SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
Program Studi Agribisnis
Diajukan Oleh:
GYSKA INDAH HARYA
NPM: 1024010025
K e p a d a
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
SURABAYA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia, Berkat, Rahmat dan
Hidayah-nya, yang telah dilimpahkan kepada penulis selama skripsi, sehingga
dapat menyelesaikan laporan ini dengan judul
“ANALISIS POTENSI DAN
DAYA SAING KAKAO JAWA TIMUR”. Penulisan laporan SKRIPSI ini
merupakan salah satu syarat untuk menempuh strata satu yang harus di tempuh
oleh mahasiswa untuk dapat menyelesaikan kuliah di fakultas Pertanian,
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Pelaksanaan mulai dari awal sampai selesainya penulisan ini tidak terlepas
dari kesulitan dan hambatan, penulis berharap semoga dalam penyusunan
penelitian ini dapat di terima dan memenuhi persyaratan, serta atas kepercayaan,
kesempatan dan segala bantuan yang telah diberikan pada penyusun laporan ini
baik berupa pengorbanan waktu, tenaga dan pikiran, guna menyelesaikan laporan
skripsi. Tetapi berkat bantuan, bimbingan, pengarahan dan dorongan dari berbagai
pihak, terutama Ir. Sri Widayanti, MP.Selaku dosen pembimbing utamadan
Ir.EffiDamaijati, MS. Selaku dosen pembimbing pendamping yang telah banyak
memberikan bimbingannya dan arahan hingga terselesaikannya laporan ini, dan
juga kepada:
2. Dr. Ir. Eko Nurhadi, MS. Selaku Ketua Program Studi Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa
Timur.
3. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur, Kepala Bidang
Agroindustri dan Kimia Jawa Timur, Kepala Seksi Industri Hasil
Pertanian dan Kehutanan Jawa Timur, Bapak Amam Setia Budi selaku
pembimbing lapang beserta Staf Disperindag Jawa Timur.
4. Staf Perpustakaan Badan Pusat Statistik Jawa Timur.
5. Kedua orang tua tercinta yang selalu member
ikan do’a
dan dorongan
selama ini.
6. Sahabat-
sahabatku Semongko’10, GWG UPN, dan KKN’13 thank’s a lot
atas bantuannya yang telah membantuku di lapangan.
7. Dan semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Sebagai manusia biasa penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak, sangat penulis harapkan demi perbaikan selanjutnya.
Akhir kata, dengan tersusunnya laporan ini penulis mengharapkan dapat
menjadi sesuatu yang bernilai manfaat bagi pembaca yang membutuhkan.
Surabaya, Januari 2014
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian . ... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 10
A. Penelitian Terdahulu ... 10
B. Industri dan Industri Pengolahan Kakao ... 14
C. Konsep Perdagangan Internasional ... 17
D. Konsep Daya Saing ... 24
1. Daya Saing ... 24
2. Teori Keunggulan Komparatif ... 26
3. Teori Keunggulan Kompetitif ... 28
E. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis... 34
III. METODE PENELITIAN ... 39
A. Lokasi dan Obyek Penelitian ... 39
B. Pengumpulan Data ... 39
C. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 40
1. Metode Location Quotient (LQ) ... 42
2. Metode Revealed Comperative Advantage (RCA) ... 43
3. Metode Porter’s Diamond ... 45
4. Analisis Deskriptif Kualitatif ... 47
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48
A. Gambaran Umum Wilayah ... 48
B. Mengidentifikasi Potensi Kakao Olahan Jawa Timur ... 59
C. Menganalisis Daya Saing Kakao Olahan Jawa Timur... 61
1. Mengidentifikasi Perkembangan Faktor Daya Saing Kakao Olahan Jawa Timur ... 61
2. Menganalisis Daya Saing Kakao Olahan Jatim (Metode RCA) 81 D. Menganalisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Kakao Olahan Jawa Timur ... 83
1.Menganalisis Faktor Kendala Industri Pengolahan Kakao Jatim (M’Porter Diamond) ... 83
2. Uji Normalitas (SPSS Statistic 17.0) ... 96
E. Upaya Meningkatan Daya Saing Industri Kakao Olahan Jatim .... 101
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 104
A. Kesimpulan ... 104
B. Saran ... 105
DAFTAR PUSTAKA ... 106
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Judul
1.1 Produksi Kakao di Daerah Sentra ... 3
1.2 Jumlah Perusahaan Kakao Olahan dan Kapasitasnya ... 5
4.3 Ringkasan Perkembangan Ekspor Kakao Jatim 2010 ... 59
4.4 Perkembangan PDRB Industri Pengolahan dan Nilai Produksi Kakao Jatim dan Nasional ... 60
4.5 Perkembangan Nilai Ekspor Kakao Olahan Jawa Timur ... 62
4.6 Perkembangan Nilai Ekspor Kakao Olahan Indonesia ... 64
4.7 Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kakao Jawa Timur ... 66
4.8 Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kakao Indonesia ... 68
4.9 Perkembangan Produksi Perkebunan Kakao Jawa Timur ... 70
4.10 Perkembangan Produksi Perkebunan Kakao Indonesia ... 72
4.11 Perkembangan Nilai Ekspor Sektor Pertanian Jawa Timur ... 74
4.12 Perkembangan Nilai Ekspor Sektor Pertanian Indonesia ... 76
4.13 Perkembangan Volume Ekspor Kakao Olahan Jawa Timur ... 78
4.14 Perkembangan Harga Ekspor Kakao Olahan Jawa Timur ... 80
4.15 Daya Saing Kakao Olahan Jawa Timur tahun 2007-2012 ... 82
4.16 Luas Areal Dan Produksi Biji Kakao Jatim tahun 2007-2012 ... 84
4.17 Volume Ekspor Kakao Olahan Jatim HS 6 Digit (Kg/US$) ... 92
4.18 Industri Kakao Olahan di Indonesia Tahun 2012 ... 95
4.19 Analisis Regresi Linear Berganda (Model Summary) ... 97
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Judul
2.1 Kerangka Pemikiran ... 37
4.2 Grafik Perkembangan Nilai Ekspor Kakao Olahan Jawa Timur .... 63
4.3 GrafikPerkembangan Nilai Ekspor Kakao Olahan Indonesia ... 65
4.4 Grafik Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kakao Jatim ... 67
4.5 Grafik Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kakao Indonesia .. 69
4.6 Grafik Perkembangan Produksi Perkebunan Kakao Jawa Timur .. 71
4.7 Grafik Perkembangan Produksi Perkebunan Kakao Indonesia ... 73
4.8 Grafik Perkembangan Nilai Ekspor Sektor Pertanian Jawa Timur. 75
4.9 Grafik Perkembangan Sektor Pertanian Indonesia ... 77
4.10 Grafik Perkembangan Volume Ekspor Kakao Olahan Jatim ... 79
4.11 Grafik Perkembangan Harga Ekspor Kakao Olahan Jatim... 81
4.12 Perbandingan Produksi Kakao Berdasarkan Kepemilikan Lahan
Jatim Tahun 2012 ... 85
4.13 Perbandingan Luas Areal Kakao Berdasarkan Kepemilikan Lahan
Jatim Tahun 2012 ... 86
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
Judul
1. Hasil SPSS Statistic Versi 17.0 ... ... . 109
2. Daftar Perusahaan Pengolahan Kakao di Indonesia ... 110
3. Daya Serap Industri, Pangsa Volume dan Nilai Ekspor Kakao Olahan Tahun 2007-2012 ... . 112
4. Ekspor Kakao Olahan Jawa Timur ... . 113
5. Impor Kakao Olahan Jawa Timur ... .. 114
6. Hasil Analisis Trend Nilai Ekspor Kakao Olahan Jatim... 116
7. Hasil Analisis Trend Nilai Ekspor Kakao Olahan Indonesia... 118
8. Hasil Analisis Trend Luas Areal Perkebunan Kakao Jatim ... 120
9. Hasil Analisis Trend Luas Areal Perkebunan Kakao Indonesia .... .... 122
10. Hasil Analisis Trend Produksi Kakao Jatim... ... .... 124
11. Hasil Analisis Trend Produksi Kakao Indonesia ... .... 126
12. Hasil Analisis Trend Nilai Ekspor Pertanian Jatim ... . 128
13. Hasil Analisis Trend Nilai Ekspor Pertanian Indonesia ... .... 130
14. Hasil Analisis Trend Volume Ekspor Kakao Olahan Jatim ... .... 132
15. Hasil Analisis Trend Harga Ekspor Kakao Olahan Jatim ... ... 134
dan Daya Saing Kakao Jawa Timur. Dosen Pembimbing : Ir. SRI WIDAYANTI, MP. Dosen Pembimbing Pendamping : Ir. EFFI DAMAIJATI, MS.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi biji kakao Jawa Timur, menganalisis daya saing kakao olahan Jawa Timur, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing kakao olahan Jawa Timur dan menganalisis upaya – upaya untuk meningkatkan perkembangan industri kakao olahan Jawa Timur. Analisis deskriptive kuantitatif dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Location Quotients (LQ) untuk menjawab tujuan pertama, Analisis Trend dan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk menjawab tujuan kedua, metode Porter’s Diamond untuk menjawab tujuan ketiga dan analisis deskriptif kualitatif untuk menjawab tujuan keempat.
