• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III MODEL PERNYAIAN DI JAWA. sangat besar, setelah tahun 1870 pelayaran menuju Hindia Belanda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III MODEL PERNYAIAN DI JAWA. sangat besar, setelah tahun 1870 pelayaran menuju Hindia Belanda"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

73

Pembukaan terusan Suez pada tahun 1869 memberikan pengaruh yang sangat besar, setelah tahun 1870 pelayaran menuju Hindia Belanda berlangsung hanya selama enam minggu. Padahal sebelum tahun 1870 pelayaran menuju Hindia Belanda rata-rata ditempuh selama dua setengah bulan atau sepuluh minggu. Maka, hingga tahun 1870 populasi penduduk Eropa di Hindia Belanda didominasi oleh para pegawai pemerintah, tentara kolonial, pengusaha perkebunan dan beberapa pengusaha kecil.1

Masyarakat kolonial Eropa yang terdiri dari para pendatang baru hanya bisa dijumpai di tempat-tempat tertentu di Nusantara. Masyarakat Eropa bertempat tinggal terutama di kota-kota besar di Jawa seperti Batavia, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, dan Surakarta.

Sejak dibukanya Hindia Belanda bagi pengusaha swasta, banyak penduduk Eropa dan kelompok kerja baru yang berdatangan ke Hindia Belanda khususnya Jawa. Jumlah orang Eropa pun meningkat tajam.

2

1

Reggie Baay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Beland, Jakarta: Komunitas Bambu, 2010, hlm. 35.

2

Ibid., hlm. 40.

Dalam hal jumlah tentu tidak dapat menyaingi jumlah dari masyarakat pribumi. Pada tahun 1880, terdapat 19,5 juta penduduk pribumi sedangkan orang Eropa

(2)

hanya berjumlah sekitar 50.000.3

Pernyaian merupakan gejala yang umum dan dapat diterima oleh banyak orang sebagai suatu cara penyesuaian diri laki-laki Eropa lajang demi kelangsungan hidup di tanah koloni. Menurut perkiraan terdapat lebih dari setengah jumlah keseluruhan laki-laki Eropa di koloni hidup bersama seorang nyai pribumi dalam 25 tahun terakhir pada abad ke-19.

Walaupun jumlahnya sedikit, kaum Eropa

totok mempunyai pengaruh yang besar sebagai kaum penguasa absolut.

4

Seorang laki-laki yang dikirim ke Hindia Belanda dan tidak menjalin hubungan dengan perempuan adalah sesuatu yang mustahil. Menahan diri dari urusan seks pun dikecam. Hal itu akan memicu adanya perilaku menyimpang yang asusila. Bahkan semasa pendidikan di Belanda, para calon pegawai pemerintah mendengar dari para dosen bahwa hubungan dengan seorang nyai adalah hal yang dianjurkan, setidaknya selama tahun-tahun pertama mereka di Hindia Belanda.

Menjelang akhir abad ke-19 sudah sangat biasa jika seorang laki-laki Eropa mengambil seorang nyai, begitu juga dari sudut pandang penduduk pribumi.

5

Bagi bangsa Belanda, menikahi perempuan-perempuan pribumi asli maupun yang berdarah campuran di Hindia Belanda adalah suatu kebiasaan yang normal. Masalah pernyaian dalam masyarakat Hindia Belanda memang Saat itu praktik pernyaian adalah hal yang sudah biasa dijumpai dan dianggap wajar dalam masyarakat Eropa.

3 Ibid. 4 Ibid., hlm. 44. 5 Ibid., hlm. 45.

(3)

unik. Bahkan bangsa kulit putih telah menjalani hidup bersama dengan perempuan-perempuan pribumi tidak hanya di Hindia Belanda saja, tetapi hampir di semua masyarakat kolonial, di Asia, Afrika, atau Amerika Selatan. Menurut Ian Buruma, kehidupan kolonial di mana-mana tampaknya agak digenangi oleh masalah seks.6

Pada akhir tahun 1925 ada 27,5 persen dari seluruh orang Eropa yang tinggal di Indonesia, yang memilih menikah dengan pribumi atau

Namun, di Hindia Belanda, pertemuan dua ras yang berbeda berkembang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari bentangan budayanya. Pertemuan dan percampuran antar ras menjadi bagian dari moral dan kebiasaan di wilayah Hindia Belanda, yaitu laki-laki lajang, baik dari kelas atas maupun kelas bawah akan hidup bersama dengan seorang nyai.

Hidup bersama seorang gundik atau nyai memberikan beberapa keuntungan. Hal itu dirasa menyenangkan bagi para laki-laki Eropa karena pernyaian menjamin keadaan yang tidak mengikat. Laki-laki Eropa ini menikmati keuntungannya tetapi tidak mau menanggung kerugiannya. Hidup dalam pernyaian memberikan dampak keteraturan terhadap perilaku hidup sang laki-laki Eropa. Mempunyai seorang nyai akan menahan laki-laki Eropa dari minuman keras, menjauhkan dari para pelacur, dan menjaga pola pengeluaran. Selain itu seorang nyai dapat menjelaskan bagaimana kehidupan di Hindia Belanda kepada tuan Eropa-nya. Nyai dapat mengajarkan bahasa pribumi dan memperkenalkan adat istiadat dan kehidupan di Hindia Belanda.

6

Frances Gouda, Dutch Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda

(4)

pasangan yang berdarah campuran. Proporsi ini tetap bertahan tinggi hingga tahun 1940, yang ketika itu turun menjadi 20 persen. Pada tahun 1930-an, hampir 30 persen dari total jumlah penduduk yang termasuk ke dalam klasifikasi “orang Eropa resmi” benar-benar lahir di Eropa. Sedangkan 70 persen sisanya, banyak yang memiliki sejumlah nenek moyang orang Indonesia, khususnya di Jawa. Seorang sosiolog, Wim Wertheim, memperkirakan bahwa di antara total populasi Sembilan puluh juta penduduk di kepulauan ini pada tahun 1942, terdapat sebanyak delapan sampai Sembilan juta penduduk yang memiliki satu atau lebih nenek moyang Eropa, meskipun hanya 220.000 yang secara resmi diberi status setara orang Eropa.7

Kebiasaan bangsa Eropa yang hanya memanggil dengan nama kelompok, bukan dengan nama depan ternyata juga berimbas kepada nyai. Dalam dunia sipil para nyai sering diapnggil dengan nama Mina. Sehingga anak-anak yang dilahirkan dari hubungan pernyaian kebanyakan tidak mengetahui nama asli ibu mereka, anak-anak ini mengetahui setelah dewasa dan membaca akta pengakuan dari ayah mereka.

Fakta-fakta yang dipaparkan oleh Frances Gouda tersebut telah memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa keberadaan seorang nyai atau gundik membawa perubahan yang sangat besar bagi penduduk Belanda. Seorang nyai tidak hanya mempengaruhi budaya tuan Eropa-nya, tetapi juga mempengaruhi garus keturunan yang berbeda dalam masyarakat Eropa khususnya Belanda. Apabila bangsa Inggris menganggap adanya separuh kasta (orang-orang Indo) melebihi batas sosial, bangsa Belanda lebih bersikap realistis. Bangsa Belanda menganggap hibriditas merupakan akibat yang tidak dapat dihindari dari kolonialisme.

