8 2.1 Penuaan
Menjadi tua adalah proses alamiah yang akan dialami oleh semua manusia. Penuaan bukan hanya proses menjadi tua. Penuaan adalah apa yang membuat tua tidak sebaik baru dan ketika laju kegagalan meningkat bersamaan dengan peningkatan usia, orang menjadi sakit, lemah, dan kadang sekarat (Gavrilov, 2004).
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi seperti saat ini tentunya banyak memberikan dampak positif bagi masyarakat. Ilmu yang sedang berkembang pesat saat ini adalah Ilmu Anti Aging Medicine (AAM). Penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia kronologik. Penuaan tidak dapat dihindarkan dan berjalan dengan kecepatan berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan dan gaya hidup, sehingga penuaan dapat terjadi lebih dini atau lambat tergantung kesehatan masing-masing individu (Fowler, 2003).
2.1.1 Definisi Penuaan
Definisi aging menurut American Academy of Anti-Aging Medicine (A4M) adalah perubahan fisik yang berhubungan dengan aging disebabkan oleh disfungsi fisiologik, dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran yang tepat (Klatz, 2003).
Penuaan adalah suatu kumpulan gejala dari perubahan yang terus menerus, menyeluruh dan menetap. Proses penuaan terjadi pada molekul (DNA, protein,
lemak), pada sel dan organ. Frekuensi penyakit yang meningkat pada usia tua seperti arthritis, osteoporosis, penyakit jantung, kanker, Alzheimer's Disease sering dikaitkan dengan terjadinya proses penuaan. Padahal pada kenyataannya tidak semua benar bahwa penyakit yang terjadi pada usia tua adalah merupakan proses penuaan (Goldman dan Klatz, 2007). Webster's New World Dictionary mendefinisikan penuaan sebagai proses menjadi tua atau menunjukkan tanda-tanda menjadi tua. Oleh karena itu kemudian dikenal dua macam usia, yaitu usia kronologis dan usia fisiologis atau biologis. Usia kronologis ialah usia sebenarnya sesuai dengan tahun kelahiran, sedang usia fisiologis atau biologis ialah usia sesuai dengan fungsi organ tubuh. Maka usia kronologis tidak selalu sama dengan usia fisiologis (Pangkahila, 2007).
2.1.2 Penyebab Proses Penuaan
Banyak faktor yang dapat menyebabkan orang menjadi tua melalui proses penuaan, yang kemudian menyebabkan sakit, dan akhirnya membawa kepada kematian. Pada dasarnya berbagai faktor itu dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan. Karena berbagai faktor itulah terjadi proses penuaan, sehingga orang menjadi tua, sakit, dan akhirnya meninggal. Namun, kalau faktor penyebab itu dapat dihindari, proses penuaan tentu dapat dicegah, diperlambat, bahkan mungkin dihambat, dan kualitas hidup dapat dipertahankan. Dengan kata lain usia harapan hidup dapat
menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang lebih baik. Dengan melihat berbagai faktor di atas, kita dapat menentukan faktor mana yang dapat dihindari atau diatasi agar proses penuaan dapat dicegah atau diperlambat (Pangkahila, 2007).
2.1.3 Teori Proses Penuaan
Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan. Tetapi, pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori wear and tear meliputi kerusakan DNA, glikosilasi, dan radikal bebas serta teori program meliputi terbatasnya replikasi sel, proses imun, dan teori neuroendokrin (Pangkahila, 2007).
Ada empat teori pokok dari penuaan (Goldman dan Klatz, 2007), yaitu: 1. Teori Wear and Tear
Tubuh dan sel mengalami kerusakan karena sering digunakan dan disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit, dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin, karena sinar ultraviolet, dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel.
2. Teori Neuroendokrin
Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Dengan bertambahnya
usia tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh.
3. Teori Kontrol Genetik
Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang DNA, dimana kita dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan mental terentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita menjadi tua dan berapa lama kita dapat hidup.
4. Teori Radikal Bebas
Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktivitas tinggi, karena kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak, dan protein (Suryohudoyo, 2000). Dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga mengganggu metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa pada kanker dan kematian. Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen dan elastin, suatu protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel, dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal
bebas, terutama pada daerah wajah, di mana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldman dan Klatz, 2007).
2.1.4 Faktor yang Mempercepat Penuaan
Setelah mencapai usia dewasa, secara alamiah seluruh komponen tubuh tidak dapat berkembang lagi. Sebaliknya justru terjadi penurunan karena proses penuaan. Pada umumnya manusia tidak pernah mempertanyakan mengapa kita menjadi tua, sakit, dan akhirnya meninggal. Orang hanya menganggap menjadi tua memang harus terjadi, sudah ditakdirkan, dan semua masalah yang muncul harus dialami. Bahkan, ada yang berpendapat usia setiap orang sudah ditentukan oleh Tuhan, sampai usia tertentu, yang tidak sama pada setiap orang. Namun ternyata ada beberapa faktor yang dapat mempercepat proses penuaan (Wibowo, 2003), yaitu :
1. Faktor lingkungan
a. Pencemaran lingkungan berupa bahan polutan dan bahan kimia yang merupakan hasil pembakaran pabrik, otomotif, dan rumah tangga akan mempercepat proses penuaan.
b. Pencemaran lingkungan berupa suara bising. Dari beberapa penelitian yang ada, ternyata suara bising mampu meningkatkan kadar hormon prolaktin dan dapat menyebabkan apoptosis pada berbagai jaringan tubuh.
c. Pemakaian obat-obatan dan jamu yang tidak terkontrol pemakaiannya dapat menurunkan hormon tubuh baik secara langsung maupun tidak langsung melalui mekanisme umpan balik (hormonal feedback mechanism).
d. Sinar matahari secara langsung dapat mempercepat penuaan kulit dengan hilangnya elastisitas dan kerusakan pada kolagen kulit.
2. Faktor diet atau makanan
Dipengaruhi oleh jenis nutrisi, jumlahnya serta kualitas dari makanan tersebut hendaknya yang tidak menggunakan bahan pengawet, pewarna, dan perasa dari bahan kimia yang terlarang. Zat beracun yang terkandung dalam makanan tersebut, tentunya dapat menimbulkan kerusakan pada berbagai organ tubuh, yang paling utama adalah kerusakan pada organ hati.
3. Faktor genetik
Genetik seseorang ditentukan oleh genetik dari orang tuanya. Ternyata, faktor genetik dapat berubah jika terpapar oleh infeksi virus, radiasi serta racun yang terdapat pada makanan, minuman dan kulit yang dapat diserap oleh tubuh.
4. Faktor psikis
Stres juga merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya proses apoptosis pada berbagai organ atau jaringan tubuh.
5. Faktor organik
Yang merupakan faktor organik adalah rendahnya kebugaran/fitness, pola makan yang tidak sehat, penurunan Growth Hormone(GH) dan IGF-1, penurunan hormon testosteron, penurunan melatonin secara konstan setelah memasuki usia 30 tahun yang dapat menyebabkan gangguan pada ritme harian (circadian clock) yang kemudian akan berpengaruh juga pada kulit dan rambut yang ditandai dengan berkurangnya pigmentasi serta terjadinya gangguan pola tidur,
peningkatan prolaktin yang sejalan dengan perubahan pada emosi dan stres. Serta terjadi perubahan pada FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone).
Selain faktor tesebut di atas juga ada faktor pelatihan fisik berlebih (Overtraining) sebagai faktor yang mempercepat proses penuaan. Aktivitas fisik berlebih dapat meningkatkan konsumsi oksigen sampai 100 - 200 kali lipat. Peningkatan oksigen yang luar biasa ini dapat memicu pelepasan radikal bebas, yang akan terlibat dalam proses oksidasi lemak membran sel otot. Proses tersebut disebut peroksidasi lipid, dan menyebabkan sel menjadi lebih mudah mengalami proses penuaan (Cooper,2001).
2.1.5 Upaya Menghambat Penuaan
Proses penuaan bukan datang dengan sendirinya tanpa sebab. Proses penuaan dapat dicegah dan dihambat jika kita dapat mengatasi faktor penyebabnya. Pada dasarnya upaya menghambat proses penuaan dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Menjaga kesehatan tubuh dan jiwa dengan gaya hidup sehat, yaitu meliputi: a. Berolahraga sesuai kaidah ilmiah.
Berolahraga seuai kaidah ilmiah yakni mengatur frequency, intensity, time dan type (FITT) latihan sesuai pedoman sebagai berikut (Pangkahila, 2013):
Frekuensi latihan minimal 3 - 4 kali perminggu atau tidak lebih dari 300 menit perminggu dengan waktu istirahat tidak lebih dari 2 hari.
Intensitas latihan harus cukup tinggi sehingga menaikkan denyut jantung sekitar 72%-87% dari denyut nadi maksimal dan tidak boleh melebihi denyut nadi maksimal (220-umur).
