• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI ANALISIS PROFIT SHARING DALAM AKUNTANSI SYARIAH PADA PT. BANK SULSELBAR SYARIAH MAKASSAR DWI ASTUTI HARDIANTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI ANALISIS PROFIT SHARING DALAM AKUNTANSI SYARIAH PADA PT. BANK SULSELBAR SYARIAH MAKASSAR DWI ASTUTI HARDIANTI"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

PT. BANK SULSELBAR SYARIAH MAKASSAR

DWI ASTUTI HARDIANTI 105730236511

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MAKASSAR 2015

(2)
(3)
(4)

1

A. Latar Belakang

Filosofi religiusitas melahirkan basis ekonomi dengan atribut pelarangan riba/bunga. Institusi keadilan melahirkan basis teori profit sharing dengan atribut nisbah bagi hasil. Instrument kemaslahatan melahirkan kebijakan pelembagaan zakat, pelarangan israf, dan pembiayaan (bisnis) halal, yang semuanya itu dituntun oleh nilai falah (bukan utilitariasme dan rasionalisme).

Bagi keuntungan/bagi hasil merupakan ciri utama bagi lembaga keuangan tanpa bunga/Bank Islam. Dinamakan lembaga keuangan bagi hasil oleh karena sesungguhnya lembaga ini memperoleh keuntungan dari apa yang dihasilkan dari upayanya mengelola dana pihak ketiga.

Nisbah bagi hasil merupakan faktor penting dalam menentukan bagi hasil di bank syariah. Sebab aspek nisbah merupakan aspek yang disepakati bersama antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi.

Dengan demikian, Bank Syariah dalam kapasitasnya sebagai mudharib memiliki sifat sebagai seorang wali amanah (trustee), yakni harus berhati-hati atau bijaksana serta beritikad baik dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat kesalahan atau kelalainnya. Disamping itu, bank syariah juga bertindak sebagai kuasa dari usaha bisnis pemilik dana yang diharapkan dapat memperoleh keuntungan seoptimal mungkin tanpa melanggar batas syariah.

(5)

Investasi merupakan aktivitas penanaman modal ke dalam perusahaan.

Kepemilikan modal dibuktikan dengan sejumlah saham sesuai dengan jumlah modal yang diinvestasikan. Siapa saja yang memegang saham suatu perusahaan berarti ikut memiliki perusahaan yang bersangkutan. Investor dalam melakukan investasi selalu dihadapkan pada konsekuensi “risk and return”. Risiko investasi bisa berupa capital loss, opportunity loss, menurunnya nilai investasi akibat kerugian perusahaan, kerugaian karena perusahaan likuidasi, dan kerugian selisih kurs. Sebaliknya, investor bisa memperoleh dividen dan capital gain sebagai keuntungan atas investasinya.

Modal merupakan salah satu faktor produksi yang terdapat di dalam perusahaan. Berdasarkan tinjuan akuntansi konvensional (yang didasari oleh pemikiran ekonomi kapitalis), modal memiliki posisi yang istimewa jika dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa orientasi sangat kuat bagi pemegang hak atas hasil usaha adalah pemilik modal (stockholders). Pandangan ini pun menunjukkan pengakuan bahwa sumber penciptaan laba dominan adalah pemilik dengan sejumlah dana yang diinvestasikannya. Akibatnya perusahaan tidak memberikan bagian (share) kepada faktor-faktor pencipta laba lainnya. Padahal unsur-unsur internal lainnya (alam/bahan baku, tenaga kerja, skill/enterpreneurship) dan unsur-unsur eksternal (lingkungan sosial dan alam) juga ikut memberikan kontribusi terhadap penciptaan laba tersebut. Lebih jauh lagi, unsur-unsur tersebut sangat berpengaruh terhadap produktivitas dan kontinuitas perusahaan.

(6)

Modal memang memiliki potensi produktivitas sehingga pemilik modal layak untuk mendapat bagian keuntungan yang besar. Akan tetapi, benarkah modal selalu produktif? Kenyataannya, modal menjadi produktif hanya apabila digunakan untuk bisnis yang mendatangkan keuntungan. Bila digunakan untuk tujuan konsumsi, modal sama sekali tidak produktif. Bila digunakan untuk usaha produksi pun, modal tidak selalu menghasilkan nilai tambah. Jika modal dianggap memiliki produktivitas, sebenarnya produktivitas tersebut tergantung berbagai faktor yaitu sumber daya alam dan manusia.

Konsep pembagian laba yang hanya untuk kaum pemilik modal banyak dikritik oleh para ilmuan di bidang akuntansi. Pengabaian terhadap unsur manusia dalam jangka panjang akan menimbulkan “lack of motivation”, sedangkan pengabaian terhadap unsur lingkungan akan menyebabkan “lack of resource”. Hal ini kemudian akan menimbulkan berbagai permasalahan tentang proses pembagian laba, kemitraan internal yang adil, kelestarian lingkungan.

Begitulah nilai-nilai egoistik dan materealistik melekat pada sistem kapitalis. Orang-orang yang menikmati keuntungan adalah orang-orang yang memiliki modal (capital). Akuntansi konvensional sebagai bagian dari kapitalisme memiliki peran yang sangat penting dalam penentuan dan pembagian laba. Nilai- nilai egois di mana transfer kesejahteraan bagi pihak-pihak yang berkaitan sangat ditentukan.

Untuk mencari solusi dari permasalahan di atas, berbagai konsep telah diajukan oleh para ilmuan di bidang akuntansi. Salah satunya adalah value added concept of income yang bernuansa sosial. Selanjutnya muncul kajian-kajian baru

(7)

dalam bidang akuntansi seperti akuntansi sumber daya manusia, akuntansi lingkungan, dan lain – lain.

Konsep value added concept of income telah lama dikenal dalam penilitian akuntansi sebagai salah satu alternatif penyajian laba. Berbeda dengan konsep laba, konsep nilai tambah tidak hanya difokuskan pada ekuitas-modal tetapi mengarah pada kepentingan lebih luas dalam bentuk distribusi pada seluruh stakeholders.

Jika ditinjau dari konsep bagi hasil terhadap unsur-unsur penciptaan laba, value added concept income memang lebih bermakna manusiawi dan mengandung nilai-nilai keadilan. Tetapi dalam kenyataannya perusahaan tidak selalu berhasil meraih laba. Apalagi dalam kondisi krisis ekonomi, banyak perusahaan yang menderita kerugian, bahkan mencapai tingkat yang cukup parah.

Berdasarkan sistem ekonomi Islam, terutama yang berkaitan dengan pola kerja sama usaha dalam bentuk syirkah, diatur tentang bagaimana hasil usaha (laba bersih) perusahaan memberikan kepada pihak-pihak yang bekerja.

Permasalahan bagi hasil ini telah diatur oleh hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan masalah kepemilikan, perolehan harta, pengelolaan harta, pengembangan harta, mata uang, jual beli dan distribusi kekayaan.

Lebih lanjut lagi dalam syirkah juga diatur tentang hak-hak dan kewajiban pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan serta hubungan perusahaan dengan pihak-pihak tersebut. Khususnya yang berkaitan dengan konsep pembagian laba, secara mendasar aturan di dalam syirkah mengandung prinsip bahwa pendekatan pembagian laba juga mempertimbangkan kemungkinan kerugian yang akan

(8)

dialami oleh perusahaan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pola kerjasama di dalam perusahaan terutama terhadap apa yang diinvestasikan pada perusahaan, hak untuk memperoleh bagian laba, sekaligus kesediaan untuk menanggung resiko dari investasi tersebut. Maka prinsip keadilan akan lebih dapat diciptakan dalam penerapan akuntansi syariah, sesuai dengan salah satu prinsip dasar dalam ekonomi Islam menurut Al-A’rabi dalam Nurhayati (2011) yaitu tidak boleh melakukan transaksi syariah secara tidak adil.

Islam mendorong umatnya untuk berjuang mendapatkan materi/harta dengan berbagai cara, asalkan mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan.

Rambu-rambu tersebut di antaranya: carilah yang halal lagi baik, tidak menggunakan cara batil, tidak berlebih-lebihan/melampaui batas, tidak dizalimi maupun menzalimi, menjauhkan diri dari unsur riba, maisir (perjudian dan intended speculation), dan gahar (ketidakjelasan dan manipulatif), serta tidak melupakan tanggung jawab sosial berupa zakat, infak, dan sedekah. Ini yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan perekonomian konvensional yang menggunakan prinsip self interest (kepentingan pribadi) sebagai dasar perumusan konsepnya.

Salah satu nilai dalam sistem perekonomian Islam adalah keadilan.

Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Surah Al-Maidah ayat 8 berikut ini:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang - orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan, janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah kamu, karena adil itu lebih dekat kepada

(9)

takwa. Dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Maidah : 8).

Menurut pandangan Islam, nilai keadilan memiliki makna perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya (Syihab, 2012). Sejalan dengan makna keadilan tersebut, Shihab dalam Alimuddin (2011) menyatakan bahwa nilai keadilan terkandung makna menempatkan atau mendapatkan sesuatu sesuai dengan konteksnya. Makna keadilan ini berlawanan dengan makna “kezaliman” yang berarti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain.

Padahal, Islam sangat melarang manusia berbuat zalim, sebagaimana ancaman Allah kepada para pelaku kezaliman dalam firman-Nya:

Sesungguhnya kesalahan hanya ada pada orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapat siksa yang pedih (QS. Asy-Syura :42).

Sejalan dengan usaha penerapan nilai keadilan Islam, prinsip keseimbangan menjadi karakteristik utama bagi umatnya (Qardhawi dalam Alimuddin 2011). Prinsip keseimbangan ini pula yang menjadi ruh dalam sistem ekonomi Islam khususnya dalam konsep pembiayaan sistem bagi hasil (Khasanah, 2010). Dalam sistem bagi hasil perlu diterapkan nilai keseimbangan yang adil terhadap proses-proses ekonomi yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, pemerataan distribusi kekayaan perlu diperbaiki, jangan sampai berputarnya harta kekayaan hanya di kalangan orang-orang kaya sementara kelompok lainnya (miskin) tidak memperoleh bagian. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al – Hasyr ayat 7 :

(10)

“Supaya harta itu jangan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kalian (QS al-Hasyr : 7).

Bagi hasil adalah salah satu praktik dalam ekonomi Islam serta merupakan salah satu komponen dalam sistem kesejahteraan Islam (Khasanah, 2010), sehingga, bagi sektor-sektor usaha atau lembaga bisnis yang menerapkan bagi hasil dalam usahanya agar senantiasa menerapkan prinsip-prinsip bagi hasil sesuai dengan syariat Islam. Menurut Chatimah (2014) bahwa bagi hasil merupakan usaha yang mulia apabila dalam pelaksanaannya selalu mengutamakan prinsip keadilan, kejujuran dan tidak saling merugikan satu sama lain.

Berdasarkan data dan fakta di atas keunggulan dari sistem bagi hasil yang dimiliki oleh Bank Syariah serta ciri khusus yang dimiliki dengan sistem bagi hasil tanpa adanya mengenal bunga akhirnya penulis jadikan sebagai bahan yang melatar belakangi penulisan ini, yaitu dengan judul skripsi “Analisis Profit Sharing dalam Akuntansi Syariah pada PT. Bank Sulselbar Syariah Makassar”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembahasan di atas penulis dapat mengidentifikasi masalah, yaitu: “Bagaimana penerapan profit sharing dalam akuntansi syariah pada PT.

Bank Sulselbar Syariah?”

(11)

C. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang dibuat, maka tujuan penelitian adalah untuk mengetahui penerapan profit sharing dalam akuntansi syariah pada PT. Bank Sulselbar Syariah.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat yang diharapkan dalam melakukan penelitian ini adalah :

1. Diharapkan dapat menjadi informasi bagi perusahaan yang nantinya bisa digunakan dalam pengambilan keputusan, terkhusus menyangkut pada penerapan profit sharing yang berdasar pada syariah.

2. Untuk mengembangkan dan menambah wawasan penulis berkaitan masalah yang diteliti.

3. Sebagai bahan rujukan atau referensi untuk penelitian selanjutnya yang terkait dengan akuntansi syariah khususnya dalam penerapan profit sharing.

(12)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Bank Syariah

Kata bank berasal dari kata Banque dalam bahasa Prancis, dan dari kata Banco dalam bahasa Itali, yang berarti peti atau lemari atau bangku. Kata peti atau lemari menyiratkan fungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti emas, peti berlian, peti uang dan sebagainya.

Istilah bank dalam Al-Quran tidak disebutkan secara eksplisit. Akan tetapi jika yang dimaksud adalah sesuatu yang memiliki unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi, hak dan kewajiban maka semua itu disebutkan dengan jelas, seperti zakat, sedaqah, rampasan perang, jual beli, utang dagang, harta dan sebagainya, yang memiliki peran tertentu dalam kegiatan ekonomi (Machmud, 2010).

Ditinjau dari segi imbalan dan jasa atas penggunaan dana, baik simpanan maupun pinjaman, bank dapat dibedakan menjadi :

a. Bank konvensional : bank yang dalam aktivitasnya, baik penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya, memberikan dan mengenakan imbalan berupa bunga atau sejumlah imbalan dalam persentase tertentu dari dana untuk suatu periode tertentu. Persentase tersebut biasanya ditetapkan pertahun b. Bank Syariah: bank yang dalam aktivitasnya, baik penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah / Islam yaitu jual beli bagi hasil.

9

(13)

Menurut Sudarsono (2004), bahwa bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip- prinsip syariah. Oleh karena itu, usaha bank akan selalu berkaitan dengan masalah uang yang merupakan barang dagangan utamanya.

Prinsip utama operasional bank yang berdasarkan prinsip syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-hadist. Kegiatan operasional bank harus memperhatikan perintah dan larangan dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul Muhammad SAW. Larangan terutama berkaitan dengan kegiatan Bank yang dapat diklasifikasikan sebagai Riba. Perbedaan utama antara kegiatan Bank berdasarkan prinsip Syariah dengan bank konvensional pada dasarnya terletak pada sistem pemberian imbalan atau jasa dari dana.

Bank syariah dalam menjalankan kegiatan operasional baik dalam menentukan imbalan terhadap dana yang dipinjamkan maupun dana yang disimpan di bank didasarkan pada prinsip bagi hasil sesuai dengan hukum Islam.

Namun demikian, masih banyak masyarakat yang berpendapat bahwa system bunga yang diterapkan oleh bank konvensional, yaitu imbalan penggunaan dana dalam jumlah presentase tertentu untuk jangka waktu tertentu. Hal itu merupakan pelanggaran terhadap prinsip syari’ah. Menurut Hukum Islam, bunga adalah riba dan diharamkan. Ditinjau dari sisi pelayanan terhadap masyarakat dan pemasaran, adanya bank atas dasar prinsip syariah merupakan usaha untuk melayani dan mendayagunakan segmen pasar perbankan yang tidak setuju atau tidak menyukai sistem bunga.

(14)

Bank Syari’ah telah lama berkembang di luar negeri, seperti di Saudi Arabia, Kuwait, Sudan, Yordania, Iran, Turki, Bangladesh, Malaysia, dan Swiss.

Al Baraka merupakan salah satu bank syari’ah yang telah berkembang lama dan mempunyai kegiatan di beberapa negara. Di Indonesia , keberadaan bank syari’ah dirintis sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Undang-undang tersebut menggunakan istilah ‘bank bagi hasil’ untuk menyebut bank yang berdasarkan prinsip syari’ah.

B. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional 1. Bank Syariah.

Bank syariah menempatkan karakter/sikap baik nasabah maupun pengelolaan pada posisi yang sangat penting dan menempatkan sikap akhlakul karimah sebagai sikap dasar hubungan antara nasabah dan bank.

Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip kesederajatan dan prinsip ketentraman antara pemegang saham, pengelola bank dan nasabah atas jalannya usaha bank syariah.

Prinsip bagi hasil:

a. Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi.

b. Besarnya nisbah bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.

c. Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.

d. Tidak ada yang meragukan keuntungan bagi hasil.

(15)

e. Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.

2. Bank Konvensional.

Pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah di antaranya memperoleh hasil yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman (mengoptimalkan interest difference).

Di lain pihak kepentingan pemakai dana (debitor) adalah memperoleh tingkat bunga yang rendah (biaya murah). Dengan demikian terhadap ketiga kepentingan dari tiga pihak tersebut terjadi antagonisme yang sulit diharmoniskan, dalam hal ini, bank konvensional berfungsi sebagai lembaga perantara saja,

Tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara pemegang saham, pengelola bank dan nasabah karena masing-masing pihak mempunyai keinginan yang bertolak belakang (Mustafa, 2014). Hal ini dapat dilihat pada Sistem bunga sebagai berikut :

a. Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank.

b. Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.

c. Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik.

(16)

d. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.

