• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat - TB HIV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat - TB HIV"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

Referat Ilmu Penyakit Dalam

Referat Ilmu Penyakit Dalam

TB-Paru pada Orang dengan HIV-AIDS (ODHA)

TB-Paru pada Orang dengan HIV-AIDS (ODHA)

Dokter Pembimbing : Dokter Pembimbing : dr. Shelvi Febianti . Sp. PD dr. Shelvi Febianti . Sp. PD Disusun oleh : Disusun oleh :

Indah Kusumo Wardani Puteri Indah Kusumo Wardani Puteri

1102010129 1102010129

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSUD dr. SLAMET GARUT KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSUD dr. SLAMET GARUT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

2014 2014

(2)

BAB I BAB I

PENDAHULUAN PENDAHULUAN

Penyakit

Penyakit Tuberkulosis Tuberkulosis (TB) (TB) telah telah menjadi menjadi masalah kmasalah kesehatan mesehatan masyarakat yang asyarakat yang besarbesar selama berabad-abad. Pelaksanaan intervensi kesehatan masyarakat yang efektif untuk selama berabad-abad. Pelaksanaan intervensi kesehatan masyarakat yang efektif untuk  pencegahan dan pengendalian TB secara bermakna telah banyak menuru

 pencegahan dan pengendalian TB secara bermakna telah banyak menurunkan beban penyakitnkan beban penyakit secara global. Tetapi, munculnya epidemi HIV merupakan tantangan besar dalam upaya secara global. Tetapi, munculnya epidemi HIV merupakan tantangan besar dalam upaya  pengendalian

 pengendalian TB TB secara secara global.global.11Peningkatan prevalensi HIV di Regional Asia TenggaraPeningkatan prevalensi HIV di Regional Asia Tenggara yang 40 persen dari populasinya telah terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis (MTB), yang 40 persen dari populasinya telah terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis (MTB),  jika

 jika tidak tidak segera segera ditanggulangi ditanggulangi dapat dapat mengancam mengancam upaya upaya pengendalian pengendalian TB. TB. HIVHIV meningkatkan epidemi TB dengan beberapa cara.. Telah diketahui bahwa HIV merupakan meningkatkan epidemi TB dengan beberapa cara.. Telah diketahui bahwa HIV merupakan faktor risiko yang paling potensial untuk terjadinya TB aktif baik pada orang yang baru faktor risiko yang paling potensial untuk terjadinya TB aktif baik pada orang yang baru terinfeksi maupun mereka dengan infeksi TB laten. Risiko terjadinya TB pada orang dengan terinfeksi maupun mereka dengan infeksi TB laten. Risiko terjadinya TB pada orang dengan ko-infeksi HIV/TB berkisar antara 5

ko-infeksi HIV/TB berkisar antara 5 –  –  10% per tahun.HIV meningkatkan angka kekambuhan 10% per tahun.HIV meningkatkan angka kekambuhan TB, baik disebabkan oleh reaktifasi endogen atau re-infeksi eksogen. Peningkatan kasus TB TB, baik disebabkan oleh reaktifasi endogen atau re-infeksi eksogen. Peningkatan kasus TB  pada

 pada ODHA ODHA akan akan meningkatkan meningkatkan risiko risiko penularan penularan TB TB pada pada masyarakat masyarakat umum umum dengan dengan atauatau tanpa terinfeksi HIV. Pencegahan HIV terkait TB melebihi pelaksanaan sepenuhnya dari tanpa terinfeksi HIV. Pencegahan HIV terkait TB melebihi pelaksanaan sepenuhnya dari DOTS, karena juga mencakup pencegahan infeksi HIV sejak awal, pencegahan DOTS, karena juga mencakup pencegahan infeksi HIV sejak awal, pencegahan  berkembangnya

 berkembangnya infeksi infeksi TB TB laten laten menjadi menjadi penyakit penyakit aktif aktif serta serta ketentuan ketentuan dan dan penyediaanpenyediaan  pengobatan dan perawatan HIV/AIDS.

 pengobatan dan perawatan HIV/AIDS.

TB dapat terjadi pada tahap awal infeksi HIV ketika jumlah CD4 masih di atas 200 TB dapat terjadi pada tahap awal infeksi HIV ketika jumlah CD4 masih di atas 200 sel/µL. Kebanyakan kasus HIV dengan TB memperlihatkan gambaran klinis TB paru yang sel/µL. Kebanyakan kasus HIV dengan TB memperlihatkan gambaran klinis TB paru yang tidak khas, dengan meningkatnya supresi imun terkait HIV maka gambaran klinis TB tidak khas, dengan meningkatnya supresi imun terkait HIV maka gambaran klinis TB  berubah

 berubah dan dan lebih lebih sulit sulit untuk untuk didiagnosis. didiagnosis. Selanjutnya Selanjutnya kemungkinan kemungkinan besar besar akan akan terjaditerjadi  peningkatan

 peningkatan kasus kasus TB TB paru paru dengan dengan Basil Basil Tahan Tahan Asam Asam (BTA) (BTA) negatif negatif dan dan ekstra-paru.ekstra-paru. Indonesia menempati ranking ketiga dalam prevalensi TB di dunia.Namun berbeda dengan Indonesia menempati ranking ketiga dalam prevalensi TB di dunia.Namun berbeda dengan negara-negara lain dengan angka prevalensi TB yang tinggi, Indonesia belum menghadapi negara-negara lain dengan angka prevalensi TB yang tinggi, Indonesia belum menghadapi epidemi HIV/AIDS, yang merupakan salah satu faktor resiko utama pen

epidemi HIV/AIDS, yang merupakan salah satu faktor resiko utama pen yebaran TB.yebaran TB.

Angka prevalensi HIV orang dewasa tahun 2005 adalah 0.1%, dan pada tahun 2004 Angka prevalensi HIV orang dewasa tahun 2005 adalah 0.1%, dan pada tahun 2004 terdapat 275 kasus baru TB per 100.000. Sejak tahun 1999, surveilans sentinel di antara terdapat 275 kasus baru TB per 100.000. Sejak tahun 1999, surveilans sentinel di antara

(3)

BAB I BAB I

PENDAHULUAN PENDAHULUAN

Penyakit

Penyakit Tuberkulosis Tuberkulosis (TB) (TB) telah telah menjadi menjadi masalah kmasalah kesehatan mesehatan masyarakat yang asyarakat yang besarbesar selama berabad-abad. Pelaksanaan intervensi kesehatan masyarakat yang efektif untuk selama berabad-abad. Pelaksanaan intervensi kesehatan masyarakat yang efektif untuk  pencegahan dan pengendalian TB secara bermakna telah banyak menuru

 pencegahan dan pengendalian TB secara bermakna telah banyak menurunkan beban penyakitnkan beban penyakit secara global. Tetapi, munculnya epidemi HIV merupakan tantangan besar dalam upaya secara global. Tetapi, munculnya epidemi HIV merupakan tantangan besar dalam upaya  pengendalian

 pengendalian TB TB secara secara global.global.11Peningkatan prevalensi HIV di Regional Asia TenggaraPeningkatan prevalensi HIV di Regional Asia Tenggara yang 40 persen dari populasinya telah terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis (MTB), yang 40 persen dari populasinya telah terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis (MTB),  jika