Hasil penelitian ini adalah potensi dan keunggulan komparatif kakao Jawa Timur yaitu sebagai berikut : Metode Location Quotient (LQ) menunjukkan potensi biji kakao Jatim dengan angka (1,11 – 2,33) dan rata – rata LQ (1,6) per tahun artinya biji kakao Jawa Timur sangat berpotensi untuk pengembangan industri kakao olahan. Daya saing menghasilkan perhitungan RCA, untuk komoditas kakao olahan bernilai< 1.Yang berarti produk kakao olahan Jatim belum memiliki daya saing di pasar nasional. Hal ini dikarenakan masih lemahnya teknologi pengolahan kakao Jatim; dan saat ini banyak perusahaan kakao olahan Jatim yang tidak berproduksi akibat sulitnya pasokan bahan baku. Sebagian besar biji kakao 67,9 persen diekspor ke luar negeri (Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, Brasil, Prancis), sisanya 32,02 persen untuk industri dalam negeri. Oleh sebab itu industri kakao olahan Jatim sulit bersaing dengan perusahaan kakao olahan lainnya seperti perusahaan kakao olahan di Sulawesi dan Sumatera.
Metode Porter’s Diamond menunjukkan secara umum industri kakao olahan Jatim tidak kompetitif sebab infrastruktur yang terbatas dan sulitnya akses terhadap sumber permodalan dan analisis Regresi Linear Berganda terdapat tiga faktor yang mempengaruhi daya saing kakao olahan Jatim secara signifikan yaitu volume ekspor, harga ekspor dan produktivitas kakao pada taraf 10%. Hal ini sesuai dengan teori yang berlaku, artinya volume ekspor kakao olahan, Harga ekspor kekao olahan dan produktivitas kakao berhubungan positif terhadap daya saing. Upaya meningkatkan daya saing industri kakao olahan berupa peningkatan mutu dan kualitas kakao olahan, meningkatkan volume ekspor, mempertahankan harga ekspor, pengembangan klaster industri kakao olahan, memudahkan akses permodalan, deregulasi kebijakan dan mengembangkan infrastruktur.
This study aims to identify the potential of East Java cocoa beans, cocoa analyzing the competitiveness of East Java, to analyze the factors affecting the competitiveness of cocoa in East Java and analyze attempts to improve the development of the cocoa industry in East Java. Analysis deskriptive quantitative methods used in this study is the method of Locatioon quotients (LQ) for answering the first goal, Trend Analysis and methods of Revealed Comparative Advantage (RCA) to address the second objective, the method of Porter’s Diamond to answer the third objective, descriptive and qualitative analysis to answer The fourth goal.
The results of this study is yhe potential and comparative advantage of cocoa in East Java are as foollows : Method of Location Quotient (LQ) shows the potential of cocoa beans Java with number (1.11 to 2.33) and the average’s LQ (1.6) per year means cocoa beans in East Java is potential for the development of processed cocoa industry. RCA produces competitiveness calculation, for processed cocoa is worth < 1. Which means that Java has not been processed cocoa products competitive in the national market. This is due to the weakness of java cocoa processing technology, and today many companies are not Java cocoa production due to the difficulty of supply of raw materials. Most of the 67.9 percent of cocoa beans exported to foreign countries ( united States, Malaysia, Singapore, Brazil, France ), the remaining 32.02 percent for the domestic industry. Therefore Java cocoa industry to compete with other companies such companies processed cocoa in Sulawesi and Sumatra.
Method of Porter’s Diamond shows generally processed cocoa industry in East Java is not competitive because the limited infrastructure and limited access to sources of capital and multiple linear regression analysis, there are theree factors that affect the competitiveness of processed cocoa Java significantly namely export volume, export price and productivity of cocoa on stage 10%. This is consistent with the prevailing theory, that means the volume of cocoa exports, the export price of cocoa processed and productivity are positively related to competitiveness. Efforts to improve the competitiveness of the industry in the form of improved quality cocoa and cocoa quality, increase the volume of exports, maintaining export prices, cocoa processing industry cluster development, facilitate access to capital, deregulation policies and develop infrastructure.
A. Latar Belakang Masalah
Sektor Industri merupakan salah satu sektor ekonomi yang memiliki peran
strategis dalam meningkatkan daya saing ekonomi, karena sektor industri terkait
langsung dalam menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan
menambah penghasilan masyarakat, sehingga perkembangan sektor ini akan
berpengaruh besar terhadap perekonomian suatu negara. Pertumbuhan sektor
industri yang seimbang antara industri hulu dan industri hilir dapat dijadikan
pondasi perekonomian yang kuat untuk membangun sistem industrialisasi yang
memiliki daya saing tinggi.
Agroindustri kakao perkembangannya terhambat, terbukti dari jumlah
industry kakao olahan yang semakin menurun, juga kapasitas terpasang yang
semakin berkurang. Ini disebabkan karena produsen kakao lebih memilih
memasarkan biji kakao ke luar negeri dengan tanpa tarif dibandingkan dalam
negeri yang terkena tarif. Selain itu butuh modal yang besar bila pengusaha
hendak berinvestasi dalam usaha ini. Namun peluang investasi masih dibutuhkan
karena konsumsi kakao dunia masih terus meningkat (Maswadi, 2011).
Berdasarkan data Ditjen Perkebunan Departemen Pertanian Rendahnya
mutu kakao Indonesia tidak saja menimbulkan kerugian besar di pasaran dunia
terutama Amerika Serikat, tapi juga berdampak terhadap pendapatan petani dan
produsen kakao. Potensi kerugian penjualan biji kakao Indonesia ke Amerika
Serikat akibat mutu rendah sekitar US$301,5/ton. Jika ekspor biji kakao
Indonesia ke AS rata-rata 130 ribu ton/tahun, maka terdapat potensi kehilangan
devisa sebesar US$39.195 juta per tahun atau setara dengan Rp360,6
miliar/tahun. Sedangkan kerugian akibat rendahnya tingkat produktivitas sekitar
Berdasarkan data Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) untuk tahun 2008
dari total produksi biji kakao nasional 70 % diekspor dalam bentuk biji kakao
mentah, hanya 30 % yang diolah di dalam negeri menjadi produk kakao olahan
seperti cocoa butter, cocoa liquor, cocoa cake dan cocoa powder untuk
kebutuhan dalam negeri dan juga diekspor .
Hal ini dapat menjadi rentetan masalah agroindustri perkakaoan di
Indonesia. Berdasarkan data tahun 2008 produksi biji kakao nasional 803.594
ton, berarti 562.515,8 ton biji kakao mentah diekspor dan sisanya 241.078,2 ton
biji kakao mentah diolah di dalam negeri. Informasi selanjutnya pada tahun 2009
dari produksi yang diserap di pasar domestik 140.000 ton, selebihnya dipasarkan
ke luar negeri. Padahal kapasitas terpasang industri dalam negeri mencapai
230.000 ton, tapi utilitasnya hanya sekitar 140.000 ton. Sisanya diekspor karena
biji kakao tidak dapat dijual ke pasar tradisional (Maswadi, 2011).
