STUDI SEDIMEN DASAR LAUT (SEDIMENTOLOGI
DAN MIKROPALEONTOLOGI) DI WILAYAH LKI DAN
PERAIRAN TIMUR INDONESIA (UTARA PAPUA DAN
LAUT HALMAHERA)
1Luli Gustiantini, 1Catur Purwanto, 1F.X. Harkins Prabowo, 1Mustafa Hanafi, 1Yuli Yulianah, 2Rainer 2Arief Troa, 2Eko Triarso, 3Rina Zuraida
1Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2Pusat Riset Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan
3Pusat Survey Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Ucapan Terima Kasih
Kami ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada berbagai pihak atas
terlaksananya penelitian ini, antara lain:
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Pusriskel - Kementerian Kelautan dan Perikanan
Campus France dan LSCE Prancis
Seluruh Anggota Tim Penelitian LKI Utara Papua
Seluruh anggota Tim Monocir 2
Seluruh anggota Tim Survey P3GL
Kapten dan Kru Kapal Marion Dufresne
Kapten dan Kru Kapal Geomarin III.
PENDAHULUAN
Bagaimana sedimen dasar laut terbentuk (Sverdrup
et al.,
1942; Pinet, 2016):
•
Material berasal dari sungai/darat (
terrigenous sediment)
•
Hasil gunungapi baik subaerial maupun gunungapi bawah laut (
volcanous sediment
)
•
Sisa-sisa organisme dan material organik (
Biogenic sediment
)
•
hasil proses-proses kimia dan biokimia yang terjadi di laut (
Hydrous sediment
)
Komponen abiotik
, analisis dilakukan dengan memanfaatkan:
Komposisi mineral
sifat-sifat fluorescencenya (Analisis XRF)
sifat-sifat kemagnetan dalam material-material magnetik
sifat konduktifitas (Particle Size Analyzer)
tingkat absorpsi atom (AAS)
Komponen biotik:
Identifikasi jenis spesies
Analisis kelimpahan
Geokimia cangkang
Database contoh sedimen dasar laut
Koleksi sedimen dasar laut di
Cold storage
P3GL:
Tujuan Penelitian
•
Rekonstruksi paleoseanografi
•
Rekonstruksi paleoklimatologi
METODE
•
X-Ray Fluorescence (XRF) scanning
Untuk mengestimasi komposisi kimia dalam sedimen. Analisis ini berdasarkan karakteristik fluorescence unsur-unsur yang dikenai pancaran X-Ray energi tinggi (Lyle et al., 2012)
Aplikasi:
Mengetahui gambaran umum komposisi unsur yang terkandung dalam sedimen Memahami sumber detritus utama
memahami proses sedimentasi dan proses sesudah sedimentasi (pelapukan, run of berkaitan dengan presipitasi, dll)
Kelebihan:
lebih mudah, cepat, non-destructive
Pengukuran
high-resolution
(bisa setiap 1 cm pengukuran)
Kelemahan:
Hanya menampilkan nilai relatif dari setiap unsur, sehingga tidak bisa dipakai
sebagai referensi untuk menentukan nilai absolut kandungan unsur-unsur tsb
Intensitas elemen bisa dibiaskan oleh beberapa faktor antara lain interaksi antar
elemen, ketidakhomogenan spesies, efek matrix, densitas, dan efek volume
Ditampilkan dalam bentuk log ratio (Log Ratio Calibration
Equation, LRCE) (Weltje & Tjalingii, 2008; Chen
et al.,
Tahapan analisis XRF
•
Sedimen bor dibelah 2
•
Permukaan bor ditutupi oleh film tipis (untuk menghindari kontaminasi dan
meminimalisasi kehilangan intensitas radiasi yang dipancarkan unsur
•
Sensor XRF langsung ditempatkan di permukaan sampel
•
Pengukuran langsung dilakukan (interval sampel bisa ditentukan sendiri, bisa
high
resolution,
pengukuran setiap 1 cm)
Pengukuran XRF
1. CNRS 5805 EPOC Prancis, menggunakan AVAATECH XRF core scanner
2. P3GL, menggunakan Innov-X Delta XRF Handheld analyzers dari Olympus
3. P3GL, menggunakan Innov-X Delta XRF Handheld analyzers dari Olympus yang
terpasang di MSCL (Multi Sensor Core Logger)
XRF scanner
Analisis besar butir lanau (
sortable silt
)
mengukur ukuran butiran lanau. Analisis ini terutama dilakukan untuk memperkirakan
kecepatan arus dasar laut. Dalam studi oseanografi dan klimatologi bisa dikaitkan dengan
variabilitas Arlindo.
