• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAPISAN BAKTERI ASAM LAKTAT PENGHAMBAT PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENAPISAN BAKTERI ASAM LAKTAT PENGHAMBAT PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PENAPISAN BAKTERI ASAM LAKTAT PENGHAMBAT

PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus

(Screening of Lactic Acid Bacteria as a Growth Inhibitors

of Staphylococcus aureus)

Siti Chotiah

Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. RE Martadinata No. 30, Bogor 16114 sitichoti@yahoo.co.id

ABSTRACT

Staphylococcus aureus is the etiological agent in a variety of infections in humans and livestock and

produces enterotoxins leading to staphylococcal food poisoning, one of the most prevalent foodborne intoxication diseases world wide. Bacteriocins as an alternative to antibiotics that can be used to inhibit the growth of S. aureus in both the cases livestock infections or contamination of their production. The study of lactic acid bacteria screening as a growth inhibitor of S. aureus has been done with the goal as the first step in getting an alternative to antibiotics. A total of 149 samples of cows and goats milk from farms in Bogor have been isolated for lactic acid bacteria, and screened of the ability in inhibiting the growth of S. aureus ATCC 25932/BCC B2062 using the agar diffusion test. The results showed that 3 of the 192 isolates of lactic acid bacteria isolated showed growth inhibition activity with inhibition zone diameter of 15 mm, 13 mm and 11 mm respectively shown by Lactobacillus plantarum SS 78, Streptococcus mutants SS73b and Streptococcus

uberis SS2. This study indicates that the three lactic acid bacteria producing bacteriocins potential for animal health and food safety.

Key Words: Lactic Acid Bacteria, Antibacteria, S. Aureus

ABSTRAK

Staphylococcus aureus merupakan agen penyebab dalam berbagai infeksi pada manusia dan ternak, serta

menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan keracunan makanan (foodborne poisoning) yang paling umum di seluruh dunia. Bakteriosin sebagai alternatif antibiotik yang dapat dipergunakan untuk menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus baik dalam kasus infeksi pada ternak maupun cemaran bahan pangan asal ternak. Studi tentang penapisan bakteri asam laktat penghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus telah dilakukan dengan tujuan sebagai langkah awal dalam mendapatkan alternatif pengganti antibiotik. Sebanyak 149 sampel susu sapi dan kambing dari peternakan di Bogor telah dilakukan isolasi bakteri asam laktat, dan penapisan terhadap kemampunnya dalam menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus ATCC 25932/BCC B 2062 menggunakan uji difusi agar. Hasil studi menunjukkan bahwa 3 dari 192 isolat bakteri asam laktat terisolasi menunjukkan aktivitas hambatan pertumbuhan dengan diameter zona hambat sebesar 15, 13 dan 11 mm masing-masing berurutan ditunjukkan oleh Lactobacillus plantarum SS 78,

Streptococcus mutan SS73b, dan Streptococcus uberis SS2. Studi ini mengindikasikan bahwa tiga bakteri

asam laktat tersebut potensial sebagai penghasil bakteriosin untuk kesehatan ternak dan keamanan bahan pangan asal ternak.

Kata Kunci: Bakteri Asam Laktat, Antibakteri, S. Aureus

PENDAHULUAN

Staphyloccocus (S) aureus merupakan bakteri piogenik yang sering menyebabkan lesi yang bersifat supuratif, dan selalu ada di mana-mana, seperti udara, debu, air buangan, air, susu, makanan dan peralatan makan,

lingkungan, tubuh manusia dan hewan seperti kulit, rambut/bulu dan saluran pernafasan (Fueyo et al. 2005). Pada sapi, domba, kambing, dan kuda dapat menimbulkan klinis mastitis, pada ayam menimbulkan omphalitis dan pada kalkun menimbulkan artritis dan septisemia (Quin et al. 2002).