Produk kakao selama ini lebih banyak diekspor dalam wujud biji kering
kakao dibandingkan hasil olahannya, sehingga nilai tambahnya terhadap
perekonomian sedikit. Diduga yang menjadi faktor pendorong adalah selain
harga yang semakin tinggi, juga pembebasan tarif, diberlakukanya kebijakan
pemerintah membebaskan pajak ekspor biji kakao sampai 0 persen. Sehingga
tanpa pengolahan lanjut setelah fermentasi dan pengemasan biji kakao sudah
dapat diekspor. Namun ini merupakan faktor penyebab eksportir tidak
memperhatikan kualitas biji kakao yang ditentukan di pasar dunia (Maswadi,
2011). Hal ini menjadikan petani kakao lebih suka mengekspor dalam bentuk biji
yang merupakan masalah terberat bagi industri pengolahan kakao jawa timur
akan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen pada kakao
olahan sehingga daya serap industry pengolahan kakao rendah
Selanjutnya kualitas biji kakao yang diekspor oleh Indonesia dikenal sangat
kakao olahan ikut melemah. Hal ini disebabkan oleh, pengelolaan produk kakao
yang masih tradisional (85% biji kakao produksi nasional tidak difermentasi)
sehingga kualitas kakao Indonesia menjadi rendah. Kualitas rendah
menyebabkan harga biji dan produk kakao Indonesia di pasar internasional
dikenai diskon USD200/ton atau 10%-15% dari harga pasar. Selain itu, beban
pajak ekspor kakao olahan (sebesar 30%) relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan beban pajak impor produk kakao (5%), kondisi tersebut telah
menyebabkan jumlah pabrik kakao olahan Indonesia terus menyusut (Suryani,
2007). Selanjutnya rincian data produksi kakao tahun 2008-2012 disajikan pada
tabel berikut :
Tabel 1.1 Produksi Kakao Di Daerah Sentra
No Provinsi Produksi Kakao (ton)
2008 2009 2010 2011 2012*
1 Aceh 27.295 29.130 28.429 24.596 32.647
2 Sumatera Utara 60.253 78.255 69.106 54.515 63.597
3 Sumatera Barat 32.183 33.430 34.099 44.613 58.812
4 Lampung 25.690 26.037 25.919 20.721 26.364
5 Jawa Timur 18.270 22.677 23.056 24.788 27.391
6 Sulawesi Tengah 151.949 138.149 187.179 124.777 168.401
7 Sulawesi Selatan 112.037 164.444 177.472 142.829 198.682
8 Sulawesi Barat 149.458 96.860 101.012 80.194 101.319
9 Sulawesi Tenggara 116.994 132.189 146.650 114.578 154.229
694.129 721.171 792.922 631.629 831.442
Sumber : Ditjen Bun *) : Angka sementara.
Produksi kakao di Jawa Timur tiap tahun mengalami peningkatan, akan
tetapi minimnya pabrik pengolahan kakao di Jawa Timur membuat petani harus
rela mendistribusikan hasil panennya ke luar Jawa timur atau bahkan ada yang
diekspor ke manca negara. Tahun 2012 produksi kakao di Jawa Timur 27.391
ton. Produksi tersebut meningkat dari tahun 2011 yang hanya 24.788 ton.
sangat di bawah standart dan infrastruktur yang terbatas terbukti dari jalur
distribusi industry hulu hilir yang terbatas. Berbeda dengan sentra produksi kakao
di provinsi lain seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah
dan Sulawesi Barat.
Tingkat perkembangan produksi kakao Jawa Timur berbeda dengan empat
provinsi lainya yaitu tahun 2012 di empat Provinsi Sulawesi secara berurutan
adalah 168.401 ton, 198.682 ton, 101.319 ton, 154.229 ton, 831.442 ton. Kakao
yang dipanen di Sulawesi Tengah sebagian besar sudah dilakukan fermentasi
sehingga memiliki keunggulan di banding kakao non femented. Biji kakao
fermented dari Sulawesi Tengah di pasarkan ke PT.Bumi Tangerang.
Peningkatan produksi kakao di daerah sentra mempunyai arti strategis karena
pasar ekspor biji kakao Indonesia masih sangat terbuka dan pasar domestik
masih belum tergarap. Permasalahan utama yang dihadapi industri kakao dapat
diatasi dengan penerapan fermentasi pada pengolahan biji pasca panen dan
pengembangan produk hilir kakao berupa serbuk kakao (Tazkiyah, 2012).
Prosentase biji kakao yang diolah dan non olahan sangat berpengaruh
dalam laju perkembangan industri kakao olahan Jawa Timur. Salah satu kendala
dalam pengembangan industri kakao olahan Jawa Timur adalah kemampuan
mengolah produk yang masih sangat rendah. Hal ini ditunjukkan dengan
sebagian besar kakao yang diekspor belum melalaui tahap pengolahan lebih
lanjut dengan indeks tingkat pengolahan sebesar 71-75%. Angka tersebut
menunjukkan bahwa hanya 25-29% kakao yang diekspor dalam bentuk olahan.
Kondisi ini dapat memperkecil nilai tambah yang diperoleh dari ekspor produk
kakao olahan Jatim, sehingga pengolahan lebih lanjut menjadi tuntutan bagi
Tabel 1.2 Jumlah Perusahaan Kakao Olahan dan Kapasitasnya Tahun 2012
Nama Perusahaan Kapasitas Terpasang (Ton/ tahun)
PT. Bumi Tangerang Mesindotama 96.000
PT. Davonmas Abadi, Tbk 140.000
PT. Cocoa Wangi Murni 15.000
PT. Kakao Mas Gemilang 6.000
PT. Mas Ganda 5.000
PT. Maju Bersama 33.500
PT. Unicom Makassar 10.000
PT. Kopi Jaya Cocoa 31.500
PT. Poleco 4.000
PT. Teja Sekawan Cocoa Industries 24.000
PT. Budidaya Kakao Lestari 15.000
PT. General Food Industry 100.000
PT. Asia Cocoa Indonesia 60.000
PT. Mars Symbioscince Indonesia 30.000
PT. Cocoa Ventures Indonesia 14.000
PT. Industri Kakao Utama 40.000
Total 624.000
Sumber: Disperindag Jawa Timur, 2012
Berdasarkan diatas tercatat sebanyak 16 buah industri kakao olahan yang
tersebar di enam provinsi, akan tetapi Jawa Timur masih terdapat dua industri
kakao olahan. Kondisi ini menunjukkan bahwa industri kakao olahan Jawa Timur
beroperasi masih jauh dibawah kapasitas (Tabel 1.2).
Harga biji Kakao di tingkat pengumpul besar hasil bumi mencapai
Rp.24.000 sampai Rp.25.000 per kilogram sedangkan biasanya hanya
Rp.22.000 per kilogram. Jawa Timur perlu adanya pabrik yang bisa menyerap
produksi kakao dari petani. Sampai saat ini, sudah ada dua pabrik kakao yang
ada di Surabaya namun tidak maksimal dalam menyerap hasil panen dari petani
sehingga lebih banyak petani menjual produksinya ke luar daerah. Kakao di
di Jawa Timur lebih maksimal dari pada harus diekspor dalam bentuk produk
primer. Lebih baik diolah sendiri sehingga nilai ekonomisnya lebih tinggi (Anonim,
2011). Hal ini berarti berlimpahnya biji kakao merupakan suatu potensi yang
dimiliki Jawa Timur untuk dapat mengembangkan industri kakao olahan nasional
akan tetapi pertumbuhan produksi biji kakao yang sangat cepat tersebut tidak
mampu diimbangi oleh pertumbuhan industri pengolahan di Jawa Timur dan
sangat sulit akses terhadap sumber permodalan kepada pelaku agroindustri
kakao.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa kendala yang
menghambat perkembangan industri kakao olahan Jawa Timur, sehingga industri
pengolahan kakao yang ada tidak berkembang dengan baik, padahal Jawa Timur
memiliki banyak potensi untuk mengembangkan industri kakao olahan. Oleh
karena itu kajian mengenai analisis daya saing kakao olahan Jawa Timur
dirasakan penting untuk dapat meningkatkan kinerja industri kakao olahan dan
B. Perumusan Masalah
Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang berlimpah biji kakao. Di
Jawa Timur, komoditi kakao merupakan komoditi strategis untuk mengangkat
martabat masyarakat dengan meningkatkan pendapatan petani perkebunan dan
tumbuhnya sentra ekonomi regional. Komoditi kakao dikembangkan pada
Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PTPN) dan Perkebunan
Besar Swasta (PBS). Areal kakao di Jawa Timur pada tahun 2012 seluas 63.040
Ha terbagi atas 32.010 Ha Perkebunan Rakyat, 26.487 Ha PTPN, dan 4.543 Ha
PBS (Disbun, 2011).
Akan tetapi berlimpahnya biji kakao Jawa Timur tidak dapat dimanfaatkan
dengan baik oleh industry kakao olahan regional, khususnya wilayah Jawa Timur
dalam pembangunan sub sektor perkebunan antara lain untuk memenuhi
kebutuhan domestik maupun sebagai komoditi ekspor penghasil devisa negara.
Biji kakao yang ada lebih banyak diekspor ke beberapa negara seperti Amerika
Serikat, Malaysia, Singapura dan Brazil. Kegiatan ekspor kakao Jawa Timur
dalam bentuk biji kakao disebabkan karena kebijakan pemerintah yang
membebaskan pajak ekspor biji kakao sampai dengan nol persen atau lebih
tepatnya pemerintah memberlakukan pajak pertambahan nilai pada komoditas
primer, yaitu berupa UU No 18 Tahun 2000 tentang penerapan PPN sebesar 10
persen untuk biji kakao domestik akan menimbulkan biaya tambahan, jika ingin
memproduksi kakao olahan dengan menggunakan biji kakao domestik.
