• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. STUDI PUSTAKA 2.1. Ikan Rucah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "II. STUDI PUSTAKA 2.1. Ikan Rucah"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

II. STUDI PUSTAKA

2.1. Ikan Rucah

Ikan merupakan semua jenis hewan yang termasuk kelas Pisces dan seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.

Ikan termasuk salah satu bahan pangan sumber lemak dan protein hewani yang mudah didapatkan dan dapat dikonsumsi sehari-hari. Dalam operasi penangkapan ikan ada beberapa jenis ikan bernilai ekonomi rendah yang ikut terjaring. Ikan yang tidak termasuk ke dalam tujuan penangkapan utama disebut bycatch (hasil tangkap sampingan). Jenis ikan tersebut biasanya memiliki nilai ekonomis yang rendah (Bunlipatanon et al., 2014). Masalah yang menyebabkan rendahnya nilai ekonomis ikan tersebut dan kadang dibuang ke laut, karena ukuran dan bentuk yang tidak menarik.

Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis potensi komoditas ikan adalah metode Location Quotient (LQ). Model ekonomi basis pada umumnya menggunakan metode LQ sebagai langkah awal untuk memahami sektor kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan (Lamonica et al., 2020). Metode ini menyajikan perbandingan relatif antara kemampuan yang sama pada daerah yang lebih luas dengan kemampuan suatu sektor di daerah yang diselidiki (Pradana dkk., 2019). Ukuran untuk menghasilkan koefisien LQ digunakan satuan antara lain adalah jumlah tenaga kerja, hasil produksi, atau satuan lain yang dapat digunakan sebagai kriteria (Tian et al., 2020).

Ada beberapa jenis ikan rucah yang terdapat di Pantura Kabupaten Lamongan yang belum termanfaatkan dengan baik yaitu:

a. Ikan Peperek

Ikan Peperek (Leiognathus bindus sp.) merupakan jenis ikan demersal dengan habitat perairan pantai tipe dasar lunak (Abdurahiman et al., 2010). Ikan demersal tersebut banyat terdapat di bagian Selatan Laut Cina Selatan (Masrikat, 2012).

Ikan Peperek juga biasa disebut dengan ikan Pirik atau Petek. Ikan Peperek berbentuk sangat pipih dan tipis serta berwarna dominan abu-abu keperakan.

(2)

Panjang ikan Peperek antara 6,1–12,5 cm (Pakhmode et al., 2013). Ikan Peperek banyak terdapat di perairan Utara Jawa (Wiadnya, 2012). Ikan Peperek (Leiognathus bindus) di perairan pesisir Hormozgan (Teluk Persia Utara) mempunyai panjang sekitar 8 cm (Daliri et al., 2012). Gambar dari ikan Peperek sebagai berikut:

Gambar 2.1 Ikan Peperek (Leiognatus splendens)

b. Ikan Juwi

Ikan Juwi (Anodontostoma chacunda) merupakan jenis ikan pelagis yang habitatnya di perairan dekat pantai. Ikan Juwi dapat ditemukan di pantai Utara Jawa sepanjang tahun. Ikan Juwi memiliki bentuh tubuh oval dengan panjang rata- rata 16 cm, berat rata-rata 32 g. M akanan yang disukai adalah invertebrata kecil dan herbivora (pada alga), bentuk mulut inferior serta memiliki tanda berupa bintik hitam berukuran besar di bagian samping penutup insang (Malvandi dan Alahabadi, 2019). Gambar dari ikan Juwi sebagai berikut:

Gambar 2.2 Ikan Juwi (Anodontostoma chacunda.)

(3)

c. Ikan Tembang (Sardinella fimbriata)

Ikan ini merupakan jenis ikan pelagis ini suka bergerombol pada area yang luas dan hidup di perairan pantai. Ikan Tembang memiliki badan memanjang, bagian bawah lebih cembung, perut bulat, dan berukuran sekitar 14 cm. Bersama dengan ikan Lemuru, dan ikan Tembang sering tertangkap sampai pada kedalaman sekitar

200 m. Ikan Tembang banyak terdapat di perairan Utara Jawa. Ikan ini memiliki sisik tubuh dengan banyak pori (Hata dan Motomura, 2020).

Pola produksi ikan Tembang berfluktuatif. Pada bulan Mei-September terjadi musim penangkapan ikan Tembang sedangkan pada bulan Maret terdapat musim paceklik (Simarmata dkk. 2014). Ikan Tembang di Senegal menyumbang 70% dari total tangkapan sehingga perikanan ini sangat penting untuk lapangan kerja serta ketahanan pangan nasional (Ba et al., 2019). Gambar dari ikan Tembang sebagai berikut.

Gambar 2.3 Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) d. Ikan Japo

Ikan Japo (Dussumieria acuta) atau biasa disebut ikan Japuh merupakan jenis ikan pelagis yang hidup di dekat pantai. Ikan Japuh memiliki bentuk tubuh memanjang, perut membulat, sirip punggung dan perut dekat dengan ekor dibanding kepala (Homayuni et al., 2013).

e. Ikan Puso

Ikan Puso (Harpadon nehereus) merupakan jenis ikan demersal dengan habitat lumpur dan pasir halus terutama pantai dekat dengan muara sungai. Ikan Puso

(4)

juga disebut ikan Nomei atau Acang-acang. Ikan Puso memiliki bentuk badan memanjang dan sedikit pipih. Panjang ikan Puso antara 5,9 – 25 cm. Warna tubuh bagian atas ikan Puso umumnya coklat gelam, bagian perut lebih cerah (He et al., 2019). Ikan Puso di laut Juata, Kalimantan utara panjangnya antara 14,6 – 33 cm; beratnya 13,5 – 233 gram. Sebagian besar bentuk tubuhnya datar atau kurus dan bentuk lainnya yaitu montok (Firdaus et al., 2018).

f. Ikan Lemuru (Sardinella lemuru)

Jenis ikan pelagis kecil ini membentuk gerombolan sangat besar. Penyebaran ikan Lemuru terutama di perairan pantai. Ikan Lemuru memiliki badan memanjang agak bulat, sisik lebih halus, tutup insang bagian bawah membentuk sudut, bagian belakang tutup insang berwarna kuning kehijauan pada nodanya dan diikuti dengan garis berwarna kekuningan pada gurat sisi. Panjang rata-rata yaitu 13,7 cm (Pertami et al., 2019). Ikan Lemuru memiliki adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan karena memiliki keragaman yang tinggi (Hendiari et al., 2020).

g. Ikan Beloso

Ikan Beloso (Saurida tumbil) merupakan jenis ikan demersal di perairan pantai dangkal. Ukuran ikan Beloso sekitar 10–30 cm. Bentuk badan ikan Beloso agak bulat memanjang, mulut lebar, dan gigi tajam. Belakang sirip punggung ikan Beloso terdapat sirip lemah tanpa duri yang kecil. Ikan Beloso banyak ditemukan di pantai Utara Jawa. Ikan Beloso atau Saurida tumbil (Bloch, 1795) di perikanan Jizan, Arab Saudi didapatkan memiliki panjang yaitu 52,98 cm (Gabr and Mal, 2017). Umumnya ikan Beloso diolah menjadi ikan asin.