 jika tidak tidak segera segera ditanggulangi ditanggulangi dapat dapat mengancam mengancam upaya upaya pengendalian pengendalian TB. TB. HIVHIV meningkatkan epidemi TB dengan beberapa cara.. Telah diketahui bahwa HIV merupakan meningkatkan epidemi TB dengan beberapa cara.. Telah diketahui bahwa HIV merupakan faktor risiko yang paling potensial untuk terjadinya TB aktif baik pada orang yang baru faktor risiko yang paling potensial untuk terjadinya TB aktif baik pada orang yang baru terinfeksi maupun mereka dengan infeksi TB laten. Risiko terjadinya TB pada orang dengan terinfeksi maupun mereka dengan infeksi TB laten. Risiko terjadinya TB pada orang dengan ko-infeksi HIV/TB berkisar antara 5

ko-infeksi HIV/TB berkisar antara 5 –  –  10% per tahun.HIV meningkatkan angka kekambuhan 10% per tahun.HIV meningkatkan angka kekambuhan TB, baik disebabkan oleh reaktifasi endogen atau re-infeksi eksogen. Peningkatan kasus TB TB, baik disebabkan oleh reaktifasi endogen atau re-infeksi eksogen. Peningkatan kasus TB  pada

 pada ODHA ODHA akan akan meningkatkan meningkatkan risiko risiko penularan penularan TB TB pada pada masyarakat masyarakat umum umum dengan dengan atauatau tanpa terinfeksi HIV. Pencegahan HIV terkait TB melebihi pelaksanaan sepenuhnya dari tanpa terinfeksi HIV. Pencegahan HIV terkait TB melebihi pelaksanaan sepenuhnya dari DOTS, karena juga mencakup pencegahan infeksi HIV sejak awal, pencegahan DOTS, karena juga mencakup pencegahan infeksi HIV sejak awal, pencegahan  berkembangnya

 berkembangnya infeksi infeksi TB TB laten laten menjadi menjadi penyakit penyakit aktif aktif serta serta ketentuan ketentuan dan dan penyediaanpenyediaan  pengobatan dan perawatan HIV/AIDS.

 pengobatan dan perawatan HIV/AIDS.

TB dapat terjadi pada tahap awal infeksi HIV ketika jumlah CD4 masih di atas 200 TB dapat terjadi pada tahap awal infeksi HIV ketika jumlah CD4 masih di atas 200 sel/µL. Kebanyakan kasus HIV dengan TB memperlihatkan gambaran klinis TB paru yang sel/µL. Kebanyakan kasus HIV dengan TB memperlihatkan gambaran klinis TB paru yang tidak khas, dengan meningkatnya supresi imun terkait HIV maka gambaran klinis TB tidak khas, dengan meningkatnya supresi imun terkait HIV maka gambaran klinis TB  berubah

 berubah dan dan lebih lebih sulit sulit untuk untuk didiagnosis. didiagnosis. Selanjutnya Selanjutnya kemungkinan kemungkinan besar besar akan akan terjaditerjadi  peningkatan

 peningkatan kasus kasus TB TB paru paru dengan dengan Basil Basil Tahan Tahan Asam Asam (BTA) (BTA) negatif negatif dan dan ekstra-paru.ekstra-paru. Indonesia menempati ranking ketiga dalam prevalensi TB di dunia.Namun berbeda dengan Indonesia menempati ranking ketiga dalam prevalensi TB di dunia.Namun berbeda dengan negara-negara lain dengan angka prevalensi TB yang tinggi, Indonesia belum menghadapi negara-negara lain dengan angka prevalensi TB yang tinggi, Indonesia belum menghadapi epidemi HIV/AIDS, yang merupakan salah satu faktor resiko utama pen

epidemi HIV/AIDS, yang merupakan salah satu faktor resiko utama pen yebaran TB.yebaran TB.

Angka prevalensi HIV orang dewasa tahun 2005 adalah 0.1%, dan pada tahun 2004 Angka prevalensi HIV orang dewasa tahun 2005 adalah 0.1%, dan pada tahun 2004 terdapat 275 kasus baru TB per 100.000. Sejak tahun 1999, surveilans sentinel di antara terdapat 275 kasus baru TB per 100.000. Sejak tahun 1999, surveilans sentinel di antara

(4)

kelompok berisiko tinggi di beberapa daerah menunjukkan peningkatan jumlah infeksi HIV. kelompok berisiko tinggi di beberapa daerah menunjukkan peningkatan jumlah infeksi HIV. Pada akhir tahun 2005 kematian akibat AIDS mencapai 5500 jiwa.

Pada akhir tahun 2005 kematian akibat AIDS mencapai 5500 jiwa.66  Melihat kecederungan  Melihat kecederungan epidemiologi TB dan HIV/AIDS di Indonesia sebagaimana diuraiakan di atas, muncul epidemiologi TB dan HIV/AIDS di Indonesia sebagaimana diuraiakan di atas, muncul kekhawatiran akan ancaman epidemi ganda (dual epidemics) yang telah melanda beberapa kekhawatiran akan ancaman epidemi ganda (dual epidemics) yang telah melanda beberapa negara berkembang terutama di benua Afrika. Epidemi HIV akan memperparah epidemi TB negara berkembang terutama di benua Afrika. Epidemi HIV akan memperparah epidemi TB karena HIV akan meningkatkan risiko terjadinya reaktivasi TB laten dan lebih rentan akan karena HIV akan meningkatkan risiko terjadinya reaktivasi TB laten dan lebih rentan akan infeksi baru TB karena imunitas yang rendah. Infeksi HIV merupakan faktor risiko infeksi baru TB karena imunitas yang rendah. Infeksi HIV merupakan faktor risiko terpenting berkembangnya infeksi Mycobacterium tuberculosis menjadi penyakit TB.Risiko terpenting berkembangnya infeksi Mycobacterium tuberculosis menjadi penyakit TB.Risiko untukterkena penyakit TB pada penderita HIV positif meningkat 50% dibanding mereka untukterkena penyakit TB pada penderita HIV positif meningkat 50% dibanding mereka yang tidak terinfeksi HIV.Sampai saat ini sepertiga dari kasus HIV positif di dunia yang tidak terinfeksi HIV.Sampai saat ini sepertiga dari kasus HIV positif di dunia mempunyai koinfeksi dengan TB.

(5)

HIV AIDS HIV AIDS

1.1

1.1 Definisi dan Sejarah HIV/AIDSDefinisi dan Sejarah HIV/AIDS HIV (

HIV ( Human  Human Immunodeficiency Immunodeficiency VirusVirus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal  pada orang yang terinfeksi

 pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin lama akan semakin menurun bahkan padasemakin menurun bahkan pada  beberapa kasus bisa sampai nol.

 beberapa kasus bisa sampai nol.77 AIDS adalah singkatan dari

AIDS adalah singkatan dari  Acquired  Acquired Immuno Immuno Deficiency Deficiency SyndromeSyndrome, yang berarti, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya virus HIV. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya  berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain.

 berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain.

HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa  pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini

 pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik infeksi baik akibatakibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik

oportunistik

Acquired Immun

Acquired Immunodeficiency Syndrome odeficiency Syndrome (AIDS) adalah (AIDS) adalah kumpulan gkumpulan gejala ejala yang timbulyang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang didapat, disebabkan oleh infeksi human akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang didapat, disebabkan oleh infeksi human immunodeficiency virus (HIV). AIDS ini bukan merupakan suatu penyakit saja, tetapi immunodeficiency virus (HIV). AIDS ini bukan merupakan suatu penyakit saja, tetapi merupakan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi berbagai jenis mikroorganisme merupakan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi berbagai jenis mikroorganisme seperti, infeksi bakteri, virus, jamur, bahkan timbulnya keganasan akibat menurunnya daya seperti, infeksi bakteri, virus, jamur, bahkan timbulnya keganasan akibat menurunnya daya tahan tubuh penderita. Pada 5 Juni 1981, kasus pertama AIDS dilaporkan di Los Angeles pada tahan tubuh penderita. Pada 5 Juni 1981, kasus pertama AIDS dilaporkan di Los Angeles pada lima orang laki-laki homoseksual yang menderita Pneumonia Pneumocystis carinii (PPC) dan lima orang laki-laki homoseksual yang menderita Pneumonia Pneumocystis carinii (PPC) dan infeksi opotunistik lainnya Pada tahun 1983, ilmuwan Prancis, Luc Montagnier (Institut infeksi opotunistik lainnya Pada tahun 1983, ilmuwan Prancis, Luc Montagnier (Institut

(6)

Pasteur, Paris) mengisolasi virus dari pasien dengan gejala limfadenopati dan menemukan virus HIV dan virus ini dinamakan lymphadenopathy assosiated virus (LAV). Pada tahun 1984, Gallo (National Institute of Health, USA) menemukan virus human T lymphotropic virus (HTLV-III) yang juga menyebabkan AIDS. LAV dan HTLV-III adalah virus penyebab HIV yang sama dan dikenal sebagai HIV-1.

3.3 Etiologi HIV/AIDS

AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus.Retrovirus berdiameter 70-130 nm. Masa inkubasi virus ini selama sekitar 10 tahun . Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat. Selubung luarnya, atau kapsul viral, terdiri dari lemak lapis ganda yang banyak mengandung tonjolan  protein. Duri-duri ini terdiri dari dua glikoprotein yaitu gp120 dan gp41. Terdapat suatu  protein matriks yang disebut gp17 yang mengelilingi segmen bagian dalam membran virus. Sedangkan inti dikelilingi oleh suatu protein kapsid yang disebut p24. Di dalam kapsid terdapat dua untai RNA identik dan molekul preformed reverse transcriptase, integrase dan  protease yang sudah terbentuk. Reverse transcriptase adalah enzim yang mentranskripsikan RNA virus menjadi DNA setelah virus masuk ke sel sasaranStrukturnya tersusun atas  beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat  pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4  pada permukaan T-helper lymphosit   dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme).

Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1.

Adapun struktur HIV yaitu bagian luar HIV dilipuit oleh selubung yang disebut „envelope‟ dan di bagian dalam terdapat sebuah inti (CORE), sebagai berikut:

(7)

Gambar struktur virus HIV-WHO. TB/ HIV: A

ClinicalManual; 2004. Diakses dari: whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.  pdf.Accessed on: 25 October 2013.

1. Envelope.HIV bergaris tengah 1/10.000 mm dan mempunyai bentuk bulat seperti bola. Lapisan paling luar disebut ENVELOPE, terdiri dari dua lapisan molekul lemak yang disebut lipids. Lapisan ini diambil dari sel manusia ketika partikel virus yang baru terbentuk dengan membentuk tonjolan dan lepas dari sel tersebut.Selubung virus terisi oleh protein yang berasal dari sel induk, termasuk 72 turunan (rata-rata) protein HIV komplek yang menonjol dari permukaan

selubung. Protein ini disebut env, terdiri atas sebuah tutup (cap)terbuat dari 3-4 molekul GLYCOPROTEIN (gp) 120 dan sebuah batang yang terdiri atas 3-4 molekul gp 41 sebagai rangka struktur dalam envelope virus.7

2. Inti atau CORE. Dalam envelope partikel HIV yang sudah matang terdapat inti yang  berbentuk peluruyang disebut CAPSID, terbentuk dari 2000 turunan protein virus lainnya, P 24. Capsid mengelilingi 2 helaian tunggal RNA HIV, yang masing-masing memiliki 9 gen dari virus. Tiga diantaranya gag, pol dan env, mengandung informasi yang diperlukan untuk membuat protein terstruktur untuk partikel virus baru. Gen env, misalnya mengkode  protein gp 160 yang dipecah oleh enzim virus untuk membentuk gp 120 dan gp 41, yang merupakan komponen env. Tiga buah gen pengatur, tat, rev dan nef dan 3 gen tambahan, vif, vpr, dan vpu mengandung informasi yang diperlukan untuk memproduksi protein yang mengatur kemampuan HIV menginfeksi suatu sel, membuat turunan virus baru atau menimbulkan penyakit. Protein yang dikode oleh nef misalnya menyebabkan virus dapat melakukan replikasi secara efisien sacara efisien dan protein yang dikode oleh vpu  berpengaruh terhadap pelepasan partikel virus baru dari sel yang diinfeksi. Inti HIV juga mencakup sebuah protein yang disebut P7, yaitu protein nucleocapsid HIV, dan 3 buah enzim yang berperan dalam langkah berikutnya dalam siklus hidup virus, yaitu: REVERSE, TRANSCRIPTASE, INTEGRASE dan PROTASE. Protein HIV lainnya adalah P17 atau matriks HIV, terletak antara inti dan envelope.

(8)

3.4 Cara Penularan

3.4.1 Transmisi Seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi (penularan seksual merupakan cara infeksi yang paling utama diseluruh dunia, yang berperan lebih dari 75% dari semua kasus penularan HIV). Risiko seorang wanita terinfeksi dari laki-laki yang seropositif lebih  besar jika dibandingkan seorang laki-laki yang terinfeksi dari wanita yang seropositif. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.8

3.4.2 Transmisi Non Seksual 1. Transmisi Parenteral

1.1 Transmisi ini sebagai akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan narkoba suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melalui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%. Hal ini terkait penyalah guna obat-obat intravena. Penggunaan  jarum suntik secara bersama-sama dan bergantian semakin meningkatkan  prevalensi HIV/AIDS pada pengguna narkotika. Di negara maju, wanita pengguna narkotika jarum suntik menjadi penularan utama pada populasi umum melalui  pelacuran dan transmisi vertikal kepada anak mereka.

1.2 Darah atau Produk Darah.Transfusi darah dan produk darah. HIV dapat ditularkan melalui pemberian whole blood, komponen sel darah, plasma dan faktor-faktor pembekuan darah. Kejadian ini semakin berkurang karena sekarang sudah dilakukan tes antibodi-HIV pada seorang donor. Apabila tes antibodi dilakukan  pada masa sebelum serokonversi maka antibodi-HIV tersebut tidak dapat

(9)

terdeteksi. Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara  barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara  barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan.

Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.8 2. Transmisi Transplasental

Maternofetal. Sebelum ditemukan HIV, banyak anak yang terinfeksi dari darah ataupun produk darah atau dengan penggunan jarum suntik secara berulang. Sekarang ini, hampir semua anak yang menderita HIV/AIDS terinfeksi melalui transmisi vertikal dari ibu ke anak. Diperkirakan hampir satu pertiga (20-50%) anak yang lahir dari seorang ibu penderita HIV akan terinfeksi HIV. Peningkatan penularan berhubungan dengan rendahnya jumlah CD4 ibu. Infeksi juga dapat secara transplasental, tetapi 95% melalui transmisi perinatal. Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.

