• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Fraktur Basis Cranii

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Fraktur Basis Cranii"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Cedera kepala adalah penyebab utama kematian, dan kecacatan. Manfaat dari tulang tengkorak untuk melindungi otak terhadap cedera.Selain dilindungi oleh tulang, otak juga tertutup lapisan keras yang disebut meninges fibrosa, dan juga terdapat cairan yang disebut cerebrospinal fuild (CSF).Trauma dapat berpotensi menyebabkan fraktur tulang tengkorak, perdarahan di ruang sekitar otak, memar pada jaringan otak, atau kerusakan saraf pada otak.

Fraktur basis Cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat benturan langsung di sekitar dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita), transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula, atau efek “remote” dari benturan pada kepala (“tekanan gelombang” yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).

Pasien dengan fraktur basis Cranii (fraktur pertrous os temporal) dijumpai dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Penampakan fraktur basis Cranii fossa anterior ditandai dengan adanya Rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes).Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial. Untuk penegakan diagnosis fraktur basis Cranii, diawali dengan pemeriksaan neurologis lengkap, analisis laboratorium dasar, diagnostic untuk fraktur dengan pemeriksaan radiologik.

Penanganan korban dengan cedera kepala diawali dengan memastikan bahwa airway, breathing, circulation bebas dan aman. Banyak korban cedera kepala disertai dengan multiple trauma dan penanganan pada pasien tersebut tidak menempatkan penanganan kepala menjadi prioritas, resusisati awal dilakukan secara menyeluruh.

1.2. Batasan Masalah

Refrat ini membahas tentang anatomi, definisi, epidemiologi, etiologi, Patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis fraktur basis cranii

(2)

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan penulis khususnya mengenai fraktur basis cranii

1.4. Metode Penulisan

Referat ini disusun berdasarkan studi kepustakaan dengan merujuk ke berbagai literatur.

1.5. Manfaat

Referat ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan tentang fraktur basis cranii.

(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi

Gambar 1

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis Craniii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu: Os frontal, Os Ethmoidal, Os sphenoidal, Os occipital dan Os temporal, pada regio temporal strukturnya lebih tipis, namun pada bagian ini dilindungi oleh otot-otot temporalis.

Basis cranii memiliki bentuk yang tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rogga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu : fossa cranii anterior, Fossa cranii media, fossa cranii posterior.

(4)

Gambar 2

Sekitar 70% fraktur basis Cranii berada pada daerah anterior, meskipun kalvaria tengah adalah bagian terlemah dari basis Cranii namun hanya 20% fraktur yang ditemukan dan sekitar 5% fraktur pada daerah posterior.

Fossa crania anterior :Melindungi lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior oleh permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor ossis spenoidalis. Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina cribiformis os etmoidalis di media. Permukaan atas lamina cribiformis menyokong bulbus olfaktorius, dan lubang-lubang halus pada lamini cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius.

Pada fraktur fossa Cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera. Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes atau periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari fraktur basis cranii fossa anterior

(5)

Fossa Cranii media :Terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri yang menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os sphenoidalis dan terdapat canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus dan a.oftalmica, sementara bagian posterior dibatasi oleh batas atas pars petrosa os temporal. Dilateral terdapat pars squamous pars os temporal. Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan minor os sphenoidalis dilalui oleh n.lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n.occulomotorius dan n.abducens. Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini merupakan tempat yang paling lemah dari basis Cranii. Secara anatomi kelemahan ini disebabkan oleh banyaknya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani dan sinus sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering terkena cedera. Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus externus sering terjadi (otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral sinus cavernosus robek.

Fossa Cranii posterior melindungi otak belakang, yaitu cerebellum, pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggir superior pars petrosa os temporal dan di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa os occipital. Dasar fossa Cranii posterior dibentuk oleh pars basilaris, condylaris, dan squamosa os occipital dan pars mastoiddeus os temporal. Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh medulla oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis assendens n. accessories dan kedua a.vertebralis. Pada fraktur fossa Cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di bawah otot-otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di otot otot trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa atap nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat ceder

2.2. Definisi

Tengkorak adalah kerangka tulang kepala. Tengkorak terdiri dari dua bagian yang terpisah: tengkorak dan rahang bawah. Mandibula adalah rahang bawah atau rahang, dan

(6)

tempurung kepala adalah sisa tengkorak. Mandibula adalah satu-satunya bagian dari tengkorak yang tidak bergabung dengan sutura.