8

7

Reggie Baay, loc.cit. 8

Ibid., hlm. 59.

Hal ini diperkuat dengan beberapa sumber yang ditemukan berupa conduitstaten dan stamboek yang

(5)

tidak menyebutkan nama terang dari nyai itu sendiri, hanya akan tertulis sebagai Mina atau Inlandesch Vrouwen. Sedangkan dalam masyarakat Batavia penyebutan seseorang perempuan yang hidup dalam pergundikan dengan laki-laki Eropa atau China akan jelas terlihat seperti dengan julukan dalam bahasa melayu rendah yaitu bini piaraan atau istri piaraan.9

Pengambilan seorang nyai pribumi oleh para laki-laki Eropa terbilang mudah. Hubungan antara majikan dan pelayan, dimana majikannya adalah seorang laki-laki Eropa lajang dan sang pelayan adalah seorang perempuan pribumi yang masih muda pada praktiknya menggiring pada pernyaian. Biasanya pelayan atau pembantu rumah tangga seorang majikan Eropa berjumlah lebih dari satu. Jika seorang majikan laki-laki Eropa menemukan nyai yang sesuai diantara para pekerja rumah tangganya, maka ia akan mengambil dan mengangkatnya sebagai nyai. Namun, jika seorang laki-laki Eropa tidak menemukan yang sesuai diantara para pembantu rumah tangganya, ia akan memerintah kepada salah seorang pembantu laki-lakinya agar mencarikan seorang gundik. Setiap orang Indis tahu apa arti perintah “tjari perempoean”, tulis seorang wartawan dan penulis, Henri Borel, dalam salah satu artikelnya mengenai pergundikan.10

9

Angger Tondo Asmoro, “Kesetiaan dan Resistensi: Pernyaian di Batavia, 1880-1900”. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM 2012, hlm. 66.

10

Reggie Baay, op.cit., hlm. 46.

Cara terakhir tesebut menjadikan terbukanya peluang bagi penyalur jasa nyai di Batavia. Tidak jarang jasa penyalur ini menjadi semacam kedok dalam melakukan tindak kejahatan terhadap perempuan pribumi di Batavia, misalnya penculikan,

(6)

pemerkosaan, dan penjualan perempuan dengan iming-iming disalurkan menjadi nyai dan mendapat gaji dan belanja tiap bulannya.11

Terdapat istilah khusus yang diberikan para majikan Eropa kepada pembantu rumah tangga pribumi, yaitu ‘babu’ untuk pembantu perempuan dan ‘jongos’ bagi pembantu laki-laki.12

Babu yang berparas cantik, berkulit bersih, berperilaku sopan, dan baik akan dipilih oleh majikan Eropa-nya. Selain karena semakin longgarnya sanksi terhadap pelaku pernyaian, praktik pernyaian juga ditunjang oleh keadaan masyarakat dengan banyaknya keluarga pribumi yang bersedia menjual anak gadisnya kepada para bujangan Eropa demi mendapatkan imbalan materi.

Pekerjaan sebagai babu bagi seorang perempuan pribumi merupakan harapan sebagai suatu jalan untuk memperoleh tingkat kehidupan yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan seorang babu kerap dimanfaatkan juga untuk melayani kebutuhan seksual tuan Eropa-nya. Posisi menjadi seorang nyai atau gundik menjadi suatu pilihan menarik bagi segolongan perempuan pribumi karena kondisi sosial dan ekonomi yang sangat menekan bagi penduduk peribumi pada saat itu.

13

11

Angger Tondo Asmoro, op.cit., hlm. 44.

12

Hayu Adi Darmarastri, “Keberadaan Nyai di Batavia 1870-1928”, dalam Lembaran Sejarah, Vol. 4 No. 2, 2002, hlm. 13.

Dilihat dari kondisi yang terjadi tersebut tidaklah aneh ketika pada pemerintahan Hindia Belanda praktik pernyaian mencapai puncaknya di Batavia.

13

Terence H. Hull, Endang S. dan Gavin W. Jones, Pelacuran di

Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997,

(7)

Cara lain untuk menjalin hubungan pernyaian adalah dengan melalui perjodohan. Hal ini sering terjadi di dalam keluarga Eropa baik-baik yang memiliki anak laki-laki remaja. Hubungan semacam ini kerap bersifat sangat sementara dan bertujuan agar para pemuda memiliki pengalaman bersama perempuan. Meskipun demikian dari hubungan-hubungan tersebut ada juga yang berlangsung lama. Perjodohan juga terjadi pada seorang perempuan pribumi yang diserahkan oleh ayahnya kepada seorang tuan Eropa. Hal ini sering terjadi kepada pejabat daerah, mereka biasanya akan memberikan anak gadisnya kepada seorang tuan Eropa agar dapat mengamankan kedudukannya. Nyai yang diambil dengan jalan ini dipandang lebih tinggi kedudukannya daripada nyai yang berasal dari seorang babu.14

Orang-orang pribumi juga bekerja di rumah aparatur pemerintahan dan pejabat tinggi Eropa. Biasanya orang-orang Eropa ini menempati rumah dinas yang bukan hanya mereka huni sendiri, namun disertai orang-orang pribumi sebagai pembantu rumah tangga. Sebagian besar kaum laki-laki Eropa digundahkan oleh ketidakhadiran seorang istri yang selayaknya mengurus kehidupan sehari-hari mereka. Oleh karena itu umumnya mereka mencari jalan keluar dengan mengawini wanita-wanita pribumi tersebut.15

14

Hayu Adi Darmarastri, op.cit., hlm. 14.

15

Fadly Rahman, Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial

1870-1942, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, lm. 35.

Bahkan golongan pedagang China yang kaya juga memelihara nyai, meskipun hubungan pernyaian tersebut tidak dapat dibicarakan secara

(8)

terbuka di dalam etika pergaulan masyarakat. Beberapa pajabat bahkan diketahui mempunyai lebih dari satu orang nyai.

Seorang nyai bertugas mengatur rumah tangga, dan hidup bersama laki-laki Eropa yang telah mengambilnya sebagai seorang nyai. Nyai akan tinggal bersamanya, makan dengannya, menemaninya dan tidur bersamanya. Namun, seorang nyai tidak mempunyai derajat yang sama dengan tuannya.

B. Pernyaian dalam Tangsi Militer

Eksploitasi atas Hindia Belanda yang subur dan besar tidak mungkin dilakukan tanpa penempatan militer bagi banyak negara besar. Berdirinya Hindia Belanda hanya dapat dijamin oleh keberadaan tentara permanen yang berkekuatan penuh. Hal ini diperkuat dengan banyaknya bangsa Asing yang menginginkan Hindia Belanda khususnya Jawa dari tangan Belanda, seperti Inggris. Kebutuhan akan tenaga dan kekuatan perang pun semakin dirasakan setelah Perang Diponegoro (1825-1830), karena berhasil menggoyahkan kekuasaan Belanda.

Atas alasan di atas maka dibentuklah pasukan kolonial, pada awalnya pasukan ini hanya terdiri dari delapan korps. Keseluruhannya berjumlah 13.000 serdadu bawahan dan perwira berpangkat rendah serta 640 perwi2ra. Jumlah mereka bertambah dari hamper 20.000 pada 1840 menjadi 30.000 pada 1882 dan mencapai 42.000 pada 1898.16

16

Reggie Baay, op.cit., hlm 90.

