PENGERTIAN POKOK
HOKUM DAGANG
INDONESIA
2
BENTUK-BENTUK PERUSAHAAN
oleh H.M.N. PURWOSUTJIPTO, S.H. MantanPengajar Hukum Dagang pada: Fakultas Hukum Universitas Indonesia (lama),
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Fakultas Hukum Universitas Katolik Atmajaya, Perguruan Tinggi Hukum Militer dan Akademi Hukum Militer
di Jakarta
Copyright it Dpada Djambatan Anggota IKAPI Cetakan pertama 1980 Cetakan kedua 1982 Cetakan ketiga 1984 Cetakan keempat 1986 Cetakan kelima 1988 Cetakan keenam 1991 Cetakan ketujuh 1992 Cetakan kedelapan 1995 Cetakan kesembilan 1999 Cetakan kesepuluh 2005 Cetakan kesebelas 2007 Cetakan keduabelas 2008
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
H.M.N. Purwosutjipto
Pengertian pokok ha= dagang Indonesia 2: Bentuk-bentuk perusahaan/ H.M.N. Purwosutjipto — Cet. 11 — Jakarta: Djambatan, 2007.
xxiii, 343 hlm.: 21 cm. Bibliografi: Min. 239-241
ISBN 978-979-428-646-3 (no. jil. Lengkap) ISBN 978-979-428-648-7
1. Hula= Dagang I. Judul.
346.07
ISI
KATA PENGANTAR XVI
BAB I. PERUSAHAAN DAGANG
1. Pengertian 1
2. Perusahaan dagang 2
3. Prosedur mendirikan perusahaan dagang 3 4. Hubungan hukum antara pengusaha dengan
pembantu-pembantunya 5
5. Hubungan hukum antara pengusaha dengan pihak ketiga 6
BAB II. PERKUMPULAN 8
6. Pengertian dan pengaturan: 8
A. Perkumpulan Sebagai Bentuk Asal dari Sebagian Besar Bentuk-bentuk Perusahaan 8
B. Perkumpulan dalam Arti Luas 9
C. Perkumpulan dalam Arti Sempit 9 7. Jenis apakah perjanjian untuk mendirikan perkumpulan
itu 10
8. lstilah perjanjian dan persetujuan 13 9. Perkumpulan yang berbadan hukum dan yang tidak ber-
badan hukum 14
10. Unsur-unsur pokok dalam perkumpulan 15
BAB III. PERSEKUTUAN PERDATA 17
A. HAL-HAL UMUM 17
11. Pengantar 17
12. Sifat kepribadian pada perserikatan perdata 19 13. Unsur terang-terangan dan terus-menerus pada perseri-
katan perdata bersifat tidak mutlak 19 14. Mungkinkah perserikatan perdata itu menjalankan peru-
sahaan 20
16. Syarat-syarat untuk mendirikan persekutuan perdata 22
17. Pemasukan 22
18. Jenis persekutuan perdata 23
B. PERIKATAN ANTARPARA SEKUTU 24
19. Hubungan ke dalam 24
20. Kewajiban memberikan pemasukan 24
21. Asas kepentingan bersama 25
22. Pemeliharaan (pengurusan) 26
23. Perbedaaan kedudukan hukum antara sekutu statuter dan
sekutu mandater 27
24. Pengurus btikan sekutu 27
25. Kekuasaan berbuat sekutu statuter 28
26. Arti pengurusan dan penguasaan 28
27. Perbedaan antara perbuatan pengurusan dan perbuatan
penguasaan 28
28. Pembagian tugas antarpengurus 29
29. Peraturan pengurusan 29
30. Bagaimana membagi keuntungan dan kerugian 30
31. Mutasi sekutu persekutuan perdata 32
C. PERIKATAN ANTARA PARA SEKUTU DENGAN
PIHAK KETIGA 33
32. Hubungan keluar 33
33. Pertanggungjawaban sekutu persekutuan perdata 33
34. Luas perikatan yang dapat dipertanggungjawabkan ke-
pada debitur sekutu persekutuan perdata 34
35. Pemberian kuasa 36
36. Persekutuan perdata bukan badan hukum 36
37. Persekutuan perdata memiliki kekayaan sendiri 37
D. BERAKHIRNYA PERSEKUTUAN PERDATA 38
38. Bubarnya persekutuan perdata 38
39. Sebab-sebab bubarnya persekutuan perdata 39
40. Bubarnya persekutuan karena lampaunya waktu 39
41. Apakah Pasal 1266 KUHPER dapat dipakai untuk
mem-bubarkan persekutuan perdata 40
42. Bubarnya persekutuan perdata karena benda persekutuan
43. Bubamya persekutuan perdata karena perbuatan-per-buatan untuk mendapatkan kemanfaatan sudah selesai
dijalankan dengan hasil baik 41
44. Pembubaran persekutuan perdata karena kehendak se- orang atau beberapa orang sekutu 42 45. Bubamya persekutuan perdata karena salah se-orang seku-
tunya mati, ditaruh di bawah pengampuan atau jatuh pailit 43
46. Pemberesan 43
BAB IV. PERSEKUTUAN FIRMA 46
A. HAL-HAL UMUM 46
47. Pengertian tentang persekutuan firma 46
48. Nama bersama atau firma 47
49. Pemakaian nama sekutu komanditer dilarang 47 50. Persekutuan firma hams menjalankan perusahaan 47
51. Sifat kepribadian 48
52. Prosedur mendirikan persekutuan firma 48 53. Kedudukan akta pendirian persekutuan firma 49 54. Akibat ketiadaan akta pendirian persekutuan firma bagi
sekutu send in 50
55. Pasal 22 KUHD perlu diubah untuk KUHD baru Indo-
nesia 51
56. Keharusan mendaftarkan dan mengumumkan 52 57. Isi ikhtisar resmi akta pendirian persekutuan firma 52 58. Akibat tidak adanya pendaftaran dan pengumuman 53 59. Bila ada perbedaan tentang apa yang didaftarkan dengan
apa yang diumumkan 53
60. Perlindungan pada nama persekutuan 54
B. PERIKATAN ANTARSEKUTU 55
61. Hubungan ke dalam 55
62. Kekuasaan tertinggi dalam persekutuan firma 55 63. Siapa yang menjalankan pengurusan dan penguasaan 56 64. Apakah bertindak di muka Hakim termasuk dalam pe-
ngertian pengurusan? 56
65. Kewajiban membuat pembukuan 57
66. Dapatkah persekutuan menambah sekutu baru? 57
67. Penggantian kedudukan sekutu 58
persekutuan yang telah ada pada saat dia masuk 58 69. Pertanggungjawaban sekutu yang keluar terhadap
utang-utang persekutuan yang belum sempurna dilunasi pada
saat keluarnya 59
70. Dapatkah seorang sekutu menggugat persekutuan 59
C. PERIKATAN ANTARA SEKUTU DENGAN PIHAK
KETIGA 60
71. Kewenangan mewakili dan bertindak ke luar bagi tiap-tiap
sekutu 61
72. Pertanggungjawaban sekutu 62
73. Bagaimana kalau pihak ketiga memungkiri adanya per-
sekutuan firma 63
74. Persekutuan firma mempunyai kekayaan sendiri 64
75. Apakah persekutuan firma itu badan hukum? 65
76. Persekutuan firma dalam kodifikasi hukum dagang na-
sional yang akan datang 66
D. BERAKHIRNYA PERSEKUTUAN FIRMA 67
77. Bubarnya persekutuan firma 67
78. Pemberesan 68
79. Persekutuan, setelah bubar tetap ada, sekedar perlu untuk
pemberesan 68
80. Siapa yang hams menjalankan pemberesan 69
81. Tugas para pemberes 69
82. Pembagian saldo antara para sekutu 70
83. Kedudukan pemberes yang lebih dari seorang 70
84. Pertanggungjawaban pemberes 71
85. Pembagian keuntungan dan pembebanan ketugian se-
sudah pemberesan 71
86. Bagian sekutu yang hanya memasukkan tenaga dan pikir-
annya saja 72
87. Penyimpanan arsip persekutuan 73
BAB V. PERSEKUTUAN KOMANDITER 74
A. HAL-HAL UMUM 74
88. Pengertian persekutuan komanditer 74
89. Pengaturan persekutuan komanditer 75
91. Tiga macam persekutuan komanditer 76
92. Sifat kepribadian persekutuan komanditer dengan saham 79
93. Persamaan dan perbedaan antara persekutuan koman-
diter dengan saham perseroan terbatas 80
94. Tentang pendirian, pendaftaran dan pengumuman 80
B. PERIKATAN ANTARSEKUTU 81
95. Hubungan hukum antarsekutu 81
96. Pengurusan 82
97. Pemakaian nama sekutu komanditer bagi firma 82
98. Apakah dalam persekutuan komanditer ada kekayaan
terpisah 82
C. PERIKATAN ANTARA SEKUTU DENGAN PIHAK
KETIGA 83
99. Dapatkah pihak ketiga langsung menagih kepada sekutu
komanditer 83
100. Apakah sekutu komanditer yang terkena sanksi Pasal 21 KUHD, juga bertanggung jawab pada utang-utang yang
belum dilunasi? 84
101. Hubungan persekutuan komanditer dengan daftar peru-
sahaan 85
102. Tindakan di muka Hakim persekutuan komanditer 85
103. Siapa yang bertanggung jawab ke luar 85
104. Apakah persekutuan komanditer badan hukum? 86
D. BERAKHIRNYA PERSEKUTUAN KOMANDIIER 86
105. Bubarnya persekutuan komanditer 86
BAB VI. PERSEROAN TERBATAS 88
A. PENGANTAR 88
106. Pengertian 88
107. Istilah "Perseroan Terbatas" 90
108. Perseroan Terbatas adalah badan hukum 91
109. Kebangsaan (nasionalitas) Perseroan Terbatas 92
110. Tempat kediaman Perseroan Terbatas 93
111. Prospektus 94
112. Prosedur mendirikan Perseroan Terbatas 95
113. Hal-hal penting dalam pembentukan Perseroan Terbatas 96
114. Syarat-syarat pengesahan 97
115. Pendattaran dan pengumuman 98
116. Anggaran dasar Perseroan Terbatas 99
117. Pertanggungjawaban sebelum PT didaftarkan dan di-
umumkan 102
118. Syarat penyetoran 10% dari modal perseroan 102
C. MODAL DAN SAHAM 104
119. Kekayaan Perseroan Terbatas 104
120. Kapan sebuah perseroan untung dan kapan rugi 105
121. Bila sebuah perseroan rugi 50% atau 75% 105
