• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: FATHURIAN RAMADHAN NIM.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: FATHURIAN RAMADHAN NIM."

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

i

(Studi Kasus Sj Travel Pass)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

FATHURIAN RAMADHAN NIM. 11140480000112

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1442 H/2021 M

(2)

ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI MEMBER SJ TRAVEL PASS TERHADAP PERJANJIAN BAKU DALAM PROGRAM KEANGGOTAAN KHUSU JASA

ANGKUTAN PENERBANGAN (Studi Kasus Sriwijaya Travel Pass)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

FATHURIAN RAMADHAN NIM 11140480000112

Pembimbing:

Pembimbing I

Mustolih, S.H.I, M.H., CLA.

Pembimbing II

Maman Rahman Hakim, S.E.I, M.M.

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H/2021 M

(3)

iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI MEMBER SJ TRAVEL PASS TERHADAP PERJANJIAN BAKU DALAM PROGRAM KEANGGOTAAN KHUSUS JASA ANGKUTAN PENERBANGAN (Studi Kasus Sriwijaya Travel Pass)” oleh Fathurian Ramadhan NIM 11140480000112 telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 Juli 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 12 Agustus 2021

Mengesahkan, Dekan,

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.

NIP. 19760807 200312 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASAH

Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. ( ... ) NIP. 19670203 201411 1 001

Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. ( ... ) NIP. 19650908 199503 1 001

Pembimbing I : Mustolih, S.H.I, M.H., CLA. ( ... ) NIDN. 2009088001

Pembimbing II : Maman Rahman Hakim, S.E.I., M.M. ( ... ) NIDN. 9920112987

Penguji I : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. ( ... ) NIP. 19670203 201411 1 001

Penguji II : Dr. Dewi Sukarti, M.A. ( ... )

NIP. 19720817 200112 2 001

(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Fathurian Ramadhan NIM : 11140480000112 Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 16 Januari 1997 Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Jl. Tugujaya No.50 RT.006/003 Kelurahan Tirtajaya, Kecamatan Sukamajaya, Kota Depok, Jawa Barat 16412

Nomor Handphone : 081319141110

Email : fathurianramadhan@gmail.com

Dengan ini menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penelitiian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 10 Juli 2021

Fathurian Ramadhan

NIM : 11140480000112

(5)

v ABSTRAK

Fathurian Ramadhan, NIM 11140480000112. “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI MEMBER SJ TRAVEL PASS TERHADAP PERJANJIAN BAKU DALAM PROGRAM KEANGGOTAAN KHUSUS JASA ANGKUTAN PENERBANGAN (Studi Kasus Sriwijaya Travel Pass)”

Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1442 H/2021 M.

SJ Travel Pass merupakan program keanggotaan khusus jasa angkutan penerbangan pertama kali di Indonesia yang dibuat oleh Sriwijaya Air Group, dimana dalam menggunakan program tersebut para member memiliki kebebasan dalam melakukan penerbangan (unlimited flight) domestik selama 1 tahun penuh terhitung setelah menjadi peserta member. Perjanjian yang dilakukan dalam SJ Travel Pass ini merupakan perjanjian baku dimana isi muatan klausula perjanjian tersebut telah dibakukan terlebih dahulu oleh pihak pelaku usaha dalam bentuk formulir. Didalam klausula baku yang dibuat oleh pelaku usaha memuat klausula baku yang dilarang menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dengan menyatakan bahwa “Sriwijaya Air Group memiliki hak untuk mengubah persyaratan yang berlaku dikemudian hari”. Hal itu yang dijadikan dasar bagi Pelaku Usaha untuk melakukan perubahan beberapa kali sehingga merugikan Konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kududukan serta keabsahan perjanjian baku dalam program keanggotaan khusus jasa angkutan penerbangan SJ Travel Pass dan bagaimana perlindungan hukum bagi para anggota member yang dirugikan dalam perjanjian ini, baik perlindungan preventif (pencegahan) maupun perlindungan represif (penanggulangan).

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, dengan mengacu pada norma hukum hukum yang terdapat pada peraturan perundang- undangan. Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan (statutory approach) dan pendekatan kasus (case approach) dengan menggunakan bahan data yang sudah ada dan menggunakan prosedur pengumpulan data melalui cara studi kepustakaan (library research). kemudian mengkaji dengan analisa kualitatif dan diolah dengan deskriptif melakukan studi terhadap bahan kepustakaan dengan membaca, mempelajari, menelaah, menjabarkan dan menganalisa literatur untuk mengembangkan pengkajian yang terkait dengan judul skripsi ini.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perjanjian baku SJ Travel Pass berkedudukan sebagai perjanjian baku yang dimuat dalam bentuk elektronik.