Pasukan ini hingga tahun 1933 hanya disebut sebagai tentara Hindia (Timur) atau tentara kolonial, sampai akhirnya oleh Hendrik Colijn, perdana menteri sekaligus mantan perwira

(9)

tentara kolonial memberikan nama Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger

(KNIL).

Para anggota KNIL direkrut dari penduduk Eropa dan pribumi. Tetapi karena banyaknya pemberontakan dan protes yang terjadi di beberapa wilayah Hindia Belanda, pemerintah Hindia Belanda membutuhkan lebih banyak lagi serdadu. Maka dilakukan perekrutan para serdadu baru. Para laki-laki yang mendaftar diri untuk menjadi tentara kolonial tidak hanya datang dari Belanda, tetapi juga dari bagian lain Eropa seperti Jerman, Swiss, Prancis, Austria, Polandia, dan Denmark.17

Basis militer Belanda di Jawa dibuat di daerah Gombong, Jawa Tengah. Pembuatan basis militer ini baru dimulai sejak Perang Jawa (1825-1830) Selain yang disebutkan sebelumnya serdadu kolonial di Hindia Belanda juga diwarnai para pemilik kulit hitam yang berasal dari Afrika. Hal ini dilakukan karena jumlah serdadu Eropa masih jauh dari cukup untuk memperkuat tentara kolonial.

Setibanya di tanah koloni, para serdadu ditempatkan dan diberi pendidikan militer di tangsi militer di Jawa. Pendidikan ini terdiri dari pelatihan serdadu, pengetahuan dasar menggunakan senjata dan penyuluhan mengenai penyakit-penyakit kelamin. Selain memperoleh pendidikan, di dalam tangsi militer para serdadu dituntut untuk dapat beradaptasi dengan kehidupan di dalamnya. Kehidupan baru, dimana terjadi pertemuan berbagai budaya dan bangsa yang berbeda, baik antar laki-laki maupun laki-laki dengan perempuan yang tinggal bersama di dalamnya.

17

(10)

berakhir. Basis militer ini merupakan antisipasi apabila ada perlawanan dari daerah Kasultanan Yogyakarta dan sekitarnya. Membangun basis militer skala besar di Yogyakarta sangat tidak etis, karena di sana telah ada benteng Vredeberg. Basis militer Belanda di Gombong ini adalah yang terbesar. Di sana, terdapat depot pelatihan tentara. Dalam hal ini, Belanda sukses, banyak pemuda dari daerah itu yang menjadi prajurit sampai kini.18

Selain mempunyai basis militer di Jawa, KNIL juga mempunyai korps bantuan atau barisan dari raja-raja local. Masing-masing korps barisan memiliki kedudukan di wilayah masing-masing. Barisan Madoera berkedudukan di Bangkalan, dalam barisan terdapat tiga kesatuan yakni; Korps Barisan Pamekasan; Korps Barisan Semenep; dan Korps Barisan Bangkalan. Ketiga Korps itu berada di bawag pengawasan Gubernur Jawa Timur.19 Perkembangan KNIL hingga September tahun 1922, KNIL membagi kekuatannya di Jawa dalam dua Divisi. Divisi pertama dengan komandan jenderal mayor yang merangkap sebagai komandan territorial Jawa pertama dengan kedudukan sama di Waltevreden (Jakarta). Sedangkan Divisi kedua juga dipimpin seorang jenderal mayor dan mengawasi daerah territorial Jawa kedua dengan kedudukan di Magelang.20

Kehidupan antara serdadu dengan perempuan-perempuan yang tinggal dalam tangsi digambarkan Mantan Perwira KNIL, S.E.W. Roorda van

18

Petrik Matanasi, Sejarah Tentara: Munculnya Bibit-bibit Militer di Indonesia Masa Hindia Belanda sampai Awal Kemerdekaan Indonesia.

Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2011, hlm. 13.

19

Ibid., hlm. 22.

20

(11)

Eysinga dengan sangat memprihatikan. Hubungan seksual di dalam barak militer selayaknya hewan, karena mereka melakukan hubungan seksual dalam tangsi tanpa sekat-sekat yang menutup di setiap tempat tidur;

Ratusan prajurit tidur bersama gadis atau pembantu rumah tangga mereka di tempat tidur, bahkan tidak dipisahkan oleh tirai satu dengan lainnya. Tanpa megindahkan kesopanan mereka bercinta, di hadapan para penghuni lain, tak ubahnya seperti seekor sapi, kuda, orang negro Kongo, Hottentotten (suku pengembara di Namibia/Afrika), dan berbagai macam hewan sejenisnya atau manusia yang hidup di alam bebas.21

Pada paruh kedua abad ke-19, praktik hidup bersama menjadi kehidupan baru dalam tangsi-tangsi di Hindia Belanda. Mereka kadang berada dalam satu bangsal bersama seratus serdadu. Para serdadu itu tidur dengan “gundik-gundiknya” di tempat tidur kayu tanpa tirai dan bersenggama “tanpa rasa kesopanan”.

Selain pernyataan di atas, S.E.W. Roorda van Eysinga juga memberikan pernyataan sinis bahwa;

22

Berbeda dengan serdadu yang berasal dari luar Hindia Belanda, serdadu pribumi yang masuk dalam tentara kolonial biasanya sudah menikah dan menjadi kepala keluarga di usia muda. Hal ini terjadi karena kebiasaan perjodohan di kalangan orang Jawa. Mereka pun yang telah menjadi tentara kolonial tidak serta merta melepaskan kehidupan sosial dan seksual mereka. Mereka oleh pemimpin KNIL, Jenderal Haga, diizinkan untuk melanjutkan hubungan di dalam tangsi.23

21

Roorda van Eysinga, Verzamelde Stukken, VI, 7, dikutip dari Bossenbroek, Valk voor Indië, 210-211, dalam Frances Gouda, Dutch Culture

Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,

1995, hlm. 198.

22

Ineke Van Kessel, Serdadu Afrika di Hindia Belanda 1831-1945.

Jakarta: Komunitas Bambu, 2011, hlm. 212.

23

Reggie Baay, op.cit., hlm. 94.

(12)

yang lajang diizinkan hidup bersama tanpa pernikahan dengan perempuan pribumi di dalam tangsi. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kecemburuan dan kemarahan tentara kolonial yang masih lajang.

Dalam sebuah surat oleh pemimpin KNIL, Jenderal Haga, kepada Menteri Penjajahan L.W.Ch. Keuchenius, yang menekankan pentingnya pergundikan dalam perekrutan serdadu;

Bagi para Pribumi […] yang merupakan bagian dari tentara, ditinggalkan di sana bahkan bisa menyebabkan pembunuhan dan kematian. Pelarangan pergundikan tangsi pasti akan memberi pengaruh yang merugikan dalam merekrut para Pribumi dan orang-orang Ambon. Untuk menguatkan pendapat ini dapat dilihat bagaimana mereka kembali ke dalam tangsi sehabis menjalankan tugas. Para perempuan pembantu pasangan mereka mengurus pakaian dan senjata, menyiapkan beberapa kudapan dan sebagainya. Ketidakhadiran para perempuan ini dianggap sebagai suatu kehilangan yang besar oleh para serdadu.24

Maka di bawah pemerintahan Menteri Daerah Jajahan Keuchenius (1888-1890), tangsi-tangsi disekat-sekat untuk para prajurit yang telah memiliki pasangan.25 KNIL pun menjadi ketentaraan yang secara resmi mengizinkan serdadunya tinggal bersama, tanpa ikatan pernikahan, dengan perempuan pribumi di dalam tangsi. Tangsi tentara kolonial menjadi tempat dimana

Jan26, Kromo27

24

Van Rees, dalam Reggie Baay, Nyai dan Pergundikan di Hindia

Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010, hlm. 94.

