• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI TENTANG KONSEP AKHLAK ISLAM MENURUT IBNU MASKAWAIH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "STUDI TENTANG KONSEP AKHLAK ISLAM MENURUT IBNU MASKAWAIH"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) pada Prodi Pendidikan

Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar

AYU ASHARI 105 190 1475 11

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 1437 H / 2015 M

(2)
(3)
(4)

iv

Nama : Ayu Ashari

Nim :105 190 1475 11

Fak/Jurusan :Agama Islam/Pendidikan Agama Islam

Setelah dengan seksama memeriksa dan meneliti, maka skripsi ini dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diajukan dan dipertahankan dihadapan tim penguji ujian skripsi Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar,

Disetujui:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Hj. Maryam M.,Th. I Dahlan Lama Bawa S.Ag., M. Ag NIP : 196012311932007 NBM : 815044

(5)

v

bawah ini, menyatakan bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya penulis/peneliti sendiri. Jika kemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, dibuat atau dibantu secara langsung orang lain baik keseluruhan atau sebagian, maka skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.

Makassar,

AYU ASHARI

(6)

vi

...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.

Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu...

(QS. Al-Baqarah : 216)

Persembahan Teruntuk

Kupersembahkan karya sederhana ini untuk sosok Malaikat yang kusebut “Ayah”

dan sosok Bidadari yang kusebut “Ibu” yang senantiasa menghangatkanku dengan doanya, membelaiku dengan kasih sayangnya serta memberiku motivasi dengan kerja kerasnya yang tak kenal waktu tanpa mengeluh sedikitpun dan mengajariku tentang kehidupan ini.

kepada suamiku yang dengan sabar dalam membantuku baik secara moril dan materil yang senantiasa menghantarku dan menemaniku dalam penyelesaian skripsiku ini.

serta kepada sahabat-sahabatku yang setia menemani dan memberikan semangat ketika kurapuh dan terpuruk

Dan tak lupa pula kuucapkan banyak terima kasih kepada para pendidik (Guru/Dosen) yang telah memberiku Ilmu yang begitu berharga tuk Dunia dan Akhiratku.

Kau, Dia dan Kalian adalah Pengaruh

Terbesarku!!!

(7)

vii

Studi ini bermaksud untuk membahas tentang Konsep Akhlak Islam Menurut Ibnu Maskawaih. Penelitian ini merupakan jenis penelitian Library research, dimana penelitia ini lebih berfokus dan berhadapan langsung dengan teks literatur yang relevan atau buku-buku yang berkaitan dengan topik yang dibahas, terutama kitab-kitab tafsir klasik dan modern.

Instrumen yang penulis gunakan dalam mengumpulkan data-data adalah sebagai sumber utama berupa ayat-ayat Alquran serta buku-buku atau literatur yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, dengan pengolahan data secara kualitatif, yaitu mengumpulkan data terlebih dahulu kemudian diolah guna mendapatkan data yang akurat dan dapat diinterpretasikan kedalam konsep yang sesuai dengan topik yang dibahas.

Hasil kajian yang mendalam diperoleh kesimpulan bahwa Ibnu Maskawaih adalah seorang filosof akhlak teoritis yang dikenal sebagai bapak filosof yang mampu menggabungkan pemikiran filosof yunani khusunya konsep etikanya seperti Aristoteles, Plato, dan Galinus dengan petunjuk-petunjuk akhlak dalam Islam. Sejarah agama menunjukkan bahwa kebahagiaan yang ingin dicapai dengan menjalankan syariah agama itu hanya dapat terlaksana dengan adanya akhlak yang baik.

Kepercayaan yang hanya berbentuk pengetahuan tentang keesaan tuhan, ibadah yang dilakukan hanya sebagai formalitas belaka, muamalah yang hanya merupakan peraturan yang tertuang dalam kitab saja, semua itu bukanlah merupakan jaminan untuk tercapainya kebahagiaan tersebut Dan disinilah semestinya peran yang harus dimainkan umat Islam untuk memberikan kontribusinya bagi pendidikan agama Islam melalui pengembangan kurikulum PAI.

(8)

viii

ُﺓﻮٰﻠﱠﺼﻟﺍ َﻭ ،َﻦْﻴِﻤَﻠٰﻌﻟْﺍ ِّﺏ َﺭ ِ ﱣ ِ ُﺪْﻤَﺤْﻟﺍ َﺍ ﻰَﻠَﻋ ُﻡَﻼﱠﺴﻟﺍ َﻭ

ِءﺂَﻴِﺒْﻧَﻷْﺍ ِﻑﺮﺷ

ُﺪْﻌَﺑﺎﱠﻣَﺍ ، َﻦْﻴِﻌَﻤْﺟَﺍ ِﻪِﺒْﺤَﺻ َﻭ ِﻪِﻟٰﺍ ﻰَﻠَﻋ َﻭ َﻦْﻴِﻠَﺳ ْﺮُﻤﻟْﺍ َﻭ ...

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt, karena berkat karunia dan petunjuk-Nya sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Studi Tentang Konsep Akhlak Islam Menurut Ibnu Maskawaih” dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, Rasul yang menjadi suri tauladan yang telah menuntun umatnya menjadi manusia yang berilmu.

Penulis menyadari, bahwa penyusunan skripsi bukanlah suatu hal yang mudah, banyak kesulitan yang dialami yang tidak terpikir sebelumnya,akan tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak skripsi ini dapat diselesaikan. Dalam penulisan skripsi ini, tentunya banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik mori lmaupun materil. Oleh Karena itu penulis tak lupa pula menghanturkan penghargaan dan terima kasih kepada:

1. Dr. H. Irwan Akib, M.Pd., selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

(9)

ix

2. Drs. H. Mawardi Pewangi M.Pd.I., Selaku dekan FAI Universitas Muhammadiyah Makassar yang senantiasa memberikan motivasi dalam berbaga ikesempatan untuk meningkatkan profesionalis memelalui proses perkuliahan.

3. Dr. Hj. Maryam, M.Th.I, selaku sekretaris Prodi PAI sekaligus dosen pembimbing I dan Dahlan Lama Bawa S.Ag.,M.Ag selaku pembimbing II yang senantiasa membantu penulis dengan membimbing serta memberikan masukan untuk penyusunan skripsi ini.

4. Bapak / Ibu para dosen yang telah membagi ilmu pengetahuan kepada penulis dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, semoga amal jariahnya selalu mengalir.

5. Semua karyawan Tata Usaha Fakultas Agama Islam yang senantiasa melayani penulis dengan ikhlas ketika mengurus berbagai urusan akademik, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

6. Kedua orang tua tercinta. Ayahanda Sahir dan Ibunda Nurma Rahman yang telah mengarahkan, membimbing, menyayangi dan memberikan motivasi serta bantuan baik moril maupun materil sejak kecil hingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah

(10)

x

7. Suamiku tercinta Achmad Mujahidin yang senantiasa menjaga dan menghantarku ke kampus untuk bimbingan skripsi dan rela meninggalkan segala kerjaan di kantor demi untuk membatu menyelesaikan skripsi ini..

8. Kepada teman-teman di kelas F yang selalu membantu dan memberikan semangat untuk kelancaran perkuliahan dan untuk sahabatku Nirwana, Nurhayati, Nirwana Syahrier, Rosmayani, Tasyriana Tajwid dan Nurul Hikmah yang senantiasa menemani dan menungguku di saat bimbingan.

Penulis mengharapkan tegur sapa atau kritikan yang hendak memperbaiki, mudah-mudahan skripsi ini dapat membawa manfaat dan di Ridhoi oleh Allah swt. Amiin.

Makassar, 02 Safar 1437 H

13 November 2015 M

AYU ASHARI

(11)

xi

HALAMAN JUDUL ... i

BERITA ACARA MUNAQASYAH ... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... v

MOTTO ... vi

ABSTRAK ... vii

PRAKATA ... viii

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Jenis Penelitian ………...8

F. Metode Pendekatan ……….8

G. Teknik Pengumpulan Data …….………8

H. Metode Pengelolaan Data ………..9

I. Teknik Analisis Data ………9

BAB II AKHLAK DAN PERMASALAHANNYA A. Pengertian Akhlak Islam ... 11

B. Beberapa Pandangan Tentang Akhlak Manusia ... 12

(12)

xii

A. Biografi Ibnu Maskawaih ... 25 B. Latar Belakang Pendidikan/Pemikiran Ibnu Maskawaih ... 32 C. Karya-Karya Ibnu Maskawaih ... 34 BAB IV KONSEP IBNU MASKAWAIH TENTANG AKHLAK ISLAM

A. Biografi Ibnu Maskawaih ... 37 B. Konsep Akhlak Islam Ibnu Maskawaih ... 38 C. Relevansi Akhlak dengan Pendidikan Islam ... 51 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 55 B. Saran ... 56 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam merupakan agama yang mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik yang sifatnya pendidikan moral atau pendidikan akhlak, kaitannya dengan manusia yang sifatnya cara berhubungan dengan penciptanya yakni Allah SWT. Sebagai salah satu bentuk ibadah dan pengabdian terhadap Allah Rabbul Alamiin.

