• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN. Latar Belakang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Pembangunan keluarga adalah upaya mewujudkan keluarga berkualitas dalam lingkungan yang sehat. Pembangunan ini perlu diprioritaskan karena keluarga merupakan unit sosial ekonomi terkecil dalam masyarakat yang menjadi landasan dasar suatu masyarakat. Keluarga juga mempunyai sejumlah fungsi strategis yang tidak dapat digantikan oleh lembaga manapun. Terbentuknya keluarga berkualitas akan melahirkan masyarakat dan bangsa yang berkualitas.

Salah satu upaya mewujudkan keluarga berkualitas adalah melalui program keluarga berencana (KB). Undang-undang (UU) Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyebutkan bahwa “keluarga berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas.”

Visi Program KB Nasional saat ini adalah terwujudnya “Keluarga Berkualitas 2015.” Adapun misinya sebagaimana tertuang dalam Renstra Program KB Nasional tahun 2005-2009 adalah: “Membangun setiap keluarga Indonesia untuk memiliki anak ideal, sehat, berpendidikan, sejahtera, berketahanan dan terpenuhi hak-hak reproduksinya melalui pengembangan kebijakan, penyediaan layanan promosi, fasilitasi, perlindungan, informasi kependudukan dan keluarga, serta penguatan kelembagaan dan jejaring KB” (BKKBN, 2006a)

.

Sejumlah bukti menunjukkan manfaat pelaksanaan program KB. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), bila perempuan bisa mengatur kehamilannya, angka kematian ibu akan berkurang hingga sepertiganya. Ibu berkesempatan mengembangkan potensi dirinya dan anak yang dilahirkan menjadi lebih sehat dan cerdas karena perhatian dan nutrisinya cukup (BKKBN online, 19 April 2009). Program KB berkontribusi meningkatkan gizi ibu dan anak, mutu tenaga kerja, produktivitas, partisipasi sekolah, tingkat pendidikan tinggi, tabungan pribadi dan umum. Program KB menurunkan konsumsi, biaya

(2)

kesehatan reproduksi dan pendidikan. Program KB juga berperan dalam mengatasi perangkap kemiskinan (proverty trap) (Sugiri Syarief, 19 Juni 2009). Wakil Presiden yakin, jika pelaksanaan program keluarga berencana (KB) gagal, akan mengakibatkan ledakan jumlah penduduk yang akhirnya dapat menimbulkan masalah sosial seperti keterbatasan lapangan kerja, kemiskinan, keterbatasan pangan dan meningkatnya pengangguran (BKKBN online, 27 Februari 2010).

Selain untuk kesehatan ibu, anak dan kesejahteraan keluarga, menurut Menko Ekuin, KB juga menciptakan kondisi positif bagi pembangunan nasional dan daerah. Pertumbuhan ekonomi tidak akan berjalan jika tidak didukung SDM yang memadai. Sebaliknya, pembangunan kualitas SDM tidak akan tercapai tanpa dukungan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan kualitas sumberdaya manusia akan sulit terlaksana jika jumlah penduduk tidak terkendali (Progresif Jaya, 11 Maret 2007).

Kajian Saleh di Jawa Timur (2005)

Perkembangan penduduk yang tidak terkendali juga dapat memunculkan permasalahan lingkungan hidup. Di satu sisi pertambahan penduduk dunia terus terjadi, di sisi lain adanya keterbatasan sumberdaya tanah, air, hutan dan perikanan (Population Matters, 2000). Pesatnya pertumbuhan penduduk juga meningkatkan “produksi”/timbunan sampah yang dapat berakibat fatal jika tidak ditangani dengan benar. Kasus puluhan orang meninggal di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah Bandung adalah salah satu buktinya. Kondisi ini tidak saja dapat terjadi di kota-kota besar, melainkan juga kota-kota sedang dan bahkan kota kecil seperti Kota Cimahi (Harian Pikiran Rakyat, 03 Agustus 2009).

menunjukkan bahwa program KB berperan dalam mengurangi kemiskinan. Kajian Ascobat Gani di DKI Jakarta menunjukkan bahwa selama tahun 1990-2000, program KB telah berhasil menyegah kelahiran penduduk sebanyak 1.818.270 jiwa. Dari hal ini, Pemerintah DKI dapat menghemat Rp2,59 triliun untuk biaya pendidikan dasar dan Rp3,3 triliun untuk biaya kesehatan dasar (Kesrepro.info, 30 September 2007).