Tengkorak bertanggung jawab untuk berbagai macam fungsi penting termasuk: mendukung struktur wajah (seperti hidung dan mata), membentuk jarak antara mata, membentuk posisi telinga untuk membantu otak menentukan arah dan jarak suara dan menjaga serta membentuk rongga/cavitas otak.

Fraktur berarti bahwa telah ada kerusakan baik satu atau lebih tulang pada tengkorak. Meskipun dalam hal ini sangat menyakitkan, ancaman yang lebih besar adalah bahwa membran, pembuluh darah, dan bahkan otak, yang berada di dalam tengkorak dapat terlindungi.Fragmen kecil dari tengkorak juga bisa pecah dan menyebabkan kerusakan tambahan pada otak. Selain itu, energi yang dipakai dalam benturan tengkorak bisa melukai jaringan otak.

Fraktur tulang tengkorak dapat diklasifikasikan dalam salah satu dari dua cara, baik dengan jenis cedera yang diderita atau lokasi dari cederanya. Sebuah fraktur tengkorak basilar terjadi di dasar tengkorak. Ini adalah cedera yang sangat jarang terjadi hanya dalam 4% dari semua kasus fraktur. Fraktur ini pada dasarnya adalah fraktur linear, atau retak garis lurus di dasar tengkorak. Patah tulang tengkorak basilar bisa sangat berbahaya karena batang otak dapat terluka, yang antara lain mengirimkan pesan dari otak ke sumsum tulang belakang. Jika otak atau batang otak terluka maka kematian seringkali sangat mungkin terjadi.

Fraktur basis Cranii terjadi karena adanya trauma tumpul yang menyebabkan kerusakan pada tulang dasar tengkorak. Ini sering dikaitkan dengan perdarahan di sekitar mata (raccoon eyes) atau di belakang telinga (Battle sign). Garis fraktur dapat meluas ke sinus wajah yang memungkinkan bakteri dari hidung dan mulut untuk masuk keadalam dan kontak dengan otak, menyebabkan infeksi yang potensial.

2.3. Epidemiologi

Fraktur basis Cranii merupakan salah satu fraktur pada area kepala dan leher yang sulit untuk dievaluasi dan diobatai. Fraktur ini didefinisikan sebagai fraktur linear dasar tengkorak, dan biasanya frakturnya banyak pada wajah dan meluas kedasar tengkorak.

(7)

Sinus sphenoid, foramen magnum, os temporal dan sphenoidal adalah daerah yang paling umum terjadi patahan.

Sekitar 2 juta cedera kepala yang terjadi di Amerika Serikat. Kasus ini adalah salah satu penyebeb utama kecacatan dan kematian pada anak. Kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab utama dari trauma ini yang ada dinegara-negara industri. Persentase cedera kepala dan leher yang terjadi adalah 1/3 dari kecelakaan kendaraan bermotor, dengan 28% kasus fraktur ada pada kepala dan leher.

Fraktur basis Cranii terjadi sekitar 20-24% dari semua kasus cedera kepala. Pada studi retrospective yang dilakukan oleh Behbahani dkk pada tahun 2013, mengatakan bahwa dalam hal ini kejadian fraktur basis Cranii hanya terdapat 2% dari seluruh kasus kejadian trauma. Dalam sebuah studi dari Behbahani et al in 2013, sebuah studi retrospektif tentang trauma kepala. Mereka menemukan bahwa dari 1060 pasien dengan trauma kepala. 965 pasien mengalami fraktur tulang kepala dengan 220 diantaranya frakturnya berada pada dasar tengkorak. Dari 220 fraktur ini diantaranya 78 fraktur os temporal, 47 orbital superior, 44 sphenoid, 30 os occipitalis, 21 ethmoidal, dan 2 clivus.