Akhlak yang baik adalah semulia mulianya sesuatu, sebaik-baiknya manusia. Dengan akhlak baik, manusia lebih tinggi derajatnya ketimbang dari binatang. Keistimewaan akhlak islamiyah ialah karena sumbernya adalah agama islam dan takwa merupakan pokok pangkalnya.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q. S Al-Ahzab (33) : 21.





































Terjemahnya :

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah..

(Departemen Agama RI, 2002 : 421 ).

Manusia hanyalah sosok yang terdiri dari daging, urat, dan darah.

Demikian pula binatang, ia juga sosok yang terdiri dari daging,urat, dan darah. Kedua mahluk ini hanya bisa di bedakan melalui akhlak dan kecerdasan. Andai saja kedua hal ini lenyap, maka tidak ada lagi

1

(14)

perbedaan antara manusia dan binatang. Keduanya akan sama-sama bodoh. Bedanya, manusia bisa berbicara, sementara binatang tidak.

Selain itu, manusia kadang berbicara keji, sesuatu yang tidak pernah di lakukan binatang.

Sejarah agama menunjukkan bahwa kebahagiaan yang ingin dicapai dengan menjalankan syariah agama itu hanya dapat terlaksana dengan adanya akhlak yang baik. Kepercayaan yang hanya berbentuk pengetahuan tentang keesaan tuhan, ibadah yang dilakukan hanya sebagai formalitas belaka, muamalah yang hanya merupakan peraturan yang tertuang dalam kitab saja, semua itu bukanlah merupakan jaminan untuk tercapainya kebahagiaan tersebut.

Timbulnya kesadaran akhlak dan pendirian manusia terhadap-Nya adalah pangkalan yang menetukan corak hidup manusia. Akhlak, atau moral, atau susila adalah pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak kebaikan. Hidup susila dan tiap-tiap perbuatan susila adalah jawaban yang tepat terhadap kesadaran akhlak, sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-tiap pelanggaran kesusilaan adalah menentang kesadaran itu.

Kesadaran akhlak merupakan kesadaran manusia tentang dirinya sendiri, dimana manusia melihat atau merasakan diri sendiri sebagai berhadapan dengan baik dan buruk. Disitulah membedakan halal dan haram, hak dan bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan. Itulah hal yang khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak

(15)

ada hal yang baik dan buruk atau patut tidak patut, karena hanya manusialah yang mengerti dirinya sendiri, hanya manusialah yang sebagai subjek menginsafi bahwa dia berhadapan pada perbuatannya itu, sebelum, selama dan sesudah pekerjaan itu dilakukan.

Allah SWT berfirman dalam Q. S Annisa’ (4) : 59.



























































Terjemahnya :

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Departemen Agama RI, 2002 : 90).

Banyaknya fenomena rusaknya akhlak dan moral yang terjadi di negara Indonesia. Yang pelakunya merupakan orang-orang yang berpendidikan. Korupsi, tawuran, narkoba dan barang haram lainnya. Hal ini terjadi disebabkan tentunya karena kurangnya kesadaran tentang akhlak yang terpuji.

Berbeda halnya keadaan di pondok pesantren dengan kondisi masyarakat umum. Pondok pesantren yang mendidik dengan akhlak yang baik yang bersumber dari Al-qur’an dan sunnah yang menanamkan

(16)

prinsip akhlakul karimah, sehingga melahirkan kesadaran pada masyarakat pondok pesantren untuk senantiasa berakhlak yang baik.

Saling tergur sapa ketika bertemu, berbahasa yang sopan dan menjauhi segala perbuatan-perbuatan zina.

kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar, keyakinannya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan- perbuatan moral. Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemampuan mengatur potensi-potensi dan perbuatan-perbuatan itu dapat sejalan benar dengan potensi rasionalnya yang dapat membeda-bedakan hal yang benar dan salah, yang baik dan buruk, hingga perbuatan-perbuatan itu benar-benar teratur sebagaimana mestinya. Akhir dari kesempurnaan moral adalah sampai dapat mengatur hubungan antara sesama manusia hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama.

Para filosof berupaya mengkaji bagaimana cara agar manusia dapat membebaskan diri dari martabat hina-dina ini menuju martabat yang tinggi dan mulia. Suatu martabat yang membuatnya lepas dari karasteristik binatang, martabat yang telah dikhususkan oleh Allah SWT untuknya, dan demi martabat inilah manusia diciptakan. Suatu martabat yang mengharuskan dia menjadi khalifah dimuka persada ini. Agar dengan begitu, menyebarluaslah dimuka bumi ini keadilan Ilahi, dan

(17)

menyebar pulalah moral mulia yang digariskan Nabi SAW. Untuk itu manusia diberi alat fundamental yakni akal agar dapat memikirkan segala sesuatu dan mendorong manusia untuk melahirkan segal bentuk kebaikan.

Dalam perkembangan pendidikan akhlak telah banyak tokoh yang tampil kepermukaan dengan mengemukakan teori atau konsepnya tentang bagaimana yang sebenarnya atau sebaiknya sistem yang di tempuh untuk lebih efektif serta efesiennya pendidikan akhlak.

Seperti halnya dengan Imam Al-Gazali mengemukakan konsep dan teorinya bahwa :

Di katakan baik suatu akhlak tergantung pada sejauh mana manusia bisa berusaha untuk menghindari dan meninggalkan kehidupan yang sifatnya dunia, menurut istilahnya adalah hidup Zuhud. Lain dengan Ibnu Maskawaih tidak sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Imam Al-Gazali yang mengemukakan suatu teori yang justru merupakan kebutuhan utama bagi kehidupan manusia. (Ahmad Muhammad. 1999 : 52)

Oleh karena itu, Ibnu Maskawaih mengemukakan bahwa :

Menghendaki agar manusia tetap hidup di tengah-tengah masyarakat dalam arti tidak sampai meninggalkan lingkungan kehidupan keramaian masyarakat. Yang jelas bagi Ibnu Maskawaih tergantung pada kemampuan manusia itu sendiri untuk menghindari pengaruh-pengaruh lingkungan yang tidak sesuai dengan petunjuk ajaran agama islam. (Helmi Hidayat. 1994 : 4)

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda :

َﻻ َﻭ ًﺎﺷ ِﺣﺎَﻓ ﻡﻠﺳﻭ ﻪﻳﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﻲﺑﻧﻟﺍ ﻥﻛﻳ ﻡﻟ : ﻝﺎﻗ ﺎﻣﻬﻧﻋ ﷲ ﻲﺿﺭ ﻭﺭﻣﻋ ﻥﺑ ﷲ ﺩﺑﻋ ﻥﻋ َﻥﺎَﻛ َﻭ ًﺎﺷِّﺣَﻔَﺗُﻣ ًﺎﻗَﻼْﺧًﺃ ْﻡُﻛُﻧَﺳْﺣَﺃ ْﻡُﻛ ُﺭﺎَﻳ ِﺧ ْﻥِﻣ ﱠﻥِﺇ : ُﻝ ْﻭُﻘَﻳ

) ﻱﺭﺎﺧﺑﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ .(

Artinya :

(18)

Dari Abdullah bin Amru ra berkata: Nabi tidak pernah berbuat keji terhadap dirinya sendiri tidak pula berbuat keji kepada orang lain.

Beliau bersabda : “Sesungguhnya termasuk sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya”. (HR. Bukhari)

Dengan menggunakan kekuatan atau daya yang ada pada diri manusia atau dengan kata lain manusia mampu mengendaliakan dirinya dari segala pengaruh hawa nafsu yang dikenal dengan istilah “ Al-Iffah, artinya mawas diri dengan tidak perlu meninggalkan lingkungan sosial kemasyarakatan.

Oleh karena itu, betapa pentingnya peran akhlak bagi anak baik hal ini tentunya tidak terlepas dari didikan kedua orang tuanya, serta lingkungan sekitarnya. Baik melalui pendidikan formal maupun lewat pendidikan nonformal. Demikian juga halnya pembinaan masyarakat islam, khususnya pendidikan akhlak.

Berangkat dari latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji secara komprehensif mengenai konsep akhlak.

B. Rumusan Masalah

Penjelasan tentang akhlak merupakan bagian yang mendasar dan penting dalam pembentukan pribadi manusia. Maka dari itu peneliti tertarik untuk mengkajinya. Penelitian ini difokuskan pada pokok permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana biografi Ibnu Maskawaih ?

2. Bagaimana konsep akhlak Islam Ibnu Maskawaih ? 3. Bagaimana relevansi akhlak dengan pendidikan Islam ?

(19)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui biografi Ibnu Maskawaih.