Pada akhirnya, jika jumlah penduduk dapat dikendalikan akan berdampak positif bagi dunia sebagaimana yang diharapkan dari kesepakatan Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs). Sekjen PBB Khofi Anan (2002) menyatakan, MDGs, terutama pengentasan kemiskinan dan

(3)

kelaparan, tidak dapat dicapai jika masalah kependudukan dan kesehatan reproduksi tidak ditangani dengan baik. Ini berarti diperlukan upaya yang lebih keras untuk meningkatkan hak azasi perempuan, investasi pendidikan dan KB. Dengan berbagai manfaat tersebut, sudah seharusnya program KB menjadi prioritas Pemerintah.

Seiring dengan diterapkannya otonomi daerah, program KB mengalami perubahan paradigma. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan dan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, program KB tidak lagi dilaksanakan sentralistik di bawah koordinasi BKKBN, melainkan didesentralisasikan kepada daerah. Jadi, Kabupaten/Kota memiliki kemandirian dalam menangani masalah KB, termasuk urusan anggaran dan personilnya.

Pada awal pelaksanaan desentralisasi tahun 2004, sebagian besar kabupaten/kota menunjukkan komitmen rendah. Hal ini tampak dari bentuk kelembagaannya yang digabung dengan badan/dinas/kantor yang dianggap sejenis. Bentuk kelembagaan dari 331 kabupaten/kota yang sudah dituangkan dalam bentuk Perda (Peraturan Daerah) dan 81 kabupaten/kota dalam bentuk SK Bupati/Walikota adalah sebagai berikut: (1) Dinas utuh sebanyak 31 kabupaten/kota, (2) Dinas merger sebanyak 151 kabupaten/kota), (3) Dinas insert (yang diintegrasikan ke Dinas lain) sebanyak 8 kabupaten/kota, (4) Badan utuh sebanyak 52 kabupaten/kota, (5) Badan merger sebanyak 91 kabupaten/kota dan (6) Kantor utuh sebanyak 46 kabupaten/kota. Dalam hal ini, Provinsi jawa Barat termasuk ke dalam bentuk Dinas merger (BKKBN, 2006a).

Kondisi lain yang terjadi di era desentralisasi KB adalah berkurangnya banyak penyuluh KB, baik karena beralih tugas menjadi pejabat struktural di tingkat kabupaten/kota/kecamatan, menjadi tenaga administrasi maupun karena pensiun. Menurut Kepala BKKBN, saat ini jumlah petugas lapangan KB sekitar 24.500 orang. Padahal idealnya, setiap desa mempunyai dua petugas lapangan KB (Antara News, 29 Januari 2010).

Berbagai kondisi di atas menyebabkan terbengkalainya aktivitas penyuluhan KB. Dampaknya adalah meningkatnya pertumbuhan penduduk dengan pesat. Tahun 2006 laju pertambahan penduduk mencapai 1,6 persen per

(4)

tahun. Hal ini dinilai sangat mengkhawatirkan, karena berarti setiap tahun terdapat kelahiran 3-4 juta bayi. Untuk itulah Presiden sudah memberikan sinyal “lampu kuning” (Antara News, 10 November 2006). Kepala BKKBN memerkirakan tahun 2008-2014 akan terjadi ledakan kelahiran bayi (baby boom) tahap kedua, setelah yang pertama terjadi tahun 1970-an. Penyebabnya, saat ini kondisi keluarga Indonesia sedang mengalami masa produktif yang ditandai dengan proses kelahiran. Dengan meledaknya kaum usia muda (20-30 tahun), dapat diprediksi angka kelahiran juga akan meledak (BKKBN online, 29 Agustus 2008).