2.4. Patofisiologi

Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah-daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula, atau efek “remote” dari benturan pada kepala (“gelombang tekanan” yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).

Tipe dari fraktur basis cranii yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.

Fraktur basis Cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya,

(8)

ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring fracture.Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.

Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur basis Cranii akibat hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada area kubah non-kranial, yang terjadi dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan bermotor, telah didokumentasikan.Para peneliti menemukan fraktur basis Cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah saja.

Pada studi eksperimen berdasarkan pengujian mayat, Gott et al.(1983) meneliti secara rinci tengkorak dari 146 subjek yang telah mengalami benturan/ruda paksa pada area kepala. Dari 45 kasus fraktur tengkorak diamati secara rinci, terdapat 22 BSF pada grup ini. Penyebab dari kasus tersebut disebabkan oleh ruda paksa pada area frontal (5 kasus), daerah Temporo-parietal tengkorak (1 kasus), seluruh wajah (2 kasus) dan berbagai jenis ruda paksa kepala lainnya (14 kasus).

Saat memeriksa respon leher akibat beban daya regang aksia, Sances et al. (1981) mengamati BSF tanpa kerusakan ligamen melalui analisa quo-statistic didapatkan 1780N sementara dan 3780N tampak utuh pada area leher, kepala dan tulang belakang. Beberapa peneliti mengamati complex kepala-leher terhadap ruda paksa dari arah superior-inferior. Secara umum, menunjukkan bahwa lokasi fraktur tengkorak hasil dari ruda paksa langsung. Ketika area kepala terlindungi, leher menjadi wilayah yang paling rentan terhadap cedera pada tingkat kekuatan di atas 4 kN (Alem et al 1984). Para peneliti menguji 19 cadaver dalam posisi supine dan hanya mampu menghasilkan BSF tunggal. Fraktur basis Cranii membutuhkan durasi yang rendah (3 ms), energi tinggi (33 J) ruda paksa dengan kekuatan benturan dari 17 kN pada kecepatan ruda paksa 9 m /s.

Hopper et al. (1994) melakukan dua studi eksperimental pada mayat bertujuan untuk memahami mekanisme biomekanik yang mengakibatkan fraktur basis Cranii ketika kepala mandibula yang dikarenakan ruda paksa

(9)

Pada studi awal, cedera yang dapat ditoleransi oleh mandibula ketika mengalami ruda paksa adalah pada area pertengahan simfisis atau area mentalis (dagu). Enam dampak yang dinamis dengan jalur vertikal pada satu tes dilakukan dengan menggunakan uji quasi-static. Suatu ruda paksa yang bervariasi diberikan untuk menilai pengaruh yang terjadi. Ditemukan bahwa toleransi energi ruda paksa untuk fraktur mandibula pada ke enam tes tersebut adalah 5270 + 930N. Pada setiap tes, dijumpai fraktur mandibula secara klinis namun tidak menghasilkan fraktur basis Cranii.

Studi kedua menilai toleransi fraktur basis Cranii ketika beban langsung diberikan kearah Temporo-mandibula joint yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan secara lokal sekitar foramen magnum. Kekuatan puncak dan energi untuk setiap kegagalan ditentukan dalam setiap pengujian. Beban rata rata pada setiap fraktur ditemukan dengan kekuatan energi 4300 +350.

Peneliti menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa ruda paksa pada mandibula saja biasanya hanya menyebabkan fraktur mandubula. Selanjutnya, complete dan parsial ring tipe BSF membutuhkan ruda paksa temporo-,amdibular yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan pada daerah sekitar foramen magnum.

(10)

a) Fraktur Temporal

Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis Cranii. Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe transversal dari fraktur temporal dan type longitudinal fraktur temporal ditunjukkan di bawah ini.

A B

(A)Transverse temporal bone fracture and (B) Longitudinal temporal bone fracture (courtesy of Adam Flanders, MD, Thomas Jefferson University, Philadelphia, Pennsylvania)

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan tegmen timpani.Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa Cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal. Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut tidak disertai dengan deficit nervus cranialis.

b) Fraktur condylar occipital (Posterior)

(11)

berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.