2. Untuk mengetahui bagaimana konsep akhlak Ibnu Maskawaih.

3. Untuk mengetahui relevansi akhlak dengan pendidikan Islam.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Dengan mengetahui konsep akhlak menurut Ibnu Maskawaih maka dapat memberikan pemahaman yang lebih luas tentang perbedaan akhlak yang baik dan akhlak yang buruk. Sehingga dapat menjadi panduan manusia dalam kehidupan. Dengan pengetahuan akhlak yang sesuai dengan syari’at islam maka manusia dapat menjadi manusia yang sebenarnya dan dapat mengangkat derajatnya di hadapan Allah SWT. Sehingga daat mencapai kebahaagiaaan didunia dan di akhirat.

2. Bagi peneliti, dengan meneliti konsep akhlak menurut Ibnu Maskawaih, maka akan dapat menambah wawasan pemahaman yang lebih komperensif sehingga diupayakan dapat terealisasi dalam kehidupan.

3. Hasil dari pengkajian dan pemahaman masalah di atas, sedikit banyak diharapkan dapat membantu usaha penghayatan dan pengamalan terhadap akhlakul karimah.

(20)

4. Penelitian ini sebagai kajian dan usaha menambah khasanah ilmu pengetahuan di Fakultas Agama Islam umumnya dan Jurusan Pendidikan Agama Islam khususnya.

E. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, karena menekankan pada penelitian yang berupaya untuk menelusuri dan mencari teks yang berkaitan dengan implementasi kedudukan akal dalam Pendidikan Agama Islam yang membahas pada masalah tersebut.

F. Metode Pendekatan

Dalam rangka mengumpulkan data-data teoritis untuk menjawab permasalahan penelitian, peneliti menggunakan pendekatan sebagai berikut :

1. Pendekatan Historis karena didalam pembahasan-pembahasan ini akan di kemukakan riwayat hidup Ibnu Maskawaih.

2. Pendekaatan filosofis sebab yang akan di uraikan didalamnya adalah analisa tentang kefilsafatan Ibnu Maskawaih.

G. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa sumber utama berupa riset kepustakaan yakni dengan menggunakan sumber-sumber data yang tertulis khususnya yang terhimpun dalam perpustakaan yang ada, dengan menggunakan teknik-teknik sebagai berikut :

(21)

1. Teknik kutipan yaitu suatu teknik yang dipakai dengan mencatat kutipan sesuai dengan aslinya.

2. Teknik ikhtisar yaitu suatu teknik yang dipakai dengan mencatat kutipan yang sudah di ikhtisarkan.

3. Teknik ulasan yaitu teknik yang memuat catatan penulis sendiri sebagai reaksi terhadap suatu sumber.

H. Metode Pengolahan Data

Dalam mengelolah data yang telah dikumpulkan, penulis menggunakan pengolahan data secara kualitatif, yaitu mengumpulkan data terlebih dahulu kemudian diolah guna mendapatkan data yang akurat dan dapat diinterpretasikan ke dalam konsep yang sesuai dengan topik yang dibahas.

I. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan langkah-langkah penting dalam suatu penelitian. Dalam pengolahan data penulis menggunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif dengan pendekatan interpretative, penulis menggunakan beberapa metode penganalisaan data yaitu:

1. Metode Induktif yaitu, suatu metode penulisan yang berdasarkan pada hal-hal yang bersifat khusus dan hasil analisis tersebut dapat dipakai sebagai kesimpulan yang bersifat umum.

2. Metode Deduktif yaitu, metode penulisan atau penjelasan dengan bertolak dari pengetahuan yang bersifat umum, atau mengolah data

(22)

dan menganalisa dari hal-hal yang sifatnya umum guna mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus.

3. Metode Komperatif yaitu metode yang dipakai dengan menganalisis data dengan jalan membandingkan antara satu pendapat dengan pendapat yang lain atau antara satu data dengan data lain. Kemudian mencari persamaan dan perbedaan untuk diambil suatu kesimpulan dan menghubungkan dengan realitas yang terjadi dilapangan.

(23)

BAB II

AKHLAK DAN PERMASALAHANNYA

A. Pengertian Akhlak 1. Menurut Bahasa

Kata “akhlak” berasal dari bahasa arab, “khuluq” yang berarti perangkai atau budi pekerti. (Muhammad Yunus. 1980 : 120)

Dalam bahasa inggris kata akhlak biasa disebut “character” yang berarti watak, karakter, sifat, dan berwatak baik. Biasa juga berarti karakter normal. (John M Echols. 1984 : 107).

Dalam bahasa indonesia kata “akhlak berarti budi pekerti, watak, tabiat”. ( W. J. S Poerwadarminta. 1976 : 25)

2. Menurut Istilah

Muhammad bin Ali Asy Syariif Al Jurjani dalam (Mansur Ali Rajab.

1961 : 91) akhlak adalah sesuatu sifat (baik atau buruk) yang tertanam kuat dalam diri yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan tanpa perlu berpikir dan merenung.

Imam Al-Gazali dalam (Ahmad Muhammad 2000 : 10), akhlak adalah gambaran tentang keadaan pada jiwa sehingga dari padanya timbul perbuatan-perbuatan secara spontanitas tanpa adanya pertimbangan.

Ibnu Maskawaih dalam (Helmi Hidayat 1994 : 5), akhlak adalah 'hal li an-nafsi daa'iyatun lahaa ila af'aaliha min goiri fikrin walaa ruwiyatin' yakni sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

Dari beberapa pendapat tentang akhlak di atas pada hakekatnya tidak ada perbedaan yang mendasar mengenai pengertian tersebut.

Akhlak merujuk pada kebiasaan kehendak. Ini berarti bahwa kalau

11

(24)

kehendak itu dibiasakan maka kebiasaan itulah yang dinamakan akhlak.

Misalnya, kalau kehendak untuk membiasakan memberi maka ini dinamakan akhlak dermawan. Budi adalah sifat jiwa yang tidak kelihatan, sedangkan akhlak adalah kelihatan melalui kelakuan atau muamalah.

Kelakuan adalah bukti dan gambaran adanya akhlak.

Maka dapat disimpulkan bahwa akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang atau keadaan jiwa yang merupakan perangsang bagi timbulnya perbuatan secara spontanitas.

B. Beberapa Pandangan Tentang Akhlak Manusia

Pada pembahasan terdahulu penulis telah menguraikan tentang pengertian akhlak. Maka pada bagian ini penulis akan mengemukakan beberapa pandangan tentang akhlak manusia sebagai berikut :

Ibnu Maskawaih mengatakan bahwa :

“Jiwa berasal dari limpahan akal aktif. Jiwa bersifat ruhani, suatu substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu panca indera.” (M Ilyas. 2009 : 114)

Jiwa tidak bersifat material dibuktikan oleh Ibnu Maskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan satu sama lain. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran konsep putih dan hitam dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima dalam satu waktu putih atau hitam saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu, baik yang inderawi maupun yang spiritual.

(25)

Ibnu Maskawaih mengungkapkan bahwa :

Memandang manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya pikir dan manusia juga sebagai mahkluk yang memiliki macam-macam daya.

Menurutnya dalam diri manusia ada tiga daya yaitu pertama daya bernafsu (an-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya terendah. Kedua daya berani (an-nafs as-sabu’iyyat) sebagai daya pertengahan. Dan yang ketiga adalah daya berpikir (an-nafs an-nathiqat) sebagai daya tertinggi, kekuatan berfikir manusia itu dapat menyebabkan hal positif. ( M Ilyas. 1296 : 10)

Ketiga daya tersebut merupakan daya menusia yang asal kejadiannya berbeda. Selalu mengarah kepada kebaikan, tetapi tidak dengan kekuatan berpikir binatang. Jiwa manusia memiliki kekuatan yang bertingkat-tingkat. Unsur rohani berupa bernafsu (An-Nafs al- Bahimmiyyat) dan berani (An-Nafs as-sabu’iyyat) berasal dari unsur materi

sedangkan berpikir (An-nafs an-nathiqat) berasal dari ruh tuhan karena itu an-nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan

dan an-nafs an-nathiqat tidak akan mengalami kehancuran. Sebab dengan landasan yang begitu akan melahirkan perbuatan-perbauatan baik tanpa kesulitan.

Ketiga keutamaan akhlak tersebut merupakan pokok atau induk akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat, dan sebagainya merupakan cabang dari ketiga induk ahklak tersebut.

Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibnu Maskawaih tidak membawa satu ayat pun dari al-Qur’an dan tidak pula membawa dalil dari hadits akan tetapi spirit doktrin ajaran tengah ini

(26)

sejalan dengan ajaran islam. Hal ini karena banyak dijumpai ayat-ayat Al- Qur’an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh boros tetapi juga tidak boleh kikir melainkan harus bersifat diantara kikir dan boros.

Sebagai makhluk sosial, manusia selalu dalam gerak dinamis mengikuti gerak zaman.

Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan dan ekstrim kelebihan. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi misalnya, pada masyarakat desa dan kota tidak dapat disamakan.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah ternyata tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga flexibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan pokok keutamaan akhlak.