Menurut hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 237.556.363 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun (Wikipedia, 3 Desember 2010). Jumlah ini bertambah 32,5 jiwa sejak tahun 2000. Hal ini berarti setiap bulannya bertambah 270.833 jiwa, setiap harinya bertambah sebesar 9.027 jiwa, setiap jam bertambah 377 jiwa dan setiap detik bertambah 1,04 (1-2 jiwa) (Burton, 17 Agustus 2010).

Sebagian dari keluarga yang memiliki anak banyak tersebut adalah mereka yang kurang mampu dan tinggal di pedesaan. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah anak yang dilahirkan dari seorang perempuan usia produktif (Total Fertility Rate/TFR) turun menjadi 2,6, namun TFR di pedesaan masih lebih tinggi dibandingkan di perkotaan yakni 2,8 berbanding 2,3 (BPS et al., 2008). Pemantauan Peserta KB Aktif Melalui Mini Survei di Indonesia Tahun 2004 (BKKBN – Puslitbang KB dan Kesehatan Reproduksi, 2004) juga menunjukkan pemakaian alat/cara KB lebih banyak dijumpai pada wanita dengan tahapan keluarga KS 2 ke atas daripada wanita dari keluarga miskin (Pra KS dan KS 1).

Hasil SDKI tahun 2007 juga menyatakan bahwa 50,4 persen kalangan suami masih menginginkan mempunyai lebih dari dua anak. Adapun pada pasangan yang memiliki tiga anak hidup, hanya 78,9 persen laki-laki (suami) yang menyatakan tidak ingin menambah anak lagi (BKKBN online, 30 Maret 2009).

Berbagai kondisi di atas terjadi karena rendahnya tingkat pengetahuan PUS tentang KB dan Kesehatan Reproduksi (KR). Menurut Kepala BKKBN, 70 persen pasangan keluarga muda usia di atas 20 tahun tidak mengenal KB

(5)

(BKKBN online. 9 November 2010). Beberapa penelitian (antara lain Utsman, 2002; Triyono dan Uminastiti, 2002; Siti Amanah et al., 2009) memerkuat hal ini.

Terbengkalainya penyuluhan KB ikut berdampak pada masih tingginya AKB dan AKI. Menurut Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, rata-rata AKB pada periode 2003-2007 relatif stagnan di kisaran 34 per 1.000 kelahiran, padahal target MDGs pada tahun 2015 adalah 19 per 1.000 kelahiran (Ibubayi.com. 21 April 2010). Untuk AKI, tahun 2007 angkanya masih 228/100.000 kelahiran hidup, padahal targetnya adalah 102 per 100.000 kelahiran hidup (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan/TNP2K, 26 Maret 2010).

Semakin banyak anak terutama di kalangan keluarga miskin akan menurunkan kualitas keluarga dan pada akhirnya menurunkan kualitas masyarakat dan bangsa. Berdasarkan data Indeks Pembangunan Manusia/IPM (Human Development Index/HDI Report 2006), menurut Kepala BKKBN (2007), Indonesia hanya menempati urutan ke-108 dari 177 negara yang dikaji. Berbagai kondisi ini dikhawatirkan akan melahirkan sebuah “generasi yang hilang” (lost of generations), yakni sebuah generasi yang tidak mampu berkontribusi dan hanya menjadi beban bagi bangsa dan negara.

Pelaksana penyuluhan dan pelayanan KB (non-medis) adalah para Penyuluh KB (PKB). Mereka adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berstatus tenaga fungsional yang bertugas membina satu atau lebih desa. Saat ini, tidak sedikit dari mereka yang bertambah jumlah desa binaannya disebabkan berkurangnya jumlah PKB akibat pindah ke jalur struktural maupun pensiun.

Dalam menjalankan tugas, mereka dibantu secara sukarela oleh para Kader KB yang merupakan penduduk setempat. Dengan kedekatan tempat tinggal ini, diharapkan Kader lebih mampu memotivasi dan menggerakkan PUS agar secara sadar mau dan mampu menerapkan perilaku ber-KB. Untuk lebih memercepat proses perubahan perilaku ini, para Kader diharapkan dapat memberikan contoh/teladan. Di sisi lain, dengan sifat pekerjaannya yang sukarela, mereka rentan drop out/DO. Untuk itulah, PKB dituntut mampu membina dan memotivasi mereka agar tidak DO dan tetap memiliki kinerja yang baik.