Lama latihan inti minimal sekitar 30 menit sampai 60 menit dan setiap latihan terdiri dari tiga fase, yaitu fase peregangan dan pemanasan, fase latihan dan fase pendinginan. Lamanya latihan : 1) Fase peregangan dan pemanasan 15 menit ; 2) Fase Latihan 35 menit; 3) Fase pendinginan 10 menit.
Tipe latihan sesuai dengan kondisi tubuh masing-masing individu. b. Makanan yang sehat dan cukup.
c. Rendah kalori, banyak sayur dan buah-buahan, cukup protein. d. Hindari dan atasi stres.
e. Hindari bahgan yang bersifat racun.
f. Seperti merokok dan alkohol yang berlebihan, pestisida, bahan pengawet yang tidak sehat.
g. Adanya keseimbangan antara kesibukan dan relaksasi.
2. Kehidupan berkeluarga harus bahagia, termasuk dalam kehidupan seksual, hindari perilaku seksual yang tidak sehat.
3. Lakukanlah pekerjaan sebagai suatu kesenangan.
4. Hiduplah dalam lingkungan sosial yang sesuai dengan hati nurani. 5. Upayakan selalu berpikir positif dan optimis.
6. Jangan merasa sehat normal hanya karena tidak merasakan keluhan yang serius. 7. Jangan merasa sudah tua dan tidak berdaya
8. Jangan gunakan obat atau ramuan yang tidak punya dasar ilmiah yang jelas dan tanpa petunjuk tenaga ahli.
9. Lakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala yang diperlukan dan sesuai dengan kondisi masing-masing.
10. Gunakan obat dan suplemen yang diperlukan sesuai petunjuk ahli, untuk mengembalikan fungsi berbagai organ tubuh yang menurun dengan bertambahnya usia.
Upaya pertama sampai kedelapan sebenarnya upaya yang dapat dilakukan oleh setiap orang tanpa adanya intervensi pengobatan dari luar. Tetapi pada kenyataannya untuk melaksanakan upaya tersebut tidaklah mudah, bahkan sebagian justru sulit dan nyaris hampit tidak dapat dilakukan. Upaya kesembilan dan kesepuluh merupakan upaya intervensi yang memerlukan perlakuan atau pengobatan yang disarankan atau diberikan oleh tenaga ahli (Pangkahila, 2007).
2.1.6 Tanda Penuaan
Proses penuaan ditandai penurunan energi seluler yang menurunkan kemampuan sel untuk memperbaiki diri. Terjadi dua fenomena, yaitu penurunan fisiologik (kehilangan fungsi tubuh dan sistem organnya) dan peningkatan penyakit (Fowler, 2003). Menurut Pangkahila (2007), aging adalah suatu penyakit dengan karakteristik yang terbagi menjadi tiga fase yaitu :
1. Fase subklinik (usia 25-35 tahun)
Kebanyakan hormon mulai menurun : testosteron, GH, dan estrogen. Pembentukan radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA mulai
mempengaruhi tubuh, seperti diet yang buruk, stres, polusi, paparan berlebihan radiasi ultraviolet dari matahari. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Individu akan tampak dan merasa “normal” tanpa tanda dan gejala dari aging atau penyakit. Bahkan, pada umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal. Tetapi terkadang pada wanita usia muda sudah mulai tampak tanda gejala dari aging. Misalnya pengguna kontrasepsi hormonal.
2. Fase transisi (usia 35-45 tahun)
Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25 persen. Kehilangan masa otot yang mengakibatkan kehilangan kekuatan dan energi serta komposisi lemak tubuh yang meninggi. Keadaan ini menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya resiko penyakit jantung, pembuluh darah, dan obesitas. Pada tahap ini mulai muncul gejala klinis, seperti penurunan ketajaman penglihatan, pendengaran, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi kulit menurun, dorongan seksual dan bangkitan seksual menurun. Tergantung dari gaya hidup, radikal bebas merusak sel dengan cepat sehingga individu mulai merasa dan tampak tua. Radikal bebas mulai mempengaruhi ekspresi gen, yang menjadi penyebab dari banyak penyakit aging, termasuk kanker, arthritis, kehilangan daya ingat, penyakit arteri koronaria dan diabetes.
3. Fase Klinik (usia 45 tahun keatas)
Orang mengalami penurunan hormon yang berlanjut, termasuk DHEA (dehydroepiandrosterone), melatonin, GH, testosteron, estrogen, dan hormon tiroid. Terdapat juga kehilangan kemampuan penyerapan nutrisi, vitamin, dan mineral sehingga terjadi penurunan densitas tulang, kehilangan massa otot sekitar
1 kg setiap tiga tahun, peningkatan lemak tubuh dan berat badan. Di antara usia 40 tahun dan 70 tahun, seorang pria kemungkinan dapat kehilangan 20 pon ototnya, yang mengakibatkan ketidak mampuan untuk membakar 800-1.000 kalori perhari. Penyakit kronis menjadi sangat jelas terlihat, akibat sistem organ yang mengalami kegagalan. Ketidakmampuan menjadi faktor utama untuk menikmati ”tahun emas” dan seringkali adanya ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sederhana dalam kehidupan sehari-harinya. Prevalensi penyakit kronis akan meningkat secara dramatik sebagai akibat peningkatan usia (Fowler, 2003).
2.2 Pelatihan Fisik Berlebih
Pelatihan fisik berlebih atau Overtraining dapat didefinisikan sebagai peningkatan volume atau intensitas pelatihan yang menghasilkan penurunan kinerja jangka panjang atau bahkan ditandai oleh penurunan kinerja yang spesifik dari olahraga (Urhausen dan Kindermann, 2002).
Para pakar mendefinisikan overtraining sebagai suatu perubahan karakteristik fisik, fisiologis atau psikologis yang terkait dengan overtraining dan rangsangan yang mendahului atau mengikuti terjadinya sindrom overtraining saat ini (Brooks dan Carter, 2013).
Gambar 2.1 Definisi Overtraining
(Sumber : Anonim : https://overtrainingsyndrome.wordpress.com/) Overtraining merupakan masalah berulang dikarenakan ada risiko yang terus-menerus akibat adanya ketidakseimbangan antara pelatihan kompetisi dan pemulihan (Brooks dan Carter, 2013; Alves et al., 2006). Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa 29% dari para atlet mengalami overtraining sepanjang karir mereka (Matos et al., 2011). Diperkirakan bahwa 60% dari semua atlet lari elite pria dan wanita yang terlibat dengan program pelatihan olahraga intensif mengalami overtraining syndrome (Kreher dan Schwartz, 2012). Peneliti membuktikan bahwa risiko mengalami overtraining lebih besar pada olahraga individual dibandingkan olahraga kelompok (Matos et al., 2011).
Tanda-tanda latihan berlebih adalah sebagai berikut (Pinel, 2009) :
Psikis : kelelahan umum, konsentrasi menurun, apati, insomnia, mudah tersinggung, dan depresi.
Penampilan (Performance) : penampilan menurun, pemulihan terlambat, dan tidak toleran terhadap pelatihan.
Fisiologis : Peningkatan denyut nadi basal, peningkatan rasa nyeri, nyeri otot yang kronis, penurunan berat badan, mudah infeksi dan menurunnya nafsu makan.
Pelatihan fisik berlebih akan mempengaruhi fungsi organ tubuh mulai dari kardiovaskuler, hormon serta muskuloskeletal sehingga mempengaruhi fungsi untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu pelatihan berlebih menurunkan kadar testosteron dan menurunkan gairah seksual (Pangkahila, 2011a). Pemeriksaan secara mendalam dapat dilakukan pemeriksaan hormon dan radikal bebas (Pangkahila, 2011b).
Banyak penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik berlebih dapat mengakibatkan stres oksidatif. Salah satu penelitian pada testis tikus yang direnangkan dengan intensitas tinggi dan durasi lama menunjukkan tingginya kadar MDA dan conjugated dienes (CD) bersamaan dengan menurunnya antioksidan enzimatik seperti glutathione (GSH), superoksid dismutase (SOD), katalase, gluthation-s-tranferase (GST) dan peroksidase (Manna et al., 2006).
Aktivitas fisik berlebih dapat meningkatkan konsumsi oksigen sampai 100 - 200 kali lipat. Peningkatan oksigen yang luar biasa ini dapat memicu pelepasan radikal bebas, yang akan terlibat dalam proses oksidasi lemak membran sel otot. Proses tersebut disebut peroksidasi lipid, dan menyebabkan sel menjadi lebih mudah mengalami proses penuaan (Cooper, 2001).
Proses peroksidasi lipid terdiri atas tiga fase yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi (Gambar 2.2). Proses inisiasi adalah proses ketika atom hidrogen
dikeluarkan dari molekul lipid. Beberapa senyawa dapat bereaksi dengan atom hidrogen membentuk radikal hidroksil (.OH), alkoxyl (RO), peroksil (ROO) mungkin juga H2O. Membran lipid umumnya adalah fosfolipid tersusun atas
asam lemak tak jenuh, mudah terjadi peroksidasi karena dikeluarkannya grup methylen (-CH2) dari atom hidrogen yang mengandung hanya satu elektron,
sehingga terdapat atom karbon yang tidak berpasangan. Adanya ikatan ganda di dalam asam lemak melemahkan ikatan C-H pada atom karbon yang berdekatan dengan ikatan ganda, sehingga mempermudah terjadinya perpindahan atom hidrogen (Catala, 2006).