Ibnu Maskawaih mengemukakan sebagai berikut :

Diantara manusia ada yang baik dari asalnya. Golongan ini tidak akan cenderung pada kejahatan, meskipun karena sesuatu yang memang dari asalnya tidak akan berubah. Golongan yang memang jahat dari asalnyaa adalah minoritas, sama sekali tidak akan cenderung pada kebaikan. Diantara kedua golongan tersebut ada golongan yang dapat beralih kepada kebaikan dan kejahatan, karena pendidikan atau pengaruh lingkungan. (Hamza Ya’kub, 1955 : 90) Imam Al-Gazali dalam (Ahmad Muhammad 2000 : 23) berkata bahwa :

(27)

“Sesungguhnya akhlak adalah hal ikhwal yang melekat dalam jiwa, yang darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa dipikir dan diteliti”.

Apabila ikhwal atau tingkahlaku tersebut menimbulkan perbuatan yang baik dan terpuji oleh akal dan syara’. Tingkahlaku tersebut di namakan akhlak yang baik. Sebaliknya, apabila menimbulkan perbuatan yang buruk, maka tingkah laku itu dinamakan akhlak yang buruk.

Akhlak dikatakan tingkahlaku atau hal ihwal yang melekat pada seseorang karena telah dilakukan berulang-ulang atau terus-menerus.

Seseorang yang sebelumnya tidak pernah memberikan uangnya kemudian dia memberi karena ada kebutuhan yang tiba tiba maka ia tidak di katakan berakhlak dermawan karena perbuatanya tidak melekat dalam jiwanya. Disyaratkan pula bahwa timbulnya perbuatan tersebut adalah dengan mudah tanpa dipikir lagi. Orang yang memaksakan diri memberikan hartanya atau memberikan uangnya, dan memaksa dirinya untuk diam dengan perasaan berat diwaktu marah, tidaklah dapat dikatakan berakhlak dermawan, berlapang hati dan sabar..

Dengan keadaan itu, seseorang condong pada salah satu dari dua arah dan mudah baginya melakukan salah satu dari dua perbuatan, yaitu kebaikan atau keburukan.

Akhlak bukanlah perbuatan. Kadang-kadang ada orang yang akhlaknya dermawan, tetapi dia tidak memberi karena tidak mempunyai harta atau ada penghalang lain. Ada pula orang yang akhlaknya kikir

(28)

(bakhil), tetapi dia memberi karena terpaksa atau karena ria (ingin di puji dan mendapat pujian). Akhlak juga bukan kekuatan karena perbandingan kekuatan yang mendorong untuk memberi atau tidak memberi, bahkan yang mendorong dua sifat yang berlawanan itu adalah sama. Setiap manusia diciptakan dengan fitrah yang mampu memberi dan tidak memberi dan hal itu tidak mengharuskan sifat bakhil atau sifat dermawan.

Akhlak bukan pula pengertian (ma’rifah) karena ma’rifah berhubungan dengan kebaikan dan keburukan dalam bentuk yang sama.

Akan tetapi kita mengetahui bahwa jiwa merupakan lapangan yang luas serta mengandung banyak kekuatan,yang sebagian dari kekuatan- kekuatan itu tidak ada kaitannya dengan akhlak, seperti berkhayal, mengingat, berfikir, kecerdasan, dan kebodohan.

Aristoteles berpendapat bahwa :

Meletakkan ukuran atau norma dan dasar bagi akhlak dan sifat yang utama. Yaitu pertengahan antara dua sifat yang rendah. Ia berkata :

“sesungguhnya tengah-tengah sesuatu ialah titik yang jauhnya sama antara antara dua pinggir dan itu hanya ada satu dalam segala hal.”

(Ahmad Muhammad Al-Hufiy. 2000 : 23)

Adapun yang dimaksud pertenghan mengenai manusia ialah orang yang tidak tercela karena berlebih-lebihan dan tidak pula tercela karena kurang perhatian.

Setiap manusia yang alim dan berakal berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan dirinya dari sifat berlebih-lebihan dalam segala hal, baik berlebih-lebihan dalam jumlah yang banyak maupun jumlah yang sedikit. Ia mencari pertengahan yang tidak condong pada salah satu

(29)

pinggir. Pertengahan ini tidak semata-mata tengah-tengah sesuatu tetapi tengah-tengah menurut kita. Yang di maksud disini ialah keutamaan akhlak karena akhlak dikhususkan mengenai perasaan manusia dan perbuatanya. Sifat yang utama ialah sifat yang pertengahan selagi sifat tersebut tetap menjadi tujuan yang harus dicapai tanpa harus berhenti.

Aristoteles telah mempelajari mazhab kebahagiaan umum. Dia mengokohkan sebagian dan melemahkan sebagian lainnya Sesungguhnya kebaikan adalah sesuatu yang berakhir dan terbatas, karena kesenangan bisa sedikit dan bisa pula banyak, dan sebagian dari kesenangan atau kebahagiaan yang umum menjadi ukuran bagi sifat yang utama dan sifat yang utama itulah yaang sebenarnya menjadi ukuran bagi kebahagian yang umum.

Epicurus berpandangan bahwa :

Kebahagiaan atau kelezatan hidup perseorangan menjadi tujuan hidup setiap manusia. Dalam kehidupan ini, tidak ada sesuatu yang baik selain kesenangan, dan tidak ada suatu keburukan kecuali kesakitan atau penderitaan. Keutamaan tidak ada nilainya kecuali jika mengandung kebahagiaan didalamnya. (Ahmad Muhammad Al- Hufiy. 2000 : 18)

Kesenangan yang dimaksud oleh Epicurus bukanlah kesenangan sekarang saja, tetapi dia menekankan agar manusia melihat kehidupan semua dan mencari kesenangan kehidupan serta keseluruhan serta mengajak manusia agar menguasai syahwat mereka untuk menolak kesenangan yang mengakibatkan penderitaan lebih besar, dan juga mengajak mereka agar bersedia menderita kepedihan yang akan menimbulkan kesenangan yang jauh lebih besar.

(30)

Kelezatan akal dan roh lebih bernilai dari pada kelezatan badaniyah. Oleh sebab itu, ia mengajak pada kehidupan yang mudah, sederhana, serta terpelihara dari hal-hal yang tidak baik, karena itulah sebaik-baiknya sarana untuk menuju kebahagiaan atau kesenangan hidup.

Adapun yang dimaksud ialah bahwa sifat yang baik adalah keutamaan yang dapat membawa kesenangan bagi yang memilikinya.

Sifat memelihara diri dari yang terlarang adalah hal yang utama, sedangkan berbudi yang buruk adalah sifat yang hina. Kebahagian yang diperoleh oleh seseorang yang bersih dan menjauhkan diri dari penderitaan yang disebabkan berbudi buruk adalah lebih baik dari pada kesenangan sementara yang diperoleh oleh seseorang yang berbudi buruk karena ia akan dilanda penderitaan jiwa, kehilangan kepercayaan, harta, kesehatan, dan kehormatan.

Mazhab ini dalam sejumlah kegiatan dan hal ihwal, jauh dari kebenaran. Banyak orang yang baik-baik tetap sabar menderita bermacam siksa dan penderitaan hanya untuk mengharapkan kebaikan untuk orang lain. Banyak orang tua yang menderita kesukaran, bahkan meninggalkan kesenangan mereka demi kebahagiaan putra putrinya.

Adapula orang orang yang berjuang untuk membela agamanya dan berani menebus kemerdekaan tanah air dengan darah dan jiwanya. Tidak ada yang mereka rindukan kecuali meninggikan kalimat Allah SWT. Mereka membela tanah air dan maju menghadapi pertempuran dengan niat rela

(31)

mati syahid fii sabilillaah. Lalu dimanakah kebahagiaan perseorangan atau kesenangan yang menjadi dasar mazhab ini.

Memang benar bahwa mati syahid dijalan Allah SWT dan membela tanah air adalah kebahagiaan, tetapi hal ini bukan seperti yang dikejar oleh para pembela mazhab kesenangan atau kebahagiaan perseorangan yang dipelopori oleh Epicurus tersebut.

Di samping itu, kita sering melihat orang berlomba-lomba dalam memadamkan kebakaraan, atau mentelamatkan orang yang tenggelam, atau menyelamatkan orang-orang yang berada dalam kesukaran tanpa mengharapkan kesenangan dan pujian atau pembalasan dari seseorang.

Mazhab ini pun berdiri atas dasar mementingkan kepentingan diri sendiri. Sedangkan aniyayah adalah sifat yang buruk yang tidak sesuai dengan akhlak yang mulia. Ia melakukan kebaikan hanya pada lahirnya saja untuk orang lain, tetapi sesungguhnyaa ditujukan untuk dirinya sendiri bukan untuk kepentingan orang lain. Dia memberi atau menunjukkan keberaniannya atau pura-pura jujur atau menunjukkan kemampuan dan kelebihannya,tetapi tujuan dibalik itu hanya mencari nama untuk mendapat pujian.

C. Akhlak Dalam Pandangan Islam

Akhlak merupakan suatu masalah yang menjadi perhatian orang dimana saja, baik dalam masyarakat yang telah maju maupun dalam masyarakat yang masih terbelakang. Jika dalam suatu masyarakat

(32)

banyak orang yang sudah rusak akhlaknya maka akan goncanglah keadaan masyarakat itu.