(2)

Sifat patogen dari S. aureus karena dapat menghasilkan faktor-faktor virulensi yaitu koagulase, enzim (lipase, esterase, elastase, stafilokinase, deoksiribonuklease, hialuronidase, dan fosfolipase), protein A, leukosidin, dan toksin (, , eksfoliatif, enterotoksin, dan toksik shok sindrom) (Quin et al. 2002). Toksin bersifat tahan dalam suhu tinggi, meskipun bakteri mati dengan pemanasan namun toksin yang dihasilkan tidak akan rusak dan masih dapat bertahan meskipun dengan pendinginan ataupun pembekuan (Larkin et al. 2009).

S. aureus merupakan bakteri foodborne poisoning (Le Loir et al. 2003), karena dapat menyebabkan keracunan pada manusia akibat mengkonsumsi toksin yang dihasilkan di dalam makanan (Bergdoll 1990). Keracunan yang terjadi sebagai akibat pasien mengkonsumsi toksin dalam jumlah 100-200 ng yang dihasilkan oleh 106-107 colony forming unit (CFU)/ml atau CFU/g dalam 30 g/ml makanan (Ray dan Bhunia 2008). Harmayani et al. (1996) menyebutkan bahwa enterotoksin mulai terdeteksi pada total populasi S. aureus 108 CFU/g.

Cemaran bakteri S. aureus pada bahan pangan asal ternak terdeteksi dari karkas ayam di pasar tradisional dan pasar swalayan di Bandung dan Bekasi masing-masing sebanyak 41% dan 33,3% (Chotiah 2009), dan dari bahan baku sate ayam pada suatu industri jasa boga (Harmayani 1996). Untuk mengatasi infeksi S. aureus pada ternak dan cemaran pada bahan pangan asal ternak diperlukan masing-masing kontrol biologi dan biopreservatif yang ramah lingkungan dan tidak menyebabkan efek negatif bagi konsumen. Di luar negeri bakteriosin telah digunakan sebagai biopreservatif pada bahan pangan karena kemampuannya dalam menghambat bakteri perusak dan patogen, serta tidak meninggalkan residu yang menimbulkan efek negatif pada manusia (Cleveland et al. 2001). Bakteriosin jenis Laktisin 3147 juga telah digunakan sebagai desinfektan pada puting susu sapi dan untuk mengobati mastitis karena kemampuannya dalam menghambat bakteri S. aureus dan Streptococcus dysgalactiae (Twomey et al. 2000).

Studi tentang penapisan bakteri asam laktat (BAL) penghasil bakteriosin penghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus telah dilakukan sebagai langkah awal dalam

mendapatkan bakteri penghasil bakteriosin yang berpotensi sebagai biokontrol dan biopreservatif pada ternak dan bahan pangan asal ternak.

MATERI DAN METODE Pengumpulan spesimen

Sebanyak 249 sampel susu terdiri dari 97 sampel susu sapi dan 152 sampel susu kambing diambil dari masing-masing peternakan di Kapupaten Bogor. Masing-masing sampel diambil, dan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang dilakukan seaseptis mungkin. Kemudian dikumpulkan di dalam boks yang berisi bahan pendigin, dan dibawa ke laboratorium Bbalitvet untuk dilakukan analisa lebih lanjut.

Isolasi bakteri asam laktat (BAL)

Masing-masing sampel susu dihomogenkan, lalu diambil 1 ml dituangkan menyebar ke dalam medium padat de Mann Rogosa Sharp (MRS), dan diinkubasikan pada suhu 37oC, selama 24-48 jam, dalam kondisi semi anaerob. Koloni bakteri yang tumbuh dan terpisah diamati secara makroskopik dan makroskopik setelah dilakukan pewarnaan Gram. Masing-masing koloni murni dar bakteri Gram positif berbentuk batang tidak berspora, kokoid atau kokkus, dan bersifat katalase positif, dibiakkan dalam medium padat miring MRS. Selanjutnya diinkubasikan pada suhu 37oC, selama 24-48 jam, dalam kondisi semi anaerob. Kemudian biakan tersebut disimpan pada suhu 5oC untuk dianalisa lebih lanjut

Bakteri indikator

S. aureus ATCC 25932 diperoleh dari Bbalitvet Culture Collection dengan nomor koleksi BCC B2062 telah digunakan didalam penelitian ini sebagai indikator bakteri patogen dan foodborne disease. Ampul yang berisi isolat tersebut dibuka menggunakan alat pembuka yang dilakukan di dalam biosavety

cabinet (BSC) kelas II. Selanjutnya

disuspensikan dalam medium kaldu Brain Hart

Inffusion (BHI), diinkubasikan pada suhu 37oC

(3)

pindahkan kedalam medium padat darah domba 5% dan diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. Isolat tersebur dilakukan identifikasi ulang: pewarnaan Gram, uji katalase dan oksidase, dan berdasarkan karakteristik biokemik menggunakan perangkat identifikasi API STAP (Biomereux, Perancis).