2.5. Manifestasi

Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis Cranii fossa anterior adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial.

Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu. Tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.

Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural hearing loss).

Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius. Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.

Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal

(12)

constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.

2.6. Penananganan

A. Penananganan Khusus

Penanganan khusus dari fraktur basis Cranii terutama untuk mengatasi komplikasi yang timbul, meliputi : fistula cairan serebrospinal, infeksi, dan pneumocephalus dengan fistula.

a) Fistula cairan serebrospinal:

Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang extraarachnoid, duramater, atau jaringan epitel. Yang terlihat sebagai rinore dan otore. Sebagian besar rinore dan otore baru terlihat satu minggu setelah terjadinya trauma. Kebocoran cairan ini membaik satu minggu setelah dilakukan terapi konservatif. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic dan steroid.

Rinore

Terjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis anterior. CSS mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital dari tulang frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang melalui klivus. Kadang-kadang pada fraktura bagian petrosa tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba Eustachian dan bila membran timpani intak, mengalir dari hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada hampir 80 persen kasus.

Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, meniup hidung dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diureticdan steroid. Dilakukan punksi lumbal secara serial dan pemasangan kateter sub-rachnoid secara berkelanjutan. Disamping itu diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi. Pendekatan pembedahan dapat secara intrakranial, ekstrakranial dan secara bedah sinus endoskopi. Pendekatan intrakranial yaitu dengan melakukan craniotomi melalui daerah frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah temporal (temporal media fossa craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital posterior fossa craniotomi) tergantung dari lokasi kebocoran.

(13)

Keuntungan teknik ini dapat melihat langsung robekan dari dura dan jaringan sekitarnya. Bila dilakukan tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan berguna bagi pasien yang tidak dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian teknik ini adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti edema, hematoma dan perdarahan. Disamping itu dapat terjadi anosmia yang permanen. Sering terjadi kebutaan terutama pada pembedahan didaerah fossa Cranii anterior. Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan yang lama. Pendekatan Ekstra Cranial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior dengan sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan pendekatan eksternal etmoidektomi, trans-etmoidal sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau trans antral, tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini adalah memiliki lapangan pandang yang baik, angka kematian yang rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik ini adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang abnormal. Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid.

Pendekatan Bedah Sinus

Endoskopi merupakan tehnik operasi yang lebih disukai dengan angka keberhasilan yang tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang rendah. Pada fistel yang kecil (<3mm) dapat diperbaiki dengan free graftmukoperikondrial yang diletakkan diatas fistel. Pada fistel yang besar (>3mm) digunakan graft dari tulang rawan dan tulang yang diletakkan dibawah fistel dan dilapisi dengan flap local atau free graft. Keuntungan teknik ini adalah lapangan pandang yang jelas sehingga memberikan lokasi kebocoran yang tepat. Mukosa dapat dibersihkan dari kerusakan tulang tanpa memperbesar ukuran dan kerusakan dari tulang. Disamping itu graft dapat ditempatkan lebih akurat pada kerusakannya.

Otore

Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater dibawahnya serta arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktur tulang petrosa diklasifikasikan menjadi longitudinal dan transversal, berdasar hubungannya terhadap aksis memanjang dari piramid petrosa; namun kebanyakan fraktur adalah campuran. Pasien dengan fraktur longitudinal biasanya menunjukkan gejala klinis kehilangan

(14)

pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan fraktur transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin, kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal auditori. Paresis fasial tampil hingga pada 50 persen pasien. Fraktura longitudinal empat hingga enam kali lebih sering dibanding yang transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf fasial. Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam seminggu. Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4 persen, dibanding 17 persen pada rinore CSS. Pada kejadian jarang, dimana ia tidak berhenti, diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi.