Athiyah al-Abrasyi mengutip pendapat Syauqi seorang penyair besar sebagai berikut :

Suatu bangsa itu tetap hidup selama akhlaknya tetap baik, bila akhlaknya sudah rusak, maka sirnalah bangsa itu. (Mohd. Athiyah al- Abrasyi. 1984 : 104).

Pengendali utama dalam kehidupan manusia adalah akhlak yang mulia yang bersumber dari nilai-nilai ajaran agama Islam yang mencakup segala unsur-unsur pendidikan, pengalaman, dan keyakinan yang didapat sejak manusia masih kecil. Apabila dalam pertumbuhan seseorang telah terbentuk suatu kepribadian yang harmonis, segala unsur-unsur pokoknya terdiri dari pengalaman-pengalaman yang menentramkan batin, maka dalam menghadapi dorongan-dorongan baik bersifat pendidikan, maupun yang bersifat rohani dan sosial, ia akan selalu tenang dan tidak menyusahkan atau melanggar hukum dan peraturan dimana saja ia berada.

Akhlak yang ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak sehingga merupakan bagian dari unsur-unsur kepribadiannya, akan cepat menjadi pengendali dalam menghadapi segala keinginan-keinginan dan dorongan- dorongan yang biasa timbul dalam kehidupan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Farid Ma’ruf Noor mengemukakan sebagai berikut :

(33)

Akhlak atau budi pekerti ini merupakan nilai kepribadian manusia sebagai manifestasi (perwujudan) dari sikap hidupnya secara kongkrit. Oleh karena itu, pembangunan akhlak ini merupakan satu hal yang sangat penting sekali. Sehingga Rasulullah SAW sendiri telah mengatakan akhlak yang baik dan mulia adalah akhlak yang dihadapkan terhadap sesama manusia bahkan sesama mahluk.

(Farid Ma’ruf Noor. 1981 : 54)

Oleh karena itu, akhlak yang baik merupakan mustika hidup sebagai tali pengikat silaturrahmi, persatuan, kesatuan, dan persaudaraan yang kukuh kuat bagi kehidupan umat manusia, yang dapat melahirkan perasaan senasib sepenanggungan dalam kehidupan masyarakat untuk mewujudkan hidup bersama.

Pendidikan akhlak dilaksanakan dengan jalan membiasakan anak kepada peraturan-peraturan dan sifat-sifat yang baik , jujur, dan adil.

Orang tua dan guru harus memperhatikan contoh teladan yang baik kepada anak atau muridnya sebab segala kelakuan orang tua/guru akan menjadi tiruan dan teladan bagi setiap anak.

Sifat-sifat yang mulia tidak akan dapat dipahami oleh anak-anak kecuali dengan pengalaman langsung yang dirasakan akibatnya dan dari contoh orang tua dalam kehidupannya sehari-hari. Pendidikan akhlak tdk berarti hanya memberikan pengertian-pengertian mengenai yang baik dan mana yang tidak baik menurut ajaran nilai-nilai agama Islam. Akan tetapi harus memberi contoh dan membiasakan hidup secara baik dan menjauhi hal-hal yang dipandang salah oleh nilai-nilai ajaran Islam.

Pendidikan akhlak dan kepribadian manusia, biasanya ditentukan lahir dari keluarga dan sekolah. Oleh karena itu, pendidikan akhlak dan

(34)

perlakuan orang tua dan guru terhadap anaknya hendaknya menjiwai segala kebutuhan-kebutuhan jiwa/rohani dan sosial masyarakatnya sebagaimana keterangan berikut ini :

Para ahli pendidikan Islam telah sependapat bahwa suatu ilmu yang tidak akan membawa kepada fadhilah dan kesempurnaan, tidak seyogyanya di beri nama ilmu. Tujuan pendidikan Islam bukanlah sekedar memenuhi otak murid-murid dengan ilmu pengetahuan tetapi tujuannya ialah mendidik akhlak dengan memperhatikan segi- segi kesehatan. Pendidikan fisik dan mental, perasaan dan praktek, serta mempersiapkan anak-anak menjadi anggota masyarakat.

(Bustami A Gani. 1984 : 104)

Pendidikan akhlak yang mulia adalah faktor penting dalam membina ummat atau membangun bangsa. Akhlak dari suatu ummat atau bangsa itulah yang menentukan sikap dan perbuatannya. Intelektual seseorang atau suatu masyarakat akan membawa bencana kalau tidak dilandasi dengan akhlak yang mulia dan iman yang bersih. Oleh karena itu Nasaruddin Razak telah mengemukakan bahwa :

Suatu pembangunan tidaklah ditentukan semata dengan faktor kredit dan investasi materil. Betapa pun melimpah ruahnya kredit dan besarnya investasi kalau manusia dalam pelaksanaannya tidak memiliki akhlak, niscaya segalanya akan berantakan akibat penyelewengan dan korupsi. (Nazaruddin Razak 1985 : 37)

Yusuf al-Qardhawy mengutip pendapat Imam Hasan Al-Banna sebagai berikut :

Demi hidupmu, tidaklah negeri sempit karena penduduknya. Tetapi yang menjadikannya sempit ialah akhlak pemimpin-pemimpinnya. (Yusuf al-Qardhawy. 1989 : 48).

Pendidikan Islam mewajibkan kepada setiap guru untuk senantiasa mengingatkan bahwa kita tidaklah sekedar membutuhkan ilmu tetapi kita

(35)

senantiasa membutuhkan akhlak yang baik. Pendidik harus senantiasa ingat bahwa pembentukan akhlak yang baik dikalangan pelajar dapat dilakukan dengan latihan-latihan berbuat baik, takwa, berkata benar, menepati janji, ikhlas dan jujur dalam bekerja, tahu kewajiban, membantu yang lemah, berdikari, selalu bekerja, dan tahu waktu.

Mengutamakan keadilan dalam setiap pekerjaan, lebih besar manfaatnya dari mengisi otak peserta didik dengan ilmu-ilmu teoritis, yang mungkin tidak dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Bila dalam ilmu kedokteran ditegaskan pemeliharaan kesehatan lebih baik dari perawatan, begitu pula pemeliharaan akhlak yang baik dari usaha memperbaikinya bisa sudah rusak.

Hasan Langgulung mengemukakan bahwa :

Untuk mengadakan pembentukan akhlak yang mulia. Kaum muslimin dari dahulu kala sampai sekarang setuju bahwa pendidikan akhlak adalah inti pendidikan Islam, dan bahwa mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya. (Hasan Langgulung. 1986 : 60)

Keterangan di atas menunjukkan bahwa pendidikan Islam menghendaki pada setiap guru supaya dalam pelajaran mengikhtiarkan cara-cara yang bermanfaat untuk membentuk adat-istiadatnya, menguatkan kemauan bekerja, mendidik pancaindranya, mengarahkan pembawaan di waktu kecilnya ke jalan yang lurus, dan membiasakan berbuat amal baik dan menghindari setiap kejahatan.

Athiyah al-Abrasy dalam (Bustamin A Gani 1970 : 12) berpendapat bahwa :

(36)

Tujuan pokok dan utama dari pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan pendidik jiwa. Semua mata pelajaran haruslah memperhatikan akhlak keagamaan sebelum yang lainnya, karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedang akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam. (Athiyah al-Abrasy. 1984 : 1)

Selanjutnya Athiyah al-Abrasy dalam (Bustamin A Gani 1970 : 12) mengutip pendapat Imam al-Gazali bahwa :

Tujuan dari pendidikan ialah mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Bukan pengkat dan bermegah-megahan dengan kawan. Jadi, pendidikan itu tidak keluar dari pendidikan akhlak. (Athiyah al- Abrasy. 1984 : 2)

Omar Mohammad al-Taumy al-Syaibany mengemukakan bahwa:

Akhlak itu penting bagi perseorangan dan masyarakat sekaligus.

Sebagaimana perseorangan tidak sempurna kemanusiaannya tanpa akhlak. Begitu juga masyarakat dalam segala tahapnya tidak baik keadaannya, tidak lurus keadaannya tanpa akhlak, dan hidup tidak bermakna tanpa akhlak yang mulia. Jadi akhlak yang mulia adalah dasar pokok untuk menjaga makna bangsa-bangsa, Negara-negara, rakyat, dan masyarakat. Sebab akhlak itulah timbul amal saleh yang berguna untuk kebaikan umat dan masyarakat. (Hasan Langgulung.

1979 : 318)

Dengan demikian, akhlak yang mulia dan tinggi adalah tujuan umat dan tertinggi dari pendidikan islam dan bukanlah sekedar mengajar kepada anak-anak apa yang tidak diketahui mereka, tetapi lebih dari itu yakni menanamkan fadhilah, membiasakan bermoral tinggi, sopan santun yang islami, tingkah perbuatan yang biak sehingga hidup ini menjadi suci disertai dengan keikhlasan. Jadi, akhlak menurut pandangan pendidikan Islam adalah sangat penting dalam kehidupan manusia, dan sekaligus merupakan tujuan akhir pendidikan Islam.