Perjanjian tersebut tidak sah menurut pasal 1320 KUH Perdata dan Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, karena tidak

memenuhi syarat objektif sebagaimana bertentangan dengan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu dimuatnya klausula

baku yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) huruf g dan huruf f. Sehingga

perjanjian tersebut batal demi hukum yang diperkuat dengan pernyataan dalam

pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

konsumen. Hukum perlindungan konsumen mewajibkan sriwijaya untuk

bertanggung jawab melakukan ganti rugi akibat mengkonsumsi jasa yang

(6)

vi

diperdagangkan, tanpa menghilangkan tanggung jawab pidana dan hukuman tambahan. Konsumen telah melakukan upaya mediasi (non-litigasi) di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, berdasarkan berita acara dengan No.02/PNG/YLKI/II/2019 hal tersebut belum melahirkan kesepakatan perdamaian dengan Pelaku Usaha. Konsumen masih dapat melakukan upaya hukum lain untuk dapat memperjuangkan hak-haknya dengan cara membuat permohonan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau Lembaga Arbitrase, atau mengajukan Gugatan perdata kepada Pengadilan Negeri dan/atau membuat laporan atas unsur tindakan pidana penipuan dan/atau penggelapan. Pelaku Usaha dapat dimintai pertanggug jawaban ganti rugi secara perdata dan/atau pidana kurungan dan/atau denda, serta diberikan tambahan sanksi administratif.

Kata kunci : Perlindungan konsumen, Perjanjian Baku, Upaya Hukum Pembimbing Skripsi : 1. Mustolih, S.H.I, M.H., CLA.

2. Maman Rahman Hakim, S.E.I, M.M.

Daftar Pustaka : 1966 s.d 2019

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya mampu menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Member SJ Travel Pass terhadap Perjanjian Baku dalam Program Keanggotaan Khusus Jasa Angkutan Penerbangan (Studi Kasus SJ Travel Pass)” dengan baik. Shalawat serta salam, saya curahkan kepada junjungan Nabi Muhammad Shollallahu „alaihi wa sallam yang berkat cahayanya berupa ilmu agama dan pengetahuan sehingga membawa risalah kebenaran bagi semua umatnya khususnya kepada umat Islam.

Pada kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih sedalam- dalamnya untuk bantuan, masukan, dan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini kepada yang terhormat :

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syaruf Hidayatullah Jakarta dan jajarannya.

2. Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi.

3. Mustolih, S.H.I, M.H., CLA. dan Maman Rahman Hakim, S.E.I, M.M. selaku pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memberikan masukan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

4. Nur Rohim, LLM. dan Muh. Fudhail Rahman, L.C, M.A. Selaku Dosen Pembimbing Akademik, yang selalu bersedia membantu kelancaran, kesuksesan dan mendukung peneliti hingga skripsi ini selesai.

5. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan dan fasilitas terbaik dalam mengadakan buku-buku kepustakaan untuk dijadikan bahan referensi peneliti.

6. Untuk kedua orang tua peneliti, Mama dan Papah, atas dukungan dan kasih sayang yang tidak ada hentinya bagi peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

Mohon maaf jika selama ini peneliti sering merepotkan. Terima Kasih Karena

(8)

viii

tidak pernah lupa mengingatkan Peneliti untuk selalu belajar dan berdo‟a kepada Allah demi kelancaran penyusunan skripsi ini.

7. Semua pihak yang terkait yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.

Tidak ada hadiah yang lebih bernilai selain do‟a yang bisa peneliti berikan untuk membalas jasa-jasa kalian.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan balasan terindah yang berlimpah, serta memberikan keberkahan bagi kita semua. Aamiin ya rabbal’alamin.

Jakarta, 10 Juli 2021

Fathurian Ramadhan

(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian ... 8

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 11

F. Sistematika Pembahasan ... 12

BAB II TINJAUAN TENTANG HUKUM PERJANJIAN BAKU, PERJANJIAN ELEKTRONIK DAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 14

A. Kerangka Konseptual ... 14

1. Perjanjian ... 14

2. Perjanjian Baku ... 22

3. Perjanjian Elektronik ... 26

4. Perlindungan Konsumen ... 28

B. Kajian Teori ... 34

1. Teori Perlindungan Hukum ... 34

2. Teori Keadilan ... 36

3. Teori Kepastian ... 39

BAB III PROFIL PERUSAHAAN PENYELENGGARA, PROGRAM SRIWIJAYA DAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN ... 42

A. PT. Sriwijaya Air ... 42

B. Sriwijaya Travel Pass ... 43

C. Penyelesian Sengketa Konsumen ... 50 BAB IV TINJAUAN KEDUDUKAN DAN KEABSAHAN

PERJANJIAN BAKU SERTA PERLINDUNGAN HUKUM

(10)

x

BAGI MEMBER TERHADAP PERJANJIAN BAKU

DALAM SJ TRAVEL PASS ... 53

A. Kedudukan dan keabsahan perjanjian baku dalam Sriwijaya Travel Pass ditinjau dari KUH Perdata dan UUPK ... 53

B. Perlindungan hukum bagi member terhadap perjanjian baku dalam Sriwijaya Travel Pass ... 68

BAB V PENUTUP ... 93

A. Kesimpulan ... 93

B. Rekomendasi ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 96

LAMPIRAN ... 101

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transportasi merupakan sarana penting dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan, mempengaruhi semua aspek kehidupan Bangsa dan Negara serta mempererat hubungan antar Bangsa.

Pentingnya transportasi tersebut tercermin pada semakin meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas orang maupun barang dari dan keseluruh pelosok Tanah Air, bahkan dari dan keluar negeri. Transportasi juga berperan sebagai penunjang, pendorong dan penggerak terhadap pertumbuhan daerah yang berpotensi namun belum berkembang dalam upaya peningkatan dan pemerataan pembangunan.