C. Prinsip-Prinsip Dasar dalam Produk-Produk Bank Syariah

Secara garis besar, hubungan-hubungan ekonomi berdasarkan syariat- syariat Islam ditentukan oleh hubungan akad. Akad-akad yang berlaku terdiri dari lima prinsip-prinsip dasar. Adapun prinsip-prinsip dasar akad tersebut dapat ditemukan pada produk baik lembaga-lembaga keuangan bank maupun bukan bank syariah di Indonesia, meliputi (Machmud, 2010):

a. Prinsip Simpanan Murni (Al-Wadi’ah)

Prinsip simpanan murni merupakan fasilitas yang diberikan oleh bank syariah untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana untuk menyimpan dananya dalam bentuk al-wadi’ah. Fasilitas ini diberikan untuk tujuan investasi guna mendapatkan keuntungan seperti halnya giro dan tabungan. Istilah al-wadi’ah dalam dunia perbankan konvensional lebih dikenal dengan giro.

b. Bagi Hasil (Syirkah)

Prinsip ini adalah suatu konsep yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan penyimpan dana maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah mudharabah dan musyarakah. Prinsip mudharabah ini dapat digunakan sebagai dasar baik produk pendanaan (tabungan dan deposito) maupun pembiayaan, sedangkan musyarakah lebih banyak untuk pembiayaan dan penyertaan.

(17)

c. Prinsip Jual Beli (At-Tijarah)

Prinsip ini merupakan suatu konsep yang menerapkan tata cara jual beli, di mana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank dalam melakukan pembelian barang atas nama bank. Bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin). Implikasinya dapat berupa:

murabahah, salam, dan istishna.

d. Prinsip Sewa (Al-Ijarah)

Prinsip ini secara garis besar terdiri dari dua jenis. Pertama, ijarah (sewa murni) seperti halnya penyewaan traktor dan alat-alat produk lainnya (operating lease). Secara teknik bank dapat membeli dahulu barang yang dibutuhkan oleh nasabah, kemudian barang tersebut disewakan dalam waktu dan hanya yang telah disepakati oleh nasabah. Kedua, bai al-takjiri atau ijarah al-muntahiya bithamlik, yang merupakan penggabungan sewa dan beli di mana penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa (financial lease).

e. Prinsip Jasa/Fee (Al-Ajr Walumullah)

Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank.

Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini antara lain Bank Garansi, Kliring, Inkaso, Jasa, Transfer, dan lain-lain.

(18)

D. Konsep Bagi Hasil Menurut Akuntansi Syariah

Dalam Akuntansi Syariah, bagi hasil yang baik adalah bagi hasil yang telah memenuhi hukum syariah. Bagi hasil dalam Islam ini dikenal dengan istilah Mudharabah.

1. Pengertian Mudharabah

Secara bahasa Mudharabah berasal dari kata adh dharb ( بﺮﺿ) yang memiliki relevansi antara keduanya, yaitu: Pertama, kerena yang melakukan usaha Yadhrib Fil Ardhi (berjalan di muka bumi) dengan bepergian untuk berdagang, maka ia berhak mendapat keuntungan karena usaha dan kerjanya.

Kedua, karena masing-masing orang yang berserikat Yadhribu Bisahmin (mengambil bagian dalam keuntungan) (Nurhayati, 2011). Sedangkan menurut istilah mudharabah adalah kontrak yang melibatkan antara dua kelompok, yaitu pemilik modal (investor) yang mempercayakan modalnya kepada pengelola (mudharib) untuk digunakan dalam aktifitas perdagangan, dan keuntungan (profit) dibagi antara investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disetujui bersama. Apabila terdapat kerugian yang menanggung adalah pihak investor (Nurhayati, 2011).

Adapun pengertian Mudharabah menurut ulama fiqih antara lain: Menurut mahzab Hanafi, mudharabah adalah akad atas suatu syarikat dalam keuntungan dengan modal harta dari suatu pihak dengan pekerjaan (usaha) dari pihak lain.

Menurut Mahzab Maliki, mudharabah adalah suatu pemberian mandat (taukiil) untuk berdagang yang diserahkan kepada pengelolanya dengan mendapat sebagian keuntungan, jika diketahui jumlah dan keuntungan. Menurut mahzab

(19)

Syafi‟i, mudharabah adalah suatu akad yang memuat penyerahan modal kepada orang lain untuk mengusahakannya dan keuntungan dibagi antara mereka berdua.

Kemudian menurut mahzab Hanbali, mudharabah adalah penyerahan suatu modal tertentu dan jelas jumlahnya atau semaknanya kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapat bagian tertentu dari keuntungannya (dalam Fitrisah, 2012).

Dari beberapa pemaknaan mengenai mudharabah di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa mudharabah adalah kerjasama atau kontrak usaha antara dua pihak, salah satu pihak menyediakan modal dan pihak lain menyerahkan tenaganya sebagai andil untuk mencapai tujuan usaha, kemudian keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha dibagi berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak sedangkan jika terjadi kerugian yang menanggung adalah pihak penyedia modal.

Mekanisme perhitungan bagi hasil yang diterapkan di dalam perbankan syari’ah yaitu profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan.

Menurut kamus ekonomi profit sharing diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost). Pengertian lain, profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.

Apabila pada perbankan syariah yang sering dipakai adalah istilah profit and loss sharing, di mana hal ini diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan.

(20)

Sistem profit and loss sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, di mana di antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing.

Berdasarkan sistem tersebut terdapat resiko atas kerugian yang sewaktu- waktu dapat ditimbulkan. Apabila terdapat kerugian finasial/materi, hanya pemilik modal yang menanggung kerugian tersebut. Selain itu, pengelola dana hanya menanggung kerugian waktu dan keringat dari apa yang telah diusahakannya.

Kecuali mudharib (pengelola dana) lalai dalam melaksanakan tugasnya.

Bagi hasil menurut terminologi asing dikenal sebagai profit sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi sering disebut sebagai pembagian laba. Secara definitif profit sharing diartikan sebagai “distribusi dari berbagai bagian laba pada para pegawai dari suatu perusahaan”. Lebih lanjut dikatakan, bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan dan bulanan.

Bagi hasil atau profit sharing ini dapat juga diartikan sebagai sebuah bentuk kerjasama antara pihak investor dengan pihak pengelola dana. Istilahnya dalam perbankan syariah shahibul maal dengan pihak mudharib, dan nantinya akan ada pembagian hasil sesuai dengan persentase jatah bagi hasil(nisbah)sesuai

(21)

dengan kesepakatan kedua belah pihak.

Contohnya adalah nasabah bank tersebut menaruh uangnya sebagai bentuk investasi untuk dikelola oleh mudharib yakni pihak bank dengan nilai Nisbah 60%

bagi pengelola dan 40% bagi investor. Dari penjelasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa nilai nisbah bersifat tetap, dan hanya bagi hasilnya yang bersifat fluktuatif.

Jadi inti dari investasi bagi hasil pada dasarnya adalah terletak pada kerjasama yang baik antara shahib ulmal dengan mudharib. Kerjasama atau partnership adalah karakter dalam perekonomian masyarakat Islam.

Jika bank konvensional membayar bunga kepada nasabahnya, maka bank syariah membayar bagi hasil keuntungan sesuai dengan kesepakatan. Kesepakatan bagi hasil ini ditetapkan dengan suatu angka nisbah. Nisbah antara bank dengan nasabahnya ditentukan di awal, misalnya ditentukan porsi masing-masing pihak 60:40, yang berarti hasil usaha yang diperoleh akan didisitribusikan sebesar 60 % bagi nasabah dan 40% bagi bank. Angka nisbah ini dengan mudah akan bisa didapatkan informasinya dengan bertanya ke customer service atau datang langsung dan melihat papan display “Perhitungan dan Distribusi Bagi Hasil” yang ada di cabang bank syariah.

2. Landasan Hukum Mudharabah

Mengenai hokum Mudharabah tidak ada indikasi yang jelas atau tegas dalam Al-Qur‘an maupun sunnah namun karena mudharabah merupakan kegiatan yang bermanfaat dan menguntungkan sesuai dengan ajaran pokok syari‘ah maka tetap dipertahankan dalam ekonomi Islam (Amir, 2010). Mudharabah lebih

(22)

mencerminkan pada anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat- ayat Al-Qur‘an dan Hadist berikut:

a.

Al-Qur’an

Ayat Al-Qur‘an yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum mudharabah khususnya pada anjuran untuk melakukan usaha yaitu :

Artinya :“...dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah...”(Q.S. Al-Muzammil : 20). Menurut Nurhayati (2011) bahwa adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha. Kemudian, ayat lain yang juga mendorong kaum muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha yaitu :

Artinya : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu...” (Al-Baqarah:198) dan,

Artinya : “Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah”. (Q.S. Al-Jumu‘ah: 10).

Dengan adanya mudharabah yang bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dan pengelola modal (mudharib), maka akan mendorong kaum muslimin untuk mencari karunia Allah dengan melakukan perjalanan usaha.