Kemudian hal ini yang membuat petani kakao lebih memilih untuk mengekspor
dalam bentuk biji kakao dari pada mengolahnya sampai ke tahap industri.
Kendala – kendala diatas dapat menyebabkan industri kakao olahan
Jawa Timur tidak berkembang dengan baik. Apalagi kualitas biji kakao yang
rendah akibat penanganan pasca panen yang belum dilaksanakan dengan tepat,
agrinisnis kakao di jawa timur terbukti dengan kendala infrastruktur yang masih
terbatas seperti jalur distribusi industry hulu hilir.
ASKINDO (2007), saat ini hanya tercatat sebanyak 16 buah industri
kakao olahan yang tersebar di enam provinsi. Dari jumlah 15 perusahaan kakao
olahan di Indonesia, hanya 10 perusahaan yang melakukan aktivitas produksi.
Padahal pada Tahun 1998 terdapat 28 perusahaan kakao olahan yang
beroperasi di Indonesia.
Pada tahun 2012 terdapat 16 perusahaan industri cocoa processing yang ada di tanah air,
jumlah perusahaan yang kini beroperasi menjadi 8 perusahaan. Perusahaan industri cocoa
processing yang kini beroperasi adalah PT. Davomas Abadi, PT. Bumi tangerang Mesindotama,
PT. Kakao Mas Gemilang, PT. Mas Ganda (keempatnya ada di Provinsi Banten), PT. General
Food Industry (di Jawa Barat), PT. Teja Sekawan Cocoa Industries dan PT. Budidaya Kakao
Lestari (di Jawa Timur), dan PT.Unicom Kakao Makmur (di Sulawesi Selatan). Dengan demikian
sampai saat ini terdapat 16 perusahaan cocoa processing di Indonesia. Akan tetapi di Jawa
Timur masih terdapat dua industri kakao olahan yang masih beroperasi dan
didukung industri pengupasan, pembersihan, pengeringan lainnya. Kondisi ini
menunjukkan bahwa industri kakao olahan di Jawa Timur beroperasi masih jauh
dibawah kapasitas (Tabel 1.2).
Industri kakao olahan Jawa Timur yang tidak berkembang dengan baik
tentunya akan berpengaruh terhadap sentra ekonomi regional. Oleh karena itu
dengan mengembangkan potensi yang dimiliki Industri kakao olahan diharapkan
mampu mendorong perekonomian nasional. Berdasarkan uraian di atas, maka
permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana potensi biji kakao Jawa Timur ?
2. Bagaimana daya saing kakao olahan Jawa Timur ?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi daya saing kakao olahan Jawa
4. Upaya – upaya apa saja yang dapat meningkatkan perkembangan Industri
kakao olahan Jawa Timur ?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain :
a. Mengidentifikasi potensi biji kakao Jawa Timur.
b. Menganalisis daya saing kakao olahan Jawa Timur.
c. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing kakao olahan
Jawa Timur.
d. Menganalisis upaya – upaya untuk meningkatkan perkembangan industri
kakao olahan Jawa Timur.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diharapkan dari penelitian ini antara lain :
a. Memberikan Informasi kepada para pelaku usaha yang bergerak di bidang
Industri kakao olahan untuk meningkatkan kinerjanya.
b. Memberikan masukan kepada pemerintah daerah dalam upaya
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kinerja industri kakao olahan
Jawa Timur.
c. Menambah khasanah literatur mengenai studi industri kakao olahan Jawa
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Irnawati (2008) melakukan penelitian mengenai daya saing kakao
Indonesia di pasar internasional. Analisis yang digunakan adalah analisis
deskriptif kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif dilakukan
dengan menggunakan metode Porter’s Diamond untuk mengetahui kondisi daya
saing biji kakao Indonesia, selain itu Irnawati menggunakan nilai RCA dari 6
negara penghasil biji kakao terbesar dunia untuk mengetahui daya saing biji
kakao Indonesia di antara 6 negara tersebut. Hasil dari penelitian ini adalah biji
kakao Indonesia memiliki keunggulan komparatif di pasar internasional.
Menurut Ragimun (2012), Komoditas kakao merupakan penyumbang
ketiga terbesar ekspor nasional. Tanaman kakao ini ternyata sangat cocok
dengan iklim Indonesia dan mempunyai potensi peningkatan produksi dan
perluasan lahan perkebunan kakao. Indonesia, saat ini merupakan negara ketiga
pemasok produk kakao terbesar dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.
Namun nilai ekspor kakao Indonesia tersebut masih didominasi oleh biji kakao
mentah, sehingga pemerintah berkewajiban mendorong terjadinya hilirisasi atau
peningkatan nilai tambah komoditas kakao. Dengan demikian diharapkan daya
saing komoditas kakao Indonesia akan terus meningkat. Tahun 2002 sampai
dengan 2011 daya saing kakao Indonesia masih cukup bagus, terbukti rata-rata
Revealed Competitive Advantage (RCA) di atas 4. Demikian juga dari hasil
Indeks Spesialisasi Pasar (ISP) rata-rata mendekati 1 yang berarti spesialisasi
Indonesia merupakan negara pengekspor. Sedangkan Indeks Konsentrasi Pasar
(IKP) diperoleh rata-rata kurang dari 0,35 yang berarti kerentanan terhadap
diperlukan kebijakan fiskal berupa penerapan bea keluar berjenjang, subsidi ke
petani, perbaikan infrastruktur serta riset dan pengembangan kakao nasional.
Mudjayani (2008) melakukan penelitian mengenai analisis daya saing
buah-buahan tropis Indonesia. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif
kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif dilakukan dengan
menggunakan metode Porter’s Diamond untuk menganalisis potensi, kendala,
peluang dan keunggulan kompetitif buah-buahan tropis Indonesia, sedangkan
analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode RCA (Revealed
Comparative Advantage) untuk mengukur posisi daya saing buah-buahan tropis
Indonesia. Selain itu untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya
saing buah-buahan tropis metode yang digunakan adalah metode model analisis
OLS (Ordinary Least Square). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
buahbuahan tropis Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan
komparatif. Sementara itu analisis regresi berganda pada taraf nyata 10 persen
menunjukkan factor - faktor yang berpengaruh positif terhadap daya saing
buahbuahan tropis Indonesia adalah nilai ekspor dan produktivitas, sedangkan
faktorfaktor yang berpengaruh negatif adalah harga ekspor dan dummy krisis.
Rahmanu (2009) melakukan penelitian mengenai analisis daya saing
industry pengolahan dan hasil olahan kakao Indonesia. Analisis yang digunakan
adalah analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk menganalisa
posisi daya saing hasil olahan kakao Indonesia, metode Porter’s Diamond untuk
menganalisa faktor-faktor yang menghambat perkembangan industri pengolahan
kakao nasional, dan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk menganalisa
faktor-faktor yang mempengaruhi posisi daya saing hasil olahan kakao
Indonesia. Selain itu berdasarkan hasil penelitian akan dirumuskan suatu strategi
Industri pengolahan kakao nasional saat ini didukung oleh 15 perusahaan
pengolahan kakao.
Yuniarsih (2002) melakukan penelitian mengenai analisis industri dan
strategi peningkatan daya saing industri kakao Indonesia. Analisis yang
digunakan adalah analisis Porter’s Diamond, analisis Biaya SumberDaya
Domestik (BSD) dan analisis Herfindahl Index. Dari hasil analisis Porter’s
Diamond dapat diketahui beberapa kendala industri pengolahan kakao Indonesia
seperti kemampuan (skill) sumberdaya manusia di bidang pengolahan kakao
masih rendah, akses permodalan masih kurang baik, letak geografis industri
pendukung dengan industri pengolahan yang berjauhan, infrastruktur yang
terbatas, dan peran pemerintah yang masih belum bisa memfasilitasi
perkembangan indusri pengolahan kakao Indonesia.
Menurut Nwachukwu (2010) melakukan penelitian dengan judul
Competitiveness And Determinants Of Cocoa Export From Nigeria (Daya Saing
Dan Faktor Kakao Ekspor Dari Nigeria).Peneliti meneliti daya saing dengan
menilai kinerja ekspor dan penentu ekspor kakao dari Nigeria . Perbandingan
Terungkap Analysis ( RCA ) dan regresi berganda dipekerjakan sebagai alat
analisis menggunakan data set dari berbagai institusi sumber yang berkisar
1.990-2.005 . Hasil analisis menunjukkan bahwa Nigeria memiliki komparatif
keuntungan dalam ekspor kakao , berdasarkan RCA dan RSCA indeks .