Gaya geser terhadap besar butir, menunjukkan batas kohesif dan non kohesif (McCave et al., 1995)
Estimasi kecepatan arus dasar laut
Nilai ukuran butir lanau diterjemahkan menjadi kecepatan arus berdasarkan pengukuran dengan current metter di Vema Channel (McCave and Hall, 2006), dimodifikasi dari Ledbetter (1986)
Analisis mikropaleontologi (foraminifera)
Foraminifera adalah organisme bersel tunggal termasuk ke dalam
Kingdom Protista dan sub kingdom Protozoa.
Jenis ini sangat berlimpah ditemukan dalam sedimen dasar laut,
menempati perairan mulai dari laut dalam sampai laut dangkal.
Memiliki respon cukup tinggi terhadap berbagai perubahan lingkungan
sehingga
dianggap
sebagai
bioindikator
lingkungan
yang
sangat
potensial.
Preparasi sampel relatif mudah dan murah
Karena sangat berlimpah, membutuhkan volume sampel yang tidak
terlalu besar
Bisa dianalisis baik melalui kelimpahannya, maupun melalui komposisi
kimia cangkangnya (δ
18O, Mg/Ca, δ
13C, unsur radioaktif
14C)
Parameter iklim
Glasial Interglasial Deglasiasi La Niña El Niño Musim hangat Musim dingin Periode hangat Periode dingin1. Rekonstruksi paleoklimatologi dan paleoseanografi
di L. Halmahera
Teridentifikasi 24 unsur, yaitu Al, Si, P, Cl, K, S, Ca, Rh, Ti, Cr, Mn, Fe, Cu, Zn, Ga,
Br, Rb, Sr, Y, Zr, Nb, Mo, Pb, dan Bi.
Unsur Fe, Ti dan Rb (normalisasi Ca) dipakai sebagai proksi
terrigenous input
Rasio Rb/Sr dan Rb/K dipakai sebagai proksi tingkat pelapukan
Sebelumnya telah dilakukan analisis radiocarbon dating dianalisis dari cangkang foraminifera, menunjukkan sedimen bor MD10-3339 dari L. Halmahera telah diendapkan sejak sekitar 70 rb th yang lalu
Interglasial
Deglasiasi
Glasial
Tidak menunjukkan siklus
glasial-interglasial
Keempat unsur menunjukkan
korelasi yang cukup tinggi,
menunjukkan dipengaruhi
faktor yang relatif sama
EASM kuat EASM lemah La Niña El Niño H4 H5 H5a H6 YD
Sebelum 40 rb th, terrigenous input di L. Halmahera sangat berkorelasi terhadap monsun Asia (saat ini monsun musim dingin Asia menguat)
Sesudah 40 rb th hingga sekarang ENSO menguat, dan dinamika di L. Halmahera sangat berkorelasi dengan NINO3 index
Parameter iklim di tropis sangat mempengaruhi kondisi L. Halmahera, lebih besar pengaruhnya dibandingkan dinamika di lintang tinggi
YD = Younger Dryars H = Heinrich Event
Analisis besar butir lanau
Current velocity glasial: 13,6 cm.s Current velocity interglasial: 9,7 cm/s
Pengukuran arus oleh Creswell & Luick (2001): 9 cm/s
Ukuran butir lanau lebih kasar saat glasial dibandingkan ketika interglasial,
menunjukkan kekuatan arus dasar laut lebih tinggi saat glasial dibandingkan
interglasial
Intensitas Arlindo lebih tinggi saat glasial dibandingkan interglasial
Saat Holosen, ketika curah hujan meningkat, aliran Arlindo terhalangi oleh suplai
air tawar yang memasuki lautan sehingga intensitasnya melemah
Menunjukkan besarnya pengaruh dari bumi bagian selatan terhadap dinamika di L.
Halmahera
Analisis mikrofauna (foraminifera)
Teridentifikasi 35 spesies planktonik dan lebih dari 70 spesies bentik dalam bor sedimen MD10-3339. Jenis planktonik > 96,7%.
