• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori 1) Tinjauan Tentang Jaminan Fidusia

a) Pengertian tentang Jaminan Fidusia

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan batasan pengertian tentang jaminan fidusia. Pasal 1 butir 1 mendefinisikan Fidusia sebagai “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda”.

Sedangkan dalam butir 2 menjelaskan Jaminan Fidusia sebagai berikut:

hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan hak-hak atas tanah yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.

Berdasarkan definisi di atas terlihat jelas bahwa fidusia dibedakan dari jaminan fidusia. Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan , sedangkan jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia. Dalam jaminan fidusia terjadi pengalihan hak kepemilikan yang terjadi atas dasar kepercayaan dengan janji benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Pengalihan hak kepemilikan tersebut dilakukan dengan cara constitutum possesorium. Hal ini berarti pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda dengan melanjutkan penguasaan atas benda tersebut dimaksud untu

(2)

kepentungan Penerima Fidusia (Gunawan Wijdaja & Ahmad Yani.

2001:129).

Dalam Pasal 1 butir 5 dijelaskan yang dimaksud dengan Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia. Sedangkan dalam butir 6 disebutkan yang dimaksud sebagai Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia.

b) Sifat Jaminan Fidusia

Ketentuan dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia secara tegas menyatakan bahwa Jaminan fidusia merupakan agunan atas kebendaan aatau jaminan kebendaan (Zakelijk zekerheid, security right in rem) yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia, yaitu hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya. Hak ini tidak dapat harus karena adanya kepailitian atau likuidasi pemberi fidusia. Dengan demikian tidak ada alas an untuk menyatakan bahwa Jaminan Fidusia hanya merupakan perjanjian obligatoir yang melahirkan hak yang bersifat personlijk atau perorangan bagi kreditor (Gunawan Wijdaja & Ahmad Yani. 2001:124).

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa Jaminan Fidusia merupakan perjanjian assesoir dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang. Sebagai suatu perjanjian assesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut (Gunawan Wijdaja & Ahmad Yani.

2001:125)

(1)sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok;

(3)

(2)keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok;

(3)sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok; dan

(4)sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi.

c) Pendaftaran Jaminan Fidusia

Guna memberikan kepastian hukum, Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mewajibkan Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang terletak di Indonesia. Kewajiban ini bahkan tetap berlaku meskipun kebendaan yang dibebani dengan jaminan fidusia berada di luar wilayah Indonesia. Pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan Pemberi Fidusia. Keberadaan Kantor Pendaftaran Fidusia ini berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman dan bukan institusi yang mandiri atau unit pelaksana teknis (Gunawan Wijdaja & Ahmad Yani. 2001:139).

Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan oleh Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia, yang memuat:

(1) Identitas pihak Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia;

(2) Tanggal, nomor akta Jaminan Fidusia, nama dan tempat kedudukan Notaris yang membuat akta Jaminan Fidusia;

(3) Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

(4) Uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia;

(5) Nilai penjaminan; dan

(6) Nilai benda yang menjadi objek yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

(4)

Kemudian Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Tanggal pencatatan jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia ini dianggap sebagai lahirnya perjanjian fidusia. Sebagai bukti bagi kreditor bahwa ia merupakan pemegang jaminan fidusia adalah Sertifikat Jaminan Fidusia yang diterbitkan Kantor Pendaftaran Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggak penerimaan permohonan pendaftaran jaminan fidusia.

Penyerahan ini dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Sertifikat ini merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia yang memuat catatan tentang ghal-hal yang sama dengan data dan keterangan yang ada saat pernyataan pendaftaran.

Dengan demikian jaminan fidusia memenuhi asas publisitas sebagai satu asas yang sangat penting dalam hukum jaminan kebendaan.

Sertifikat ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya bahwa sertifikat jaminan fidusia dapat langsung dieksekusi atau dilaksanakan tanpa melalui proses persidangan dan pemeriksaan melalui pengadilan, dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia (kreditor) mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.

d) Ketentuan Pidana

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia hanya memuat 2 (dua) Pasal yaitu Pasal 35 dan Pasal 36. Pasal 35 berbunyi sebagai berikut:

Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu

(5)

pihak tidak melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Sedangkan dalam Pasal 36 berbunyi:

Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

2) Tinjauan Tentang Pembuktian a) Pengertian Pembuktian

Secara harafiah pembuktian berarti proses perbuatan, cara membuktikan sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa.