Keberadaan ikan Beloso di perairan Pakistan dalam keadaan dilestarikan (Kalhoro et al., 2015).

h. Ikan Kapasan

Ikan Kapasan (Gerres abbreviatus) memiliki tubuh yang ramping dengan panjang sekitar 13 cm. Warna tubuh ikan Kapasan abu-abu dengan ujung sirip punggung berwarna hitam. Sirip punggung ikan kapasan terdiri atas 10 jari- jari keras dan jari-jari lemah. Ikan Kapasan tergolong kurang pipih atau kurus

(5)

(Dewi dan Arami, 2018) dan banyak ditemukan di padang lamun di pesisir perairan pulau Kei Besar, Maluku Tenggara (Triandiza, 2013).

i. Ikan Lidah

Ikan Lidah (Cynoglossus lingua) merupakan jenis ikan yang memiliki rasa gurih, tetapi daging ikan tidak terlalu tebal. Ikan Lidah merupakan jenis ikan demersal yang hidup di dasar laut. Panjangnya berada pada kisaran 70-323 mm dan bobot tubuhnya berada pada kisaran 1,73-87,66 gram (Sulistiono dkk., 2009). Ikan Lidah memiliki 17 jenis asam amino dari metode uji HPLC. Sedangkan L- glutamic acid merupakan asam amino tertinggi yaitu sebesar 2,541 % (Witono dkk., 2014). Ikan Lidah memiliki nilai ekonomi rendah dan ukuran ikan tidak terlalu besar.

j. Ikan Bibisan

Ikan ini hidup berkelompok dalam grup antara 4-30 ekor per kelompoknya;

umumnya dijumpai pada hamparan padang lamun Enhalus acoroides di dalam teluk yang tenang; lebih sering ditemukan pada kedalaman antara 0,5-2,5 m; Ikan Bibisan (Apogon albimaculosus) merupakan jenis ikan yang memiliki rasa gurih dengan bentuk hampir sama dengan ikan Wader. Ikan Bibisan biasanya diolah menjadi ikan asin saja sehingga nilai ekonominya rendah. Ikan Bibisan juga memiliki 17 jenis asam amino dengan asam amino paling tinggi yaitu L-glutamic acid sebesar 3,150 % (Witono dkk., 2014).

k. Ikan Sebelah

Ikan Sebelah (Pseudorhombus arsius) memiliki bentuk pipih, mulut lebar, dan matanya berada pada satu sisi tubuh bagian atas. Ikan Sebelah termasuk ikan demersal, berada di atas dasar atau menyembunyikan diri di dasar. Ikan Sebelah paling banyak ditemukan di wilayah perairan Utara Jawa, selatan Kalimantan, Sumatera sampai Papua. Ikan ini tergolong ikan yang tidak komersial dan tidak disukai konsumen karena memiliki sisik yang kasar (Wiadnya, 2012).

Warna ikan saat masih segar yaitu berbintik-bintik dan bercak coklat tua, sisi mata coklat kekuningan, bercak kehitaman pada pertigaan bagian melengkung dan lurus dari gurat sisi, bercak kehitaman di tengah bagian lurus separuh tubuh

(6)

bagian belakang, dan sirip lebih pucat pada sisi mata tubuh (Bogorodsky et al., 2014)

2.2. Keamanan Produk Perikanan

Kesegaran ikan adalah salah satu atribut kualitas utama produk ikan dan faktor terpenting dalam menentukan kelayakan dari sebuah ikan untuk dikonsumsi.

Ciri-ciri ikan segar antara lain mata jernih, kornea bening, pupil hitam, mata cembung dan insang merah segar. Kualitas kesegaran akan menurun karena terjadi proses secara enzimatik, kimiawi dan bakteriologis diikuti oleh penurunan organoleptik. Perubahan tersebut secara terjadi biokimia dan mikrobiologis selama waktu pasca panen. Penurunan mutu ikan juga tergantung pada faktor manusia, antara lain pendidikan dan keterampilan, metode yang terdiri dari mencuci dan penyimpanan dingin, serta lingkungan yang terdiri dari pembersihan dan higienis, juga alat dan bahan yang terdiri dari es dan wadahnya (Litaay & Pelasula, 2017).

Perubahan warna merah pada insang ikan nila merupakan indikator kesegaran ikan (Kalista et al., 2019). Kesegaran ikan selama penyimpanan dapat juga dinilai dari perubahan warna permukaan ikan di bawah sinar ultra violet (Liao et al., 2021).

Pencemaran laut merupakan komponen pencemaran global yang penting.

Hal ini karena eksploitasi sumber daya bumi yang sembrono, tidak bertanggung jawab, dan tidak berkelanjutan sehingga akan membahayakan ekosistem laut dan menghambat produksi oksigen atmosfer. Akhirnya akan menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia (Landrigan et al., 2020)

Bahaya produk perikanan laut yaitu adanya senyawa histamine. Histamin merupakan komponen amin biogenik, yaitu bahan aktif yang diproduksi secara biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas histidin serta terdapat pada berbagai bahan pangan yaitu ikan, daging merah, keju dan makanan fermentasi. Kandungan histamin merupakan parameter kualitas penting makanan ikan laut (Hassan et al., 2016). Kasus keracunan histamin pada mulanya lebih dikenal sebagai keracunan scombroid karena melibatkan ikan dari famili Scombroidei, yaitu ikan Tuna, ikan Tongkol, dan ikan Mackerel. Jenis ikan tersebut mengandung histidin bebas dalam jumlah besar pada dagingnya. Pada kondisi

(7)

tertentu dapat diubah menjadi histamin karena adanya aktivitas enzim histidine dekarboksilase dari bakteri yang mencemari ikan tersebut. Gejala keracunan histamin dimulai beberapa menit sampai beberapa jam setelah ikan dikonsumsi.

Gejalanya berupa muntah-muntah, diare, pembengkakan pada bibir, kejang-kejang, dan kerongkongan terasa terbakar. Gejala ini berlangsung kurang dari 12 jam dan dapat diobati dengan terapi antihistamin (Hungerford, 2010).

Pembentukan histamin dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi kandungan histamin pada ikan, yaitu keberadaan bakteri histidin dekarboksilase, kandungan histidin bebas pada ikan, dan faktor lingkungan (suhu dan waktu penanganan). Selain itu peningkatan kadar histamin dalam tubuh ikan juga dipengaruhi oleh waktu dan penangan sehingga akan menyebabkan pertumbuhan bakteri yang akan merubah histidin bebas menjadi histamin melalui reaksi dekarboksilase (Feng et al., 2016). Pertumbuhan spesies bakteri meliputi Morganella morganii, Proteus vulgaris, Klebsiella pneumoniae dan Enterobacter aerogenes yang menghasilkan histidin dekarboksilase menyebabkan pembentukan histamin pada ikan di beberapa tahap dalam penyimpanan (Shawish et al., 2017).

Pertumbuhan bakteri dan pembentukan histamin dikendalikan selama 36 jam dengan penyimpanan dingin pada suhu rendah yaitu (4°C) pada ikan Tenggiri untuk menjamin keamanan ikan laut ini (Zou & Hou,. 2016).

Pencemaran logam berat sangat merugikan ikan secara fisik dan fisiologik, seperti kerusakan vertebral, kerusakan lamella sekunder pada insang. Logam juga dapat masuk kedalam tubuh dan dapat mengumpul di dalam tubuh suatu organisme dan tetap tinggal di dalam tubuh dalam jangka waktu yang lama sebagai racun yang terakumulasi. Secara umum, semakin tinggi konsentrasi logam dalam air, semakin banyak mereka terakumulasi dan disimpan oleh ikan ((Baharom & Ishak, 2015);

(El-Moselhy et al., 2014)). Kehadiran logam berat pada ikan dapat menimbulkan risiko besar bagi konsumen ikan seperti: manusia yang termasuk ancaman serius seperti gagal ginjal, kerusakan hati, kardiovaskular penyakit dan bahkan kematian ((Nkansah et al., 2016); (Ullah et al., 2017))

Mikroba pathogen pada produk perikanan bisa menyebabkan keracunan bagi manusia yang mengkonsumsinya. Beberapa jenis bakteri patogen yang sering

(8)

ditemukan pada produk perikanan antara lain: Vibrio parahaemolyticus dan jenis Vibrio lainnya, Escherichia coli, Aeromonas spp., Salmonella spp., Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, Clostridium botulinum, C. perfringens, dan Shigella spp. Bakteri pada ikan air laut adalah Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio vulnificus (Sugianto et al., 2019). Bakteri patogen banyak terdapat pada saluran usus ikan disamping itu pada telur, insang, kulit yang diperkirakan berdampak pada kesehatan ikan melalui interaksinya dengan jaringan (Li et al., 2019). Bakteri pathogen pada ikan nila di Guatemala yang paling sering adalah genus Aeromonas (70%: 3 spp), diikuti oleh Plesiomonas, Burkholderia, Pseudomonas, Shewanella, dan Streptococcus (6%; 1 spp) (García-Pérez et al., 2021).