3. Pemberian ASI.  Peningkatan penularan melalui pemberian ASI pada bayi adalah 14%. Di negara maju, ibu yang terinfeksi HIV tidak diperbolehkan memberikan ASI kepada bayinya.

Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia dikaitkan dengan faktor resiko dilapor sampai dengan Desember 2010

Faktor Resiko AIDS

Heteroseksual/HeterosexuaL 12717

Homo-Biseksual/Homo-Bisexual 724

Transfusi Darah/Blood Transfusion 48

Transmisi Perinatal/Perinatal Trans. 628

(10)

4. Petugas kesehatan  sangat berisiko terpapar bahan infeksius termasuk HIV. Berdasarkan data yang didapat dari 25 penelitian retrospektif terhadap petugas kesehatan, didapatkan rata-rata risiko transmisi setelah tusukan jarum ataupun paparan  perkutan lainnya sebesar 0,32% atau terjadi 21 penularan HIV setelah 6.498 paparan,

dan setelah paparan melalui mukosa sebesar 0,09%.

Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV.8 Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan antara lain:

1. Kontak fisik.

Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan pasien tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang tertular.

2. Memakai milik penderita

Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan kerja  penderita HIV/AIDS tidak akan menular.

3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.

4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

3.5. Patogenesis dan Patofisiologi HIV/AIDS

HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu secara vertical, horizontal dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang intak seperti yang terjadi pada kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama, HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-batuk, dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada vase ini terjadi penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA Viral load.

(11)

Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi, kemudian turun sampai pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load  secara perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD 4 secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD 4 yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS.

Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke sel target, gp 120 HIV perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD4 ini terdapat pada  permukaan limfosit T, monosit, makrofag, Langerhan‟s, sel dendrit, astrosit, microglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan chemokine reseptor yaitu CXCR4 dan ccr5,  beberapa reseptor lain yang memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3. Selanjutnya akan diikuti fase fusi membran HIV dengan membran sel target atas peran gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim reverse transkriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNS (ssRNA). Enzim reverse transcriptaseakan menggunakan RNA sebagai template untuk mensisntesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi menjadi double  stran DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam inti sel, menyatu dengan

kromosom host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak aktif ini disebut sebagai keadaan laten. Untuk mengaktifkan provirus ini memrlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host teraktivasi oleh inductor seperti antigen, sitokin atau factor lain maka sel akan memicu nuclear factor sehingga menjadi aktif dan berikatan dengan 5 LTR ( Long terminal repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. LTR berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi replikasi DNA. Induktor NF cepat memicu replikasi HIV dengan cara intervensi dari mikroorganisme lain., misalnya bakteri, jamur,  protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan tersebut, yang paling cepat menginduksi

replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama virus DNA.

Enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara stuktur  berfungsi sebagai RNA genomic dan mRNA. RNA keluar dari nucleus, mRNA mengalami

(12)

translasi menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host, kemudian polipeptida dipecah oleh enzim  protease menjadi protein dan enzim fungsioal. Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan matang. Virus ini akan keluar dari sel, dan akan menginfeksi sel target berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 109-1011 virus baru.

Secara perlahan tapi pasti,, limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah Limfosit T-CD4 melalui beberapa mekanisme:

1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat adanya penonjolan dan perobekan oleh virion. Akumulasi DNA virus yang tidak terintegritasi dengan nucleus akan menggangu sintesis makromolekul.

2. Syncytia formation,  yaitu terjadiya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV dengan limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi.

3. Respon imun humoral dan seluler yang ikut berperan, tapi res pon ini dapat menyebabkan disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal sekitarnya.

4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibody yang berperan untuk mengeliminasi sel yang terinfeksi.

5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp120 dengan reseptor CD4 Limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan kematian sel melalui apoptosis.

Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T-CD4 secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih rendah lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan system imun, sehingga pertahanan individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan resiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi s ekundernya.

(13)

Gambar Patogenesis Infeksi HIV

Sumber Gambar: HIV/ AIDS. Available at:

whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.pdf.Accessed on: 22 Ocotober 2013.

Respon Imun Terhadap Infeksi HIV

Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawanan imun yang intensif. Sel-sel B menghasilkan antibodi-antibodi spesifik terhadap berbagai protein virus. Ditemukan antibodi netralisasi terhadap regio-regio di gp120 selubung virus dan bagian eksternal gp41. Deteksi anti bodi adalah dasar bagi berbagai uji HIV (misalnya, enzime-linked immunosorbent assay [ELISA]). Di dalam darah dijumpai kelas antibodi imunoglobulin G (IgG) maupun imunoglobulin M (IgM), tetapi seiring dengan menurunnya titer IgM, titer IgG (pada sebagian  besar kasus) tetap tinggi sepanjang infeksi. Antibodi IgG adalah antibodi utama yang

digunakan dalam uji HIV. Antibodi terhadap HIV dapat muncul dalam 1 bulan setelah infeksi awal dan pada sebagian besar orang yang terinfeksi HIV dalam 6 bulan setelah pajanan.  Namun, antibodi HIV tidak menetralisasikan HIV atau menimbulkan perlindungan terhadap

infeksi lebih lanjut.

Produksi imunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4+, limposit T CD+ diaktifkan oleh sel  penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti interleukin-2 (IL-2), yang membantu merangsang sel B untuk membelah dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Sel-sel  plasma ini kemudian menghasilkan imunoglobuin yang spesifik untuk antigen yang

(14)

merangsangnya. Sitokin IL-2 hanyalah salah satu dari banyak sitokin yang memengaruhi

respons imun baik humoral maupun selular. Walaupun tingkat kontrol, ekspresi, dan potensi

fungsi sitokin dalam infeksi HIV masih terus diteliti, namun sitokin jelas penting dalam

aktivitas intrasel. Sebagai contoh, penambahan sitokin IL-12 (faktor stimulasi sel NK)

tampaknya melawan penurunan aktivitas dan fungsi sel NK seperti yang terjadi pada infeksi

HIV. Sel-sel NK adalah sel yang penting karena dalam keadaan normal sel-sel inilah yang

mengenali dan menghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus dengan mengeluarkan perforin

yang serupa dengan yang dihasilkan oleh sel CD8.8

Peran sitotoksik sel CD8 adalah mengikat sel yang terinfeksi oleh virus dan

mengeluarkan perforin, yang menyebabkan kematian sel. Aktivitas sitotosik sel CD8 sangat

hebat pada awal infeksi HIV. Sel CD8 juga dapat menekan replikasi HIV di dalam limfosit

CD4+. Penekanan ini terbukti bervariasi tidak saja di antara orang yang berbeda tetapi juga

 pada orang yang sama seiring dengan perkembangan penyakit. Aktivitas antivirus sel CD8

menurun seiring dengan perkembangannya penyakit. Dengan semakin beratnya penyakit,

 jumlah limfosit CD4+ juga berkurang. Berbagai hipotesis tentang penyebab penurunan

 bertahap tersebut akan dibahas berikut ini.

Fungsi regulator esensial limfosit CD4+ dalam imunitas selular tidak terbantahkan.