122. Kas cadangan 107
123. Pengurangan modal yang ditempatkan dan pembelian
saham-saham sendiri oleh perseroan 108
124. Saham atas-nama dan kepada-pembawa 109
125. Harga saham 112
126. Saham bagian 113
127. Peralihan saham kepada-pembawa 114
128. Peralihan saham atas-nama 114
129. Hak dan kewajiban pemegang saham 115
130. Kewajiban pesero baru 116
131. Hak didahulukan 117
132. Bukti dividen dan talon 117
133. Menjual, menghibahkan, menggadaikan, memungut hasil
dan mengalihkan hak yang lain atas saham 117
134. Jenis-jenis saham 119
135. Daftar pemegang saham 121
136. Surat berharga lainnya yang dikeluarkan oleh perseroan 121
137. Obligasi 123
138. Sertifikat saham 127
D. ALAT PERLENGKAPAN PERSEROAN TERBATAS 128
139. Rapat umum pemegang saham 128
140. Hak bersuara pemegang saham 131
141. Perubahan Pasal 54 KUHD 133
142. Persoalan "pemegang saham kedok" 135
tertentu dari modal yang ditempatkan 144. Keputusan rapat yang sah
145. Pembatalan keputusan rapat yang melanggar undang-un- dang, anggaran dasar dan hukum
146. Ikhtisar rapat 137 138 139 140 E. PENGURUS 140
147. Kedudukan hukum pengurus 140
148. Pengangkatan pengurus, gaji, tantieme dan fasilitas lain-
nya 141
149. Klausul oligarkhi/otokrasi 142
150. Tugas pengurus 143
151. Tugas pengurus menurut anggaran dasar 146 152. Kewenangan pengurus mewakili perseroan di muka
peng-adilan 146
153. Kewenangan pengurus mewakili perseroan di luar peng-
adilan 147
154. Pengurus dapat diwajibkan memiliki saham perseroan 148 . 155. Pengurus dapat diwajibkan memberikan hak gadai atas
sahamnya 149
156. Status hukum pengurus 150
157. Tanggung jawab pengurus 150
158. Pengurus berhalangan, pemberhentian sementara dan pe-
mecatan 153
159. Pembebasan tanggung jawab pengurus 154
F. KOMISARIS 155
160. Kedudukan dan tugas komisaris 155 161. Pengangkatan komisaris, gaji, tantiemes dan fasilitas lain-
nya 156
162. Komisaris limpahan 157
163. Status hukum komisaris 157
164. Pemberhentian sementara dan pemecatan komisaris 158
165. Tanggung jawab komisaris 158
166. Beberapa hak dan kewajiban khusus komisaris 159 G. NERACA DAN PERHITUNGAN LABA RUGI . 160
167. Pembukuan 160
169. Penelitian keahlian 163
170. Pembagian keuntungan 164
171. Penyusutan, cadangan, tantiemes dan dividen 165
172. Pemberitahuan neraca dan daftar laba rugi 166
173. Tanggung jawab pengurus dan komisaris terhadap isi ne-
raca dan perhitungan laba rugi 166
H. PERUBAHAN AKTA PENDIRIAN 167
174. Kemungkinan adanya perubahan akta pendirian 167
175. Apakah akta pendirian perseroan dapat diubah? 169
176. Dasar hukum perubahan akta pendirian 170
177. Siapa yang berwenang mengadakan perubahan akta pen-
dirian 171
178. Diperlukan persetujuan pihak ketiga 171
179. Pembatasan kewenangan mengubah akta pendirian 172
180. Formalitas mengenai perubahan akta pendirian 172
I. PEMBUBARAN DAN PEMBERESAN PERSERO-
AN 173
181. Sifat pembubaran 173
182. Alasan-alasan bubarnya perseroan 173
183. Pembubaran perseroan oleh seorang pemegang saham
atau lebih 176
184. Pembubaran perseroan dengan putusan Hakim 176
185. Pembubaran perseroan karena lampaunya jangka waktu
tertentu 177
186. Pembubaran dengan keputusan rapat umum 178
187. Pembubaran perseroan karena peleburan atau pengga-
bungan 178
188. Pembubaran perseroan karena jatuh pailit 179
189. Keadaan perseroan setelah bubar 179
190. Para pemberes 180
191. P emberes an 180
192. Akhir pemberesan 181
193. Pendaftaran dan pengumuman perseroan yang bubar 182
BAB VII. PERKOPERASIAN 184
A. HAL-HAL UMUM 184
195. Pengertian koperasi Indonesia 188 196. Sejarah peraturan-peraturan tentang koperasi di Indone-
sia 191
197. Pasal 33 UUD '45 Tap. No. XXIII/MPRS/1966 dan No
IV/MPR/1978 193
198. Alasan dan tujuan perubahan UU No. 14 Tahun 1965 196
199. Landasan-landasan koperasi 197
200. Fungsi koperasi Indonesia 198
201. Asas koperasi Indonesia 200
202. Sendi dasar koperasi Indonesia 200 203. Peranan dan tugas koperasi Indonesia 202
204. Peranan Pemerintah 203
B. KEANGGOTAAN, KEWAJIBAN, HAK, DAN TANG-
GUNG JAWAB ANGGOTA 204
205. Keanggotaan 204
206. Kewajiban dan hak anggota koperasi 206 207. Tanggung jawab anggota koperasi Indonesia 207
C. ORGANISASI, JENIS, DAN ALAT PERLENGKAP-
AN KOPERASI 208
208. Organisasi koperasi Indonesia 208
209. Tingkat koperasi 209
210. Daerah kerja koperasi 209
211. Jenis koperasi 210
212. Alat perlengkapan koperasi 211
213. Rapat anggota 211
214. Pengurus koperasi 212
215. Tugas kewajiban dan wewenang pengurus koperasi 213 216. Tanggung jawab pengurus kepada koperasi 214
217. Badan pemeriksa 215
218. Tugas, wewenang dan tanggung jawab badan pemeriksa 216 D. LAPANGAN USAHA, PERMODALAN, DAN SISA
HASIL USAHA KOPERASI 216
219. Lapangan usaha 216
220. Permodalan koperasi 217
221. Sisa hasil usaha koperasi 218
223. Dasar hulcUm kewajiban membayar zakat 220
224. Peraturan zakat 221
225. Beberapa hal penting mengenai kewajiban membayar
zakat 222
E. KEDUDUKAN HUKUM KOPERASI INDONESIA 224
226. Koperasi adalah badan hukum 224
227. Pendirian, pendaftaran dan pengumuman koperasi 225
228. Isi akta pendirian 227
229. Perbedaan dan persamaan antara Koperasi dan Perseroan
Terbatas 227
F. PERUBAHAN ANGGARAN DASAR, PEMBU-BARAN, PENYELESAIAN DAN HAPUSNYA BA-
DAN HUKUM KOPERASI 229
230. Perubahan anggaran dasar • 229
231. Pembubaran koperasi 230
232. Penyelesaian koperasi yang bubar 230
233. Hapusnya badan hukum koperasi 232
BAB VIII. PERKUMPULAN SALING MENANGGUNG 233
234. Sifat dan pengertian 233
235. Sejarah 236
236. Status hukum dan bentuk 237
DAFTAR-DAFTAR 239
— Daftar kepustakaan 239
— Daftar persoalan menurut abjad 242
— Daftar pasal-pasal KUHD yang dibicarakan 250
Daftar pasal-pasal KUHPER yang dibicarakan 252
— Daftar pasal-pasal UU Perkoperasian Tahun 1967 255
— Daftar singkatan 256
Lampiran I : Akta pendirian dan anggaran dasar perseroan
terbatas 257
Lampiran II : Undang-Undang No. 12 Tahun 1967, tentang Pokok-pokok Perkoperasian beserta
penjelas-annya 281 Lampiran III: Undang-Undang No. 4 Tahun 1971, tentang
Perubahan dan Penambahan alas Ketentuan Pa-
sal 54 KUHD beserta penjelasannya 324
Lampiran IV: Tambahan Berita Negara RI Tanggal 12/12 1967 No. 99 tentang Anggaran Dasar Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 330
BAB I
PERUSAHAAN DAGANG
1. PENGERTIAN
Perusahaan dagang adalah salah satu bentuk perusahaan
perse-orangan, sedangkan perusahaan perseorangan adalah perusahaan
yang dilakukan oleh satu orang pengusaha. Perbedaan perusahaan
perseorangan ini dengan persekutuan terletak pada jumlah pengusaha-nya. Jumlah pengusaha dalam perusahaan perseorangan hanya se-orang, sedangkan jumlah pengusaha dalam persekutuan 2 orang atau lebih. Pada perseroan terbatas, jumlah pengusahanya sama dengan jumlah pemegang saham, yang berarti bahwa keseluruhan pemegang
saham pada perseroan terbatas adalah pengusaha.
Dalam perusahaan perseorangan, yang menjadi pengusaha hanya
satu orang, tidak ada peserta lain di sampingnya. Kalau dalam peru-sahaan itu tampak banyak orang yang bekerja, itu adalah pembantu pengusaha dalam perusahaan, yang hubungan hukumnya dengan
pengusaha bersifat perburuhan dan pemberian kuasa. Modal dalam
perusahaan perseorangan ini milik satu orang, yaitu milik si pengusaha. Karena modal ini milik satu orang, maka biasanya modal itu tidak besar. Sebagian besar perusahaan perseorangan ini modalnya terma-suk modal kecil atau modal lemah. Jumlah perusahaan perseorangan ini banyak sekali, yang dapat kita saksikan di daerah, dimana kita bertempat tinggal, di jalan-jalan di muka rumah kita, di stasiun-stasiun kereta api, di tempat pemberhentian bus, di sekitar lampu lalu-lintas, di pinggir jalan yang diperbolehkan pedagang kaki lima melakukan usahanya dan lain-lain. Mereka itu pada umumnya buruh dari si peng-usaha perseorangan atau terkadang juga si pengpeng-usaha sendiri, terutama bagi pengusaha perseorangan yang modalnya masih belum mencukupi untuk mengambil pembantu perusahaan.