(6)

Tugas penyuluhan KB semakin berat seiring menurunnya dukungan media massa dalam menginformasikan KB. Jika tahun 2002/2003, terdapat 52,0 persen perempuan pernah kawin yang dalam waktu satu bulan sebelum wawancara pernah mendengar/melihat pesan KB dari radio/ TV/ koran/ majalah/ poster/ pamphlet, maka pada SDKI 2007 angkanya menurun menjadi hanya 33,3 persen (BKKBN online, 30 Maret 2009). Tantangan lainnya adalah tingkat pengetahuan para tokoh agama tentang KB yang masih belum mendalam (BKKBN online, 17 Februari 2008).

Berbagai kondisi di atas diduga akan memengaruhi kinerja PKB dan Kader KB. Untuk itulah, kinerja mereka perlu dikaji, terutama terkait dengan faktor-faktor yang memengaruhinya. Hal ini disebabkan kinerja seorang pegawai sangat ditentukan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internalnya antara lain adalah karakteristik individu, motivasi internal dan kompetensi. Faktor eksternalnya adalah kondisi lingkungan di luar mereka yang dapat berupa lingkungan fisik, sosial (dukungan masyarakat), lembaga/organisasi tempat PKB bekerja serta dukungan Pemerintah kabupaten/kota.

Beberapa penelitian (antara lain Nurhayani, 2007; Iswari et al., 2009; Alfikri, 2009) telah mengaji faktor-faktor yang memengaruhi kinerja PKB. Namun demikian, semua penelitian tersebut tidak melanjutkan kajiannya pada dampak kinerja PKB pada kinerja Kader KB. Padahal, adanya keterkaitan tersebut perlu dikaji dampaknya, agar dapat diketahui efektivitas model penyuluhannya.

Masalah Penelitian

Kinerja merupakan gambaran tingkat pencapaian pelaksanaan kegiatan pegawai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab. Semakin tinggi kinerja pegawai, semakin tinggi pula tingkat pencapaian tujuan organisasinya. Bagi organisasi publik yang lebih berorientasi pada pelayanan masyarakat, kajian kinerja sangat diperlukan sebagai proses evaluasi agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Seiring dengan diterapkannya paradigma pelayanan publik di bidang KB yang bersifat desentralistik, maka perlu dan penting untuk dikaji faktor-faktor yang dapat meningkatkan kinerja penyuluh KB beserta dampaknya pada kinerja

(7)

Kader KB sebagai pihak yang membantu penyuluhan. Untuk mendapatkan informasi lebih lengkap, perlu dikaji pula faktor-faktor yang memengaruhi kinerja Kader KB.

Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang menurut data Sensus Penduduk tahun 1971, 1980, 1990 dan 2000 serta Sensus Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995 memiliki laju pertumbuhan penduduk selalu lebih tinggi dari angka nasional (BPS, 2002). Meskipun Angka Fertilitas Totalnya tidak selalu lebih tinggi dari angka nasional, akan tetapi selalu lebih tinggi dibandingkan angka provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa (BPS, 2002).

Angka persentase peserta KB aktif dibanding PUS (Current User per PUS atau CU/PUS) rata-rata di Provinsi Jawa Barat selama tahun 2000-2007 berkisar antara 72,30 – 74,67 persen. Di antara 26 kabupaten/kota yang ada di wilayah tersebut, tiga kabupaten yang selalu memiliki persentase di bawah angka tersebut adalah Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kota Depok (kecuali Kota Depok pada tahun 2005), sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Persentase peserta KB aktif dibanding PUS (CU/PUS) di tiga lokasi penelitian tahun 2000-2007 Kabupaten/Kota Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1. Kab. Bogor 68,76 66,48 68,88 68,83 71,42 68,20 72,92 70,90 2. Kab. Cianjur 68,81 70,73 69,63 67,11 70,79 68,30 70,46 68,28 3. Kota Depok *) 72,56 70,93 71,51 71,81 72,46 72,12 72,88 Prov. Jawa Barat 72,30 73,30 72,80 72,51 72,56 72,18 73,59 74,67

