• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mengklaim bahwa konvergensi Standar Akuntansi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mengklaim bahwa konvergensi Standar Akuntansi"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mengklaim bahwa konvergensi Standar Akuntansi Keuangan (SAK) Indonesia ke International Financial Reporting Standards (IFRS) bermanfaat untuk menurunkan kos modal (cost of capital). Dalam siaran pers deklarasi konvergensi SAK ke IFRS pada tanggal 23 Desember 2008, IAI menyatakan sebagai berikut:

Compliance terhadap IFRS memberikan manfaat terhadap keterbandingan laporan keuangan dan peningkatan transparansi. Melalui compliance maka laporan keuangan perusahaan Indonesia akan dapat diperbandingkan dengan laporan keuangan perusahaan dari negara lain, sehingga akan sangat jelas kinerja perusahaan mana yang lebih baik. Selain itu, program konvergensi juga bermanfaat untuk mengurangi biaya modal (cost of capital), meningkatkan investasi global, dan mengurangi beban penysusunan laporan keuangan. (IAI 2008)

Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK-IAI) dalam materi presentasi menyebutkan penurunan kos modal sebagai salah satu manfaat konvergensi SAK ke IFRS sebagai berikut:

Memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunaan Standar Akuntansi Keuangan yang dikenal secara internasional (enhance comparability), meningkatkan arus investasi global melalui transparansi, menurunkan biaya modal dengan membuka peluang fund raising melalui pasar modal secara global, menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan. (Wirahardja 2010, 11; Miharjo 2010, 51)

Hans Hoogervorst, chairman of the International Accounting Standards Board (IASB), juga menyatakan bahwa adopsi IFRS dapat menurunkan kos

(2)

modal. Dalam pidatonya di seminar internasional IAI-AFA bertajuk “IFRS and Indonesian Accounting Standards 2013 and Beyond” tanggal 6 Maret 2013, Hoogervorst menyatakan: “IFRS provides the global language that investors want. It gives added credibility to your capital market and brings down the cost of capital” (Hoogervorst 2013, 3). Menurut Hoogervorst, menerapkan IFRS sama dengan menggunakan bahasa yang berterima global sehingga investor asing melihat laporan keuangan di Indonesia mirip dengan laporan keuangan di negara asal mereka. Hal ini memberikan kredibilitas tambahan terhadap pasar modal Indonesia dan menurunkan kos modal.

Menurut perspektif perusahaan, kos modal adalah “the cost of using the funds of creditors and owners” (CFA 2013, 2). Perusahaan menggunakan dana pemegang saham dan kreditor untuk mendanai proyek-proyek yang menciptakan nilai (value creating projects). Kos modal ini sebesar tingkat return atau imbal hasil yang disyaratkan oleh pemegang saham dan kreditor sebagai kompensasi atas kontribusi kapitalnya (CFA 2013, 3). Van Horne dan Wachowicz mendefinisikan kos modal sebagai “the required rate of return on the various types of financing” (Van Horne dan Wachowicz 2008, 383). Komponen-komponen primer pendanaan perusahaan yaitu utang, saham preferen, dan saham biasa sehingga kos modal perusahaan meliputi kos utang (cost of debt), kos saham preferen (cost of preferred stock), dan kos modal ekuitas (cost of equity capital) (Van Horne dan Wachowicz 2008, 383). Rata-rata berbobot kos komponen-komponen pendanaan ini menurut proporsinya masing-masing merepresentasikan

(3)

kos modal keseluruhan sebuah perusahaan atau disebut Weighted Average Cost of Capital (WACC) (Van Horne dan Wachowicz 2008, 390).