(37)

BAB III

IBNU MASKAWAIH

A. Biografi Ibnu Maskawaih

Sebelum menguraikan riwayat hidup Ibnu Maskawaih penulis lebih dahulu akan menjelaskan bahwa terdapat perbedaaan dalam penamaan Ibnu Maskawaih. Ada yang menyebutnya dengan Miskawaih dan ada pula menyebut Maskawaih. Demikian pula ada yang memberi Ibnu namanya dan ada pula yang tidak memberikannya.

Dalam hubungan berikut ini penulis akan mengemukakan beberapa pendapat tentang sebutan nama Ibnu Maskawaih adalah sebagai berikut :

Menurut T.J. Dewan Boer menyebut dengan Ibnu Maskawaih.

(Muhammad Abdul Hadi. 1939 : 150)

Albarhaqy dan Syamsudin Syahrazuary menyebutnya dengan Ibnu Maskawaih. (Yusuf Musa. 1963 : 73).

M. M. Syarif menyebutnya Miskawaih saja tanpa Ibnu. Nama Miskawaih ini diambil dari kata “Misk” yang artinya kasturi. (M. M Syarif.

1979 : 135)

Muslim ishak (Muslim ishak. 1980 : 18) Miskawaih atau Maskawaih adalah nama kakeknya.

Lain halnya dengan Abdurahman Badawi dalam (Ilyas hasan 1986 : 83) ia berpendapat Belum dapat di pastikan apakah Miskawaih itu dia sendiri ataukah dia adalah putra (Ibnu) Miskawaih.

25

(38)

Menurut Berockelmaan nama tersebut adalah nama keluarganya.

(M. M Syarif. 1986 : 83)

Perbedaan pendapat tersebut diatas di latar belakangi oleh perbedaan tinjauan. Pendapat yang menyebutkan dengan Ibnu Maskawaih melihat dari segi tempat dimana Ibnu Maskawaih bertempat tinggal. Sedangkan pendapat yang lain menyebutnya dengan Ibnu Miskawaih berpegang pada pekerjaan kakeknya yang di kenal sebagai penjual minyak kasturi.

Sedangkan keterangan yang menyatakan bahwa Ibnu Maskawaih itu adalah seorang majusi kemudian masuk Islam. Pandangan ini dikandung oleh Jurji Zaidan, tetapi pandangan ini masih diragukan kebenarannya, sebab baik nama ayahnya maupun nama kakeknya cukup dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan Islam pada abad keemasannya.

Mungkin kakeknya itulah orang majusi kemudian masuk Islam, tetapi bukan Ibnu Miskawaih itu sendiri. Pendapat ini diperkuat oleh Muhammad Yusuf Musa dengan alasan bahwa tidaklah wajar ada seorang majusi yang baru masuk islam pada masa kejayaannya langsung ilmunya mendalam tentang filsafat Islam.

Namun demikian, yang jelas bahwa beliau hidup pada kekuasaan Daulah Buwaehiyah dan beliau didalam tanggungannya dan dibawah para pengawasan menteri dan raja-raja yang berkuasa pada masanya.

(39)

1. Kelahiran Ibnu Maskawaih

Abu Bakar Atjeh berpendapat bahwa :

Ibnu Maskawaih lahir di Persia, nama lengkapnya ialah Abu Ali Ahmad bin Muhammad Ibnu Maskawaih di dunia filsafat di kenal dengan Abu Ali. Tanggal lahirnya tidak di ketahui secara pasti menurut Abdul Azzat, ibnu Maskawaih lahir pada tahun 325 Hijriyah.

Dan wafat pada tahun 421 Hijriyah. (Abu Bakar Atjeh. . 1982 : 170) Menurut Margoliouth (M. M Syarif. 1986 : 170) Ibnu Maskawaih lahir tahun 330 hijriyah/941 M.

Lain halnya Abdurrahman Baedawi yang berpendapat bahwa : Ibnu Maskawaih lahir 320 Hijriyah/ 920 M. Bila bukan pada tahun-

tahun sebelumnya, karena ia biasa bersama Al- Mahallby, yang menjabat sebagai Wazir pada tahun 339 H/ 950 M, dan meninggal pada tahun 352 M. Yang pada massa itu paling tidak Ibnu Maskawaih telah berusia sembilan belas tahun. (M. M Syarif. 1986 : 83).

Dari keterangan yang di uraikan di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa tanggal lahir Ibnu Maskawaih tidak di ketahui secara pasti, tetapi secara jelas beliau hidup pada masa berkuasanya Daulah Buwaehiyah.

2. Pendidikan Ibnu Maskawaih

Dari berbagai buku yang telah membicarakan tentang Ibnu Maskawaih, tidak ada yang menguraikan riwayat hidup beliau secara terperinci sebagaimana halnya filosof islam yang lainnya. Tetapi hanya yang dapat diketahui bahwa Ibnu Maskawaih telah mendalami dari berbagai bagian ilmu pengetahuan yaitu ilmu Mantiq, filsafat metafisika, utamanya filsafat akhlak yang merupakan bidang ilmu yang paling di minatinya.

(40)

Muslim Ishak mengemukakan bahwa :

Ibnu Maskawaih tidak di ketahui riwayat hidupnya maupun pendidikannya. Beliau dikenal sebagai ahli filsafat setelah menjadi orang yang pandai. Beliau juga dikenal sebagai sejarawan, penyair, dan ahli kimia. (M. M Syarif. 1986 : 160)

Namun demikian, Ibnu Maskawaih berbeda dengan filosof lainnya seperti Al-Gazali. Perbedaan itu dapat dilihat dalam pembahasannya dimana Al-Gazali lebih mengutamakan perhatiannya kepada filsafat amalan dalam arti filsafat akhlak yang sifatnya praktis, sedangkan Ibnu Maskawaih adalah seorang teoristis dalam persoalan akhlak, dengan pengertian bahwa Ibnu Maskawaih telah membahas filsafat Akhlaqiyah secara analisa ilmiyah.

Menurut Abdurrahman Baedawi berpendapat bahwa :

Ibnu Maskawaih belajar sejarah, terutama Tarikh At-Thabari, kepada Abu Bakar Ahmad Ibnu Kamil, Al Qahdhy (350 H/960 M). Ibnu Al- Khammar Mufasir kenamaan karya-karya Ariestoteles adalah guru Ibnu Maskawaih dalam bidang Abu Tayyib Al Razi, seorang ahli kimia. Akan tetapi Ibnu Sina dan Attauhidi dalam beberapa peryatananya memandang Ibnu Maskawaih tidak mampu berfilsafat.

(M. M Syarif. 1986 : 155)

Sedangkan Iqbal mengemukakan bahwa :

Memandang Ibnu Maskawaih sebagai salah seorang pemikir teoritis, moralis, dan sejarawan Persia yang paling terkenal. (M. M Syarif.

1986 : 155)

Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat diketahui bahwa pendidikan Ibnu Maskawaih tidak begitu dikenal secara terperinci, karena ia baru dikenal didalam dunia filsafat setelah menjadi orang besar.

Sebagaimana yang telah diketahui dari berbagai ilmu pengetahuan yang

(41)

telah dianlisisnya dan dipelajarinya, seperti filsafat, sejarah, kimia, terutama dalam bidang akhlak.

3. Pengalaman Hidup Ibnu Maskawaih

Pada masa berkuasanya raja Ahduddaulah, Ibnu Maskawaih mendapatkan penghormatan besar dari raja, dan diangkat sebagai pengawas perpustakannya yang besar, disamping penyimpanan rahasianya dan utusannya kepihak-pihak yang diperlukannya.

Muhammad Yusuf Musa mengemukakan bahwa :

Ibnu Maskawaih pernah diangkat sebagai bendaharawan negara oleh Hasan bin Muhammad Al-‘Azdy dan anak cucunya Al-Mahlaby bin Abi Sharafah. Setelah menteri wafat pada tahun 352 H. Ibnu Maskawaih kembali ke Ray untuk menduduki jembatan penting di samping menteri yang barnama Ibnu Amid, yaitu diangkat menjadi bendahara dan sekertaris. Ibnu Maskawaih tetap bersama menteri hingga wafatnya pada tahun 360 H. Dan sebagai penggantinya maka naiklah anaknya yang bernama Abil Fattah yang mempunyai sifat dan sikap yang sama dengan kemurahan hati ayahandanya. Dari masa kemasa yang beraneka ragam situasi dan kondisinya yang tidak dapat diatasi oleh Abil Fattah, bahkan pada waktu itu, Ibnu Maskawaih bergabung dan mengabdi pada raja Ahduddaulah bin Buwaeih hingga beliau wafat pada tahun 421 H. (Yusuf Musa, Falsafah Al-Akhlak fi Islam, 1963 : 80)

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa situasi dan kondisi pemerintah yang beraneka ragam itu, namun Ibnu Maskawaih dalam hidupnya ia selalu mendapat kedudukaan yang penting yang diserahi tugas oleh raja-raja yang berkuasa pada masanya.