2.3 Teknik Preparasi

Teknik preparasi merupakan perlakuan pendahuluan terhadap suatu bahan pangan sehingga mempermudah dalam proses selanjutnya. Teknik preparasi terhadap ikan merupakan teknik pemisahan daging ikan dengan bagian lain yang bukan daging. Teknik ini dilakukan dengan cara penyayatan ikan utuh sepanjang tulang belakang dimulai dari belakang kepala hingga mendekati bagian ekor (Peterson, 2007). Adapun teknik preparasi ikan dapat dilakukan secara fisik, kimia dan enzimatis. Teknik preparasi ikan secara fisik (Zhao et al., 2017) meliputi fillet (Sedayu, 2015) dan blanching (Behsnilian, 2016; Afrianto dkk., 2014). Teknik preparasi secara kimia menggunakan asam cuka (Said, 2011) sedangkan teknik preparasi secara enzimatis menggunakan enzim papain (getah pepaya) (Silaban, 2009).

2.3.1 Fillet Ikan

Fillet ikan merupakan produk setengah jadi berupa daging ikan yang telah bebas dari duri dan tulang, kulit, kepala dan bahan ikutan (kotoran) lainnya.

Fillet ikan umumnya dibuat melalui teknik penyayatan daging ikan dengan memisahkan duri serta tulangnya bersamaan dengan penyiangan bagian kepala ekor dan kulitnya termasuk komponen ikutan (kotoran) lainnya seperti metode Palmiera pada ikan (Palmeira et al., 2016). Fillet memiliki beberapa keuntungan dan

(9)

memberi nilai tambah sebagai bahan baku olahan (Basito et al., 2018), seperti flavor enhancer, antara lain bebas duri dan kepala, dapat disimpan lebih lama dan mengefisienkan proses produksi flavor enhancer (Singh et al., 2018). Fillet ikan yang baik mutunya adalah ketika tidak terjadi kerusakan secara biokimia, mikrobiologi, dan fisik. Faktor- faktor yang mempengaruhi perubahan mutu fillet ikan antara lain metode preparasi fillet, kebersihan (higiene), dan lama penyimpanan (Fantini et al., 2020).

2.3.2 Blanching

Pemanasan pendahuluan atau blanching yang dilakukan pada bahan pangan dengan suhu kurang dari 100oC selama kurang lebih 10 menit. Menurut Nguyen et al., (2019), blanching bertujuan untuk menginaktifkan enzim yang tidak dikehendaki yang mungkin dapat merubah warna dan nilai nutrisi yang terkandung di dalam bahan makanan. Dengan adanya perlakuan blanching tubuh ikan akan berubah menjadi lunak sehingga mudah untuk dipisahkan antara daging dengan duri.

Blanching dilakukan dengan dua cara yaitu dengan merendam dalam air panas (merebus) dan dengan uap air panas (steam blanching), setelah blanching cukup waktunya, ikan diangkat untuk didinginkan sebelum melakukan proses selanjutnya (pemisahan duri). Blanching dapat mengubah warna, tekstur, dan kandungan nutrisi dalam bahan (Bhat et al., 2019).

2.3.3 Teknik Preparasi Ikan secara Kimia

Teknik preparasi ikan secara kimia dapat menggunakan larutan asam asetat atau asam cuka. Asam cuka memiliki ciri-ciri tidak berwarna, titik beku 17oC dan titik didih 118oC dengan bau pedas menggigit, dapat bercampur dengan air dan banyak digunakan sebagai pelarut organik. Menurut Dotulong (2009) bahwa merendam ikan pada asam cuka dapat mempertahankan mutu ikan. Hal ini dikarenakan asam cuka yang meresap ke dalam daging ikan menghambat pertumbuhan mikroba maupun aktifitas enzim yang mengurai histidin menjadi histamin. Asam ini juga bisa menurunkan pH sehingga aktifitas bakteri akan terhambat (Laranjo et al., 2019). Mekanisme kerja asam asetat yaitu dengan menghidrolisis dan memecah ikatan peptida dalam protein.

(10)

2.3.4 Teknik Preparasi Ikan secara Enzimatis

Teknik preparasi ikan dapat dilakukan secara enzimatis dengan enzim protease (enzim papain) (Ma et al., 2019). Daging yang diperlakukan secara enzimatis dapat menghemat biaya karena enzim protease akan mengubah struktur serat protein yang sukar larut, sehingga proses pemasakan daging ikan tidak menggunakan waktu yang lama untuk mendapatkan daging yang lunak (Feng et al., 2017). Enzim papain terdapat pada getah di seluruh bagian buah pepaya digunakan untuk mendegradasi miofibril sebagai kolagen yang terdapat pada daging sehingga diperoleh jaringan yang lebih lunak akibat proses hidrolisa (Sáringer et al., 2019). Enzim papain selain sebagai protease juga menunjukkan aktivitas antioksidan (M. C. Liu et al., 2016). Daging yang direndam dalam larutan papain dapat meningkatkan aktivitas enzimatiknya dan penetrasi enzim kedalam bagian dalam otot (Barekat dan Soltanizadeh, 2018).

2.4 Protein

Protein adalah makromolekul biologis penting yang terkait dengan berbagai fungsi fisiologis. Protein tersusun dari asam amino. Urutan asam amino menentukan struktur 3D protein (Guruprasad, 2019). Protein merupakan senyawa organik kompleks, yang pada dasarnya terdiri dari kombinasi asam amino dalam peptida linkages, yang mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan biasanya belerang. Didistribusikan secara luas pada tanaman dan hewan, protein adalah konstituen penting dari protoplasma semua sel dan sangat penting bagi kehidupan (Li-Chan and Lacroix, 2018). Senyawa yang mengandung lebih dari 100 asam amino biasanya disebut protein. Biasanya nama protein tersebut menunjukkan jumlah asam amino dalam komposisinya, misalnya, dipeptide, tripeptide, pentapeptide, dan lain lain. Polipeptida adalah molekul yang mencakup lebih dari 10 asam amino (Obodovskiy, 2019). Perubahan sifat alamiah protein karena beberapa faktor, misalnya pelarut organik, pH, garam, panas, asam, basa, logam berat, pengendapan maupun sinar radiasi radioaktif.

(11)

2.4.1 Jenis Protein

Berdasarkan bentuknya, ada dua protein yaitu:

1. Protein fibriler (skleroprotein)

Protein fibriler, yaitu protein berbentuk serat atau serabut dengan rantai polipeptida memanjang pada satu sumbu. Hampir semua protein fibriler memberikan peran struktural atau pelindung. Protein fibriler tidak larut dalam air, asam, basa, maupun etanol. Contoh: keratin pada rambut, kolagen pada tulang rawan, dan fibroin pada sutera. Struktur kolagen menyerupai benang- benang jala. Kolagen dari jenis tulang ikan air laut mutunya lebih baik jika dibandingkan dengan kolagen tulang ikan air payau dan air tawar (Darmanto dkk., 2012).