25

Reggie Baay, loc.cit. 26

Jan adalah julukan yang diberikan kepada serdadu Eropa.

27

Kromo adalah julukan yang diberikan kepada serdadu pribumi.

, dan Sarina tinggal. Keadaan tersebut tidak berlaku bagi

(13)

dalamnya, namun pada beberapa tahun kemudian diketahui bahwa hampir setengah dari Tentara kolonialnya melakukan tindakan yang buruk.28

Pada tahun 1888, dari 13.062 anggota militer Eropa di dalam KNIL hanya 147 yang menikah dan 2.930 yang hidup dalam pernyaian, sedangkan sisanya masih lajang. Perbandingan ini bertahan hingga tahun 1900.29

Dalam Gedenkboek KNIL, pujian penuh penghargaan ditujukan kepada “pasukan kecil” Sarina, yaitu pelayan-pelayan dalam tangsi yang mengurus keperluan hidup prajurit.

Para anggota militer yang telah mampu berkeluarga dan menikah lebih memilih hidup bersama gundik atau Sarina daripada harus menikah. Selain keterbatasan jumlah perempuan Eropa, hal ini dikarenakan pernyaian akan lebih menguntungkan.

30

Seorang nyai dikenal tidak menuntut banyak, hubungan dengan perempuan pribumi pun sederhana dan dapat diakhiri kapan saja. Untuk memperoleh izin hidup dalam pernyaian, seorang anggota militer harus Seorang Sarina digambarkan sebagai perempuan muda yang cantik dan genit, atau perempuan tua dengan umur tidak dapat diperkirakan. Mereka, para Sarina menjalani posisinya dengan segala suka dan duka, berbagi makanan dengan serdadu Eropa atau berbagi tempat tidur dengan prajurit pribumi.

28

Hanneke Ming, dalam Siti Utami Dewi Ningrum, “Sarina dan Tentara Kolnial: Kekerasan Terhadap Nyai Tangsi Pada Masa Kolonial Hindia Belanda di Jawa”, dalam Histma, Vol. 3/Desember 2013, hlm. 51.

29

Reggie Baay, op.cit., hlm. 96.

30

(14)

memenuhi beberapa syarat terlebih dahulu. Untuk memiliki seorang Sarina, seorang anggota tentara harus memberi bukti kelakuan baik dari perempuan yang bersangkutan. Bukti ini harus diberikan oleh pihak berwenang setempat dan kemudian diterima secara resmi oleh panglima militer. Jika terbukti benar, maka sang pemohon diberi izin dan secara resmi sang gundik diizinkan bergabung dengan militer dalam tangsi. Gundik tersebut lalu didata di dalam daftar khusus. Di dalamnya dicatat nama, tempat kelahiran, nama anggota militer yang bersamanya dan tanggal masuknya.31

Pernyaian tidak hanya terjadi di tangsi-tangsi militer di wilayah Jawa saja, di sejumlah wilayah luar Jawa juga demikian keadaannya. Praktik pernyaian juga dilakukan di dalam tangsi di lini Aceh. Sekitar delapan perempuan pribumi ditempatkan di setiap kompi.32

Peran para nyai tangsi antara lain sebagai pembantu, baik itu mengurus rumahtangga, memasak makanan, mencuci, berbelanja, maupun sebagai teman tidur serta semua peran yang ada. Seorang Sarina juga melahirkan anak dari laki-laki yang hidup dalam pernyaian bersamanya. Selain yang disebut diatas, membantu untuk menghadapi iklim dan penyakit tropis adalah peranan seorang nyai bagi derdadu kolonial. Sarina akan mengenalkan obat-obatan tradisional kepada tuan serdadu mereka. Dalam berbagai laporan dan

Para perempuan pribumi yang biasa disebut nyai ini dipekerjakan untuk memasak, mencuci, dan mengurus segala sesuatu, juga sebagai teman tidur.

31 Ibid. 32

(15)

ikhtisar, daya tahan serdadu yang berasal dari serdadu Afrika memang dipuji, tetapi jumlah kematian di antara orang Afrika tidak kurang dari prajurit KNIL Eropa. Mereka tahan terhadap iklim, namun tidak terhadap penyakit-penyakit tropis. Orang Afrika tidak memiliki daya tahan terhadap penyakit-penyakit yang berasal dari Hindia Belanda, yang ketika itu belum ada di Afrika.33

Seorang Sarina tahu cara memanfaatkan gaji kecil untuk mendapatkan makanan lezat. Mereka menyediakan minuman segar ketika suaminya datang seusai latihan yang melelahkan.34

33

Ibid., hlm. 155.

34

Ibid., hlm 211.

Di dalam tangsi yang dingin, hampa, dan tidak menyenangkan, Sarina memberikan rasa kekeluargaan dan kehangatan. Karena itu peran seorang Sarina tidak dapat dihilangkan sama sekali di dalam tangsi militer atau pos-pos luar.

Hubungan pernyaian antara serdadu dengan perempuan pribumi disebutkan dapat mencegah serdadu dari tindak asusila, karena laki-laki yang mempunyai pasangan tidak akan menggunakan uangnya untuk mabuk-mabukan. Resiko terkena penyakit kelamin pun kecil, karena ia hanya berhubungan dengan hanya satu perempuan. Mereka para bintara yang memiliki pasangan mempunyai kamar sendiri-sendiri. Prajurit tidur bersama isteri-isteri di bangsal serdadu yang dipisahkan dengan sekat, dan setiap malam, pasangan bisa menutup tempat tidur dengan kelambu lalu mematikan lampu.

(16)

Untuk menjadi seorang nyai di tangsi militer KNIL terdapat beberapa jalan, ada seorang perempuan pribumi yang menawarkan diri, atas permintaan serdadu atau ditawarkan sebagai nyai oleh keluarga mereka. Ada juga hubungan pernyaian yang terjalin karena para serdadu mencari sendiri nyai mereka di sekitar tangsi. Banyak gadis dan perempuan muda pribumi yang bekerja di warung-warung makan dekat tangsi dan kemudian menjadi nyai dengan cara demikian.35

Pada saat itu bahkan terdapat sebuah kelompok gundik tangsi profesional, yaitu para perempuan yang memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan menawarkan diri menjadi gundik anggota militer kolonial. Gundik tangsi profesional akan berdiri di gerbang tangsi dan menawarkan diri kepada para serdadu yang baru datang dari Eropa dan kepada mereka yang sedang mencari nyai.36

Rata-rata umur seorang nyai di dalam tangsi tentara kolonial berusia antara 12-35 tahun. Usia menikah bagi anak perempuan pribumi pada waktu itu adalah sekitar 13 tahun, jadi bukan hal yang aneh jika seorang anak perempuan berusia 12 tahun sudah hidup dalam pernyaian. Ketika seorang nyai yang berusia 30 tahun, ia akan dianggap sudah tua. Kecemasan bahwa suatu hari akan diusir menjadikan nyai harus berusaha keras untuk dapat mempertahankan kedudukannya. Jika seorang gundik yang dianggap sudah Gundik-gundik ini sudah berpengalaman, dan memberikan pelayanan yang baik kepada para serdadu calon pasangan mereka.