Menurut Li (2010), terdapat dua argumen tentang mekanisma IFRS mengurangi kos modal ekuitas yaitu melalui peningkatan pengungkapan dan keterbandingan informasi keuangan (Li 2010, 611). Argumen pertama yaitu IFRS mensyaratkan pengungkapan keuangan yang lebih banyak dibanding sebagian besar standar akuntansi lokal, contohnya ditunjukkan oleh Ashbaugh dan Pincus (2001) dan Ding dkk. (2007) sehingga penerapan IFRS meningkatkan kualitas dan kuantitas pengungkapan keuangan perusahaan, contohnya ditunjukkan oleh Daske dan Gebhardt (2006) dan Morris, Susilowati, dan Gray (2012). Penelitian empiris Botosan (1997) dan Francis, Khurana, dan Pereira (2005) menunjukkan bahwa level pengungkapan dalam pelaporan keuangan berasosiasi negatif dengan kos modal ekuitas. Apabila penerapan IFRS meningkatkan pengungkapan keuangan, kos modal ekuitas perusahaan diekspektasikan menurun. Menurut penelitian Barry dan Brown (1985) tentang risiko estimasi, peningkatan pengungkapan mengurangi risiko estimasi (ketidakpastian parameter model) saat investor mengestimasi parameter return sekuritas berdasarkan informasi yang tersedia. Barry dan Brown (1985) menemukan bahwa dalam situasi terdapat perbedaan jumlah informasi yang tersedia pada seluruh sekuritas (differential information), sekuritas dengan jumlah informasi yang lebih banyak mempunyai beta yang lebih rendah (Barry dan Brown 1985, 412). Dalam Capital Asset Pricing Model (CAPM), beta yang lebih rendah menghasilkan tingkat return ekspektasian (kos modal ekuitas) yang lebih rendah. Menurut penelitian Amihud dan Mendelson

(4)

(2000) tentang likuiditas sekuritas, peningkatan pengungkapan untuk mengurangi asimetri informasi di antara para pelaku pasar modal dapat mengurangi adverse selection cost dalam harga bid dan ask sekuritas sehingga menurunkan bid-ask spread (Amihud dan Mendelson 2000, 19-20). Amihud dan Mendelson (1986) menemukan bahwa tingkat return ekspektasian sekuritas (kos modal ekuitas) meningkat relatif terhadap bid-ask spread (Amihud dan Mendelson 1986, 246). Apabila bid-ask spread sekuritas menurun, tingkat return ekspektasian sekuritas (kos modal ekuitas) menjadi lebih rendah. Argumen kedua yaitu adopsi IFRS secara global meningkatkan keterbandingan informasi keuangan lintas negara karena penerapan standar akuntansi yang seragam, contohnya ditunjukkan oleh Jones dan Finley (2011) dan Yip dan Young (2012). Barth, Clinch, dan Shibano (1999) menemukan bahwa harmonisasi standar akuntansi secara internasional mengurangi expertise acquisition cost yang timbul saat investor asing menginterpretasikan laporan keuangan yang disusun dengan standar akuntansi domestik. Menurut Li (2010), berkurangnya kos untuk memperoleh informasi yang ditanggung oleh investor saat berinvestasi pada perusahaan yang berlokasi di negara yang berbeda dapat mengurangi asimetri informasi dan/atau risiko estimasi sehingga menurunkan kos modal ekuitas perusahaan (Li 2010, 611).

Li (2010) menguji secara empiris peran peningkatan pengungkapan dan keterbandingan informasi keuangan sebagai mekanisma adopsi wajib IFRS mengurangi kos modal ekuitas. Li (2010) menggunakan hasil survei GAAP 2001 (Nobes 2001) untuk mengukur skor peningkatan pengungkapan keuangan dan keterbandingan informasi keuangan sesudah adopsi wajib IFRS di Uni Eropa.

(5)

Skor peningkatan pengungkapan diukur dengan jumlah tambahan pengungkapan yang disyaratkan oleh IFRS yang tidak terdapat dalam local GAAP. Skor peningkatan keterbandingan diukur dengan jumlah inkonsistensi antara local GAAP dan IFRS. Li (2010) menemukan negara-negara dengan skor peningkatan pengungkapan dan keterbandingan informasi keuangan yang tinggi mengalami penurunan kos modal ekuitas yang secara signifikan lebih besar dibanding negara-negara dengan skor peningkatan pengungkapan dan keterbandingan informasi keuangan yang rendah. Berdasarkan temuan ini, Li (2010) menyimpulkan bahwa peningkatan pengungkapan dan keterbandingan informasi keuangan merupakan dua mekanisma IFRS mengurangi kos modal ekuitas (Li 2010, 631).