Limfosit CD4+ mengeluarkan berbagai sitokin yang memperlancar proses-proses misalnya

 produksi imunoglobulin dan pengaktivan sel T tambahan dan makrofag. Dua sitokin spesifik

yang dihasilkan oleh limfosit CD4+-IL-2 dan interferon gama berperan penting dalam

imunitas selular. Pada kondisi normal, limfosit CD4+ mengeluarkan interferon gama yang

menarik makrofag dan mengintensifkan reaksi imun terhadap antigen. Namun, apabila limfosit

CD4+ tidak berfungsi dengan benar maka produksi interferon gama akan menurun. IL-2

 penting untuk memfasilitasi tidak saja produksi sel plasma tetapi juga pertumbuhan dan

aktivitas antivirus sel CD8 dan replikasi-diri populasi limfosit CD4+.8

Walaupun mekanisme pasti sitopatogenisitas limfosit CD4+ belum diketahui, namun

dapat diajukan argumen-argumen untuk berbagai hipotesis seperti apoptosis, anergi,

 pembentukan sinsitium, dan lisis sel. Antibodi-dependent, complement-mediated cytotoxicity (ADCC, sitotoksisitas yang dependen antibodi dan diperantarai oleh komplemen) mungkin

(15)

oleh HIV. Antibodi terhadap dua glikoprotein, gp120 dan gp41, menginduksi ADCC. Sel-sel seperti sel NK kemudian bertindak untuk mematikan sel yang terinfeksi.

Perkembangan klinis

AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis kontinum yang

dikenal sebagai “spektrum infeksi HIV”. Perjalanan penyakit dimulai saat terjadi penularan

dan pasien terinfeksi. Tidak semua orang yang terpajan akan terinfeksi (misalnya, homozigot dengan gen CCR5 mutan). Mungkin terdapat kofaktor lain dalam akuisisi yang perlu diidentifikasi lebih lanjut. Setelah infeksi awal oleh HUV, pasien mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan. Namun, pasien ini bersifat menular selama periode ini dan dapat memindahkan virus ke orang lain. Fase ini disebut “window period” (“masa jendela”).

Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat timbul sedini 1 sampai 4 minggu setelah  pajanan.9

 Infeksi akut tejadi pada tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi positif. Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus atau mirip mononukleosis infeksiosa yang berlangsung beberapa hari. Gejala mungkin berupa malaise, demam, diare, limfadenopati, dan ruam makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang lebih akut, seperti meningitis dan pneumonitis. Selama periode ini, dapat terdeteksi HIV dengan kadar tinggi di darah perifer. Kadar limfosit CD4+ turun dan kemudian kembali ke kadar sedikit di  bawah kadar semula untuk pasien yang bersangkutan.

Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase asimtomatik. Pada awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya sudah kembali mendekati normal. Namun, kadar limfosit CD4+ menurun secar bertahap seiring dengan waktu. Selama fase infeksi ini,  baik virus maupun antibodi virus ditemukan di dalam darah. Seperti dibahas sebelumnya, replikasi virus berlangsung di jaringan limfoid. Virus itu sendiri tidak pernah masuk ke dalam  periode laten walaupun fase infeksi klinisnya mungkin laten.9

Pada fase simtomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+ pasien biasanya telah turun di bawah 300 sel /µ. Dijumpai gejala-gejala yang menunjukkan imunosupresi dan gejala ini berlanjut sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait AIDS . CDC telah mendefinisikan penyakit-penyakit simtoatik untuk kategori klinis ini

(16)

Bagan Perjalanan Penyakit HIV/ AIDS

3.6 Manifestasi Klinis

Ada tiga tahapan yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara HIV dan sistem imun:

1. Fase akut.Fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri tenggorok, mialgia, demam, ruam dan kadang-kadang meningitis aseptik. Pada fase ini terdapat produksi virus dalam jumlah yang besar, viremia dan persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer, yang secara khas disertai dengan berkurangnya sel T CD4+. Segera setelah hal itu terjadi, muncul respon imun yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan melalui serokonversi (biasanya dalam rentang waktu 3 hingga 17 minggu setelah pajanan) dan melalui munculnya sel T sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal.9  Namun, berkurangnya jumlah virus dalam plasma bukan merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus  berlanjut di dalam makrofag dan sel T CD4+ jaringan.

(17)

2. Fase kronis.Fase kronis menunjukan tahap penahanan relatif virus. Pada fase ini, sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga beberapa tahun. Para pasien tidak menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten dan banyak penderita yang mengalami infeksi opotunistik ringan, seperti sariawan (Candida) atau herpes zoster. Replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan CD4+ yang berlanjut.  Namun, karena kemampuan regenerasi sistem imun yang besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam jumlah yang besar. Setelah melewati periode yang panjang dan  beragam, pertahanan pejamu mulai menurun dan jumlah CD4+ mulai menurun, dan  jumlah CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin meningkat

3. Fase kritis. Tahap terakhir ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu yang sangat merugikan, peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Para pasien khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan, dan diare; jumlah sel CD4+ menurun di bawah 500 sel/µL. Setelah adanya interval yang  berubah-ubah, para pasien mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma sekunder dan atau manifestasi neurologis (disebut dengan kondisi yang menentukan AIDS). Jika kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan 200 sel/µL sebagai pengidap AIDS. Hampir semua orang yang terinfeksi HIV, jika tidak diterapi, akan berkembang menimbulkan gejala-gejala yang berkaitan dengan HIV atau AIDS.

Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain tumor dan infeksi oportunistik :

1. Manifestadi tumor diantaranya

a) Sarkoma kaposi,kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer.

 b) Limfoma ganas,terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan  bertahan kurang lebih 1 tahun.

(18)

2. Manifestasi Infeksi Oportunistik diantaranya 2.1. Manifestasi pada Paru-paru

2.1.1. Pneumonia Pneumocystis (PCP)

Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru- paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan

demam.

2.1.2. Cytomegalo Virus (CMV)

Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30% penderita AIDS.

2.1.3. Mycobacterium Avilum

Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.

2.1.4. Mycobacterium Tuberculosis

Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke organ lain diluar paru.

2.2. Manifestasi pada Gastroitestinal

Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% per bulan. 4 Manifestasi Neurologis

Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul  pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis,

demensia, mielopati dan neuropari perifer.

Selain pengelompokan manifestasi klinis diatas, pengelompokan gejala juga dapat dibagi sebagai berikut.

1. Gejala Konstitusi

Kelompok ini sering disebut dengan AIDS related complex. Penderita mengalami paling sedikit dua gejala klinis yang menetap selama 3 bulan atau lebih. Gejala tersebut berupa:

 Demam terus menerus lebih dari 37°C.  Kehilangan berat badan 10% atau lebih.

(19)

 Radang kelenjar getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjar getah bening di luar daerah inguinal.

 Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

 Berkeringat banyak pada malam hari yang terjadi secara terus menerus. 2. Gejala Neurologi

Stadium ini memberikan gejala neurologi yang beranekaragam seperti kelemahan otot, kesulitan berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi, halusinasi, mudah lupa,  psikosis dan dapat sampai koma (gejala radang otak).

