• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. hlm. 109.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. hlm. 109."

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

9 A. Tinjauan Pola Asuh Orang Tua

1. Pengertian pola asuh orang tua

Pandangan para ahli psikologi dan sosiologi yaitu Pola asuh dalam pandangan Singgih D Gunarsa (1991) sebagai gambaran yang dipakai orang tua untuk mengasuh (merawat, menjaga, mendidik) anak. Sedangkan Chabib Thoha (1996), pola asuh adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dan rasa tanggung jawab kepada anak.16.

Menurut Sri Lestari (2013), pola asuh orang tua adalah serangkaian sikap yang ditunjukan oleh orang tua kepada anak untuk menciptakan iklim emosi yang meliputi interaksi orang tua dan anak.17

Menurut Gunarsa Singgih (2007) dalam bukunya Psikologi Remaja, pola asuh orang tua adalah sikap dan cara orang tua dalam mempersiapkan anggota keluarga yang lebih muda termasuk anak supaya dapat mengambil keputusan sendiri dan bertindak sendiri sehingga mengalami perubahan dari keadaan bergantung kepada orang tua menjadi berdiri sendiri dan bertanggung jawab sendiri.18

Manurut Baumrind yang dikutip oleh Dr. Yusuf mengemukakan perlakuan orang tua terhadap anak dapat dilihat dari :

a. Cara orang tua mengontrol anak.

b. Cara orang tua memberi hukuman.

c. Cara orang tua memberi hadiah.

d. Cara orang tua memerintah anak.

e. Cara orang tua memberikan penjelasan kepada anak.

16 Tridhonanto Al. Mengembangkan Pola Asuh Demokratis. Jakarta: Elek Media Komputindo. Hlm. 04

17 Sri Lestari. 2013. Psikologi Keluarga.. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hlm. 49

18 Ny. Y. Singgih D.Gunarsa dan Gunarsa, Singgih D. 2007. Psikologi Remaja. Jakarta: Gunung Mulia. cet. 16.

hlm. 109.

(2)

Sedangkan menurut Weiten dan Lioyd yang juga dikutip oleh Dr. Yusuf menjelaskan perlakuan orang tua terhadap anak yaitu:

1) Cara orang tua memberikan peraturan kepada anak.

2) Cara orang tua memberikan perhatian terhadap perlakuak anak.

3) Cara orang tua memberikan penjelasan kepada anak.

4) Cara orang tua memotivasi anak untuk menelaah sikap anak.19

Jadi yang dimaksud dengan pola suh orang tua adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan, rasa tanggung jawab kepada anak dan serangkaian sikap yang ditunjukan oleh orang tua kepada anak untuk menciptakan iklim emosi yang meliputi interaksi orang tua dan anak.20

2. Macam-macam pola asuh orang tua

Adapun menurut Baumrind, ahli psikologi perkembangan membagi pola asuh orang tua menjadi 3 yakni otoriter, permisif, dan demokratis.

a. Pola asuh otoriter

Ciri-ciri dari pola asuh ini, menekankan segala aturan orang tua harus ditaati oleh anak. Orang tua bertindak semena-mena, tanpa dapat dikontrol oleh anak. Anak harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa yang diperintahkan oleh orang tua. Dalam hal ini, anak seolah-olah menjadi robot, sehingga ia kurang inisiatif, merasa takut, tidak percaya diri, pencemas, rendah diri, minder dalam pergaulan; tetapi disisi lain, anak bisa memberontak, nakal, atau melarikan diri dari kenyataan, misalnya dengan narkoba. Dari segi positifnya, anak yang dididik dalam pola asuh ini, cenderung akan menjadi disiplin yakni mentaati peraturan.

a. Pola asuh permisif

Sifat pola asuh ini, children centered yakni segala aturan dan ketetapan keluarga di tangan anak. Apa yang dilakukan oleh anak diperbolehkan orang tua. Orang tua menuruti kemauan anak. Anak cenderung bertindak semena- mena, tanpa pengawasan orang tua. Ia bebas melakukan apa saja yang

19 Syamsu Yusuf LN. 2008. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosdakarya. Hlm.

52

20 Sri Lestari. 2013. Psikologi Keluarga.. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hlm. 49

(3)

diinginkan. Dari sisi negative, anak kurang disiplin dengan aturan-aturan sosial yang berlaku. Bila anak mampu menggunakan kebebasan tersebut secara bertanggung jawab, maka anak akan menjadi seorang yang mandiri, kreatif inisiatif dan mampu mewujudkan aktualisasinya.

b. Pola asuh demokratis

Kedudukan antara orang tua dan anak sejajar. Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah pihak. Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apa yang dilakukan oleh anak tetap harus dibawah pengawasan orang tua dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Orang tua dan anak tidak dapat berbuat semena-mena. Anak diberi kepercayaan dan dilatih untuk mempertanggungjawabkan segala tindakannya.

Akibat positif dari pola asuh ini, anak akan menjadi seorang individu yang mempercayaai orang lain, bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya, tidak munafik, dan jujur. Namun akibat negatifnya, anak akan cenderung merongrong kewibawaan otoritas orang tua, kalau segala sesuatu harus dipertimbangkan antara anak-anak dan orang tua.21

Menurut Hurlock (1978) terdapat tiga tipe pola asuh orang tua terhadap anak di antaranya pola asuh demokratis, otoriter, dan permisif.

1) Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturan- aturan yang ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi.

2) Pola asuh permisif ditandai dengan cara orang tua mendidik anak yang cenderung bebas, anak dianggap sebagai orang dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran seluas-luasnya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki.

3) Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung pada orang tua.22

21 Dariyo Agoes. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor Selatan: Ghalia Indonesia. Hlm: 97

22 Elizabeth B. Hurlock. 1978. Perkembangan Anak: Jakarta: Penerbit Erlangga. Hlm. 205

(4)

Menurut Diana Baumrind, (Desmita, 2012) terdapat tiga tipe pola asuh yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam tingkah laku anak, yaitu:

a) Pola asuh otoritatif (authoritative parenting) adalah salah satu gaya pengasuhan yang memperlihatkan pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku anak, tetapi orang tua juga bersikap responsif, menghargai, dan menghormati pemikiran, perasaan serta mengikutsertakan anak dalam mengambil keputusan.

b) Pola asuh otoriter (authoritarian parenting) adalah suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan menuntut anak untu mengikuti perintah-perintah orang tua.

c) Pola asuh permisif (permissive parenting). Gaya pengasuhan permisif dibedakan dalam dua bentuk, yaitu : a. Pengasuhan permissive- indulgent yaitu suatu gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak, tetapi menetapkan sedikit batas atau kendali atas mereka.

b. Pengasuhan permissive-different, yaitu gaya pengasuhan dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak.23

Menurut John w. Santrock (2002) menekankan tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial anak, yaitu;

(a) Pengasuhan otoriter adalah suatu gaya membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti setiap perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua otoriter menetapkan batas-batas yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar kepada anak untuk berbicara.