Dalam biosintesis asam amino yang diturunkan dari glutamin dan glutamat diperlukan untuk sintesis protein kolagen dalam fibroblas paru-paru manusia (Hamanaka et al., 2019). Karakterisasi kolagen yang diekstraksi dari sisik ikan Mas air tawar (C. carpio) mengandung 18 asam amino dengan terdapat triptofan sebagai asam amino langka dalam kolagen serta memiliki berat molekul 115,674 Da. Kolagen yang dimurnikan memiliki struktur fibril dan fisikokimia yang baik khasiatnya dan dapat digunakan sebagai alternatif sumber kolagen dalam fotografi, makanan, bidang farmasi, dan lain lain (Chinh et al., 2019).

Disamping itu karakterisasi kolagen yang diekstrak dari kulit ikan laut (ikan Salmon dan ikan Cod) menunjukkan kolagen tipe I dengan kemurnian tinggi dan memiliki kapasitas yang baik untuk menahan air, sehingga cocok untuk aplikasi kulit sebagai pelembab dan berpotensi untuk kosmetik (Alves et al., 2017). Kolagen ikan secara komersial baik untuk industri perikanan, pengolah makanan dan sektor biomedis serta sangat menjanjikan sebagai biomaterial untuk berkembangnya produk medis dan terapi (Subhan dkk., 2020).

2. Protein globuler (spheroprotein)

Protein globuler adalah protein yang berbentuk bola. Protein globuler terdiri atas polipeptida yang bergabung satu sama lain (berlipat rapat) membentuk bulat padat. Contoh protein globuler yaitu aktin, miosin,

(12)

tropomiosin, albumin, dan mioglobin. Protein ini umumnya dapat larut dalam garam (protein miofibril) dan air (protein sarkoplasma). Contoh: albumin, globulin, prolamin, protamin, histon, semua enzim dan antibodi.

Berdasarkan peran nutrisi atau fisiologisnya, asam amino dapat dibedakan menjadi:

1. Asam amino esensial, yaitu asam amino yang tersedia dalam makanan yang dikonsumsi dan tidak dapat disintesis oleh tubuh. Misalnya lisin, leusin, isoleusin, valin, threonin, phenylalanin, methionin, tryptophan, histidin, arginin.

2. Asam amino non esensial

Asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh, yaitu alanin, asparagin, asam aspartat, tirosin, sistein, glisin, asam glutamat, serin, glutamin, prolin.

2.4.2 Sifat Fungsional Protein

Sifat fungsional protein adalah karakteristik fisiko-kimia dan perhitungan perubahan dalam sistem makanan selama persiapan, proses, penyimpanan, dan konsumsi. Beberapa sifat fungsional protein yaitu:

1. Kelarutan protein

Kelarutan protein menunjukkan jumlah protein dalam sampel yang dapat larut dalam pelarut dan dipengaruhi oleh pH tinggi (kondisi basa).

Pengaruh pH didasarkan pada adanya perbedaan muatan antara asam-asam amino penyusun protein. Pada titik isoelektrik terjadi keseimbangan atau tidak terdapat perbedaan muatan, sehingga protein memiliki daya tarik-menarik yang paling kuat antar sesamanya.

Nilai pH mempengaruhi sifat kelarutan hidrolisat protein ikan melalui kemampuan pembelahan ikatan peptida dalam rentang pH yang luas. Dengan demikian, variasi rentang pH akan menghasilkan sifat-sifat protein hidrolisat yang berbeda yang disebabkan oleh perbedaan tingkat pH terutama dalam hal kelarutannya (Halim dan Sarbon, 2020). Fraksi protein terlarut yang diekstraksi dengan larutan garam rendah (1 M) menunjukkan nilai protein larut garam menjadi maksimum. Sebaliknya, fraksi protein terlarut diekstraksi dengan larutan garam tinggi (4 M) menunjukkan nilai protein larut garam yang lebih rendah dan agregasi protein otot yang kuat (Nguyen et al., 2011). Kelarutan

(13)

protein menurun secara bertahap selama masa 6 bulan penyimpanan beku pada suhu -18 ± 1 oC ikan Mackerel (Scomber scombrus) (Özalp Özen dan Soyer, 2018).

2. Daya serap air

Daya serap air atau water holding capacity, merupakan jumlah air yang terperangkap di dalam matriks protein pada kondisi tertentu atau dapat dikatakan kemampuan protein untuk menyerap air dan menahannya dalam sistem pangan.. Penyerapan air oleh protein berkaitan dengan adanya gugus- gugus polar rantai samping seperti karbonil, hidroksil, amino, karboksil, dan sulfidril yang menyebabkan protein bersifat hidrofilik sehingga ikatan hidrogen dengan air dapat terbentuk. Perbedaan jumlah dan gugus polar tersebut menyebabkan perbedaan kemampuan protein untuk mengikat air. Daya serap air sangat dipengaruhi oleh konsentrasi protein, kekuatan ion, suhu dan komponen lain seperti polisakarida hidrofilik, lemak, garam, serta dipengaruhi juga oleh lamanya pemanasan dan kondisi penyimpanan. Semakin tinggi konsentrasi, maka daya serap air akan semakin baik. Daya serap air isolat protein kacang tunggak (Vigna unguiculata L Walp) sebesar 136,61±0,30 % (Witono dkk., 2014)

3. Daya serap minyak

Daya serap minyak atau oil holding capacity merupakan jumlah minyak yang terperangkap di dalam matriks protein pada kondisi tertentu atau dapat dikatakan kemampuan protein untuk menyerap minyak dan menahannya dalam sistem pangan. Struktur protein merupakan faktor yang sangat menentukan kemampuan penyerapan minyak. Struktur yang bersifat lebih lipofilik memiliki kandungan cabang protein non polar lebih banyak akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan daya serap minyak. Selain struktur protein, suhu serta ukuran partikel protein juga berpengaruh terhadap daya serap minyak.

Nilai daya serap minyak dan daya serap air dipengaruhi oleh kelarutan protein.

Jika ukuran molekul yang lebih kecil maka kelarutan proteinnya tinggi sehingga menyebabkan penurunan penyerapan air dan minyak. Nilai OHC dari ikan

(14)

sturgeon Cina (Acipenser sinensis) dengan menggunakan enzim papain yaitu 2,59 ± 0,12 g/g (Noman et al., 2018)

4. Gelasi

Pembentukan keadaan gel biasanya terjadi sebagai konsekuensi dari pembentukan ikatan antara molekul yang berinteraksi atau koloid partikel dalam media pelarut. Hal ini dapat menyebabkan pembentukan struktur meresap yang pada dasarnya mampu melumpuhkan fase pelarut, mentransisikan material dari keadaan sol ke keadaan gel. Fungsi sifat gelasi adalah untuk pengendapan dan pembentukan matriks protein.. Formasi gel atau gelasi merupakan sifat penting protein yang mempengaruhi struktur mikro produk (Sun dan Holley, 2011). Pelekatan antara agregat protein, kekuatan gel, pelekatan dengan zat lain, dan elastisitas merupakan faktor yang mempengaruhi gelasi. Gelasi protein daging terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah denaturasi protein (tidak menggulungnya rantai protein) dan tahap kedua terjadi agregasi protein membentuk struktur tiga dimensi.

Pembentukan gel miofibril protein dipengaruhi oleh banyak faktor fisikokimia, kecuali karakteristik protein yang melekat itu sendiri, teknologi pengolahan makanan dan zat lain dalam sistem pengolahan makanan akan berdampak pada sifat gel. Zat NaCl adalah salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku gel protein dan memainkan peran penting dalam pembentukan gel dan pelepasan rasa (Feng et al., 2018).