Aktivitas antibakteri terhadap indikator bakteri S. aureus

Pengujian aktivitas antibakteri menggunakan metode agar spot tests mengacu pada Herreros et al. (2005) dan dimodifikasi. Setiap isolat BAL yang akan diuji ditumbuhkan dahulu di dalam medium kaldu MRS, diinkubasikan pada suhu 37oC selama 18-24 jam kondisi semi anaerob. Kultur disentrifus dengan kecepatan 8.000 x g selama 10 menit pada suhu 4oC. Supernatan yang diperoleh dinetralisasi dengan ditambahkan NaOH, lalu disaring menggunakan filter 0, 22 um dan filtrat disimpan pada suhu 5C untuk digunakan lebih lanjut. Bakteri S. aureus ATCC 25932/BCC B2062 ditumbuhkan dalam medium kaldu BHI, diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 malam kondisi aerob. Sebanyak 0,5 ml suspensi biakan tersebut pada konsentrasi sekitar 107 colony forming unit (Mc. Farland nomor 0,5) dicampurkan kedalam 5 ml medium padat lunak BHI (47oC). Selanjutnya medium yang berisikan kultur tersebut dituangkan ke dalam cawan petri yang berisikan 5 ml medium padat BHI dan didiamkan pada suhu 5oC selama 1 jam. Kemudian teteskan 10 l filtrat yang akan diuji diatas medium padat lunak tersebut dan didiamkan pada suhu 4oC selama 1 jam. Selanjutnya diinkubasikan pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Amati zona jernih yang terjadi sekitar tetesan dan diukur diameternya.

Identifikasi BAL produksi bakteriosin Identifikasi BAL produksi bakteriosin menggunakan metode standar menurut (Quin et al. 2002; Barrow dan Feltham 2003) dan dimodifikasi. Masing-masing isolat yang berpotensi memproduksi bakteriosin hasil dari penapisan tersebut diatas dalam keadaan murni umur 24 jam diwarnai dengan pewarnaan Gram

dan dilakukan pemeriksaan morfologi secara mikroskopik. Kemudian uji biokimia dengan API 50 CHL (Biomereux, Perancis), dan BBL Crystal GP (Becton Dickinson, Amerika) disesuaikan dengan tujuannya.

HASIL DAN PEMBAHASAN Telah diisolasi 192 bakteri kelompok BAL dari 249 sampel susu sapi dan kambing yang diambil dari masing-masing peternakan di Kabupaten Bogor. Semua isolat BAL hasil isolasi telah ditapis terhadap potensial dalam menghasilkan bakteriosin dengan menggunakan bakteri indikator S. aureus ATCC 25932/BCC B 2062. Hasil menunjukkan, tiga isolat yang terdiri dari

Streptococcus uberis SS2, Streptococcus

mutan SS73b, dan Lactobacillus plantarum SS78 memiliki aktivitas hambat terhadap pertumbuhan bakteri S. sureus ATCC 25932/BCC B 2062, dengan diameter zona hambat masing-masing berurutan sebesar 11 mm, 13 mm dan 15 mm (Tabel 1).

Tabel 1. Aktivitas antibakteri dari BAL produksi

bakteriosin terhadap isolat S. aureus ATCC 25932/BCC B 2062 Spesies bakteri Aktivitas antibakteri terhadap isolat S. aureus ATCC 25932/BCC B 2062 Diameter zona yang dibentuk (mm)

S. uberis SS2 zona bening positif

11

S. mutas SS73b zona bening positif 13 L. plantarum SS78 zona bening positif 15 189 isolat BAL zona bening negatif 0

Menurut Lay dan Hastowo (1992) menyebutkan bahwa semakin besar diameter zona bening yang dihasilkan dalam uji in vitro, maka semakin kuat daya hambat suatu antimikroba. Pada studi ini diameter zona hambat terbesar dibentuk oleh isolat L. plantarum SS78 isolasi dari susu sapi (Gambar 1).