(23)

b. Hadist

Landasan mudharabah dari sisi hadist atau sunnah rasulullah yaitu disandarkan pada perjanjian mudharabah yang dilakukan antara Nabi Muhammad dan khadijah. Saat itu Nabi Muhammad dipercaya membawa sebagian barang dagangan Siti Khadijah dari Mekkah ke Negeri Syam. Barang dagangan itu dijadikan modal usaha oleh Nabi untuk diperdagangkan dan hasilnya dibelikan barang dagangan lainnya untuk dijual lagi di pasar Bushra di Negeri Syam.

Setelah beberapa lama, Nabi kembali ke Mekkah membawa hasil usahanya dan dilaporkan kepada Siti Khadijah. Kemudian harta yang telah dikembangkan kemudian dihitung dan dibandingkan dengan harta semula. Harta semula dikembalikan kepada yang punya, sedang selisihnya dibagi antara yang punya harta (rabbul maal) dengan yang mengelola (mudharib) sesuai dengan kesepakatan semula. (Husaini dalam Khasanah, 2010).

Hadits lainnya yang dapat dijadikan sebagai landasan mudharabah yaitu hadist yang diriwayatkan dari Shalih Bin Shuhaib Radhiyallah Anhu, Rasulullah bersabda, “tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual‖ (HR. Ibnu Majah). Hadis lainnya yaitu:

(24)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat- syarat tersebut pada Rasulullah Saw dan Rasulullah pun membolehkannya. (HR.

Thabrani).

Dari beberapa hadis di atas, maka jelaslah bahwa pembiayaan mudharabah telah dipraktikkan oleh Rasululla, sehingga sepatutnya mudharabah yang dilakukan di zaman sekarang hendaknya meneladani apa yang disunnahkan oleh Rasulullah agar mudharabah yang dilaksanakan mendapat keberkahan dari Allah.

3. Jenis-Jenis Mudharabah

Menurut Nurhayati (2011), dalam PSAK dilihat dari segi transaksi yang dilakukan pemilik modal dengan pekerja, mudharabah dibagi dua, yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. mudharabah muthlaqah adalah mudharabah di mana pemilik modal (shahibul mal) memberikan kuasa penuh kepada pihak pekerja untuk menjalankan proyek atau usaha apa saja yang mendatangkan keuntungan. Jadi, dalam mudharabah muthlaqah terjadi kerjasama antara pemilik modal dan pekerja dengan cakupan pekerjaan yang luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Sedangkan, mudharabah muqayyadah adalah penyerahan modal dari shahibul mal kepada pekerja dengan syarat-syarat tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kepada

(25)

pekerja terkait dengan pengelolaan dana dan usaha yang dijalankan. Jadi, mudharabah muqayyadah merupakan kebalikan dari mudharabah muthlaqah di mana pekerja memiliki batasan tertentu dalam melakukan usaha atau mengelola dana sesuai dengan syarat-syarat yang dicantumkan dalam perjanjian. Adanya pembatasan tersebut seringkali mencerminkan kecenderungan umum shahibul mal dalam memasuki jenis usaha yang dilakukan oleh pekerja (mudharib).

Selain dua jenis mudharabah di atas Yusuf, dkk. (2011), menambahkan jenis mudharabah lainnya yaitu mudharabah musytarakah. Mudharabah musytarakah merupakan bentuk mudharabah dimana pengelola dana menyertakan modal atau dananya dalam kerjasama investasi. Kemudian dijelaskan pula dalam PSAK 105, paragraf 32-33 mengenai akad mudharabah musytarakah yang merupakan perpaduan antara akad mudharabah dan akad musytarakah, jadi pengelola dana (berdasarkan akad mudharabah) akan menyertakan pula dana dalam investasi bersama (berdasarkan akad musyarakah). Kemudian pemilik dana musyarakah akan memperoleh bagian hasil usaha sesuai dengan kontribusi dana yang disetor. Pembagian hasil usaha antara pengelola dan pemilik dana dalam mudharabah adalah sebesar hasil usaha musyarakah setelah dikurangi porsi pemilik dana musyarakah.

4. Rukun dan Syarat Mudharabah

Menurut Arfiana dalam Fitrisah (2012), rukun adalah suatu hal yang sangat menentukan bagi terbentuknya sesuatu yang merupakan bagian dari sesuatu tersebut, sehingga rukun merupakan suatu yang penting termasuk dalam terbentuknya kerjasama mudharabah.

(26)

Menurut ulama Mahzab Hanafi, rukun mudharabah hanyalah ijab (ungkapan penyerahan modal dari pemiliknya) dan qabul (ungkapan menerima modal dan persetujuan mengelola modal dari pedagang), sedangkan menurut Mahzab Maliki, rukun mudharabah terbagi menjadi lima antara lain: (1) modal;

(2) pekerjaan; (3) keuntungan; (4) dua orang yang melakukakan pekerjaan; dan (5) shiqhat (ijab dan qabul). Hampir serupa dengan Mahzab Maliki, mahzab Syafi‘i, membagi rukun mudharabah menjadi enam antara lain: (1) pemilik modal; (2) modal yang diserahkan; (3) orang yang berniaga; (4) perniagaan yang dilakukan; (5) ijab; (6) qabul (Nurhayati, 2011). Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa rukun mudharabah yang harus dipenuhi antara lain: (1) adanya pelaku akad, yaitu pemodal (shahibul mal) dan pengelola modal (mudharib); (2) objek akad yaitu modal, kerja/usaha, dan keuntungan; (3) terjadinya ijab dan qabul.

Syarat ialah sifat yang menentukan sah atau tidaknya suatu amalan atau perbuatan. Tanpa syarat yang sempurna tidaklah sah amalan atau perbuatan itu sekalipun rukun-rukunnya lengkap. Sejalan dengan hal tersebut, Sabiq dalam Chatimah (2014) menyatakan bahwa syarat mudharabah antara lain:

a. Modal, sebagai syarat mudharabah modal harus diserahkan kepada mudharib untuk melakukan usaha, modal harus dinyatakan dengan jelas jumlahnya, jika modal dalam bentuk barang maka harus dihargakan dalam uang. Kemudian modal harus dalam bentuk tunai bukan piutang.

b. Keuntungan, pembagian keuntungan mudharabah harus dinyatakan dalam prosentase dari keuntungan yang mungkin dihasilkan nanti. Kesepakatan rasio

(27)

nanti harus dicapai dengan negosiasi dan dituangkan ke dalam kontrak.

Kemudian, pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudharib mengembalikan seluruh atau sebagian modal kepada pemilik.

c. Mudharabah ini bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat si pelaksana (pekerja) untuk berdagang di negeri tetangga atau berdagang pada waktu tertentu atau bermuamalah pada orang-orang tertentu dengan syarat-syarat yang sejenis.

Sejalan dengan syarat mudharabah, Imam Taqiyuddin juga menerangkan bahwa syarat mudharabah antara lain: (1) harta baik berupa dinar ataupun dirham atau dollar atau rupiah; (2) orang yang mempunyai harta memberi kebebasan kepada yang menjalankan; (3) untung diterima bersama dan kerugian juga ditanggung bersama; (4) orang yang diserahi harus mampu dan ahli berdagang.

5. Berakhirnya Akad Mudharabah

Berakhirnya akad mudharabah menurut Nurhayati (2011) disebabkan hal- hal berikut: (1) dalam hal mudharabah tersebut dibatasi waktunya, maka mudharabah berakhir pada waktu yang telah ditentukan; (2) salah satu pihak memutuskan mengundurkan diri; (3) salah seorang yang berakad meninggal dunia atau hilang akal; (4) pemilik modal murtad (keluar dari Islam); (5) modal habis ditangan pemilik modal sebelum dikelola oleh pekerja. Demikian juga apabila modal tersebut dibelanjakan oleh pemilik modal sehingga tidak ada lagi yang bisa dikelola oleh pekerja.

(28)

E. Stakeholder Theory

Menurut Budimanta dalam Irawan (2009), Stakeholder adalah: “Individu, sekelompok manusia, komunitas atau masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan.

Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat dikatakan sebagai stakeholder jika memiliki karakteristik yaitu mempunyai kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan terhadap perusahaan.”

Jika diperhatikan secara seksama dari definisi di atas maka telah terjadi perubahan mengenai siapa saja yang termasuk dalam pengertian stakeholder perusahaan. Sekarang ini perusahaan sudah tidak memandang bahwa stakeholder mereka hanya investor dan kreditor saja. Konsep yang mendasari mengenai siapa saja yang termasuk dalam stakeholder perusahaan sekarang ini telah berkembang mengikuti perubahan lingkungan bisnis dan kompleksnya aktivitas bisnis perusahaan.

Dengan menggunakan definisi di atas, pemerintah bisa saja dikatakan sebagai stakeholder bagi perusahaan karena pemerintah mempunyai kepentingan atas aktivitas perusahaan dan keberadaan perusahaan sebagai salah satu elemen sistem sosial dalam sebuah negara. Oleh kerena itu, perusahaan tidak bisa mengabaikan eksistensi pemerintah dalam melakukan operasinya. Terdapatnya birokrasi yang mengatur jalanya perusahaan dalam sebuah negara yang harus ditaati oleh perusahaan melalui kepatuhan terhadap peraturan pemerintah menjadikan terciptanya sebuah hubungan antara perusahaan dengan pemerintah.

(29)

Hal tersebut berlaku sama bagi komunitas lokal, karyawan, pemasok, pelanggan, investor dan kreditor yang masing-masing elemen stakeholder tersebut memiliki kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan sehingga masing-masing elemen tersebut membuat sebuah hubungan fungsional dengan perusahaan untuk bisa memenuhi kebutuhannya masing-masing.

Menurut Freeman, dkk. (2010), ide dasar dari menciptakan nilai bagi stakeholder cukup sederhana. Bisnis dapat dipahami sebagai seperangkat hubungan antara kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan dalam kegiatan yang membentuk bisnis. Bisnis adalah tentang bagaimana pelanggan, pemasok, karyawan, pemodal (pemegang saham, pemegang obligasi, bank, dll), masyarakat, dan manajer berinteraksi dan menciptakan nilai. Untuk memahami suatu bisnis adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan ini bekerja, dan tugas para pengusaha adalah untuk mengelola dan membentuk hubungan ini.

Menurut The Clarkson Centre for Business Ethics (1999) dan Magness (2008) dalam Irawan (2011), stakeholder perusahaan dibagi ke dalam dua bentuk besar, yaitu:

1. Primary stakeholders merupakan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan secara ekonomi terhadap perusahaan dan menanggung risiko seperti misalnya investor, kreditor, karyawan, komunitas lokal namun di sisi lain pemerintah juga termasuk ke dalam golongan primary stakeholders walaupun tidak secara langsung mempunyai hubungan secara ekonomi namun hubungan di antara keduanya lebih bersifat non - kontraktual.

(30)

2. Secondary stakeholders di mana sifat hubungan keduanya saling mempengaruhi namun kelangsungan hidup perusahaan secara ekonomi tidak ditentukan oleh stakeholder jenis ini. Contoh secondary stakeholders adalah media dan kelompok kepentingan seperti lembaga sosial masyarakat, serikat buruh, dan sebagainya.

Perkembangan teori stakeholders membawa perubahan terhadap indicator kesuksesan perusahaan. Ukuran keberhasilan perusahaan bukan lagi bagaimana besar laba yang diperoleh, akan tetapi bagaimana perusahaan bermanfaat dan memiliki nilai bagi para stakeholder. Akan tetapi, jika dibawa ke prinsip syariah, teori stakeholder ini masih memiliki kekurangan. Teori stakeholder belum memasukkan Tuhan sebagai pemilik dari segala pemilik. Untuk itu muncullah shariah enterprise theory yang memasukkan Tuhan dan nilai-nilai Islam ke dalam bagian dari perusahaan.

1. Shariah Enterprise Theory

Entitas bisnis yang berorientasi pada profit dan stockholders merupakan implikasi penggunaan entity theory (atau sebaliknya). Entity theory sangat jauh dengan konsep Islam, karena entity theory memiliki nilai individual dan profit orientied, sedangkan Islam memiliki karakter yang berbeda yaitu bersifat lebih sosial dan berorintasi pada zakat.

Amir (2010) mempunyai penilaian tersendiri mengapa enterprise theory dianggap teori yang paling pas untuk akuntansi syariah. Menurutnya, enterprise theory mengandung nilai keadilan, kebenaran, kejujuran, amanah, dan pertanggung jawaban.

(31)

Mengacu pada pendapat di atas, maka konsep teoritis yang mampu memberikan dasar dalam pembentukan prinsip dan teknik akuntansi yang menghasilkan bentuk akuntabilitas dan informasi yang dibutuhkan oleh stockholders adalah enterprise theory. Hal ini, karena enterprise theory memandang bahwa eksistensi perusahaan tidak terlepas dari kontribusi para partisipan (karyawan, kreditor, pemerintah, dan masyarakat).

Akan tetapi, enterprise theory masih bersifat ‘duniawi’ dan tidak memiliki konsep Tauhid. Agar konsep teoritis ini benar-benar sesuai syariah, maka perlu diinternalisasikan nilai tauhid. Karena dengan konsep ini kita dapat memasukkan konsep kepemilikan dalam Islam, konsep zakat, konsep keadilan Ilahi, dan konsep pertanggung jawaban.

Oleh karena itu, dalam pandangan shariah enterprise theory, distribusi kekayaan tidak hanya berlaku pada partisipan yang terkait langsung dalam, atau partisipan yang berkontribusi kepada operasi perusahaan, seperti pemegang saham, kreditur, karyawan, dan pemerintah, tetapi pihak lain yang tidak terkait langsung dengan bisnis yang dilakukan perusahaan atau pihak yang tidak memberikan kontribusi keuangan dan skill. Artinya, cakupan akuntansi dalam shariah enterprise theory tidak terbatas pada peristiwa atau kejadian yang bersifat timbal balik (reciprocal) antara pihak-pihak yang terkait langsung dalam proses pencapaian laba, tetapi juga pihak lain yang tidak terkait langsung.

Pemikiran ini dilandasi premis yang mengatakan bahwa manusia itu adalah Khalifah fil Ardh yang membawa misi menciptakan dan menditribusikan kesejahteraan bagi seluruh manusia dan alam. Hal ini mendorong shariah

(32)

enterprise theory untuk mewujudkan nilai keadilan terhadap manusia dam lingkungan alam.

2. Syariah Value Added Statement

Laporan Nilai Tambah (Value Added Statement) sebagai pengganti laporan laba atau sebagai laporan tambahan atas neraca dan laporan laba rugi (Nurhayati 2009, 106). Usulan ini didasarkan atas pertimbagan bahwa unsur terpenting di dalam akuntansi syariah bukanlah kinerja operasional (laba bersih), tetapi kinerja dari sisi pandang stakeholders dan nilai sosial yang dapat didistribusikan secara adil kepada kelompok yang terlibat dengan perusahaan dalam menghasilkan nilai tambah.

Konsep nilai tambah pada awalnya dikembangkan dalam akuntansi sosial dan lingkungan dianggap sebagai jawaban atas kelemahan akuntansi keuangan konvensional sehingga diusulkan sebagai laporan tambahan.

Pemikir akuntansi Islam juga melakukan perubahan atas format value added statement dengan cara mengeluarkan zakat yang awalnya dianggap bagian dari charity dan menyajikannya secara khusus setelah Gross Value Added. Hal ini sesuai dengan makna zakat yang bukan hanya sekedar sumbangan tetapi juga memiliki nilai pembersihan serta merupakan hal yang wajib bagi muslim.

F. Keadilan

1. Pengertian Keadilan

Keadilan secara hakiki merupakan suatu konsep yang relatif. Skala keadilan sangat beragam antara suatu negara dengan negara lain, dan masing-

(33)

masing skala didefinisikan serta ditetapkan oleh masyarakat sesuai dengan tatanan sosial masyarakat.

Keadilan dalam Islam memiliki implikasi sebagai berikut (Khudduri, 1999):

a. Keadilan Sosial. Islam menganggap umat manusia sebagai suatu keluarga.

Karena semua anggota keluarga ini mempunyai derajat yang sama di hadapan Allah. Hukum Allah tidak membedakan kaya dan yang miskin, demikian juga tidak membedakan yang hitam dan putih. Secara sosial, nilai yang membedakan satu dengan yang lain adalah ketakwaan, ketulusan hati, kemampuan dan pelayanan pada manusia.

b. Keadilan ekonomi. Konsep persaudaraan dan perlakuaan yang sama bagi setiap individu dalam masyarakat dan dihadapan hukum harus diimbangi oleh keadilan ekonomi. Tanpa pengimbangan tersebut, keadilan sosial kehilangan makna.

Dengan keadilan ekonomi, setiap individu akan mendapatkan haknya sesuai dengan kontribusi masing-msing kepada masyarakat. Setiap individu pun harus terbebaskan dari eksploitasi individu lainnya. Islam dengan tegas melarang seorang muslim merugikan orang lain. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Asy-Syu’araa’: 183):

Artinya :“Dan janganlah kalian merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kalian merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan” (Q.S.

Asy-Syu’araa’ : 183).

(34)

Peringatan akan ketidakadilan dan eksploitasi ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak individu dalam masyarakat, juga untuk meningkatkan kesejahteraan umum sebagai tujuan utama Islam.

Menurut Muthahhari (2010), kata adil digunakan dalam empat hal, yaitu:

a. Yang dimaksud dengan adil disini adalah keadaan sesuatu yang seimbang, yaitu segala sesuatu yang ada di dalamnya harus eksis dengan kadar yang semestinya, bukan dengan kadar yang sama.

b. Pengertian adil yang kedua adalah persamaan dan penafsiran terhadap pembeda apapun, yaitu memelihara persamaan ketika hak memilikinya sama.

c. Pengertian ketiga tentang keadilan adalah memelihara hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya, dan kezaliman dengan pengertian seperti ini adalah perusakan dan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain.

d. Pengertian keadilan yang keempat adalah memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi, dan tidak mencagah kelanjutan eksistensi dan peralihan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk eksis dan melakukan transformasi.

2. Nilai Keadilan dalam Akuntansi Syariah

Keadilan merupakan konsep lengkap yang harus dikaitkan dengan seluruh aspek kehidupan baik sosial, politik, ekonomi, dan spiritual. Kapanpun kita memasuki kehidupan sosial masalah keadilan tidak dapat diabaikan, termasuk dalam kegiatan ekonomi. Pentingnya nilai keadilan diterapkan dalam kegiatan ekonomi sebab disana selalu ditemukan hal-hal yang adil dan hal-hal yang tidak adil.

(35)

Jiwa tatanan ekonomi Islam adalah kesinambungan yang adil. Kalau kapitalisme memayungi kaum pemilik modal dan sosialisme memayungi kaum buruh, maka ekonomi Islam memayungi keduanya. Hal ini terlihat jelas pada sikap Islam terhadap hak individu dan masyarakat. Ekonomi Islam tidak menzalimi masyarakat khususnya kaum yang lemah sebagaimana yang terjadi di masyarakat kapitalis. Islam juga tidak menzalimi hak individu, sebagaimana yang dilakukan kaum sosialis. Islam mengakui hak individu dan masyarakat, juga meminta mereka melaksanakan kewajiban masing-masing. Dengan demikian, Islam menjalankan peranannya dengan pemenuhan keadilan serta kebijaksanaan.

Termasuk dalam prinsip keadilan adalah memberikan upah kepada pekerja sesuai dengan keahlian kerja dan kontribusi yang mereka berikan. Berbeda halnya dengan seorang pekerja yang bersyarikat dengan pemilik modal baik dalam keuntungan ataupun kerugian. Dalam sistem ini, tidak boleh ditentukan bagi salah satu diantara kedua hasil yang akan mereka peroleh, hasil yang akan mereka terima harus berdasarkan perjanjian terhadap bagian tertentu dari keuntungan. Jika proyeksi rugi, maka kerugianya ditanggung pemilik modal, cukuplah bagi pengelola kerugian jerih payahnya.

Selanjutnya untuk menciptakan keadilan dalam kegiatan ekonomi dibutuhkan akuntansi sebagai media pendekatan dan pelaporan transaksi. Tujuan pencatatan dalam Islam adalah untuk kebenaran, kepastian, keterbukaan, dan keadilan. Antara dua atau beberapa pihak yang mempunyai hubungan mu’amalat.

Akuntansi harus bisa menjamin bahwa informasi-informasi yang disusun dan disajikan harus benar-benar bebas dari unsur penipuan dan ketidakadilan, serta

(36)

bebas dari pemihakan kepada kepentingan kelompok tertentu. Informasi yang diberikan harus transparan, teruji, dan dapat dipertanggungjawabkan dunia akhirat.

Dalam konteks ini, akuntan jangan hanya berhenti pada masalah perlakuan pendapatan, pengakuan, pelaporan persediaan, pemilihan metode penyusutan, perlakuaan pada pembayaran dimuka, dan sebagainya. Isu pokok mesti dijadikan fokus perhatian adalah manakah metode yang adil dan menggambarkan apa yang telah terjadi dalam batas-batas sosial dan perilaku yang dialami.

3. Keadilan dalam Kerjasama Ekonomi

Menurut Islahi dalam Chatimah (2014) mengatakan bahwa di beberapa tempat, ada lima bentuk kerjasama, yaitu:

a. Kerjasama dalam permodalan dan tenaga (syirkah al-„inan). Dua orang atau lebih mengumpulkan modal mereka lalu bekerja bersama - sama dan membagi hasil keuntungan yang mereka peroleh.

b. Kerjasama dalam tenaga (syirkah al-abdan). Sejumlah tukang atau pekerja bergabung menangani sebuah pekerjaan dan setuju untuk membagi penghasilan mereka di antara mereka sendiri.

c. Kerjasama dalam kredit (syirkah al-wujuh). Seseorang atau lebih dari anggota suatu organisasi mendapatkan barang secara kredit dan mereka kemudian menjualnya dan mereka sepakat membagi keuntungan yang diperoleh.

d. Kerjasama komprehensif (syirkah al-muwafadah). Kerja sama dalam berbagai bentuk sekaligus, baik al-„inan, al-wujuh, dan al-abdan.

(37)

e. Kerjasama mudharabah (syirkah al-mudharabah). Salah satu pihak menyediakan modal dan satu pihak menyediakan tenaga.

Menurut Rahman dalam Kholmi (2012) bahwa setiap pihak yang bekerjasama mempunyai hak tertentu dan mempunyai tugas-tugas tersendiri terhadap pihak lain dalam membagi hasil keuntungan. Apabila terjadi kerja sama antara dua pihak atau lebih dan mendapatkan keuntungan, maka keuntungan merupakan tanggung jawab bersama pihak-pihak yang melakukan kerja sama tersebut. Begitupula apabila dalam kerja sama tersebut mengalami kerugian, maka juga akan menjadi tanggungan bersama pihak-pihak yang bekerjasama.

Adapun syarat-syarat dalam membangun sebuah kerjasama menurut Kholmi (2012) antara lain:

a. Perjanjian kerjasama adalah suatu kontrak yang mesti diterima oleh kedua pihak.

b. Menurut beberapa ahli hukum, kontrak kerjasama hanya sah apabila dilaksanakan dengan uang tender yang sah.

c. Imam Sarikhsi menjadikan perjanjian tertulis sebagai syarat sahnya perjanjian kerja sama. Beliau menegaskan bahwa perjanjian kerjasama adalah suatu kontrak yang berlangsung selama waktu tertentu. Oleh karena itu perlu adanya perjanjian tertulis sehingga apabila terjadi permasalahan dikemudian hari maka dikembalikan kepada perjanjian tertulis yang telah dilakukan seperti yang disebutkan dalam Al-Qur‘an: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu‘amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya

(38)

dengan benar, dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya…” (QS. Al-Baqarah: 282).

d. Jumlah modal tiap yang bekerjasama sebaiknya dituliskan dengan jelas, karena ketika pembagian keuntungan dilakukan harus jelas diketahui tiap pihak supaya memudahkan dalam pembagian. Jumlah modal tiap pihak dituliskan dalam perjanjian agar tiap pihak mengetahui dan menghindari berbagai keraguan yang timbul.

e. Jumlah keuntungan yang akan diperoleh oleh tiap pihak dituliskan dengan jelas dan sesuai dengan jumlah modal yang dimiliki.

f. Waktu dimulainya perjanjian harus dituliskan, hal ini dilakukan untuk menghindari keraguan dikemudian hari.

g. Perlu juga dituliskan bahwa modal dalam bentuk tunai bukan berupa hutang atau sesuatu yang tidak jelas wujudnya.

Menurut Baidhawi (2007) bahwa tidak ada satupun aturan syariah yang melarang individu-individu untuk melakukan kerjasama dalam menginvestasikan modal guna memprakarsai bisnis dan produksi industrial. Dalam sistem ini, semua kelompok memberikan kontribusi modal yang diperlukan. Pada saat yang sama mereka juga berpartisipasi menyediakan tenaga kerja (human capital) dalam mengelola perusahaan, meskipun tidak harus sama proporsinya. Keuntungan hasil usaha akan dibagi sesuai proporsi yang telah disepakati sebelumnya, namun jika terjadi kerugian maka akan ditanggung oleh setiap partisipan sesuai dengan besaran modal yang diberikan masing-masing.

(39)

Sejalan dengan pendapat Baidhawi, Islahi dalam Chatimah (2014) menekankan keharusan adanya keadilan dalam kerja sama dan penetapan pembagian (yang adil pula) dari kedua pihak itu atas keuntungan, baik dalam keadaan untung maupun rugi. Dalam kerjasama ini ada dua faktor yang dipertimbangkan yaitu modal dan tenaga kerja, yang memiliki posisi seimbang dalam proses produksi. Kemudian dijelaskan, bahwa keuntungan adalah sesuatu pendapatan tambahan (nama‟) dari penggunaan tenaga seseorang (badan) dan pihak yang lain atas modal (mal). Jadi, harus dibagi di antara mereka setiap penghasilan tambahan yang diperoleh hasil dari dua faktor itu.

Menurut Islahi dalam Chatimah (2014) bahwa tidak satu pihakpun dari yang bekerjasama bisa menjamin hitungan keuntungan: kontrak mereka hanyalah berbasis persentase bagian dari keuntungan yang disepakati kedua pihak dan bukan persentase dari yang akan diterima atas suplai kapital. Kemudian, jika terjadi sebuah kesalahan atau perbuatan yang tidak benar dalam kerjasama, baik ketika para pekerja melakukan penggunaan modal yang tidak benar atau lalai, menyia-nyiakan modal, maka ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.

Menurut Khasanah (2010) bahwa dalam pelaksanaan bersyarikat atau proses kerja sama bagi hasil tidak boleh berbuat dzalim dan harus berbuat adil.

Pemilik modal tidak boleh sewenang-wenang dengan membuat keputusan sendiri yang hanya menguntungkan pada dirinya saja. Sedangkan kepentingan lainnya, seperti pegawai, masyarakat pada umumnya diabaikan. Seorang muslim yang baik tidak akan melakukan hal yang dilarang dalam agama yaitu berbuat dzalim.

Karena dengan berkeyakinan bahwa bila dia berbuat dzalim maka Allah akan

(40)

membalasnya. Jadi dalam sistem ekonomi Islam harus dihindari perbuatan dzalim tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, pernyataan Baidhawi (2007) dapat menjadi kesimpulan mengenai kerjasama bagi hasil bahwa dua pihak yang melakukan kerjasama bagi hasil baik pemilik modal maupun tenaga kerja saling berhubungan erat dalam kerangka kerjasama dan kemitraan untuk saling memanfaatkan satu sama lain, dan bukan sebaliknya untuk saling mengeksploitasi.

4. Keadilan dalam Pembagian Laba

Kesenjangan pendapatan dan kekayaan alam yang ada di masyarakat, berlawanan dengan semangat serta komitmen Islam terhadap persaudaraan dan keadilan-keadilan sosial-ekonomi. Kesenjangan harus diatasi dengan menggunakan cara yang ditekankan Islam. Konsep keadilan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsep keadilan ekonomi, menghendaki setiap individu ekonomi mendapatkan imbalan sesuai dengan amal dan karyanya.

Ketidaksamaan pendapatan dimungkinkan dalam Islam karena kontribusi masing -masing orang kepada masyarakat berbeda-beda.

Islam membenarkan seseorang memiliki kekayaan lebih dari yang lain sepanjang kekayaan tersebut diperoleh secara benar dan yang bersangkutan telah menunaikan kewajibannya bagi kesejahteraan masyarakat, baik dalam bentuk zakat maupun amal kebajikan lain seperti infak dan sedekah. Meskipun demikian, Islam sangat menganjurkan golongan yang kaya untuk tetap tawadhu dan tidak pamer.

(41)

Sehubungan dengan laba perusahaan, akuntansi syariah memberikan alternatif filosofi dalam upaya merekonstruksi konsep akuntansi termasuk di dalamnya konsep laba. Pengertian konsep laba dalam akuntansi syariah dirumuskan secara deduktif berdasarkan prinsip-prinsip syariah yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist.

Mengenai tata cara mekanisme distribusi pendapatan kepada individu, dilakukan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan sebab-sebab kepemilikan serta transaksi-transaksi yang wajar. Faktor utama yang menentukan pembagian kekayaan atau laba adalah kasih sayang dan keadilan, karena tujuan pembagian ini adalah agar kekayaan tidak menumpuk pada golongan kecil masyarakat tetapi selalu beredar dalam masyarakat, dan agar faktor produksi yang terkait memperoleh bagian yang adil sesuai dengan hak masing-masing.

Hanya saja perbedaan individu dalam masalah kemampuan dan kebutuhan bisa menyebabkan perbedaan distribusi pendapatan tersebut diantara mereka.

Kesalahan dalam hal mekanisme distribusi kekayaan ini akan menyebabkan ketidakadilan.

Salah satu bentuk kemitraan perusahaan dalam konteks syariah adalah mudharabah. Bentuk mudharabah ini memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan perseroan terbatas saat ini, dimana terdapat pemisahaan antara pemilik perusahaan (stockholder) dengan manajemen. Dalam sistem mudharabah ini, laba bersih perusahaan diberikan kepada pemilik modal dan manajemen. Walaupun demikian, perusahaan juga harus memperhatikan hak-hak pihak lain yang terkait dengan perusahaan dengan cara:

(42)

a. Memberikan gaji yang layak kepada karyawan yaitu dengan didasarkan kepada kadar jasa yang diberikannya.

b. Membayar atau melunasi pinjaman kepada kreditur.

c. Membayar pajak kepada pemerintah sesuai dengan peraturan perpajakan.

d. Mengeluarkan zakat sesuai dengan ketentuan zakat.

Laba tidak sekedar dimaknai sebagai keuntungan dalam bentuk materi atau uang semata. Laba muncul dari sebuah interaksi sosial di antara pihak-pihak yang terkait dengan aktivitas perusahaan. Menurut Subiyantoro (2004), salah satu kemarahan Marx terhadap pemilik modal adalah ketika para pemilik modal mengambil atau berprilaku tidak adil menyangkut pembagian nilai lebih. Nilai lebih inilah yang menurut Marx sebagai sumber laba dari pemilik modal.

Menurut Subiyantoro dalam Dya Fitrisah (2012), ada tiga komponen utama yang mempunyai hak yang sama atas keadilan suatu entitas perusahaan, yaitu:

1. Pemilik modal dalam hal ini jelas mempunyai hak dan proporsi terhadap laba perusahaan. Namun demikian, bukan karena ia pemilik modal maka seenaknya mengambil jatah atau menentukan haknya secara berlebihan, karena penentuan hak secara berlebihan ini akan merugikan pihak lain untuk mendapatkan haknya.

Ada aturan dan proporsi yang harus disepakati bersama antara pihak-pihak yang terlibat. Dengan jalan menabulasi kebutuhan, pemilik perusahaan dapat mengambil haknya sesuai dengan ketentuan yang disepakati.

2. Karyawan adalah bagian utama di samping pemilik perusahaan dalam suatu entitas perusahaan. Keadilan menurut karyawan tentunya keadilan yang sesuai

(43)

dengan tingkat proporsi dan pekerjaannya. Bukan karena semata-mata ia bekerja maka perusahaan dengan seenaknya member bagian yang menurut perusahaan cukup. Keadilan bagi karyawan adalah ketika perusahaan tidak saja telah memenuhi standar kebutuhannya, tetapi perusahaan juga memperhatikan kelangsungan hidup karyawan secara lebih jauh, seperti kesehatan, psikologi, dan sebagainya. Namun demikian bukan berarti karyawan bisa menetukan dengan seenaknya saja. Semua kembali kepada aspek-aspek kemampuan perusahaan yang diketahui secara bersama.

3. Laba setidaknya juga menjadi hak bagi pihak-pihak luar perusahaan selain karyawan dan pemilik modal. Pihak luar disini seperti pemasok, pembeli dan lingkungan sosial lainnya.

G. Menggapai Kesejahteraan Melalui Konsep Bagi Hasil dalam Akuntansi Syariah

Menurut Khasanah (2010) bahwa bagi hasil adalah salah satu skim yang ada dalam ekonomi Islam serta merupakan salah satu komponen dalam sistem kesejahteraan Islam. Menurut Noor (2012) bahwa kesejahteraan dapat dilihat dari menurunnya tingkat kemiskinan secara absolut, adanya kesempatan yang sama pada setiap orang dalam berusaha, dan terwujudnya aturan yang menjamin setiap orang mendapatkan haknya berdasarkan usaha-usaha produktifnya. Bukan eksploitasi pada kelompok tertentu yang tidak memiliki modal seperti halnya buruh.