Penambahan garam tidak meningkatkan sifat gelasi dalam surimi ikan Nila. Tingkat protein atau isolat protein ikan yang terungkap sebelum gelasi adalah faktor penting untuk meningkatkan kualitas gel (Kobayashi et al., 2017).

Kondisi gelasi pra- pemasakan akan mempengaruhi tekstur gel protein akhir dan warna, dengan stabilitas gel yang diuntungkan dari periode pengaturan gel (Paker dan Matak, 2016).

5. Emulsi

Emulsi adalah suatu bentuk dispersi dari suatu cairan dengan cairan lainnya, dimana molekul cairan lainnya tidak dapat berbaur dan saling antagonis.

Salah satu cairan berfungsi sebagai fase kontinyu dan yang lain merupakan fase

(15)

diskontinyu atau fase terdispersi yang sering disebut juga globula. Daya emulsi adalah kemampuan protein untuk membentuk emulsi dan mempertahankan stabilitas emulsi tersebut. Sifat ini dipengaruhi oleh kadar protein dan tingkat kelarutannya, dimana erat hubungannya dengan Nitrogen Solubility Index (NSI).

Stabilitas emulsi penting karena emulsifier tergantung pada kemampuannya memelihara sistem emulsi pada saat mengalami pemasakan atau pemanasan.

Sifat ini penting dalam pembuatan sosis, mayonnais, dan roti.

Sifat fungsional seperti kapasitas emulsi, kapasitas berbusa, dan kelarutan protein, adalah faktor penting jika protein ikan harus dimasukkan ke dalam makanan sebagai aditif selama persiapan. Kapasitas emulsi dihitung dengan membagi volume emulsi setelah sentrifugasi dengan volume emulsi asli dan kemudian mengalikan dengan 100. Stabilitas emulsi ditentukan oleh prosedur yang sama kecuali bahwa sebelum sentrifugasi, emulsi dipanaskan pada 90°C selama 30 menit diikuti dengan pendinginan dalam air keran selama 10 menit (Cercel et al., 2015).

Emulsi minyak ikan berlapis chitosan memiliki viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan emulsi yang distabilkan menggunakan sumber protein saja. Emulsi minyak ikan dalam air yang mengandung minyak ikan, fibril β-laktoglobulin (β-LG) yang dimodifikasi tiol, kitosan dan maltodekstrin dibuat menggunakan metode energi tinggi akan menghasilkan emulsi yang stabil (Chang et al., 2018).

2.5 Protein Ikan

Protein adalah bagian terpenting dari jaringan otot makanan laut dan menyumbang 15-25% dari total berat badan (berat basah). Ada tiga kelompok utama protein ikan berdasar dengan sifat kelarutannya, yaitu protein miofibril, protein sarkoplasma, dan protein stroma (Tahergorabi et al., 2011). Protein otot daging terbagi atas tiga jenis yaitu protein sarkoplasma (30%), protein miofibril (50%–60%), dan protein stroma (10%–20%) (Boland et al., 2019). Protein ikan dapat diklasifikasikan menjadi protein sarkoplasma (20–30 %), protein miofibril

(16)

(65–75 %), dan protein stroma (1–3 %) (Kristinsson dan Rasco, 2000; Belitz dan Grosch, 2009).

Protein miofibril adalah protein-protein pada benang-benang daging (miofibril dan miofilamen), tersusun atas miosin, aktin, aktomiosin, dan protein regulasi (aktinin, tropomiosin, dan troponin) (Wang et al., 2013; Mazorra- Manzano et al., 2018; Park dan Reed, 2015). Protein miofibril larut dalam larutan garam terkonsentrasi (kekuatan ionik di atas 0,6) serta kekuatan ionik yang sangat rendah . (Malva et al., 2018).

Fraksi protein miofibril yang tidak larut pada air adalah globulin, tetapi larut pada larutan garam encer serta mengendap di dalam larutan garam tinggi. Globulin juga bersifat terkoagulasi dengan perlakuan pemanasan. Fraksi protein miofibril yang berupa miosin dan aktin memiliki sifat pembentukan gel yang baik dan lebih baik didukung oleh perlakuan pendinginan (high-low temperature). Sifat pembentukan gel yang baik lainnya yaitu aktomiosin. Kondisi pH aktomiosin yang menghasilkan pembentukan gel yang paling baik adalah pH 5,0 (natural actomiosin) dan pH 5,5 (crude actomiosin) (Tahergorabi et al., 2011).

Protein yang larut dalam garam umumnya lebih efisien sebagai pengemulsi dibandingkan dengan protein yag larut dalam air. Karakteristik protein miofibril ikan sangat penting untuk pembentukan produk makanan terutama sifat fungsionalnya seperti kemampuan membentuk gel, kemampuan pengemulsi dan kapasitas menahan air (Suarez et al., 2014). Miosin pada protein miofibril akan mempengaruhi kemampuan membentuk gel dan kapasitas menahan air (Tahergorabi et al., 2011). Protein sarkoplasma atau miogen yang larut dalam air terdiri atas albumin, mioalbumin, dan mioprotein. Sarkoplasma dalam daging ikan kandungannya bervariasi bergantung pada jenis ikan dan habitatnya.

Kandungan sarkoplasma pada ikan pelagis umumnya lebih besar daripada ikan demersal. Protein sarkoplasma dapat dihilangkan dengan cara mengekstrak daging ikan menggunakan air dingin, pencucian dengan menggunakan suhu dingin bertujuan untuk mempetahankan protein miofibril agar tidak mengalami kerusakan seperti denaturasi (Kristinsson dan Rasco, 2000).

(17)

Protein stroma terdiri dari peptida berantai panjang dan berupa serat-serat yang tersusun memanjang, serta memberikan peran struktural atau pelindung.

Protein ini tidak larut dalam air, asam, basa, maupun etanol (protein stroma).

Contoh protein stroma yaitu kolagen dan elastin yang merupakan protein yang terdapat pada bagian luar sel otot (Boland et al., 2019).

Bagian terkecil protein yang membentuk jaringan ikat adalah stroma dan larut dalam larutan garam dengan kekuatan ionik lebih tinggi dari 0,3 atau dalam larutan dengan pH yang dikendalikan (Cercel et al., 2015). Kolagen dan elastin merupakan protein stroma (Mazorra-Manzano et al., 2018) Keduanya merupakan protein yang terdapat di bagian luar sel otot. Daging merah ikan pada umumnya mengandung lebih banyak stroma, tetapi lebih sedikit mengandung sarkoplasma jika dibandingkan dengan daging putih ikan. Daging putih ikan terdapat pada hampir seluruh tubuh ikan, sedangkan daging merah ikan terdapat di sepanjang tubuh bagian samping di bawah kulit (Tinacci et al., 2018).

Protein ikan bersifat dapat berubah atau denaturasi jika kondisi lingkungannya berubah. Apabila larutan protein diasamkan hingga pH 4,5–5 maka akan terjadi proses pengendapan (salting out). Apabila dilakukan pemanasan maka protein ikan akan mengalami koagulasi atau penggumpalan. Protein juga akan mengalami denaturasi selama proses pengeringan maupun pembekuan dan terjadi pengurangan kandungan air. Keberhasilan formulasi makanan dengan bahan baru juga tergantung dari kelarutan protein. Beberapa faktor intrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi kelarutan protein, antara lain berat molekul, kandungan asam amino spesifik, perkiraan muatan rata-rata, pH, kekuatan ionik, dan perlakuan enzimatik (Grossmann et al., 2019).

2.6 Fraksinasi Protein

Fraksinasi merupakan proses pemisahan suatu larutan menjadi fraksi atau bagian- bagian tertentu dengan penambahan senyawa elektrolit seperti garam ammonium sulfat, natrium sulfat, atau natrium klorida (Mölleret et al., 2021).