Meskipun terdapat penelitian-penelitian terdahulu yang mendukung klaim bahwa adopsi IFRS mengurangi kos modal, penelitian-penelitian empiris baik yang menguji dampak adopsi wajib maupun dampak adopsi sukarela IFRS pada kos modal ekuitas belum memperoleh bukti yang konsisten. Palea (2007) menemukan penurunan kos modal ekuitas pada 35 bank di tujuh negara sesudah adopsi wajib IFRS di Uni Eropa. Lee, Walker, dan Christensen (2008) dan Li (2010) menemukan penurunan kos modal ekuitas yang signifikan di negara-negara Uni Eropa sesudah adopsi wajib IFRS, tetapi efek ini tergantung kepada faktor kekuatan penegakan hukum dan insentif pelaporan keuangan di sebuah negara. Patro dan Gupta (2014) menemukan penurunan kos modal ekuitas di Hong Kong dan Filipina sesudah adopsi wajib IFRS, sedangkan kos modal ekuitas di China dan Israel justru meningkat sesudah adopsi wajib IFRS. Cuijpers dan Buijink (2005) gagal menemukan bukti penurunan kos modal ekuitas pada 114

(6)

perusahaan nonkeuangan di Uni Eropa yang melakukan adopsi sukarela IAS/IFRS atau US GAAP. Daske (2006) gagal memperoleh bukti penurunan kos modal ekuitas pada perusahaan-perusahaan di Jerman yang melakukan adopsi sukarela IAS/IFRS. Daske dkk. (2013) menemukan rata-rata kos modal ekuitas perusahaan-perusahaan di 30 negara yang mengadopsi IFRS secara sukarela tidak mengalami perubahan yang signifikan. Kim, Shi, dan Zhou (2014) menemukan kos modal ekuitas pada perusahaan-perusahaan di 34 negara yang melakukan adopsi sukarela IFRS secara signifikan lebih rendah dibanding kos modal ekuitas pada perusahaan-perusahaan nonpengadopsi IFRS.

Beberapa penelitian empiris terdahulu telah menemukan bukti penurunan kos modal ekuitas di negara-negara yang melakukan adopsi wajib IFRS atau mengizinkan adopsi sukarela IFRS, contohnya secara berturut-turut yaitu Li (2010) dan Kim, Shi, dan Zhou (2014), tetapi belum ada penelitian empiris yang menemukan bukti penurunan kos modal ekuitas di negara yang melakukan konvergensi IFRS. Menurut survei penggunaan IFRS dalam Pocket Guide to IFRS 2016, Indonesia adalah satu-satunya yurisdiksi yang sedang melakukan proses konvergensi standar akuntansi nasionalnya dengan IFRS (Pacter 2016, 28). Penulis baru menemukan satu penelitian dalam jurnal ilmiah yang menguji dampak adopsi IFRS di Indonesia pada kos modal ekuitas yaitu penelitian Fitriany dkk. (2016). Mereka menemukan secara rata-rata kos modal ekuitas tidak mengalami perubahan yang signifikan sesudah adopsi IFRS di Indonesia (Fitriany dkk. 2016, 84). Temuan Fitriany dkk. (2016) ini menunjukkan bahwa belum ada bukti empiris penurunan kos modal ekuitas sesudah adopsi IFRS di Indonesia.

(7)

Oleh karena itu, klaim IAI bahwa konvergensi SAK ke IFRS bermanfaat untuk menurunkan kos modal belum memiliki bukti empiris.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris manfaat konvergensi SAK Indonesia ke IFRS yaitu penurunan kos modal dengan menguji perbedaan antara kos modal ekuitas pada perioda sebelum dan sesudah penerapan SAK berbasis IFRS. Penelitian ini fokus pada kos modal ekuitas yaitu tingkat return yang disyaratkan atas investasi pemegang saham biasa perusahaan (Van Horne dan Wachowicz 2008, 383). Penelitian ini fokus pada konvergensi SAK Indonesia ke IFRS fase pertama yang telah dilaksanakan selama perioda 2008 hingga 2012 karena dalam fase ini SAK berbasis IFRS pertama kali berlaku di Indonesia. Perioda penelitian ini dimulai pada tahun 2008 dan berakhir pada tahun 2013. Perioda penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu 1) perioda sebelum penerapan SAK berbasis IFRS (2008-2011) dan 2) perioda sesudah penerapan SAK berbasis IFRS (2012-2013). Perioda sebelum penerapan SAK berbasis IFRS dimulai pada tahun 2008 karena tahun ini merupakan awal konvergensi SAK ke IFRS. Perioda sesudah penerapan SAK berbasis IFRS dimulai pada tahun 2012 karena SAK per 1 Januari 2012 secara material telah konsisten dengan IFRS per 1 Januari 2009 (IAI 2015, 4). Seperti dalam penelitian Lee, Walker, dan Christensen (2008) dan Li (2010), perioda sesudah penerapan SAK berbasis IFRS terdiri atas dua tahun yang merepresentasikan masa first transition dan initial settling down yaitu secara berturut-turut tahun 2012 dan 2013.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu di Indonesia yang dilakukan oleh Fitriany dkk (2016) sekurang-kurangnyanya dalam empat hal.