Kondisi geografis Indonesia yang kepulauan menjadikan moda transportasi udara berperan sangat penting sebagai penghubung pulau satu dengan pulau lainnya. Dalam hal ini pesawat udara adalah moda transportasi udara yang memiliki nilai sangat penting di Indonesia, karena Pesawat udara mempunyai karakteristik antara lain mampu mencapai tempat tujuan dalam waktu cepat, menggunakan teknologi tinggi, tidak mengenal batas suatu negara, memiliki tingkat keamanan dan keselamatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan moda transportasi lainnya.

1

Meskipun biaya menggunakan moda transportasi udara terbilang cukup mahal dibandingkan moda transportasi darat ataupun laut, transportasi udara dinilai yang paling efisien dari segi waktu dibandingkan transportasi umum yang lain.

Dalam perkembangan maskapai penerbangan di Indonesia, pemerintah pada tahun 2000 mengumumkan kebijakan deregulasi penerbangan guna memudahkan perizinan pelaku usaha untuk mendirikan maskapai penerbangan baru. Kebijakan tersebut bertujuan untuk merangsang investasi transportasi dan meningkatkan bisnis penerbangan didalam negeri, juga untuk merangsang tumbuhnya layanan maskapai penerbangan berbiaya rendah di Indonesia. Tercatat sampai saat ini

1 H.K Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, (Bandung, Alumni, 1987) h. 102.

(12)

maskapai penerbangan niaga berjadwal telah ada 13 maskapai yang masih aktif beroperasi di Indonesia.

Saat ini penggunaan pesawat udara menjadi salah satu moda transportasi yang diminati di Indonesia. Tercatat dalam beberapa tahun terakhir jumlah penumpang pesawat di Indonesia terus bertambah rata-rata mencapai 11% setiap tahunnya.

2

Meninggkatnya jumlah calon penumpang tersebut mengakibatkan persaingan- persaingan antar perusahaan jasa penerbangan. Salah satu wujud persaingan antar pelaku usaha jasa penerbangan adalah dengan adanya promo-promo ataupun program-program khusus untuk menarik minat para calon penumpang.

Pada dasarnya, Promosi merupakan salah satu cara pelaku usaha untuk meraih target pemasaran yang belum tercapai. Tujuan dari promosi adalah meningkatkan awareness meningkatkan persepsi konsumen, menarik pembeli pertama, mencapai persentase yang lebih tinggi untuk konsumen yang berulang, menciptakan loyalitas merek, meningkatkan average check, serta meningkatkan penjualan pada waktu-waktu tertentu. Adapun cara promosi yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha antara lain dengan promosi mounth by mounth, mengikuti even- even tertentu, mengadakan diskon khusus pada saat tertentu, ataupun memberi member card pada pelanggan atau konsumen.

3

Namun dalam memilih promo ataupun program jasa penerbangan, para calon penumpang sebaiknya mengetahui dengan baik hak-haknya sebagai konsumen yang dilindungi hukum sebelum membeli promo atau program dari pelaku usaha jasa penerbangan. Konsumen memiliki resiko yang lebih besar dari pelaku usaha, karena para pelaku usaha didalam menjalankan usahanya menerapkan prinsip ekonomi, yaitu mendapat keuntungan semaksimal mungkin dengan pengeluaran seminimal mungkin. Prinsip inilah yang kemudian mendorong para pelaku usaha untuk melakukan tindakan merugikan konsumen.

Kondisi tersebut menggambarkan adanya ketidakseimbangan kedudukan antara pelaku usaha dengan konsumen sebagai pihak yang lemah, baik dari segi ekonomi maupun daya tawar. Kedudukan konsumen yang berada pada kedudukan yang lemah membutuhkan suatu perlindungan terhadap

2 http://hubud.dephub.go.id/?id/news/detail/3415 (diakses pada 28 januari 2019)

3 Rina Rachmawati, “Peranan Bauran Pemasaran (Marketing Mix) terhadap Peningkatan Penjualan”, Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 2, No. 2, Mei 2011, h.146.

(13)

kepentingannya. Hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha yang terus berkembang membutuhkan suatu aturan yang memberikan kepastian terhadap tanggung jawab, hak dan kewajiban dari masing-masing pihak.

4

Untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dalam melakukan kegiatan pembelian barang dan/atau jasa, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Selanjutnya disebut UUPK). Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen bertujuan agar perlindungan konsumen di Indonesia dapat lebih diperhatikan sekaligus mengintegrasikannya dapat memperkuat penegakan hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini memuat aturan-aturan yang dijadikan payung hukum yang menyangkut konsumen.

Perjanjian dalam transaksi antara pelaku usaha barang dan/atau jasa dengan konsumen biasanya dilakukan secara lisan maupun tertulis. Salah satu bentuk perjanjian antara konsumen dengan pelaku usaha secara tertulis adalah perjanjian yang sudah dalam bentuk baku (perjanjian baku). Perjanjian baku adalah perjanjian yang seluruh klausula-klausulanya telah distandarisasi atau dibakukan secara sepihak oleh pelaku usaha, serta bersifat massal tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen. Perjanjian tersebut tidak dapat ditawar atau dinegoisasikan oleh pihak lainnya (take it or leave it). Isi atas ketentuan yang terdapat di dalam kontrak baku biasanya disebut klausula baku (standardized clause).