35

Reggie Baay, op.cit., hlm. 100.

36 Ibid.

(17)

tua benar-benar disuruh pergi oleh serdadu yang tinggal bersamanya maka ia akan mendapat apa yang disebut sebagai “surat lepas” di dalam tangsi.37

Pernyaian sebagai salah satu cara untuk mempertahankan hidup merupakan sebuah alasan pragmatis. Sekiranya itu alasan yang bisa dipahami mengingat kehidupan masyarakat pribumi pada saat itu terkungkung dalam kemiskinan. Lahan pekerjaan mereka pun sangat terbatas untuk pribumi

Di dalam tangsi militer terdapat juga nyai Indo, yaitu mereka yang lahir dari perkawinan seorang laki-laki Eropa dan perempuan pribumi. Dapat dikatakan mereka adalah seorang nyai yang berasal dari pergundikan. Bisa diprediksikan juga bahwa nantinya anak-anak dari hubungan pergundikannya dengan serdadu militer juga akan menjadi seorang gundik pula. Biasanya seorang gundik Indo akan menjadi pasangan seorang perwira berpangkat rendah atau sejenisnya. Maka kedudukannya akan lebih tinggi daripada gundik seorang serdadu.

Bagi seorang perempuan pribumi, menjadi seorang nyai merupakan sebuah dilema sosial tersendiri, mengingat mereka adalah seseorang yang berasal dari negara yang terjajah. Seorang nyai harus melayani seorang kafir Eropa dan merendahkan diri mereka di depan bangsa sendiri serta harus terpaksa menempatkan diri di luar masyarakat pribumi. Posisi mereka bukanlah seorang pelacur, walaupun seorang gundik dianggap rendah oleh masyarakat pribumi atau pun masyarakat Eropa. Posisi seorang gundik adalah diantara perempuan biasa dan seorang pelacur.

37

(18)

karena keterbatasan pendidikan dan keahlian. Menjadi seorang gundik bagi perempuan pribumi setidaknya menjadi sebuah kesempatan, kesempatan untuk merubah hidup menjadi lebih baik. Bahkan terkadang menjadi satu-satunya harapan untuk terlepas dari kemiskinan. Keputusan menjadi seorang nyai bagi serdadu Eropa sama dengan keputusan gundik dalam masyarakat sipil. Setidaknya menjadi seorang nyai akan memberikan pendapatan yang teratur, memberikan kepastian hidup, dan peningkatan materi. Para Sarina ini terkadang mendapat penghasilan tambahan dengan mencuci pakaian para serdadu atau memasak untuk mereka.

Sama dengan pernyaian yang lain, nasib masa depan seorang Sarina tetap tidak ada kepastian, bayang-bayang pengusiran oleh Tuan Eropa-nya terus mengintai. Bagaimanapun juga, seorang anggota militer pasti suatu saat akan dipindah tugaskan ke wilayah baru atau kembali ke Eropa, tempat asalnya setelah habis kontrak. Bagi Sarina dan anak-anaknya, ada empat kemungkinan yang terjadi, yaitu;38

1. Sang nyai dan anak-anaknya ikut bersama ke tempat yang baru. 2. Sang anggota militer berangkat dan meninggalkan nyai dan

anak-anaknya dengan nasib mereka.

3. Sang nyai dan anak-anak dialihkan kepada rekan yang masih tinggal di Hindia Belanda

4. Sang anggota militer membawa anak-anaknya ke suatu tempat sebelum berangkat.

Untuk mempertahankan kedudukannya, seorang nyai dalam tangsi tentara kolonial dituntut untuk kuat, baik itu untuk menghadapi para serdadu yang umumnya kasar dan kurang beradab maupun menghadapi persaingan

38

(19)

dan kecemburuan antar sesama nyai. Tidak jarang seorang nyai juga lemah lembut dan penuh kasih sayang serta sabar dalam menghadapi pasangan serdadunya. Dengan mengenakan kebaya putih berlengan pendek, Sarina terbiasa mengerjakan banyak hal tanpa diminta dan tidak suka merengek. Hal tersebutlah yang menjadi alasan penting oleh para panglima ketentaraan untuk tetap mempertahankan dan mengizinkan praktik pernyaian di dalam tangsi militer.

Meskipun dengan adanya para nyai di tangsi militer dianggap memberikan keuntungan tersendiri, bukan berarti tidak ada protes sama sekali atas pernyaian di dalam tangsi militer. Dalam pelaksanaannya, terdapat kondisi yang tidak jarang menimbulkan beberapa masalah, baik moral maupun fisik. Kehidupan liar dalam tangsi serta bobroknya moral dalam ketentaraan kolonial kian tersebar di tengah masyarakat luas. Orang-orang beranggapan bahwa hubungan tanpa pernikahan mereka dengan para perempuan pribumi adalah penyebabnya.

Pernyaian juga dianggap sebagai penyebab masalah penyakit kelamin di kalangan laki-laki serdadu KNIL. Pemecahan masalah penyakit kelamin terus-menerus dikaitkan dengan pernyaian. Banyak dokter Indies terkenal yang mulai menjalankan aksi menentang pergundikan karena mengkhawatirkan peliknya permasalahan penyakit kelamin di dalam tangsi.39

39

Ibid., hlm. 108.

Keadaan semakin panas dengan banyaknya selebaran yang menyudutkan pernyaian. Masyarakat di Hindia Belanda maupun Belanda semakin

(20)

menganggap bahwa tangsi tentara kolonial sebagai tempat melakukan perbuatan hina yang diikuti dengan kemunduran moral sebagai dampak pernyaian yang tercela. Seruan-seruan untuk menghapus pernyaian pun kian keras bergema.

Seorang serdadu Belanda pernah bercerita dalam sebuah tulisan di sebuah majalah mengenai kehidupan seksual di tangsi militer. Para serdadu, yang tinggal bersama istri, peliharaan (wanitanya), dan anak-anak dengan tempat tidur yang sempit, seperti tenda pengungsian bencana alam. Tidak jarang, di antara serdadu itu ada yang menjual isterinya semalam suntuk untuk tidur dengan kawan serdadunya yang lain.40 Selain itu masih banyak serdadu KNIL yang dijumpai masih senang mencari pelacur di sekitar tangsi. Maka tidak heran apabila penyakit kelamin menyebar di wilayah tangsi militer. Hal ini oleh pemerintah colonial sebelum tahun 1920 dibiarkan begitu saja. Tahun 1930-an, kondisi perekonomian para serdadu mulai memungkinkan untuk berumah tangga dan hidup sederhana, gaji mereka bertambah. Sebelumnya, hal ini sulit sekali dan kehidupan seksual serdadu cukup kacau.41

Menggunakan dasar-dasar agama Kristen, pernyaian di tangsi tentara kolonial tidak diperbolehkan dan ditentang habis-habisan. Bahkan sejumlah politikus menganggap bahwa hubungan homoseksual antar laki-laki

40

Petrik Matanasi, KNIL: Koninklijk Nederlandsche Indische Leger Bom

Waktu Tinggalan Belanda. Yogyakarta: MedPress, 2007, hlm. 33.