Sebelum saya membicarakan perusahaan perseorangan ini lebih lanjut, saya ingin mengulangi hal-hal penting yang sudah saya bicarakan dalam Buku Pertama, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, yang erat hubungannya dengan persoalan perusahaan perseorangan yang sekarang sedang kita bahas, yaitu:
a. Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lain dalam se-gala usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, yang diselenggara-kan sesuai dengan hematnya sendiri;
b. Hukum Dagang adalah hukum perdata khusus (ingat pada adagium:
lex specialis derogat lex generali, dan Pasal 1 KUHD);
c. Dipandang dari sudut hukum perdata, hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan;
d. Perikatan adalah hubungan hukum, yang terletak dalam bidang hu-kum harta kekayaan, antara dua pihak yang masing-masing berdiri sendiri (zelfstandige rechtssubjecten); yang mengakibatkan pihak yang satu terhadap pihak lainnya berhak atas suatu prestasi, prestasi mana merupakan kewajiban pihak terakhir terhadap pihak pertama; e. Hukum perikatan adalah hukum yang mengatur hubungan hukum
• yang disebut perikatan (lihat definisi di atas);
f. Perusahaan, menurut pembentuk undang-undang adalah perbuatan yang dilakukan secara tidak terputus-putus, terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk mencari laba;
Menurut Molengraaff, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak ke luar, untuk men-dapatkan penghasilan, dengan cam memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang atau mengadakan perjanjian-perjan-j ian perdagangan.
Menurut Polak, baru ada perusahaan, bila diperlukan adanya per-hitungan-pehitungan tentang laba rugi yang dapat diperkirakan, dan segala sesuatu itu dicatat dalam pembukuan;
g. Yang dimaksud perusahaan di sini ialah perusahaan dalam bidang hukum perdata dan bukan perusahaan dalam bidang hukum lainnya, misalnya dalam hukum tata pemerintahan (perusahaan negara, peru-sahaan daerah dan lain-lain).
2. PERUSAHAAN DAGANG
Telah saya katakan di muka bahwa bentuk perusahaan perseorangan itu secara resmi tidak ada. Tetapi dalam masyarakat perdagangan te-lah ada suatu bentuk perusahaan perseorangan yang diterima orang, yaitu: perusahaan dagang (disingkat: PD), misalnya: PD Lautan Mas, PD Djin Lung, PD Naga Sasra dan lain-lain. Singkatan PD ini sebe-tulnya menyamai singkatan "Perusahaan Daerah", yang telah diatur dalam UU No. 45 Tahun 1962 (LN 1962-10). Untung juga bahwa
UU No. 5 Tahun 1962 itu telah dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 6 Tahun 1969 (LN 1969-37), tetapi tidak berlakunya UU No. 5 Tahun 1962 itu ditetapkan pada saat undang-undang barn penggantinya mulai berlaku (Lampiran III, Pasal 2, UU No. 6 Tahun 1969).
Jadi, bentuk "perusahaan dagang" itu adalah bentuk perusahaan per-seorangan yang telah diterima oleh masyarakat dagang Indonesia, te-tapi secara resmi nama itu belum dikukuhkan. Bentuk ini bukan ba-dan hukum ba-dan tidak termasuk persekutuan atau perkumpulan, tetapi termasuk dalam lingkungan hukum dagang, sebab perusahaan da-gang itu dibentuk dalam suasana hukum perdata dan menjalankan perusahaan, sehingga dari badan ini timbul perikatan-perikatan keper-dataan. Perusahaan dagang ini dibentuk atas dasar kehendak seorang pengusaha, yang mempunyai cukup modal untuk berusaha dalam bi-dang perusahaan, dalam mana dia sudah merasa ahli. Sebagai seorang pengusaha perusahaan dagang, dia tidak bisa mengharapkan keahlian dari orang lain, sebab baik pengusaha maupun manajemya adalah dia sendiri. Kalau modalnya kecil, dia bekerja sendirian, tetapi jika mo-dalnya cukup besar dan lapangan perusahaannya makin besar, dia mem-pergunakan beberapa orang buruh sebagai pembantunya. Keahlian, teknologi dan manajemen dilakukan oleh pengusaha seorang diri. Begitu juga untung rugi, sepenuhnya menjadi beban si pengusaha sendiri.
3. PROSEDUR MENDIRIKAN PERUSAHAAN DAGANG
Telah saya katakan bahwa perusahaan dagang itu adalah suatu lem-baga dalam bidang perniagaan yang sudah lazim dalam masyarakat perdagangan di Indonesia. Karena peraturannya belum ada, maka pro-sedur mendirikan perusahaan itu secara resmi belum ada. Meskipun demikian, prosedur itu dapat diselidiki dalam praktik yang berlaku dalam masyarakat perdagangan di Indonesia. Pada umumnya, bila orang akan mendirikan perusahaan dagang (disingkat: PD), maka orang:
a. mengajukan permohonan izin usaha kepada Kepala Kantor
Wi-layah Perdagangan setempat;
b. mengajukan permohonan izin tempat usaha kepada Pemerintah
Daerah setempat;
Dengan berbekal kedua surat izin tersebut, orang dapat mulai me-lakukan usaha perdagangan yang dikehendaki. Kedua surat izin itu juga sudah merupakan tanda bukti sah menurut hukum bagi pengusa-ha dagang yang akan melakukan usapengusa-hanya, karena kedua instansi ter-sebut menurut hukum berwenang mengeluarkan surat izin terter-sebut.
3.1. AKTA PENDIRIAN PERUSAHAAN DAGANG
Untuk memperkuat kedudukan hukum perusahaan dagangnya, orang dapat menyuruh membuatkan akta pendirian perusahaan dagangnya kepada notaris. Sudah tentu akta pendirian itu sangat sederhana, sebab tidak perlu adanya anggaran dasar. Dengan adanya akta pendirian yang notariil ini, maka orang berpendapat bahwa kedudukan hukum perusahaannya lebih kuat. Tetapi sebetulnya akta pendirian yang notariil ini tidak diharuskan. Akta ini tidak perlu didaftarkan kepada Kepa-niteraan Pengadilan Negeri setempat dan pula tidak perlu diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
3.2. IZIN BERDASAR UNDANG-UNDANG GANGGUAN
Bila tempat usaha perusahaan dagang itu ada di tengah-tengah kom-pleks perumahan dan pelaksanaan perusahaan itu bisa mengganggu ketenangan atau ketenteraman orang-orang yang diam di tempat itu, maka pengusaha harus minta izin berdasar Undang-undang Gangguan
(Hinder-ordonnantie, S. 1926-226) yang dapat diminta kepada Pe-merintah Daerah setempat.
3.3. KEWAJIBAN-KEWAJIBAN PENGUSAHA PERUSAHAAN DAGANG YANG PENTING
a. Pembukuan
Menurut Pasal 6 KUHD, setiap orang yang menjalanlcan perusaha-an diwajibkperusaha-an mengerjakperusaha-an pembukuperusaha-an, yakni catatperusaha-an-catatperusaha-an mengenai harta kekayaan pribadinya dan harta kekayaan yang dipergunakan dalam perusahaannya menurut syarat-syarat yang diminta ol eh perusahaannya, sedemikian rupa, sehingga dari catatan-catatan itu setiap waktu dapat diketahui hak-hak dan ke-waj ibannya. Karena perusahaan dagang adalah sejenis perusahaan sebagai yang dimaksud dalam Pasal 6 KUHD tersebut, maka dia wajib menjalankan pembukuan.
b. Membayar pajak
Menurut Undang-undang Perpajakan RI, setiap orang, badan usaha dan badan hukum tertentu, wajib membayar pajak kepada negara. Karena perusahaan dagang itu adalah suatu badan yang menjalan-kan perusahaan, maka dia wajib membayar pajak kepada negara. Jenis pajak itu bermacam-macam, misalnya:
b. 1 . Pajak Penghasilan (UU No. 7 Tahun 1983);
b.3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU No. 8 Tahun 1983); b.4. Pajak Bumi dan Bangunan (UU No. 12 Tahun 1985), dan
lain-lain.
3.4. PERUSAHAAN DAGANG MUDAH MENGGAN'TI USAHANYA DENGAN USAHA JENIS LAIN
Karena prosedur pendirian perusahaan dagang itu mudah, maka bila si pengusaha kurang berhasil dalam usaha yang sekarang dilakukan, maka dia dengan mudah mengganti dengan usaha yang lain, tanpa prosedur yang ruwet. Dan karena pengusaha hanya terdiri dan satu orang, maka mobilitas perusahaan sangat tinggi dan bila pengusahanya seorang yang cakap dan ahli dalam bidangnya, maka perusahaan da-gang itu lekas mempunyai "goodwill" yang tinggi.
4. HUBUNGAN HUKUM ANTARA PENGUSAHA DENGAN PEMBANTU-PEMBANTUNYA
Sebagai yang telah saya bicarakan dalam Buku Pertama, Bab V, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, seorang pengusaha dapat mempunyai pembantu-pembantunya, baik di dalam maupun di luar perusahaan. Pembantu-pembantu di dalam perusahaan ialah: pelayan toko, pekerja keliling, pemimpin filial, pemegang prokurasi dan manajer, sedangkan pembantu-pembantu di luar perusahaan ialah: agen, notaris, pengacara, makelar, komisioner, konsultan, akuntan dan lain-lain. Jenis pembantu-pembantu tersebut tidak semuanya dipergunakan oleh peng-usaha pada perpeng-usahaan dagang, tergantung persoalan dan kebutuhan-nya. Dari jenis pembantu dalam perusahaan, yang sering dipergunakan oleh pengusaha perusahaan dagang ialah: pelayan toko/pelayan peru-sahaan, sedangkan dan jenis pembantu di luar peruperu-sahaan, yang sering dipergunakan ialah notaris, misalnya: pada waktu membuat akta pen-dirian perusahaan dagang, pada waktu membuat perjanjian-perjanjian penting atau melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang diperlukan akta pembuktian yang autentik.