5

Perjanjian baku atau standar contract memiliki karakteristik sebagai ciri- ciri dari suatu perjanjian baku sebagai berikut:

6

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) lebih kuat.

2. Masyarakat (debitur/konsumen) sama sekali tidak bersama-sama menentukan perjanjian.

3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur/konsumen terpaksa menerima perjanjian itu.

4 Sri Redjeki, Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Pada Era Perdagangan Bebas, (Bandung: Mandar Maju, 2000), h. 34.

5 Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen; Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran, FH Unlam Press (Bandung: Nusa Media 2008) h. 96.

6 Salim H.S., Hukum Kontrak (Teori & Teknik Penyusunan Kontrak), (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2006), h. 146.

(14)

4. Bentuk tertentu.

5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif

Materi klausula baku bukanlah hasil suatu kesepakatan melainkan hasil pemaksaan kepada pihak lain untuk menerima atau tidak menerima sama sekali sehingga dapat menimbulkan suatu kondisi yang tidak seimbang antara pelaku usaha dan konsumen.

7

Apabila dalam suatu perjanjian kedudukan para pihak tidak seimbang, maka pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul- betul bebas untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian.

Pada prinsipnya, pencantuman klausula baku dalam perjanjian baku tidaklah dilarang. melainkan hanyalah pencantuman klausula baku yang memberatkan atau merugikan konsumen sebagaimana yang diatur dalam UUPK. Selama pencantuman klausula baku tidaklah memenuhi kriteria dari 8 (delapan) daftar klausula baku terlarang yang disebutkan di dalam UUPK, maka pencantuman klausula baku tersebut masih dibenarkan dan boleh saja diterapkan. Selain itu larangan ini bertujuan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak, yang mana idealnya para pihak yang terikat dalam perjanjian berada dalam posisi tawar menawar yang seimbang antara satu sama lain.

Pada prakteknya, hal-hal yang sering kali menerapkan perjanjian baku didalamnya antara lain: perbankan, asuransi, jual-beli perumahan, dan promo/program transportasi. Salah satu kasus pemberlakuan klausula baku dalam transportasi udara yang telah menimbulkan kerugian bagi konsumennya yaitu pada program khusus kenggotaan oleh Sriwijaya Air (SJ Travel Pass).

SJ Travel Pass merupakan program keanggotaan khusus yang di buat oleh Sriwijaya Air Group. Dimana dalam menggunakan program tersebut para member memiliki kebebasan dalam melakukan penerbangan (unlimited flight) domestik selama 1 tahun penuh terhitung setelah menjadi peserta member. Untuk menjadi bagian dari member tersebut terdapat syarat dan ketentuannya tersendiri. Syarat dan ketentuan yang berlaku pada SJ Travel Pass merupakan perjanjian baku atau klasula baku. Pengertian klausula baku dapat dilihat pada Pasal 1 Ayat (10)

7 H.P. Pangabean, Praktik Standaard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, (Bandung: PT. Alumni, 2012) h. 2.

(15)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yaitu setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Tentu saja syarat dan ketentuan yang berlaku pada SJ Travel Pass sudah ditentukan secara sepihak oleh pihak penyedia jasa penerbangan yaitu Sriwijaya Air Group.

Pada pelaksanaannya pihak Sriwijaya Air telah melalaikan larangan pencantuman klausula baku yang diatur dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan beberapa kali memberlakukan aturan baru yang mana dalam menentukan aturan tersebut dilakukan secara sepihak. Aturan baru tersebut mengenai pengaturan pengurangan terhadap manfaat jasa yaitu berupa pengalokasian seat penerbangan yang mana alokasi seat tersebut tidak ditentukan diawal. Juga dengan adanya pengaturan mengenai sistem tiket stand by yaitu mengenai keberangkatan member ditentukan 1 jam sebelum keberangkatan yang mana kebijakan ini tidaklah memiliki kepastian dan merugikan konsumen.

Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan adanya pencantuman klausula baku dalam syarat dan ketentuan yang di berikan oleh pihak Sriwijaya Air. Salah satu bentuk klausula baku yang ada dalam syarat dan ketentuan tersebut berbunyi

“Sriwijaya Air Group memiliki hak untuk mengubah persyaratan yang berlaku dikemudian hari”. Pencantuman klausula baku tersebut menegaskan bahwa konsumen memiliki kepatuhan perikatan pada klausula baku yang menjadi syarat dan ketentuan dalam perjanjian. Pelaku usaha memiliki dominasi lebih besar dibandingkan dengan konsumen, disini posisi konsumen lemah yang hanya menerima perjanjian dengan klausula baku tersebut begitu saja.