(4)

Gambar1. Zona hambat yang dibentuk oleh

Lactobacillus plantarum SS78 terhadap

isolat S. aureus ATCC 25932/BCC B 2062

BAL memiliki peranan dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan pembusuk pangan, karena dapat memproduksi beberapa metabolit seperti asam organik (asam laktat dan asam asetat) hidrogen peroksida, diasetil dan bakteriosin (Galves et al. 2008). Pada studi ini, walaupun protein dalam filtrat belum dimurnikan diduga hambatan yang terjadi terhadap pertumbuhan S. aureus ATCC 25932/BCC B 2062 disebabkan oleh bakteriosin bukan karena asam organik, karena pada filtrat yang diuji dalam keadaan pH netral pH 7.

Bakteriosin merupakan protein yang disintesis secara ribosomal dan bersifat bakterisidal terhadap bakteri lain yang mempunyai hubungan dekat dengan bakteri penghasilnya (Heng et al. 2007). Pada studi sebelumnya (Chotiah, 2013) Streptococcus uberis SS2 disamping dapat menghambat bakteri S. aureus ATCC 25932/BCC B 2062, juga menghambat bakteri patogen dan pembusuk pangan yang lain seperti S. typhimurium BCC B0046/ATCC 13311, S.

enteritidis BCC B2459, E. coli O157 hemolitik

BCC B2717, E. coli O157 VTEC BCC B2687. Demikian juga dengan Streptococcus mutans SS73b disamping dapat menghambat bakteri S. aureus ATCC 25932/BCC B 2062, juga menghambat bakteri patogen S. enteritidis BCC B2459. Sehingga bakteriosin yang dihasilkan oleh kedua BAL tersebut sangat potensial untuk diaplikasikan sebagai

biopreservatif pada bahan pangan asal ternak, dikarenakan aktivitasnya yang mampu menghambat pertumbuhan beberapa bakteri kontaminan penyebab pembusukan makanan dan foodborne disease. Sedangkan bakteriosin yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum SS78 potensial untuk mengobati mastitis klinis maupun subklinis, karena kemampuannya dalam menghambat bakteri S. Aureus.

KESIMPULAN

Tiga isolat lokal bakteri penghasil bakteriosin yang terdiri dari Streptococcus uberis SS2, Streptococcus mutan SS73b, dan

Lactobacillus plantarum SS78 memiliki

aktivitas hambat terhadap pertumbuhan bakteri S. sureus ATCC 25932/BCC B 2062.

Perlu penelitian lebih lanjut secara komprehensif dalam aplikasinya sebagai alternatif pengganti antibiotik

DAFTAR PUSTAKA

Barrow GI, Feltham RKA. 2003. Cowan and Steel`S. Manual for the Identification of Medical Bacteria. 3rd ed. Cambridge University Press, UK. pp. 118-119.

Bergdoll MS. 1990. Staphylococcus food poisoning. In: Food-borne Disease. San Diego (USA): Academic Press. pp. 145-168.

Chotiah S. 2013. Eksplorasi dan Konservasi Sumber Daya Genetik Mikroba Penghasil Bakteriosin Penghambat Pertumbuhan Bakteri Patogen pada Ternak. JITV 18(2):114-122.

Chotiah S. 2009. Cemaran Staphylococcus aureus Pada Daging Ayam dan Olahannya. Dalam: Sani Y, Natalia L, Brahmantiyo B, Puastuti W, Nurhayati, Anggraeni A, Matondang RH, Martindah E, Estuningsih SE, penyunting. Teknologi Peternakan dan Veteriner Mendukung Industrialisasi Sistem Pertanian untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Peternak Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 13-14 Agustus 2009. Bogor (Indonesia): Puslitbang Peternakan. hlm. 682-687.