Reaksi inisiasi radikal hidroksil (.OH) dengan asam lemak tak jenuh menghasilkan radikal lipid yang dapat bereaksi dengan molekul oksigen (O2)
membentuk radikal lipid peroksil. Radikal lipid peroksil mengambil hidrogen dari asam lemak yang berdekatan untuk membentuk lipid hydroperoxide (LOOH) serta radikal lipid yang kedua. Radikal alkoxyl maupun peroxyl memicu reaksi berantai peroksidasi lipid dengan mengeluarkan atom hidrogen (Liu et al., 2013).
Gambar 2.2
Peroksidasi lipid mengganggu fisiologi membran, menyebabkan gangguan pada aliran cairan dan permiabilitas, mengubah transport ion serta menghambat reaksi metabolisme. Peroksidasi lipid merupakan penyebab utama kerusakan sel. Proses peroksidasi asam lemak terutama terjadi pada membran fosfolipid. Peroksidasi lipid mengubah psikokemikal lapisan membran lipid menyebabkan disfungsi sel yang signifikan. Berbagai produk dihasilkan akibat peroksidasi lipid seperti MDA, 4-hydroxy-2-noneal(HNE), 4-hydroxy-2-hexenal (4-HHE) (Halliwell dan Gutteridg, 2007; Wahjuni, 2012).
Peroksidasi lipid merupakan suatu proses yang rumit dan terjadi secara bertingkat. Peroksidasi lipid menyebabkan hilangnya asam lemak tidak jenuh sehingga secara sederhana prinsip pengukuran peroksidasi lipid adalah memeriksa hilangnya lemak. Hasil akhir peroksidasi lipid (terutama cytotoxic aldehydes) seperti MDA dan 4-hydroxynonenal dapat menyebabkan kerusakan pada protein dan DNA (Halliwell dan Gutteridg, 2007; Wahjuni, 2012).
Selain itu pada aktivitas fisik berlebih terjadi peningkatan metabolisme tubuh, peningkatan inflamasi dan penggunaan oksigen terutama oleh otot-otot yang berkontraksi, sehingga terjadi peningkatan kebocoran elektron bebas oleh mitokondria, yang akan menjadi ROS. Umumnya 2-5 % dari oksigen yang dipakai dalam proses metabolisme akan menjadi ion superoksid, sehingga saat aktivitas fisik berat terjadi peningkatan produksi radikal bebas (Sauza et al, 2005). Aktivitas fisik berlebih dapat meningkatkan stres oksidatif karena terjadi peningkatan konsumsi O2 oleh aktivitas otot skeletal. Meskipun O2 sangat dibutuhkan ternyata juga bersifat toksik yang dapat memicu peningkatan ROS.
Pada organ yang tidak mendapat O2 dan nutrisi yang cukup akan menimbulkan keadaan iskemik dan kerusakan mikrovaskular. Keadaan ini disebut dengan Reperfusion Injury, yang memicu terjadinya kerusakan jaringan dan peningkatan Radikal Bebas (Miyata et al., 2011).
Gambar 2.3
Iskemia dan Reperfusion Injury (Levy, 2014)
Aktivitas fisik berlebih merangsang terjadinya leukositosis, peningkatan isoprostan dalam urine, protein carbonil (73%), catalase (96%), glutation peroxidase serta glutathione teroksidasi (25%). Dapat disimpulkan aktivitas fisik berlebih merangsang respon terhadap biomaker stres oksidatif (Margonis et al., 2007).
Pelatihan fisik yang berlebih diakibatkan oleh 1) tipe pelatihan yang tidak sesuai dengan kondisi tubuh; 2) intensitas pelatihan yang terlalu tinggi (lebih dari 72%-87% dari denyut nadi maksimal); 3) durasi pelatihan yang terlalu panjang (lebih dari 60 menit pada setiap latihan); 4) frekuensi pelatihan yang terlalu sering (lebih dari 3 - 4 kali perminggu) (Hatfield, 2001).
Pelatihan fisik yang berlebih juga menyebabkan terjadinya penumpukan asam laktat dalam otot sehingga dapat menyebabkan stres fisik . Untuk itu diperlukan masa pemulihan yaitu waktu yang dibutuhkan tubuh untuk kembali keadaan semula dari keadaan aktivitas pelatihan (Hatfield, 2001).
Pada latihan fisik berat berupa lari 8 km terjadi ketidakseimbangan antara prooksidan dan oksidan intraseluler yang dapat menimbulkan kerusakan hepatosit sehingga tejadi peningkatan plasma aspartat transaminase (AST/SGOT) empat kali lipat (Droge, 2002). Latihan fisik berat akut meningkatkan kadar malondialdehyde (MDA) yang sangat bermakna pada hati, darah, dan otot yang merupakan pertanda oxidative stres (Karanth dan Jeevaratnam, 2005).
2.2.1 Patofisiologi pelatihan fisik berlebih
Terdapat beberapa hipotesis yang menjelaskan patofisiologi overtraining yang kemudian menyebabkan overtraining syndrome (OTS). Hipotesis ini antara lain hipotesis glikogen, central fatigue hypothesis, hipotesis glutamine, hipotesis stres oksidatif, hipotesis sistem saraf otonom, hipotesis hipotalamus dan hipotesis sitokin. Hipotesis ini menerangkan bahwa penurunan kadar glikogen pada overtraining menyebabkan kelelahan dan penurunan performa atlet (Kreher dan Schwartz, 2012). Central fatigue hypothesis menerangkan bahwa peningkatan uptake triptofan pada otak akan merangsang peningkatan neurotransmitter serotonin (5-HT) dan merubah mood pada atlet yang overtraining (Budgett et al., 2010). Pada hipotesis glutamine, atlet yang mengalami overtraining akan mengalami penurunan kadar glutamine sehingga mengalami disfungsi sistem imun dan meningkatkan peluang penyakit infeksi (Hiscock and Pedersen, 2002).
Pada overtraining akan terjadi peningkatan radikal bebas yang merupakan faktor perusak sel otot dan menyebabkan kelelahan, merupakan penjelasan hipotesis stres oksidatif (Tanskanen et al., 2010). Hipotesis sistem saraf otonom menerangkan bahwa overtraining dapat menimbulkan beberapa OTSs didomiasi oleh peran saraf parasimpatis (Halson dan Jeukendrup, 2004). Hipotesis hipotalamus menekankan pada disregulasi kontrol sekresi hormon-hormon pada hipotalamus dan menyebabkan gangguan endokrinologi (Angeli et al., 2004). Hipotesis sitokin menekankan pada peran respon peradangan dan sekresi sitokin proinflamasi pada sebagian besar OTSs (Smith, 2000).
2.2.2 Diagnosis dan biomarker pelatihan fisik berlebih
Di bidang kedokteran olahraga, beberapa marker panel pemeriksaan telah dijadikan standar tes skrining yang komprehensif untuk calon atlet meliputi fungsi ginjal, kalium, magnesium, dan glukosa, hitung darah lengkap, laju endap darah, C-reaktif protein, besi, creatine kinase, dan thyroid stimulating hormone (Petibois et al., 2002). Selain itu penanda biokimia telah dipelajari dalam berbagai populasi atlet untuk mendiagnosis overtraining. Tidak ada kadar tertentu atau sensitifitas yang ditetapkan untuk creatine kinase, urea, atau iron (Urhausen dan Kindermann, 2002). Biomarker stres oksidatif juga telah ditemukan berkorelasi dengan status beban latihan (Margonis et al., 2007).
Marker hormonal menunjukkan beberapa hasil yang menjanjikan namun memiliki banyak variabel pengganggu seperti siklus menstruasi, status gizi (Meeusen et al., 2006). Kadar kortisol belum pernah diteliti antara atlet normal dan atlet dengan overtraining (Kreher dan Schwartz, 2012). Sebuah studi
prospektif menemukan peningkatan yang signifikan secara klinis pada rasio kadar kortisol urin semalam : kortisol selama periode beban latihan yang tinggi pada atlet (Gouarne et al., 2005).
2.3 Tulang
2.3.1 Struktur tulang
Struktur tulang terdiri dari atas sel, serat dan substansi dasar, namun komponen ekstraselnya mengapur menjadi substansi keras yang cocok untuk fungsi menyokong dan pelindung kerangka. Secara makroskopik, tulang dibedakan menjadi dua bentuk tulang yaitu tulang kompak (substansia kompakta) dan tulang spons (substansia spongiosa). Tulang kompak tampak sebagai massa utuh padat dengan ruang-ruang kecil yang hanya tampak dengan menggunakan mikroskop. Kedua bentuk tulang saling berhubungan tanpa batas jelas (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014).