Faktor utama yang menjadikan konsumen lemah adalah tingkat kesadaran dan

pengetahuan. Hal tersebut dijadikan lahan bagi pelaku usaha untuk menerapkan

klausula baku yang mana dapat menimbulkan kerugian konsumen dan mencari

keuntungan sebesar-besarnya dengan memanfaatkan minimnya pengetahuan

konsumen. Posisi konsumen yang lemah harus dilindungi oleh hukum, karena

(16)

salah satu sifat sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat

8

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan, peneliti tertarik untuk melakukan penulisan skripsi dengan mengambil judul:

“Perlindungan hukum bagi member SJ Travel Pass terhadap perjanjian baku dalam program keanggotaan khusus jasa angkutan penerbangan.”

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

a. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen mengatur tentang ketentuan pencantuman klausula baku.

b. Pelaku usaha mengabaikan pelanggaran penerapan klausula baku yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

c. Konsumen dirugikan atas adanya penetapan aturan-aturan baru oleh pihak Sriwijaya Air dalam SJ Travel Pass.

d. Terjadi ketidakseimbangan kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen dalam kebebasan berkontrak.

e. Tidak adanya kejelasan informasi terkait jumlah seat bagi member diawal perjanjian.

2. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari meluasnya permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini, maka peneliti membatasi masalah yang akan diteliti dan hanya berfokus pada perindungan hukum bagi member SJ Travel Pass terhadap perjanjian baku dalam program keanggotaan khusus oleh Sriwijaya Air Group.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah dijabarkan sebelumnya mengenai penetapan klausula baku yang merugikan SJ Travel Pass

a. Bagaimana kedudukan dan keabsahan perjanjian baku dalam program SJ

8 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, edisi revisi (Jakarta:Grasindo,2004), h. 112.

(17)

Travel Pass?

b. Bagaimana perlindungan hukum bagi member terhadap klausula baku dalam program SJ Travel Pass?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian sudah dijelaskan berdasarkan permasalahn- permasalahan yang sudah dijelaskan diatas, sedangkan secara khusus tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui kedudukan dan keabsahan perjanjian baku dalam program SJ Travel Pass

b. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi member terhadap klausula baku yang merugikan dalam SJ Travel Pass

2. Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang baik tidak hanya untuk peneliti saja, tetapi juga untuk akademis dan masyarakat umum.

a. Manfaat Akademis

1) Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi peneliti lain serta perkembangan ilmu hukum kedepannya. Khususnya dalam hukum bisnis

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian bagi peneliti berikutnya dalam melakukan penelitian lebih lanjut dibidang perlindungan konsumen

b. Manfaat Praktis

1) Sebagai bahan masukan bagi pihak pelaku usaha jasa penerbangan dalam memasarkan promo-promo atau program keanggotaan khusus dan langkah-langkah untuk memperoleh kepastian hukum

2) Sebagai pedoman untuk menyelesaikan permasalahan sejenis tentang

perlindungan konsumen dalam perjanjian baku program keanggotaan

khusus jasa penerbangan

(18)

3) Sebagai bahan masukan bagi para konsumen dalam melakukan upaya hukum guna memperoleh haknya apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan merugikan

D. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metologis, sistematis dan konsisten. Oleh karena itu penulis menggunkan metode penelitian sebagai berikut:

1. Tipe Penelitian

Pada penelitian ini, metode yang digunakan peneliti dalam penelitian adalah penelitian normatif. Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum dengan pendekatan normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang- undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.

9

Adapun sifat dari penelitian yang digunakan peneliti adalah jenis penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan oleh peneliti merupakan prosuder pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan dan melukiskan keadaan subyek atau obyek pada saat sekarang berdasarkan dengan fakta yang nampak.

2. Pendekatan Masalah

Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, akan digunakan beberapa pendekatan, yaitu:

a. Pendekatan perundang-undangan (Statute approach)

Suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, pertauran perundang-undangan yang digunakan khususnya pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

b. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan kasus diterapkan dalam mengamati kasus yang telah terjadi yang berhubungan dengan permasalahan yang diangkat.

9 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumen Universitas Indonesia, 1979), h. 18.

(19)

3. Sumber Data

Sumber pada penelitian skripsi ini antara lain mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum (tersier).

a. Bahan hukum primer

Baham hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri atas perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

10

Bahan hukum primer merupakan bahan utama. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yakni bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang berupa rancangan peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, buku-buku, teks, jurnal, media cetak, dan media elektronik.

11

c. Bahan non- hukum (tersier)

Bahan non-hukum (tersier) adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non-hukum (tersier) dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Ekonomi, Sosiologi, Filsafat atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang mempunyai relevansi

10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Ed. Revisi, (Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2005), h. 181.

11 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Ahmad, Dualisme Hukum Normatif dan Empiris, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 157-158.

(20)

dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penulisan penelitian hukum normatif menggunakan prosedur pengumpulan bahan hukum dengan cara studi kepustakaan (library research) terhadap bahan-bahan hukum maupun non hukum yang berkaitan dengan topik penelitian. Teknik kepustakaan (library research) yaitu upaya untuk memperoleh data atau upaya mencari dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, artikel, dan serta jurnal hukum yang tentunya relevan dengan penelitian agar dapat dipakai untuk menjawab suatu pertanyaan atau dalam memecah suatu masalah.

5. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data yang digunakan adalah mengelola data sedemikian rupa sehingga data dan bahan hukum tersebut tersusun secara sistematis. Sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan analisis dan menarik kesimpulan dari pembahasan masalah yang ada.