Pengasuhan yang otoriter diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak.

(b) Pengasuhan otoritatif mendorong anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan mereka. Orang tua memperlihatkan kehangatan serta kasih sayang kepada anak. Pengasuhan yang otoritatif diasosiasikan dengan kompetensi sosial anak.

(c) Pengasuhan permisif terjadi dalam dua bentuk, permissive-indefferent dan permissive-indulgent. Pengasuhan permissive-indefferent adalah suatu gaya

23 Desmita. 2012. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hlm. 144-145

(5)

pengasuhan dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak, tipe pengasuhan ini diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak, khususnya kurangnya kendali diri. Adapun pengasuhan permissive- indulgent adalah suatu gaya pengasuhan di mana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak mereka tetapi menetapkan sedikit batas atau kendali terhadap mereka. Pengasuhan yang permissive-indulgent diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak.24

Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulakn bahwa secara umum ada tiga macam pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anaknya, yaitu pola asuh demokratis, pola asuh otoriter, dan pola asuh permisif.

(a) Pola asuh otoriter yaitu menekankan segala aturan orang tua harus ditaati oleh anak. Orang tua bertindak semena-mena, tanpa dapat dikontrol oleh anak. Anak harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa yang diperintahkan oleh orang tua.

(b) Pola asuh permisif yaitu segala aturan dan ketetapan keluarga di tangan anak. Apa yang dilakukan oleh anak diperbolehkan orang tua. Orang tua menuruti kemauan anak. Anak cenderung bertindak semena-mena, tanpa pengawasan orang tua. Ia bebas melakukan apa saja yang diinginkan.

(c) Pola asuh demokratis yaitu Kedudukan antara orang tua dan anak sejajar.

Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah pihak. Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apa yang dilakukan oleh anak tetap harus dibawah pengawasan orang tua dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Orang tua dan anak tidak dapat berbuat semena-mena. Anak diberi kepercayaan dan dilatih untuk mempertanggungjawabkan segala tindakannya.

3. Ciri-ciri pola asuh orang tua

Ciri- ciri pola asuh orang tua menurut Baumrind (Iriani Indri Hapsari : 2016) adalah sebagai berikut:

a. Pola asuh otoriter

1) Orang tua menghukum tanpa alasan.

24 John W. Santrock. 2011. Perkembangan Anak Edisi ke tujuh jilid dua. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hlm. 257.

(6)

2) Menuntut anak agar mengikuti arahan mereka tanpa menghargai kerja dan usaha.

3) Membatasi aktifitas anak. Orang tua bertindak semaunya tanpa dapat dikritik oleh anak.

4) Anak harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa-apa yang diperintahkan atau dikehendaki oleh orang lain.

5) Anak tidak diberi kesempatan menyampaikan apa yang dipikirkan, diinginkan atau dirasakan.

b. Pola asuh permisif

1) Sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak.

2) Orang tua harus mengikuti keinginan anak baik orang tua setuju atau tidak.

3) Apa yang diinginkan anak selalu dituruti dan diperbolehkan orang tua.

4) Anak cenderung menjadi bertindak semena-mena.

c. Pola asuh demokratis

1) Mendukung anak menjadi mandiri tetapi tetap menempatkan batasan dan kontrol pada tindakan anak.

2) Memperbolehkan diskusi yang cukup banyak.

3) Orang tua hangat dan peduli pada anak.

4) Kedudukan antara orang tua dan anak dalam berkomunikasi sejajar.

5) Suatu keputusan diambil bersama dngan mempertimbangkan keuntungan kedua belah pihak.

6) Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apapun yang dilakukan anak tetap harus ada dibawah pengawasan orang tua dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral.

7) Orang tua dan anak tidak dapat memaksakan sesuatu tanpa berkomunikasi terlebih dahulu.

8) Setiap pengambilan keputusan disetujui oleh keduanya tanpa ada yang merasa tertekan.25

25 Iriani Indru Hapsari. 2016. Perkembangan Anak Edisi ke Tujuh jilid dua. Jakarta: Erlangga.

(7)

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua

Menurut Hurlock (1978) faktor-faktor penting yang mempengaruhi pola asuh orang tua adalah sebagai berikut:

a. Keinginan untuk mendapat anak

Sebagian orang menginginkan banyak anak, yang lain hanya menginginkan sedikit atau sama sekali tidak. Beberapa di antaranya merasa perkawinannya tidak lengkap tanpa anak dan yang lain merasa bahwa anak hanya merupakan hambatan terhadap keberhasilan pekerjaan atau kenaikan tersebut. Hal ini tersebut akan berpengaruh dalam proses pengasuhan terhadap anak.

b. Keadaan fisik selama kehamilan

Apabila calon ibu merasa sehat dan sedikit menderita gangguan walaupun beberapa gangguan itu lazin terjadi, ia mungkin lebih bersikap menguntungkan dari pada calon ibu yang banyak menderita gangguan.

c. Keadaan selama kehamilan

Bagi banyak wanita, kehamilan merupakan saat depresi, kecemasan, dan khawatir tentang kelahiran anak, mempunyai anak yang cacat, atau ketidakmampuan untuk menjadi seorang ibu. Bagi yang lain, keadaaan selama kehamilan tersebut merupakan saat penantian yang bahagia.

d. Mimpi dan fantasi calon ibu

Rasa takut, keraguan, dan kecemasan untuk memiliki anak yang dialami calon ibu sering diperkuat oleh mimpi dan fantasi.

e. Pengalaman awal dengan anak

Calon orang tua yang mempunyai pengalaman merawat saudaranya akan cenderung mempunyai sikap yang kurang menerima dalam hal mempunyai anak dari pada mereka yang tidak mempunyai pengalaman tersebut.

f. Sikap dan pengalaman teman

Teman-teman yang mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan di rumahnya dan tidak bahagia dalam perannya sebagai orang tua dapat mempengaruhi sikap calon orang tua.