Substansi interstisial tulang terdiri atas dua komponen utama yaitu matriks organik sebanyak 35% dan garam-garam anorganik sejumlah 65%. Matriks organik terdiri atas 90 % serat-serat kolagen yang terbenam dalam substansi dasar kaya proteoglikan, terutama kolagen tipe I. Bahan anorganik tulang terdiri atas endapan sejenis kalsium fosfat sub mikroskopik. Pada tulang yang aktif bertumbuh, terdapat empat jenis sel yaitu sel osteoprogenitor, osteoblas, osteosit dan osteoklas. Sel osteoprogenitor paling aktif selama pertumbuhan tulang dan akan diaktifkan kembali semasa kehidupan dewasa saat pemulihan fraktur tulang dan bentuk cedera lainnya. Osteoblas adalah sel pembentuk tulang yang
berkembang dan dewasa. Sel utama tulang dewasa adalah osteosit, yang terdapat dalam lacuna di dalam matriks yang mengapur. Osteoklas adalah sel yang memiliki peran dalam resorpsi tulang dalam proses remodeling tulang. Osteoklas menempati lekukan yang disebut lakuna Howship yang terjadi akibat kerja erosif osteoklas pada tulang dibawahnya (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014).
Sel osteoblas dan osteoklas berperan dalam pengaturan metabolisme tulang dan keduanya terlibat dalam perkembangan osteoporosis. Ketidak-seimbangan antara pembentukan tulang dan resorpsi tulang adalah kunci dari patofisiologi dari penyakit tulang pada orang dewasa termasuk osteoporosis (Shen et al., 2010).
2.3.2 Proses pembentukan tulang
Kerangka manusia dewasa memiliki total 213 tulang yang memiliki berbagai fungsi, selain memberikan dukungan struktural untuk tubuh dan tempat melekatnya otot-otot, melindungi struktur organ vital dan membantu pemeliharaan homeostasis mineral dan keseimbangan asam-basa, berfungsi sebagai reservoir faktor pertumbuhan dan sitokin serta menyediakan lingkungan untuk hematopoesis dalam sumsum tulang. Setiap tulang selalu mengalami remodeling selama hidup untuk membantu beradaptasi dengan perubahan kekuatan biomekanik, serta perombakan tulang yang tua dan mengalami kerusakan mikro dan menggantinya dengan yang baru (Stranding, 2004).
Tulang memiliki beberapa fungsi penting sebagai tempat penyimpanan kalsium dan fosfor. Fungsi tersebut sangat penting untuk regulasi kalsium dan fosfor dalam darah yang dipengaruhi oleh asupan mineral dalam usus dan sekresi
mineral dalam urin. Mekanisme homeostasis tulang diatur oleh hormon paratiroid (PTH), Calcitonin (CT) dan vitamin D (Lerner, 2006).
Gambar 2.4
Skema Remodeling Tulang (Subagyo, 2013)
Remodeling tulang adalah proses dimana tulang diperbarui untuk menjaga kekuatan tulang dan homeostasis mineral. Perombakan melibatkan penghapusan terus menerus tulang yang sudah tua, penggantian ini memiliki sintesis matriks protein yang baru, dan mineralisasi matriks selanjutnya untuk membentuk tulang baru. Proses remodeling tulang meresorbsi tulang yang lama dan membentuk tulang baru untuk mencegah akumulasi tulang dengan kerusakan mikro. Perombakan dimulai sebelum kelahiran dan berlanjut sampai kematian. Unit remodeling tulang terdiri dari osteoklas dan osteoblas yang secara berurutan melaksanakan resorpsi tulang tua dan pembentukan tulang baru. Siklus remodeling terdiri dari empat fase berurutan yaitu aktivasi, resorpsi, pembalikan
dan pembentukan (Gambar 2.4). Tempat perombakan dapat berkembang secara acak tetapi juga ditargetkan ke daerah-daerah yang memerlukan perbaikan tulang (Clarke, 2008).
Jaringan tulang tidaklah statik, tulang yang sehat memerlukan proses remodeling dan modeling secara kontinyu untuk mempertahankan fungsi penunjang dan sebagai regulator homeostasis mineral (Lerner, 2006).
2.3.3 Osteoblas
Osteoblas adalah sel pembentuk tulang dari tulang yang berkembang dan dewasa. Selama deposisi aktif dari matriks baru, mereka tersusun sebagai lapis epiteloid sel-sel kuboid atau kolumnar pada permukaan tulang. Inti osteoblas biasanya terletak pada ujung sel paling jauh dari permukaan tulang. Sitoplasmanya sangat basofilik dan sebuah kompleks Golgi tampak mencolok sebagai daerah lebih pucat antara inti dan dasar sel (Gambar 2.5). Pada mikrograph elektrik, osteoblas memiliki struktur yang diharapkan dari sel yang aktif menghasilkan protein. Retikulum endoplasmanya yang luas ditaburi ribosom dan banyak ribosom bebas terdapat dalam sitoplasma. Meskipun osteoblas terpolarisasi terhadap tulang dibawahnya, pembebasan produknya agaknya tidak terbatas pada kutub basal karena ada sel diantaranya yang berangsur-angsur diselubungi oleh sekretnya sendiri dan ditransformasi menjadi osteosit, terkurung dalam matriks tulang yang baru dibentuk. Selain mensekresi berbagai unsur matriks seperti kolagen tipe I, proteoglikan, osteokalsin, osteonektin, dan osteopoetin, osteoblas juga menghasilkan faktor penumbuh yang memiliki efek autokrin dan parakrin penting pada pertumbuhan tulang. Mereka juga memiliki
reseptor permukaan terhadap berbagai hormon, vitamin, dan sitokin yang mempengaruhi aktivitasnya (Kuehnel, 2003; Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014).
Gambar 2.5
Gambaran Histologis Osteoblas, Osteoklas dan Osteosit (Slomianka, 2004)
2.3.4 Osteoklas
Seumur hidup tulang tetap mengalami remodeling intern dan pembaruan yang mencakup menghilangkan matriks tulang pada banyak tempat, diikuti penggantiannya berupa deposisi tulang baru. Dalam proses ini, agen resorpsi tulang adalah osteoklas, sel-sel besar sampai berdiameter 150 μm dan mengandung sampai 50 inti sel. Sel-sel ini menempati lekukan yang disebut lakuna Howship, terjadi akibat kerja erosif osteoklas pada tulang dibawahnya (Gambar 2.5) (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014).
Osteoklas adalah sel multinukleus yang berperan dalam proses resorpsi tulang (Shen et al., 2010). Osteoklas merupakan satu-satunya sel yang dikenal
mampu meresorbsi tulang. Osteoklas yang teraktivasi berasal dari sel-sel prekursor mononuklear dari monosit–makrofag. Sel prekursor monosit-makrofag mononuklear telah diidentifikasi dalam berbagai jaringan, tetapi sel prekursor monosit-makrofag mononuklear pada sumsum tulang diperkirakan memiliki osteoklas paling banyak (Clarke, 2008).
Osteoklas menunjukkan polaritas nyata, dengan intinya mengumpul dekat permukaan bebasnya yang licin, sedangkan permukaan dekat tulang menunjukkan garis-garis radial yang dulu ditafsirkan sebagai brush border. Tetapi mikrograf elektron menunjukkan bahwa mereka tidak begitu teratur dan terdiri atas lipatan-lipatan dalam dari membran yang membatasi sejumlah besar cabang mirip daun, dipisahkan oleh celah-celah sempit. Berbeda dengan brush border, yang merupakan kekhususan permukaan stabil, pada osteoklas sangat aktif dan terus mengubah konfigurasinya. Studi sinematografik merekam penjuluran dan penarikan kembali cabang-cabang bordernya dan perubahan bentuknya. Istilah deskriptif ruffled border kini banyak dipakai untuk membedakan kekhususan pada dasar osteoklas ini dari brush border pada permukaan lumen epitel absorptif (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014).
Receptor activator of NF-kB ligand (RANKL) dan Macrofag Colony Stimulating Factor (M-CSF) merupakan dua sitokin yang berperan dalam pembentukan osteoklas. Kedua sitokin tersebut diproduksi oleh sel stromal pada sumsum tulang dan dalam membran osteoblas, serta osteoklastogenesis memerlukan keberadaan sel stromal dan osteoblas pada sumsum tulang. RANKL merupakan bagian dari keluarga TNF dan merupakan faktor penting dalam
pembentukan osteoklas. M-CSF diperlukan untuk proliferasi, pertahanan dan diferensiasi dari prekursor osteoklas, untuk pertahanan osteoklas dan keperluan penataan sitoskeletal pada saat resorbsi tulang. Osteoprotegrin (OPG) merupakan protein yang mampu mengikat RANKL dengan afinitas yang tinggi untuk menghambat aksi dari reseptor RANK (Clarke, 2008).