6. Analisis Bahan Hukum

Penelitian ini akan dikaji dengan analisis Kualitatif, bahwa metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas.

Data yang sudah ada akan diolah dan dianalisis secara deduktif, yang selanjutnya dikaitkan dengan norma-norma hukum, doktrin-doktrin hukum, dan teori ilmu hukum yang ada. Penelitian secara kualitatif ini mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

7. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan peneliti dalam skripsi ini

berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang terdapat dalam

(21)

“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Untuk menghindari kesamaan pada penulisan skripsi ini dengan penelitian tentang perjanjian baku dalam hukum perlindungan konsumen, maka penulis melakukan penelusuran terhadap beberapa penelitian terlebih dahulu, diantaranya penelitian-penelitian tersebut yakni:

1. Skripsi yang disusun oleh Iqbal Hardian Rusbianto

12

, peneliti sebelumnya lebih membahas mengenai akibat hukum atas Perjanjian yang mencantumkan Klausula eksonerasi dalam event tahunan berupa ajang lomba lari. Perbedaan dengan Penelitian Ini adalah objek Penelitian. Dalam Penelitian ini lebih mengkaji tentang hukum mengenai keabsahan atas pencantuman Klausula Baku dalam Perjanjian berupa Membership Program serta upaya-upaya Hukum yang dilakukan dalam Penyelesaian Sengketa pada Perjanjian baku yang merugikan konsumen.

2. Skripsi oleh Sherly Hardiman

13

, peneliti hanya membahas tentang tangggung jawab pelaku usaha terhadap barang atau jasa yang tidak sesuai iklan. Pada skripsi ini persamaannya adalah terkait dengan promosi iklan yang dilakukan pelaku usaha menggunakan media elektronik, sedangkan yang menjadi pembeda dengan skripsi ini adalah peneliti membahas lebih dalam tentang kedudukan serta keabsahan dari suatu perjanjian yang merugikan, serta upaya hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen.

3. Buku yang ditulis oleh Janus Sidabalok

14

, dengan judul “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”. Dalam buku ini dijelaskan tentang bagaimana perlindungan konsumen, hubungan hukum antara konsumen dan

12 Iqbal Hardian, Perlindungan Hukum Bagi Pelari Terhadap Perjanjian Baku Dalam Ajang Bali Marathon., (Jakarta, Skripsi S1, Fakultas Syariah dan Hukum , UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019)

13 Sherly Hardiman, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Iklan Yang Tidak Benar Atau Menyesatkan Atas Barang Atau Jasa Yang Ditawarkan Kepada Konsumen “Studi Tentang Putusan MA Nomor 336 K/Pdt.Sus/2012”, (Jakarta : Skripsi S1, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanegara, 2018)

14 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014)

(22)

pelaku usaha serta akibat hukum dari pelanggaran terhadap konsumen.

Perbedaannya peneliti lebih mengacu kepada perlindungan konsumen dalam bisnis jasa. Konsumen dirugikan karena adanya perjanjian baku yang memiliki hak untuk merubah aturan dikemudian hari sehingga memungkinkan pelaku usaha melakukan pengurangan hak konsumen.

4. Jurnal Hukum bisnis oleh Desak Putu Pradnyamitha dan Anak Agung Sagung Wiratni Darmadi dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, dengan judul

“Keabsahan Trsansaksi online Ditinjau dari Hukum Perikatan”. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada pokok pembahasan yang diambil. Jurnal tersebut lebih membahas mengenai keabsahan yang ditinjau dengan hukum perikatan, sedangkan penelitian ini lebih spesifik membahas tentang Hukum dari akibat pencantuman Klausula Baku dalam Program Jasa Penerbangan, yang mana program iini merupakan kegiatan Transaksi melalui media elektronik.

15

F. Sistematika Pembahasan

Untuk menjelaskan isi skripsi secara menyeluruh ke dalam penulisan yang sistematis dan struktur maka skripsi ini peneliti susun dengan sistematika pembah- asan yang terdiri dari lima bab yaitu sebagai berikut:

Bab Pertama Pendahuluan menguraikan mengenai alasan dalam pemilihan judul, diuraikan juga mengenai Latar Belakang Masalah, Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu dan Rancangan Sistematika Pembahasan.

Bab Kedua menguraikan kerangka konseptual, tinjauan tentang hukum perlindungan konsumen, tinjaun tentang perjanjian, dan Teori yang digunakan dalam membahas mengenai perlindungan konsumen

Bab Ketiga menjelaskan lebih rinci lagi mengenai profil pembuat program keanggotaan khusus SJ Travel Pass, tinjauan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dan perlindungan hukum bagi anggota Sj Travel Pass terhadap Perjanjian baku yang merugikan konsumen.

15 Artikel Jurnal Hukum oleh Desak Putu Pradnyamitha dan Anak Agung Sagung Wiratni Darmadi, Keabsahan Transaksi Online ditinjau dari Hukum Perikatan, (Bali: Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana. 2016.)