Perkiraan OLS menunjukkan bahwa dunia volume ekspor , nilai tukar dan output
kakao Nigeria adalah penentu ekspor kakao dari Nigeria . Dengan demikian ,
penelitian ini disarankan bahwa prioritas harus diberikan kepada rehabilitasi
pertanian kakao tua dan pembentukan yang baru sebagai sarana
mempertahankan tingkat output. [ Laporan dan Opini 2010; 2 ( 7 ) : 51 - ] . ( ISSN
Menurut Rifin, A (2013), melakukan penelitian dengan judul
Competitiveness of Indonesia’s Cocoa Beans Export in the World Market (Daya
Saing Biji Kakao di Indonesia Ekspor di Pasar Dunia). Tujuan penelitian ini
adalah untuk menganalisis daya saing ekspor biji kakao Indonesia. Dua Analisis
dilakukan dengan menggunakan keunggulan komparatif terungkap (RCA) dan
Hampir Ideal Demand System (AIDS). Hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia
memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi biji kakao meskipun tiga
lainnya memproduksi negara memiliki indeks RCA lebih tinggi. Sementara itu,
Indonesia dan Biji kakao Ghana saling melengkapi dan meningkatkan kakao
Permintaan kacang dunia akan menguntungkan Indonesia.
Menurut David, B (2013), Melakukan Penelitian Dengan Judul
Competitiveness and Determinants Of Cocoa Exports From Ghana (Daya Saing
dan determinan ekspor kakao dari Ghana). Penelitian ini menganalisis kinerja
ekspor dan determinan ekspor kakao dari Ghana. Keunggulan Komparatif The
Terungkap, Revealed Comparative Advantage Symmetric dan regresi berganda
dipekerjakan sebagai alat analisis menggunakan data sekunder dari sumber
ditetapkan diakui dalam studi. Setelah diuji untuk sesuai sifat Gaussian standar
dan melakukan semua tes penting, hasil analisis menunjukkan bahwa Ghana
sangat kompetitif dalam ekspor biji kakao, jumlah produk kakao dan ekspor
kakao olahan. Meskipun perbaikan diamati dalam kinerja ekspor negara itu
selama tiga dekade terakhir, ada potensi untuk perbaikan lebih lanjut. Hal ini
dapat dicapai melalui investasi dalam produktivitas inovasi Ditambahkannya,
pengetatan perbatasan longgar negara untuk meminimalkan penyelundupan,
memegang sistem stabilisasi harga, dukungan pemerintah yang
berkesinambungan untuk subsektor dan melalui penyesuaian tepat waktu dari
B. Industri dan Industri Pengolahan Kakao
Industri adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan
mengubah barang dasar menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, atau
barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya. (Badan
Pusat Statistik, 2006).
Anonim (2006), Industri adalah suatu usaha atau kegiatan pengolahan
bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi barang jadi yang
memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Usaha perakitan atau
assembling dan juga reparasi adalah bagian dari industri. Hasil industri tidak
hanya berupa barang, tetapi juga dalam bentuk jasa.
1. Jenis atau Macam Industri Berdasarkan Tempat Bahan Baku :
a. Industri ekstraktif adalah industri yang bahan baku diambil langsung dari
alam sekitar. Contoh : pertanian, perkebunan, perhutanan, perikanan,
peternakan, pertambangan, dan lain lain.
b. Industri nonekstaktif adalah industri yang bahan baku didapat dari tempat
lain selain alam sekitar.
c. Industri fasilitatif adalah industri yang produk utamanya adalah berbentuk
jasa yang dijual kepada para konsumennya. Contoh : Asuransi,
perbankan, transportasi, ekspedisi, dan lain sebagainya
2. Golongan atau Macam Industri Berdasarkan Besar Kecil Modal
a. Industri padat modal adalah industri yang dibangun dengan modal yang
jumlahnya besar untuk kegiatan operasional maupun pembangunannya
b. Industri padat karya adalah industri yang lebih dititik beratkan pada
sejumlah besar tenaga kerja atau pekerja dalam pembangunan serta
3. Jenis atau Macam Industri Berdasarkan Klasifikasi
Berdasarkan SK Menteri Perindustrian No.19/M/I/1986 :
a. Industri kimia dasar, contohnya seperti industri semen, obat-obatan, kertas,
pupuk, dsb.
b. Industri mesin dan logam dasar, misalnya seperti industri pesawat terbang,
kendaraan bermotor, tekstil, dll.
c. Industri kecil, contoh seperti industri roti, kompor minyak, makanan ringan,
es, minyak goreng curah, dll
d. Aneka industry, misalnya seperti industri pakaian, industri makanan dan
minuman.
4. Penggolongan Industri Berdasarkan Pemilihan Lokasi
a. Industri yang berorientasi atau menitik beratkan pada pasar (market
oriented industry) adalah industri yang didirikan sesuai dengan lokasi
potensi target konsumen. Industri jenis ini akan mendekati kantong-kantong
di mana konsumen potensial berada. Semakin dekat ke pasar akan
semakin menjadi lebih baik.
b. Industri yang berorientasi atau menitik beratkan pada tenaga kerja / labor
(man power oriented industry) adalah industri yang berada pada lokasi di
pusat pemukiman penduduk karena bisanya jenis industri tersebut
membutuhkan banyak pekerja / pegawai untuk lebih efektif dan efisien.
c. Industri yang berorientasi atau menitik beratkan pada bahan baku (supply
oriented industry) adalah jenis industri yang mendekati lokasi di mana
bahan baku berada untuk memangkas atau memotong biaya transportasi
5. Macam atau Jenis Industri Berdasarkan Produktifitas Perorangan
a. Industri primer adalah industri yang barang-barang produksinya bukan hasil
olahan langsung atau tanpa diolah terlebih dahulu. Contohnya adalah hasil
produksi pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, dan sebagainya.
b. Industri sekunder adalah industri yang bahan mentah diolah sehingga
menghasilkan barang-barang untuk diolah kembali. Misalnya adalah
pemintalan benang sutra, komponen elektronik, dan sebagainya.
c. Industri tersier adalah industri yang produk atau barangnya berupa layanan
jasa. Contoh seperti telekomunikasi, transportasi, perawatan kesehatan,
dan masih banyak lagi yang lainnya.
6. Jenis atau Macam Industri Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja
a. Industri rumah tangga adalah industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja
berjumlah antara 1-4 orang.
b. Industri kecil adalah industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja berjumlah
antara 5-19 orang.
c. Industri sedang atau industri menengah adalah industri yang jumlah
karyawan / tenaga kerja berjumlah antara 20-99 orang.
d. Industri besar adalah industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja
berjumlah antara 100 orang atau lebih.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa industri
pengolahan kakao adalah industri yang mengolah bahan baku cokelat berupa biji
kakao menjadi produk-produk yang mempunyai nilai tambah dalam bentuk
barang jadi dan barang setengah jadi yang dapat digunakan untuk dikonsumsi
C. Konsep Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional adalah suatu proses pertukaran barang
(perdagangan) yang timbul antar negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
di negara-negara tersebut. Terdapat beberapa hal yang mendorong terjadinya
perdagangan internasional diantaranya dikarenakan perbedaan permintaan dan
penawaran antar negara. Perbedaan ini terjadi karena : (a) tidak semua Negara
memiliki dan mampu menghasilkan komoditi yang diperdagangkan, karena faktor
- faktor alam negara tersebut tidak mendukung, seperti letak geografis serta
kandungan buminya dan (b) perbedaan pada kemampuan suatu negara dalam
menyerap komoditi tertentu pada tingkat yang lebih efisien. Perdagangan
internasional sebuah negara harus memiliki keunggulan komparatif dan
keunggulan kompetitif guna menciptakan daya saing yang baik. Daya saing
yang baik tercipta lewat mutu dan kualitas suatu produk serta besarnya
permintaan terhadap produk tersebut. Berikut ini merupakan penjelasan
mengenai teori keunggulan komparatif dan teori keunggulan kompetitif
(Rahmanu,2009).
Menurut Gonarsyah dalam Safitri (2004), ada beberapa faktor yang
mendorong timbulnya perdagangan internasional (ekspor-impor) suatu negara
dengan negara lain. Faktor-faktor tersebut antara lain, 1) keinginan untuk
memperluas pemasaran komoditas ekspor, 2) memperbesar penerimaan devisa
negara bagi kegiatan pembangunan, 3) adanya perbedaan biaya relatif dalam
menghasilkan komoditas tertentu, serta 4) adanya perbedaan penawaran dan
permintaan antar negara karena tidak semua negara mampu menyediakan
kebutuhan masyarakatnya.