Demikian pula dengan pengertian pembuktikan, yang berarti memperlihatkan bukti, meyakinkan dengan bukti. Sedangkan menurut Darwin Prints pembuktian adalah pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwa lah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya (Andi Sofyan ,2014:230)

Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya, pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang- undang dan boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan (M.Yahya Harahap,2012:273).

(6)

Pembuktian terhadap dakwaan hak asasi manusia juga dipertimbangkan akibatnya jika yang didakwakan terhadap terdakwa terbukti dengan alat bukti yang sah serta disertai dengan keyakinan hakim padahal itu tidak benar. Untuk inilah hukum acara pidana berujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formil saja (Andi Hamzah,2008:249).

b) Sistem Pembuktian

Sistem atau teori pembuktian secara umum terdiri dari beberapa antara lain:

(1) Sistem Pembuktian Positif ( Possitive Wettelijk Bewijstheorie)

Menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada dikenal beberapa sistem pembuktian. Pembuktian yang didasarkan kepada alat pembuktian yang berupa undang-undang disebut sistem pembuktian berdasar secara positif (Andi Hamzah, 2008:251). Sistem ini dikatakan secara positif karena hanya didasarkan pada Undang- Undang. Hal tersebut berarti jika suatu perbuatan telah terbukti sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan lagi. Sehingga sistem pembuktian ini juga disebut juga teori pembuktian formal. Menurut Simons, bahwa sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang positif (positief wettelijke bewijs theorie) adalah untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras (Andi Sofyan, 2014-233).

Satu segi sistem ini memiliki kebaikan karena bersifat objektif dimana hakim dituntut untuk mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian yang

(7)

telah ditentukan undang-undang. Dengan pembuktian yang objektif maka hakim tidak perlu menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya. Apabila system ini dibandingkan dengan sistem pembuktian keyakinan atau conviction-in time, maka sistem pembuktian menurut undang-undang lebih sesuai dengan sistem pembuktian menuurut keyakinan. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif lebih dekat kepada prinsip

“penghukuman berdasar hukum”. Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang (M.Yahya Harahap,2012:278).

(2) Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Belaka (Conviction Intime)

Hakim memerlukan sebuah keyakinan sendiri dalam memutus terdakwa bersalah atau tidak terhadap perbuatan yang diakwakan kepadanya. Hal tersebut dikarenakan alat bukti pengakuan tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan kesalahan. Sistem ini merupakan sistem yang sederhana karena tidak membutuhkan suatu peraturan tentang pembuktian, dan menyerahkan segala sesuatunya pada kebijaksanaan dan pendapat hakim yang bersifat perseorangan atau subjektif. Berdasarkan teori ini Hakim mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Dalam sistem ini hakim hanya mendasarkan atas perasaan dalam menentukan, apakah suatu

(8)

keadaan atau peristiwa harus dianggap terbukti atau tidak atas kesalahan terdakwa (Andi Sofyan,2014:234).

Sedangkan menurut Andi Hamzah, conviction intime adalah teori yang berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang- undang. Teori ini didasarkan pada keyakinan hati nurani sehingga pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang (Andi Hamzah:2009:252).

(3)Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (La Conviction Raisonee)

Teori ini disebut juga sebagai teori pembuktian bebas. Menurut teori ini hakim dapat memutus seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan mana didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi (Andi Sofyan,2014:235).

Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem ini harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus reasonable , yakin berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal (M. Yahya Harahap,2012:278).

Sistem ini memberikan kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim

(9)

dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang telah didakwakan (Andi Hamzah,2008:252).

(4)Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettlijke)

Sistem pembuktian ini merupakan penggabungan antara sistem pembuktian menurut undang-undang positif dan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka. Sistem pembuktian menurut undang-undang negatif merupakan suatu keseimbangan yang bertolak belakang secara esktrim. Dari penggabungan ini rumusannya berbunyi: salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Berdasar rumusan tersebut seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang sekaligus keterbuktian kesalahan tersebut disertai dengan keyakinan hakim.