(23)

Bab Keempat ini merupakan inti dari penelitian skripsi yaitu berisi analisis hasil penelitian mengenai perjanjian baku yang merugikan konsumen. Terdiri dari keduduakn dan keabsahan perjanjian baku ditinjau dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen dan KUH Perdata serta upaya hukumnya.

Bab Kelima atau bab penutup berisi tentang kesimpulan dan Rekomendasi.

Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu peneliti

menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu peneliti

memberikan beberapa rekomendasi yang dianggap perlu.

(24)

14 BAB II

TINJAUAN TENTANG HUKUM PERJANJIAN BAKU, PERJANJIAN ELEKTRONIK DAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Kerangka Konseptual

1. Perjanjian

Pengertian perjanjian menurut hukum perdata diatur dalam Pasal 1313 buku ketiga KUH Perdata yang menegaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian mengikatkan para pihak sebagai subjek hukum.

Dimana satu pihak memiliki hak untuk mendapatkan suatu pretasi dan pihal lainnya juga memeiliki kewajiban untuk memenuhi prestasi yang telah disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak.

Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia perjanjian adalah persetujuan yang tertulis atau lisan yang dibuat oleh dua belah pihak atau lebih, masing- masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut didalam persetujuan itu.

Perjanjian secara umum juga diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yang menyatakan “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Menurut R. Subekti, Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana ada seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

1

Abdul Kadir Muhammad dalam buku Hukum Pengangkutan Niaga menyatakan bahwa definisi mengenai perjanjian pada Pasal 1313 kurang lengkap dan memiliki beberapa kelemahan antara lain :

2

Rumusan tersebut hanya cocok untuk perjanjian sepihak karena kata “me-

1 Syahmin, Hukum Perjanjian Internasional, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 1.

2 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1998), h.80.

(25)

ngikatkan” hanya datang dari salah satu pihak.

a. Definisi tersebut terlalu luas, karena tidak disebutkan mengikatkan diri terbatas dalam lapangan hukum harta kekayaan, sehingga dapat pula mencakup perjanjian perkawinan dalam lapangan hukum keluarga.

b. Tanpa menyebut tujuan, sehingga tidak jelas untuk apa para pihak mengikatkan diri. Atas kekurangan-kekurangan tersebut, beliau melengkapi definisi perjanjian ialah suatu persetujuan dehan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lingkup hukum harta kekayaan.

Berdasarkan definisi perjanjian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian memiliki beberapa unsur sebagai berikut:

1

1) Adanya pihak-pihak sedikitnya dua pihak 2) Adanya perjanjian antara para pihak 3) Adanya tujuan yang hedak dicapai 4) Adanya prestasi yang akan dilaksanakan

Secara umum, Perjanjian terbagi menjadi dua jenis, yaitu perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama. Perjanjian Bernama ialah Perjanjian yang mempunyai nama tersendiri, yang mana perjanjian tersebut telah diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang. Ketentuan Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V s/d XVIII KUH Perdata. Sedangkan Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, akan tetapi terdapat di masyarakat. Lahirnya perjanjian ini berdasarkan adanya asas kebebasan mengadakan perjanjian yang berlaku dalam hukum perjanjian.

a. Asas – asas Perjanjian

Asas hukum merupakan suatu pikiran dasar yang bersifat umum dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan perundang-undangan atau putusan-putusanhakim yang merupakan ciri umum dari peraturan kongkrit.

1 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni,1990), h. 79.

(26)

Dalam Pasal 1338 KUH Perdata mengandung 4 (empat) asas utama dalam perjanjian, yaitu:

1) Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)

Asas kebebasan berkontrak ini adalah setiap orang bebas untuk menentukan kontrak, mengatur sendiri isi perjanjian yang akan mengikat pembuatnya.

2

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. berdasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) BW bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan Undang-undang berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya.

Pembatasan mengenai pembebasan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan sebagaimana: “Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.”

2) Asas Konsensualisme

Asas Konsensualisme dalam istilah latin disebut “consensus” berarti sepakat. yang mana berarti adanya kesepakatan dalam suatu perjanjian.

Dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengatur tentang sayarat sah perjanian, dimana salah satunya adalah “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”.

3) Asas Mengikatnya Perjanjian (Pacta Sunt Servanda)

Asas pacta sunt servanda ini berhubungan dengan akibat dari perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak bersifat mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata.

Dalam ketentuan tersebut berarti perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak. Karena terdapat larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya hakim untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak

2 J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), h. 360.

(27)

tersebut, maka asas pacta sunt servanda disebut juga sebagai asas kepastian hukum.

4) Asas Itikad Baik

Itikad baik (good faith) merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, asas ini berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi para pihak di dalam perjanjian.

Asas ini didasarkan pada pelaksanaan perjanjian hasrus dengan dasar kepercayaan para pihak, dan keinginan untuk melakkukan segala bentuk maksud serta tujuan dari suatu perjanjian secara sungguh-sungguh.

b. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Didalam perjanjian diatur mengenai beberapa syarat sahnya suatu perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu:

1) Kesepakatan antara kedua belah pihak 2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian 3) Mengenai suatu hal tertentu

KUH Perdata mengatur mengenai hal tertentu didalam Pasal 1332, yaitu “Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok persetujuan.” dan dalam Pasal 1333 juga dinyatakan bahwa “Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang- kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.”