Sumber: Laporan Bulanan Pengendalian Lapangan (F/1/Kab/Dal) BKKBN Provinsi Jawa Barat, 2007

Keterangan: *) tidak ada data

Dampak langsung dari rendahnya kesertaan ber-KB dapat dilihat dari rata-rata laju kesuburan perempuan (total fertility rate/TFR). Di Provinsi Jawa Barat selama tahun 2001-2007, angkanya berkisar antara 2,15 hingga 2,52 dan sejak tahun 2005 selalu menurun. Untuk kabupaten Bogor, angkanya selalu sama atau lebih tinggi dari angka Provinsi. Untuk kabupaten Cianjur, pada awalnya angkanya selalu lebih tinggi, namun mulai tahun 2004 sudah mulai selalu di

(8)

bawah angka Provinsi. Sebaliknya, untuk Kota Depok, jika pada awalnya selalu di bawah angka Provinsi, namun sejak 2006 angkanya lebih tinggi dari Provinsi. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan TFR di tiga lokasi penelitian tahun 2001-2007

Kabupaten/Kota Tahun SUSENAS SUSEDA 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1. Kab. Bogor 2,43 2,20 2,18 3,09 2,89 2,69 2,51 2. Kab. Cianjur 2,53 2,35 2,20 2,04 2,10 2,07 2,25 3. Kota Depok 2,04 2,00 1,88 2,30 2,45 2,42 2,35 Prov. Jawa Barat 2,21 2,20 2,15 2,52 2,53 2,39 2,30 Sumber: Data diolah (SUSEDA dan Hasil Pendataan Keluarga)

Kondisi tersebut secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada aspek-aspek lainnya seperti tingkat DO pada anak, kasus kekurangan gizi, kekerasan dalam rumah tangga hingga perceraian. Pada gilirannya, hal ini dapat menurunkan kualitas keluarga dan masyarakat.

Rendahnya perilaku ber-KB dapat disebabkan oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal/lingkungan. Faktor internalnya antara lain tingkat pendidikan (terutama perempuan), tingkat pengetahuan tentang KB, kondisi sosial ekonomi keluarga, relasi suami-istri serta pemahaman tentang agama dan sistem nilai sosial masyarakat. Adapun faktor eksternalnya antara lain ketersediaan alat/obat/metode kontrasepsi yang dapat diakses keluarga miskin, jarak antara rumah dengan fasilitas kesehatan dan ketersediaan tenaga medis.

Faktor eksternal lainnya yang ikut menentukan adalah efektivitas program penyuluhan KB. Dalam hal ini, pihak yang memiliki posisi penting dan strategis adalah para penyuluh KB beserta para Kader yang membantu mereka. Semakin baik kinerja mereka, semakin baik pula proses perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan para PUS (terutama dari keluarga miskin) tentang KB, sehingga dapat dicegah lahirnya keluarga yang tidak berkualitas. Dengan demikian, kinerja mereka harus terus dijaga dan ditingkatkan.

(9)

Kinerja juga dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Untuk itu, penelitian ini bermaksud mengaji faktor-faktor pengaruh tersebut, agar dapat diketahui upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kinerja mereka. Adapun rumusan pertanyaan penelitiannya adalah: (1) Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi kinerja PKB dalam melaksanakan

tugas penyuluhan KB?

(2) Bagaimana pengaruh kinerja PKB pada kinerja Kader KB dalam membantu tugas PKB?

(3) Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi kinerja Kader KB dalam membantu tugas PKB?