Adam Smith dalam Tatakomara (2004), menyatakan bahwa perdagangan
sebuah negara lebih efisien daripada (atau memiliki keunggulan absolut
terhadap) negara lain dalam memproduksi sebuah komoditas, namun kurang
efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam
memproduksi komoditas lainnya, maka kedua negara tersebut dapat
memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi
dalam memproduksi komoditas yang memiliki keunggulan absolut, dan
menukarkannya dengan komoditas lain yang memiliki kerugian absolut.
Sedangkan Ricardo dalam Salvatore (2004), menyatakan bahwa
perdagangan antar dua negara didasarkan pada keunggulan komparatif,
meskipun sebuah negara kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian
absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi kedua komoditas, namun
masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang
menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan
spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki
kerugian absolut lebih kecil (ini merupakan komoditas dengan keunggulan
komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih
besar (komoditas ini memiliki kerugian komparatif).
1. Kegiatan Perdagangan Ekspor dan Impor
Anneahira (2013), Kegiatan perdagangan ekspor dan impor dapat
diartikan sebagai transaksi ekonomi yang dilakukan penduduk suatu negara
dengan negara lain, baik secara perorangan, maupun pemerintah. Terjadinya
perdagangan internasional tidak bisa dihindari oleh negara maupun, karena tiap
wilayah memiliki kelebihan dan kekurangan pada salah satu sumber daya
alamnya.
Kelebihan sumber daya alam disiasati dengan mengimpornya ke luar
negeri. Demikian pula sebaliknya, kekurangan sumber daya alam dapat diatasi
kala, manusia selalu berinteraksi dengan sesamanya termasuk dalam hal
pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Sejarah membuktikan bahwa berabad - abad silam penduduk di berbagai
belahan dunia sudah melakukan transaksi ekonomi dengan penduduk di negara
lain, contohnya jalur sutra dan Amber Road. Beberapa abad kemudian barulah
para ahli ekonomi merumuskan teori-teori yang berhubungan dengan aktivitas
ekonomi penduduk lintas negara.
Untuk saat ini, perdagangan internasional ekspor impor sudah bukan lagi
urusan mengatasi kekurangan sumbar daya alam maupun sumber daya manusia
pada suatu negara. Perdagangan internasional telah menjadi hubungan
simbiosis mutualis antar beberapa negara. Bagaimana tidak, melalui kegiatan
ekspor dan impor, lapangan kerja baru menjadi terbuka, mendorong
industrialisasi, kemajuan transportasi, serta kehadiran perusahaan – perusahaan
internasional.
Aktivitas perdagangan internasional tidak terlepas dari pihak eksportir dan
importir. Berikut ini akan dipaparkan secara lengkap tentang perdagangan
ekspor dan impor skala internasional.
Produk ekspor Indonesia sedang menggelora. Terutama, pasca world
summit expo day di Cina. Stand produk Indonesia punya orisinalitas. Misalnya,
batik, agklung, dan sebagainya. Indonesia kini menempati peringkat 16 ekonomi
dunia. Hal itu merupakan prestasi yang baik karena ekonomi Indonesia
diapresiasi dunia internasional dan produk ekspor Indonesia yang tidak kalah
dengan Jepang. Indonesia dan Jepang sama – sama memproduksi computer
dengan harga jual lebih murah, maka Jepang memiliki keunggulan komparatif
dibandingkan Indonesia dalam memproduksi computer. Untuk itu, Indonesia lebih
baik mengimpor computer dari Jepang. Adapun sebab - sebab munculnya
a. Hasil Produksi yang Sangat Variatif di Tiap Negara
Perbedaan kekayaan alam yang dimiliki tiap-tiap negara, mengakibatkan
adanya usaha untuk menutupi kekurangan kekayaan alam tersebut. Misalnya,
suatu negara memiliki kekayaan yang melinpah pada barang dan jasa. Dengan
demikian, maka terjadilah perdagangan internasional ekspor dan impor antara
kedua negara tersebut.
b. Diferensiasi Harga Barang
Layaknya pada suatu pasar, konsumen akan selalu mencari pedagang
dengan harga yang lebih kompetitif atau lebih murah dengan kualitas yang sama.
Demikian pula halnya dalam perdagangan internasional. Jika Amerika dan
Korea sama-sama dapat memproduksi computer dengan harga yang lebih murah
dibandingkan di Indonesia, maka orang-orang di Indonesia akan lebih memilih
membeli computer di kedua negara tersebut dengan harapan dapat memperoleh
keuntungan yang lebih besar.
c. Motivasi untuk Menambah Produktivitas
Ketika terjadinya kerjasama lintas negara, produk yang dihasilkan pun
harus sudah berkualitas internasiona. Jika tidak, jangan harap hasil produk anda
dilirik oleh negara lain. Faktor motivasi dari dalam diri para pekerja menjadi
salah satu penyebab terjadinya perdagangan internasional.
2. Penghambat perdagangan Internasional Ekspor dan Impor
Anneahira (2013), beberapa hal dapat menjadi penghambat aktivitas
perdagangan internasional ekspor dan impor, diantaranya :
a. Situasi Keamanan Suatu negara
Prinsipnya, semakin kondusif suhu politik dan situasi keamanan suatu
negara, maka semakin banyak negara yang berminat menjalin perdagangan
terhambat bahkan terhenti, jika kondisi keamanan suatu negara kurang aman
atau kurang kondusif.
b. Regulasi Pemerintah
Regulasi pemerintah kerap menjadi penghambat kelancaran
perdagangan internasional ekspor dan impor, seperti misalnya pembatasan
jumlah impor, biaya ekspor atau impor yang tinggi, serta perizinan yang
berbelit-belit.
c. Tidak Stabilnya Kurs Mata Uang Asing
Tidak stabilnya kurs mata uang asing, mengakibatkan sulitnya eksportir
maupun impotir menentukan harga penawaran maupun permintaan dalam
perdagangan internasional enggan melakukan kegiatan ekspor dan impor.
3. Aktivitas Perdagangan Internasional Ekspor dan Impor
Anneahira (2013), Kegiatan perdagangan internasional tidak bisa terlepas
dari ekspor dan impor. Berikut adalah pembahasanya :
a. Kegiatan Ekspor
Ekspor adalah kegiatan menjual barang ke luar negeri. Badan usaha atau
orang yang melakukan kegiatan ekspor disebut eksportir. Eksportir tertarik
menjual barang ke luar negeri karena keuntungannya lebih besar jika
dibandingkan menjual barang dialam negeri.
Pemerintah mendapatkan keuntungan berupa devisa dari kegiatan
ekspor. Oleh karena itu, semakin banyak ekspor maka semakin besar devisa
yang didapat pemerintah. Secara umum, barang - barang yang diekspor
Indonesia terdiri dari dua jenis yaitu barang - barang migas dan non migas.
Barang-barang migas antara lain minyak tanah, bensin, elpiji, dan solar.
Sedangkan barang-barang non migas antara lain hasil pertanian, perkebunan,
Menjadi eksportir bukan hal mudah karena butuh kejelian untuk melihat
kegiatan keinginan pasar. Internasional market yang beragam membuat eksportir
harus menerapkan strategi adaptasi. Terutama, jika brand produk belum
mendunia. Berikut ini beberapa cara untuk masuk ke pasar global.
1). Licensing adalah perjanjian kontraktual ketika satu perusahaan (Licensor)
membuat asset yang terlindungi secara hukuam dapat tersedia bagi
perusahaan lain (licensee)dengan member atau membayar royalty, license
fee, atau bentuk kompensasi lain. Misalnya, Disney, Coca Cola, dan
caterpillar.
2). Direct marketing (FDI) adalah aliran investasi keluar dari negara asal, seperti
perusahaan berinvestasi atau megadakan pabrik, peralatan, dan berbagai
asset di negara lain. Perusahaan memproduksi, menjual, dan berkompetinsi
secara local. Bentuk dari FDI adalah joint venture, equity stakes, acquisition,
minority stake, dan lain-lain.