Pada umumnya sedikit atau banyak, perusahaan dagang itu mem-punyai pembantu-pembantu untuk menyelenggarakan perusahaannya. Dengan adanya pembantu-pembantu ini timbullah hubungan hukum antara pengusaha dengan pembantu-pembantunya. Sebagai yang telah saya bicarakan dalam Bab V, Buku Pertama, Pengertian Pokok Hu-kum Dagang Indonesia, hubungan huHu-kum tersebut bersifat rangkap, yakni: hubungan perbunihan dan hubungan pemberian kuasa. Dalam
hubungan perburuhan, si pengusaha berfungsi sebagai majikan, sedang-kan si pelayan berfungsi sebagai buruh. Hubungan perburuhan ini di-atur dalam Bab VII-A, Buku Ketiga, KUHPER dan bersifat subordi-nasi, dalam hubungan mana si pelayan hams tunduk pada perintah si pengusaha, sedangkan si pengusaha berkewajiban membayar upah si pe-layan. Dalam hubungan pemberian kuasa, si pengusaha bertindak seba-gai pemberi kuasa, sedangkan si pelayan bertindak sebaseba-gai pemegang kuasa Hubungan hukum ini datur dalam Bab XVI, Buku ketiga, KUHPER.
Si pengusaha perusahaan dagang, kecuali mempunyai hubungan hukum dengan pembantunya dalam perusahaan, juga kadang kala mempergunakan agen, notaris, pengacara, makelar dan lain-lain. Se-bagai yang sudah saya bicarakan dalam Bam V, Buku Pertama, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, maka hubungan hukum antara pengusaha dengan agen bersifat pemberian kuasa, sedangkan hubungan hukum antara pengusaha dengan notaris, pengacara, makelar atau lainnya bersifat rangkap, yaitu: hubungan pelayanan berkala dan hubungan pemberian kuasa.
5. HUBUNGAN HUKUM ANTARA PENGUSAHA DENGAN PIHAK KETIGA
Dalam pelajaran yang lalu saya sudah membicarakan hubungan hukum antara pengusaha dengan pembantu-pembantunya, baik yang ada di dalam perusahaan, maupun yang ada di luar perusahaan. Sekarang saya akan membicarakan hubungan hukum antara pengusaha dengan pihak ketiga, baik yang dilakukan oleh pengusaha sendiri ataupun oleh pembantunya. Perbuatan pengusaha atau pembantunya ini menimbul-kan perikatan-perikatan terhadap pihak ketiga. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh pengusaha atau pembantunya ini dapat merupakan perbuatan hukum dan dapat pula merupakan perbuatan melawan hu-kum, sehingga perikatan-perikatan yang timbul mejadi berbeda, yakni: a. Terhadap perikatan-perikatan yang timbul dan perbuatan hukum,
pengusaha terikat, artinya pengusaha harus melaksanakan per-ikatan-perikatan itu. Begitu juga kalau perbuatan hukum itu dila-kukan oleh pembantu atas namanya. Pembantu pengusaha ini ber-buat sebagai pemegang kuasa si pengusaha, yang berakibat bahwa semua perikatan yang timbul dan perbuatan hukum itu harus dilak-sanakan oleh pengusaha.
b. Terhadap perikatan-perikatan yang timbul dari perbuatan melawan hukum, baik yang dilakukan oleh si pengusaha sendiri, maupun oleh pembantunya, menjadi tanggung jawab pengusaha, artinya si
pengusaha berkewajiban menanggung, bila ada tidak beresnya pe-laksanaan perikatan tersebut. Kalau perbuatan melawan hukum itu dilakukan oleh si pengusaha sendiri, maka tuntutan pertanggung-jawaban itu dapat dilakukan oleh pihak ketiga berdasar Pasal 1365 KUHPER, sedangkan bila perbuatan melawan hukum itu dilakukan oleh pembantu si pengusaha, maka penuntutan pertanggungj a-waban itu dapat dilakukan oleh pihak ketiga berdasar Pasal 1367 KUHPER. Perbuatan melawan hukum yang dimaksud dalam Pasal 1365 dan 1367 KUHPER itu menghendaki adanya akibat yang merugikan pihak ketiga yang menuntut itu. Kerugian inilah yang menjadi tanggung jawab pengusaha. Sebaliknya kalau akibat kerugian itu tidak ada, maka menurut hemat saya penuntutan melalui Pasal 1365 atau 1367 KUHPER itu tidak dapat diterima.
BAB II PERKUMPULAN
6. PENGERTIAN DAN PENGATURAN
A. Perkumpulan Sebagai Bentuk Asal dari Sebagian Besar Bentuk-bentuk Perusahaan
Kalau kita meneliti asal terjadinya dan susunan persekutuan, koperasi dan perkumpulan saling menanggung, maka kita akan mendapat data-data sebagai tersebut di bawah ini:
1) Persekutuan perdata adalah suatu perjanjian, dengan mana dua
orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu (inbreng) ke dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan (kemanfaatan) yang diperoleh karenanya (Pasal 1618 KUHPER);
2) Persekutuan firma adalah persekutuan perdata yang didirikan
untuk menjalankan perusahaan dengan nama bersama (firma) — (Pasal 16 KUHD);
3) Persekutuan komanditer adalah persekutuan firma yang
mem-punyai sekutu komanditer (Pasal 19 KUHD);
4) Perseroan terbatas adalah persekutuan yang berbadan hukum, se-dangkan namanya tidak mempergunakan firma, tetapi tujuan peru-sahaannya semata-mata (Pasal 36 KUHD);
5) Koperasi adalah suatu perkumpulan yang berbadan hukum, ber-watak sosial, beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan (Pasal 3 UU No. 12 Tahun 1967);
6) Perkumpulan saling menanggung adalah perkumpulan, yang
ber-tujuan untuk menutup perjanjian pertanggungan dengan para
ang-gotanya dalam perusahaan pertanggungan, yang bekerja untuk ke-pentingan para anggota tersebut.
Dan data-data tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa semua
per-sekutuan, koperasi dan perkumpulan saling menanggung adalah
per-kumpulan. Perlu diingat bahwa perkumpulan yang dimaksud di sini ialah perkumpulan dalam arti luas, yaitu perkumpulan yang tidak mem-
punyai kepribadian tersendiri, dan tidak dapat dibedakan dengan per-kumpulan jenis lain. Dan kesimpulan ini timbul dua masalah, pertama: perjanj i an jenis apa yang dipergunakan untuk mendirikan perkumpulan itu, dan yang kedua: apa sebetulnya yang disebut perkumpulan itu. B. Perkumpulan dalam Arti Luas
Kalau kita menganalisa prosedur terjadinya suatu perkumpulan, maka terlihatlah adanya beberapa peristiwa dan perbuatan dengan urutan sebagai berikut:
a. adanya beberapa orang yang sama-sama mempunyai kepentingan terhadap sesuatu, misalnya: olah raga gerak jalan untuk kesehatan; b. beberapa orang yang berkepentingan tersebut berkehendak (ber-sepakat) untuk mendirikan perkumpulan gerak jalan untuk kese-hatan;
c. tujuan mendirikan perkumpulan tersebut ialah untuk melakukan gerak jalan bersama-sama bagi kesehatan;
d. untuk melaksanakan tujuan bersama tersebut mereka mengadakan kerja-sama dalam lingkungan perkumpulan.
Dengan demilcian, ada 4 unsur untuk terjadinya suatu perkumpulan, yaitu: kepentingan bersama, kehendak bersama, tujuan bersama dan kerja-sama. Keempat unsur ini ada pada tiap-tiap perkumpulan, ter-masuk: persekutuan, koperasi dan perkumpulan saling menanggung. Jadi, perkumpulan dalam arti luas ini merupakan bentuk asal dan semua persekutuan, koperasi dan perkumpulan saling menanggung (disingkat: persekutuan dan sebagainya). Sudah tentu masing-masing persekutuan dan sebagainya itu mempunyai unsur tambahan lagi. Karena perkum-pulan dalam arti luas ini merupakan bentuk asal dan persekutuan dan sebagainya, maka saya merasa perlu untuk membicarakan sekedarnya. C. Perkumpulan dalam Arti Sempit
Di samping perkumpulan dalam arti luas seperti tersebut di atas, ada lagi jenis perkumpulan dalam arti sempit, yakni perkumpulan yang tidak menjadi bentuk asal dan persekutuan dan sebagainya. Perkum-pulan itu berdiri sendiri terpisah dari lainnya dan biasanya diatur dalam peraturan perundangan. Perkumpulan jenis ini disebut dengan istilah "vereniging" (Belanda),"Verein" (Jerman), "association" (Inggris) dan "union" (Prancis). Dalam bahasa Indonesia perkumpulan dalam arti sempit ini mempunyai banyak nama, yakni: perkumpulan, perhimpunan, perikatan, ikatan, persatuan, kesatuan, serikat dan lain-lain. Perkum-
pulan dalam arti sempit ini tidak bertujuan untuk mencari laba dan tidak menjalankan perusahaan. Tujuan perkumpulan dalam arti sempit ini adalah nonekonomis dan diatur dalam peraturan perundangan ter-tentu, yakni:
1) KUHPER, Buku III, Bab IX, berjudul: "Van Zedelijke Lichamen" (Perkumpulan), Pasal 1653 s/d 1655, yang kemudian ditambah dengan Pasal 1656 s/d 1665;
2) S. 1870-64, tentang "Badan Hukum bagi Perkumpulan"
(Rechts-persoonlijkheid van Verenigingen);
3) S. 1939-570 bsd 717, tetang "Perkumpulan Indonesia"
(In-landsche Vereniging).
Selanjutnya perkumpulan dalam arti sempit ini tidak saya bicarakan dalam buku ini, sebab tidak termasuk dalam bidang hukum dagang.