Berdasarkan sistem pembuktian Undang-Undang secara negatif terdapat dua aspek yang harus saling mendukung, yaitu:

(1)Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

(2)Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

3) Tinjauan Tentang Alat Bukti

Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP terdapat lima macam alat bukti yang sah. Hal yang digunakan sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas pada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian yang menggunakan alat bukti di luar jenis alat bukti dalam

(10)

Pasal 184 ayat (1) KUHAP tidak memiliki nilai dan kekuatan pembuktian yang mengikat. Selanjutnya akan dijelaskan kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti yang sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu:

a) Keterangan saksi

Berdasakan Pasal 1 angka 26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (Andi Sofyan,2014:238). Sedangkan yang dimaksud dengan keterangan saksi dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP adalah salah satu bukti dalam perkara pidana ang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, lihat dan alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya sendiri.

Keterangan saksi yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah harus memenuhi dua syarat, (Andi Sofyan,2014:239) yaitu:

(1) Syarat formil

Bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah, apabila diberikan oleh saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah, sehingga keterangan saksi yang tidak disumpah hanya boleh digunakan sebagai penambaan penyaksian yang sah lainnya.

(2) Syarat materiil

Keterangan seorang atau satu saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai alat pembuktian (unus testis nulus testis) karena tidak memenuhi syarat materiil, akan tetapi keterangan seorang atau satu orang saksi adalah cukup untuk alat pembuktian salah satu unsure kejahatan yang dituduhkan.

(11)

b) Keterangan ahli

Pasal 1 angka 28 KUHAP, mendefinisikan keterangan ahli adalah

“keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Sedangkan dalam Pasal 186 KUHAP dinyatakan bahwa: “Keterangan seorang ahli dinyatakan di sidang pengadilan”.

Penjelasan dari pasal tersebut berbunyi: “Keterangan ahli dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan”.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa keterangan ahli dapat juga diberikan di luar sidang, yaitu oada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum.

c) Surat

Surat yang dinilai dengan alat bukti yang sah di persidangan menurut undang-undang yaitu surat yang dibuat di atas supah jabatan atau yang dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti surat menurut definisi Asser-Anema yaitu segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran (Andi Hamzah,2008:276). Dalam Pasal 187 KUHAP, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan surat adalah:

Sebagaimana dimaksud tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:

a. Berita acara dan surat lain dala bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan dirinya.

(12)

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang- undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan.

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal aatu sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

d) Petunjuk

Definisi alat bukti petunjuk dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP adalah “perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena penyesuaiannya, baik anara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.

Penggunaan alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari yang telah ditentukan dalam Pasal 188 ayat (2), yaitu:

a. keterangan saksi;

b. surat;

c. keterangan terdakwa

Sedangkan untuk penilaian alat bukti pentunjuk disebutkan dalam Pasal 188 ayat (3) KUHAP sebagai “Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukn oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya”.

e) Keterangan terdakwa

Alat bukti keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 KUHAP, yang berbunyi:

(13)

(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti I sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup dapat membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain

Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1). Penempatan pada urutan terakhir inilah salah satu alasan yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksan keterangan terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan saksi (M. Yahya Harahap, 2012:318).

4) Tinjauan Tentang Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti.

Pentingnya seorang ahli dalam memberikan keterangan tentang suatu tindak pidana berdasarkan kemampuan atau keahlian di bidangnya. Hal ini sangat dimungkinkan atas keterbatasan pengetahuan penyidik atau penuntut umum dan hakim dalam mengungkap suatu perkara tindak pidana tanpa keterangan ahli. Seorang ahli yang memberikan keterangan tidak harus menyaksikan atau mengalami peristiwa secara langsung suatu tindak pidana seperti saksi lainnya namun didasarkan oleh keahlian, keterampilan, pengalaman maupun pengetahuan yang ia miliki dapat memberikan keterangan-keterangan tentang sebab akibat suatu peristiwa atau fakta tertentu dari alat bukti yang ada. Hal tersebut kemudian pendapatnya disimpulkan untuk membantu membuat terang suatu perkara.

(14)

Terdapat dua cara yang dimungkinkan bagi seorang ahli dalam memberikan keterangannya pada sidang pengadilan, yaitu dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis atau lisan. Kesaksian ahli yang dinyatakan secara lisan di muka sidang disebut sebagai keterangan ahli. Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 186 KUHAP bahwa “keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”.