Infeksi

Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis Cranii. Penyebab paling sering dari meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S. Pneumoniae. Profilaksis meningitis harus segera diberikan, mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas walaupun terapi antibiotik telah digunakan. Pemberian antibiotik tidak perlu menunggu tes diagnostic.Karena pemberian antinbiotik yang terlambat berkaitan erat dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Profilaksis antibiotik yang diberikan berupa kombinasi vancomycin dan ceftriaxone. Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat tingginya angka resistensi antibiotic golongan penicillin, cloramfenikol, maupun meropenem.

Pnemocephalus

Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melalui menings. Meningkatnya tekanan di nasofaring menyebabkan udara masuk melalui cranial cavity melalui defek pada duramater dan menjadi terperangkap. TIK yang meningkat dapat memperbesar defek yang ada dan menekan otak dan udara yang terperangkap. Terapi dapat berupa kombinasi dari: operasi untuk membebaskan udara intracranial, serta memperbaiki defek yang ada, dan tredelenburg position.

Adapun penangannan umum dari trauma kepala sendiri, meliputi: Penatalaksanaan :

1. Pengendalian Tekanan IntraCraniial

Manitol efektif untuk mengurangi edem serebral dan TIK. Selain karena efek osmotik, manitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan arus

(15)

microcirculatory otak dan pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus manitol tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0 g / kg.

2. Mengontrol tekanan perfusi otak

Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg, baik dengan mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP. Rehidrasi secara adekuat dan mendukung kardiovaskular dengan vasopressors dan inotropik untuk meningkatkan MAP dan mempertahankan tekanan perfusi otak > 70 mmHg. 3. Mengontrol hematokrit

Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematokrit. Viskositas darah meningkat sebanding dengan semakin meningkatnya hematokrit dan tingkat optimal sekitar 35%. Aliran darah otak berkurang jika hematokrit meningkat lebih dari 50% dan meningkat dengan tingkat hematokrit di bawah 30.

4. Obat obatan

Pemberian rutin obat sedasi, analgesik dan agen yang memblokir neuromuscular. Propofol telah menjadi obat sedative pilihan. Fentanil dan morfin sering diberikan untuk membatasi nyeri, memfasilitasi ventilasi mekanis dan mempotensiasi efek sedasi. Obat yang memblokir neuromuscular mencegah peningkatan TIK yang dihasilkan oleh batuk dan penegangan pada endotrachealtube.

5. Pengaturan suhu

Demam dapat memperberat defisit neurologis yang ada dan dapat memperburuk kondisi pasien. Metabolisme otak akan oksigen meningkat sebesar 6-9 % untuk setiap kenaikan derajat Celcius. Tiap fase akut cedera kepala , hipertermia harus diterapi karena akan memperburuk iskemik otak.

6. mengontrol bangkitan

Bangkitan terjadi terutama di mereka yang telah menderita hematoma, menembus cedera, termasuk patah tulang tengkorak dengan penetrasi dural, adanya tanda fokal neurologis dan sepsis. Antikonvulsan harus diberikan apabila terjadi bangkitan.

7. Kontrol cairan

NaCl 0,9% , dengan osmolaritas 308 mosm / l, telah menjadi kristaloid pilihan dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan 0,9 % saline membutuhkan 4 kali volume darah yang hilang untuk memulihkan parameter hemodinamik. 8. Posisi kepala

(16)

Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-300 dapat menurunkan TIK dan meningkatkan venous return ke jantung.

9. merujuk ke dokter bedah saraf Rujukan ke seorang ahli bedah saraf:

• GCS kurang dari atau sama dengan setelah resusitasi awal • Disorientasi yang berlangsung lebih dari 4 jam

• Penurunan skor GCS terutama respon motoric • Tanda-tanda neurologis fokal progresif

• Kejang tanpa pemulihan penuh • Cedera penetrasi

Kebocoran cairan serebrospinal.

2.7.

Komplikasi fraktur basis cranii

Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan rhinorrhea. Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur basis cranii dibahas di bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy yang terjadi pada hari ke 2-3 pasca trauma adalah akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII dan responsif terhadap steroid, dengan prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba tiba pada saat bersamaan terjadinya fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus, dengan prognosis buruk. Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii. Fraktur pada ujung pertosus os temporale mungkin melibatkan ganglion gasserian. Cedera nervus cranialis VI yang terisolasi bukanlah akibat langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena terjadinya ketegangan pada nervus. Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus cranialis III, IV,dan VI dan juga dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan pembentukan pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika melibatkan struktur vena). cedera carotid diduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui kanal karotid, dalam hal ini, CT angiografi dianjurkan.