2.3.5 Densitas tulang
Densitas tulang dipengaruhi oleh koordinasi aktivitas osteoblas dan osteoklas. Proses remodeling tulang ini tidak hanya untuk mempertahankan massa tulang, tetapi berfungsi juga untuk memperbaiki kerusakan mikro pada tulang, untuk mencegah terlalu banyak tulang yang tua dan untuk fungsi homeostasis mineral. Aktivitas osteoblas dan osteoklas dikontrol oleh berbagai macam hormon dan sitokin. Yang terpenting adalah hormon seks untuk menjaga massa tulang tetap seimbang dan jika kekurangan salah satu hormon seks baik estrogen maupun testosteron dapat menurunkan massa tulang dan meningkatkan resiko osteoporosis (Lerner, 2006).
Sifat mekanikal tulang sangat tergantung pada sifat material tulang tersebut. Pada tulang kortikal kekuatan tulangnya sangat tergantung pada kepadatan dan porositasnya. Semakin bertambahnya umur, tulang semakin keras karena mineralisasi sekunder semakin baik, tetapi juga tulang semakin getas, tidak mudah menerima beban (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014).
Pada tulang trabekular, kekuatan tulang juga tergantung pada kepadatan tulang dan porositasnya. Penurunan densitas tulang trabekular sekitar 25%, sesuai dengan peningkatan umur 15-20 tahun dan penurunan kekuatan tulang sekitar
44%. Sifat mekanikal tulang trabekular ditentukan oleh mikroarsitekturnya, yaitu susunan trabekulasi pada tulang tersebut, termasuk jumlah, ketebalan, jarak dan interkoherensi antara satu trabekulasi dengan trabekula lainnya. Dengan bertambahnya umur, jumlah dan ketebalan trabekula akan menurun, jarak antar trabekula dengan trabekula lainnya bertambah jauh dan interkoneksi juga makin buruk karena banyaknya trabekula yang putus (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014).
2.4 Osteoporosis
Menurut National Osteoporosis Foundation (2014), osteoporosis adalah penyakit tulang dengan karakteristik massa tulang yang rendah, terjadi kerusakan mikro-arsitektur jaringan tulang yang mempengaruhi kekuatan tulang dan meningkatkan risiko keropos tulang.
Osteoporosis adalah suatu keadaan yang menyebabkan tulang kehilangan massa tulang, mengubah mikroarsitektur jaringan tulang sampai melewati ambang batas sehingga tulang menjadi rapuh dan akibatnya tulang akan mudah patah. Osteoporosis ditandai dengan adanya massa tulang yang rendah yang memicu kerapuhan tulang dan meningkatkan kejadian fraktur tulang (Shen et al., 2010).
Definisi osteoporosis yang sering digunakan adalah definisi dari WHO dimana osteoporosis adalah suatu penyakit yang memiliki sifat berkurangnya massa tulang dan kelainan mikroarsitektur jaringan tulang, dengan akibat meningkatnya kerapuhan tulang dan risiko terjadinya fraktur tulang. Karakteristik osteoporosis ditandai dengan adanya penurunan kekuatan tulang. Kekuatan tulang
ini adalah hasil integrasi antara mineralisasi, arsitektur tulang, bone turn over dan akumulasi kerusakan tulang. Osteoporosis identik dengan kehilangan massa tulang, yaitu kelainan tulang yang merujuk pada kelainan kekuatan tulang. Apabila kekuatan tulang ini menurun maka merupakan faktor predisposisi terjadinya fraktur (National Osteoporosis Foundation, 2014).
Massa tulang pada manusia dipengaruhi oleh faktor genetik dengan kontribusi dari nutrisi, keadaan endokrin, aktivitas fisik dan kondisi kesehatan saat masa pertumbuhan. Proses pembentukan tulang yang memelihara kesehatan tulang dapat dikategorikan sebagai program pencegahan, secara kontinyu mengganti tulang yang lama dan menggantikannya dengan tulang yang baru. Kehilangan massa tulang terjadi saat keseimbangan proses pembentukan tulang terganggu sehingga resorpsi tulang lebih banyak dari pembentukan tulang baru. Ketidakseimbangan ini biasanya terjadi pada orang lanjut usia dan pada wanita yang mengalami menopause. Kehilangan massa tulang dapat mengubah mikro-arsitek jaringan tulang dan meningkatkan resiko fraktur tulang (National Osteoporosis Foundation, 2014).
2.4.1 Penyebab osteoporosis
Usia, jenis kelamin dan ras merupakan faktor penentu utama dari massa tulang dan resiko patah tulang. Osteoporosis dapat terjadi pada semua usia, namun hal ini lebih banyak terjadi pada orang lanjut usia. Selama masa anak-anak dan dewasa muda, pembentukan tulang jauh lebih cepat dibandingkan dengan kerusakan tulang. Titik puncak massa tulang (peak bone mass) tercapai pada sekitar usia 30 tahun, dan setelah itu mekanisme resorpsi tulang menjadi jauh
lebih cepat dibandingkan dengan pembentukan tulang. Penurunan massa tulang yang cepat akan menyebabkan kerusakan pada mikroarsitektur tulang khususnya pada tulang trabekular (National Osteoporosis Foundation, 2014).
Secara garis besar patofisiologi osteoporosis berawal dari adanya massa puncak tulang yang rendah disertai adanya penurunan massa tulang. Massa puncak tulang yang rendah ini diduga berkaitan dengan faktor genetik, sedangkan faktor yang menyebabkan penurunan massa tulang adalah proses menua, menopause, faktor lain yaitu obat obatan, aktivitas fisik yang kurang serta gaya hidup tidak sehat. Akibat massa puncak tulang yang rendah disertai adanya penurunan massa tulang menyebabkan densitas tulang menurun yang merupakan faktor resiko terjadinya fraktur (National Osteoporosis Foundation, 2014).
Osteoporosis dipercaya berkaitan erat dengan defisiensi estrogen postmenopause dan dihubungkan dengan peningkatan aktifitas osteoclast tanpa kompensasi peningkatan osteoblast secara adekuat. Metabolism sel tulang adalah kompleks yang rumit yang melibatkan banyak perantara yang menjaga keseimbangan antara resopsi tulang oleh osteoclast dan pembentulang tulang oleh osteoblast untuk membentuk massa tulang. Terapi hormon estrogen ditujukan untuk menjaga keseimbangan antara aktifitas osteoclast dan osteoblast agar mencegah pengeroposan tulang (Ann, 2009).
Meskipun dipercaya bahwa cara kerja utama dari Estrogen dalam mencegah pengeroposan tulang adalah melalui penghambatan dari reasbsopsi tulang oleh osteoclast, mekanisme pastinya masih belum jelas, terkait dengan sulitnya teknik umtuk memperoleh fungsi osteoclast secara murni (Heaney, 1978; Selby, 1985).
Osteoclast adalah sel berinti banyak yang berfungsi untuk melarutkan matrix tulang dan mineral dalam fase remodeling penyerapan tulang (Vaes, 1988). Pengerahan, diferensiasi dan aktifitas osteoclast berkaitan erat dengan factor local maupun sistemik. Sebagai contoh, vitamin D3, prostaglandin, TGF-β, IL-1, IL-6 dan TNF-α menstimulasi diferensiasi dan aktifitas osteoclast baik secara langsung maupum tidak langsung, dan kalsitonin akan menghambat aktifitas osteoclast secara langsung (Dewhirst, 1985; Pfeilschifter, 1989; Bertolini, 1986; Lowick, 1989; Chambers, 1984). Kalsitonin menginaktifkan osteoclast tanpa menginduksi kematian sel, sementara Biophosponates dan Vitamin K diperkirakan menginduksi apoptosis osteoclast (Zaidi, 1990; Kameda, 1996; Hughes, 1995). Apoptosis atau kematian sel terprogram mempunyai karakteristik dengan fragmentasi DNA dan perubahan morfologi dari inti tanpa perubahan organel intraselular (Wyllie, 1980).
2.4.2 Jenis-jenis osteoporosis
Osteoporosis dibagi dalam 2 bentuk, yaitu primer dan sekunder. Osteoporosis primer apabila penyebabnya berhubungan dengan usia (senile osteoporosis) atau penyebabnya tidak diketahui sama sekali (idiophatic osteoporosis). Osteoporosis sekunder dikaitkan dengan kebiasaan gaya hidup, obat-obatan atau penyakit tertentu (Permana, 2009).
Osteoporosis postmenopausal, terjadi karena kekurangan hormonestrogen, yang membantu mengatur transportasi kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Namun tidak semua wanita
memiliki resiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam. Osteoporosis senilis, kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan resorpsi tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis dan postmenopausal (Mulyaningsih, 2008).
Osteoporosis sekunder, dialami kurang dari 5% penderita osteoporosis, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang dan hormon tiroid yang berlebihan). Konsumsi alkohol yang berlebihan dan merokok bisa memperburuk keadaan ini (Mulyaningsih, 2008).