Pengertian lain dari keterangan ahli yaitu:

“Expert witnesses are retained to take the stand and share specialized

knowledge with the court-specialized knowledge that may help the trier of fact make the decision they are charge to make” (Tess M.S.Neal, 2009:44).

Expert witness testimony is used routinely to ‘educate’ jurors about the impact of rape and the complex reactions of complainants. In most cases expert witness testimony has been used specifically to counter defence attempts to portray ‘normal’ post-offence behaviours as

‘unusual’ or inconsistent with a rape complaint (Louise Ellison, 2005:

240).

Keterangan ahli ini juga termasuk salah satu alat bukti yang sah dalam sidang pengadilan berdasarkan Pasal 184 huruf b KUHAP. Sedangkan kesaksian dalam bentuk tertulis dituangkan dalam bentuk berita acara pemeriksaan (Andi Sofyan,2014:247). Ketentuan ini dinyatakan dalam Pasal 187 huruf c KUHAP, bahwa “surat keterangan seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminya secara resmi padanya”.

Ketentuan hukum yang melandasi kewenangan penyidik untuk mendatangkan ahli dalam usahanya membuat terang suatu perkara pidana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP, yang berbunyi bahwa

“penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang mendatangkan

(15)

seorang ahli yang diperlukan dlam hubungannya dengan pemeriksaan perkara”.

Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli (M.Yahya Harahap,2003:304-305):

(1)Mempunyai kekuatan pembuktian yang “bebas” atau “vrijbewijskracht”.

Di dalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Terserah pada penilaian hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud. Akan tetapi, seperti apa yang telah pernah diutarakan, hakim dalam mempergunakan wewenang kebebasan dalam penilaian pembuktian, harus benar-benar bertanggungjawab, atas landasan moral demi terwujudnya kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum seperti kepastian hukum.

(2)Di samping itu, sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang lain, tidak cukup dan tidak memadai membuktikan kesalahan terdakwa. Apalagi jika Pasal 183 KUHAP dihubungkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2), yang menegaskan bahwa seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip inipun berlaku untuk alat bukti keterangan ahli. Bahwa keterangan seorang ahli saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus disertai dengan alat bukti lain.

(16)

5) Tinjauan tentang Putusan Hakim a) Bentuk Putusan

Putusan hakim pada dasarnya dibuat dalam rangka memberikan jawban. Oleh karena hakim dianggap tahu hukum (ius curia novit), maka putusan itu harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang memadai, yang bias diterima secara nalar di kalangan institusi kehakiman, forum ilmu pengetahuan hukum, masyarakat luas dan para pihak yang berperkara (Shidarta,2011:4).

Putusan harus sah untuk dapat dilaksanakan. Syarat sahnya putusan diatur dalam Pasal 195 KUHAP, yaitu “Semua putusan pengadilan, hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum”. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengetahui duduk perkaran dan dapat memberikan peran sertanya dalam memantau jalannya persidangan sesuai dengan ketentuan KUHAP atau tidak.

Apabila pemeriksaan sidang dinyatakan selesai seperti yang diatur dalam Pasal 182 ayat (1) KUHAP, tahap proses persidangan selanjutnya adalah pernyataan dari hakim ketua yang menyatakan “pemeriksaan dinyatakan ditutup”. Pernyataan tersebut yang mengantar persidangan ke tahap musyawarah hakim guna menyiapkan putusan yang akan dijatuhkan. Putusan yang akan dijatuhkan pengadian tergantung pada musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang meraka peroleh dari surat dakwaan yang kemudian dihubungkan dengan hal yang diperoleh pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Putusan yang akan dijatuhkan pengadilan dapat berbentuk antara lain, (M.Yahya Harahap, 2012:347):

(17)

(1)Putusan Bebas

Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrij spraak) atau acquittal.

Inilah pengertian terdakwa diputus bebas, terdakwa dibebaskan dari pemidanaan, tegasnya terdakwa “tidak dipidana”. Dalam ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP seorang terdakwa dapat diputus bebas apabila pengadian berpendapat:

(a) Dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan;

(b) Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya

“tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan.

Putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim yang bersangkutan:

(a) Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif.

Pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu tidak diyakini oleh hakim.

(b) Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian

Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

(2) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum

Pada masa yang lalu putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum disebut Onslag van ale Rechrsvervolging yang sama maksudnya dengan Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada

(18)

terdakwa terbukti, tetapi perbutan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.

Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum berdasar dari segala tuntutan hukum berdasar kriteria adalah:

(a) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan;

(b) Tetapi sekaipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang diakwakan tidak merupakan tindak pidana.

Perbandingan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum dan putusan pembebasan dapat ditinjau dari beberapa segi antara lain:

(a) Ditinjau dari segi pembuktian;

(b) Ditinjau dari segi penuntutan.

(3) Putusan Pemidanaan

Bentuk putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 KUHAP.

Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman piana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa. Apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183, kesalahan terdakwa teah cukup terbukti sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang meberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidananya.

(19)

Undang-Undang memberi kebebasan pada hakim untuk menjatuhkan pidana antara “minimum” dan “maksimum” yang akan diancamkan dalam pasal pidana yang bersangkutan sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 12 KUHP. Pada pasal 193 ayat (2) ada berbagai status yang dapat dieprintahkan pengadilan terhadap seorang terdakwa yang dijautin dengan putusan pidana, antara lain:

(a) Jika terdakwa tidak ditahan;

(b) Jika terdakwa berada dalam status tahanan.

(4) Penetapan Tidak Berwenang Mengadili

Apabila Pengadilan Negeri berpendapat tidak berwenang mengadili perkara yang dilimpahkan penuntut umum kepadanya, Pasal 148 telah memberi pedoman kepada Pengadian Negeri untuk menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada Pengadian Negeri yang dianggap berwenang mengadili.

(5) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Tidak Dapat Diterima

Penjatuhan putusan yang menyatakan dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima berpedoman kepada Pasal 156 ayat (1) KUHAP.

Sehubungan dengan pembahasan bantahan atau eksepsi yang diajukan terdakwa atau penasihat hukum.

(6) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum

Putusan ini didasarkan pada Pasal 143 ayat (3) dan Pasal 156 ayat (1). Pengadilan Negeri dapat menjatuhkan putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum. Alasan utama untuk membatalkan surat dakwaan demi hukum apabila surat dakwaan tidak memenuhi unsur yang ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b.

alasan yang dapat dijadikan dasar menyatakan dakwaan jaksa bata demi hukum adalah:

(20)

(a)apabila dakwaan tidak merumuskan semua unsur dalih yang didakwakan;

(b) atau tidak memerinci secara jelas peran dan perbutan yang dilakukan terdakwa dalam dakwaan; dan

(c)Dakwaan kabur atau obscuur libel, karena tidak dijelaskan cara bagaimana kejahatan yang diakukan.

b) Hal yang harus dimuat dalam Putusan

Putusan pemidanaan akan dapat terhindar dari ancaman batal demi hukumn sebagaimana yang diancam Pasal 197 ayat (2), apabila putusan memuat hal yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, antara lain:

(1) Berkepala: Demi Keadilan Berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa Demi Keadilan Berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa berkaitan dengan falsafah yang dianut oleh bangsa Indonesia, penegakan hukum yang dicitacitakan bangsa Indonesia keadilan yang berdasarkan Ketuhanan.

(2) Identitas Terdakwa

Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tangga lahir, jenis kelamin, tempat tibggal, agama dan pekerjaan terdakwa. Hal-hal tersebut harus dicantumkan di dalam putusan agar dalam putusan jelas dan terang guna menjamin terdakwa yang sedang diadili. Di dalam putusan, identitas terdakwa yang dicantumkan adalah yang terdapat dalam berita acara sidang jika terdapat perbedaan.

(3) Dakwaan, Sebagaimana Terdapat Dalam Surat akwaan Penuntut Umum

Dakwaan yang terdapat dalam surat dakwaan diambil aih daam putusan secara keseluruhan, penempatan pencantuman dakwaan mengikuti urutan identitas terdakwa.

(21)

(4) Pertimbangan yang Lengkap

(a) Fakta dan keadaan harus jelas diuraikan sesuai dengan apa yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang pengadilan.

Apalagi mengenai fakta atau keadaan yang “memberatkan” atau

“meringankan” terdakwa, mesti jelas diungkapkan dalam uraian pertimbangan putusan. Hal ini sangat penting diuraikan

(b) Pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.