Fraksinasi protein menggunakan garam berdasarkan atas kelarutan protein yang

(18)

merupakan interaksi antara gugus polar dengan air, interaksi ionik dengan garam, dan daya tolak menolak protein yang bermuatan sama (Mukherjee, 2019).

Fraksinasi protein miofibril dilakukan dengan pengaturan ionic strength.

Pelarutan miosin menggunakan larutan 0,6 M KCl pH 6,0 karena filamen miosin disosiasi yang disebabkan oleh kekuatan ionik buffer yang rendah (Malva et al., 2018). Fraksinasi protein miofibril ikan Nila segar yaitu 100 g filet ikan ditambahkan 500 ml NaCl 50 mM dan kemudian dihomogenisasi menggunakan homogenizer (Ultra Turrax T25, IKA, Jerman) pada 11.000 rpm selama 2 menit.

Setelah itu, campuran disentrifugasi pada 10.000 g pada suhu 4° C selama 10 menit.

Proses ini diulang dua kali dan didapatkan (Kaewprachu et al., 2018). Sampel daging ikan dicampur air deionisasi dan dihomogenisasi pada kondisi dingin (6

oC) dengan kecepatan tinggi selama 1 menit. Pada pelarutan alkali tersebut menggunakan 2 M NaOH pada pH 11 dan diinkubasi pada suhu 4 oC selama 30 menit. Setelah campuran disentrifugasi dengan 10.000 x g pada suhu 4 oC selama 30 menit, supernatan dipisahkan dan disaring dengan lapisan ganda serta disesuaikan dengan pH 5,5 menggunakan pelarut 1 M HCl untuk mengendapkan protein. Campuran kemudian disentrifugasi pada 10.000 x g selama 20 menit pada suhu 4 oC untuk memulihkan protein miofibril (Najafian dan Babji, 2015).

2.7 Iota-karagenan

Karagenan merupakan karbohidrat alami (polisakarida) yang diperoleh dari rumput laut merah yang dapat dimakan. Kagenan digunakan dalam berbagai aplikasi komersial sebagai bahan pembentuk gel, pengental, dan penstabil, terutama dalam produk makanan. Selain itu digunakan dalam bidang farmasi, kosmetik, dan aplikasi industri (Necas and Bartosikova, 2013). Sebagian besar karagenen digunakan untuk obat-obatan dan disertifikasi sebagai dapat dimakan oleh “The Food and Drug Administration” di Amerika Serikat untuk digunakan sebagai agen pembentuk gel dalam makanan (Muthukrishnan et al., 2019). Penggunaan iota karagenan dengan konsentrasi 1,0% b/b lebih baik dapat mempertahankan umur simpan coklat putih rendah lemak dari pada konsentrasi 0.5% b/b (Dias et

(19)

al., 2017). Karagenan dibedakan menjadi tiga yaitu kappa-karagenan, iota- karagenan, dan lamda-karagenan (Ghani et al., 2019).

Penggunaan iota karagenan (0,25-1,0%) dan kappa karagenen yang dikombinasikan dengan KCl dan NaCl dapat meningkatkan kekuatan gel protein surimi ikan Pollock Alaska yang dibekukan sekitar 9 bulan (Hunt dan Park, 2013).

Karagenan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri atas ester kalium, natrium, magnesium, dan kalsium sulfat, dengan galaktosa dan 3,6-anhidrogalaktopolimer.

Karagenan tersusun dari unit D-galaktosa dan 3,6-anhidro-D-galaktosa dengan ikatan α-1,3 dan β-1,4 pada polimer heksosanya (Rodríguez et al., 2005).

2.8 Agar

Agar adalah produk olahan yang berasal dari rumput laut jenis Gracilaria sp., dan Gelidium sp. Agar disebut sebagai gelosa (C6H10O5) atau gelosa bersulfat ((C6H10O5)n H2SO4). Agar merupakan kompleks polisakarida linier yang mempunyai berat molekul 120.000 Dalton, tersusun dari beberapa jenis polisakarida, antara lain 3,6-anhidro-L-galaktosa, D-galaktopiranosa dan sejumlah kecil metil D- galaktosa. Selain mengandung polisakarida sebagai senyawa utama, agar juga mengandung kalsium, yodium dan magnesium (Esposito et al., 2018).

Agar-agar memiliki sifat seperti gelatin, larut dalam air panas. Pada suhu 35 – 39 °C berbentuk padatan dan mencair pada suhu 85 – 95 °C serta memiliki kemampuan membentuk gel. Fungsi utama agar-agar adalah sebagai pemantap (stabilizer), pembuat emulsi (emulsifier), bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pembuat gel (gelling agent). Tepung agar-agar hasil ekstraksi memiliki kadar kandungan kimia dan kekuatan gel yang berbeda dengan tepung agar-agar komersil (Yuliani dkk., 2017).

Penggunaan tepung agar (0,5%, 1,0%, 1,5%, dan 2,0%) sebagai bahan pengikat dalam tablet ekstrak etanol bawang merah telah memenuhi persyaratan fisik sesuai standar farmakope Indonesia meliputi, sifat alir granul, keseragaman ukuran tablet, keseragaman bobot tablet, kekerasan tablet, friabilitas tablet, dan waktu hancur tablet (Kurniawan dkk., 2013).

(20)

2.9 Surimi

Surimi adalah istilah Jepang, merupakan proses pengolahan ikan meliputi pemisahan daging dari kulit dan tulang, pelumatan, pencucian, penambahan garam, penambahan cryoprotectant, dan dilanjutkan dengan pembekuan menjadi konsentrat protein miofibril dan digunakan sebagai bahan baku kamaboko dan produk berbahan dasar surimi lainnya.(Park, 2012; Cando et al., 2015). Pengolahan ikan Nila hidup (Oreochromis niloticus) pra-rigor dapat meningkatkan sifat pembentukan gel surimi, tetapi memiliki sedikit efek pada gelasi isolat protein ikan.

Penambahan garam 2% ke dalam isolat protein ikan dapat meningkatkan kekuatan gel, meskipun penambahan garam 3% ke dalam isolat protein ikan akan menurunkan kekuatan gel. Kadar protein yang terungkap sebelum gelasi merupakan faktor penting untuk meningkatkan kualitas gel (Kobayashi et al., 2017).

Surimi merupakan bahan antara untuk diolah menjadi produk-produk lanjutan yang membutuhkan sifat elastisitas daging ikan seperti kamaboko, bakso ikan, sosis ikan dan lain-lain. Semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Namun, ikan berdaging putih mempunyai kemampuan membentuk gel yang bagus akan menghasilkan surimi lebih baik dibanding dengan ikan yang berdaging merah lebih banyak (Loch dan Faisal, 2010).

Berdasarkan kandungan garamnya surimi beku dibedakan menjadi dua yaitu mu-en surimi (surimi tanpa garam) dan ka-en surimi (surimi dengan garam).

Selain itu dikenal pula na-na surimi (surimi mentah yang tidak mengalami proses pembekuan). Suhu air pencuci dan penggilingan daging ikan merupakan faktor yang perlu diperhatikan selama pembuatan surimi, karena pencucian akan mempengaruhi protein larut yang hilang dan kekuatan gel. Protein larut air akan banyak terlarut jika suhu air lebih tinggi dari 15 oC. Kekuatan gel surimi terbaik akan diperoleh jika hancuran daging ikan dicuci dengan menggunakan air yang bersuhu kurang dari 15 oC. Daging ikan mas kepala besar (Hypophthalmichthys nobilis) dalam mencegah denaturasi surimi beku dicuci dengan air suling (4 °C) dengan perbandingan 1: 2 (w/v) dan diaduk dengan kecepatan konstan selama 1 jam menggunakan blender listrik (Lin et al., 2019).