7. JENIS APAKAH PERJANJIAN UNTUK MENDIRIKAN PERKUMPULAN ITU
Persekutuan perdata, persekutuan firma, persekutuan komanditer, per-seroan terbatas dan badan hukum lainnya adalah perkumpulan dalam dunia perusahaan. Perkumpulan-perkumpulan tersebut didirikan atas dasar suatu perjanjian antara beberapa orang yang berkehendak men-dirikan perkumpulan itu dengan tujuan untuk mencari laba. Sekarang timbul soal, apakah perjanjian untuk mendirikan perkumpulan itu ada-lah perjanjian seperti dimaksud Pasal 1313 KUHPER, ataukah per-janjian jenis lain? Mengenai hal ini ada beberapa pendapat:
a. Molengraaffo berpendapat bahwa perjanjian itu adalah perjanjian
berdasar Pasal 1313 KUHPER, karena:
1) perkumpulan, perserikatan, persekutuan dan badan hukum itu adalah suatu kerja sama kontraktuil;
2) Pasal 1618 KUHPER berbunyi: "Persekutuan perdata adalah
sebuah perjanjian, dengan mana " dan seterusnya.
3) menurut Pasal 16 KUHD, persekutuan firma adalah perse-kutuan perdata, sedangkan perseperse-kutuan perdata adalah suatu perjanjian (Pasal 1618 KUHPER).
Jadi, persekutuan firma adalah juga suatu perjanjian eks Pasal 1313 KUHPER;
4) juga dalam Pasal 323 KUHD ternyata bahwa "rederij" itu ber-diri berdasarkan perjanjian persekutuan (overeenkomst van
vennootschap).
b. Polakz> berpendapat bahwa perjanjian untuk mendirikan perkum-pulan itu bukan perjanjian eks Pasal 1313 KUHPER, karena para pendiri tidak saling mengikat dirinya terhadap yang lain, melainkan mereka itu menyatakan secara sepihak yang berbunyi sama, yaitu bahwa mereka menghendaki berdirinya suatu perkumpulan. Terha-dap perkumpulan inilah mereka masing-masing membebani dini untuk membayar iuran atau memasukkan sesuatu ke dalam per-kumpulan itu. Perbuatan pars sekutu ini dalam istilah Jennan disebut "Gesamtakt". Gesamtakt ini adalah suatu perbuatan hukum yang terdiri dan tindakan bersama beberapa orang untuk mencapai se-buah akibat hukum, akan tetapi tidak sedemikian rupa, sehingga antara orang-orang itu terjadi perikatan. Pendapat Polak tersebut dibantah oleh Mr. F.G. Scheltema dalam pidato pengukuhannya sebagai Gum Besar di Universitas Leiden pada tahun 1923, dengan judul: `Beschouwingen over de grondslagen van het verenigings-recht", yang pada pokoknya mengatakan bahwa juga dalam per-kumpulan, para anggota berhadap-hadapan satu dengan yang lain,
di mans mereka itu masing-masing berjanji akan melaksanakan
segala sesuatu yang termuat dalam anggaran dasar dan aturan rumah tangga perkumpulan itu. Pendapat Scheltema ini disetujui oleh park penulis lainnya terutama Molengraaff tersebut di atas. c. Prof. Soekardono' berpendapat bahwa pada dasarnya memang
terjadi sebuah perjanjian, karena sebelum badan barn itu terbentuk, para pendiri itu sudah ada, yang mengadakan kesepakatan untuk mendirikan badan barn itu. Kesepakatan yang telah dicapai oleh para pendiri itu mengandung unsur-unsur:
1) persetujuan kehendak untuk mendirikan suatu perkumpulan barn; 2) kecakapan berbuat para pihak;
3) suatu hal (obyek) tertentu, yaitu benda yang menjadi obyek perjanjian;
4) tujuan yang sah, yang tidak dilarang oleh undang-undang atau hukum (Pasal 1320, 1321 dan 1337 KUHPER).
Dengan adanya 4 unsur itu, maka menurut Pasal 1320 KUHPER, telah ada perjanjian seperti dimaksud Pasal 1313 KUHPER, Per-bedaan pendapat antara Molengraaff dan Polak terletak pada soal, apakah dalam perbuatan hukum untuk mendirikan perkumpulan itu
'> Polak, Handboek 1, Druk 5, hlm. 338-339.
timbul hubungan hukum antara para pendiri atau tidak. Molengraaff menjawab bahwa di antara para pendiri itu ada hubungan hukum, sedangkan Polak berpendapat bahwa di antara para pendiri tidak ada hubungan hukum. Menurut Polak hubungan hukum itu ada antara para pendiri dengan badan barn yang didirikan dan bukan antara para pendiri yang seorang terhadap yang lain.
Dalam soal ini Prof. Soekardono setuju dengan pendapat Mr. L.E.H. Rutten dalam Mr. C. Asser Handleiding tot de
Beo-efening van het Ned. Burgerlijk Recht, jilid III
(Verbintenissen-recht), yang mengemukakan bahwa yang merupakan soal utama ialah apakah antara para pendiri itu terjadi hubungan hukum. Pada persekutuan perdata dan persekutuan firma, hubungan hukum itu dapat diketahui dengan jelas, yaitu keharusan untuk membayar pemasukan, tetapi bagi perkumpulan biasa dan perseroan terbatas hubungan hukum antara para sekutu itu tidak jelas. Jadi, menurut Rutten, bila ada perselisihan, barulah ditinjau pada tiap-tiap per-kumpulan/persekutuan/badan hukum yang bersangkutan.
d. Saya sendiri berpendapat bahwa adalah jelas bahwa perjanjian
untuk mendirikan perkumpulan itu adalah perjanjian sebagai yang dimaksud Pasal 1313 KUHPER. Misalnya: Tiga orang A, B dan
C, masing-masing berkepentingan untuk melakukan olah raga
gerak jalan bagi kesehatan. Mereka bersepakat untuk mendirikan perkumpulan "olah raga gerak jalan bagi kesehatan" tersebut. Di sini baik A, B maupun C, masing-masing mengikatkan diri kepada yang lain untuk mendirikan perkumpulan olah raga tersebut. A mengikatkan diri kepada B dan C, sedangkan B mengikatkan diri kepada A dan C, selanjutnya C mengikatkan din kepada A dan B untuk mendirikan perkumpulan itu. Pada waktu ini belum ada badan barn yang didirikan itu, dan itu tidak ada hubungan antara para pendiri dengan badan bare. Selama badan bare itu belum dibentuk, maka A dapat menuntut agar B dan C menunaikan kewaj ibannya, yakni: mendirikan perkumpulan olah raga gerak jalan bagi kese-hatan. Begitu juga B dapat menuntut kepada A dan C, — dan C kepada A dan B untuk berbuat yang sama. Perbuatan semacam ini adalah jelas perbuatan sebagai yang dikehendaki oleh Pasal 1313 KUHPER. Kalau perkumpulan itu sudah berdiri, yang berarti badan bare sudah ada, maka badan barn itu dapat berbuat atas nama para anggotanya, dan kalau badan bare itu berstatus badan hukum, maka dia dapat berbuat sendiri sebagai subyek hukum di
luar para anggota/pendiri yang mendirikan perkumpulan itu. Dengan konstruksi hukum atas berdirinya sebuah perkumpulan sebagai
tersebut di atas, maka adalah jelas bahwa perbuatan hukum
men-dirikan perkumpulan ban' itu adalah perjanjian sebagai yang dimaksud Pasal 1313 KUHPER. Kalau perkumpulan itu sudah berdiri dengan sah, maka selesailah kewajiban para pendiri itu. Sekarang, perkumpulan yang baru berdiri itulah yang hams melan-jutkan menyelesaikan hal-hal yang belum selesai dikerjakan. Maka
dan itu saya memandang logis perumusan Pasal 1625 yang ber-bunyi: "masing-masing sekutu berutang kepada persekutuan segala apa yang telah disanggupinya memasukkan ke dalamnya; dan jika pemasukan ini terdiri atas suatu barang tertentu, maka is diwajibkan menjamin dengan cara yang sama seperti dalam jual-beli."
8. ISTILAH PERJANJIAN DAN PERSETUJUAN
Istilah "perjanjian" adalah terjemahan dan istilah overeenkomst. Dari buku Istilah Hukum yang dikeluarkan oleh Komisi Istilah Bahasa
Indonesia, Seksi Hukum, istilah overeenkomst diterjemahkan:
per-setujuan atau perjanjian. Terjemahan ini disetujui oleh:
a. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam bukunya: Asas-asas Hukum
Perjanjian, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan tertentu, Sekitar Kodifikasi Hukum Perjanjian di Indonesia dan lain-lain.
b. Prof. R. Subekti, S.H. dalam bukunya: Hukum Perjanjian, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (terjemahan). Kitab Undang- Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan (ter- jemahan) dan lain-lain.
Dalam hal Prof. Soekardono, S.H. 4 mempunyai pendapat lain, yakni istilah overeenkomst itu diterjemahkan dengan "perjanjian", sedangkan istilah "persetujuan" adalah merupakan unsur dari "perjan-jian", yaitu sebagai terjemahan dari istilah toestemming pada Pasal
1320 ayat (1), sub 1, yang berbunyi: de toestemming van degene
die zich verbinden. Saya setuju dengan pendapat Prof. Soekardono, yakni bahwa istilah overeenkomst diterjemahkan dengan "perjanjian", sedangkan toestemming (dalam Pasal 1320 ayat (1), sub 1) diterje-mahkan dengan "persetujuan" atau "kesepakatan".
Dalam kuliah-kuliah beliau di Fakultas Hukum Universitas Indonesia; Soekardono, Hukum Dagang Indonesia I, Bagian II, cet. 3, hlm. 34.
9. PERKUMPULAN YANG BERBADAN HUKUM DAN YANG TIDAK BERBADAN HUKUM
Yang dimaksud dengan "perkumpulan" di sini ialah perkumpulan dalam arti luas, termasuk di dalamnya: persekutuan, koperasi dan perkumpul-an saling menperkumpul-anggung. Perkumpulperkumpul-an ini ada yperkumpul-ang berbadperkumpul-an hukum dperkumpul-an ada yang tidak berbadan hukum. Yang tidak berbadan hukum ialah: a. persekutuan perdata;
b. persekutuan firma; c. persekutuan komanditer;
Adapun yang berbadan hukum ialah: d. perseroan terbatas;
e. koperasi, dan
f perkumpulan saling menanggung.