(8)

g. Konsep tentang anak yang diinginkan

Bila orang tua mempunyai konsep yang diinginkan mengenai calon anak, akan memungkinkan munculnya rasa kecewa dan tidak senang apabila anak tersebut tidak sesuai dengan konsep yang diinginkan.

h. Kelas sosial orang tua

Banyak orang tua dari kelas rendah cenderung menganggap menjadi orang tua sebagai “akibat yang tak terletakkan karena hubungan kelamin”. Sedangkan mereka yang berasal dari kelas menengah dan kelas atas mengganggapnya sebagai “ pemenuhan” suatu perkawinan.

i. Status ekonomi

Jika kondisi keuangan terbatas, sikap orang tua terhadap kedatangan seorang anak akan terpengaruh.

j. Usia orang tua

Secara umum orang tua yang lebih berumur menerima perannya sepenuh hati dari pada mereka yang lebih muda.

k. Minat dan aspirasi calon ibu

Wanita yang aspirasi utamanya adalah untuk menjadi ibu yang lebih baik mempunyai sikap menguntungkan terhada[ calon anaknya dari pada wanita yang perhatiannya mengutamakan dan memusatkan pada kegiatan sosial atau pekerjaan.26

5. Dampak pola asuh orang tua

Menurut Diana Baumrind (Iriani Indri Hapsari: 2016) dampak gaya pengasuhan orang tua terhadap perkembangan anak adalah sebagai berikut:

a. Pola asuh otoriter 1. Dampak positif

Pola asuh ini lebih banyak memiliki dampak negatif, akan tetapi pola asuh ini pun memiliki dampak positif. Dampak positifnya adalah anak akan lebih disiplin karena orang tua bersikap tegas dan memerintah.

26 Elizabeth B. Hurlock. 1978. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga. Hlm. 68.

(9)

2. Dampak negatif

Anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan ini sering terihat tidak bahagia, dan cemas dengan perbandingan antara mereka dengan anak lain, gagal dalam inisiatf kegiatan, dan lemah dalam kemampuan komunikasi sosial.

Dampak yang ditimbulkan dari pola asuh otoriter yaitu anak memiliki sifat dan sikap, seperti mudah tersinggung, penakut, pemurung dan merasa tidak bahagia, mudah terpengaruh, mudah stress, tidak mempunyai arah masa depan yang jelas dan tidak bersahabat.

b. Pola asuh permisif 1. Dampak positif

Orang tua akan lebih mudah mengasuh anak karena kurangnya kontrol terhadap anak. Bila anak mampu mengatur seluruh pemikiran, sikap, dan tindakannya dengan baik, kemungkinan kebebasan yang diberikan oleh orang tua dapat dipergunakan untuk mengembangkan kreativitas dan bakatnya, sehingga ia menjadi seorang individu yang dewasa, inisiatif, dan kreatif. Dampak positif tergantung pada bagaimana anak menyikapi sikap orang tua yang permisif.

2. Dampak negatif

Dampak dari gaya pola suh permisif adalah anak mengembangkan perasaan bahwa orang tua lebih mementingkan aspek lain dalam kehidupan dari pada anaknya. Oleh karenanya, anak banyak yang kurang memiliki kontrol diri dan tidak dapat mengatasi kemandirian secara baik. Mereka memiliki harga diri yang rendah, tidak matang, dan mungkin terisolasi dari keluarga. Pada saat remaja mereka memperlihatkan kenakalan. Anak jarang belajar menghormati orang lain dan memiliki kesulitan dalam mengendalikan tingkah laku mereka. Mereka bisa menjadi agresif, mendominasi.

Adapun dampak yang ditimbulkan dari pola asuh permisif yaitu membawa pengaruh atas sifat-sifat anak. Seperti; bersikap impulsive (sikap yang berubah-ubah) dan agresif, suka memberontak, kurang memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri, suka mendominasi, tidak jelas arah hidupnya, dan prestasinya rendah.

(10)

c. Pola asuh demokratis 1. Dampak positif

Anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan ini sering terlihat ceria, memiliki pengendalian diri dan keprcayaan diri, kompeten dalam bersosialisasi, berorientasi prestasi, mampu mempertahankan hubungan yang ramah, bekerja sama dengan orang dewasa, dan mampu mengendalikan diri dengan baik.

2. Dampak negatif

Walaupun pola asih demokratis lebih banyak memiliki dampak positif, namun terkadang juga dapat menimbulkan masalah apabila anak atau orang tua kurang memiliki waktu untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, diharapkan orang tua tetap meluangkan waktu untuk anak dan tetap memantau aktivitas anak. Selain itu emisi anak yang kurang stabil juga akan menyebabkan perselisihan disaat orang tua sedang mencoba membimbing anak.

Adapun dampak dari pola asuh demokratis yaitu bisa membentuk perilaku anak seperti; memiliki rasa percaya diri, bersikap bersahabat, mampu mengendalikan diri (self control), bersikap sopan, mau bekerja sama, memiliki rasa ingin tahunya yang tinggi, mempunyai tujuan atau arah hidup yang jelas, dan berorientasi terhadap prestasi.

6. Pola asuh dalam pandangan Islam

Di dalam Islam, pola asuh atau mengasuh anak disebut juga dengan hadlonah, menurut pendapat para ahli fiqih hadlonah berarti memelihara anak dari bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan rohani, mengusahakan pendidikannya hingga ia sanggup berdiri sendiri (mandiri) dalam menghadapi kehidupan sebagai seorang muslim.27

Pola asuh yang sesuai dengan ajaran agama Islam diterangkan oleh Allah SWT dalam surat Al-Lukman: 13 tentang memberikan dasar-dasar pedoman dan beberapa prinsip pengasuhan anak yang tercermin dalam pesan dan nasihat Luqman kepada anaknya,28 yaitu:

27 Kamal Muchtar. 1993. Asas- asas hukum perkawinan dalam islam. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 16.

28 Ahmad Azhar Basyir. 1994. Keluarga Sakinah Keluarga Surgawi. Yogyakarta: Titian Ilmu. Hlm. 16

(11)

a) Menanamkan keyakinan tauhid dan menghindari kemusyrikan.

b) Menanamkan rasa wajib memuliakan Allah SWT dan menghidupkan jiwa muroqobah (selalu berada dalam pengawasan Allah).

c) Menanamkan rasa wajib mendirikan sholat, sebagai sarana komunikasi secara kontiyu antara hamba dan sang kholiq.

d) Menanamkan rasa wajib berbuat dan bersikap hormat kepada orang tua dan mentaati mereka dalam batas tidak bertentangan dengan aqidah.

e) Menanamkan rasa wajib amar ma’ruf dan nahi munkar, serta tabah dalam menghadapi cobaan hidup.

f) Menanamkan rasa wajib sopan santun dalam pergaulan sehari-hari.

g) Menanamkan rasa wajib menghormati kepada sesama, tidak bersikap sombong baik dalam perkataan dan perbuatan. Seperti yang tertera di Q.S Lukman ayat 1329:

ِهِنْبِلا ُنَمْقُل َلاَق ْذِاَو ٌمْيِظَع ٌمْلُظَل َكْرِّشلا َّنِا ِللهِبِ ْكِرْشُتَلا ََّنَُ بَ ي ُهُظِعَي َوُه َو

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah), adalah benar-benar kezaliman yang besar”.