Kemudian pada abad III dan IV H. Situasi politik dan pemerintah sudah kacau balau, maka kehidupan masyarakat dan pertumbuhan akhlak sudah mengalami perubahan, bahkan kebobrokan akhlak pada masa itu telah mencapai puncaknya, seperti merajalelanya kejahatan-kejahatan

(42)

sehingga menteri Al-Mahlaby mendapat sorotan dan kritikan dari kalangan Islam yang ingin mempertahankan norma-norma agama Islam secara murni.

Kebobrokan pada masa itu tidak dapat lagi di perinci atau tidak dapat diatasi baik dari kalangan awam (rakyat biasa) maupun pihak penguasa atau khilafah.

Abu Mansur Atsa’labi dalam salah seorang menteri pada masa itu mengungkapkan dalam syairnya mengenai kemaksiatan-kemaksiatan yang terjadi. Hal ini oleh Yusuf Musa mengungkapkan sebagai berikut :

“Seandainya bukan karena perasaan malu, saya akan menyebarluaskan (tempat-tempat kemaksiatan) dan bukan karena kebaikan kehidupan generasi muda saya tidak adakan menutupinya.

Dan kami tidak adakan berhenti minum khamar sampai pagi hari membukakkan rahasianya dan semuanya berada dihapan kmi menjadi penghalang, mudah-mudahan semuanya itu membuka rahasianya dalam kemabukannya”. (M. M Syarif. 1986 : 164)

Dan dalam suasana masyarakat yang di alami oleh Ibnu Maskwaih dalam perjalanan hidupnya di mana kebobrokan akhlak sudah merajalela.

Situasi seperti ini tidaklah benar kalau dikatakan bahwa pertumbuhan.

Bahkan sebaliknya, karena dengan bangkitnya ulama –ulama seperti di baghdad dan munculnya kerajaan kecil dalam kejayaan islam, yang justru mempengaruhi kekuatan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan menolong para ulama dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.

Tetapi sebenarnya pada masa itu merupakan masa kecemerlangan bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan. Hal ini menyebabkan bermunculnya beberapa orang sastrwan dan ilmuan, seperti halnya Ibnu Maskawaih

(43)

yang hidup pada masa berkuasanya Bani Buwaehiya yang terkenal gemar dan cinta terhadap ilmu pengetahuan. Mereka meniru apa yang pernah di lakukan oleh Khalifah Abbasiyah pada zaman keemasannya, terutama pada masa Harus Rasyid, al-Amin dan Al-Ma’mun. Karena itu ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat di kawasan kekuasaan mereka, dan pihak penguasa itu sendiri terkadang dari kalangan ilmuwan dan sastrawan yang gemar sekali menyerahkan istananya dan majelis diskusinya engan mengundang ulama ilmuan dan sastrawan lainnya.

Dengan dasar itulah Ibnu Maskawaih sebagai salah seorang sastrawan dan kesungguhan hati dalam menuntut ilmu pengetahuan yang mendapat peluang baik untuk berhubungan dengan materi Al-Mahallaby yaitu Hasan Bin Muhammad Al-Azdy dan anak cucunya Al-Mahallaby bin Abi Sharfah yakni materi Muizzuddaulah Bin Buhaewiyah pada tahun 348 SM.

Menurut Abdurrahman Badawi bahwa :

Ibnu Maskwaih pernah bertempat tinggal dengan Abu Fadhl Ibnu

‘amid selama tujuh tahun dan ia di angkat sebagai pustakawan. (M. M Syarif. 1986 : 170)

Berdasarkan dari keterangan di atas, maka dapatlah di tarik suatu kesimpulan bahwa di sinilah Ibnu Maskawaih mendapat kesempatan untuk mempelajari filsafat yunani yang telah di terjemahkan ke dalam bahasa arab. pengalaman Ibnu Maskawaih dalam bidang ilmu pengetahuan sangat di kagumi dan cemerlang karena raja-raja yang

(44)

berkuasa pada masanya sangat mencintai ilmu pengetahuan, sehingga pada masa itu Ibnu Maskawaih memanfaatkan kesempatan yang sebaik- baiknya untuk mempelajari dam mendalami berbagai macam ilmu pengetahuan terutama buku-buku filsafat yunani yang telah ditulis ke dalam bahasa arab.

B. Latar Belakang Pendidikan dan Pemikiran Ibnu Maskawaih

Pada masa perkembangan pemikiran ummat Islam ke arah kefilsafatan yang sepenuhnya, di mana Ibnu Maskawaih termaksud salah seorang yang menekuni pemikiran yang filosofis, seperti halnya Al-Kindi, Al-Farabi. Bedanya ialah Ibnu Maskawaih mengkhususkan diri pada bidang akhlak saja dengan menghimpun butir-butir peradaban dari kalangan bangsa Arab maupun dari luar bangsa Arab. Oleh karena itu, pemikiran yang beliau tempuh sama dengan filosof-filosof yang lainnya.

Dalam pembahasan ini, penulis hanya mengemukakan pandangan para penulis sejarah kefisafatan yang pada umumnya sependapat, bahwa latar belakang pendidikan atau pemikiran Ibnu Maskawaih tidak dapat dipisahkan dari pemikiran kefilsafatan yang berkembang pada masanya yaitu berfisafat singkritisme artinya berusaha menyelaraskan pemikiran- pemikiran filosof dengan jiwa tuntunan agama islam.

T.J. dewan Boer dalam (Muhammad Abdul Hadi 1939 : 150) mengemukakan bahwa :

Dan sesungguhnya Ibnu Maskawaih telah meninggalkan suatu aliran tentang aliran filsafat akhlak yang senantiasa mendapat perhatian sampai sekarang, adalah pemaduan pendapat Plato, Aristoteles,

(45)

Galinus, dan petunjuk-petunjuk syari’at islam. ( T. J Dewan Boer.

1939 : 160)

Dari keterangan ini maka dapat dibuktikan bahwa Ibnu Maskawaih telah berhasil dalam upaya memadukan pendapat-pendapat yang ada pada masanya yang sudah tentu beliau tidak terlepas dari hukum-hukum syari’at Islam. Beliau adalah orang Islam.

Menurut Fuad Al-Ahwani mengemukakan sebagai berikut :

Sesungguhnya Ibnu Maskawaih dalam pembahasannya ini (akhlak) menempuh jalan kefilsafatan, tetapi dia sama dengan tokoh-tokoh filosofis Islam yang terkemuka. Dia mengambil dari pemikiran filosof Yunani tanpa mengikuti seorang filosof secara tertentu, melainkan dia mengambil dari setiap aliran apa yang menarik perhatiannya, kemudian dia meramu pemikiran itu antara yang satu dengan lainnya. ( Fuad al-Ahwan 1926 : 225)

Yusuf Musa menjelaskan sebagai berikut :

Abu Ali Ahmad bin Muhammad Maskawaih adalah salah seorang dari filosof islam yang mempertemukan antaraa kebudayaan Yunani dan kebudayaan Islam, dan mencampurkannya dengan satu segi pandangan dari filsafat romawi dan india bahkan filsafat Arab dan Persia. ( Yusuf Musa. 1963 : 74)

Yang berarti materi pokok dari pemikiran Ibnu Maskawaih ialah dari filsafat itu sendiri yang ditambahkan juga ke dalamnya sebahagian filsafat Romawi, filsafat Arab dan Persia. Kesemuanya itu diramu lalu menjadi suatu kefilsafatan yang tersendiri.

Sehubungan dengan itu, Hamzah Ya’kub mengemukakan bahwa:

Sumber-sember pemikirannya bercorak Islam dan bahan-bahan yang dipelajarinya dari filsafat Yunani ajaran Persia dan pengalamannya sendiri. ( Hamza Ya’kub. 1985 : 89)

(46)

Hal tersebut menunjukkan bahwa filsafat akhlak Ibnu Maskawaih lebih menonjolkan tuntutan Islam dan pemahaman pribadinya dengan tidak melupakan adanya pengaruh pribadinya dengan tidak melupakan adanya pengaruh beliau dari pemikiran filsafat yang mendahuluinya terutama Aristoteles, Plato, dan Galinus.

Dari beberapa keterangan yang telah dikemukakaan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Ibnu Maskawaih meramukan semua pemikiran kefilsafatan yang ada pada masanya sesuai dengan minat serta pengalamannya, terutama pemikiran Aristoteles, Plato, dan Galinus, maupun filosof Romawi, India, dan Arab. Dan semuanya itu dihimpun dan diramu menurut jiwa, terutama jiwa tuntutan Islam. Yang berarti dalam hal ini pemikiran Ibnu Maskawaih bercorak singkritisme antara pemikiran kefilsafatan yang berkembang pada masanya dengan tuntunan agama Islam.

C. Karya-Karya Ibnu Maskawaih

Ibnu Maskawaih adalah seorang pujangga yang memiliki keahlian dalam berbagai ilmu, seperti sejarah, ilmu kedokteran, filsafat, kimia, terutama akhlak. Oleh karena itu, diantara beberapa buah karangannya yang sampai saat ini masih menjadi bahan penyelidikan dan banyak yang sudah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, seperti yang ditulis dalam bahasa Arab, persia, dan Syiria maupun dalam bahasa Barat dan Timur.

