona dan bahasa Bada memiliki presentase kekerabatan yang rendah, begitu juga dengan bahasa Pamona dan bahasa
Napu.Namun, dapat dilihat bahwa bahasa Bada dan bahasa
Napu memiliki tingkat
kekerabatan yang tinggi yaitu mencapai 75 %.Ini menunjukkan bahwa kedua bahasa itu
merupakan bahasa yang
berkerabat. DAFTAR PUSTAKA
Anceaux, J.C. 1965. “Austronesian Linguistics and Intra-Sub group Comparison”. Lingua 14:309-314
Bloomfield, Leonard. 1933. Language. New York. Holt, Rinehart and Winston
Catford, J C1977. Fundamental Problems in Phonetics. Edinburgh. University of Edinburgh Press.
Dhal, Otto Ch. 1976. Proto-Austonesia. London. Curzon Press Esser, S.J. 1938.Atlas Van Tropisch Nederland. Batavia Centrum
Franca, A Pinto da. 1970. Portuguese Influence in Indonesia. Jakarta. Gunung Agung
Greenberg, J. 1957. Essays in Linguistics. New York. Werner Grenn. Foundation for Anthropological Research
Swadesh, M. 1955. “Towards Greater Accuracy in Lexicostatistic Dating”. IJAL, 21:121-137.