(21)

Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan atau diberikan dengan maksud dan tujuan tertentu. Misalnya untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, cita rasa, untuk mengendalikan keasaman dan kebasaan, dan tekstur. Jenis bahan yang ditambahkan dalam pembuatan surimi adalah garam.

Garam memiliki pengaruh yang besar pada sifat gel surimi (Gao et al., 2021).

Pada pembuatan surimi penambahan garam sebanyak 0,2–0,3 % selama proses leaching memudahkan penghilangan air dari daging ikan yang telah dilumatkan. Perlakuan ultrasonografi intensitas tinggi secara efektif meningkatkan sifat gelasi surimi ikan mas perak dengan kandungan garam rendah (0–2% NaCl), tetapi berbahaya untuk surimi tinggi garam (4-5% NaCl) (Gao et al., 2021) Fungsi penambahan garam adalah untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan yang sangat penting untuk pembentukan jeli yang kuat serta sebagai bumbu, penyedap rasa dan penambah aroma.

Campuran proporsi surimi lengan cumi raksasa dengan surimi ikan Teri dengan perbandingan 70/30 merupakan proporsi terbaik untuk memperbaiki sifat tekstur dan warna surimi ikan Teri dengan kekuatan gel yang lebih baik yaitu 429,5 g (Maza- Ramírez and Pariona Velarde, 2020). Hidrolisat produk samping pengolahan surimi dapat digunakan sebagai antioksidan alami- cryoprotectant dan penambah tekstur gel pada surimi ikan Air tawar (Zhang et al., 2020). Ikan Lele dumbo sebagai bahan utama yang potensial digunakan untuk produksi surimi (Zuraida et al., 2017).

2.10 Nugget sebagai Salah Satu Produk Model Terestrukturisasi

Nugget ikan merupakan produk hasil perikanan berupa lumatan daging ikan atau surimi minimum 30%, ditambah tepung dan bahan-bahan lainnya dibaluri dengan tepung pengikat, dicelupkan adonan batter mix kemudian dilapisi tepung roti dan mengalami pemasakan atau penggorengan (L. Xu et al., 2020) selama beberapa menit atau pemanasan dengan microwave (Chen et al., 2009; Kang dan Chen, 2015). Nugget surimi memiliki α ‐ aktinin, aktin, dan β-tropomiosin lebih banyak dan indikator kualitasnya lebih baik daripada nugget ikan (Moosavi-Nasab et al., 2019). Ketika digoreng, nugget beku setengah matang akan berubah

(22)

menjadi kekuning-kuningan dan kering. Syarat mutu nugget ikan seperti pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Syarat Mutu Nugget Ikan

Jenis Uji Satuan Persyaratan

a. Sensori Min 7 (Skor 3-9)

b. Kimia

- Kadar Air % Maks 60,0

- Kadar Abu % Maks 2,5

- Kadar Protein % Min 5,0

- Kadar Lemak % Maks 15,0

c. Cemaran mikroba

- ALT koloni/g Maks 5x104

- E. coli APM/g <3

- Salmonella - Negatif/25g Negatif/25g - Vibrio cholera -

- S. aureus koloni/g Maks 1x102

d. Cemaran logam

- Kadmium (Cd) mg/kg Maks 0,1 - Merkuri (Hg) mg/kg Maks 0,5 - Timbal (Pb) mg/kg Maks 0,3 - Arsen (As) mg/kg Maks 1,0 - Timah (Sn) mg/kg Maks 40,0 Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2013)

Selain daging (ayam, sapi, dan ikan) sebagai bahan utama, bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan nugget yaitu bahan pengisi, bahan pengikat, dan bumbu- bumbu.

2.10.1 Bahan Pengisi dan Pengikat Nuget

Bahan pengisi merupakan bahan yang berfungsi untuk mengikat air dan tidak berperan dalam pembentukan emulsifikasi. Bahan pengisi memiliki kandungan pati yang tinggi dibandingkan dengan bahan pengikat yang tinggi protein. Tepung dengan kandungan pati tinggi dapat meningkatkan daya mengikat air karena kemampuan menahan air selama proses pengolahan (Shan et al., 2018).

Adanya interaksi miofibril dan gelasi pati yaitu molekul pati akan mengisi ruang di dalam matriks miofibril, akan memberikan struktur kaku dan dapat meningkatkan gel miofibril (X. Zhao et al., 2019). Bahan pengisi akan mencegah

(23)

tekstur Nugget menjadi lunak dan porus selama proses pengukusan. Apabila tepung sorgum sebagai bahan pengisi akan memiliki retensi atau kapasitas menahan air dan mengurangi kandungan lemak dalam produk daging serta dapat meningkat tekstur dan hasil produk nugget (Devatkal et al., 2011). Salah satu bahan pengisi nugget adalah tapioka. Tapioka merupakan pati dari tepung ubi kayu atau lebih dikenal dengan singkong (Manihot utilissima P.). Tapioka banyak dimanfaatkan untuk memperbaiki produk ekstrusi, pengental produk, sebagai bahan pengisi dan bahan pelapis. Kadar amilosa lebih rendah (18%) dari pada kadar amilopektin (82%). Pemanasan pada pati akan meningkatkan swelling power (Haryanti dkk., 2014). Komposisi nutrisi nugget ayam dengan substitusi 50% tepung sukun dan 50% tepung tapioka (P4) memiliki kadar kelembapan 61,5%, abu 1,65%, protein 17,55% dan lemak 17,72% (Hafid et al., 2019).

Bahan pengikat merupakan bahan non- daging tinggi protein yang dapat meningkatkan daya ikat air dan emulsi lemak. Bahan pengikat pada pembuatan nugget memiliki fungsi, antara lain dapat menurunkan penyusutan saat pemasakan, memperbaiki stabilitas emulsi, meningkatkan elastisitas produk, membentuk tekstur yang padat, memberi warna yang terang, dan mengikat air dalam adonan.

Beberapa contoh bahan pengikat antara lain konsentrat protein kedelai, tepung terigu, tepung maizena, dan tepung tapioka (Hardoko dkk., 2018)

Tepung terigu adalah bubuk halus yang dibuat dari bulir gandum digunakan sebagai bahan dasar pembuat roti, mie dan kue. Komponen yang terbanyak dari tepung terigu adalah pati, sekitar 70% yang terdiri dari amilosa dan amilopektin.

Kandungan kimia teung terigu antara lain kadar air yaitu 11,16 ± 9,27%, protein yaitu 11,35± 0,34%, dan kadar abu yaitu 0,42 ± 0,09% (Bashir et al., 2017). Ketika tepung terigu berinteraksi dengan air, maka sifat adonan akan berubah menjadi kohesif, liat dan elastis. Apabila gluten dicampur dengan air akan terhidrasi dan mengembang sehingga terbentuk masa tiga dimensi dengan viskositas yang elastis.

Tepung terigu berfungsi sebagai pembentuk adonan, struktur kue, serta saat pemanggangan akan mempengaruhi warna dan aroma (Ghozali et al., 2012).

(24)

2.10.2 Bumbu-bumbu Nugget

Peranan bumbu dalam setiap masakan adalah dapat meningkatkan cita rasa makanan dan dapat digunakan sebagai pengawet makanan alami (Sianipar et.

al. 2008). Beberapa bumbu yang digunakan dalam pembuatan nugget seperti:

merica, garam, bawang putih, bawang merah, dan rebung betung (Silaban et al., 2017). Garam dapur atau natrium klorida (NaCl) merupakan bahan makanan yang banyak digunakan dalam industri pengolahan seperti produk-produk bumbu instan.