Cleveland J, Montville JT, Nes IF, Chikindas ML. 2001. Bacteriocin: Safe, natural antimicrobials for food preservation. Intl J Food Microbiol. 71:1-20.

(5)

Fueyo JM, Mendoza MC, Martín MC. 2005. Enterotoxins and toxic shock syndrome toxin in Staphylococcus aureus recovered from human nasal carriers and manually handled foods: Epidemiological and genetic findings. Microbes Infect. 7:187-194.

Galvez A, Lopez RL, Abriouel H, Valdivia E, Omar NB. 2008. Application of bacteriocins in the control of foodborne pathogenic and spoilage bacteria. Critical rev biotechnol. 28(2):125-152.

Harmayani E, Santoso E, Utami T, Raharjo S. 1996. Identifikasi bahaya kontaminasi S. aureus dan titik kendali kritis pada pengolahan produk daging ayam dalam usaha jasa boga. Agrotech, Majalah Ilmu dan Teknologi Pertanian 16(3):7-15.

Heng NCK, Wescombe PA, Burton JP, Jack RW, Tagg JR. 2007. The Diversity of Bacteriocins in Gram-Positive Bacteria, In: Bacteriocins: Ecology and Evolution. Riley MA, Chavan MA, Editors. Germany: Heidelberg. pp. 45-92.

Herreros MA, Sandoval H, González L, Castro JM, Fresno JM, Tornadijo ME. 2005. Antimicrobial activity and antibiotic resistance of lactic acid bacteria isolated from Armada cheese (a

Spanish goats’ milk cheese). Food Microbiol. 22:455-459.

Larkin EA, Carman RJ, Krakauer T, Stiles BG. 2009. Staphylococcus aureus: the toxic presence of a pathogen extraordinaire. Curr Med Chem. 16:4003-4019.

Lay BW, Hastowo S. 1992. Mikrobiologi. Jakarta: Rajawali Press.

Le Loir Y, Baron F, Gautier M. 2003. Staphylococcus

aureus and food poisoning. Genet Mol Res.

2:63-76.

Ray B, Bhunia A. 2008. Food biopreservatives of microbial origin. In: Fundamental Food Microbiology. 4th Ed. Ray B, Bhunia A Editors. Boca Raton, New York (USA): CRC Press. pp. 176-187.

Twomey DP, Wheelock AI, Flynn J, Meaney WJ, Hill C, Ross RP. 2000. Protection against

Staphylococcus aureus mastitis in dairy cows

using a bismuth-based teat seal containing the bacteriocin, lacticin 3147. J Dairy Sci. 83:1981-1988.

Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJ, Leonard FC. 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Oxford (UK): Blackwell Press. p. 72-75.

Gambar

Tabel 1.  Aktivitas  antibakteri  dari  BAL  produksi  bakteriosin  terhadap  isolat  S

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dijelaskan bahwa hasil belajar siswa yang menggunakan metode pembelajaran konvensional dengan jumlah siswa 27, skor maksimum 17 dan skor minimum

The pursuit of the objects of private interest, in all common, little, and ordinary cases, ought to flow rather from a regard to the general rules which prescribe such conduct,

Indonesia mempunyai iklim tropis dengan karakteristik kelembaban udara yang tinggi (dapat mencapai angka 80%), suhu udara relatif tinggi (dapat mencapai hingga

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan diperoleh simpulan sebagai berikut. 1) Profesionalisme berpengaruh positif terhadap tindakan whistleblowing. Seorang akuntan yang

West African dwarf nanny goats and their twin-born kids were tested to determine their behavioural response to separation and their mutual recognition during the first 48 h

Hal ini dikarenakan data yang diperoleh adalah data yang berskala ordinal, kemudian pengujian yang akan diteliti adalah pengujian korelasional antar dua variabel yaitu

Snakes and Ladders Terhadap Kompetensi Pengetahuan Matematika Siswa 104 Problem solving adalah model mengajar yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran yang meliputi

Output yang digunakan dalam penelitian ini yaitu hasil tes kemampuan pemahaman konsep matematis siswa. Tes kemampuan pemahaman konsep matematis disesuaikan dengan