B. Tinjauan Single Parent

1. Pengertian Ibu Single Parent

Menurut Dodson yang dikutip oleh Rahim (2006) menyatakan bahwa keluarga dari ibu tunggal merupakan wujud akibat pembubaran ikatan perkawinan antara suami dan istri melalui cara perceraian yang sah atau kematian. Selain itu, ibu tunggal juga termasuk wanita yang mengambil anak angkat atau wanita yang mempunyai anak diluar perkawinan yang sah.30

29 Departemen Agama RI. 2002. Mushaf Al-qur’an Terjemah. Jakarta: Gema Insani. Hlm. 413.

30 Rahim, dkk. 2006. Krisis dan Konflik Institusi keluarga. Kuala Lumpur: Maziza SDN, BHD. 34

(12)

2. Penyebab seorang menjadi ibu single parent

Beberapa faktor yang menjadikan seorang perempuan menyandang gelar Single Parent atau ibu tunggal diantaranya adalah :

a. Perceraian

Dijelaskan oleh Elizabeth B. Hurlock (1978) mengenai pengaruh rumah tangga yang pecah pada hubungan keluarga adalah : rumah tangga yang pecah karena perceraian dapat lebih merusak anak dan hubungan keluarga daripada rumah tangga yang pecah karena kematian. Terdapat dua alasan untuk hal ini. Pertama, periode penyesuaian terhadap perceraian lebih lama dan sulit bagi anak daripada periode penyesuaian yang menyertai kematian orangtua. Hozman dan Froiland menemukan bahwa kebanyakan anak melalui lima tahap dalam penyesuaian ini, yaitu: penolakan terhadap perceraian, kemarahan yang ditujukan pada mereka yang terlibat dalam situasi tersebut, tawar menawar dalam usaha mempersatukan orangtua, depresi dan akhirnya penerimaan perceraian. Kedua, perpisahan yang disebabkan perceraian itu serius sebab mereka cenderung membuat anak berbeda dalam mata kelompok teman sebaya. Jika anak ditanya dimana orang tuanya atau mengapa mereka mempunyai orang tua baru sebagai pengganti orang tua yang tidak ada, mereka menjadi serba salah dan merasa malu. Di samping itu mereka mungkin merasa bersalah jika menikmati waktu bersama orang tua yang tidak ada atau jika mereka lebih suka tinggal dengan orang tua yang tidak ada dari pada tinggal dengan orang tua yang mengasuh mereka.31

b. Kematian

Seorang perempuan yang telah menyandang gelar istri bisa menjadi ibu single parent ketika suaminya meninggal, baik meninggal karena kecelakaan, penyakit atau sebab-sebab lainnya. Dijelaskan oleh Elizabetr B.

Hurlock (1978) mengenai pengaruh rumah tangga yang pecah karena sebab kematian pada hubungan keluarga bahwa keretakan rumah tangga yang disebabkan oleh kematian dan anak menyadari bahwa orang tua mereka tidak akan pernah kembali lagi, mereka akan bersedih hati dan mengalihkan kasih sayang mereka pada orang tua yang masih ada yang tenggelam dalam

31 Hurlock, Elizabeth B. 1978. Perkembangan anak jilid 2. Jakarta : Penerbit Erlangga. Hlm. 216

(13)

kesedihan dan masalah praktis yang ditimbulkan rumah tangga yang tidak lengkap lagi, anak merasa ditolak dan tidak diinginkan. Hal ini akan menimbulkan ketidaksenangan yang sangat membahayakan hubungan keluarga.

Pada awal masa hidup anak kehilangan ibu jauh lebih merusak dari pada kehilangan ayah. Alasannya ialah bahwa pengasuhan anak kecil dalam hal ini harus dialihkan ke sanak saudara atau pembatu rumah tangga yang menggunakan cara mendidik anak yang mungkin berbeda dari yang digunakan ibu mereka, jarang dapat memberi anak perhatian dan kasih sayang yang sebelumnya ia peroleh dari ibunya. Dengan bertambahnya usia, kehilangan ayah sering lebih serius daripada kehilangan ibu, terutama bagi anak laki-laki. Ibu harus bekerja, dan dengan beban ganda di rumah dan pekerjaan di luar, ibu mungkin kekurangan waktu atau tenaga untuk mengasuh anak sesuai dengan kebutuhan mereka. Akibatnya mereka merasa diabaikan dan merasa benci. Jika ibu tidak memberikan hiburan dan lambang status seperti yang diperoleh teman sebaya, maka perasaan tidak senang anak akan meningkat. Bagi anak laki-laki yang lebih besar, kehilangan ayah berarti bahwa mereka tidak mempunyai sumber identifikasi sebagaimana teman mereka dan mereka tidak senang tunduk pada wanita dirumah sebagaimana halnya di sekolah.32

C. Tinjauan Perilaku Sosial Remaja 1. Perilaku Sosial

a. Pengertian Perilaku Sosial

Perilaku sosial adalah bagaimana seseorang mempersepsikan orang lain dalam situasi sosial, dan bagaimana orang merespons terhadapnya dan mereka terhadap kita, dan bagaimana orang dipengaruhi oleh situasi sosial (Taylor,dkk., 1994).33

Hurlock (1998) berpendapat bahwa perilaku sosial menunjukan kemampuan untuk menjadi orang yang bermasyarakat. Lebih lanjut lagi, perilaku sosial adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku umum yang ditunjukan oleh individu dalam masyarakat, yang pada

32 Ibid: Hurlock, Elizabeth B. Hlm. 216

33 Walgito Bimo. 2011. Teori-teori Psikologi Sosial. Yogyakarta : Andi Offset. Hlm. 3

(14)

dasarnya sebagai respons terhadap apa yang dianggap dapat diterima atau tidak dapat diterima oleh kelompok sebaya seseorang.34

Perilaku sosial yang dapat diterima masyarakat dipandang sebagai perilaku yang memberikan efek positif dalam masyarakat, seperti menolong, berbuat baik, atau disebut dengan perilaku prososial, dan perilaku sosial yang tidak dapat diterima dipandang sebagai perilaku yang memberikan efek negatif dalam masyarakat atau disebut dengan perilaku antisosial.35 Ada dua teori yang termasuk ke dalam paradigma perilaku sosial, sebagai berikut:

1) Teori Behavioral Sosiologi

Menurut Skinner (dalam Ritzer, 2013) Teori ini dibangun d dalam rangka menerapkan prinsip psikologi perilaku kedalam sosiologi.

Teori ini memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara akibat dari tingkah laku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku aktor. Konsep dasar behavioral sosiologi yang menjadi pemahamannya adalah “reinforcement” yang dapat diartikan sebagai ganjaran (reward) tidak ada sesuatu yang melekat dalam obyek yang dapat menimbulkan ganjaran. Perulangan tingkahlaku tidak dapat dirumuskan terlepas dari efeknya terhadap perilaku itu sendiri.

Perulangan dirumuskan dalam pengertiannya terhadap aktor.