Tujuan Penelitian

Kinerja PKB sangat berperan dalam menjaga dan meningkatkan kinerja Kader KB. Kinerja mereka yang tinggi diharapkan akan memeercepat terjadinya perubahan perilaku ber-KB PUS, terutama keluarga miskin. Mengingat kinerja ditentukan oleh banyak faktor, maka penelitian ini bertujuan untuk:

(1) Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kinerja PKB dalam melaksanakan tugas penyuluhan KB.

(2) Mengaji pengaruh kinerja PKB pada kinerja Kader KB.

(3) Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kinerja Kader KB dalam membantu tugas PKB.

Manfaat Penelitian

(1) Manfaat dari aspek teoritis:

(1.1) Memerkuat bangunan teori kinerja dalam konteks penyuluhan KB.

(1.2) Memerkaya hasil penelitian tentang kinerja yang digali melalui teknik penilaian diri (self-assessment).

(2) Manfaat praktis :

(2.1) Hasil penelitian ini diharapkan menjadi rujukan Pemerintah kabupaten/kota dalam meningkatkan komitmen pelaksanaan program

(10)

KB melalui peningkatan kinerja PKB dan Kader KB guna memercepat terjadinya perubahan perilaku ber-KB masyarakat.

(2.2) Teknik ”self-assessment” (menilai diri sendiri) yang digunakan diharapkan mampu menumbuhkan otokritik bagi responden untuk memerbaiki dan meningkatkan aspek-aspek kerja yang dianggap masih lemah agar dapat menjalankan tugas penyuluhan dengan baik. Dengan terbatasnya anggaran pelatihan dan pendidikan (diklat), teknik ini diharapkan dapat menjadi alternatif solusi evaluasi kinerja pegawai.

Definisi Istilah

Definisi istilah adalah penjelasan istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini untuk membatasi lingkup maknanya serta memudahkan pengukurannya. Penelitian ini menggunakan dua sudut pandang yakni dari sisi PKB dan Kader KB. Dilihat dari responden PKB, yang dimaksud PKB adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berstatus tenaga fungsional yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan dan pelayanan KB. Berikut ini dijelaskan definisi istilah atas peubah-peubah yang digunakan dari sudut pandang PKB yakni:

X11

X

Kompetensi PKB adalah sejumlah kemampuan yang harus dimiliki PKB dalam melaksanakan tugas dan fungsinya yang mencakup 11 aspek yakni: kemampuan aksi sosial, apresiasi keragaman budaya, penyusunan program penyuluhan, pemanfaatan sumberdaya lokal, pengelolaan informasi, relasi interpersonal, penyelenggaraan penyuluhan, kepemimpinan, pengelolaan organisasi, profesionalisme dan bidang keahlian selaku penyuluh KB. 12

X

Motivasi PKB adalah dorongan yang berasal dari diri PKB itu sendiri dalam upaya melaksanakan tugas dan fungsinya, yang mencakup empat aspek yakni: dorongan berprestasi, dorongan meningkatkan kompetensi, dorongan berafiliasi/hubungan sosial dan dorongan mendapatkan kekuasaan/pengaruh.

13 Lingkungan PKB adalah serangkaian kondisi di luar diri PKB yang dapat memengaruhi pelaksanaan kerja, yang terdiri dari: lingkungan fisik,

(11)

lingkungan sosial, lingkungan organisasi PKB, lembaga diklat dan dukungan politik Pemerintah Kabupaten/Kota.

Y11

Y

Kinerja PKB adalah tingkat keberhasilan mereka dalam menjalankan tugas selaku penyuluh KB sesuai dengan kemampuan yang dibutuhkan yakni dalam hal: pelaksanaan aksi sosial, pengapresiasian keragaman budaya, penyusunan program penyuluhan, pemanfaatan sumberdaya lokal, pengelolaan informasi, relasi interpersonal, penyelenggaraan penyuluhan, kepemimpinan, pengelolaan organisasi, profesionalisme dan pelaksanaan di bidang keahlian.