(47)

Diantara kitab-kitabnya yang sangat banyak itu, ada yang sudah diperbanyak, ada pula yang sukar didapat naskahnya, bahkan ada yang ditemukan hanya merupakan terjemahannya saja.

Menurut Yakut memberi daftar karya tulis Ibnu Maskawaih sebanyak dua belas buah yaitu :

1. Al Faus Al-Akbar.

2. Al Faudz Al-Asgaar.

3.Tajrib Al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulis pada tahun 369 H/979 M).

4. Uns Al-Farid (kumpulan anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata mutiara).

5. Tartib Al-Sa’adaah (tentang akhlak dan politik).

6. Al-Mustafaah (syair-syair pilihan).

7. Jawi dan Khirad (kumpulaan ungkaapan bijak).

8. Al-Jami’.

9. Al-Syiaar (tentang aturan hidup).

10. Tentang pengobatan sederhana (kedokteran).

11. Tentang komposisi bajat (mengenai seni memasak).

12. Tahzib Al-Akhlak (mengenai akhlak). (M. M Syarif. 1986 : 84-85)

Kemudian menurut T. J. Dewan Boer dalam (Muhammad Abdul Hadi 1939 : 159) berpendapat sebagai berikut.

“Kitab ini diambil dari beberapa aliran yang berbeda-beda tentang pemberitaan dan hukum dalam empat negara yaitu Persia, India, Arab, dan Romawi untuk menunjukkan kesamaan akal pada setiap zaman dan umat mengenai dasar-dasar hukum.” (T. J. Dewan Boer.

1939 : 159)

Sedangkan Abdurrahman Badawi (M. M Syarif. 1986 : 170) berpendapat bahwa masih ada lagi lima buku yang belum di sebutkan oleh Yakut, yaitu sebagai berikut :

1. Risalah Fi Al-Ladzadzah Wal-Alam Fi auhar Al-Nafa (naskah diistambul, Raghib Majmu’aah no. 1463. Lembar 57a – 59a).

2. Ajwibah Wa As’ilah Fil Al-Nafs Wal-Aql (dalam Majmu’ah terdebut diatas, dalam raghib di Istambul).

(48)

3. Al-Jawab Fi Al-Masa’il Al-Tsalats (naskah diterheran, Fihrrist Maktabat Al-Majlis, 11, No. 634 (31).

4. Risalah fi Jawab di Sual Al Bin Muhammad Abu Hayyan Al-Shufi Fi Haqiqat Al-Aql (perpustakaan Masshad di Iran, L.No. 43 (173).

5. Tharat al-Nafs (naskah di koprulu, Istambul, No. 737).

Diantara yang sudah diperbanyak itu ialah fi Al- ladzadzah,Penjelasan mengenai perasaan-perasaan yang dapat menyenangkan dan menyakitkan jiwa manusia, baik untuk kehidupan lahir seperti halnya makan, minum. Risalah Fii Thabi’iyah isinya mengenai ilmu alam, Risalah Fi Jauhar An-Nafs isinya mengenai ilmu jiwa dan beberapa pemikirannya mengenai pendapat kitab Al-Aqal Wal Majelis’qul, maqalah Fin – Nafs, Wal’aql, mengenai ilmu jiwa.

Menurut Abu Bakar bahwa Kitab-kitab Ibnu Maskawaih yang sudah dicetak antara lain :

Tahzibul Akhlak Wa Thahhirul ‘Awarq, yaitu mengenai akhlak, Faudz Asgar, juga mengenai akhlak. Kitabu As-Sa’adah mengenai sejarah, dicetak lebih sepuluh kali diterjemahkan kedalam bahasa latin dan inggris sejak tahun 269 H. Lagz Qabis yang pernah ditulis dalam bahasa arab, persia, dan syiri’ah, ada juga mengenai nasehat, peradaban, syair, dan kitab- kitabnya yang tidak dapat ditemukan sekarang seperti kitab Anas Al-Farid, merupakan cerita islam yang tertulis dalam bahasa Arab yang indah, kitab Adawiyah Mufridha dan kitab Tarkibul Bajat Minal Ath’imaah, mengenai kimia dan pengobatan dan mengenai sejarah dan mengenai filsafat. (Abu Bakar Atjhe. 1982 : 78)

Dari keterangan di atas, maka dapat diketahui bahwa karya-karya Ibnu Maskawaih sangat banyak dan yang terpenting diantaranya ialah Tahzibul Akhlak Wa Tathiruu aI-Araq dan kitab As-Sa’adah, karena keduanya membicarakan tentang rohani dan mengenai akhlak.

(49)

BAB IV

KONSEP IBNU MASKAWAIH TENTANG AKHLAK ISLAM

A. Biografi Ibnu Maskawaih

Ibnu Maskawaih adalah seorang filosof Islam yang hidup pada masa kekuasaan Daulah Buwaehiyah. Nama Ibnu Maskawaih diambil dari kata Misk yang berarti katsuri sebab kakek dari Ibnu Maskawaih ini dikenal sebagai penjual minyak katsuri.

Pada masa berkuasanya raja Ahduddaulah, Ibnu Maskawaih mendapatkan penghormatan besar dari raja, dan diangkat sebagai pengawas perpustakannya yang besar disamping penyimpanan rahasianya dan utusannya kepihak-pihak yang diperlukan.

Ibnu Maskawaih telah mendalami dari berbagai bidang ilmu pengetahuan yaitu ilmu Mantiq, filsafat metafisika, utamanya filsafat akhlak yang merupakan bidang ilmu yang paling di minatinya. Namun demikian, Ibnu Maskawaih berbeda dengan filosof lainnya seperti Al-Gazali. Perbedaan itu dapat dilihat dalam pembahasannya dimana Al-Gazali lebih mengutamakan perhatiannya kepada filsafat amalan dalam arti filsafat akhlak yang sifatnya praktis, sedangkan Ibnu Maskawaih adalah seorang teoristis dalam persoalan akhlak, dengan pengertian bahwa Ibnu Maskawaih telah membahas filsafat Akhlaqiyah secara analisa ilmiyah.

37

(50)

B. Konsep Akhlak Islam Ibnu Maskawaih 1. Hakekat Akhlak Manusia

Dalam uraian ini penulis akan menguraikan kekhususan pandangan Ibnu Maskawaih tentang hakekat akhlak yakni apakah tabiat/ akhlak manusia itu baik semata-mata sedangkan kejahatan datang sesudahnya atau tabiat/akhlak manusia itu buruk sedangkan kebaikan akan datang menggantikannya setelah diusahakan, ataukah hanya terdapat potensi berupa kesiapan untuk menerima keduanya.

Dalam masalah ini Ibnu Maskawaih lebih dahulu menelusuri pendapat- pendapat yang mendahuluinya, kemudian beliau merumuskan pandangannya sendiri dengan memperhatikan sejauh mana kebenaran pandangan filosof-filosof pendahulunya dan bagaimana pula isyarat yang terdapat dalam tuntunan agama Islam yang sesuai dengan Al-qur’an dan hadist.

Untuk jelasnya uraian ini, sebelum penulis mengemukakan pandangan Ibnu Maskawaih, terlebih dahulu akan dikemukakan kembali pemikiran yang berkembang dikalangan filosof sebagai berikut :

Menurut Socrates (Muslim Ishak. 1980 : 85) yang mengatakan bahwa tabiat dasar manusia adalah baik.

Menurut Plotinus (Muslim Ishak. 1980 : 88) yang mengatakan bahwa tabiat manusia adalah buruk.

Menurut Immanuel Kant (Muslim Ishak. 1980 : 90) bahwa :

Referensi

Dokumen terkait

*%del pemelajaran adalah #uatu p%la atau langkah/langkah pemelajaran tertentu yang diterapkan agar tujuan atau k%mpeten#i dari ha#il elajar yang diharapkan akan $epat

Selain nilai utama 1 yang dikehendaki (ditunjukkan dalam tampilan 2 pada menu "Operasi"), Anda dapat mengatur enam nilai alternatif yang dapat diatur untuk mode

1) Calon peserta didik dari jalur ini hanya bisa mendaftarkan diri melalui operator di sekolah yang menjadi pilihan. 2) Pengajuan pendaftaran dilakukan oleh

Setelah dilaksanakan kegiatan pembelajaran pada siklus I pertemuan 2, peneliti dan teman sejawat mengadakan refleksi dan evaluasi bahwa peningkatan hasil belajar anak dalam

Hasil penelitian pada tabel 6 hasil diagnosa keperawatan pada kedua klien bahwa mengalami ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan keletihan otot pernafasan,

Dengan demikian metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif untuk mendeskripsikan hasil dari analisis struktur dan kaidah

The mean values of endogenous creatinine clearance (CL cr ) were 0.19 ± 0.06 L/h/ kg, the mean values of fractional clearance (FC) were 1.26 ± 0.3 and 1.4 ± 0.2 and the cumulative