2) Teori Exchange

Tokoh utamanya adalah George Hofman (dalam Ritzer, 2013). Teori ini dibangun dengan maksud sebagai reaksi terhadap paradigma fakta sosial. Keseluruhan materi teori exchange itu secara garis besarnya dapat dikembalikan kepada lima proposisi George Hofman berikut:

a. Jika tingkah laku atau kejadian yang sudah lewat dalam konteks stimulus dan situasi tertentu memperoleh ganjaran, maka besar kemungkinan tingkah laku atau kejadian yang mempunyai hubungan stimulus dan situasi yang sama akan terjadi atau dilakukan. Proposisi ini menyangkut hubungan

34 Baron,R. A. & Byrne, D. 2005. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.

35 Baumeister, R.F, & Bushman,B. J. 2011. Social Psychology and Human Nature (2nd ed). Belmon: Cengage Learning.

(15)

antara apa yang terjadi pada waktu silam dengan yang terjadi pada waktu sekarang.

b. Menyangkut frekuensi ganjaran yang diterima atas tanggapan atau tingkah laku tertentu dan kemungkinan terjadinya peristiwa yang sama pada waktu sekarang.

c. Memberikan arti atau nilai kepada tingkah laku yang diarahkan oleh orang lain terhadap aktor. Semakin bernilai bagi seorang sesuatu tingkah laku orang lain yang ditujukan kepadanya makin besar kemungkinan untuk mengulangi tingkah lakunya itu.

d. Semakin sering orang menerima ganjaran atas tindakannya dari orang lain, makin berkurang nilai dari setiap tindakan yang dilakukan berikutnya

e. Semakin dirugikan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, makin besar kemungkinan orang tersebut akan mengembangkan emosi. Misalnya marah.36

Secara singkat dapat dikemukakan bahwa model Homans mengenai pertukaran perilaku sosial ini komprehensif, perspektif pada perilaku sosial manusia dimana tujuan akhirnya tidak hanya pertukaran perilaku pada individu dalam unit sosial, tetapi juga pada perilaku manusia dalam organisasi.37

Untuk membedakan perilaku sosial dasar, Homan menggunakan tiga atribut berikut:

a. Bentuk perilaku sosial dasar didefinisikan sebagai proses yang fundamental pertukaran perilaku (behavior exchange) tanpa memperhatikan isi perilaku yang khusus dan bagaimana proses perilaku untuk memelihara unit yang kompleks, seperti keluarga, organisasi, dan struktur sosial.

b. Perilaku sosial dasar juga merupakan perilaku yang alami atau natural, dan timbul secara spontan dalam interaksi.

36 Ritzer, George. 2013. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta : Rajawali Press. Hlm. 73- 80.

37 Walgito Bimo. 2011. Teori-teori Psikologi Sosial. Yogyakarta : Andi Offset. Hlm. 26

(16)

c. Perilaku sosial dasar disebut demikian karena diad (dyad) dan kelompok-kelompok kecil itu timbul dari konstruksi Homans yang menjadi elemen dasar (building block) untuk unit sosial yang lebih luas.38

b. Ciri-ciri Perilaku sosial

Watson mengemukakan (dalam Walgito, 2004:19) bahwa perilaku manusia mempunyai ciri-ciri yakni:

1) Perilaku itu sendiri kasatmata, tetapi penyebab terjadinya perilaku secara langsung mungkin tidak dapat di amati.

2) Perilaku mengenal berbagai tingkatan, yaitu perilaku sederhana dan stereotip (cara pandang terhadap kelompok sosial), seperti perilaku binatang bersel satu; perilaku kompleks seperti sosial manusia; perilaku sederhana, seperti reflex, tetapi ada juga yang melibatkan proses mental biologis yang tinggi:

3) Perilaku bervariasi dengan klasifikasi ; kognitif, afektif, dan psikomotorik, yang menunjuk pada sifat rasional, emosional dan gerakan fisik dalam berperilaku.

c. Faktor-Faktor Mempengaruhi Perkembangan Perilaku Sosial

Makna perkembangan sosial Menurut Hurluck (1978) perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang yang mampu bermasyarakat (sosialized) memerlukan tiga proses. Masing-masing proses terpisah dan sangat berbeda satu sama lain, tetapi saling berkaitan, sehingga kegagalan dalam satu proses akan menurunkan kadar sosialisasi individu. Ketiga proses sosialisasi ini yaitu :

1) Belajar berprilaku yang dapat diterima secara sosial

Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi para anggotanya tentang perilaku yang dapat diterima. Untuk dapat bermasyarakat anak tidak hanya harus mengetahui perilaku yang dapat diterima, tetapi mereka juga harus menyesuaikan perilaku dengan patokan yang dapat diterima.

38 Ibid: Walgito Bimo. Hlm. 27

(17)

2) Memainkan peran sosial yang dapat diterima

Setiap kelompok sosial mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan dengan seksama oleh para anggotanya dan dituntut untuk dipatuhi. Sebagai contoh, ada peran yang disetujui bersama bagi orang tua dan anak serta bagi guru dan murid.

3) Perkembangan sikap sosial

Untuk bermasyarakat/ bergaul dengan baik anak-anak harus menyukai orang dan aktivitas sosial. Jika mereka dapat melakukannya, mereka akan berhasil dalam penyesuaian sosial yang baik dan diterima sebagai anggota kelompok sosial tempat mereka menggabungkan diri.39

Perilaku sosial seseorang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor- faktor tersebut dibagi ke dalam dua kelompok yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan perilaku sosial dijelaskan dalam uraian berikut.

a. Faktor internal

Jusuf (dalam Maryana, 2006) menyebutkan faktor internal yang berpengaruh terhadap perilaku sosial yaitu harga diri (Self esteem) dan faktor kecerdasan (intelligence). Harga diri (self esteem) yaitu sejauh mana individu memandang dan menghargai dirinya sendiri, sehingga ia mampu berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan sosialnya.40 Hollander (dalam Maryana, 2006) mengemukakan bahwa harga diri merupakan hal yang sangat penting dalam hubungan individu dengan individu lain serta untuk menyesuaikan diri individu.41

Menurut Krech (Maryana, 2006) peningkatan derajat harga diri dapat membawa seseorang kepada inisiatif sosial, sedangkan penurunan derajat harga diri dapat membawa kepada sifat agresif dan tidak bersahabat.

Faktor kecerdasan (intelligence) yaitu kemampuan secara kognitif yang dimiliki oleh individu. Seseorang dapat berperilaku baik, bergaul secara

39 Hurlock Elizabeth B. 1978. Perkembangan Anak jilid 1. Jakarta : Erlangga. Hlm. 250

40 Erna Maryana. 2006. Perilaku Sosial Siswa SD (Penelitian di kelas V SDIT Persis Tarogong Tahun Ajaran 2005/2006). Skripsi pada Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP UPI. Hlm. 19.

41 Ibid: Maryana. 2006. Hlm. 20

(18)

efektif apabila ia memiliki inteligensi tinggi, terutama inteligensi sosial.