3. Gejala Infeksi

Infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya tahan penderita sudah sangat lemah sehingga tidak ada kemampuan melawan infeksi, misalnya:

a. Pneumocystic carinii pneumonia (PCP)

PCP merupakan infeksi oportunistik yang sering ditemukan pada penderita AIDS (80%). Disebabkan parasit sejenis protozoa yang pada keadaan tanpa infeksi HIV tidak menimbulkan sakit berat. Pada penderita AIDS, protozoa ini berkembang pesat sampai menyerang paru-paru yang mengakibatkan pneumonia. Gejala yang ditimbulkannya adalah batuk kering, demam dan sesak nafas. Pada pemeriksaan ditemukan ronkhi kering. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya P.carinii pada  bronkoskopi yang disertai biopsi transbronkial dan lavase bronkoalveolar.

b. Tuberkulosis

Infeksi Mycobacterium tuberkulosis pada penderita AIDS sering mengalami

penyebaran luas sampai keluar dari paru-paru. Penyakit ini sangat resisten

terhadap obat anti tuberkulosis yang biasa. Gambaran klinis TBC pada

penderita AIDS tidak khas seperti pada penderita TBC pada umumnya. Hal

ini disebabkan karena tubuh sudah tidak mampu bereaksi terhadap kuman.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil kultur.

c. Toksoplasmosis

Penyebab ensefalitis lokal pada penderita AIDS adalah reaktivasi Toxoplasma gondii, yang sebelumnya merupakan infeksi laten. Gejala dapat berupa sakit kepala dan panas, sampai kejang dan koma. Jarang ditemukan toksoplasmosis di luar otak.

(20)

d. Infeksi Mukokutan. Herpeks simpleks, herpes zoster dan kandidiasis oris merupakan  penyakit paling sering ditemukan. Infeksi mukokutan yang timbul satu jenis atau  beberapa jenis secara bersama. Sifat kelainan mukokutan ini persisten dan respons terhadap pengobatan lambat sehingga sering menimbulkan kesulitan dalam  penatalaksanaannya.

4. Gejala Tumor

Tumor yang paling sering menyertai penderita AIDS adalam Sarkoma Kaposi dan limfoma maligna non-Hodgkin.

3.7 Diagnosis HIV/AIDS 3.7.1 Anamnesis

Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap ODHA saat kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan.Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk menentukan tata laksana selanjutnya. Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA.

Faktor risiko infeksi HIV

 Penjaja seks laki-laki atau perempuan

 Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)

 Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender (waria)

 Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial  Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)  Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah  Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Seorang dewasa dianggap menderita AIDS bila menunjukkan tes HIV positif dengan strategi  pemeriksaan yang sesuai dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor yang berkaitan

(21)

dengan 1 gejala minor, dan gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV, atau ditemukan sarcoma Kaposi atau pneumonia yang mengancam jiwa yang berulang.Karena banyak negara berkembang, yang belum memiliki fasilitas pemeriksaan serologi maupun antigen HIV yang memadai, maka WHO menetapkan kriteria diagnosis AIDS sebagai berikut:

Gejala Mayor :

1. Berat badan turun lebih dari 10 % dalam 1 bulan 2. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan 3. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bukan

4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologi 5. Demensia atau ensefalopati HIV

Gejala Minor :

1. Batuk menetap lebih dari 1 bulan 2. Dermatitis generalisata yang gatal 3. Herpes Zooster berulang

4. Kandidiasis Orofaring

5. Herpes Simpleks kronis progresif  6. Limfadenopati generalisata

7. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita 3.7.2 Pemeriksaan fisik

(22)

3.7.3 Pemeriksaan Penunjang

Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan diagnosis dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain (cerebrospinal fluid) penderita. Pemeriksaan khusus untuk HIV :

1. Tes AntibodI HIV

Tes ini berfungsi untuk mendeteksi antibody terhadap HIV. Tes ini dapat dilakukan dengan menggunakan tiga cara, yaitu ELISA ( Enzyme Link Immunobinding Assay), Aglutinasi, dan juga dot blot. Bahan yang digunakan adalah serum, cairan plasma, darah, dan  juga liur. Metode yang paling sering digunakan adalah ELISA. Tetapi ada beberapa hal yang

harus diperhatikan bila menggunakan tes Ab ini, karena pada infeksi HIV, terdapat masa  jendela atau window period. Masa jendela adalah keadaan dimana jumlah Ab yang terbentuk  belum cukup untuk dapat terdeteksi di dalam darah, padahal virus telah masuk di dalam tubuh, oleh karena itu hasilnya akan menunjukkan negatif. Biasanya antibody dapat terdeteksi kurang lebih 4-8 minggu setelah infeksi. Apabila tingkat kecuringaan terhadap pasien tinggi, tes ini harus diulang 3 bulan lagi.9

1.1 ELISA (enzyme linked immunosorbent assay).  ELISA digunakan untuk menemukan antibodi. Kelebihan teknik ELISA yaitu sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %-100%. Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah menggunakan antigen recombinan, yang sangat spesifik terhadap envelope dan core. 1.2 Western Blot. Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari

suatu protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Biasanya  protein HIV yang digunakan dalam campuran adalah jenis antigen yang mempunyai makna klinik, seperti gp120 dan gp41. Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6% - 100%. Namun pemeriksaan cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24  jam.

1.3 PCR (Polymerase Chain Reaction). Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi,  pada saat zat antibodi maternal masih ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan

secara serologis maupun status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok risiko tinggi dan sebagai tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab sensitivitas ELISA rendah untuk

(23)

HIV-2. Pemeriksaan CD4 dilakukan dengan melakukan imunophenotyping yaitu dengan flow cytometry dan cell sorter. Prinsip flowcytometry dan cell sorting(fluorescence activated cell sorter, FAST) adalah menggabungkan kemampuan alat untuk mengidentifasi karakteristik permukaan setiap sel dengan kemampuan memisahkan sel-sel

yang berada dalam suatu suspensi menurut karakteristik masing-masing secara otomatis melalui suatu celah, yang ditembus oleh seberkas sinar laser. Setiap sel yang melewati  berkas sinar laser menimbulkan sinyal elektronik yang dicatat oleh instrumen sebagai karakteristik sel bersangkutan. Setiap karakteristik molekul pada permukaan sel manapun yang terdapat di dalam sel dapat diidentifikasi dengan menggunakan satu atau lebih probe yang sesuai. Dengan demikian, alat itu dapat mengidentifikasi setiap jenis dan aktivitas sel dan menghitung jumlah masing-masing dalam suatu populasi campuran.

2. Deteksi antigen, dapat berfungsi untuk :  Deteksi dini pada neonatus ( 18 bulan )

 Untuk pasien dengan seronegatif tetapi dengan riwayat terpapar t erhadap HIV  Deteksi Antigen hanya dapat dilakukan dan terdeteksi saat pasien :

Jumlah Ag > Ab : pada stadium dini

: pada stadium lanjut dimana Ab tidak terbentuk lagi. 3.8 Stadium Klinis

Penilaian Klinis

Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi  penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan terapi ARV dan infeksi oportunistik,

(24)

serta mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi  pemilihan terapi.

Stadium Klinis

WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I (asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit berat atau AIDS).Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi ARV.

Penilaian Imunologi

Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai status imunitas ODHAdan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam memberikan  pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV.Namun yang penting diingat bahwa meski tes CD4 dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak  boleh menjadi penghalang atau menunda pemberian terapi ARV.CD4 juga digunakan sebagai  pemantau respon terapi ARV.Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count  – 

TLC) dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar menentukan kegagalan terapi ARV.