Kedua macam perkumpulan ini sama-sama menjalankan perusaha-an, tetapi status hukumnya sangat berbeda.Yang sekelompok bukan badan hukum, sedangkan kelompok lainnya berbadan hukum. Per-bedaan ini tampak sekali pada prosedur mendirikan badan-badan ter-sebut. Untuk mendirikan suatu badan hukum, mutlak diperlukan pengesahan Pemerintah, misalnya:
1) Dalam hal mendirikan suatu perseroan terbatas, mutlak diperlukan pengesahan akta pendirian dan anggaran dasamya oleh Pemerintah (Menteri Kehakiman - Direktorat Perdata) - (Pasal 36 KUHD); 2) Dalam hal mendirikan perkumpulan koperasi, mutlak diperlukan
pe-ngesahan akta pendirian koperasi itu oleh Pemerintah, dhi. (dalam hal ini) Menteri yang diserahi urusan perkoperasian (Pasal 41 dan 42 UKO-67);
3) Dalam hal mendirikan perkumpulan saling menanggung dianut 2 macam prosedur, yakni:
a) Untuk mendirikan perkumpulan saling menanggung (wederkerig verzekerings-of waarborgmaatschappij, Pasal 286 KUHD) tidak perlu adanya izin khusus dan Pemerintah, sebab S. 64 tidak berlaku bagi perkumpulan jenis ini (Pasal 10, S. 1870-64), dan pasal tersebut menentukan bahwa perkumpulan jenis ini berlaku ketentuan-ketentuan dari KUHPER dan KUHD, khu-susnya Bab IX, Buku Ketiga KUHPER. Berdasar Pasal 1654 KUHPER saja, perkumpulan saling menanggung adalah badan hukum; Perlu diingat bahwa Arrest H.R. tanggal 20 Oktober 1865, 5)
menetapkan perkumpulan saling menanggung tersebut adalah "zedelijk Iichaam" sebagai dimaksud dalam Bab IX, Buku III, KUHPER.
b) Untuk mendirikan perkumpulan asuransi jiwa timbal batik, yakni perkumpulan sating menanggung yang berusaha di bidang asu-ransi jiwa (onderlinge levensverzekeringmaatschappij), diperlukan adanya surat keterangan dari "Verzekeringskamer", yang berisi suatu pengakuan sebagai penanggung (Pasal 14 ayat (2), S.1941-101). Menurut Pasal 20, S. 1941-101, perkum-pulan asuransi jiwa timbal batik ini hanya bisa dijalankan dengan bentuk perseroan terbatas, perkumpulan asuransi timbal batik dalam pengertian KUHD, atau maskapai Indonesia dengan saham (IMA).
Sebaliknya, bila orang mau mendirikan perkumpulan yang bukan badan hukum, maka syarat "pengesahan akta pendirian oleh Pemerintah" itu tidak diperlukan, misalnya:
(1) Untuk mendirikan sebuah persekutu perdata, tidak perlu ada-nya formal itas sedikitpun, cukup dengan adaada-nya kesepakat-an para pihak, tkesepakat-anpa pendaftarkesepakat-an dkesepakat-an tkesepakat-anpa pengumumkesepakat-an; (2) Untuk mendirikan sebuah persekutuan firma, biasanya di-dirikan dengan akta notaris, didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat dan diumumkan dalam Berita Negara RI;
(3) Untuk mendirikan sebuah persekutuan komanditer, cukup bila dilakukan sebagai halnya mendirikan persekutuan firma. 10. UNSUR-UNSUR POKOK DALAM PERKUMPULAN
Suatu perusahaan dapat dimiliki oleh satu orang (perusahaan perse-orangan), dan juga dapat dimiliki oleh banyak orang (persekutuan per-data, persekutuan firma, persekutuan komanditer, perseroan terbatas dan lain-lain). Perbedaan antara perusahaan perseorangan dan perse-kutuan ialah terletak pada tanggung jawab, yang pada perusahaan perseorangan dipikul oleh seorang pengusaha, sedangkan pada perse-kutuan oleh beberapa orang yang bersama-sama bertanggung jawab. Bila perusahaan itu merupakan badan hukum, maka tanggung jawab itu sepenuhnya dipikul oleh badan hukum yang bersangkutan.
Pada setiap perusahaan, si pengusaha (satu atau banyak orang) melakukan perbuatan yang terus-menerus, terang-terangan, dalam kedudukan tertentu untuk mencari laba. Untuk memenuhi unsur terang-
terangan, yakni agar pihak ketiga mengetahuinya, maka perusahaan itu diwajibkan mendaftarkan dan mengumumkan perusahaarmya itu, misalnya pada persekutuan firma dengan adanya Pasal 23 dan 28 KUHD, sedangkan pada perseroan terbatas dengan adanya Pasal 38 KUHD. Unsur "kedudukan tertentu" mengarah kepada kedudukan ter-tentu si pengusaha pada waktu si pengusaha itu berbuat bagi perusa-haannya misalnya sebagai: pembeli, penjual, pemborong, debitur, kre-ditur, dokter, pelepas uang, konsultan, tukang ahli, agen dan lain-lain.
Persekutuan dan beberapa badan hukum itu termasuk perkum-pulan, misalnya: persekutuan perdata, persekutuan firma, persekutuan komanditer, perseroan terbatas, koperasi dan perkumpulan saling me-nanggung. Kita telah mengetahui bahwa perkumpulan di sini adalah dalam arti luas yang mempunyai 4 unsur yaitu: kepentingan bersama, kehendak bersama, tujuan bersama dan kerja. sama. Empat unsur ini se-lalu ada pada tiap-tiap persekutuan dan beberapa badan hukum, yaitu: a. Persekutuan perdata, di samping empat unsur tersebut di atas,
ada dua unsur tambahan, pemasukan dan pembagian keun-
tungan atau kemanfaatan yang didapat karena adanya pemasukan itu (Pasal 1618 KUHPER);
b. Persekutuan firma, di samping empat unsur tersebut di atas, di-tambah 2 unsur (Pasal 1618 KUHPER) dan akhirnya didi-tambah lagi 3 unsur yaitu: menjalankan perusahaan dan memakai nama bersama (firma) — (Pasal 16 KUHD), pula tanggung jawab sekutu secara pribadi untuk keseluruhan (Pasal 18 KUHD);
c. Persekutuan komanditer, di samping empat unsur sebagai perkum-pulan, ditambah 2 unsur sebagai persekutuan perdata, ditambah 3 unsur sebagai persekutuan firma dan akhirnya ditambah dengan adanya sekutu komanditer;
d. Perseroan terbatas adalah perkumpulan yang berbadan hukum, menjalankan perusahaan dan namanya diambilkan dan tujuan perusahaan (voorwerp van het bedriff), sedangkan tanggung jawab tiap sekutu (dhi. pemegang saham) terbatas pada jumlah
saham yang dimilikinya (Pasal 36 dan 40 KUHD);
e. Koperasi adalah perkumpulan yang berbadan hukum, menjalankan perusahaan, berdasar asas kekeluargaan dan kegotongroyongan (UU Perkoperasian No. 12 Tahun 1967);
f Perkumpulan saling menanggung adalah perkumpulan yang
ber-badan hukum, menjalankan perusahaan dan bertujuan untuk saling menanggung anggota-anggotanya.
BAB M
PERSEKUTUAN PERDATA
A. HAL-HAL UMUM
11. PENGANTAR
Sekarang saya akan membicarakan tentang "Persekutuan Perdata". Persekutuan artinya persatuan orang-orang yang sama kepentingannya terhadap suatu Perusahaan tertentu, sedangkan "sekutu" artinya pe-serta pada suatu perusahaan. Jadi, persekutuan berarti perkumpulan orang-orang yang menjadi peserta pada suatu perusahaan tertentu. Jika badan usaha tersebut tidak menjalankan perusahaan, maka badan itu bukanlah persekutuan perdata, tetapi disebut "perserikatan per-data", sedangkan orang-orang yang mengurus badan usaha itu disebut "anggota", bukan sekutu. Jadi, ada dua istilah yang pengertiannya hampir sama, yaitu "perserikatan perdata" dan "persekutuan perdata". Adapun perbedaannya ialah, perserikatan perdata tidak menjalankan perusahaan, sedangkan persekutuan perdata menjalankan perusaha-an. Dengan begitu, maka perserikatan perdata adalah suatu badan usaha termasuk dalam hukum perdata umum, sebab tidak menjalankan perusahaan, sedangkan persekutuan perdata adalah suatu badan usaha yang termasuk dalam hukum dagang, sebab menjalankan perusahaan. Meskipun begitu dua macam badan usaha itu diatur dalam peraturan yang sama, yaitu dalam KUHPER Buku Ketiga, Bab Kedelapan, mulai Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652. Bahwa badan usaha yang disebut perserikatan perdata itu dapat berubah bentuknya menjadi "persekutuan perdata", bila menjalankan perusahaan itu, disebut da-lam Pasal 1623 KUHPER.
Pasal 1618 KUHPER berbunyi sebagai berikut: "Perserikatan
Perdata adalah suatu perjanjian, dengan mana dua orang atau lebih
mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu ke dalam perserikatan dengan maksud untuk membagi keuntungan atau kemanfaatan yang diperoleh karenanya."
Pasal 1623 KUHPER berbunyi: "Perserikatan perdata khusus adalah perserikatan perdata yang hanya mengenai benda-benda ter-
tentu saja, baik mengenai pemakaiannya, atau hash yang akan diper-olehnya, atau suatu usaha tertentu, maupun mengenai pelaksanaan dari suatu perusahaan atau pekerjaan".