41

R. P. Suyono, Seks Kekerasan Pada Zaman Kolonial: Penelusuran

(21)

(konsekuensi logis dari penghapusan pernyaian) lebih baik. Para penentang pernyaian bahkan tidak hanya berasal dari kalangan yang membenci kaum pribumi, tetapi juga dari kalangan yang membela sang nyai, perempuan-perempuan pribumi tersebut. Penganiayaan dan nasib malang sang anak yang dilahirkan dari hubungan pernyaian menjadi alasan mereka menentang praktik pernyaian.

Terlepas dari perdebatan pro dan kontra praktik pernyaian di tangsi militer KNIL tahun 1918, ada argument yang menyatakan, “berbagai tempat tidur dengan gundik sesungguhnya memperkaya dan meningkatkan kesehatan dan moral serdadu”.42

Sarina, kamu berhak menerima lebih banyak penghargaan dan nasib yang jauh lebih baik. Seperti halnya “Serdadu yang Tidak Dikenal” kamu berhak atas sebuah patung dari seluruh tentara Hindia Belanda, dari yang berpangkat rendah sampai tinggi. Karema Hindia Belanda harus berterimakasih pada tentara karena tentara harus sangat berterimakasih kepadamu.

Kehadiran seorang Sarina kenyataannya membawa berbagai keuntungan di kedua pihak, baik pihak serdadu maupun dari nyai sendiri. Kehadiran seorang Sarina mampu mengendalikan tabiat buruk para serdadu militer, Sarina mengurus berbagai hal dalam tangsi. Karena itu, seorang nyai berhak menerima nasib yang lebih baik, terlepas dari kenyataan yang nyai dapat, nyai bahkan tidak diterima di tempat mereka berasal. Seperti yang diutarakan oleh seorang mantan perwira bernama L.H.C. Horsting dalam harian Semarang De Locomotief pada 24 November 1928;

43

42

Frances Gouda, op.cit., hlm. 198-199.

43

(22)

C. Pernyaian dalam Perkebunan-perkebunan

Terdapat satu tempat yang juga tidak dapat terlepas dari praktik pernyaian, yaitu perkebunan-perkebunan. Berubahnya lahan hutan menjadi perkebunan secara besar-besaran terutama terjadi setelah tahun 1870. Wilayah Hindia Belanda oleh pemerintah Belanda dibuka untuk para pengusaha swasta, dan memperbolehkan tanah di wilayah Hindia Belanda disewakan. Setelah itu, banyak tenaga kerja buruh yang berbondong-bondong bermigrasi ke wilayah perkebunan untuk bekerja, baik tenaga kerja laki-laki maupun perempuan. Tenaga kerja ini kebanyakan berasal dari pribumi, khususnya Jawa.

Selain di Jawa, perkebunan juga banyak didirikan di wilayah Sumatera, khususnya Sumatera Timur. Fenomena yang terjadi di dalam perkebunan pun hampir sama, yaitu adanya praktik pernyaian terhadap buruh-buruh perempuan. Awalnya, tenaga kerja perempuan sama sekali tidak disebutkan sebagai sumber tenaga kerja. Perusahaan sama sekali tidak tertarik mendatangkan pekerja perempuan China, karena terdapat berbagai rintangan hukum dan sosial yang menentang emigrasi perempuan China keluar negara China.44

44

Lukitaningsih, Buruh Perempuan di Perkebunan Karet Sumatera Timur 1900-1940, Tesis, Pascasarjana UGM, 2003, hlm. 73.

Perempuan yang direkrut ke Sumatera Timur pada awalnya adalah para istri dari buruh kontrak dan perorangan, mereka direkrut selain sebagai

(23)

tenaga kerja juga untuk memenuhi kebutuhan seks dari tuan kebun, mandor, dan buruh laki-laki.45

Tuan kebun kemudian mulai menyadari arti penting faktor produksi tenaga buruh perempuan, karena mereka dapat dibayar dengan upah murah dan tersedianya cadangan tenaga kerja. Pihak perkebunan akan dapat mengeksploitasi tenaga buruh perempuan, dengan upah yang murah, karena faktor produksi tenaga kerja mampu memberikan keuntungan produksi secara maksimal, sehingga dapat menekan biaya operasional. Selain itu, upaya perekrutan tenaga buruh perempuan dilakukan karena proses peningkatan produksi di dalam kegiatan perkebunan memerlukan tenaga buruh yang benar-benar tekun, teliti dan rajin, yang bekerja dibagian pembibitan, penanaman, penyadapan, dan pemeliharaan. Di dalam pabrik, buruh perempuan bekerja dibagian pengasapan, penggilingan, penyortiran, dan pengepakan.46

45

Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli, Politik Kolonial, Tuan Kebun

dan Kuli di Sumatera Timur Abad ke 20, Jakarta: Grafiti Press. 1997, hlm. 92-95.

46

Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah

Pembahasan Sosilogi Tentang Peranan Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta:

Gramedia, 1985, hlm. 4.

Perbandingan antara buruh laki-laki dengan buruh perempuan di perkebunan masih sangat jauh. Sebagai gambaran perbedaan jumlah yang sangat signifikan di dalam perkebunan antara buruh laki-laki dengan buruh perempuan dapat dilihat dalam tabel perbandingan di bawah ini:

(24)

TABEL III.

Perbandingan Sex Ratio antara Buruh Laki-laki dan Buruh Perempuan di Perkebunan Karet pada Tahun 1908-1938

Periode 5 Tahun

Tahun Buruh Kontrak Buruh Bebas Sex

Ratio Buruh L/M Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

1908 102.119 10.315 ……… ……….. 9,9 1913 309.841 172.134 6.862 3.812 1,8 1918 269.651 179.767 6.198 4.132 1,5 1923 212.822 177.352 11.411 9.509 1,2 1928 428.881 186.470 57.746 25.107 2,3 1933 103.597 64.748 147.999 92.499 1,6 1938 121.646 110.587 101.078 91.889 1,1

Sumber : Verslag Arbeidsinpectie 1908-1938, dalam Lukitaningsih,Buruh

Perempuan di Perkebunan Karet Sumatra Timur 1900-1940”, Program Pasca

Sarjana UGM 2003,hlm. 93.

Wilayah perkebunan adalah tempat yang banyak memunculkan terjadinya kotak sosial antara orang Eropa dan pribumi. Orang-orang pribumi bekerja di perkebunan orang Eropa sebagai tenaga kerja yang dikenal dengan sebutan kuli. Di tempat ini terdapat pula tenaga kerja wanita yang jumlahnya jika dibandingkan dengan tenaga kerja laki-laki terbilang minoritas.47

47

Fadly Rahman, op.cit., hlm. 35.