Stadium klinis HIV menurut WHO Stadium 1Asimptomatik

Tidak ada penurunan berat badan

Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten Stadium 2Sakit ringan

Penurunan BB 5-10%

ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir

Luka di sekitar bibir (keilitis angularis) Ulkus mulut berulang

(25)

Dermatitis seboroik Infeksi jamur kuku Stadium 3Sakit sedang

Penurunan berat badan > 10%

Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan Kandidosis oral atau vaginal

Oral hairy leukoplakia

TB Paru dalam 1 tahun terakhir

Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll) TB limfadenopati

Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut

Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)

Stadium 4Sakit berat (AIDS) Sindroma wasting HIV

Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.

Kandidosis esophageal TB Extraparu*

Sarkoma kaposi Retinitis CMV*

Abses otak Toksoplasmosis* Encefalopati HIV

Meningitis Kriptokokus*

Infeksi mikobakteria non-TB meluas

3.9 Penatalaksanaan HIV/AIDS

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV.

(26)

a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).

 b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.

c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan  pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga

tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.

Terapi Antiretroviral (ARV)

Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:

 Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir

 Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens dan nevirapin

 Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir, amprenavir.

No Nama Golongan Fungsi

1 NRTI (nucleoside reverse-transcriptase inhibitor )

penghambat kuat enzim reversetranscriptase  dari RNA menjadi DNA yang terjadi sebelum  penggabungan DNA virus dengan kromosom sel

inang.

2 NNRTI (non-nucleoside reverse-transcriptase

inhibitor(NNRTI)

menghambat  aktivitas enzim r ever se-  transcriptase dengan mengikat secara langsung tempat yang aktif pada enzim tanpa aktivasi sebelumnya.

3 PI(Protease Inhibitor ) menghambat enzim  protease HIV yang dibutuhkan untuk memecah prekursor poliprotein virus dan membangkitkan fungsi protein virus.

(27)

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi  penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV.

Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium3 dan 4 harus memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan2 harus dipantau secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekaliuntuk pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul gejala atautanda klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel di  bawah ini.

Terapi pada ODHA dewasa Stadium

Klinis Bila tersedia pemeriksaan CD4

Jika tidak tersedia pemeriksaan CD4

1

Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200

Terapi ARV tidak diberikan

2 Bila jumlah total limfosit

<1200

3

Jumlah CD4 200  –   350/mm , pertimbangkan terapi sebelum CD4 <200/mm3.

Pada kehamilan atau TB:

 Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil dengan CD4 350

 Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan CD4 <350 dengan TB paru atau infeksi  bakterial berat

Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah limfosit total

4 Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah CD4

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB  paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang

(28)

menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam  berkepanjangan).

2.  Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3  di mana terapi ARV harus dimulai belum dapat ditentukan.

3.

Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.9 Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV adalah sebelumpasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembanganpenyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 <200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlahtersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknyadimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang palingoptimum untuk memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200-350/mm3 masih belum diketahui, dan  pasien dengan jumlah CD4tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis maupun

imunologis.Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksibakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinismanapun dengan CD4 < 350 / mm3.Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan pada  pemeriksaan klinis dan imunologis. NamunPada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandukeputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah(viral load) tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulaiterapi.

Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik yang aktif.Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka  pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin (AIII).Contohnya pada

kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi  M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS.

(29)

Tabel Golongan Obat dan Dosis ARV

Golongan obat Dosis

 Nukleosida TI (NsTI)  Abakavir (ABC)  Didanosin (ddI)  Lamivudin (3TC)  Stavudin (d4T)  Zidovudin (ZDV,AZT) 200mg 2x/hr atau 400mg 1x/hr 250 mg 1x/hr (BB<60kg) 150mg 2x/hr atau 300mg 1x/hr 40mg 2x/hr (30mg 2x/hai bila BB<60kg) 300mg 2x/hr  Nukleotida RTI  TDF 300mg 1x/hr

 Non nukleosida (NNRTI)  Efavienz (EFV)   Nevirapine (NVP) 600mg 1x/hr 200mg 1x/hr untuk 14 hr kemudian 200mg 2x/hr Protease Inhibitor

 Indinavir / ritonavir (IDV/r)  Lopinavir/ ritonavir (LPV/r)   Nelvinafir (NFV)  Saquinavir / ritonavir (SQV/r)  Ritonavir (RTV/) 800mg/100mg 2x/hr 400mg / 100mg 2x/hr 1250mg 2x/hr 1000mg/100mg 2x/hr atau 1600mg/200mg x/hr

Kapsul 100mg larutan oral 400mg/5ml

Panduan Kombinasi Obat ARV

Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai  Highly Active AntiRetroviral Therapy  atau HAART.Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi.

WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI.Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T).Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ).

(30)

Tabel Terapi ARV Kombinasi

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC +  NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat menimbulkan anemia.Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC +  NVP.Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer.Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil karena EFZ tidak boleh diberikan Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-masing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan:

(31)

Sindrom Pemulihan Imunitas (ImmunReconstitution Syndrome = IRIS)

Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalantubuh selama terapi ARV.Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing (hidupatau mati) dari pasien yang baru memulai terapi ARV danmengalami pemulihan respon imun terhadap antigen tersebut.M. tuberkulosi merupakan sepertiga dari seluruh kasusIRIS. Frekuensinya 10% dari seluruh pasien yang mulai terapi ARV dan 25% dari pasien yang mulai terapi ARV dengan CD4 <50 / mm3.Berikut table pedoman tatalaksana IRIS di Indonesia, sepe rti pada tabel 14.

(32)

Tabel Pedoman Tatalaksana IRIS

Tabel Definisi Kegagalan Terapi secara klinis dan kriteria CD4 pada ODHA.

Obat ARV juga diberikan pada  beberapa kondisi khusus seperti  pengobatan profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung HIV (post exposure prophylaxis.

(33)

3.10 Prognosis HIV/AIDS

Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal. Sekitar 75% pasien yang didiagnosis AIDS meninggal tiga tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5% kasus pasien terinfeksi HIV yang tetap sehat secara klinis dan imunologis.

(34)

TUBERKULOSIS PARU PADA PENDERITA HIV/ AIDS

4.1 Definsi

Tuberkulosis ( TB )  adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh  Mycobacterium tuberculosis (MTB). Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, merupakan organisme patogen maupun saprofit. Jalan masuk untuk organisme  MTB  adalah saluran  pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB menyebar lewat udara, melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan organisme basil tuberkel dari seseorang yang terinfeksi.2

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang T helper atau CD4, terutama limfosit T, yang dapat menyebabkan  penurunan imunitas seluler dan peningkatan terjadinya infeksi oportunistik. AIDS (Acquired

Immunodeficiency Syndrome) adalah tahap akhir dari infeksi HIV yang memiliki satu atau lebih infeksi oportunistik dan keganasan dengan jumlah CD4 sel T kurang dari 200 sel per mm3. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila  jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan

demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

4.2 Epidemiologi

Pada akhir tahun 2000 terdapat sekitar 11,5 juta penderita HIV yang terinfeksi M. Tuberkulosis. 70% adalah penderita berada di sub-sahara Afrika, 20% berada di Asia Tenggara, 4% di Amerika latin dan Carribian. Penderita TB-HIV usia 15-49 tahun pada akhir tahun 2000. Pada Tahun 2010, dari 8,8 juta orang yang terinfeksi TB, 1,1 juta diantaranya mengidap HIV. Data Kementrian Kesehatan per Juni 2011 menunjukkan jumlah pengidap AIDS mencapai 26.400 orang dan lebih dari 66.600 orang telah terinfeksi HIV positif.10

(35)