Dalam Pasal 1618 dikatakan bahwa tiap peserta harus memasuk-kan sesuatu ke dalam perserikatan. Hal yang dimasukmemasuk-kan ini disebut "pemasukan" (inbreng). Yang dimaksud dengan "pemasukan" ini bisa berwujud barang, uang atau tenaga, baik tenaga badaniyah maupun tenaga kejiwaan (pikiran). Adapun hasil dari adanya pemasukan itu tidak hanya keuntungan saja, tetapi mungkin pula kemanfaatan, misal-nya: Kalau 3 orang, A, B, dan C masing-masing memasukkan uang sebanyak Rp 10.000,—, untuk melakukan piknik ke puncak, dengan mencarter sebuah taksi mulai pagi sampai sore dengan membawa makanan dan minuman, maka pada sore hari ketika mereka itu sampai di rumah, sedikitpun tidak mendapat keuntungan, tetapi hanya keman-faatan yang berwujud kepuasan hati. Kenyataan hukum ini disebut "perserikatan perdata", karena sudah memenuhi syarat sebagai yang dikehendaki oleh Pasal 1618 KUHPER, yaitu adanya "pemasukan" dan "kemanfaatan". Pasal 1618 KUHPER itu tidak menghendaki
agar perbuatan itu dilakukan secara terus-menerus unsur penting
bagi terjadinya "perusahaan". Meskipun perbuatan itu hanya dilakukan satu kali saja, toh badan itu sudah dapat disebut "perserikatan per-data". Istilah "perdata" menunjuk pada lapangan hukum, dalam mana badan itu bergerak, yaitu lapangan hukum perdata. Di sini timbul soal, kenapa suatu lembaga hukum yang bergerak dalam lapangan hukum perdata (umum) dibicarakan dalam bidang hukum dagang. Untuk men-jawab soal ini kita perlu membaca Pasal 16 KUHD yang berbunyi:
"Yang dinamakan persekutuan firma ialah tiap-tiap perserikatan
per-data yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dengan nama bersama (firma)". Di sini kita menemui lembaga "perserikatan
perdata", yang menjalankan perusahaan dengan nama bersama. Hal ini mengakibatkan bahwa peraturan-peraturan hukum perserikatan perdata sebagai yang diatur dalam KUHPER Buku Ketiga Bab VIII tentang "Maatschap of Vennootschap" berlaku bagi persekutuan fir-ma, kecuali kalau kaidah dalam persekutuan firma menyimpang, yakni Pasal 15 sampai dengan Pasal 35 (KUHD).
Dan Pasal 1618 KUHPER dapat disimpulkan bahwa perserikatan perdata adalah perkumpulan yang mempunyai 2 unsur tambahan, yakni adanya "pemasukan" dan "pembagian keuntungan atau kemanfaatan".
a. Persekutuan perdata adalah perserikatan perdata yang menj alan-kan perusahaan;
b. Perserikatan perdata adalah perkumpulan dalam arti luas ditam-bah dengan dua unsur lagi, yaitu pemasukan dan pembagian keun-tungan atau kemanfaatan (Pasal 1618 KUHPER):
c. Perkumpulan dalam arti luas adalah sekelompok orang yang meru-pakan suatu badan yang mempunyai 4 buah unsur, yaitu: 1) adanya kepentingan bersama;
2) adanya kesepakatan bersama; 3) adanya tujuan bersama; dan
4) adanya ketja-sama (lihat halaman 8 buku ini).
12. SIFAr KEPRIBADIAN PADA PERSERIKATAN PERDATA
Perserikatan perdata adalah suatu perkumpulan yang terdiri dan dua orang atau lebih, yang masing-masing saling mengenal secara pribadi, misalnya antarsaudara atau teman karib. Meskipun pada perkumpulan dan perserikatan ada peraturan tentang keluar masuknya anggota, tetapi hal ini tidak boleh mengurangi sifat kepribadian yang ada antar-anggota. Sifat kepribadian pada perkumpulan biasa, perserikatan/per-sekutuan perdata, perperserikatan/per-sekutuan firma dan perperserikatan/per-sekutuan komanditer ma-sih sangat diutamakan. Pribadi dan masing-masing anggota/sekutu pada badan-badan tersebut masih memegang peranan penting. Lain halnya dengan perseroan terbatas, yang tujuan utamanya ialah pemu-pukan modal sebanyak-banyaknya dalam batas sebagai yang diten-tukan dalam anggaran dasarnya. Bagi perseroan terbatas pada umum-nya tidak peduli siapa-siapa yang memasukkan modalumum-nya dalam per-seroan, mereka itu pada umumnya tidak saling mengenal. Jadi, dalam perseroan terbatas ini tidak terdapat sifat kepribadian. Kebebasan tentang sifat kepribadian ini di Indonesia dibatasi dengan asas nasio-nalitas, yang menghendaki agar tiap pesero atau pemegang saham harus memiliki kewarganegaraan Indonesia.
13. UNSUR TERANG-TERANGAN DAN TERUS-MENERUS PADA PERSERI-KATAN PERDATA BERSIFAT TIDAK MUTLAK
Bila A, B, dan C saling bersepakat untuk mencari sekedar keuntungan dengan cara berdagang beras misalnya, lalau mereka masing-masing memberikan pemasukannya, yang dapat berupa uang, benda atau tena-ga (pikiran atau fisik) Pasal 1619 ayat (2) KUHPER, maka terjadilah
nya, A, B, dan C masing-masing mengadakan hubungan hukum dengan pihak ketiga untuk membeli atau menjual beras. Tetapi pihak ketiga ini biasanya berhadapan dengan A, B, dan C sebagai perseorangan (pribadi), tidak sebagai anggota dari suatu perserikatan perdata. Jadi, pihak ketiga ini hanya terikat pada A, B, atau C saja, begitu pun sebalik-nya (Pasal 1642 dan 1644 KUHPER).
Dan apa yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum antara anggota perserikatan perdata dengan pihak ketiga adalah hubungan pribad tidak merupakan hubungan antara pihak ketiga dengan perserikatan perdata. Di sini ternyata bahwa perserikatan per-data tidak mempunyai unsur "terang-terangan" seperti halnya dalam perusahaan. Perlu diketahui bahwa perserikatan perdata semacam ini biasanya didirikan untuk waktu yang tidak lama, dapat juga terjadi hanya selama sate atau dua kali usaha saja, sesudah itu perserikatan perdata dibubarkan. Untuk mendirikan dan membubarkan perseri-katan perdata itu tidak diperlukan syarat-syarat tertentu, jadipendirian
dan pembubaran dapat terjadi dengan mudah sekali. Dengan
begitu unsur "terus-menerus" tidak terdapat dalam perserikatan per-data macam ini.
Sebagai kesimpulan terakhir dapat dikatakan bahwa unsur "terang-terangan" dan "terus-menerus" pada perserikatan perdata bersifat tidak mutlak. Hal ini berbeda sekali dengan perserikatan perdata yang
menjalankan perusahaan, di mana unsur "terang-terangan" dan
"terus-menerus" merupakan unsur mutlak.
14. MUNGKINKAH PERSERIKATAN PERDATA ITU MENJALANKAN PERUSAHAAN
Dan uraian pada pelajaran di muka adalah terang bahwa, bila sebuah perserikatan perdata bertindak keluar terhadap pihak ketiga dengan "terang-terangan" dan "terus-menerus" untuk mencari laba, maka per-serikatan perdata itu melakukan perusahaan. Bentuk perper-serikatan semacam ini disebut "persekutuan perdata". Bertindak keluar dengan terang-terangan ini terjadi, bila pihak yang bertindak keluar itu mem-beritahukan kepada pihak ketiga, bahwa dia bertindak atas nama peru-sahaannya dan dia hams dapat membuktikan bahwa perusahaan itu ada. Unsur terus-menerus dipandang ada, bila usaha itu tidak hanya dilakukan untuk satu atau dua kali saja, tetapi dilakukan terus-menerus untuk mencapai laba sebanyak-banyaknya.
ini dalam undang-undang dimungkinkan dalam Pasal 1623 KUHPER yang berbunyi: "Perserikatan perdata khusus adalah perserikatan per-data yang hanya mengenai barang-barang tertentu, atau pemakaian-nya atau mengenai hasil-hasil yang akan diperolehpemakaian-nya, atau tertuju
pada suatu usaha tertentu atau mengenai hal menjalankan
perusa-haan atau pekerjaan tetap."
Kecuali Pasal 1623 KUHPER tersebut di atas, perserikatan per-data yang menjalankan perusahaan itu juga dimungkinkan oleh Pasal
16 KUHD yang berbunyi: "Yang dinamakan persekutuan firma ialah tiap-tiap perserikatan perdata yang didirikan untuk melakukan peru-sahaan dengan nama bersama (firma)." Jadi, perserikatan perdata yang melakukan perusahaan dengan nama bersama (firma) adalah "persekutuan firma". Bila sebuah perserikatan perdata yang menjalan-kan perusahan itu tidak mempunyai nama bersama atau firma, maka
perserikatan ini bukan persekutuan firma, tetapi persekutuan
per-data. Jadi, di sini ada tiga pengertian yang hams Iebih dulu dipahami, yaitu:
a. Perserikatan perdata (burgerlijk maatschap) adalah
perkum-pulan yang mempunyai dua unsur tambahan, yakni: adanya pema-sukan dan pembagian keuntungan atau kemanfaatan;
b. Persekutuan perdata ialah perserikatan perdata yang melakukan perusahaan;
c. Persekutuan firma ialah perserikatan perdata yang melakukan
perusahaan dengan nama bersama atau persekutuan perdata
dengan nama bersama (firma).
Telah saya katakan di muka bahwa bentuk perserikatan perdata tidak termasuk hukum dagang, tetapi termasuk hukum perdata umum. Adapun yang termasuk bidang hukum dagang adalah "persekutuan perdata", yakni perserikatan perdata yang menjalankan perusahaan, yang menurut Pasal 1623 KUHPER adalah bentuk perserikatan per-data khusus. Untuk selanjutnya bagi kepentingan hukum dagang saya hanya akan membicarakan "persekutuan perdata", yang mempunyai pengaturan hukum yang sama dengan perserikatan perdata, yakni: KUHPER, Buku III, Bab Kedelapan yang berjudul "Tentang Perse-rikatan Perdata" (Burgerlijk Maatschap), mulai Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652.