2.4.3 Faktor yang Mempengaruhi Osteoporosis 1) Usia
Semua bagian tubuh berubah seiring dengan bertambahnya usia, begitu juga dengan rangka tubuh. Mulai dari lahir sampai kira-kira usia 30 tahun, jaringan tulang yang dibuat lebih banyak daripada yang hilang. Tetapi setelah usia 30 tahun situasi berbalik, yaitu jaringan tulang yang hilang lebih banyak daripada yang dibuat (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013)
Tulang mempunyai 3 permukaan, atau bisa disebut juga dengan envelope, dan setiap permukaan memiliki bentuk anatomi yang berbeda. Permukaan tulang yang menghadap lubang sumsum tulang disebut dengan endosteal envelope, permukaan luarnya disebut periosteal envelope, dan diantara keduanya terdapat intracortical envelope. Ketika masa kanak-kanak, tulang baru terbentuk pada periosteal envelope. Anak- anak tumbuh karena jumlah yang terbentuk dalam periosteum melebihi apa yang dipisahkan pada permukaan endosteal dari tulang kortikal. Pada anak remaja, pertumbuhan menjadi semakin cepat karena meningkatnya produksi hormon seks. Seiring dengan meningkatnya usia, pertumbuhan tulang akan semakin berkurang (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013).
Proporsi osteoporosis lebih rendah pada kelompok lansia dini (usia 55-65 tahun) daripada lansia lanjut (usia 65-85 tahun). Peningkatan usia memiliki hubungan dengan kejadian osteoporosis. Jadi terdapat hubungan antara osteoporosis dengan peningkatan usia. Begitu juga dengan fraktur osteoporotik akan meningkat dengan bertambahnya usia. Insiden fraktur pergelangan tangan meningkat secara bermakna setelah umur 50, fraktur vertebra meningkat setelah umur 60, dan fraktur panggul sekitar umur 70 (Fatmah, 2008).
2) Jenis Kelamin
Jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya osteoporosis. Wanita secara signifikan memilki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis. Pada osteoporosis primer, perbandingan antara wanita dan pria adalah 5 : 1. Pria memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk terjadinya
osteoporosis sekunder, yaitu sekitar 40-60%, karena akibat dari hipogonadisme, konsumsi alkohol, atau pemakaian kortikosteroid yang berlebihan (Migliaccio et al., 2009). Secara keseluruhan perbandingan wanita dan pria adalah 4 : 1 (Jakobsen et al., 2013)
3) Ras
Pada umumnya ras Afrika-Amerika memiliki massa tulang tertinggi, sedangkan ras kulit putih terutama Eropa Utara, memiliki massa tulang terendah. Massa tulang pada ras campuran Asia-Amerika berada di antara keduanya. Penelitian menunjukkan bahwa, bahkan pada usia muda terdapat perbedaan antara anak Afrika-Amerika dan anak kulit putih. Wanita Afrika-Amerika umumnya memiliki massa otot yang lebih tinggi. Massa tulang dan massa otot memiliki kaitan yang sangat erat, dimana semakin berat otot, tekanan pada tulang semakin tinggi sehingga tulang semakin besar. Penurunan massa tulang pada wanita Afrika-Amerika yang semua cenderung lebih lambat daripada wanita berkulit putih. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan hormon di antara kedua ras tersebut (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013).
Beberapa penelitian lain juga menunjukkan bahwa wanita yang berasal dari negara-negara Eropa Utara, Jepang, dan Cina lebih mudah terkena osteoporosis daripada yang berasal dari Afrika, Spanyol, atau Mediterania (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013).
4) Riwayat Keluarga
Faktor genetika juga memiliki kontribusi terhadap massa tulang. Penelitian terhadap pasangan kembar menunjukkan bahwa puncak massa tulang di bagian
pinggul dan tulang punggung sangat bergantung pada genetika. Anak perempuan dari wanita yang mengalami patah tulang osteoporosis rata-rata memiliki massa tulang yang lebih rendah daripada anak seusia mereka (kira-kira 3-7 % lebih rendah). Riwayat adanya osteoporosis dalam keluarga sangat bermanfaat dalam menentukan risiko seseorang mengalami patah tulang (Burke-Doe et al., 2008; Migliaccio et al., 2009; Jakobsen et al., 2013)
5) Aktivitas Fisik
Latihan beban akan memberikan penekanan pada rangka tulang dan menyebabkan tulang berkontraksi sehingga merangsang pembentukan tulang. Kurang aktivitas karena istirahat di tempat tidur yang berkepanjangan dapat mengurangi massa tulang. Hidup dengan aktivitas fisik yang cukup dapat menghasilkan massa tulang yang lebih besar. Itulah sebabnya seorang atlet memiliki massa tulang yang lebih besar dibandingkan yang non-atlet. Proporsi osteoporosis seseorang yang memiliki tingkat aktivitas fisik dan beban pekerjaan harian tinggi saat berusia 25 sampai 55 tahun cenderung sedikit lebih rendah daripada yang memiliki aktivitas fisik tingkat sedang dan rendah (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013).
6) Penggunan kortikosteroid
Kortikosteroid banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit, terutama penyakit autoimun, namun kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik. Kortikosteroid dapat menginduksi terjadinya osteoporosis bila dikonsumsi lebih dari 7,5 mg per hari selama lebih dari 3 bulan (Jehle, 2003).
Kortikosteroid akan menyebabkan gangguan absorbsi kalsium di usus, dan peningkatan ekskresi kalsium pada ginjal, sehingga akan terjadi hipokalsemia (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013).
Selain berdampak pada absorbsi kalsium dan ekskresi kalsium, kortikosteroid juga akan menyebabkan penekanan terhadap hormon gonadotropin, sehingga produksi estrogen akan menurun dan akhirnya akan terjadi peningkatan kerja osteoklas. Kortikosteroid juga akan menghambat kerja osteoblas, sehingga penurunan formasi tulang akan terjadi. Dengan terjadinya peningkatan kerja osteoklas dan penurunan kerja dari osteoblas, maka akan terjadi osteoporosis yang progresif (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013).
7) Merokok
Tembakau dapat meracuni tulang dan juga menurunkan kadar estrogen, sehingga kadar estrogen pada orang yang merokok akan cenderung lebih rendah daripada yang tidak merokok. Wanita pasca menopause yang merokok dan mendapatkan tambahan estrogen masih akan kehilangan massa tulang. Berat badan perokok juga lebih ringan dan dapat mengalami menopause dini ( kira-kira 5 tahun lebih awal ), daripada non-perokok. Dapat diartikan bahwa wanita yang merokok memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis dibandingkan wanita yang tidak merokok (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013).
8) Riwayat Fraktur
Beberapa penelitian sebelumnya telah menyebutkan bahwa, riwayat fraktur merupakan salah satu faktor risiko osteoporosis (Tebé et al., 2011).
2.5 Susu Anlene®
Susu formula adalah sumber protein hewani berbentuk cair, dari susu sapi yang diproses, yang diharapkan dapat dengan mudah dicerna oleh usus.(Kurniasihet al., 2010; Judarwanto, 2011).
Sebagian besar susu yang dihasilkan dari peternakan sapi di Amerika dan Kanada, berasal dari sapi yang diberikan Growth Hormone (GH) berupa recombinant bovine growth hormone (RBGH). RBGH diberikan pada sapi ternak dengan tujuan meningkatkan produki susu, guna memenuhi permintaan konsumen dan meningkatkan kesejahteraan peternak sapi perah. Penggunaan Growth Hormone juga meningkatkan kemungkinan sapi perah terkena infeksi. Sebagaimana yang tercatat pada American Cancer Society, banyak sapi perah mengalami mastitis, infeksi pada kelenjar susu. Untuk mengatasi mastitis, peternak memberikan sejumlah antibiotik pada sapi perah peliharaannya. Akibatnya peminum susu akan mengkonsumsi antibiotik sehingga tubuh secara natural akan membentuk resistensi terhadap antibiotik (Ipatenco, 2014; Barnard,2014).
Susu yang didapat dari sapi perah yang diberi RBGH, memiliki kadar insulin like growth factor-1 (IGF-1) yang tinggi, yang dapat membantu pertumbuhan sel, tetapi juga menyebabkan meningkatnya pembentukan sel kanker, terutama beberapa tipe kanker tertentu seperti kanker payudara, kanker prostat dan kanker usus besar. Hal ini disebabkan karena kadar IGF-1 yang tinggi, menghambat kemampuan tubuh manusia untuk menghancurkan kanker
yang masih dalam tahap mikroskopik, sebelum sel kanker tersebut menyebar (Ipatenco,2014; Barnard, 2014).
2.5.1. Kandungan Susu Anlene®
Anlene® merupakan produk susu yang dirancang berdasarkan berbagai penelitian dan ilmu pengetahuan yang berguna untuk mencegah pengeroposan tulang, memelihara volume tulang, serta meningkatkan kadar manfaat vitamin D yang penting dalam proses penyerapan kalsium dalam tubuh. Adapun komposisi dari produk susu Anlene® diantaranya adalah Susu bubuk skim, Kalsium, Fruktosa, Magnesium oksida, Besi Piranofosfat, Perisa krim buds asia dan perisa vanilla esensial, Vitamin E, Vitamin A, Seng oksida, Vitamin D3, Vitamin K, Asam Folat.