2.8. Prognosis

Pada frakur basis Cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama tanda tanda vital dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan tindakan sedini mungkin apabila ditemukan deficit neurologis serta diberikan profilaksis antibiotik untuk

(17)

mencegah terjadinya infeksi sekunder, sedangkan pada fraktur basis Cranii posterior, prognosis buruk dikarenakan fraktur pada fossa posterior dapat mengakibatkan kompresi batang otak.

(18)

BAB III

KESIMPULAN

Fraktur basis Cranii terjadi karena adanya trauma tumpul yang mengakibatykan kerusakan pada tulang dasar tengkorak. Terbagi atas 3 jenis: fraktur basis Cranii anterior yang mengenai lobus frontal yang ditandai dengan adanya raccoon eyes, fraktur basis Cranii media yang mengenai fossa Cranii media, dengan gejala khas berupa rinore dan otore serta battle sign, dan fraktuir basis Cranii posterior yang mengenai fossa Cranii posterior namun jarang memberikan gejala yang khas.

Penanganan fraktur basis Cranii ini meliputi konservatif dan operatif, dengan tujuan utama mengurangi TIK, dan mengatasi fistula yang ada, serta profilaksis infeksi meningitis. Prognosis fraktur basis Cranii tergantung pada lokasi, apabila mengenai anterior dan media, umumnya prognosis baik, namun apabila mengenai daerah posterior umumnya prognosis buruk.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

1. Haryono Y. Rinorea cairan serebrospinal. USU. Departemen THT-KL FK USU. 2006 2. Nadeau K. Neurologic injury(chapter 29) in Jones and barlett learning.com. 2004

3. Bamberger D. Diagnosis, initial management and prevention of meningitis, University of Missouri–Kansas City School of Medicine, Kansas City, Missouri.

4. Pillai P, Sharma R,MacKenzie R, Reilly EF, Beery PR, Thomas, Papadimos , Stawicki SPA. raumatic tension pneumocephalus: Two cases and comprehensive review of literature. OPUS 12 Scientist 2010;4(1):6-11

5. http://www.psychologymania.com/2012/09/klasifikasi-cedera-kepala.html,

6. Sylvia A.price &Loraine m.wilson. patofisiologi konsep klinis proses2 penyakit vol.2 edisi 6,EGC2005.

7. Essential Neurosurgery Handbook Second Edition. 2006.

8. Advanced Trauma Life Support Student Course Manual ninth edition. 2012.

9. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal PEDOSSI. 2006. 10. Buku Ajar Ilmu Bedah Syamsuhidayat – De Jong Edisi 3. 2010.

Referensi

Dokumen terkait

+raktur *emur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang *emur. Penyebab tersering adalah akibat trauma langsung #kecelakaan lalu lintas! jatuh dari ketinggian&amp;!

Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Patah tulang yang terjadi pada daerah ini

Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berubah trauma langsung, misalnya benturan pada tulang patah dapat berubah trauma langsung, misalnya benturan pada lengan

Cidera kepala atau trauma kapitis adalah cidera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang

Pada Fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau yang biasa dikenal dengan OREF, biasanya dilakukan pada fraktur yang terjadi pada tulang panjang dan

- Rusaknya kontinuitas tulang mandibular yang dapat disebabkan oleh trauma baik secara langsung atau tidak langsung. - Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas

Tulang-tulang maksilofasial merupakan tulang-tulang pembentuk tengkorak bagian depan, terdiri dari tulang-tulang pipih dan menonjol seperti tulang nasal, zigoma, maksila dan

Trauma Langsung atau tidak langsung, patologi Fraktur terbuka atau tertutup Fraktur terbuka tulang menembus otot dan kulit Kehilangan integritas tulang Perubahan fragmen tulang