Menurut M. Yahya Harahap sebelum putusan sampai pada uraian pertimbangan yang menyimpukan pendapatnya tentang kesalahan terdakwa, fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dalam pemeriksaan sidang, semestinya dipertimbangkan secara argumentative sehingga jeas terbaca jalam pikiran yang logis dan reasoning yang mantap, yang mendukunh kesimpulan pertimbangan hakim. Putusan jangan terlampau dari segi yuridis semata, namun juga dari segi penyusunan argumentasi pertimbangan dalam suatu rangkaian bahasa yang dapat diikuti jalan pemikiran yang tertuang daam pertimbangan dengan menggunakan kaimat dan susunan bahasa yang mudah dicerna oeh orang yang membacanya.

(5) Tuntutan Pidana Penuntut Umum

Kesimpulan tuntutan pidana atau rekuisitor penuntut umum ditempatkan antara uraian identitas terdakwa dengan surat dakwaan.

Mengenai dasar-dasar hukum alasan kesimpulan tuntutan pidana tersebut diuraikan serangkaian dengan pertimbangan fakta dan keadaan serta pertimbangan mengenai alat pembuktian. Demikian juga mengenai pembelaan terdakwa atau penasihat hukum diuraikan serangkaian dengan pertimbangan fakta dan keadaan beserta alat

(22)

pembuktian. Argumentasi fakta dan keadaan serta alat pembuktian

“dikonfrontir” oleh hakim dengan argumentasi tuntutan pidana penuntut umum dan pembelaan terdakwa atau penasihat hukum.

Konfrontasi argument ini harus jelas terbaca dalam putusan.

(6) Peraturan Undang-Undang yang Menjadi Dasar Pemidanaan

Putusan pemidanaan memuat pasal peraturanperundang- undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau pasal peraturann perundang-undangan yang menjadi dasar hukum putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.

(7) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis

Pada Pasal 197 huruf g KUHAP disebutkan bahwa putusan pengadilan negeri harus juga memuat tangga hari musyawarah dan tanggal hari pengucapan pengumuman putusan, sebagaimana telah diterapkan pada instansi peradilan di tindkat banding dan kasasi.

(8) Pernyataan Kesalahan Terdakwa

Pernyataan kesalahan terdakwa berupa penegasan telah terpenuhi semua unsure dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasi dan pemidanaan atau hukuan yang dijatuhkan. Biasanya pernyataan yang disebut pada hal ini dicantumkan dalam amar putusan.

(9) Pembebanan Biaya Perkara dan Penentuan Barang Bukti

Ketentuan yang mengatur mengenai pembebanan biaya perkara yaitu pada Pasal 222 KUHAP, sedangkan mengenai barang bukti diatur pada Pasal 194 KUHAP.

(10) Penjelasan Tentang Surat Palsu

Jika persidangan menemukan kepalsuan surat autentik yang ada hubungannya dengan perkara yang bersangkutan, kepalsuan

(23)

dijelaskan dalam putusan. Tata cara memperlakukan surat palsu ini diatur dalam Pasal 201 KUHAP.

(11) Perintah Penahanan, Tetap dalam Tahanan atau Pembebasan

Setiap putusan yang dijatuhkan pengadilan harus secara tegas memuat dictum atau amar yang berisi perintah penahanan, tetap dlam tahanan atau pembebasan. Terserah pada penilaian hakim perintah bagaimana yang akan dikenakan kepada terdakwa.

(12) Hari dan Tanggal Putusan, Nama Penuntut Umum, Hakim yang Memutus, dan Panitera

Secara sistematik hal ini merupakan isi penutup putusan. Hal ini ditempatkan menyusul sesudah amar putusan.

Sesudah putusan pemidanaan diucapkan, hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya, yaitu (Andi Hamzah, 2012: 284) :

a. Hak segera menerima atau segera menolak putusan.

b. Hak memperlajari putusan sebelum menyatakan menerima atau meolak putusan dalam tenggat waktu yang ditentukan yaitu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (Pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 KUHAP);

c. Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggat waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan (Pasal 169 ayat (3) KUHAP jo. Undang-Undang Grasi);

d. Hak minta banding dalam tenggat waktu tujuh hari setelah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang

(24)

tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2) KUHAP (Pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat (3) KUHAP); dan

e. Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana diaksud pada butir a (menolak putusan) dalam waktu seperti ditentukan dalam Pasal 235 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi (Pasal 196 ayat (3) KUHAP).