Bentik: Uvigerina, Bulimina, Bolivina, Quinqueloculina, Cibicides, (Cassidulina carinata, Ceratobulimina pacifica, Bulimina marginata), umumnya merupakan spesies yang hidup pada kondisi dysoxic
Planktonik: Pulleniatina obliqueloculata, Neogloboquadrina dutertrei Globigerinoides ruber, Globigerina bulloides, Globorotalia menardii
Selain G. ruber, jenis-jenis tersebut merupakan penciri lingkungan eutropik, hidup pada lapisan termoklin
Kelimpahan spesies penciri lapisan termoklin dan
mixed layer,
nilai indeks diversitas dan dominansi
Perbandingan kelimpahan foraminifera planktonik yang hidup di lapisan permukaan (G. ruber, G. sacculifer,
garis orange) dengan jenis yang hidup pada lapisan termoklin (P. obliqueloculata, N. dutertrei, garis biru) memperlihatkan perbedaan signifikan antara glasial-interglasial
Indeks diversitas dan dominansi memperlihatkan beberapa periode-periode iklim ekstrim LGM
Glasial Interglasial
Interglasial
Glasial
Analisis kluster:
Cluster 2: Interglasial/periode hangat
Spesies penciri lapisan termoklin (G. bulloides, N. dutertrei, N. pseudopima, N. acostaensis, P. obliqueloculata, P. primalis, Hastigerina spp.) persentasenya 21,95% (rendah)
jenis-jenis shallow dweller (semua Globigerinoides: G. ruber, G. sacculifer, G. trilobus, G. immaturus, G. conglobatus, G. elongatus, G. obliquus, G. piramidalis, dan G. tosaensis) lebih dominan yaitu 40,85% (lebih tinggi)
PB ratio 98%
Cluster 1: Glasial/periode dingin
Spesies penciri lapisan termoklin lebih dominan (G. bulloides, N. dutertrei, N. pseudopima, N. acostaensis, P. obliqueloculata, P. primalis, Hastigerina spp.) yaitu 65,05%
jenis-jenis shallow dweller (semua Globigerinoides: G. ruber, G. sacculifer, G. trilobus, G. immaturus, G. conglobatus, G. elongatus, G. obliquus, G. piramidalis, dan G. tosaensis) lebih rendah yaitu 25.44%
2. Penelitian untuk mendukung LKI di Utara Papua
Terdeteksi 21 unsur, termasuk unsur-unsur ekonomis seperti Fe, Zr, Ni, Th, Ti, Au, dan V.
Nilai korelasi antara Ln Fe/Ca, Ln K/Ca dan Ln V/Ca terhadap Ln Ti/Ca yang menunjukkan nilai korelasi tinggi (R2 > 0,7).
Analisis mikrofauna foraminifera
Terdiri dari 46 spesies foraminifera plangtonik, dan 20 spesies jenis bentik. Jenis plangtonik sangat dominan, yaitu rata-rata persentase 98,22%.
Foraminifera yang dominan, foraminifera plangtonik: 1. G. menardii, 2. G. sacculifer, 3. G. ruber, 4. Globigerinita glutinata, 5. G. bulloides.
6. P. obliqueloculata. Foraminifera bentik: 7. C. laevigata, 8. P. murrhina, 9. U. auberiana, 10. B. marginata.
Grup 1 Grup 2 Grup 3 In te rva l s amp el (c m)
Analisis biofasies (kluster dan SHEBI)
Grup 1 Grup 2 Grup 3
Analisis kluster
Analisis SHEBI
(0 – 80 cm)
(100 cm)
(120 - 220 cm)
G. ruber dan G. glutinatadominan
P. Obliqueloculata dan G.
menardii dominan, G. sacculifer meningkat, G. ruber menurun, upwelling intensified
G. menardii , G. glutinata, dan G. sacculifer meningkat, G. ruber menurun
Kelimpahan foraminifera
KESIMPULAN
• Analisis XRF scanning, sortable silt dan mikropaleontologi yang telah dilakukan bisa mengungkapkan proses perubahan kondisi oseanografi dan iklim. Serta mengetahui parameter iklim apa yang sangat berpengaruh terhadap suatu perairan. Namun untuk bisa merekonstruksi perubahan iklim dan oseanografi, kedua analisis harus dilakukan dengan resolusi yang tinggi, dan perlunya dilakukan analisis kuantitatif mikrofauna.
• Berdasarkan analisis mikropaleontologi yang telah dilakukan, di Perairan Indonesia timur umumnya menunjukkan pola yang relatif mirip, seperti sangat tingginya dominansi jenis foraminifera plangtonik dengan nilai PB ratio >90%. Spesies plangtonik yang dominan umumnya
G. ruber, G. sacculifer saat periode interglasial, dan P. obliqueloculata, N. dutertrei, G. menardii,
serta G. bulloides yang merupakan indikator lingkungan eutropik pada periode glasial. Sementara jenis bentik yang dominan adalah jenis-jenis yang biasa hidup dalam kondisi dysoxic, seperti
Bolivina, Bulimina, Uvigerina, Hoeglundina elegans, dan Laticarinina.