4.3 Patogenesis Dampak Infeksi HIV terhadap Paru

Makrofag dan limfosit alveoler yang terdapat di permukaan epitel alveoli adalah sel defender utama parenkim paru.2 Terinfeksinya makrofag dan limfosit alveoler oleh HIV (paparan endogen) merupakan proses krusial pada patogenesis penyakit paru pada AIDS. Molekul CD4 pada permukaan sel merupakan receptor untuk masuknya HIV dan untuk masuknya virus ke dalam sel diperlukan kerjasama dengan ko-reseptor kemokin.CCR5 adalah ko-reseptor yang digunakan untuk menginfeksi makrofag oleh strain monoscytetropic (M-tropic), namun tidak untuk menginfeksi limfosit dan sebaliknya CXCR4 atau fusin untuk strain lymphocyte-tropic (L-tropic) Makrofag alveoler merupakan reservoir HIV yang utama.Hal ini dibuktikan dengan terdeteksinya HIV reverse transcriptase dari hasil Bronchoalveolar Lavage (BAL).Pada paru, CD4 ini terdapat pada permukaan makrofag alveoler dan ko-reseptor yang  paling berperan adalah CCR5 walaupun terdapat pula ekspresi CXCR4.Infeksi oleh strain M-tropic dapat diblokir oleh CC chemokines RANTES, macrophage inflammatory proteidanyang  berperan sebagai ligand CCR5. Seiring dengan perkembangan infeksi HIV, maka peran strain M-tropic digantikan oleh T-tropic, disertai penurunan yang cepat status imunologik penderita. Sebagai reaksi defensif lokal paru terhadap masuknya virus: dengan bantuan limfosit CD4 (T-helper), maka limfosit CD8 yang merupakan efektor system imunitas seluler, membunuh sel

Tabel Jumlah orang yang terkena TB HIV

(36)

yang terinfeksi HIV melalui cytotoxic T-cell lymphocyte (CTL) CD8. Sel limfosit sitotoksik CD8 ini akan aktif dan berproliferasi sebagai respon terhadap adanya epitope virus HIV, sehingga menekan replikasi virus secara langsung Walaupun telah ada mekanisme penekanan ini, namun replikasi virus tetap berlangsung (mekanismenya masih belum jelas) sehingga terjadi destruksi dan penurunan jumlah dan kualitas CD4, selanjutnya menyebabkan respon CTL CD8 menjadi suboptimal (secara in vitro, tidak dapat melakukan lisis sel target dengan  baik) CD4/CD8 pada paru lebih kecil dibandingkan darah perifer. Pada beberapa penderita menunjukkan symptom pulmonologis sebagai akibat influks limfosit CD8 ke sel paru (lymphoid interstitial pneumonitis), dimana hal ini berkorelasi dengan tingginya viral load.Namun pada tahap lanjut jumlah limfosit CD8 ini juga mengalami penurunan.

Didapatkan bahwa abnormalitas sel B terjadi pada masa-masa awal infeksi sebelum terpengaruhnya fungsi sel T) dengan gangguan pembentukan antibodi sebagai respon terhadap mitogen dan gangguan inisiasi sistesis antibodi secara normal sebagai respon terhadap antigen. Penurunan konsentrasi IgG pada paru kemungkinan akibat gangguan kemampuan makrofag alveoler dalam merangsang sekresi IgG dari sel B.14 Mekanisme defensif lainnya adalah surfaktan paru (disekresi oleh sel epitel alveolar tipe II) yang secara fisiologis berguna untuk menurunkan tegangan permukaan sehingga memudahkan reinflasi pada setiap akhir ekspirasi. Surfaktan tersusun atas kompleks fosfolipid dan protein spesifik, sel-sel bronkoalveoler juga terdapat didalamnya.Surfaktan menekan proses oksidatif dan produksi beberapa jenis sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF alfa (sitokin-sitokin yang merangsang replikasi virus HIV), menghambat aktivasi limfosit sehingga menghambat replikasi virus HIV. Paparan terhadap infeksi mikroorganisme tertentu akan merangsang produksi TNF oleh makrofag alveoler,  berikutnya TNF akan mengaktifkan replikasi virus HIV sekaligus mengganggu sistesis protein

(37)

Bagan Perjalanan TB Primer

Bagan Perjalanan Tuberculosis Post-Primer 4.4. Diagnosis TB HIV

Gejala klinis pada pasien HIV/AIDS dengan TB

Riwayat Penyakit Dahulu dan Riwayat Kehidupan Pribadi:11 1. Riwayat seks dengan berganti-ganti pasangan

2. Riwayat infeksi menular seksual

3. Riwayat pemakaian narkotika secara suntikan 4. Herpes zoster yang meninggalkan scar

5. Riwayat pneumonia

6. Infeksi bakteri seperti sinusitis, bakteriemia, dan lain-lain 7. Riwayat TB

(38)

Gejala:

1. Penurunan berat badan (>10 kg atau >20% dari berat badan semula) 2. Diare (lebih dari 1 bulan)

3. Batuk berdahak (lebih dari 3 minggu) 4. Sesak nafas

5.  Nyeri dada 6. Malaise, lemah

7. Penurunan nafsu makan 8. Keringat malam

9. Demam

Tanda (Pemeriksaan Fisik): 1. Herpes zoster scar 2. Sarcoma Kaposi 3. Pembesaran KGB 4. Oral candidiasis

5. Pada pemeriksaan fisik terdapat tanda-tanda konsolidasi: Perkusi redup, terdapat ronkhi basah atau kering

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium:

Cara penegakan diagnosis TB pada ODHA tidak berbeda dengan yang bukan ODHA.Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada ODHA sekitar 50% dan tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha.Pada foto toraks, gambaran TB paru pada ODHA dengan CD4>200 sel/µL tidak berbeda dengan non  –   HIV. Berikut beberapa pemeriksaan  penunjang yang dapat ditemuakan pada penderita TB pada ODHA:12

1. Pemeriksaan sputum yaitu apabila BTA positif (sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen sputum)

2. Pemeriksaan darah dengan hasil HIV reaktif dan pemeriksaan CD4 yang nilainya kurang dari normal

(39)

Jenis Pemeriksaan Infeksi dini (CD4 >200/mm3

Infeksi lanjut (CD4<200/mm3)

Sputum mikroskopis Sering positif Sering negatif

TB ekstra pulmonal Jarang Umum atau banyak

Mikobakteriemia Tdak ada Ada

Tubekulin Positif Negatif

Foto thoraks aktivasi TB, kaviti di  puncak

Tipikal pimer TB milier atau intestisial Adenopati hilus atau

mediastinum Tidak ada Ada

Efusi pleura Tidak ada Ada

Pemeriksaan Penunjang Radiologi:

Gambaran radiologi pada penderita TB HIV dapat menentukan derajat

immunocompromise. Pada immunocompromise sedang, akan terlihat gambaran radiologi TB  paru pada umumnya, sedangkan pada immunocompromise berat maka akan terlihat gambaran

yang atipikal.

Jadi, TB paru merupakan jenis infeksi yang paling sering dijumpai dan muncul pada infeksi HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/mikroL, sedangkan TB ekstraparu atau

Gambar

Gambar struktur virus HIV- HIV-WHO.  TB/  HIV:  A
Gambar Patogenesis Infeksi HIV
Tabel Golongan Obat dan Dosis ARV
Tabel Terapi ARV Kombinasi
+7

Referensi

Dokumen terkait