Seseorang yang memiliki inteligensi sosial dapat bergaul secara baik dengan masyarakat. Ia mudah berkawan dan memahami hubungan manusia. Melalui kemampuan ini individu mampu menangkap pesan- pesan dari suatu perilaku serta mampu memahami perilaku sosial yang harus ditampakkan dalam melakukan hubungan sosial.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari pengalaman atau lingkungan yang berpengaruh terhadap perilaku sosial siswa antara lain faktor kelurga, sekolah, teman sebaya.

1. Keluarga

Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya.

Perilaku sosial dan sikap anak mencerminkan perlakuan yang diterima di rumah. Anak yang merasa ditolak oleh orang tuanya atau saudaran ya mungkin menganut sikap kesyahidan (attitude of martyrdom) di luar rumah dan membawa sikap ini sampai dewasa.

Anak semacam itu mungkin akan menyendiri dan menjadi introvert.

Sebaliknya penerimaan dan sikap orang tua yang penuh cinta kasih mendorong anak bersifat ekstrovert.

2. Sekolah

Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu mandiri dan mampu mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek moral-spiritual, intelektual, emosional, maupun sosial.Mengenai peranan sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak Hurlock (Yusuf, 2001: 54) mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak (siswa), baik dalam berfikir, bersikap maupun cara berperilaku. Sekolah berperan sebagai substitusi keluarga, dan guru subtitusi orang tua. Ada beberapa alasan, mengapa sekolah memainkan peranan yang berarti

(19)

bagi perkembangan kepribadian anak yaitu (a) para siswa harus hadir di sekolah, (b) sekolah memberikan pengaruh kepada anak secara dini, seiring dengan perkembangannya ”konsep diri” nya, (c) anak-anak banyak menghabiskan waktunya di sekolah daripada di tempat lain di luar rumah, (d) sekolah memberikan kesempatan kepada siswa untuk sukses dan (e) sekolah memberikan kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya, dan kemampuannya secara realistik.

3. Teman Sebaya

Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja (siswa) mempunyai peranan yang cukup penting bagi perkembangan kepribadiannya. Peranannya itu semakain penting, terutama pada saat terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat pada beberapa dekade terakhir ini, yaitu 1) perubahan struktur keluarga, dari keluarga besar ke keluarga kecil, 2) kesenjangan antara generasi tua dan generasi muda, 3) ekspansi jaringan komunikasi di antara kawula muda, dan 4) panjangnya masa atau penundaan memasuki masyarakat orang dewasa.

Aspek kepribadian remaja yang berkembang secara menonjol dalam pengalamnya bergaul dengan teman sebaya, adalah:

1. Social Cognition

Kemampuan untuk memikirkan tentang pikiran, perasaan, motif, dan tingkah laku dirinya dan orang lain. Kemampuannya memahami orang lain, memungkinkan remaja untuk lebih mampu menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan teman sebayanya (Sigelman & Shaffer, 1995: 372, 376).

2. Konformitas

Motif untuk menjadi sama, sesuai, seragam, dengan lain-lain, kebiasaan, kegemaran (hobi), atau budaya teman sebayanya.

Konformitas kepada norma kelompok terjadi, apabila: 1) norma tersebut secara jelas dinyatakan 2) individu berada dibawah pengawasan kelompok 3) kelompok memiliki sanksi yang kuat, 4) kelompok memiliki sifat kohesif yang tinggi, dan 5) kecil

(20)

sekali dukungan terhadap penyimpangan dari norma (David W.

Johnson, 1970: 229).

Pengaruh kelompok teman sebaya terhadap remaja itu ternyata berkaitan dengan iklim keluarga remaja itu sendiri. Remaja yang memiliki hubungan yang baik dengan orangtuanya (iklim keluarga sehat) cenderung dapat dihindarkan diri dari pengaruh negatif teman sebayanya, dibandingkan dengan remaja yang hubungan dengan orangtuanya kurang baik. Judith Brook dan koleganya menemukan, bahwa hubungan orang tua dan remaja yang sehat dapat melindungi remaja tersebut dari pengaruh teman sebaya yang tidak sehat (Sigelman & Shaffer, 1995:

380).42 2. Remaja

a. Pengertian Remaja

Masa remaja sering disebut adolesensi (lat. Adolescere = adultus = menjadi dewasa atau dalam masa perkembangan menjadi dewasa). Hurlock (1973) berpendapat bahwa usia remaja berkisar antara umur 14-21 tahun.

Menurut ahli psikologi (dalam Zulkifli, 2002), menganggap masa remaja sebagai peralihan dari masa anak ke masa dewasa, yaitu saat-saat ketika anak tidak mau lagi diperlakukan sebagai anak-anak, tetapi dilihat dari pertumbuhan fisiknya ia belum dapat dikatakan orang dewasa. Bila ditinjau dari segi perkembangan biologis, yang dimaksud remaja adalah mereka yang berusia 12-21 tahun.43

Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, istilah adolescence sesunggungnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1991). Pandangan ini didukung oleh Piaget (Hurlock, 1991) yang mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak tidak merasa bahwa dirinya

42Syamsu Yusuf LN. 2008. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosdakarya. Hlm.

61

43 Hidayah Rifa. 2009. Psikologi Pengasuhan Anak. Malang: UIN Malang Press. hlm. 43

(21)

berada dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Memasuki masyarakat dewasa ini mengandung banyak aspek afektif, lebih atau kurang dari usia pubertas.44

Masa remaja, menurut Mappiare (1982), berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Rentang usia remaja ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir. Menurut hukum di Amerika Serikat saat ini, individu dianggap telah dewasa apabila telah mencapai usia 18 tahun, dan bukan 21 tahun seperti ketentuan sebelumnnya (Hurlock, 1991).45

Secara umum masa remaja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut: (Konopka, 1973 dalam Agustian Hendriati, 2009);

1) Masa remaja awal (12-15 tahun)

Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak tergantung pada orang tua. Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan teman sebaya.

2) Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)

Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru. Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self-directed). Pada masa ini remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusam awal yang berkaitan dengan tujuan vokasional yang ingin dicapai. Selain itu penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.

3) Masa remaja akhir (19-22 tahun) Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa. Selama periode ini remaja berusaha memantapkan tujuan vokasional dan mengebangkan sense of personal identity (rasa identitas pribadi). Keinginan yang kuat untuk

44Ali Mohammad dan Asrori Mohammad. 2015. Psikologi Remaja. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm. 9

(22)

menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa, juga menjadi ciri dari tahap ini.46

b. Ciri- Ciri Remaja

Seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut sebagai berikut:

1) Masa remaja sebagai periode yang penting

Semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar kepentingannya berbeda-beda. Ada beberapa periode yang lebih penting daripada beberapa periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, dan ada lagi yang penting karena akibat jangka panjangnya.Pada periode remaja, baik akibat langsung maupun akibat jangka panjang tetap penting.Ada periode yang penting karena akibat fisik da nada lagi karena akibat psikologis.Pada periode remaja kedua-keduanya sama-sama penting.

2) Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya, tetapi lebih-lebih sebuah peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya.

3) Masa remaja sebagai periode perubahan 4) Masa remaja sebagai usia bermasalah 5) Masa remaja sebgai masa mencari identitas

6) Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan 7) Masa remaja sebagai masa yang tidak realistic

8) Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.47

Salah satu periode dalam rentang kehidupan individu adalah masa (fase) remaja. Masa ini merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan individu, dan merupakan masa transisi yang dapat diarahkan kepada perkembangan masa dewasa yang sehat (Konopka, dalam Pikunas, 1976; Kaczman & Riva, 1996).Masa remaja ditandai

46 Agustian Hendriati. 2009. Psikologi perkembangan. Bandung: Refika Aditama.hlm; 29

47Agustin Mubiar, Nurikhsan Juntika A. 2011. Dinamika Perkembangan Anak Dan Remaja. Bandung: Refika ditama. hlm 73

(23)

dengan (1) berkembangnya sikap dependam kepada orang tua kea rah independen, (2) minat seksualitas, dan (3) kecenderungan untuk merenung atau memperlihatkan diri sendiri, nilai-nilai etika, dan isu-isu moral (Salzman dan Pikunas 1976). Erikson (Adams & Gullota, 1983;

36-37; Conger, 1977; 92-93) berpendapat bahwa remaja merupakan masa berkembangnya identity. Apabila remaja gagal dalam mengembangkan rasa identitasnya, maka remaja akan kehilangan arah, bagaikan kapal yang kehilangan kompas. Dampaknya, mereka mungkin akan mengembangkan perilaku yang menyimpang (delinquent), melakukan kriminalitas, atau menutup diri (mengisolasi diri) dari masyarakat.48

c. Tugas-tugas perkembangan remaja

William Kay mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja itu sebagai berikut.

a) Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya.

b) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau figure-figur yang mempunyai otoritas.

c) Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul denan teman sebaya atau orang lain, baik secara individu maupun kelompok.

d) Menentukan manusia model yang dijadikan identitasnya.

e) Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri.

f) Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atas dasar skala nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup (Weltanschauung).

g) Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku) kekanak-kanakan.

Periode remaja merupakan gerakan yang berkesinambungan dari masa anak ke masa dewasa. Dalam membahas tujuan tugas perkembangan remaja, Pikunas (1976) mengemukakan pendapat Luella Cole yang mengklarifikasikannya ke dalam Sembilan kategori, yaitu (1)

48 Agustian Hendriati. Op. Cit. Hlm. 71

(24)

kematangan emosional; (2) pemantapan minat-minat hetero seksual; (3) kematangan sosial; (4) emansipasi dari konrtol keluarga; (5) kematangan intelektual; (6) memilih pekerjaan; (7) menggunakan waktu senggang secara tepat; (8) memiliki filsafat hidup; (9) identifikasi diri.49

3. Bentuk-Bentuk Perilaku Sosial Remaja

Menurut Syamsu Yusuf (2000) perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi;

meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama.50

Syamsu Yusuf (2000: 124) mengidentifikasi bentuk-bentuk perilaku sosial remaja sebagai berikut:

a. Pembangkangan (Negativisme)

Yaitu suatu bentuk tingkah laku melawan. Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau lingkungan yang muncul pada kira-kira usia 18 bulan dan mencapai puncaknya pada usia tiga tahun. Sikap orang tua terhadap tingkah laku melawan pada usia ini, seyogyanya tidak memandangnya sebagai pertanda bahwa anak itu nakal, keras kepala, tolol atau sebutan lainnya yang negative. Dalam hal ini, sebaiknya orang tua mau memhami tentang proses perkembangan anak, yaitu bahwa secara naluriah anak itu mempunyai dorongan untuk b erkembang dari posisi “ dependent ” (ketergantungan) ke posisi “independent ” bersikap mandiri ”. Tingkah laku melawan merupakan salah satu bentuk dari proses perkembangan tersebut.

b. Agresi (aggression)

Yaitu perilaku menyerang balik, baik secara fisik (nonverbal) maupun kata- kata (verbal). Agresi merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap frustasi (rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan/ keinginannya) yang dialaminya. Agresi ini mewujud dalam perilaku menyerang, seperti: memukul, mencubit, menendang, menggigit, marah-marah, dan mencaci maki.

49 Ibid: Agustian Hendriati . Hlm. 73

50 Yusuf Syamsu. 2016. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosdakarya. Hlm. 122.

(25)

c. Berselisih/ bertengkar (quarreling)

Terjadi apabila seorang anak merasa tersinggung atau terganggu oleh sikap dan perilaku anak lain, seperti diganggu pada saat mengerjakan sesuatu atau direbut barang atau mainannya.

d. Menggoda (teasing)

Yaitu sebagai bentuk lain dari tingkah laku agresif.

e. Persaingan (rivarly)

Yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong (distimulasi) oleh orang lain. Sikap persaingan mulai terlihat pada usia empat tahun.

f. Kerja sama(Cooperation)

Yaitu sikap mau bekerja sama dengan kelompok.

g. Tingkah laku berkuasa (ascendant behavior)

Yaitu sejenis tingkah laku untuk menguasai situasi sosial, mendominasi atau bersikap “bussiness”. Wujud dari tingkah laku ini, seperti : meminta, menyuruh, dan mengancam atau memaksa orang lain untuk memenuhi kebutuhan dirinya.

h. Mementingkan diri sendiri (selfishness)

Yaitu sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginannya.

i. Simpati (sympathy)

Yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk manaruh perhatian terhadap orang lain, mau mendekati atau bekerja sama dengannya.51

4. Perilaku Sosial Dalam Pandangan Islam

Dalam Islam, perilaku sosial merupakan salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia dalam segi bathiniyah diciptakan dari berbagai macam naluri, di antaranya memiliki naluri baik dan jahat. Naluri baik manusia sebagai makhluk sosial itulah yang disebut fitrah, dan naluri jahat apabila tidak dituntun dengan fitrah serta agama akan menjadi naluri yang bersifat negatif.

Dalam Alquran telah dijelaskan mengenai naluri manusia sebagai makhluk sosial dan tujuan dari penciptaan naluri tersebut: “Kami telah menentukan di antara mereka keadaan hidup mereka di dunia ini, dan Kami telah meninggikan

51 Ibid: Yusuf Syamsu. Hlm. 124

(26)

sebagian mereka daripada sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka mengambil manfaat dari sebagian lain.” (QS Az-Zukhruf: 32).