(8)

Pertama, Fitriany dkk. (2016) menguji dampak adopsi IFRS pada kos modal ekuitas, sedangkan penelitian ini menguji perbedaan antara kos modal ekuitas pada perioda sebelum dan sesudah penerapan SAK berbasis IFRS. Kedua, Fitriany dkk. (2016) menentukan tahun sebelum adopsi IFRS yaitu tahun 2010 dan sesudah adopsi IFRS yaitu tahun 2013, sedangkan penelitian ini menentukan perioda sebelum penerapan SAK berbasis IFRS yaitu 2008 hingga 2011 dan perioda sesudah penerapan SAK berbasis IFRS yaitu 2012 hingga 2013. Ketiga, Fitriany dkk. (2016) menghitung kos modal ekuitas dengan CAPM, sedangkan penelitian ini menghitung kos modal ekuitas dengan model Utami (2006) yang berbasis pada model Ohlson (1995). Keempat, Fitriany dkk. (2016) mengeliminasi perusahaan-perusahaan keuangan dari sampel penelitiannya, sedangkan penelitian ini tidak mengeliminasi perusahaan-perusahaan keuangan dengan tujuan memelihara keterwakilan setiap sektor industri dan jumlah sampel.

Penelitian ini memiliki konteks yang menarik karena implementasi IFRS di Indonesia dilakukan dengan metoda konvergensi. Konvergensi SAK Indonesia ke IFRS bertujuan untuk compliance dengan IFRS, tetapi tidak mengadopsi seluruh standar-standar IFRS ke dalam SAK. Contohnya, dalam konvergensi SAK ke IFRS fase pertama, DSAK-IAI tidak mengadopsi IFRS 1 First-time adoption of International Financial Reporting Standards, IAS 41 Agriculture, dan IFRIC 15 Agreements for the Construction of Real Estate (IAI 2015, 4). Di samping itu, DSAK-IAI melakukan penyesuaian-penyesuaian pada standar-standar IFRS yang diadopsi ke dalam SAK sehingga SAK berbasis IFRS tidak sama persis dengan IFRS yang diterbitkan oleh IASB. Sebagai contoh,

(9)

perbedaan-perbedaan antara PSAK 10 (revisi 2010): Pengaruh Perubahan Kurs Valuta Asing dan IAS 21 The Effects of Changes in Foreign Exchange Rates per 1 Januari 2009 disajikan di lampiran 1.

1.2 Rumusan Masalah

IAI mengklaim konvergensi SAK Indonesia ke IFRS bermanfaat untuk menurunkan kos modal. Penelitian-penelitian empiris terdahulu telah menemukan bukti penurunan kos modal ekuitas di negara-negara yang melakukan adopsi wajib IFRS dan di negara-negara yang mengizinkan adopsi sukarela IFRS. Namun, belum ada penelitian empiris yang menemukan bukti penurunan kos modal ekuitas di negara yang melakukan konvergensi standar akuntansi nasionalnya dengan IFRS. Penelitian empiris terdahulu di Indonesia menemukan kos modal ekuitas tidak mengalami perubahan yang signifikan sesudah adopsi IFRS. Oleh karena itu, klaim IAI bahwa konvergensi SAK ke IFRS bermanfaat untuk menurunkan kos modal belum mempunyai bukti empiris.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Apakah terdapat perbedaan antara kos modal ekuitas pada perioda sebelum dan sesudah penerapan SAK berbasis IFRS?

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji perbedaan antara kos modal ekuitas pada perioda sebelum dan sesudah penerapan SAK berbasis IFRS.

1.5 Motivasi Penelitian

Klaim IAI bahwa konvergensi SAK Indonesia ke IFRS bermanfaat untuk menurunkan kos modal belum mempunyai bukti empiris. Penelitian ini penting

(10)

karena bertujuan untuk memperoleh bukti empiris manfaat konvergensi SAK Indonesia ke IFRS.

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini menyediakan desain penelitian untuk menguji perbedaan antara kos modal ekuitas pada perioda sebelum dan sesudah penerapan SAK berbasis IFRS. Penelitian ini dapat memberikan bukti empiris manfaat konvergensi SAK Indonesia ke IFRS yang diklaim oleh IAI yaitu penurunan kos modal.

1.7 Kontribusi Penelitian

Kontribusi teoretis dari penelitian ini yaitu menyediakan literatur penelitian empiris yang menguji perbedaan antara kos modal ekuitas pada perioda sebelum dan sesudah penerapan SAK berbasis IFRS. Penelitian ini juga membahas tentang mekanisma IFRS menurunkan kos modal ekuitas. Penelitian ini dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya tentang: 1) pengaruh penerapan SAK berbasis IFRS pada kos modal ekuitas dan 2) mekanisma SAK berbasis IFRS mengurangi kos modal ekuitas.

Kontribusi kebijakan dari penelitian ini yaitu menyediakan bukti empiris manfaat konvergensi SAK Indonesia ke IFRS untuk mendukung keberlanjutan program konvergensi SAK dengan IFRS yang dilaksanakan oleh DSAK-IAI. Regulator dapat menggunakan temuan penelitian ini sebagai dasar kebijakan untuk mendorong kepatuhan perusahaan-perusahaan publik terhadap SAK berbasis IFRS yang telah berlaku di Indonesia. Tujuannya yaitu agar perusahaan memperoleh manfaat ekonomik yang optimal dari SAK berbasis IFRS.

(11)

1.8 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Penelitian ini menguji perbedaan antara kos modal ekuitas pada perioda sebelum dan sesudah penerapan SAK berbasis IFRS. Kos modal ekuitas dihitung dengan model Utami (2006) yang berbasis pada model Ohlson (1995). Sampel penelitian ini yaitu perusahaan-perusahaan publik yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Perioda sebelum penerapan SAK berbasis IFRS yaitu mulai tahun 2008 hingga 2011 dan perioda sesudah penerapan SAK berbasis IFRS yaitu mulai tahun 2012 hingga 2013.

1.9 Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri atas lima bab yaitu:

1. Bab pertama membahas latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, motivasi penelitian, manfaat penelitian, kontribusi penelitian, ruang lingkup dan batasan penelitian, dan sistematika penulisan. 2. Bab kedua membahas konsep-konsep yang relevan, penelitian-penelitian

terdahulu dan hipotesis.

3. Bab ketiga membahas definisi dan pengukuran variabel, sumber dan jenis data, metoda penyampelan, metoda analisis, dan uji asumsi.

4. Bab keempat menyajikan data dan analisis.

5. Bab kelima menyajikan simpulan, keterbatasan penelitian, dan saran untuk penelitian di masa datang.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Tabel 4.1, hasil observasi pada siklus I yang telah dilakukan pada saat penelitian dapat diketahui bahwa terlihat dari beberapa siswa yang aktivitas belajarnya

Kuesioner dilakukan dengan memberikan beberapa pertanyaan kepada target player game yang akan dibuat dimana pertanyaan yang diberikan merupakan pertanyaan untuk menentukan

Dari ketiga permaslahan yang ditemukan pada website perusahaan, maka dapat disimpulkan sebuah konsep penelitian dimana website quality yang buruk mempengaruhi user

Namun pada tanggal 7 September 2012 Pemerintah Kota Medan mendapatkan pinjaman investasi daerah dari Pusat Investasi Pemerintah (PIP) kementrian Republik Indonesia senilai

Didapati bahawa strategi penterjemahan yang diaplikasikan terpengaruh oleh tiga faktor yang utama, iaitu jenis chengyu yang hadir dalam teks sumber, konteks ayat

Bagi para pelaku industri kreatif di Sumatera Barat, mungkin juga perlu memahami bahwa industri kreatif sebagai mesin pertumbuhan ekonomi mencerminkan

teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Namun dapatlah dikatakan bahwa pelaksanaan proses pembinaan hanya akan berjalan secara efektif, bila mana dilakukan oleh