Banyak buruh kontrak perempuan dipaksa hidup dalam pernyaian dengan laki-laki Eropa. Bisa dikatakan pernyaian yang terjadi di perkebunan lebih buruk dari

(25)

praktik pernyaian yang terjadi di tengah masyarakat sipil atau di dalam tangsi militer.

Kenyataan mengenai pengusaha perkebunan Eropa yang hidup bersama seorang nyai bukanlah suatu hal yang baru di Jawa. Perkebunan kopi dan teh yang terletak di daerah Priangan, Jawa Barat, dan perkebunan tebu di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi tempat praktik pernyaian yang terjadi bertahun-tahun lamanya. Perkebunan-perkebunan tersebut dikuasai oleh pihak asing setelah pemerintah menjualnya kepada pengusaha swasta. Para pemilik tanah bertindak sebagai penguasa feodal karena penduduk termasuk kepala desa di bawah kekuasaan para tuan tanah. Tidak hanya berhak atas sebagian hasil panen, para tuan tanah juga berhak untuk melakukan kerja paksa terhadap para kuli kontraknya, tidak peduli itu laki-laki ataupun perempuan.

Seperti halnya pernyaian di tengah masyarakat sipil maupun dalam tangsi militer, seorang nyai di perkebunan juga lah yang membebaskan tuannya (dalam hal ini sang pengusaha perkebunan Eropa) dari rasa kesepian dalam keterasingan di perkebunan. Sang nyai juga bertugas mengurus rumah tangga, memenuhi kebutuhan seksual dan tidak jarang menjadi jembatan sang pengusaha perkebunan dengan lingkungan pribumi, baik urusan bahasa, kebiasaan, maupun hubungan perdagangan.

Pembukaan perkebunan yang sangat luas mengakibatkan kebutuhan akan tenaga kerja yang banyak pula. Tidak hanya dibutuhkan pegawai perkebunan yang didatangkan dari Eropa, tenaga kerja kuli pun sangat

(26)

dibutuhkan bahkan dalam jumlah yang lebih banyak dari pegawai. Jumlah laki-laki Eropa yang datang ke perkebunan di Hindia Belanda semakin meningkat sejak tahun 1870, kebanyakan dari mereka masih muda. Para laki-laki Eropa ini berasal dari berbagai wilayah, di samping orang Belanda, dijumpai pula orang Jerman, Belgia, Prancis, Swiss, Austria, Polandia, dan Hongaria.48

Laki-laki Eropa yang bermigrasi ke Hindia Belanda untuk bekerja di perkebunan didominasi oleh laki-laki lajang. Hal ini merupakan kebijakan sadar perusahaan-perusahaan yang bahkan menetapkan ketentuan pernikahan bagi pegawai Eropa. Hal itu tidak lebih dan tidak kurang merupakan eufimisme atas larangan menikah selama enam tahun pertama bagi orang Eropa yang bekerja di perkebunan. Setelah periode tersebut, para pegawai Eropa mendapat izin untuk menikah.49

Perekrutan buruh kuli pun dilakukan demi memenuhi kebutuhan tenaga kuli yang banyak di perkebunan. Kuli-kuli diambil dari daerah-daerah yang padat penduduknya, tidak hanya dari kaum pribumi tetapi ada juga kuli yang berasal dari China dan Malaysia. Mereka berasal dari lapisan masyarakat paling rendah di pedesaan, yaitu kaum proletar yang tidak memiliki apa-apa. Jika sebelumnya mereka berada dalam kondisi yang memprihatinkan, setelah direkrut untuk bekerja di perkebunan mereka pun kembali kepada kondisi yang tidak jauh berbeda, tanpa harapan. Para majikan Eropa menganggap

48

Reggie Baay, op.cit., hlm. 137.

49 Ibid.

(27)

buruh-buruh kuli sebagai bagian inventaris yang dapat dijadikan hak milik dengan mudah.

Kebutuhan buruh kontrak yang semakin meningkat menyebabkan pengusaha perkebunan melakukan perekrutan buruh perempuan pribumi dalam skala besar. Di sisi lain, perekrutan buruh perempuan ini dilakukan untuk menjawab kebutuhan sosial dan seksual para buruh kuli laki-laki yang juga terus meningkat. Para buruh perempuan sebagian besar berasal dari Jawa, dan mereka biasanya berasal dari kelompok masyarakat miskin. Menjadi buruh kontrak di perkebunan menjadi suatu harapan untuk keluar dari kehidupan yang tanpa masa depan. Walaupun dalam kenyataannya, kehidupan mereka di perkebunan lebih berat, bahkan lebih berat dari buruh kuli laki-laki karena dalam hirarki dunia perkebunan, buruh perempuan berada di posisi paling rendah.

Wanita yang bekerja di perkebunan dan skaligus menjadi isteri, sehingga secara fisik menanggung beban yang amat berat. Tidak mengherankan apabila kehidupan di Deli terkenal serba berat maka pergi ke Deli berarti seperti menjalani suatu hukuman sehingga memerlukan pertimbangan sunguh-sungguh sebelum memutuskan untuk bermigrasi ke sana, bahkan anak ditakut-takuti akan dibawa ke Deli apabila tidak berkelakuan baik.50

Struktur sosial dalam perkebunan swasta di Hindia Belanda tidak jauh berbeda dengan struktur dalam masyarakat Hindi Belanda secara umum,

50

Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di

Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media, 1991, hlm.

(28)

dimana kelompok Eropa tetap berada di puncak hierarki, sedangkan kaum pribumi yang mayoritas berada paling bawah. Yang membedakan adalah kedudukan, fungsi, dan peranannya dalam perkebunan itu sendiri. Sejak perintisan perekebunan, bangsa Eropa berkedudukan di lapisan atas berdasarkan peranannya sebagai pengambil prakarsa, penanaman modal, pengelola, pendeknya selaku wiraswastawa utamanya. Tenaga buruh yang didatangkan dari luar daerah untuk dieksploitasi tenaga kasarnya di lapangan dalam proses penanaman, pemeliharaan, dan penuaian. Kemudian dalam proses pengolahan bahan mentah di pabrik di pabrik atau los-los masih banyak diperlukan tenaga manusia juga. Dengan demikian peran tenaga pribumi dan China, Keling, dan lain-lain, ditempatkan pada lapisan bawah.51

Hierarki sosial tidak hanya terlihat dalam kekuasaan dan pekerjaannya saja, namun juga dalam lay-out pemukimannya. Pemukiman di perkebunan terlihat sangat kontras antara daerah kediaman bangsa Eropa dengan perkampungan kaum pribumi atau golongan non-Eropa lainnya. Dalam pergaulan juga terbatas di dalam komunitas atau golongan saja. Untuk hiburan dan bentuk-bentuk rekreasi lainnya, kaum Eropa berkumpul di Untuk menjalin hubungan antara kedua lapisan tersebut dibutuhkan perantara, yaitu seorang tenaga pembantu dan pengawas. Pembantu dan pengawas yang biasa disebut dengan asistenini kebanyakan diisi oleh pegawai-pegawai dari Eropa. Seorang asisten mengepalai beberapa mandor yang bertugas mengawasi para tenaga buruh atau kuli.