6) Tinjauan tentang Penyertaan dalam Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memberikan pengertian tentang deik penyertaan (deelneming, yang ada hanya bentuk-bentuk penyertaan baik sebagai pembuat (dader) maupun sebagai pembantu (medeplichtige) (Mahrus Ali, 2012: 122).

Penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, penyertaan dibagi menjadi dua pembagian besar, yaitu:

a) Pembuat/Dader (Pasal 55) yang terdiri dari:

(1) pelaku (pleger)

Pelaku adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi perumusan delik dan dipandang paling bertanggung jawab atas kejahatan.

(2) yang menyuruhlakukan (doenpleger)

Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian ada dua pihak, yaitu pembuat langsung (manus ministra/auctor physicus), dan pembuat tidak langsung (manus domina/auctor intellectualis).

(25)

Unsur-unsur pada doenpleger adalah:

(a)alat yang dipakai adalah manusia;

(b)alat yang dipakai berbuat; dan

(c)alat yang dipakai tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Sedangkan hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materiel) tidak dapat dipertanggungjawabkan adalah:

(a)bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya (Pasal 44);

(b) bila ia berbuat karena daya paksa (Pasal 48);

(c) bila ia berbuat karena perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 (2));

(d) bila ia sesat (keliru) mengenai salah satu unsur delik;

dan

(e) bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang disyaratkan untuk kejahatan ybs.

Jika yang disuruhlakukan seorang anak kecil yang belum cukup umur maka tetap mengacu pada Pasal 45 dan Pasal 47 jo. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.

(3) yang turut serta (medepleger)

Medepleger menurut MvT adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengejakan terjadinya sesuatu. Oleh karena itu, kualitas masing-masing peserta tindak pidana adalah sama. Syarat adanya medepleger:

(a)ada kerjasama secara sadar kerjasama dilakukan secara sengaja untuk bekerja sama dan ditujukan kepada hal yang dilarang undang-undang.

(b)ada pelaksanaan bersama secara fisik, yang menimbulkan selesainya delik ybs.

(26)

(4) penganjur (uitlokker)

Penganjur adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang secara limitatif, yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, kekerasan, ancaman, atau penyesatan, dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan (Pasal 55 (1) angka 2). Penganjuran (uitloken) mirip dengan menyuruhlakukan (doenplegen), yaitu melalui perbuatan orang lain sebagai perantara.

Terdapat perbedaannya yang terletak pada:

(a) Pada penganjuran, menggerakkan dengan sarana-sarana tertentu (limitatif) yang tersebut dalam undang-undang

(KUHP), sedangkan menyuruhlakukan

menggerakkannya dengan sarana yang tidak ditentukan.

(b) Pada penganjuran, pembuat materiel dapat dipertanggungjawabkan, sedang dalam menyuruhkan pembuat materiel tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Syarat penganjuran yang dapat dipidana:

(a) ada kesengajaan menggerakkan orang lain.

(b) menggerakkan dengan sarana/upaya seperti tersebut limitatif dalam KUHP.

(c) putusan kehendak pembuat materiel ditimbulkan karena upaya-upaya tersebut.

(d) pembuat materiel melakukan/mencoba melakukan tindak pidana yang dianjurkan.

(e) pembuat materiel dapat dipertanggungjawabkan.

(27)

Penganjuran yang gagal tetap dipidana berdasarkan Pasal 163 bis KUHP.

b) Pembantu/Medeplichtige (Pasal 56) yang terdiri dari:

(1) Pembantu pada saat kejahatan dilakukan;

Pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Ini mirip dengan medeplegen (turut serta), namun perbedaannya terletak pada:

(a) pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu/menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.

(b) pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan/berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.

(c) pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.

(d) Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yangbersangkutan dikurangi sepertiga, sedangkan turut serta dipidana sama.

(2) Pembantu sebelum kejahatan dilakukan.

Dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Ini mirip dengan penganjuran (uitlokking).

Perbedaannya pad niat/kehendak, pada pembantuan kehendak

(28)

jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula/tidak ditimbulkan oleh pembantu sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh si penganjur.

Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat yang semuanya dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari pada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (Pasal 57 ayat (1)). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun. Namun ada beberapa catatan pengecualian, antara lain:

(a) pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak pidana;

(i) membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 (4)) dengan cara member tempat untuk perampasan kemerdekaan;

(ii) membantu menggelapkan uang/surat oleh pejabat (Pasal 415);

(iii) meniadakan surat-surat penting (Pasal 417).

(b) pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat, yaitu tindak pidana:

(i) membantu menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal 231 (3));

(ii) dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349).

Sedangkan pidana tambahan bagi pembantu adalah sama dengan pembuatnya (Pasal 57 ayat (3) dan

(29)

pertanggungjawaban pembantu adalah berdiri sendiri, tidak digantungkan pada pertanggungjawaban pembuat.

c) Penyertaan yang tak dapat dihindarkan.

Terjadi apabila tindak pidana yang dilakukan tidak dapat terjadi tanpa adanya penyertaan dengan orang lain. Jadi tindak pidana itu terjadi kalau ada orang lain sebagai penyerta. Delik- delik yang termasuk dalam kategori ini adalah:

(1) menyuap/membujuk orang lain untuk tidak menjalankan hak pilih (Pasal 149)

(2) membujuk orang lain untuk masuk dinas militer negara asing (Pasal 238)

(3) bigami (Pasal 279) (4) perzinahan (284)

(5) melakukan hubungan kelamin dengan anak perempuan di bawah 15 tahun (Pasal 287)

(6) menolong orang lain untuk bunuh diri (Pasal 345).

(30)

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan kerangka pemikiran:

Untuk menyatakan suatu perbuatan termasuk dalam tindak diperlukan proses pemeriksaan oleh hakim yaitu proses pembuktian.

Proses pembuktian yang dilakukan di persidangan menghadirkan alat- Tindak Pidana Fidusia

Bersama-Sama

Pembuktian

Alat Bukti

Keterangan Ahli Pidana

Pertimbangan Hakim Kesesuaian

Penggunaan Keterangan Ahli dengan Ketentuan

KUHAP

Putusan

(31)

alat bukti yang sah menurut ketentuan KUHAP. Penggunaan alat bukti dimaksudkan untuk mendukung proses membuat terangnya suatu tindak pidana. Salah satu alat bukti yang digunakan adalah berupa keterangan ahli. Seorang ahli dalam memberikan keterangannya di muka sidang harus sesuai dengan aturan dan ketentuan hukum yang berlaku. Ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b jo Pasal 186 KUHAP.

Guna membuktikan tindak pidana fidusia ini maka diperlukan bantuan ahli pidana agar dapat membuat terangnya perkara. Hal tersebut berkaitan untuk memperjelas peran terdakwa dalam melakukan tindak pidana. Keterangan ahli yang diberikan dapat mempengaruhi hakim dalam memberikan pertimbangan. Sehingga dengan adanya keterangan ahli dalam proses pembuktian dapat membantu hakim dalam memutus perkara.

Gambar

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Berdasar pada hasil analisis data dan pengujian hipotesis yang telah dilakukan, dapat dilihat hasil empiris mengenai pengaruh kualitas pelaporan CSR perusahaan, ukuran dewan

Sementara itu Deynara Septin Dwi Putri, yang meneliti pencemaran timbal dalam air terhadap kesehatan ternak dan manusia, juga meraih predikat sebagai wisudawan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana hak anak

 beberapa kekurangan, kekurangan, diantaranya adalah diantaranya adalah hipotesa ini hipotesa ini tidak dapat tidak dapat menjelaskan efek menjelaskan efek yang yang lama

Sistem basisdata terdistribusi yang baik mensyaratkan transparansi fragmentasi di mana user tidak perlu mengetahui bagaimana data difrag- mentasikan, transparansi replikasi di

Data Industri Kecil Menengah Formal Kecamatan Karangasem 22 Data Industri Kecil Menengah Formal Kecamatan Kubu 28 Data Industri Kecil Menengah Formal Kecamatan Manggis 29 Data

Menuju babak 8 besar tim mendapat libur 1 hari, sehingga bisa mendapatkan waktu untuk memulihkan kondisi fisik dan mental setelah 3 hari berturut-turut bermain di tiga

Instrumen penilaian ini berbentuk soal isomorphic dan rubriknya berbasis multirepresentasi dimana dari ada beberapa tipe soal dalam satu indikator, soal-soal