12

Selanjutnya, yang dimaksud Kader KB dalam penelitian ini adalah warga setempat yang secara sukarela membantu pelaksanaan tugas responden PKB dengan kriteria aktif membantu responden PKB minimal tiga tahun hingga saat berlangsungnya penelitian, telah menikah dan mempunyai anak minimal dua orang. Berikut ini dijelaskan peubah-peubah yang digunakan untuk mengukur kinerja Kader KB dari pandangan Kader KB itu sendiri yaitu:

Kinerja Kader KB adalah tingkat keberhasilan anggota masyarakat yang secara sukarela membantu mereka menjalankan tugas penyuluhan dan pelayanan KB di tingkat Dusun/RW/RT menurut pandangan/penilaian PKB. Indikatornya adalah tingkat keberhasilan dalam: memberikan KIE/konseling KB, membentuk dan mengembangkan “3 Bina” (Bina Keluarga Balita/BKB, Bina Keluarga Remaja/BKR dan Bina Keluarga Lansia/BKL), melakukan pendataan dan memberikan peneladanan dalam menerapkan nilai-nilai KB.

X21

X

Kompetensi Kader KB adalah sejumlah kemampuan yang harus dimiliki Kader KB dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, mencakup: konseling KB, upaya mendorong pembentukan dan pengembangan tiga kelompok binaan (“3 Bina” yang mencakup Bina Keluarga Balita/BKB, Bina Keluarga Remaja/BKR dan Bina Keluarga Lansia/BKL) dan pendataan Keluarga Sejahtera (KS).

22 Motivasi Kader KB adalah dorongan yang berasal dari diri Kader KB dalam upaya melaksanakan tugas dan fungsinya, mencakup: dorongan untuk berprestasi, dorongan meningkatkan kompetensi, dorongan

(12)

berafiliasi/hubungan sosial dan dorongan mendapatkan kekuasaan/pengaruh.

X23

X

Lingkungan Kader KB adalah serangkaian kondisi di luar diri Kader KB yang diduga ikut memengaruhi pelaksanaan kerja mereka, mencakup: lingkungan fisik, lingkungan sosial dan dukungan pemerintah kabupaten/kota.

24

Y

Kinerja PKB adalah tingkat keberhasilan PKB dalam menjalankan tugas mereka selaku penyuluh dan pembina Kader KB menurut pandangan/penilaian Kader KB, mencakup: pemotivasian Kader KB, pemberian KIE terhadap calon akseptor dan penggalangan dukungan dari kalangan tokoh agama dan masyarakat.

21 Kinerja Kader KB adalah tingkat keberhasilan anggota masyarakat yang secara sukarela membantu PKB menjalankan tugas penyuluhan dan pelayanan KB di tingkat Dusun/RW/RT, mencakup: pemberian KIE/konseling KB, pembentukan dan pengembangan “3 Bina,” pendataan dan peneladanan dalam menerapkan KB.

Referensi

Dokumen terkait

Surat Keterangan yang menyatakan bahwa bakal calon yang bersangkutan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang dari Kepolisian sesuai tingkatannya..

Sukatan Pelajaran Pendidikan Seni Visual Kurikulum Bersepadu Sekolah Rendah merangkumi tajuk-tajuk yang menegaskan penerokaan, proses penghasilan, pengertian seni secara

Modeling daily soil water dynamics during vertical drainage using the incoming flow concept.. Electronics Journal

Para auditor internal dapat menyiapkan diri mereka untuk peran ini tidak hanya dengan berpartisipasi dalam pendidikan berkelanjutan dan menghadiri konferensi yang

PINTA MARITO DAULAY (080309004) dengan judul penelitian “SIKAP DAN PERILAKU PETANI TERHADAP KINERJA PENYULUH PERTANIAN DI KABUPATEN PADANG LAWAS ( Kasus: Desa Gunung

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) peran ulama sangat dibutuhkan dalam membimbing dan membina perilaku beragama masyarakat dan dilakukan dengan model-model

Studi ini meliputi pembuatan serbuk umbi porang, ekstraksi glukomanan berbantu ultrasonik menggunakan pelarut isopropanol kadar 50% dan 60%, analisis kadar glukomanan dengan

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA dalam bab ini akan dijelaskan mengenai kondisi objektif Bank BNI Syariah Cabang Cirebon, gambaran mengenai pengaruh