51

(29)

societeit atau disingkat soos, antara lain minum-minum, dansa-dansi, main kartu, bilyar, dan lain sebagainya.52 Kekurangan wanita Eropa di lingkungan kaum Eropa menyebabkan golongan Eropa yang masih rendah kedudukannya tidak jarang mengambil seorang wanita pribumi sebagai nyai atau gundik. Mereka memakai hak istimewa yaitu hak untuk memilih wanita yang baru didatangkan dari Jawa atau tempat lain.53

Hubungan kaum Eropa dengan wanita pribumi tidak dikukuhkan sebagai hubungan perkawinan, karena itu hubungan tersebut dapat diputuskan menurut kemauan di Tuan Eropa. Fenomena pernyaian ini dipicu karena golongan Tuan Eropa yang menjadi asisten datang sebagai fortuin zoekers

(pencari harta), maka sebagian besar dari mereka termasuk trekkers

(pengembara) dan tidak blijvers (menetap).54

Masalah pernyaian dan pelacuran dapat dianggap sebagai konsekuensi dari situasi masyarakat perkebunan dimana perbandingan antara pria dan wanita tidak seimbang. Pada suatu waktu hanya berbanding 4:1. Bahkan di

Sifat sementara ini sangat mempengaruhi gaya hidup, terlebih dalam masalah etika dan moral, antara lain ikatan perkawinan yang tidak terlalu ketat. Seorang wanita mempunyai lebih banyak kebebasan dalam pergaulan dengan pria, meskipun sudah menikah. 52 Ibid., hlm. 150. 53 Ibid. 54 Ibid.

(30)

kalangan pribumi perbandingannya adalah sepuluh pria satu wanita.55

Bentuk “pergundikan” adalah bentuk yang memenuhi kebutuhan dan mendapat toleransi masyarakat kaum kulit putih, sedangkan kaum pribumi tidak berdaya untuk mencegahnya. Sesudah Perang Dunia II berakhir ada kelonggaran untuk mendatangkan wanita Belanda ke Daerah perkebunan, antara lain karena baik kemajuan perusahaan maupun kondisi kehidupan keluarga Eropa semakin membaik. Meningkatnya pelbagai fasilitas serta pelayanan sifat frontier masyarakat perkebunan berkuranng.

Bangsa Eropa memberlakukan aturan yang melarang pegawai rendahan membawa isteri, antara lain karena kondisi hidup mereka belum memadai untuk menjamin rumah tangga keluarganya. Lagi pula suasana hidup “terpencil” menuntut kehidupan moral yang serba berat.

Kehadiran wanita di kalangan pribumi dan China menunjukkan bahwa memang ada usaha mendatangkan wanita, baik sebagai tenaga buruh maupun sebagai calon isteri bagi seseorang yang telah bekerja di perkebunan. Akan tetapi tidak jarang terjadi bahwa wanita tersebut tidak sampai kepada calon suami, tetapi jatuh ke tangan pria lain. Yang menarik perhatian, ialah bahwa “pihak atasan” mencampuri urusan itu. Tidak jarang terjadi bahwa seorang pengawas Belanda muda menginginkannya seorang gundik atau nyai, maka si wanita diambilnya tanpa ‘menggubris’ kepentingan calon suaminya. Memang dalam keadaan itu pihak mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Perjodohan semacam itu akhirnya menjadi umum.

55

(31)

Seiring dengan tingkat kehidupan para pegawai perkebunan yang mencapai taraf kemakmuran, maka semakin kurang terasa dampak isolasi serta ‘keliaran’ gaya hidup. Kedatangan wanita Belanda dalam jumlah yang relatif lebih besar dengan sendirinya mengurangi fungsi sistem pernyaian. Diketahui umum bahwa sistem ini di mata rakyat dipandang hina dan seorang gundik betapa baiknya taraf kehidupan materialnya, dia hanya menghadapi cemooh, cerca dan celaan dari bangsanya sendiri. Anak-anak yang dilahirkannya memperoleh status ayahnya dan lazimnya juga bersikap kurang hormat terhadap ibunya. Meskipun status formalnya sama dengan kaum Belanda totok, dalam kenyataannya golongan peranakan dipandang rendah oleh kaum totok.

Kedudukan nyai hidup di antara dua “dunia” menimbulkan marginalisasi dengan akibat mengaburkan identitasnya. Baik di “dunia” Eropa maupun di “dunia” pribumi hampir-hampir dia tidak dapat diterima. Seorang nyai kehilangan ikatan-ikatan primordialnya antara lain ikatan kerabat, ikatan desa, ikatan religious dan lain sebagainya. Kalau di satu pihak nyai menikmati kesejahteraan material, di pihak lain alinasi yang terus-menerus dialami menimbulkan keresahan batin. Suatu kenyataan ialah bahwa status seorang gundik tetap rendah di kedua “dunia” itu.

Di kalangan Eropa seorang nya tidak diakui sebagai isteri seorang Belanda, maka dunia itu tertutup baginya. Di kalangan pribumi dia dijauhi atau dikucilkan maka tidak ada keleluasaan bergaul dengan komunitas

(32)

pribumi. Mengingat situasi seperti itu mudah dipahami dia tidak mempunyai peranan kultural yang berarti, jadi sifat kontaknya adalah kurang akulturatif.

Hal ini tidak berarti bahwa kontak antara orang Eropa dan kaum pribumi, khususnya sistem pernyaian, tidak menimbulkan akulturasi. Yang dimaksud di sini ialah apa yang kemudian dikenal sebagai mestiezen-cultuur

ialah kebudayaan kaum mestizo atau golongan peranakan. Proses adaptasi kaum Eropa kepada lingkungan tropis dan kebudayaan pribumi terbentuk gaya hidup mestizo, yang mencakup antara lain: arsitektur, pakaian, makanan, dan lain sebagainya.

Gambar

TABEL III.

Referensi

Dokumen terkait

Korban dalam hal ini dinyatakan sebagai orang yang terkena dampak secara langsung atas kejahatan Cyber tersebut.. dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh

Kegiatan inti merupakan penyampaian materi pembelajaran yang model pelaksanaannya sesuai dengan RPP yang telah dibuat oleh praktikan. Proses Pembimbingan Oleh Guru Pamong

Hizbul Wathan merupakan organisasi otonom (ortom) muhammadiyah yang bergerak di bidang kepanduan , merupakan putra-putri muhammadiyah yang memiliki minat , bakat dan

Konstruksi generator arus bolak-balik ini terdiri dari dua bagian utama, yaitu : (1) stator, yaitu : (1) stator, yakni bagian diam yang mengeluarkan tegangan bolakbalik, dan (2)

Visi tersebut memiliki makna bahwa selama lima tahun kedepan merupakan tahap pertama pembangunan jangka panjang, yang memiliki 3 (tiga) kunci pokok yakni, Kota

meningen. Vena-v Vena-vena ena yang mengalami penyumba yang mengalami penyumbatan tan dapat menyebabk dapat menyebabkan an aliran aliran retrograde retrograde transmisi

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, penulis ucapkan karena skripsi dengan judul “Faktor-Faktor yang mempengaruhi minat nasabah menggunakan teknologi CDM, dengan menggunakan

Gabungan kata atau kelompok kata yang merupakan frasa yang tidak berderivasi tidak diberlakukan sebagai lema atau sublema, tetapi diberlakukan sebagai contoh pemakaian