3). Franchising adalah kontrak ketika perusahaan induk (franchisor) memberi izin
perusahaan lain (franchisee) untuk mengoperasikan bisnis yang
dikembangkan franchisor dengan membayar sejumlah fee tertentu. Misalnya,
Mcdonalds, Body Shop, dan 7 Eleven.
b. Kegiatan Impor
Kebalikan dari ekspor, impor adalah kegiatan membeli barang dari luar
negeri, untuk dijual kembali di dalam negari. Orang atau badan usaha yang
melakukan kegiatan impor disebut importir. Alasan Importir membeli barang dari
luar negeri adalah untuk mendapat laba. Barang yang dibeli importir lebih murah
jika dibandingkan membeli dari dalam negeri. Harga barang yang lebih murah
disebabkan karena negara penjual memiliki sumber daya alam yang melimpah,
memproduksi barang dengan harga yang lebih murah, mampu memproduksi
meningkatkan ekspor dan membuat minim impor. Era merkantilisme mencatat
demikian. Langkah untuk membuat impor minim adalah sebagai berikut.
1). Kuota adalah pembatasan yang dilakukan pemerintah atas sejumlah unit atau
nilai total dari produk tertentu yang boleh diimpor.
2). Kebijakan diskriminasi pembelian adalah berupa aturan pemerintah dan
regulasi administrative yang mendeskriminasikan pemasok asing.
3). Prosedur bea masuk (custom procedure) disebabkan oleh adanya perbedaan
klasifikasi produk dan penentuan nilai komoditi di berbagai negara yang
berbeda.
4). Kebijakan diskriminasi kurs mata uang, misalnya Cina yang menjadikan mata
uang yuan sebagai weak currency sehingga membuat produk – produk Cina
menjadi lebih kompetitif dari pada produk asing.
5). Pembatasan administrative dan peraturan teknis adalah peraturan anti
dumping, peraturanukuran, dan kendungan bahan baku. Termasuk,
keselamatan dan kesehatan. Contoh lain adalah aliansi negara untuk
membentuk pasar tungal. Misalnya, EU, AFTA, dan lain-lain.
4. Akibat Perdagangan Internasional Ekspor Impor
Anneahira (2013), Perdagangan Internasional ekspor dan impor member
dampak positif maupun negative bagi negara-nrgara yang terlibat. Dampak
positif adanya perdagangan internasional dirasakan oleh negara pengekspor
maupun pengimpor. Bagi negara pengekspor, mendapat kemudahan
memperoleh pasar, sedangkan bagi negara pengimpor, memperoleh kemudahan
mendapatkan barang.
Selain itu, beberapa dampak positif lainya adalah mempererat hubungan
persahabatan antar negara, meningkatkan kesejahteraan suatu negara,
negara, mendorong majunya ilmu pengetahuan dan teknologi. Serta diversifikasi
konsumsi yang lebih luas bagi penduduk suatu negara.
Di lain pihak, perdagangan internasional ekspor dan impor juga
berdampak negatif terhadap negara yang terlibat. Diantaranya adalah timbulnya
kebergantungan terhadap suatu negara, persaingan yang tidak sehat dalam
perdagangan internasional, persaingan kecil yang tidak mampu bersaing akan
gulung tikar, serta munculnya penjajahan ekonomi oleh negara yang lebih maju.
D. Konsep Daya Saing
1. Daya Saing
Porter (1990), menyatakan bahwa daya saing dapat diidentikkan dengan
produktivitas, yakni tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang
digunakan. Peningkatan produktivitas ini dapat disebabkan oleh peningkatan
jumlah input fisik modal maupun tenaga kerja, peningkatan kualitas input yang
digunakan, dan peningkatan teknologi (total factor productivity). Pendefinisian
daya saing juga dikemukakan oleh Organization for Economic Co-operation and
Development (OECD) yang mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan
suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa yang berskala internasional
melalui mekanisme perdagangan yang adil dan bebas, sekaligus menjaga dan
meningkatkan pendapatan riil masyarakat dalam jangka panjang. Daya saing
yang baik dapat terlihat jika komoditi tersebut memiliki keunggulan komparatif
dan keunggulan kompetitif di dalamnya.
Oleh karena daya saing industri merupakan fenomena di tingkat mikro
perusahaan, maka kebijakan pembangunan industri nasional semestinya
didahului dengan mengkaji sektor industri secara utuh sebagai dasar
pengukurannya
Pada dasarnya tingkat daya saing suatu negara di kancah perdagangan
(comparative advantage) dan faktor keunggulan kompetitif (competitive
advantage). Lebih lanjut, faktor keunggulan komparatif dapat dianggap sebagai
faktor yang bersifat alamiah dan faktor keunggulan kompetitif dianggap sebagai
faktor yang bersifat acquired atau dapat dikembangkan/diciptakan (Tambunan,
2003). Selain dua faktor tersebut, tingkat daya saing suatu negara sesungguhnya
juga dipengaruhi oleh apa yang disebut Sustainable Competitive Advantage
(SCA) atau keunggulan daya saing berkelanjutan. Ini terutama dalam kerangka
menghadapi tingkat persaingan global yang semakin lama menjadi sedemikian
ketat/keras atau Hyper Competitive.
Analisis Hyper Competitive (persaingan yang super ketat) berasal dari
D’Aveni (Hamdy, 2001), dan merupakan analisis yang menunjukkan bahwa pada
akhirnya setiap negara akan dipaksa memikirkan atau menemukan suatu strategi
yang tepat, agar negara/perusahaan tersebut dapat tetap bertahan pada kondisi
persaingan global yang sangat sulit. Menurut Hamdy, strategi yang tepat adalah
strategi SCA (Sustained Competitive Advantage Strategy) atau strategi yang
berintikan upaya perencanaan dan kegiatan operasional yang terpadu, yang
mengkaitkan 5 lingkungan eksternal dan internal demi pencapaian tujuan jangka
pendek maupun jangka panjang, dengan disertai keberhasilan dalam
mempertahankan/meningkatkan sustainable real income secara efektif dan
efisien.
Untuk itu perlu dilakukan penguatan perekonomian domestik dengan
orientasi dan daya saing global. Secara makro teori globalisasi ekonomi dapat
diartikan sebagai sebuah teori yang didasarkan atas asumsi perdagangan bebas
atau pasar bebas di seluruh dunia, tanpa adanya hambatan baik dalam bentuk
tarif atau non tarif (Wibowo, 2004). Namun secara mikro, globalisasi ekonomi
dapat diartikan sebagai sebuah inisiatif bisnis yang didasarkan atas kepercayaan
mengaburnya perbedaan nyata antar pasar domestik. Sedangkan mengenai
kerjasama regional, (Hamdy Hadi, 2001) mengemukakan bahwa kerja sama
ekonomi dan keuangan, khususnya di bidang perdagangan internasional, saat ini
mengarah pada pembentukan kerja sama guna mewujudkan integrasi ekonomi
dan keuangan secara regional.
2. Teori Keunggulan Komparatif
Suatu negara akan memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan
negara lain bila negara tersebut berspesialisasi dalam komoditi yang dapat
diproduksi dengan lebih efisien (mempunyai keunggulan absolut) dan mengimpor
komoditi yang kurang efisien (mengalami kerugian absolut). Konsep keunggulan
komparatif yang dipopulerkan oleh David Ricardo (1823) menyatakan bahwa
”sekalipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan absolut
untuk memproduksi dua komoditi jika dibandingkan dengan negara lain, namun
perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara
yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam memproduksi komoditi ekspor
pada komoditi yang mempunyai kerugian absolut kecil. Dari komoditi ini Negara
tersebut mempunyai keunggulan komparatif dan akan mengimpor komoditi yang
kerugian absolutnya lebih besar. Dari komoditi inilah negara mengalami kerugian
komparatif” (Salvatore, 1997). Dalam teoti keunggulan komparatif dapat
menggunakan dua analisis data yaitu metode (RCA) Revealed Comparative
Advantage dan Metode Ordinary Least Square (OLS) dengan pejelasan sebagai
berikut :
Balassa (1971), analisis keunggulan komparatif RCA diperkenalkan
pertama kali oleh Bela Balassa pada tahun 1965 dalam penelitiannya mengenai
pengaruh liberalisasi perdagangan luar negeri terhadap keunggulan komparatif
hasil industri Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara yang tergabung dalam
ditambah Kanada dan Swedia. Pada mulanya Balassa menggunakan dua
konsep pemikiran, pertama : didasarkan pada rasio impor dan ekspor, dan yang
kedua: pada prestasi ekspor relatif. Dengan alasan bahwa impor lebih peka
terhadap tingkatnya perlindungan tariff, dan pada perkembangan selanjutnya
Balassa meninggalkan ukuran yang pertama. Balassa mengevaluasi prestasi
ekspor masing-masing komoditi dinegara-negara tertentu dengan
membandingkan bagian relatif ekspor suatu Negara dalam ekspor dunia untuk
masing-masing dalam rumus (RCA) Revealed Comparative Advantage sebagai
berikut :
RCA = (X ij / Xt )
(W j / Wt)
Dimana:
Xij = nilai ekspor komoditi j negara i
Xt = nilai ekspor total (komoditi j dan lainnya) dari propinsi i
Wj = nilai ekspor komoditi j di propinsi
Wt = nilai ekspor total propinsi
Misalnya yang di hitung RCA kakao olahan jawa timur, maka rumusnya
adalah sebagai berikut:
RCA = Nilai ekspor kakao olahan jatim/total nilai ekspor kakao jatim
Nilai ekspor kakao olahan indonesia/total nilai ekspor kakao indonesia
Jika RCA > 1 maka wilayah tersebut lebih berspesialisasi produksi dikelompok
komoditi yang bersangkutan. Wilayah tersebut memiliki keunggulan.