Berikut adalah daftar kandungan nutrisi yang terdapat dalam susu Anlene® dalam kemasan 250 gram :
Energi : 370 Kj Kalsium : 8.8 µg Lemak : 88 kkal Zat Besi : 35 mg Energi dari lemak : 0.2 gr Fosfor : 500 mg Karbohidrat : 8.3 gr Magnesium : 2.3 mg Natrium : 13.2 gr Seng : 210 mg Kalium : 100 mg Iodium : 55 mg Vitamin A : 320 mg Klorido : 1.9 mg Vitamin C : 250 µg Selenium : 22 µg Vitamin D3 : 100 IU Vitamin E : 2.8 mg Vitamin K : 2.5 µg Thiamin : 4.0 mg Niacin : 40 µg Vitamin B1 : 70 µg Vitamin B2 : 0.2 mg Asam Folat : 78 µg Vitamin B12 : 0.6 mg Biotin : 20 µg Kolin : 1.2 µg
Untuk penyajian sediaan Anlene® cukup menambahkan dua sendok makan (setara dengan 25 gram) susu bubuk ke dalam 200 ml air (baik dingin maupun hangat) dan susu Anlene® pun siap diminum.
Anlene® diproduksi oleh PT. Fonterra Brands Indonesia sudah teruji kualitas dan keamanannya, karena sudah diproses sesuai standard pembuatan yang baik (Good Manufacturing Process/GMP) dan sudah tersertifikasi HACCP.Care Line : 0800- 111- 0- 888. Email address : [email protected]
2.6 Hormon Steroid
Hormon diproduksi oleh beberapa kelenjar yang terdapat di dalam tubuh, yaitu hipofise anterior, hipofise posterior, tiroid, paratiroid, medulla adrenalis, cortex adrenalis, pankreas, ovarium, testis, pineal bodydan thymus.Hormon hipofise anterior menghasilkan hormon estrogen dan progesteron, Thyroid Stimulating Hormone, Adreno corticotropic Hormone, Prolactin, Luteinizing Hormonedan Follicle Stimulating Hormone(Pangkahila, 2011; Sridianti, 2014a; Sridianti, 2014b).
2.6.1 Hormon Estrogen
Hormon estrogen memiliki peran yang besar dalam tubuh manusia. Estrogen merupakan hormon steroid yang diproduksi oleh indung telur pada wanita, dan sedikit dihasilkan oleh testis pada pria, selain juga diproduksi oleh sel lemak. Pria umumnya hanya memiliki sedikit estrogen di dalam darah, yang dapat meningkat jumlahnya akibat ketidakseimbangan hormon atau kondisi tertentu seperti kegemukan. Kadar estrogen yang tinggi pada pria dapat mempengaruhi kesehatan reproduksi (Tremblay, 2013). Pada pria, kadar estrogen
yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya gynecomastia (pembesaran kelenjar payudara), umumnya terjadi pada pria dengan berat badan berlebih. Meningkatnya kadar estrogen pada pria juga memicu terjadinya kanker prostat, infertilitas dan disfungsi ereksi (Tremblay, 2013; Holland, 2015).
Selain organ seksual dan reproduksi, estrogen juga memiliki peran terhadap otak, hati, kulit, tulang dan pembuluh darah. Tiga jenis estrogen utama dalam tubuh adalah estron, estradiol dan estriol (Pangkahila, 2011; Sridianti, 2014a). Kadar normal estrogen 2-3 hari menjelang siklus menstruasi sekitar 25-75pg/ml, kadar estrogen yang lebih tinggi pada masa ini, menunjukkan kemungkinan perimenopause. Kadar estradiol menurun saat menopause hingga kurang dari 32pg/ ml, terkadang mencapai 10pg/ ml. Selama siklus menstruasi, estradiol meningkat hingga 200-300 pg/ ml untuk setiap folikel yang matang (Robin, 2011). Estrogen berpengaruh pada masa pubertas, memiliki peran penting dalam pembentukan karakteristik seks sekunder seperti payudara, dan pertumbuhan rambut pubis. Estrogen juga meregulasi siklus menstruasi, mengkontrol pembentukan dinding rahim pada awal siklus menstruasi. Bila ovum tidak dibuahi, kadar estrogen akan menurun tajam dan menstruasi dimulai. Bila terjadi pembuahan, estrogen bersama-sama dengan progesteron dan hormon lainnya, menghentikan proses ovulasi selama masa kehamilan. Estrogen mengontrol laktasi dan perubahan lainnya pada payudara, terutama pada masa pubertas dan masa kehamilan (Rettner, 2014). Kadar estrogen yang tinggi, ditemukan pada wanita yang sangat gemuk, memiliki tekanan darah tinggi atau menderita
penyakit kencing manis (Ratini, 2014). Kadar estrogen juga meningkat selama kehamilan serta pada penderita tumor indung telur, tumor testis atau tumor kelenjar adrenal (Tremblay, 2013; Ratini, 2014).
Estron merangsang jaringan rahim dan payudara. Sebelum menopause estron diproduksi di ovarium, kelenjar adrenalis, hepar dan sel lemak. Di dalam ovarium, estron dikonversi menjadi estradiol. Setelah menopause, hanya sedikit estron dikonversi menjadi estradiol karena menurunnya fungsi ovarium (Pangkahila, 2011). Estradiol adalah jenis estrogen yang paling kuat, merupakan estrogen utama yang diproduksi di ovarium, sebelum menopause. Kadar estradiol yang tinggi dikaitkan dengan resiko terjadinya kanker rahim dan payudara. Estradiol membantu penyerapan kalsium, magnesium dan zinc, meningkatkan kadar kolesterol HDL, menurunkan kolesterol total, menurunkan trigliserida, meningkatkan Growth Hormone, serotonin dan endorphine (Pangkahila,2011)
Estriol memiliki pengaruh rangsangan yang paling lemah terhadap rahim dan payudara, serta tidak merangsang terjadinya kanker payudara. Estriol berperan mengendalikan gejala menopause, meningkatkan kadar kolestrol HDL dan menurunkan kadar kolestrol LDL, mempertahankan pH vagina guna mencegah infeksi saluran kemih, membantu usus mempertahankan lingkungan bagi berkembangnya laktobasilus dan mengurangi bakteri patogen (Pangkahila, 2011; Sridianti, 2014a).
Gambar 2.6
Struktur Estradiol, Estrone dan Estriol (Rice, 2014)
Kadar estrogen yang tinggi di dalam darah, menimbulkan gejala: perut kembung, payudara terasa bengkak dan lunak, berkurangnya libido, haid tidak teratur, sakit kepala, emosi labil, berkembangnya jaringan fibrokistik pada payudara, meningkatnya berat badan, tangan dan kaki terasa dingin, mudah lelah, sulit konsentrasi dan imsomnia. Pada pria gejala tingginya hormon estrogen meliputi: rendahnya kadar sperma dalam cairan semen, pembesaran payudara, kesulitan mempertahankan ereksi dan meningkatnya faktor risiko terkena kanker payudara (Holland, 2015).
2.6.2 Hormon Progesteron
Hormon progesteron adalah hormon gestasi yang mempersiapkan lapisan endometrium pada rahim bagi ovum yang telah dibuahi dan mempertahankan kehamilan. Progesteron berasal dari corpus luteum yang dibentuk di dalam ovarium dari folikel yang lepas. Progesteron juga diproduksi di dalam placenta
dan diproduksi oleh cortex adrenalis. Progesteron merupakan precursor hormone yang dapat dikonversi oleh tubuh menjadi hormon steroid lain. Progesteron berfungsi menormalkan kadar gula darah, mengatur siklus menstruasi, menjaga kehamilan, mengurangi retensi air, meningkatkan fungsi tiroid, antidepresan alami, meningkatkan libido, mengurangi kontraksi rahim serta meningkatkan pematangan sel secara alami (Pangkahila, 2011; Sridianti, 2014b).
Gambar 2.7
Struktur Progesteron (Nicoll, 2010)
Kadar progesteron sebelum ovulasi 1,5ng/ ml. Pada masa ovulasi, kadar progesteron meningkat hingga 20ng/ ml dan pada masa kehamilan 300ng/ ml (Lind, 2011; Robin, 2011) . Diluar masa ovulasi, tingginya kadar progesteron dalam darah menyebabkan kerja otak melambat, tubuh menjadi lemah, kista indung telur terbentuk, pelumas vagina berkurang, depresi, dan menurunnya libido. Pada pria, meningkatnya hormon progesteron menyebabkan meningkatnya produksi estrogen, gangguan jantung, depresi, lemah, pembesaran kelenjar prostat, sulit berkemih dan disfungsi ereksi (Lind, 2011; Nall, 2013; Ray, 2013).