Natrium klorida sifatnya higroskopis sehingga dapat menyebabkan plasmolisis dan dehidrasi pada sel bakteri, mengurangi daya larut oksigen, menghambat kerja enzim proteolitik, serta menurunkan daya aktivitas air. Natrium klorida adalah bahan utama yang digunakan dalam pengawetan daging. Fungsinya sebagai peningkatan hasil teknologi, serta mempengaruhi sifat jaringan daging seperti meningkatkan daya ikat air dan pelarutan protein terutama miosin dan aktin, yang selanjutnya menentukan tekstur daging (Sharedeh et al., 2015). Garam untuk proses pengawetan membutuhkan konsentrasi garam sebesar lebih dari 15% dapat menghambat pertumbuhan bakteri khususnya Staphylococcus aureus (Amalia dkk., 2016).

Bawang putih dapat meningkatkan cita rasa dan menambah aroma produk pangan. Setiap 100 g bawang putih mengandung air sebesar 60,9–67,8%, protein sekitar 3,5 – 7%, lemak 0,3%, total karbohidrat sebesar 24,0–27,4%, dan serat sebesar 0,7%. Bau khas dari bawang putih disebabkan karena adanya senyawa allicin (Moulia et al., 2018). Lada atau merica merupakan salah satu jenis rempah- rempah yang mengandung oleoresin, senyawa alkaloid piperin yang memberikan rasa pedas. Fungsi penambahan lada sebagai penyedap masakan dan memperpanjang daya awet makanan. Kandungan minyak atsiri pada lada yaitu filandren membuat bau pedasnya menyengat, selain itu rasa pedas disebabkan karena lada memiliki kandungan zat piperin dan piperanin, serta chavicia yang merupakan persenyawaan dari piperin dengan alkaloida (Liu et al., 2013).

(25)

2.11 Penelitian terkait

Xu et al., (2019) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa efek perlakuan panas pada pengikatan senyawa aroma pilihan yaitu aldehida (heksanal, heptanal, oktanal dan nonanal) untuk protein miofibril dapat meningkatkan profil rasa produk surimi ikan air tawar. Protein miofibril yang telah mengalami pemanasan memiliki berat molekul tinggi yaitu di atas 200 kD.

Komposisi protein otot miofibrillar dari tiga spesies ikan laut dalam yaitu Coryphaenoides pectoralis, Coryphaenoides cinereus dan Podonema longipes memiliki berat molekul pada myosin (dengan rantai berat dan dua rantai ringan) sekitar 492 kDa,, aktin sekitar 47 kDa, troponin sekitar 38 kDa dan tropomyosin sekitar 35 kDa (Karaulova dan Yakush, 2017).

Sifat-sifat film pelapis makanan yang terbuat dari protein miofibril ikan yang tergabung dalam kombinasi ekstrak catechin-Kradon (C / K) (20%, b / b) pada rasio yang berbeda memiliki permukaan yang halus, menunjukkan kemampuan antioksidan yang tinggi dan tidak ada aktivitas antimikroba yang signifikan (Kaewprachu et al., 2018).

Margareta (2017), menyatakan bahwa nilai kelarutan protein miofibril pada ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus) meningkat signifikan pada konsentrasi garam 0,5 M dan pH 6,4 – 7, volume air yang terikat sebesar 1,9 ml di dalam setiap gram protein miofibril, terbentuknya gel dengan berat tertinggal 61,76% pada protein miofibril ikan Kurisi setelah perlakuan pemanasan yang diberikan, nilai persentase emulsi sebesar 37,11%, dan nilai persentase pembentukan busa sebesar 15,83% sehingga protein miofibril ikan Kurisi memiliki kemampuan gelasi tinggi yang diiringi dengan daya ikat air yang cukup baik, serta kelarutan protein yang baik pada pH 6,4 -7 dalam konsentrasi garam 0,5 M, tetapi kurang baik dalam membentuk busa dan emulsi.

Teknologi isolasi protein fungsional dari kacang tunggak (Vigna unguiculata L), dengan hasil bahwa produksi isolat protein kacang tunggak yang terbaik dilakukan secara langsung dari susu kacang tunggak menggunakan pelarut aquades dan presipitasi pada pH 5 serta dilanjutkan dengan pencucian menggunakan aseton dan pengeringan menggunakan oven vakum suhu 50oC

(26)

selama ± 8 jam. Isolat protein yang dihasilkan memiliki rendemen sebesar 16,638%; kadar air 7,932% (wb); kadar protein 90,305% (db); kadar lemak 1,050%

(db); kadar karbohidrat 8,784% (db); dan kadar abu 3,852% (db) (Anam dan Witono, 2016).

Pengembangan protein fungsional dari kacang tunggak sebagai food ingredient baru dengan hasil utama yang telah dicapai hingga saat ini sebagai berikut: perlakuan susu kacang tunggak dengan pelarut aquades menghasilkan isolat protein paling optimal dengan kadar protein sebesar 73,23 % dan rendemen sebesar 15,415 %. Pemurnian dengan aseton dan pengeringan menggunakan oven vakum secara efektif dapat meningkatkan kadar protein isolat menjadi sebesar 90,305 % dengan rendemen sebesar 16,638 %. Karakteristik kemis isolat protein terbaik meliputi: kadar air 7,93 %; protein 88,06 %; lemak 1,05 %; karbohidrat 1,21 % dan abu 1,75 %. Isolat protein kacang tunggak memiliki karakteristik sifat fungsional diantaranya OHC 84,89 %; WHC 136,61 %; daya buih 68 ml/g;

stabilitas buih 8 %; daya emulsi 3,65 m2/g; stabilitas emulsi 2,47 jam; globulin 11s 0,007; dan globulin 7s 0,024 (Witono dkk., 2014).

Ikan Mata besar mempunyai protein miofibril dalam jumlah yang lebih besar, namun dari segi kualitas protein miofibril ikan Kuniran lebih baik.

Karakteristik yang baik untuk dikembangkan menjadi food ingredient, adalah miofibril ikan Kuniran sedangkan miofibril ikan mata besar cukup rendah kualitasnya (Subagio dkk. 2004).

Gambar

Gambar 2.1 Ikan  Peperek (Leiognatus splendens)
Gambar 2.3 Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) d.  Ikan Japo
Tabel 2.1 Syarat Mutu Nugget Ikan

Referensi

Dokumen terkait

Model stimulus-Response (rangsangan tanggapan) atau lebih dikenal dengan model S-R menjelaskan tentang pengaruh yang terjadi pada pihak penerima (receiver) sebagai

Hal ini diduga terjadi karena ada dari unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk pembentukan cabang belum terpenuhi seperti nitrogen, yang mana dengan adanya kandungan

Dalam hal bersikap jujur misalnya, jika tokoh selebriti dijumpai anak didik melakukan perilaku moral yang tidak baik (misalnya tidak jujur, berbohong atau menipu) dan itu

lndeks fagositik dalam darah kodok yang dihitung terhadap sel fagosit fungsional menunjukkan bahwa pada kelompok yang diberi perlakuan terdeteksi rata- rata lebih tinggi

RPJMN 2010-2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk

Seperti pada busana pengantin pria diadaptasi pola sayap burung pada kain batik yang dikenakan serta keris yang memiliki makna perlindungan pada keluarga dan pasangan,

K, Kridalukmana Rinta , 2015, Sistem Informasi Manajemen Pemesanan Dan Penjualan Pada UNDIP Distro, Universitas Diponegoro, Semarang, Volume 3, No.3.. P, Sukadi, 2011,

Berdasarkan hasil penelitian dan pemba- hasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa: (1) pembelajaran matematika dengan pendekat- an PBL berseting TGT efektif