15. CARA MENDIRIKAN PERSEKUTUAN PERDATA
dasar perjanjian. Karena Pasal 1618 KUHPER itu tidak mengharus-kan adanya syarat tertulis, maka perjanjian yang dimaksud bersifat konsensual, yakni dianggap cukup dengan adanya persetujuan kehen-dak atau kesepakatan (konsensus). Perjanjian itu mulai berlaku sejak saat perjanjian itu menjadi sempurna atau sejak saat yang ditentukan dalam perjanjian (Pasal 1624 KUHPER).
Sesuai dengan sifat perserikatan perdata yang tidak menghendaki terang-terangan, maka Bab VIII Buku Ketiga KUHPER itu tidak ada peraturan tentang pendaftaran dan pengumuman (untuk pihak ketiga) seperti yang diharuskan dalam Pasal 23 sampai dengan 28 KUHD bagi persekutuan firma.
16. SYARAT-SYARAT UNTUK MENDIRIKAN PERSEKUTUAN PERDATA
Perjanjian untuk mendirikan persekutuan perdata itu kecuali hams me-menuhi syarat-syarat seperti yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPER, juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut di bawah ini: a. tidak dilarang oleh hukum;
b. tidak bertentangan dengan tatasusila dan ketertiban umum; c. harus merupakan kepentingan bersama yang dikejar, yaitu:
keun-tungan;
Keuntungan ini hams dinikmati bersama dan tidak boleh ditetapkan bagi keuntungan seorang sekutu Baja (Pasal 1635 ayat (1) KUHPER). Keuntungan itu tidak perlu merupakan penambahan kekayaan
(vermo-gensvermeerdering). Dan itu persekutuan perdata mungkin didirikan
dengan tujuan:
1) untuk mencegah pengeluaran biaya;
2) untuk bersama-sama mempergunakan sebuah benda, misalnya: mobil; Agar pengejaran keuntungan ini tidak sia-sia, maka undang-undang menetapkan adanya "pemasukan" (inbreng) sebagai unsur mutlak da-lam perjanjian mendirikan persekutuan perdata (Pasal-pasal: 1618, 1619 ayat (2), 1625, 1626 dan 1627 KUHPER). Pemasukan (inbreng) in hams dipenuhi oleh para sekutu, kalau tidak bisa dituntut.
17. PEMASUKAN
Pasal 1619 ayat (2) KUHPER menetapkan bahwa tiap-tiap sekutu dan persekutuan perdata diwajibkan memasukkan dalam kas perse-kutuan perdata yang didirikan itu:
a. uang, atau
'credit, rumah/gedung, kendaraan bermotor/truk, alat perlengkapan kantor dan lain-lain.
c. tenaga kerja, baik tenaga fisik maupun tenaga pikiran.
Adapun cara-cara menyerahkan benda-benda pemasukan itu harus sesuai dengan peraturan penyerahan yang khusus bagi benda-benda yang bersangkutan, yakni mengenai:
1) benda bergerak yang bertubuh seperti yang ditentukan dalam Pasal 612 KUHPER;
2) benda bergerak yang tak bertubuh seperti yang ditentukan dalam Pasal 613 KUHPER;
3) benda tetap (tak bergerak): mengenai tanah sesuai dengan PP No. 10 Tahun 1961, sedangkan mengenai kapal terdaftar sesuai dengan S. 1933-48.
18. JENIS PERSEKUTUAN PERDATA
Ada dua jenis persekutuan perdata, yaitu:
a. Persekutuan Perdata Umum
Dalam jenis ini diperjanjikan suatu pemasukan yang terdiri dari
seluruh harta kekayaan masing-masing sekutu atau bagian tertentu dari harta kekayaan secara umum (onder algemene titel), artinya tanpa perincian. Persekutuan perdata macam ini dilarang oleh Pasal
1621 KUHPER. Rasio dari larangan itu ialah bahwa dengan adanya pemasukan seluruh atau sebagian harta kekayaan tanpa perincian itu, orang tidak akan dapat membagi keuntungan secara adil seperti ditetapkan dalam Pasal 1633 KUHPER. Dalam Pasal 1633 KUHPER ditentukan, bila bagian keuntungan dari masing-masing sekutu tidak ditentukan dalam perjanjian pendirian persekutuan perdata, maka pembagian keuntungan hams didasarkan atas keseimbangan pe-masukan dari masing-masing sekutu.
Persekutuan perdata jenis ini diperkenankan juga asal
diper-janjikan bahwa masing-masing sekutu akan mencurahkan seluruh
kekuatan kerjanya untuk mendapatkan laba yang dapat dibagi-bagi antara para sekutu. Persekutuan perdata jenis ini oleh Pasal
1622 KUHPR dinamakan "persekutuan perdata keuntungan"
(algehele maatschap van winst). b. Persekutuan Perdata Khusus
Dalam persekutuan perdata jenis khusus ini para sekutu masing-masing menjanjikan pemasukan benda-benda tertentu atau sebagian dari tenaga kerjanya (Pasal 1623 KUHPER).
B. PERIKATAN ANTARPARA SEKUTU
19. HUBUNGAN KE DALAM
Mengenai perikatan antarpara sekutu atau hubungan ke dalam ini diatur dalam Bagian Kedua, Bab VIII, Buku III, KUHPER, mulai Pasal 1624 s/d 1641. Hubungan ke dalam ini mengenai perikatan antara seorang sekutu dengan sekutu yang lain. Adapun jenis hubungan ter-sebut dapat diperinci sebagai berikut:
a. kewajiban memberikan pemasukan; b. asas kepentingan bersama;
c. pemeliharaan atau pengurusan;
d. perbedaan kedudukan hukum antara sekutu statuter dan sekutu mandater;
e. pengurus bukan sekutu;
f. kekuasaan berbuat sekutu statuter; g. arti pengurusan dan penguasaan; h. pembagian tugas antarpengurus; i. peraturan pemeliharaan (pengurusan); j. cara membagi keuntungan dan kerugian;
k. mutasi sekutu dari persekutuan perdata.
20. KEWAJIBAN MEMBERIKAN PEMASUKAN
Tiap-tiap sekutu hams memenuhi kesanggupannya untuk memberikan pemasukan (Pasal 1625 KUHPER), dengan ketentuan-ketentuan se-bagai berikut:
a. Terhadap benda-benda yang dimasukkan itu sekutu hams
men-jamin terhadap gugatan hak dari orang lain dan terhadap cacat yang tersembunyi. Cacat yang tersembunyi ialah cacat yang tidak dapat dilihat oleh pemeriksa biasa secara saksama. Hal ini sama dengan kewajiban penjual terhadap pembeli seperti diatur dalam Pasal 1491 KUHPER;
b. Kecuali benda dalam arti fisiknya, para sekutu juga dapat
memasuk-kan penggunaan atau manfaatnya (het genot) — Pasal 1631
ayat (1) KUHPER. Dalam hal yang dimasukkan itu manfaatnya, maka sekutu yang bersangkutan hams memikul risiko benda yang dimasukkan itu, kecuali bila benda itu sendiri turut dimasukkan, maka sekutu yang bersangkutan bebas dari risiko, karena risiko sudah di-ambil alih oleh persekutuan perdata (Pasal 1631 ayat (2) KUHPER); c. Pemasukan yang berwujud uang diatur dalam Pasal 1626 KUHPER.
Bila pada saat pemasukan seperti yang telah ditetapkan dalam per-janj ian tidak ditepati oleh sekutu yang bersangkutan, maka dia ha-ms membayar bunga selama belum setor. Keharusan membayar bunga itu terbit tanpa adanya tegoran (aanmaning) — Pasal 1626 ayat (1) KUHPER. Hal ini berbeda dengan Pasal 1250 ayat (3) bsd 1238 KUHPER. Lagi pula kepada sekutu yang bersangkutan yang alpa, bisa diminta penambahan bunga, jika untuk itu ada alasannya (Pasal 1626 ayat (3) KUHPER). Hal ini menyimpang dari ketentuan dalam Pasal 1250 ayat (1) KUHPER, yang hanya membolehkan bunga menurut undang-undang, yaitu 6% setahun (S.
1848-22). Begitu pula bagi seorang sekutu yang meminjam uang dari kas persekutuan, dia harus membayar bunga mulai dari saat dia meminjamnya (Pasal 1626 ayat (2) KUHPER);
d. Pemasukan yang berwujud tenaga kerja diatur dalam Pasal 1627
KUHPER. Sudah tentu tenaga itu harus sesuai dengan kebutuhan persekutuan, sehingga tenaga itu benar-benar dapat dimanfaatkan oleh persekutuan. Biasanya sekutu tersebut tidak menyumbangkan seluruh tenaganya, melainkan pekerjaan-pekerjaan tertentu meng-ingat akan kebutuhan persekutuan.
21. ASAS KEPENTINGAN BERSAMA
Asas ini tampak dijunjung tinggi dalam Pasal 1628 KUHPER, yang tidak membolehkan seorang sekutu lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama. Hal ini bisa terjadi secara kon-kret bi la pada suatu saat yang sama, seorang debitur hams membayar utangnya yang sudah dapat ditagih kepada salah seorang sekutu per-sekutuan perdata dan juga hams membayar utangnya kepada
perse-kutuan perdata yang sama. Misalnya: seorang debitur A mempunyai
utang Rp 1.000,— kepada B, sekutu persekutuan perdata "Usaha Ber-sama", dan mempunyai utang juga kepada persekutuan perdata yang
sama sebanyak Rp 2.000,—. Bila debitur A hanya dapat membayar
Rp 900,— untuk B dan persekutuan perdata "Usaha Bersama", maka
B hams memberikan 2/3 x Rp 900,— itu kepada "Usaha Bersama", yakni Rp 600,—, sedangkan yang Rp 300,— untuk B sendiri. Bila pem-bayaran utang itu dimaksudkan untuk dibayarkan atau dicicilkan selu-ruhnya kepada "Usaha Bersama", maka uang Rp 900,— itu hams dise-rahkan kepada "Usaha Bersama", sedangkan B tidak menerima apa-apa.
Mengenai berlakunya Pasal 1628 KUHPER itu ada dua pendapat yang agak berlainan, yaitu: