• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : SABILA RUSDHINA OKTISALE WURI NIM:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : SABILA RUSDHINA OKTISALE WURI NIM:"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

KETENTUAN PENERAPAN SANKSI KEBIRI KIMIA, PEMASANGAN ALAT PENDETEKSI ELEKTRONIK KEPADA PELAKU KEKERASAN

SEKSUAL TERHADAP ANAK (Pedofil) DITINJAU DARI TEORI HAK ASASI MANUSIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

SABILA RUSDHINA OKTISALE WURI NIM: 11160480000009

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/2020 M

(2)

ii SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

SABILA RUSDHINA OKTISALE WURI NIM: 11160480000009

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/2020 M

i

(3)

ii

KETENTUAN PENERAPAN SANKSI KEBIRI KIMIA, PEMASANGAN ALAT PENDETEKSI ELEKTRONIK KEPADA PELAKU KEKERASAN

SEKSUAL TERHADAP ANAK (Pedofil) DITINJAU DARI TEORI HAK ASASI MANUSIA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Sabila Rusdhina Oktisale Wuri NIM: 11160480000009

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ismail Hasani, S.H., M.H. Afwan Faizin, M.A NIP. 197712172007101002 NIP. 197210262003121001

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/2020 M

(4)

iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “KETENTUAN PENERAPAN SANKSI KEBIRI KIMIA, PEMASANGAN ALAT PENDETEKSI ELEKTRONIK KEPADA PELAKU KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK (Pedofil) DITINJAU DARI TEORI HAK ASASI MANUSIA” telah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Syari’ah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 8 Juli 2020, Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, Juli 2020 Mengesahkan Dekan

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.

NIP. 19760807 200312 1 001 PANITIA UJIAN MUNAQASAH

1. Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. (……….) NIP. 196702032014111001

2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum (……….) NIP. 196509081995031001

3. Pembimbing I : Dr. Ismail Hasani, S.H., M.H. (……….) NIP. 197712172007101002

4. Pembimbing II : Afwan Faizin, M.A. (……….) NIP. 197210262003121001

5. Penguji I : M. Ishar Helmi, S.H., M.H. (……….)

6. Penguji II : Faris Satria Alam, S.H.I, M.H. (……….)

(5)

iv

LEMBAR PERNYATAAN Yang Bertanda Tangan Di Bawah Ini :

Nama : Sabila Rusdhina Oktisale Wuri Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 13 Oktober 1998

NIM : 11160480000009

Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Jalan Haji. Irin Rt. 03 Rw. 08 No. 41, Kecamatan Cilandak, Kelurahan Lebak Bulus, Kota Jakarta Selatan Provinsi DKI Jakarta

No HP/Email : 081289308378 / dina131098@gmail.com

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 17 Juni 2020

Sabila Rusdhina Oktisale Wuri

(6)

v ABSTRAK

Sabila Rusdhina Oktisale Wuri NIM 11160480000009. Ketentuan Penerapan Sanksi Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik Kepada Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Pedofil) Ditinjau Dari Teori Hak Asasi Manusia. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Praktisi Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1441 H/2020 M.

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik merupakan sanksi tambahan yang termuat dalam Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Anak) sebagai upaya menekan angka kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh pedofil. Dalam penelitian ini peneliti memaparkan terkait hak-hak pelaku yang terciderai atas hadirnya sanksi tambahan tersebut. Terciderainya hak pelaku dikarenakan sanksi kebiri dan pemasangan alat pendeteksi elektronik dinilai mencedirai hak untuk tidak disiksa, hak untuk diperlakukan secara manusiawi, hak melanjutkan keturunan, dan hak privasi seseorang. Selain itu ketentuan kebiri dan pemasangan alat pendeteksi elektronik sebagai sanksi tambahan juga dinilai tidak sesuai dengan teori pemidanaan sebagaimana yang dianut oleh Indonesia adalah teori pemidanaan gabungan.

Penelitian ini mengggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif-doktriner. Dimana peneliti memberikan penjelasan sistematis aturan yang mengatur suatu kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antara peraturan, serta menjelaskan konsep dari tema yang peneliti ambil.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa setiap hak yang dimiliki oleh setiap manusia diakui dan juga dihargai keberadaannya, meski seseorang tersebut merupakan pelaku suatu tindak pidana sekalipun. Selama konstitusi menjunjung tinggi HAM dan mengakui keberadaan HAM setiap warga negara, maka tanpa

(7)

vi

pandang bulu negara wajib memperhatikan hak-hak setiap warga negara. Termasuk dalam membentuk suatu regulasi baru diperlukannya pengkajian dalam uji tuntas HAM secara mendalam sehingga tidak adanya hak konstitusional warga negara yang terciderai akibat dari hadirnya regulasi tersebut.

Kata Kunci : Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, HAM Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Ismail Hasani, S.H., M.H.

2. Afwan Faizin, M.A Daftar Pustaka : Tahun 1986 – Tahun 2019

(8)

vii Abstract

Sabila Rusdhina Oktisale Wuri NIM 11160480000009. Provisions for the Application of Chemical Castration Sanctions, Installation of Electronic Detection Devices for Sexual Violence Against Children (Pedophiles) Judging From The Theory of Human Rights. Law Study Program, Law Practitioner Concentration, Faculty of Sharia and Law, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta 1441 H / 2020 M.

This study to explain the chemical castration and installation of electronic detection devices which consist of additional penalties contained in Law Number 17 Year 2016 concerning Stipulation of Perppu Number 1 Year 2016 concerning Second Amendment Number 23 Year 2002 concerning Child Protection (as referred Child Protection Act) conducted by pedophiles. In this study, the researcher explained the privileges that were injured from the presence of these additional sanctions. Impairment of the right to castration agreement and the installation of approved electronic detection devices violates the right not to be tortured, the right to renew humanly, the right to increase, and the right to privacy of a person. In addition, castration and installation of electronic detection devices in addition were also approved not in accordance with the theory proposed by Indonesia is a combined criminal theory.

This research uses qualitative research by using normative-doctrinaire.

Where researchers provide an explanation of the rules set in certain legal categories, analyze the relationship between regulations, and explain the concepts of the themes taken by researchers.

The results of this study indicate that every right possessed by every human being is questioned and also approved, as is the person who is the question taken.

As long as the constitution upholds human rights and recognizes all citizens, irrespective of the state's obligation to pay attention to the rights of every citizen.

Related to the making of a new necessity, an assessment in the complete human

(9)

viii

rights due diligence makes it a constitutional right of citizens who are affected by the presence of the agreement.

Key words : Chemical Castration, Installation of Electronic Detection Devices, Human Rights

Mentors : 1. Dr. Ismail Hasani, S.H., M.H.

2. Afwan Faizin, M.A Reference : Tahun 1986 – Tahun 2019

(10)

ix

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul “Ketentuan Penerapan Sanksi Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik Kepada Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Pedofil) Ditinjau dari Teori Hak Asasi Manusia” shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shallalahu ‘alaihi Wassalam, semoga kita semua mendapatkan syafa’atnya di akhirat kelak. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini tidak dapat diselesaikan oleh peneliti tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas para pihak yang telah memberikan peranan secara langsung dan tidak langsung atas pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, hingga peneliti menyelesaikan skripsi ini, selain itu tidak lupa juga peneliti ucapkan terimakasih yaitu antara lain kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Ismail Hasani, S.H., M.H. Pembimbing Skripsi 1 dan Afwan Faizin, M.A Pembimbing Skripsi 2 yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk peneliti.

4. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, dan Kepala Pusat Perpustakaan Direktorat Jendal Bea dan Cukai, saya ucapkan terimakasih

(11)

x

telah memberikan peneliti fasilitas untuk mencari bahan bacaan dalam menyelesaian skripsi ini.

5. Kepada kedua orangtua tercinta Ayahanda H. Wakidjo dan Ibunda alm. Juriah yang selalu memberikan dukungan baik moriil maupun materil, dorongan, serta doa yang terbaik untuk peneliti hingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Kakak Kakak kandung saya Nur Hidayati Mega Wapri, Triswanto Wahyu, Evi Setya Ningsih, dan Reni Warpitasari, dan seluruh keluarga besar peneliti yang selalu memberikan dukungan, nasihat serta doa kepada peneliti hingga terselesaikannya skripsi ini.

6. Kepada Muhammad Rizki Ramadhan tercinta, yang selalu memotivasi, menemani dan juga membimbing baik dalam suka maupun duka hingga dapat terselesaikannya skripsi ini.

7. Kepada sahabat saya Hani Yusrina, Hanida Purbosari, Adellia Putri Octatiana, Rizkiyah Nurul Fatihah, Denita Restiana Safitri yang telah menemani, mendukung, menghibur dan memotivasi hingga terselesaikannya skripsi ini.

8. Kepada pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam penyelesaian karya tulis ini.

Demikian ucapan terima kasih ini, semoga penelitian ini tidak hanya menjadi lembaran formalitas syarat meraih gelar, namun juga berkontribusi bagi kemajuan HAM di Indonesia agar kesejahteraan dapat tersebar merata ke setiap lapisan masyarakat. peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, namun semoga Allah memberikan balasan yang setara kepada para pihak yang telah berbaik hati terlibat dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi peneliti khususnya dan bagi para pembaca. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Ciputat, 17 Juni 2020

Penulis

(12)

xi DAFTAR ISI

COVER ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Metode Penelitian ... 11

E. Sistematika Pembahasan... 15

BAB II : SANKSI KEBIRI KIMIA, PEMASANGAN ALAT PENDETEKSi ELEKTRONIK DALAM PRESPEKTIF HAM A. Kerangka Konseptual ... 18

B. Kerangka Teori ... 21

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 33

D. Cikal Bakal terbentuknya Ham di Indonesia ... 34

BAB III : PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI PELAKU KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK A. Penerapan Sanksi Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 ... 43

(13)

xii

1. Sanksi Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik UU

Nomor 17 Tahun 2016 ... 43

2. Sejarah Praktik Kebiri Kimia ... 52

3. Penerapan Alat Pendeteksi Elektonik ... 56

B. Penerapan Kebiri Kimia di Negara Lain ... 57

1. Amerika Serikat ... 57

2. Australia... 60

3. Inggris ... 65

4. Korea Selatan ... 66

C. Pendapat Korban dan Ahli dengan Hadirnya Sanksi Kebiri Kimia dan Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik ... 66

1. Korban kekerasan Seksual ... 67

2. Ahli Psikologi ... 76

BAB IV : KONSTITUSIONALITAS HAM DALAM PASAL 81 UNDANG- UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2016 TERKAIT SANKSI KEBIRI KIMIA DAN PEMASANGAN ALAT PENDETEKSI ELEKTRONIK A. Ketentuan Uji Tuntas Hak Asasi Manusia Pada Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2016 Terkait Sanksi Kebiri Kimia Dan Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik ... 81

B. Inkonstitusional Penerapan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Terkait Sanksi Kebiri Kimia dan Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik ... 94

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 120

B. Rekomendasi ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 123

(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya anak adalah tunas, potensi dan generasi penerus cita- cita bangsa yang memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa mendatang1. Harapan akan strategisnya peran anak itu pun dituangkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU- XV/2017 yang diucapkan tertanggal 13 Maret 2018, agar kelak mampu memikul tanggung jawab itu, maka anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, sosial maupun spiritual.

Anak perlu mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi dan disejahterakan. Karenanya, segala bentuk kekerasan pada anak perlu dicegah dan diatasi.2 Sebagai pemikul tanggung jawab tersebut, negara wajib menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta perlindungan terutama dari kekerasan seksual, yang merupakan bentuk penghancuran pada masa depan anak, sehingga anak dapat tumbuh dengan baik3 sebagaimana amanah dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi

“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Serangkaian demi serangkaian kasus kekerasan seksual terhadap anak pun terus terjadi dan semakin meningkat di setiap tahunnya, tercatat dalam Komisi Perlindungan Anak Indonesia tercatat korban kekerasan seksual

1 Abu Hurairah, Kekerasan Terhadap Anak, (Bandung: Nuasa Press, 2012), h. 5.

2 Abu Hurairah, Kekerasan Terhadap Anak, … h. 7.

3 Ivo Noviana, “Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak Dan Penanganannya Child Sexual Abuse: Impact and Hendling”, Vol. 01, No. 1, (Januari-April, 2015), h. 25.

1

(15)

pada anak dari tahun 2011 hingga tahun 2016 sebanyak 1874 anak yang tak terhindarkan, sebagaimana tergambar dalam table dibawah:4

Meningkatnya problematika yang terus terjadi tersebut sudah tentu dapat berakibat kepada buruknya perkembangan anak untuk tumbuh secara optimal baik fisik maupun mental sebagai tunas dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Hal inilah yang barangkali membuka mata pemerintah untuk memuat kebijakan dengan mengeluarkan produk hukum untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang

4 Sepanjang Tahun 2018, Ada 100 Lebih Korban Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Indonesia, Jakarta; Tribunnews. Diakses Dari Https://Jakarta.Tribunnews.Com.

(16)

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Anak) yang pada penjelasan umumnya menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan serius (serious crime) yang semakin meningkat dari waktu ke waktu dan secara signifikan mengancam dan membahayakan jiwa anak. Dalam regulasi tersebut dalam rangka memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, pemerintah menambahkan ketentuan hukuman khususnya dalam Pasal 81, yang mana penambahan tersebut berupa pidana pokok berupa pidana mati, pidana seumur hidup, penambahan nominal pidana denda, pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku serta sanksi tindakan berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik dan rehabilitasi. Adanya penambahan pemidanaan tersebut tentulah menimbulkan berbagaimacam pro-kontra yang menyelimuti regulasi tersebut. Sehingga perlu adanya pengkajian yang lebih spesifik dan teliti yang harus dilakukan oleh pihak pemerintah.

Pada dasarnya apabila berbicara tentang kebiri kimia, proses ini merupakan sebuah tindakan memasukkan bahan kimiawi anti-androgen, baik melalui pil atau suntikan ke dalam tubuh pelaku tindak kejatahan seksual dengan tujuan untuk memperlemah hormon testosteron.5 Penyuntikkan zat anti-androgen ke dalam tubuh sangat berpotensi memberikan dampak negatif yaitu mempercepat penuaan tubuh, mengurangi kerapatan massa tulang sehingga tulang keropos dan memperbesar risiko patah tulang, terlebih juga dapat mengurangi massa otot dan meningkatkan lemak yang menaikkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah.6 Pada dasarnya hal itu diakibatkan oleh gangguan mental pada seorang pedofil yaitu penyimpangan seksual berupa ketertarikan

5 Supriyadi Widodo Eddyono Dkk, Menguji Euforia Kebiri Catatan Kritis Atas Rencana Kebijakan Kebiri (Chemical Castration) Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak Di Indonesia, (Jakarta, Institute For Criminal Justice Reform, 2016), h. 4.

6 Nuzul Qur’Aini Mardiya. 2017. “Penerapan Hukuman Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual”, Jurnal Konstitusi, Vol. 14, No. 1, (Maret, 2017), h. 222.

(17)

seksual kepada anak-anak yang dialaminya. Adapun pengertian dari gangguan mental adalah gangguan atau penyakit yang menghalangi seseorang untuk hidup sesuai seperti yang diinginkan baik oleh individu itu sendiri maupun oleh orang lain (malaudjustment).7

Apabila pemberian kebiri kimia ini dihentikan, kadar testosteron dan keinginan ereksi pada seseorang yang telah dikebiri akan kembali seperti semula. Sehingga tidak menutup kemungkinan pelaku akan melalukan kembali perbuatan kekerasan seksual terhadap anak. Terlebih harga zat tersebut sangatlah mahal.8 Sehingga jika pemerintah mendalilkan bahwa adanya kebiri kimia ini merupakan suatu pencegahan, agar pelaku tidak akan melakukan tindak kekerasan seksual di kemudian hari, akan tetapi pada faktanya kebiri kimia ini sangatlah tidak efektif untuk menurunkan hasrat seksual pelaku, karena zat tersebut hanya bereaksi sementara. Oleh karena itu, sanksi tindakan kebiri kimia ini sama sekali tidak bisa menjamin pelaku untuk merasa jera. Serta pemasangan alat pendeteksi elektronik di nilai hanya menjadikan pelaku mendapat penjara kedua setelah pelaku terbebas dari pidana pokok yang telah dijalani.

Melihat dari uraian di atas, membuktikan bahwa adanya penambahan sanksi kebiri kimia, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik untuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak, menimbulkan banyak perdebatan. Salah satunya bersinggungan tentang hak asasi yang melekat baik itu dalam diri pelaku maupun korban, dimana keduanya merupakan seorang warga negara yang tentunya memiliki hak-hak sama serta harus dilindungi oleh negara. Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28, Pasal 28 A-I Undang-Undang Dasar 1945 dimana di dalamnya berbicara tentang jaminan hak-hak setiap warga negara yang diakui dan

7 Yustinus Semiun, Kesehatan Mental 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 2.

8 Hukuman Kebiri Kimia Dianggap Berbiaya Mahal Dan Tak Mampu Beri Efek Jera, Kompas.Com, Https://Nasional. Kompas.Com /Read /2016 /05 /26 /15441951 /Hukuman.

Kebiri.Kimiawi. Dianggap. Berbiaya.Mahal.Dan.Tak.Mampu.Beri.Efek.Jera.

(18)

dilindungi dalam konstitusi negara.9 Pemerintah juga mempunyai komitmen yang lebih besar untuk membentuk Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Selain itu Indonesia juga meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional, hal mana dapat dilihat dengan diterbitkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia/RANHAM Tahun 1998 yang memprioritaskan pentahapan ratifikasi 8 (delapan) instrumen selama lima tahun, dari tahun 1998 s/d tahun 2003. Selanjutnya pada tahun 2005 Indonesia juga meratifikasi 2 (dua) instrumen HAM yang kini menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Hak-hak Sipil dan Politik.10

Hadirnya pengakuan hak dalam konstitusi tersebut. Membuat penulis ingin mengkritisi terkait HAM yang dimiliki oleh pelaku, karena selain hak korban dalam hal ini adalah anak yang harus diperhatikan, hak asasi manusia pada diri pelaku pun juga tetap harus diakui serta dilindungi oleh negara, sehingga apabila dilihat dari sudut pandang HAM yang dimiliki pelaku, penerapan sanksi kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik yang termaktub dalam Pasal 81 ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 merupakan sebuah bentuk pencideraan HAM. Karena menurut berbagai penelitian yang dilakukan terkait tentang sanksi kebiri kimia, tindakan ini terbukti merupakan sebuah bentuk penyiksaan, penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat serta harkat manusia, menciderai hak seseorang dalam mempunyai keturunan, serta melanggar hak privacy seseorang. Hal tersebut dinilai telah bertentangan dengan hak asasi yang terdapat dalam hukum positif di

9 A. Masyhur Effendi, HAM Dalam Dimensi/ Dinamika Yuridis, Sosial Politik Dan Proses Penyusunan/ Aplikasi Ha-Kham (Hukum Hak Asasi Manusia) Dalam Masyarakat, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), h. 143.

10 Debora Aprilany Grace Rompis, “Praktik Ratifikasi Terhadap Perjanjian Internasional di Bidang Hak Asasi Manusia”, Lex Crimen, Vol. VI, No. 4, (Juni, 2017), h.136.

(19)

Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28B ayat (1), 28G ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

Selain daripada itu sanksi kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik digolongkan sebagai pidana tambahan. Adanya penambahan sanksi tersebut dinilai sebagai penghukuman yang layak untuk diterapkan kepada para pelaku kekerasan seksual terhadap anak atau pedofil karena perbuatannya yang dinilai keji dan tidak manusiawi. Namun apabila lebih dalam terkait pidana tambahan, pidana tambahan merupakan alternatif terakhir dan dalam pengenaannya pidana tambahan tersebut tidak menghilangkan pidana pokok. Penjatuhan pidana tambahan dalam sistem hukum pidana harus dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok.

Artinya pidana tambahan tersebut tidak bisa berdiri sendiri11.

Namun, bagi peneliti, walaupun pelaku melakukan kekerasan seksual terhadap anak tetapi dengan hal dari sudut pandang HAM yang dimiliki oleh pelaku serta melihat efek samping dari pemberlakuan sanksi kebiri kimia sebagaimana telah peneliti uraikan di atas, sanksi tersebut tidaklah sesuai dengan unsur-unsur teori pemidanaan yang dianut oleh Indonesia, yaitu Teori Pemidanaan Gabungan. Dimana dalam Teori Pemidanaan Gabungan tersebut terbagi menjadi dua unsur teori pemidanaan yaitu, teori absolut dan teori relatif, yang mana pidana tambahan sebagaimana kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik dapat dikategorikan dalam teori relatif. Dimana sanksi pidana digunakan untuk mencapai pemanfaatan, baik yang berkaitan dengan orang yang bersalah atau dengan dunia luar,12 serta mengembalikan pelaku sebagai masyarakat normal.

11 Adam Yuriswanto, Dan Ahmad Mahyani, “Hukuman Kebiri Sebagai Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Kejahatan Seksual”, Jurnal Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, (Februari, 2018), h. 34.

12 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1992), h. 234.

(20)

Berkaitan dengan hal di atas implementasi penerapan sanksi kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik justu berbeda dari apa yang semestinya di inginkan pemerintah. Seperti yang telah peneliti uraikan bahwa dampak kebiri kimia justru bukan mengembalikan pelaku ke dalam kondisi sediakala seperti masyarakat pada umumnya. Tetapi kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik memiliki risiko yang amat sangat berbahaya bagi pelaku. Dengan diberikannya sanksi kimia dengan obat-obatan yang berjangka waktu, justru tidak akan menyembuhkan dan potensi pelaku untuk mengulangi kejahatannya amat besar. Sehingga tidaklah tepat menempatkan kebiri kimia sebagai sanksi untuk menyembuhkan. Tetapi justru sebaliknya, kebiri kimia merupakan bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi, serta menciderai hak asasi pelaku sebagai seorang manusia. Indonesia sendiri dalam implementasi sanksi kebiri kimia terbukti dengan adanya putusan yang memvonis seorang pelaku kekerasan seksual terhadap anak dengan sanksi tindakan berupa kebiri kimia. Hal tersebut tertuang dalam Putusan PN Mojokerto nomor 69/Pid.sus/2019/PN.Mjk tanggal 2 Mei 2019. Hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan pun dijatuhkan pada Aris.

Namun sampai saat ini implementasi dari tambahan sanksi tersebut tidak dapat diterapkan karena belum adanya peraturan pelaksana yang menentukan bagaimana mekanisme kebiri kimia dan alat pendeteksi elektronik kepada pelaku. Adanya ketidak pastian penerbitan peraturan pelaksana yang sudah 4 tahun lamanya semenjak diterbitkannya Undang- Undang tersebut justru menghambat proses hukum terhadap pelaku, dimana seharusnya pelaku telah usai menjalani seluruh tuntutan dan putusan hakim tetapi justru beban hukuman pelaku yang semakin bertambah karena menunggu kepastian dari eksekusi sanksi kebiri kimia tersebut.

Berdasarkan kondisi demikian, hal ini membuktikan bahwa pemaksaan adanya kegentingan yang memaksa sebagai upaya Pemerintah menurunkan kejahatan seksual terhadap anak yang dipertontonkan melalui

(21)

kebiri kimia tidak memiliki rasio logis yang jelas dan tidak menunjukan keefektifan sama sekali. Bahkan justru dipandang sebagai upaya “balas dendam” atas nama perlindungan anak dengan lebih mentitikberatkan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak (Pedofil) dari pada memikirkan penanggulangan kejahatan kekerasan seksual dan jaminan pemulihan bagi korban.13 Dari latar belakang permasalahan tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji dan menuangkannya dalam penelitian ini dengan judul “KETENTUAN PENERAPAN SANKSI KEBIRI KIMIA, PEMASANGAN ALAT PENDETEKSI ELEKTRONIK KEPADA PELAKU KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK (Pedofil) DITINJAU DARI TEORI HAK ASASI MANUSIA”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pada penjabaran dalam latar belakang masalah, maka identifikasi masalahnya sebagai berikut:

a. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dinilai belum mampu untuk mengatasi kasus kekerasan seksual terhadap anak;

b. Pemberatan sanksi berupa, penambahan lama pemidanaan, penambahan nilai denda, sanksi tambahan mengumumkan identitas pelaku, sanksi tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik;

c. Penerapan sanksi kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik menciderai hak asasi pelaku sebagai manusia dan seorang warga negara;

d. Kebiri kimia dinilai suatu penyiksaan yang tidak manusiawi;

13 Supriyadi Widodo Eddyono Dkk, Menguji Euforia Kebiri Catatan Kritis Atas Rencana Kebijakan Kebiri (Chemical Castration) Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak Di Indonesia, … h.

17.

(22)

e. Ketidaktersediannya dokter di Indonesia (IDI) sebagai eksekutor dalam penerapan kebiri kimia;

f. Pemasangan alat pendeteksi elektronik tentu mengancam hak privasi pelaku sebagai penjara kedua;

g. Kekeliruan dalam perumusan tindakan berupa kebiri kimia kedalam katagori double track system.

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan dari seluruh apa yang telah peneliti identifikasi, karena begitu luasnya cangkupan penelitian, maka pada penulisan skripsi ini pembahasan akan dibatasi hanya pada penerapan sanksi kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik telah menciderai hak asasi pelaku sebagai manusia sebagaimana yang tertera dalam konstitusi negara.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang peneliti kaji di atas, perumusan masalah yang peneliti angkat adalah penerapan sanksi kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik menciderai hak asasi pelaku sebagai seorang manusia sebagaimana yang tertera dalam konstitusi negara. Untuk memudahkan penelitian yang dikaji oleh peneliti maka dalam perumusan masalah ini peneliti membentuk sebuah pertanyaan penelitian menjadi dua pertanyaan yang tentunya berkaitan dengan perumusan masalah, adapun bentuk pertanyaan penelitianya sebagai berikut:

a. Bagaimana pelaksanaan sanksi kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak (Pedofil) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016?

b. Bagaimana teori HAM memandang terkait adopsi saksi kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak(Pedofil) dengan sistem pemidanaan di Indonesia?

(23)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan terkait penerapan sanksi kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik ditinjau dari sudut pandang positivis hak asasi manusia yang melekat pada diri pelaku kekerasan seksual terhadap anak (Pedofil). Berdasarkan tujuan umum tersebut, secara khusus penelitian ini bertujuan:

a. Untuk mengetahui ketentuan pelaksanaan sanksi kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak (Pedofil) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.

b. Untuk mengetahui teori HAM memandang terkait penerapan saksi kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak (Pedofil).

2. Manfaat Penelitian

Selain tujuan yang ingin dicapai ada beberapa hal yang merupkaan manfaat dari penelitian ini diantaranya:

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini intinya diharapkan memperkaya dan menambah khazanah ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan memberikan pengetahuan hukum terkait tentang sanksi kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik kepada para pelaku kekerasan seksual terhadap anak (Pedofil) ditinjau dari presektif teori positivisme hak asasi manusia yang terdapat di indonesia pada khususnya.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat berguna bagi masyarakat guna untuk mengetahui dan memahami serta dapat memberi konstribusi positif sebagai sumber acuan bacaan hukum

(24)

terkait tentang sanksi kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak (Pedofil), sepagai upaya peningkatan masyarakat supaya sadar akan hukum dan memahami ketentuan penerapan sanksi kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak (Pedofil), ditinjau dari prespektif teori positivisme Hak Asasi Manusia.

D. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan Analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;

sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam kerangka tertentu.14

1. Jenis Penelitian

Pada penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dilakukan dengan menggunakan jenis data dan analisa yang bersifat naratif. Maka di sini perspektif subyektif lebih diperlihatkan, serta landasan teori juga dimanfaatkan untuk memberikan panduan agar fokus penelitian sesuai dengan fakta dan sebagai sebuah bahan pembahasan dalam sebuah penelitian.15

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum dengan pendekatan normatif-doktriner.

Dimana penelitian tersebut memberikan penjelasan sistematis aturan yang mengatur suatu kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antara peraturan menjelaskan daerah kesulitan dan mungkin memprediksi pembangunan masa depan.16 Sehubungan dengan

14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet 7, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 61.

15 Ashshofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 23.

16 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet 7, … h. 32.

(25)

penelitian skripsi ini merupakan penelitian normatif, maka peneliti menggunakan pendekatan Undang-Undang (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan PerUndang- Undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang berkaitan dengan sanksi tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Pendekatan konsep (conceptual approach) digunakan untuk memahami konsep-konsep tentang kebiri kimia yang dikaji dari prespektif positivisme hak asasi manusia. Dimana dengan adanya kebiri kimia ini mampu untuk menimbulkan akibat, dan dampak serius terhadap pelaku, dan juga hadirnya kebiri kimia telah mengkebiri hak pelaku sebagai seorang manusia. Dengan didapatkannya konsep yang jelas, maka diharapkan penormaan dalam aturan hukum ke depan tidak terjadi pemahaman yang kabur dan ambigu.17

3. Sumber Bahan Hukum a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoriti artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi perUndang-Undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perUndang-Undangan, dan putusan-putusan hakim.18 Dalam penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum primer peneliti menggunakan beberapa literatur peraturan perUndang-Undangan, yaitu:

1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Pidana

17 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:

Rajawali, 1985), h. 15.

18 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, … h. 14.

(26)

3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas

Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

5) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016

6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Koncenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

7) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

8) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Marabat Manusia.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu yang termasuk dalam bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang bukan merupkaan dokumen-dokumen resmi.

misalnya dapat berupa hasil karya dari kalangan hukum, penelusuran internet, surat kabar dan sebagainya.19

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan non hukum merupakan bahan di luar bahan primer dan bahan sekunder yang dipandang perlu. Bahan non-hukum dapat berupa buku-buku mengenai ilmu politik, ekonomi, sosiologi filsafat, kebudayaan, kamus hukum, kamus Bahasa Inggris, atau

19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, … h. 16.

(27)

laporan-laporan penelitian non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.20

4. Teknik Pengumpulan Data Hukum

Data yang dikumpulkan akan dianalisis secara kualitatif yang berarti bahwa data bersangkutan yang dikumpulkan terkait dengan obyek penelitian ini akan dihimpun, diolah dan dianalisa lalu akan dikonstruksikan.21 Peneliti dalam melakukan penelitian ini mengunakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara antara lain : a. Studi Kepustakaan

Teknik kepustakaan yaitu dilaksanakan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan berupa buku-buku atau dokumen hukum yang terkait. Pada penelitian ini pada perpustakaan, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Perpustakaan Umum UIN Jakarta, Perpustakaan Nasional Indonesia, Perpustakaan Universitas Indonesia, perpustakaan digital dan Internet.

b. Wawancara

Wawancara yang dilakukan untuk sebagai proses pelengkap dalam penyusunan penelitian ini. Wawanara dalam penlitian ini kepada korban kekerasan seksual pada anak, dan kepada Dr. Ismail Hasani, S.H., M.H untuk menambah keilmuan secara teoritis.

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun karena peneliti memilih jenis penelitian kualitatif, maka data yang peneliti gunakan dengan mengolah data yang berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non-hukum diuraikan serta dihubungkan sedemikian rupa sehingga dapat ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab

20 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, … h. 20.

21 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, … h 15.

(28)

semua permasalahan yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.22 Pengolahan tersebut dilakukan secara deduktif yakni dengan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan hukum diolah dan dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya dapat menjawab permasalahan mengenai Sanksi Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi elektronik terhadap Pelaku Pedofil ditinjau dari prespektif Teori Hak Asasi Manusia.23

Analisis yang peneliti gunakan adalah deskriptif-kualitatif adalah data yang diedit dan dipilah menurut kategorisasi dan kemudian dihubungkan satusama lain atau ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban atas masalah penelitian.

6. Pedoman Penulisan

Pedoman penulisan yang digunakan oleh peneliti dalam menyusun skripsi ini berpacu pada kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”

E. Sistematika Pembasahan

Sistematika ini merupakan gambaran dari penelitian agar memudahkan dalam mempelajari seluruh isinya. Penelitian ini dibahas dan diuraikan menjadi 5 (lima) bab, adapun bab-bab yang dimaksud adalah sebagai berikut:

22 Sulistyowati Irianto Dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum Konstelasi Dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2017), h.123.

23 Sulistyowati Irianto Dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum Konstelasi Dan Refleksi,

… h.125.

(29)

BAB I : PENDAHULUAN

Pada BAB ini peneliti menyajikan Pendahuluan yang memuat secara keseluruhan mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan, dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan metode penelitian sesuai dengan tema penelitian yang peneliti bahas.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA PEMASANGAN ALAT

PENDETEKSI ELEKTRONIK DALAM

PRESPEKTIF HAM

Pada BAB ini peneliti menyajikan tinjauan pustaka, yaitu kajian teoritis dan review (tinjauan ulang) hasil studi terdahulu. Pertama pembahasan bab diawali dengan pemaparan kerangka konsep sesuai dengan tema, kedua menjelaskan teori yang digunakan untuk menganalisis dan menginperpretasi data penelitian.

BAB III : PRAKTIK PENERAPAN KEBIRI KIMIA,

PEMASANGAN ALAT PENDETEKSI

ELEKTRONIK KEPADA PELAKU KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK (Pedofil) DALAM PERPU NOMOR 1 TAHUN 2016

Pada BAB ini peneliti menyajikan pembahasan penelitian berupa praktik penerapan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak (Pedofil) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016

BAB IV : PENERAPAN SANKSI KEBIRI KIMIA,

PEMASANGAN ALAT PENDETEKSI

(30)

ELEKTRONIK KEPADA PELAKU KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK (Pedofil) DITINJAU DARI TEORI HAK ASASI MANUSIA

Pada BAB ini peneliti menyajikan tentang analisis dan interpretasi temuan. Analisis data penelitian mencakup empat aspek, yang terdiri dari mendeskripsikan, mengelompokan atau mengkategorisasi, menghubungkan bagian tertentu dari data dengan data lainnya. Peneliti membahas tentang pengujian ham dalam aturan penerapan sanksi kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik di Indonesia Unang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.

BAB V : PENUTUP

Pada BAB ini peneliti menyajikan penutup yang berisikan kesimpulan yang diambil dari uraian /deskripsi yang menjawab masalah berdasarkan data yang diperoleh, serta saran.

(31)

18 BAB II

SANKSI KEBIRI KIMIA, PEMASANGAN ALAT PENDETEKSI ELEKTRONIK DALAM PRESPEKTIF HAM

A. Kerangka Konseptual 1. Sanksi

Sanksi adalah hukuman yang dihubungkan dengan akibat pelanggaran suatu norma.1 Sanksi juga merupakan akibat tertentu yang timbul atau yang dapat ditimbulkan oleh perilaku manusia yang dapat dikenakan kepada pelaku berkenaan dengan keharusan untuk mematuhi kaidah prilaku.2

2. Hukum Pidana

Hukum pidana adalah sekumpulan peraturan hukum yang dibuat oleh negara, yang mana isinya berupa larangan maupun keharusan sedangkan bagi pelanggar terhadap larangan dan keharusan tersebut dikenakan sanksi yang dapat dipaksakan negara. Hukum pidana di Indonesia terkodifikasi dalam beberapa aturan perUndang-Undangan yang terdapat dalam KUHP dan Undang-Undang pendukung tentang aturan pidana tersebut. Perkembangan hukum pidana semakin lama semakin berkembang pesat.3

3. Sanksi Kebiri Kimia

Sanksi kebiri kimia adalah sanksi pidana yang berupa tindakan memasukkan bahan kimiawi anti-androgen, baik melalui pil atau suntikan ke dalam tubuh pelaku tindak kejahatan seksual dengan tujuan untuk memperlemah hormon testosteron. Penyuntikkan zat anti- androgen kedalam tubuh sangat berpotensi memberikan dampak negatif yaitu mempercepat penuaan tubuh, mengurangi kerapatan massa tulang

1 B. Bastian Tafal, Pokok Pokok Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia,1992), h. 5.

2 Handri Raharjo, Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Pustaka Yudistia, 2016), h. 8.

3 Suyanto. Pengantar Hukum Pidana, (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2018), h. 5.

(32)

sehingga tulang keropos dan memperbesar risiko patah tulang, terlebih juga dapat mengurangi massa otot dan meningkatkan lemak yang menaikkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah.4

4. Alat Pendeteksi Elektronik

Tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik merupakan salah satu tindakan yang termuat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penerapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pemasangan alat pendeteksi elektronik dalam ketentuan ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan mantan narapidana.

5. Pedofil

Pedofil adalah seseorang yang kecenderungan melakukan aktivitas seksual dengan anak-anak kecil, atau orang dewasa yang suka melakukan hubungan seks atau kontak fisik yang merangsang dengan anak di bawah umur. Karena itu kelainan yang dimiliki oleh orang tersebut disebut pedofilia. Penderita pedofilia memiliki fantasi, dorongan, dan perilaku seksual yang terangsang melalui keinginan berhubungan seksual dengan anak-anak yang sangat kuat dan intens kepada organ-organ seksual anak-anak. Pada dasarnya hal itu diakibatkan oleh gangguan mental pada seorang pedofil yaitu penyimpangan seksual berupa ketertarikan seksual kepada anak- anak yang dialaminya, Gangguan mental adalah gangguan atau penyakit yang menghalangi seseorang untuk hidup sesuai seperti yang diinginkan baik oleh individu itu sendiri maupun oleh orang lain (malaudjustment).5

4 Nuzul Qur’aini Mardiya, “Penerapan Hukuman Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual”. Jurnal Konstitusi, Vol. 14, No. 1, (Maret, 2017), h. 12.

5 Yustinus Semiun, Kesehatan Mental 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 2

(33)

Pedofilia, menurut Diagnostik dan Statistik Manual Gangguan Jiwa (DSM), pedofilia adalah parafilia dimana seseorang memiliki hubungan yang kuat dan berulang terhadap dorongan seksual dan fantasi tentang anak-anak prapuber dan dimana perasaan mereka memiliki salah satu peran atau yang menyebabkan penderitaan atau kesulitan interpersonal. Menurut International Breathwork Foundation, dikenal dua tipe utama: pedofilia heteroseksual (lebih menyenangi anak-anak perempuan praremaja), pedofilia homoseksual (lebih menyukai anak- anak lelaki praremaja sangat resisten terhadap terapi).6

6. Kekerasan Seksual Pada Anak

Kekerasan seksual pada anak adalah hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan orang yang lebih tua atau orang yang lebih dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai sebuah obyek pemuas bagi kebutuhan seksualnya. Perbuatan itu dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan maupun tekanan.7

7. Hak Asasi Manusia

Hak yang secara lahiriah melekat pada diri seseorang sebagai anugrah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. sebagaimana hak asasi setiap manusia diakui, dijamin oleh negara yang terkodifikasi dalam bentuk regulasi peraturan perUndang-Undangan. Di Indonesia regulasi terkait HAM termaktub dalam Konstitusi Negara yaitu UUD 1945 Pasal 28A- J, dan terdapat pula lex specialis termuat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.8

6 Gerald C. Davisdon, Dkk, Psikologi Abnormal Edisi 9, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h, 164.

7 Diesmy Humaira B. Dkk, “Kekekrasan Seksual Pada Anak: Telaah Relasi Pelaku Korban Dan Kerentanan Pada Anak”, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Vol. 12, No. 2, (Juni, 2015), h.

6.

8 Jimly Asshiddiqie Dan Hafid Abbas, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 58

(34)

B. Kerangka Teori

1. Teori Keadilan Hukum

Keadilan artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda ataupun orang. Sehingga John Rawls, seorang filsuf Amerika menganggap bahwa keadilan adalah kelebihan dari intuisi social.9 Ditelisik dari pandangan Aristoteles, keadilan dibagi menjadi dua bentuk, yaitu:

a. Keadilan distributif

Keadilan distributif merupakan keadilan yang ditentukan oleh pembuat Undang-Undang, distribusinya memuat jasa, hak dan kebaikan bagi anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proposal.

b. Keadilan korektif

Keadilan Korektif merupakan keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini dalam melawan serangan-serangan illegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti kerugian miliknya yang hilang.10

Dapat juga keadilan diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak berdasarkan kesewenang-wenangan. Pada kesempatan yang sama dalam pembahasan keadilan kali ini. Thomas Hobbes yang mengemukakan bahwa perbuatan dikatakan “adil” apabila telah disepakati. Inilah yang membuat Notonegoro menambahkan keadilan

9 Muhammad Syukri Albani Dkk (Zul Pahmi Lubis), Hukum Dalam Pendekatan Filsafat, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 207.

10 Helmi Juni, Filsafat Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h.399.

(35)

legalitas atau keadilan hukum sebagai nilai untuk menentukan perbuatan adil atau tidaknya berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.11

Pendapat para ahli hukum mengenai keadilan inilah yang selalu menghiasi dalam pembuatan peraturan yang ada. Sehingga refleksi keadilan melalui Undang-Undang Perlindungan Anak yang di dalamnya terdapat tentang penambahan tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik sebagai salah satu cara untuk memberantas kejahatan seksual terhadap anak dan akan menimbulkan efek jera bagi para pelaku pedofilia. Namun di sisi lain pemberlakuan kebiri kimia memiliki risiko dan efek samping (side effect) yang membahayakan bagi pelaku. Serta tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik tersebut justru dinilai telah mengkebiri hak asasi yang melekat dalam diri pelaku, walaupun seorang pedofil telah melakukan tindak pidana. Tetapi pada hakikatnya pedofil juga seorang WNI dan manusia yang mana hak-haknya pun dilindungi dan diakui oleh negara.

2. Teori-teori Pemidanaan

Teori Tujuan sebagai Theological Theory dan teori gabungan sebagai pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan memiliki anggapan apabila pemidanaan mempunyai tujuan plural, yang mana kedua teori ini menggabungkan pandangan utilitarian dengan pandangan retributivist.12

Pandangan utilitarians yang mengatakan apabila tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi manfaat yang dapat dibuktikan dan pandangan retributivist yang menyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabila tujuan yang Theological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran prinsip-prinsip keadilan.13

11 Muhammad Syukri Albani Dkk (Zul Pahmi Lubis), Hukum Dalam Pendekatan Filsafat, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 211.

12 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 2008), h. 230.

13 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, … h. 231.

(36)

Terdapat beberapa teori yang termasuk dalam tujuan pemidanaan adalah sebagai berikut:

a. Teori Absolut / Retribusi

Teori absolut/retribusi pidana memiliki artian bahwa dijatuhkan suatu pidana semata-mata karena orang tersebut telah melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan.

Imamanuel Kant mengatakan bahwa pidana sebagai

“kategorische imperatif” yaitu seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan sehingga pidana menunjukan suatu tuntutan keadilan. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini tertuang dalam bukunya yang berjudul “Philosophy of Law” sebagai berikut: Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata untuk sarana mempromosikan tujuan atau kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat tetapi dalam semua hal harus dikenakan karena orang yang bersangkutan telah melakukan sesuatu kejahatan14

berkaitan dengan hal tersebut Andi Hamzah memiliki pendapat sebagai berikut:

“Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat.

Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur dijatuhkan pidana. Pidana secara mutlak, karena dilakukan suatu kejahatan.

Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana”.15

Maka dapat ditarik benang merah bahwa Artinya teori pembalasan tidak berkenaan tentang bagaimana membina seorang pelaku kejahatan dan pembalasan menjadi titik fokus pada teori ini.

Padahal apabila dilihat dari sisi lain walau pelaku telah melakukan

14 Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung:

Alumni, 2005), h. 30.

15 Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Bandung: Bina Cipta), h. 34.

(37)

sebuah kejahatan namun pelaku tetaplah mempunyai hak untuk dibina dan untuk menjadi manusia yang berguna sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai seorang manusia.

b. Teori Tujuan / Relatif

Pada teori relatif ini memandang bagaimana menjadikan sesuatu agar dapat digunakan untuk mencapai pemanfaatan, baik yang berkaitan dengan orang yang bersalah atau dalam hal pidana adalah pelaku kejahatan maupun yang berkaitan dengan dunia luar, misalnya dengan mengisolasi dan memperbaiki penjahat atau mencegah penjahat potensial, akan menjadikan dunia tempat yang lebih baik.16

Landasan pembenaran adanya pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya. Pidana bukanlah quia peccatum est (karena orang membuat kesalahan) melakukan ne peccetur (supaya orang jangan melakukan kejahatan), yang mana dalam teori tujuan ini jelas memberikan fokus untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat.17

Untuk pencegahan suatu kejahatan, dapat dibedakan menjadi dua istilah, yaitu: Pertama, prevensi special (speciale preventie) atau pencegahan khusus bahwa pengaruh pidana ditunjukan terhadap terpidana, dimana prevensi khusus tersebut lebih menekankan pada tujuan pidana agar terpidana tidak mengulangi perbuatannya lagi. Pidana berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki terpidana untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan martabatnya.18

Kedua, prevensi general (Generale Prevenie) atau pencegahan umum prevensi general menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari

16 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1992), h. 234.

17 Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, … h. 45.

18 Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, … h.46.

(38)

gangguan penjahat. Pengaruh pidana ditunjukan terhadap masyarakat pada umumnya dengan maksud untuk menakut-nakuti.

Artinya pencegahan kejahatan yang ingin dicapai oleh pidana adalah dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukuan tindak pidana.19 Menurut Johan Andenaes terdapat tiga bentuk pengaruh dalam pengertiannya prevensi general yaitu:

1) Pengaruh pencegahan;

2) Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral;

3) Pengaruh untuk mendorong suatu kebiasaan pembuatan patuh pada hukum.

Sehubungan yang dikemukakan oleh Johan Andenaes, maka Van Vee berpendapat bahwa prevensi general mempunya tiga fungsi,20 yaitu:

1) Menegakkan Kewibawaan;

2) Menegakkan Norma;

3) Membentuk Norma.

c. Pemidanaan Gabungan

Teori Pemidanaan Gabungan merupakan kombinasi dari teori relatif dan teori absolut. Menurut teori pemidaan gabungan, tujuan pidana selalu membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban dengan ketentuan beratnya pidana tidak boleh melampaui batas pembalasan yang adil.21

Menurut Pellegrino Rossi dalam bukunya “Traite de Droit Penal” yang ditulis pada tahun 1828 menyatakan:

19 Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, … h.48.

20 Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, … h.50.

21 Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Indonesia, … h.

13.

(39)

“Sekalipun pembalasan sebagai asas dari pidana bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun pidana mempunya berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general”.22

Terhadap teori pemidanaan gabungan ini terdapat tiga aliran yang mempengaruhi, yaitu:

1) Teori pemidaan gabungan merupakan sebuah teori yang menitikberatkan pada unsur pembalasan pidana, tetapi apabila kita lihat teori gabungan ini sifatnya berguna bagi masyarakat.

Pompe menyebutkan dalam bukunya yang berjudul “Hand boek van het Ned.Strafrecht” bahwa pidana adalah suatu sanksi yang memiliki ciri-ciri tersendiri dari sanksi lain dan terikat dengan tujuan dengan sanksi-sanksi tersebut karenanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah kaidah yang berguna bagi kepentingan umum.

2) Teori pemidaan gabungan yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat. Dimana pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi tujuannya adalah melindungi kesejahteraan masyarakat.

3) Teori pemidanaan gabungan yang memandang sama pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat.23

Adapun yang dipaparkan oleh Roeslan Saleh, bahwa pidana pada hakekatnya terdapat dua poros yang menentukan garis-garis hukum pidana yaitu:

1) Segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan.

22 Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, … h. 19.

23 Andi Hamzah, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia Dari Retribusi Ke Reformasi, (Jakarta: Pradya Paramita, 1986), h. 32.

(40)

2) Segi pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentu hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum.24

Pada hakekatnya pidana selalu melindungi masyarakat dan pembalasan atas perbuatan pelaku yang telah melanggar hukum.

Selain itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai suatu yang akan membawa kerukunan serta sebagai suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.25 Jadi memang sudah seharusnyalah tujuan pidana adalah membentuk kesejahteraan negara dan masyarakat yang tidak bertentangan dengan norma kesusilaan dan peri kemanusiaan sesuai dengan Pancasila.

3. Teori Hak Asasi Manusia

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Todung Mulya Lubis26, terdapat empat Teori Hak Asasi Manusia yang mana sering dibahas dalam berbagai kesempatan yang berkaitan dengan disiplin keilmuan yang di dalamnya ada unsur-unsur mengengai HAM, yaitu Teori Hak-hak Alami, Teori Positivisme, Teori Relativisme Kultural, Doktrin Marxis dan selain keempat teori menurut Todung Mulya Lubis terdapat pula Teori Universalisme HAM.

Selain daripada itu berkenaan dengan Teori-teori tersebut menurut Ismail Hasani,27 Teori Hak Asasi Manusia terbagi menjadi dua kamar, Teori Sumber Legitimasi Hak Asasi Manusia dan Teori Pelaksanaan Hak Asasi Manusia, yang mana dalam masing-masing kamar tersebut yaitu sebagai berikut:

24 Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, … h. 55.

25 Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, … h. 22.

26 Todung Mulya Lubis, In Search Of Human Rights; Legal-Political Dilemmas Of Indonesia’s New Order, 1966-1990, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 14.

27 Hasil wawancara bapak Ismail Hasani, di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2 Februari 2020

(41)

a. Teori Sumber Legitimasi Hak Asasi Manusia:

1) Teori Hak-hak Alami (Natural Rights Theory)

Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai seorang manusia (human right are rights that belong to all humanbeings at all times and all places by virtue of being born as human beings). Hak-hak tersebut termasuk hak untuk hidup, kebebasan dan harta kekayaan seperti yang diajukan oleh John Locke. Pengakuan tidak diperlukan bagi HAM, baik dari pemerintah atau dari suatu sistem hukum, karena HAM bersifat universal. Berdasarkan alasan ini, sumber HAM sesungguhnya semata-mata berasal dari manusia28.

Teori hak-hak kodrati kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai “Bill of Rights”, seperti yang diberlakukan oleh Parlemen Inggris (1689), Deklarasi Kemerdekaan AmerikaSerikat (1776), Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara Prancis (1789). Lebih dari satu setengah abad kemudian, di penghujung Perang Dunia II, Deklarasi Universal HAM (1948) telah disebarluaskan kepada masyarakat internasional di bawah bendera teori hak-hak kodrati. Warisan dari teori hak-hak kodrati juga dapat ditemukan dalam berbagai instrumen HAM di Benua Amerika dan Eropa.29

Teori hak kodrati menjadi asal-usul gagasan mengenai hak asasi manusia bermula dari teori hukum kodrati (natural rights theory). Teori ini dapat dirunut kembali jauh ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas.

28 Todung Mulya Lubis, In Search Of Human Rights; Legal-Political Dilemmas Of Indonesia’s New Order, 1966-1990, h. 16.

29 Todung Mulya Lubis, In Search Of Human Rights; Legal-Political Dilemmas Of Indonesia’s New Order, 1966-1990, … h. 17.

(42)

Selanjutnya, Hugo de Groot (nama latinnya: Grotius), seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai “bapak hukum internasional”, yang mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas. Dengan landasan ini lah, pada perkembangan salah seorang kaum terpelajar pasca Renaissans, John Locke mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati.

Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati tersebut yang melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.30

Teori hak-hak kodrati telah berjasa dalam menyiapkan landasan bagi suatu system hukum yang dianggap superior ketimbang hukum nasional suatu negara, yaitu norma HAM internasional. Namun demikian, kemunculan sebagai norma internasional yang berlaku di setiap negara membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak kodrati. Substansi hak-hak yang terkandung di dalamnya pun telah jauh melampaui substansi hak-hak yang terkandung dalam hak kodrati (sebagaimana yang diajukan oleh John Locke).

Kandungan hak dalam gagasan HAM sekarang bukan hanya terbatas pada hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup terkait hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak “baru”

yang disebut “hak-hak solidaritas”. Dalam konteks keseluruhan inilah seharusnya makna HAM dipahami dewasa ini.31

2) Teori Positivisme (Positivist Theory)

30 Rhona K. M. Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), h.

12.

31 Andrey Sujatmoko, Hukum HAM Dan Hukum Humaniter, Cet. 1, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 8.

Referensi

Dokumen terkait

TINDAKAN KEBIRI KIMIA PADA PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Strata I Pada Program Studi Ilmu Hukum

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan syarat- syarat yang wajib dipenuhi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekolah yang memiliki sistem full day school tidak akan menimbulkan stres akademik pada siswa jika konsep full day school diterapkan dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peran Amil dan Pegawai pencatat nikah dari KUA dalam mengatasi nikah tidak tercatat di kecamatan Sawangan Kota Depok

Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Septama (2012), yang menyatakan bahwa adanya pengaruh positif dan signifikan firm size terhadap

Pada penelitian ini, penulis menggunakan bahan analisis berupa Kontrak baku pada situs crowdfunding berbasis utang piutang yang beroperasi di Indonesia, yaitu pada

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan

.Menurut Imam Soepomo Imam Soepomo, kesehatan kerja mengacu pada aturan dan upaya yang dirancang untuk melindungi pekerja dari kerusakan yang dilakukan seseorang