Kemudian, Noor (2012) menambahkan bahwa dalam konsepsi Islam, harta adalah amanah yang berfungsi menciptakan kesejahteraan masyarakat. Sehingga

(44)

jangan sampai penggunaan harta sebebas bebasnya dan sesuka hati menimbulkan kesenjangan ekonomi yang mencolok. Hal yang harus diingat bahwa dalam harta terdapat hak orang lain yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, Islam mewajibkan zakat, dan waris serta menganjurkan untuk mewakafkan harta, serta melaksanakan infak dan sedekah. Sejalan dengan hal tersebut, bahwa Al-Qur‘an menganjurkan mereka yang lebih besar untuk memanifestasikan religiusitasnya melalui tindakan berbagi terhadap mereka yang kecil dan kurang beruntung.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai kesejahteraan dalam Islam melalui bagi hasil dalam aktivitas ekonomi, harus menggunakan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Konsepsi ini bermuara pada terciptanya keadilan yang pada akhirnya menuju pada terciptanya kesejahteraan dalam aktivitas ekonomi masyarakat. Sehingga, menurut Baidhawi (2007) bahwa implikasi pada tingkat praktis mengharuskan Islam tampil sebagai agama publik yang peduli terhadap problem-problem kemiskinan, pengangguran, dan penindasan sosial-ekonomi. Sejalan dengan hal tersebut, Baidhawi menambahkan bahwa upaya menjaga “rasa keadilan” dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan dalam rangka menuju kesejahteraan melahirkan sejumlah implikasi dalam proses pelembagaannya melalui: (1) penumbuhan nilai-nilai keadilan sebagai motif bertindak dalam aktivitas ekonomi; (2) perwujudan kebaikan kewajiban- kewajiban agama dalam aktivitas ekonomi; (3) penegakan suatu sistem manajemen sosial-ekonomi yang berkeadilan, manusiawi, dan ramah lingkungan;

dan (4) implementasi peran pemerintah dalam menjalankan sistem politik dan kebijakan yang adil dan menyejahterakan untuk semua.

(45)

H. Kerangka Pikir

PT. Bank Sulselbar Syariah menerapkan sistem bagi hasil. Bagi hasil adalah kerjasama atau kontrak usaha antara dua pihak, salah satu pihak menyediakan modal dan pihak lain menyerahkan tenaganya sebagai andil untuk mencapai tujuan usaha, kemudian keuntungan yang diperoleh dari hasi usaha dibagi berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak sedangkan jika terjadi kerugian yang menanggung adalah pihak penyedia modal.

Kerangka konseptual penelitian ini dapat disajikan dalam gambar 2.1 berikut ini:

I. Hipotesis

Berdasarkan pembahasan dimuka, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : Diduga bahwa penerapan profit sharing dalam Akuntansi Syariah pada PT. Bank Sulselbar Syariah adalah tepat dan adil bagi Stakeholder.

BANK SYARIAH

PT. BANK SULSELBAR SYARIAH

PENERAPAN PROFIT SHARING

HASIL BAGI PARA STAKEHOLDER

(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Dan Waktu Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah PT. Bank SulSelbar Tbk. yang bergerak di bidang perbankan syariah, yang memiliki cabang di Jalan Dr. Sam Ratulangi Makassar. Objek penelitian tersebut sengaja dipilih karena perusahaan tersebut telah menerapkan akuntansi syariah. Waktu penelitian dilakukan selama dua bulan mulai dari Maret 2015 sampai dengan Mei 2015 (terlampir).

B. Jenis Dan Sumber Data

Data dibagi menjadi dua jenis, yaitu kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang tidak dapat diukur atau dinilai dengan angka-angka secara langsung. Sedangkan data kuantitatif adalah data yang dapat diukur atau dinilai dengan angka secara langsung.

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli (tidak melalui media perantara). Dalam penelitian ini data primer diperoleh melalui wawancara terhadap responden. Data penelitian yang diperoleh sendiri melalui :

a. Dokumentasi

Dokumentasi adalah pengumpulan data-data dengan melakukan review terhadap dokumen yang berkaitan dengan masalah tersebut.

43

(47)

b. Wawancara (Interview).

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumupulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil.

2. Data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh secara tidak langsung melalui media perantara atau diperoleh dan dicatat oleh pihak lain. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari buku-buku, jurnal-jurnal, penelitian terdahulu serta literatur lain. Ada dua tipe data sekunder yaitu data internal dan eksternal (Sangadji,et al., 2010). Data internal berupa dokumen-dokumen akuntansi dan operasi yang dikumpulkan, dicatat, dan disimpan dalam suatu organisasi.

Sedangkan, data eksternal dapat berupa buku, jurnal, atau berbagai bentuk terbitan secara periodik yang diterbitkan oleh organisasi atau instansi tertentu.

C. Metode Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dengan metoda pengumpulan data sebagai berikut:

1. Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan dilakukan langsung ke objek penelitian dengan tujuan menggambarkan semua fakta yang terjadi pada objek penelitian, agar permasalahan dapat diselesaikan. Teknik yang digunakan untuk memperoleh data dengan melaksanakan studi lapangan sebagai berikut:

(48)

a. Wawancara.

Wawancara dilaksanakan dengan melakukan tanya jawab langsung terhadap pihak-pihak yang bersangkutan guna mendapatkan data dan keterangan yang berlandaskan tujuan penelitian.

b. Dokumentasi.

Dokumentasi dilakukan dengan melakukan pengumpulan data-data dan dokumen perusahaan yang relevan dengan penelitian ini. Pengambilan data melalui dokumen tertulis maupun elektronik dari obyek penelitian. Dokumen diperlukan untuk mendukung kelengkapan data yang lain.

2. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan dengan menelaah buku-buku yang relevan dengan permasalahan yang diangkat untuk mendapatkan kejelasan konsep dan mengumpulkan literatur-literatur yang relevan dengan pembahasan penelitian.

D. Metode Analisis Data

Penelitian ini, menggunakan analisis deskriptif. Data-data perusahaan yang mendukung penelitian dikumpulkan kemudian dilakukan analisa dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan keadaan obyek penelitian yang sesungguhnya. Analisa data ini penting artinya karena dari analisa ini data yang diperoleh dapat memberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian.

(49)

BAB IV

GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

A. Sejarah Singkat Perusahaan

Didirikan dengan nama PT. Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan Tenggara. Berkedudukan di Makassar, berdasarkan Akte Notaris Raden Kadiman di Jakarta No.95 tanggal 23 Januari 1961. Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan Tenggara pada awal beroperasi pada tahun 1962 menempati Gedung Bank Indonesia, Jalan Nusantara No. 53 kemudian berpindah di Gedung Bank Summa Jalan Sulawesi No. 91 Makassar. Tujuan pendirian bank adalah untuk mengelola keuangan daerah dan membantu meningkatkan otonomi daerah. Persediaan pendirian bank dilakukan oleh Bapak Syamsuddin dg Manggawi yang kemudian menjadi Direktur Utama pertama Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan Tenggara.

Berdasarkan peraturan Daerah tingkat I Sulawesi Selatan No. 002 tahun 1964 tanggal 12 Februari 1964, nama Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan Tenggara diubah menjadi Bank Pembangunan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara dengan modal dasar sebesar Rp.250.000.000. Adanya pemisahan antara Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Propinsi Tingkat I Sulawesi Tenggara dan adanya penambahan modal dasar maka Perda No. 002 tahun 1964 telah beberapa kali mengalami perubahan dan pada akhirnya Bank berganti nama menjadi Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan.

46

Gambar

Tabel 1.1 Laporan Laba Rugi ..................................................................
Gambar 2.1 Kerangka Pikir ........................................................................

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi, perhitungan harga opsi Eropa menggunakan metode Binomial membutuhkan partisi waktu yang banyak untuk bisa mendekati model kontinu Black Scholes.. Untuk

Kalibrasi model harga opsi Heston terdiri dari beberapa tahapan yakni : Menentukan data harga opsi pasar yang digunakan, kalibrasi model harga opsi Heston dengan

Semakin meningkatnya kebutuhan hidup kita di zaman sekarang serta persaingan yang Semakin meningkatnya kebutuhan hidup kita di zaman sekarang serta persaingan yang tidak

communities Ceramah, diskusi  Mampu mendengark an secara aktif  Mampu bertanya tentang materi yang disampaikan  Melakukan komunikasi 2 arah  Mampu menerima

Peningkatan Pemahaman Mata Pelajaran IPS Materi Keragaman Suku Bangsa Dan Budaya Indonesia Melalui Media POKARSO (Pop Up Dan Kartu Soal) Di Kelas IV MI Muhammadiyah 23

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dikemukakan implikasi hasil penelitian sebagai berikut: (1) dengan adanya pengaruh yang signifikan kecerdasan emosional dalam

Setiap bagian atas dari pintu terdapat ventilasi berbentuk persegi (kecuali ventilasi pintu depan yang berbentuk setengah lingkaran) yang dilengkapi dengan terali besi dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) kualitas pelayanan Program Studi PGSD UAD Yogyakarta; 2) kepuasan mahasiswa Program Studi PGSD UAD; dan 3)