Sejatinya daya tahan naluri manusia terhadap hal-hal jahat (negatif), ditentukan oleh tingkat kedekatan seorang hamba kepada Allah SWT. Senada dengan apa yang dikemukakan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi dikutip dari media Republika, bahwasanya hablumminallah dan hablumminannas adalah cerminan dari tauhid ibadah dan perilaku sosial yang akan membentuk karakter Islami yang spesifik. Karena setiap manusia secara alamiah telah diperlengkapi oleh Allah SWT instrumen-instrumen kemanusiaan yang dapat mengangkat hakat dan martabat manusia itu. Akan tetapi, perilaku sosial tersebut belumlah sempurna sebelum ada sentuhan tauhid dan ibadah serta nilai-nilai sosial Islam.

Hal ini disebabkan, karena manusia tidak hanya hidup di alam dunia saja, namun juga akan hidup dalam kehidupan selanjutnya yakni hidup dalam alam barzakh dan alam akhirat,ungkapnya.

Di lain sisi, Rasulullah Saw telah banyak memberikan contoh dan teladan yang universal tentang perilaku sosial dalam masyarakat. Seperti ketika Rasulullah Saw berada dalam sebuah majelis berkumpul bersama para sahabat, ketika itu para sahabat banyak yang datang dari golongan rendah (miskin).

Seperti Salman al-Farisi, Ammar bin Yasir, Suhayb Khabab bin Al-Arat. Mereka berpakaian sederhana, kusut dan jubah bulu yang tradisional. Meskipun demikian, merekalah sahabat setia Rasulullah dalam memperjuangkan risalah dan dakwah Islam.

Dalam majelis itu juga hadir para bangsawan. Mereka melihat para sahabat dengan tatapan kurang nyaman karena akan duduk berdekatan dengan rakyat miskin yang tidak lain merupakan sahabat Rasulullah Saw.

Seraya berkata kepada Rasulullah Saw, "Wahai Rasulullah, bisakah kami mendapatkan majelis khusus bagi kami dan tidak bersama dengan rakyat miskin ini. Mayarakat Arab tahu dan mengenal kemuliaan kami. Utusan-utusan dari berbagai Qabilah Arab akan datang dalam majelis ini. Kami sebagai bangsawan merasa malu apabila mereka melihat kami duduk satu majelis dengan rakyat biasa."

Salah seorang bangsawan menegaskan kembali, "Bau Salman al-Farisi membuatku terganggu. Buatlah majelis khusus bagi kami para bangsawan,

(27)

sehingga kami tidak berkumpul bersama mereka. Buat juga majelis bagi mereka sehingga mereka tidak berkumpul bersama kami."

Sehingga turunlah Surat Al-An’am Ayat 52 yang berbunyi:

"Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka. Begitu pula mereka tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim."

Rasulullah dengan tenang meminta sahabatnya untuk duduk lebih berdekatan lagi, merapat dengan lutut Rasulullah Saw. Beliau lalu memulai majelis dengan ucapan "Assalamu'alaikum", seakan menjawab permintaan para bangsawan Quraisytadi.

Dengan adanya peristiwa tersebut, Rasulullah Saw untuk selanjutnya selalu berkumpul bersama para sahabatnya. Mereka duduk dalam satu majelis dan berdekatan dengan tidak memandang golongan rendah ataupun bangsawan.

Seringkali beliau mengucap "Alhamdulillah, terpuji Allah SWT yang menjadikan di antara umatku kelompok yang aku diperintahkan bersabar bersama mereka. Bersama kalianlah hidup dan matiku. Gembirakanlah kaum fukara muslim dengan cahaya paripurna pada hari kiamat. Mereka mendahului masuk surga sebelum orang-orang kaya setengah hari, yang ukurannya lima ratus tahun.

Mereka bersenang-senang di surga sementara orang-orang kaya tengah diperiksa amalnya.

"Hingga turunlah Surat Al-Kahfi Ayat 28: "Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini;

Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas".

Dari kisah di atas, Rasulullah Saw mengajarkan serta memberikan teladan kepada umat mengenai perilaku sosial yang harus ada dalam jiwa umat Islam.

Tidak adanya perbedaaan antar golongan, maupun saling menjatuhkan dan saling

(28)

mengunjing, karena sesungguhnya Allah SWT tidak melihat rupa, harta dan derajat seseorang. Allah SWT akan melihat ke dalam hati umat manusia yang bertakwa, Innallah la yandzuru ila ajsadikum, wa la ila suwarikum, wa laiknna allah yandzuru ila qulubikum.

Di sinilah letak Islam sangat menjunjung tinggi perilaku sosial antar umat manusia. Perilaku yang bersifat menindas serta merendahkan martabat manusia hanya untuk kepentingan sebelah pihak semata, sangat dilarang dalam Islam. Dan Islam mengajarkan tasammuh yang lebih universal, tidak memandang dan berpihak hanya kepada golongan tertenu namun kepada umat manusia secara keseluruhan. Itulah perwujudan dari hablumminannas.

Negara-negara muslim seyogyanya peka terhadap aspek perilaku sosial.

Hendaknya pula menjadi negeri yang mencerminkan kepribadian serta perilaku sosial bermasyarakat yang baik antara sesama masyarakat dan umat manusia di berbagai negeri.

Hal itupun akan dapat terealisasi, ketika umat manusia kembali kepada ajaran Islam dalam hablumminallah (hubungan dengan Allah) dan hablumminannas (hubungan sesama manusia). Sehingga, dengan keridhaan Allah SWT akan terwujud baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.52

52 Elvan Syaputra. 2012. Peneliti Mizan Institute dan sedang menempuh Program Master di Universiti Sains Islam Malaysia.

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah kebutuhan zirkonium silikat dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2022 diperkirakan akan mencapai 1.167.116 ton, jumlah ini ber- dasarkan asumsi pertumbuhan industri keramik

Sugiyono (2012) menjelaskan bahwa metode penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi objek yang alamiah dimana peneliti

SkalaLikert merupakan suatu skala psikometrik yang umum digunakan dalam kuesioner(angket), dan merupakan skala yang sering digunakan dalam riset berupa survei. Pada skala

Selama  masa  pengamatan  migrasi  raptor  ini  ditemukan  juga  jenis  lain  dari  tiga  jenis  raptor  migrant  yang  umum  dijumpai  saat  pengamatan. 

Memb Membantu K antu KS dal S dalam e am en*usu n*usunan b nan budge udgetang tanggaran garan ada ada tia tia kegiatan sesuai dengan rogram kerja & RKS

Di dalam pelaksanaan program kerja terdapat berbagai hambatan, diantaranya waktu pelaksanaan PPL bersamaan dengan re-organisasi Ditjen yang menaungi PPPPTK Seni dan

tidak meyakini segera sebagaimana mereka segera mendustakan di antara orang-orang yang membenci kebenaran, sesungguhnya dia akan membelakangi (berpaling) lebih dahulu, maka dia

Tujuan yang akan dicapai melalui penelitian ini adalah untuk menjelaskan dinamika sosial dan solidaritas antar perempuan menurut kisah Debora, Yael dan ibu