2.6.3 Hormon Implan pada Ternak
Diethylstilbestrol (DES) merupakan hormon estrogen sintetik generasi pertama. Digunakan secara luas pada tahun 1940 hingga tahun 1971 untuk mencegah keguguran. Penggunaan diethylstilbestrol dikemudian hari ditemukan bahwa pengguna pada 5 bulan pertama kehamilan menyebabkan gangguan sistem reproduksi pada janin. Pada anak perempuan yang ibunya diberikan diethylstilbestrol selama masa kehamilan, ditemukan meningkatnya risiko kanker terutama adeno karsinoma vagina dan leher rahim. Selain itu ditemukan juga kelainan anatomi pada vagina, leher rahim dan rahim serta meningkatnya risiko kehamilan ektopik, mandul, keguguran dan kelahiran prematur. Pada anak pria yang ibunya diberikan diethylstilbestrol selama kehamilan, ditemukan abnormalitas testikel (testis kecil, testis gagal turun ke kantung buah zakar), serta meningkatnya resiko kanker testis (Roberts, 2012).
DES (diethylstilbestrol) merupakan hormon implan yang pertama kali digunakan pada sapi ternak pada tahun 1954 atas persetujuan FDA. Hampir semua peternakan yang mensuplai kebutuhan produksi susu dan daging di Amerika Serikat, menggunakan diethylstilbestrol untuk mendapatkan hasil produksi yang lebih banyak (Swanetal.,2007). Saat ini ada 6 jenis anabolik steroid yang diberikan pada sapi ternak yang terdaftar di Amerika dan Kanada: -3 natural steroid : estradiol, testosteron dan progesteron-3 sintetik hormon : estrogen dalam bentuk zeranol, androgen trenboloneacetate dan progestin melengestrol acetate
Anabolik steroid umumnya digunakan dalam bentuk kombinasi. Kadar hormon estrogen dan progesteron di luar ambang batas umumnya ditemukan pada daging, lemak, hati, ginjal dan organ lainnya dari sapi yangsudah dipotong (Swanet al.,2007). Badan Pengawasan Makanan dan Obat Amerika (FDA) telah menetapkan dosis asupan harian yang dapat diterima (ADI/ acceptable daily intakes) untuk penggunaan produk ini.
Pemberian diethylstilbestrol pada ternak sapi menjadi dasar penelitian konsekuensi konsumsi daging sapi pada wanita hamil. Rata-rata wanita hamil mengkonsumsi 4, 3 porsi daging sapi perminggu. Peneliti membagi group menjadi tinggi konsumsi daging sapi (konsumsi lebih dari 7 porsi perminggu ) dan rendah konsumsi daging sapi (konsumsi kurang dari 7 porsi perminggu ). Peneliti memeriksa kualitas dan kuantitas sperma pada 773 anak pria dari wanita hamil yang diteliti. Konsentrasi (volume) dan kualitas sperma ternyata 24,3% lebih tinggi pada pria yang lahir dari group ibu hamil yang rendah konsumsi daging sapi. Hampir 18% pria yang lahir dari ibu yang tinggi konsumsi daging sapi, memiliki konsentrasi sperma di bawah ambang batas WHO untuk subfertilitas. Hasil penelitian ini diduga terkait dengan anabolik steroid dan xenobiotic pada sapi ternak (Swanet al., 2007).
Kadar hormon yang tinggi dalam tubuh manusia, dapat menimbulkan berbagai penyakit. Belum diketahui apakah hormon yang didapat dari asupan makanan dan minumanyang diproduksi oleh hewan ternak, dapat dicernaoleh tubuh manusia dan meningkatkan kadar hormon dalam tubuh manusia, atau tidak terserap oleh metabolisme tubuh manusia, serta berapa banyak hormon yang
mungkin tertinggal di dalam tubuh manusia. Beberapa jenis hormon merupakan jenis hormon yang spesifik terdapat pada hewan, dan beberapa jenis hormon lainnya mirip dengan hormon yang terdapat dalam tubuh manusia. Semua produk makanan dan minuman yang dihasilkan dari ternak yang diberikan hormon selama masa pemeliharaan, dinyatakan aman oleh FDA (Swan et al., 2007; Barret, 2014)
Susu yang dihasilkan dari sapi ternak yang diberi hormon RBGH mengandung kadar hormon yang lebih tinggi, dibandingkan dengan susu yang dihasilkan dari sapi ternak yang tidak diberi hormon RBGH. Menurut FDA, RBGH tidak berbahaya bagi manusia, sehingga tidak ditemukan bukti adanya zat aktif biologi yang terserap oleh tubuh manusia. RBGH meningkatkan kadar IGF-1 dalam darah (Barrett, 2014). IGF-1 alami terdapat baik dalam tubuh hewan ternak, maupun pada manusia.
Berperan penting dalam produksi susu, pertumbuhan tulang dan pembelahan sel. Karena IGF-1 juga terdapat pada manusia, diasumsikan tubuh manusia dapat menyerap kelebihan IGF-1 dari susu. Tingginya kadar IGF-1 dalam darah dapat meningkatkan kadar estrogen dan meningkatkan faktor risiko kanker payudara serta kanker indung telur (Barrett, 2014).
Dari analisa pada suplemen susu Anlene® dilakukan di Laboratorium Analitik Universitas Udayana, ditemukan hormon estrogen sebesar 3,26 pg/g pada Anlene®. Selain estrogen, ditemukan hormon progesteron sebesar 0,76 pg/g pada Anlene® (lampiran 2).
2.7. Hewan Coba Tikus (Rattus norvegicus)
Hewan coba yang digunakan adalah tikus (Rattus norvegicus) yang dipelihara. Tikus merupakan hewan laboratorium yang sering digunakan dalam berbagai macam penelitian karena telah diketahui sifat-sifatnya, mudah dipelihara, cepat berkembang biak, mudah ditangani, memiliki gen homolog dengan manusia, karakter anatomi dan fisiologi telah diketahui secara baik (Hubrecht dan Kirkwood, 2010).
Klasifikasi tikus Wistar (Russel et al., 2008): Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Family : Muridae Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
Gambar 2.8
2.7.1. Penggunaan Tikus
Pada percobaan ini menggunakan tikus (Rattus norvegicus) karena tikus jenis ini mudah dipelihara dan cocok untuk berbagai mecam penelitian. Tikus jenis ini panjangnya dapat mencapai 40 cm, berat antara 140-500 gram, dan dapat hidup hingga usia 4 tahun.Ciri khas tikus galur Wistar yaitu kepala besar dan ekor pendek (Kusumawati, 2004).
Penggunaan tikus sebagai bahan percobaan lebih menguntungkan daripada mencit karena ukurannya yang lebih besar, serta tikus jantan lebih jarang berkelahi daripada mencit jantan. Sifat khas dari hewan percobaan tikus yaitu tidak mempunyai kantung empedu dan tidak mudah muntah. Secara umum, berat tikus laboratorium lebih ringan daripada tikus liar. Saat berumur 4 minggu rata-rata memiliki berat 35-40 gram, dan saat dewasa 200-250 gram (Russel et al., 2008).
Tabel 2.1
Data Biologi Tikus (Russel et al., 2008)
No. Kondisi Biologi Jumlah
1. Berat badan: -jantan 300-400 g
-betina 250-300 g
2. Lama hidup 2,5- 3 tahun
3. Temperatur tubuh 37,50 C
4. Kebutuhan: -air 8-11 ml/100g BB
-makanan 5g/100g BB
5. Pubertas 50-60 hari
6. Lama kehamilan 21-23 hari
7. Tekanan darah: -sistolik 84-184 mmHg
-diastolik 58-145 mmHg
8. Frekuensi: -jantung 330-480/menit
-respirasi 66-114/menit
9. Tidal Volume 0,6-1,25mm
2.7.2. Pemberian makanan dan minuman
Bahan dasar makanan untuk tikus dapat berupa misalnya protein 20-25%, lemak 5%, karbohidrat 45-50%, serat kasar 5%, abu 4-5%, vitamin A 4000 IU/kg, vitamin D 1000 IU/kg, alfa tokoferol 30 mg/kg, asam linoleat 3 g/kg, tiamin 4 mg/kg, riboflavin 3 mg/kg, pantotenat 8 mg/kg, vitamin B12 50 μg/kg, biotin 10 μg/kg, piridoksin 40μg/kg dan kolin 1000 mg/kg. Pemberian minum tikus ad libitum (Ngatidjan, 2006).
2.7.3. Pemantauan keselamatan tikus
Tikus sebagai hewan coba harus diperhatikan pada saat penggunaan, yaitu kandang tikus harus kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan, mudah dipasang lagi, tahan terhadap gigitan tikus, sehingga hewan tidak mudah lepas. Selain itu,
mudah dibersihkan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur menggunakan sekam yang mudah menyerap air. Suhu, kelembaban dan pertukaran udara di dalam kandang harus baik. Setiap hari kandang dibersihkan dan alas tidur diganti, tangan perawat harus selalu bersih ketika merawat tikus, memperhatikan bila muncul gejala sakit seperti berat badan turun, sukar bernapas atau pun mencret (Ngatidjan, 2006).