Komparatif pada komoditi tersebut. Semakin besar nilai RCA, maka
semakin kuat keunggulan komparatif yang dimilikinya. Jika RCA < 1 maka
sebaliknya wilayah tersebut tidak memproduksikomoditi dimaksud untuk tujuan
ekspor karena tidak ada daya saing dan dapatmengganggu efisiensi produksi
Menurut Rahmanu (2009), Metode Revealed Comparative Advantage
(RCA) merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur
keunggulan komparatif suatu komoditi di suatu wilayah (negara, provinsi, dan
lain-lain). Metode ini didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar
wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu
wilayah. Pola pendekatan tidak hanya menggambarkan biaya untuk
memproduksi komoditi tersebut, tetapi juga perbedaan faktor-faktor non harga
yang menentukan keunggulan komparatif suatu komoditi. Pada dasarnya
metode ini mengukur kinerja ekspor suatu komoditi tertentu dengan total ekspor
suatu wilayah dibandingkan dengan pangsa komoditi tersebut dalam
perdagangan dunia.
3. Teori Keunggulan Kompetitif
a. Menurut Michael E Porter (1990) dalam bukunya yang berjudul Competitive
Advantage of Nations terdapat empat faktor utama yang menentukan keunggulan
bersaing industri nasional, yaitu kondisi faktor (factor condition), kondisi
permintaan (demand condition), industri terkait dan industri pendukung (related
and supporting industry), dan struktur, persaingan dan strategi industri (firm
strategy, structure, and rivalry). Selain keempat faktor tersebut terdapat dua
faktor yang mempengaruhi interaksi antara keempat faktor tersebut yaitu factor
kesempatan (chance event) dan faktor pemerintah (government). Secara
bersamasama faktor-faktor ini membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan
daya saing yang disebut Porter’s Diamond theory. Berikut ini merupakan
penjelasan lebih lanjut mengenai Porter’s Diamond theory (Porter’s, 1990):
1). Kondisi Faktor (Factor Condition)
Kondisi faktor merupakan suatu gambaran faktor sumberdaya yang
dimiliki suatu negara yang berkaitan dengan proses produksi suatu industri.
sumberdaya merupakan modal utama dalam membangun keunggulan kompetitif
suatu industri. Menurut Porter, 1990 faktor sumberdaya diklasifikasikan menjadi
lima kelompok yaitu : sumberdaya alam, sumberdaya manusia, ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK), modal, dan infrastruktur. Kelima kelompok
tersebut akan menggambarkan keunggulan yang dimiliki oleh suatu negara dan
segala potensi yang dapat dikembangkan oleh negara tersebut.
2). Kondisi Permintaan (Demand Condition)
Kondisi permintaan merupakan faktor penting yang mempengaruhi posisi
daya saing nasional. Menurut Widayunita, 2007 mutu produk dan produktivitas
suatu negara akan mempengaruhi kondisi permintaan dan pada akhirnya akan
berpengaruh pada keunggulan kompetitif suatu negara. Mutu persaingan di
tingkat global memberikan tantangan bagi perusahaan - perusahaan untuk
meningkatkan daya saingnya. Dalam pengembangan mutu,
perusahaan-perusahaan akan melakukan inovasi serta peningkatan kualitas
produk agar sesuai dengan permintaan konsumen.
3). Industri Terkait dan Industri Pendukung (related and supporting industry)
Industri terkait dan industri pendukung merupakan salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi posisi daya saing suatu industri. Untuk itu perlu dijaga
hubungan dan koordinasi dengan para pemasok, khususnya untuk menjaga dan
memelihara rantai nilai produksi dari industri hulu hingga industri hilir.
Keberadaan industri hulu mampu menyediakan bahan baku untuk proses
produksi suatu industri sedangkan industri hilir menggunakan bahan baku
tersebut untuk diproses menjadi suatu produk yang memiliki nilai tambah. Rantai
nilai produksi antara industri hulu dan industri hilir yang terhubung dengan baik
4). Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan (Firm Strategy, Structure, and
rivalry)
Persaingan dalam negeri mendorong perusahaan untuk mengembangkan
produk baru, memperbaiki produk yang telah ada, menurunkan harga dan biaya,
mengembangkan teknologi baru, dan memperbaiki mutu serta pelayanan. Pada
akhirnya, persaingan di dalam negeri yang kuat akan mendorong perusahaan
untuk mencari pasar internasional (berorientasi ekspor). Globalisasi ekonomi
akan menyebabkan terjadinya ketergantungan antar negara. Masing-masing
negara membangun perekonomiannya berdasarkan kekayaan yang dimiliki, yang
merupakan keunggulan komparatifnya. Namun, keberhasilan pembangunan
tersebut lebih ditentukan pada keunggulan kompetitifnya dikarenakan ada
pesaing-pesaing yang dekat, yaitu negara lain yang membangun keunggulan
perekonomian mereka di sektor atau jenis industri yang sama dengan strategi
serupa.
5). Peran Pemerintah (government)
Peran pemerintah merupakan faktor yang menentukan posisi daya saing
suatu industri. Peran pemerintah dapat terjadi secara langsung dan tidak
langsung, secara tidak langsung pemerintah dapat mempengaruhi permintaan
melalui kebijakan fiskal dan kebijakan moneter, sedangkan peran pemerintah
secara langsung adalah dengan bertindak sebagai pembeli produk dan jasa.
Pemerintah juga dapat mempengaruhi berbagai sumber daya yang tersedia,
berperan sebagai pembuat kebijakan yang menyangkut tenaga kerja, pendidikan,
pembentukan modal, sumber daya alam dan standar produk. Dalam penerapan
kebijakan peran pemerintah tidak selamanya baik, masih terdapat kemungkinan
kegagalan yang dapat dilakukan pemerintah atau biasa disebut government
6). Peran Kesempatan (chance event)
Kesempatan memainkan peranan dalam membentuk lingkungan bersaing
karena peluang merupakan peristiwa yang terjadi di luar kendali perusahaan,
industri dan pemerintah, seperti terobosan besar dalam teknologi, pergeseran
dramatik yang tiba-tiba terjadi dalam biaya faktor atau biaya masukan seperti
krisis minyak, atau perubahan dramatis dalam kurs mata uang. Selain itu
terjadinya peningkatan permintaan produk serta kondisi politik yang stabil juga
merupakan kesempatan yang dapat diambil oleh para pelaku usaha.
Peran kesempatan merupakan suatu hal yang bersifat kecelakaan
(accidental), sehingga dalam kenyataan peran kesempatan bisa terjadi atau tidak
terjadi. Dalam hal ini peran kesempatan bisa menguntungkan atau merugikan
para pelaku usaha.
b. Menurut Mulyani, Sri ( 2004), Analisis daya saing kompetitif akan dibahas
dengan metode kualitatif yaitu dengan menganalisis tiap komponen dalam
Porter’s Diamond Theory. Komponen tersebut adalah sebagai berikut:
1). Factor Condition (FC), yaitu keadaan faktor-faktor produksi dalam suatu
industri seperti tenaga kerja dan infrastruktur.
2). Demand Condition (DC), yaitu keadaan permintaan atas barang dan jasa
dalam negara.
3). Related and Supporting Industries (RSI), yaitu keadaan para penyalur dan
industri lainnya yang saling mendukung dan berhubunan.
4). Firm Strategy, Structure, and Rivalry (FSSR), yaitu strategi yang dianut
perusahaan pada umumnya, struktur industri dan keadaan kompetisi dalam
suatu industri domestik.
Selain itu ada komponen lain yang terkait dengan keempat komponen
utama yaitu faktor pemerintah dan kesempatan. Keempat faktor utama dan dua
komponen penentu daya saing kita dapat menentukan komponen yang menjadi
keunggulan dan kelemahan daya saing industri pakaian jadi. Keunggulan tiap
faktor dalam komponen penentu daya saing akan dilambangkan dengan symbol
(+), sedangkan kelemahan tiap faktor dalam