4) Suatu sebab yang halal.

Syarat sah yang pertama dan kedua merupakan syarat subjektif, yaitu meliputi pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Apabila ketentuan syarat yang pertama dan kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan.

Sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, karena menyangkut objek dalam perjanjian tersebut. Apabila syarat ketiga dan keempat tidak dapat dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Dalam arti bahwa perjnajian tersebut dianggap tidak pernah ada.

(28)

c. Bentuk - Bentuk Perjanjian

Untuk membuat suatu perjanjian pada dasarnya tidak hanya terikat dengan suatu bentuk tertentu saja. Didalam KUH Perdata sendiri tidak menyebutkan secara sistematis tentang bentuk perjanjian. Setiap pihak yang melakukan perjanjian mempunyai kebebasan dalam membuat perjanjian, dalam arti bebas membuat perjanjian secara lisan atau tertulis.

3

Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang buat oleh para pihak dalam bentuk tulisan, sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak).

Dalam praktiknya, biasanya perjanjian lisan cukup banyak digunakan dalam kegiatan bisnis. Perjanjian lisan pada umumnya diterapkan hanya dengan menggunakan suatu ucapan oleh para pihak. Penggunaan perjanjian lisan juga biasanya dilakukan tanpa disadari oleh para pelaku bisnis tersebut.

Perjanjian dalam bentuk tidak tertulis atau perjanjian lisan pada umumnya cenderung dianggap sebagai perjanjian yang lemah, mengingat perjanjian lisan lebih susah untuk dibuktikan karena lebih mudah untuk disangkal oleh pihak yang berjanji jika dibandingkan dengan perjanjian tertulis yang klausulnya tertulis dengan jelas dan disertai tanda tangan para pihak sebagai tanda terjadinya kesepakatan.

d. Jenis-Jenis Perjanjian

Perjanjian terdiri dari dua macam, yaitu perjanjian obligatoir dan perjanjian non obligatoir.

4

1. Perjanjian Obligatoir

Perjanjian ini mengharuskan/mewajibkan seseorang untuk membayar atau menyerahkan sesuatu baik barang ataupun jasa. Menurut KUH Perdata perjanjian saja belum lagi mengakibatkan beralihnya hak milik atas suatu benda dari penjual kepada pembeli. Fase ini merupakan kesepakatan dan harus diikuti dengan perjanjian penyerahan (perjanjian kebendaan). Terdapat beberapa macam perjanjian obligatoir yaitu:

3 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta, Sinar Grafika,2003), h.9.

4 Komariah, Hukum perdata, (Malang: UMM Press, 2019), h. 175.

(29)

a) Perjanjian Sepihak adalah perjanjian yang hanya ada kewajiban pada satu pihak dan hanya ada hak pada pihak lain (hibah atau pinjam pakai).Perjanjian Timbal Balik adalah perjanjian dimana hak dan kewajiban ada pada kedua belah pihak. Pihak yang berkewajiban melakukan prestasi juga berhak menuntut suatu kontra prestasi (jual beli, sewa-menyewa).

b) Perjanjian Cuma-Cuma adalah perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan tiada mendapatkan nimat dari padanya (hibah).

c) Perjanjian Atas Beban adalah perjanjian yang mewajibkan masing- masing pihak memberikan prestasi dengan memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan atau tidak berbuat sesuatu (jual beli dan perjanjian sewa-menyewa).

d) Perjanjian Konsensuil adalah perjanjian yang mengikat sejak adanya kesepakatan (consensus) dari kedua belah pihak. Perjanjian lahir sejak detik tercapainya kata sepakat dari kedua belah pihak (jual beli, sewa-menyewa, atau pengangkutan).

e) Perjanjian Riil adalah perjanjian yang mengikat jika disertai dengan perbuatan/tindakan nyata. Perjanjian tersebut belum mengikat kedua belah pihak dengan kata sepakat (perjanjian barang atau pinjam pakai).

f) Perjanjian Formil adalah perjanjian yang terikat pada bentuk tertentu, bentuknya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku (jual beli tanah harus dengan akte PPAT).

g) Perjanjian Bernama adalah perjanjian khusus yang ditur dan disebutkan dalam KUH Perdata Buku III Bab V s/d Bab XVII dan dalam KUHD (jual beli, sewa-menyewa, penitipan barang, pengangkutan, asuransi, atau pinjam pakai.

h) Perjanjian Tak Bernama adalah perjanjian yang tidak diatur dan

tidak disebutkan dalam KUH Perdata maupun dalam KUHD.

(30)

i) Perjanjian Campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, perjanjian ini tidak diatur dalam BW maupun KUHD (sewa beli).

2. Perjanjian Non Obligatoir

Perjanjian ini tidak mengharuskan seseorang membayar/memyerahkan sesuatu. Terdapat beberapa macam perjanjian non obligatoir, yaitu:

a) Zakelijk Overeenkomst adalah perjanjian yang menetapkan dipindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain, objeknya adalah hak (balik nama atas tanah).

b) Bevifs Overeenkomst adalah perjanjian untuk membuktikan sesuatu.

Perjanjian ini umumnya ditujukan pada hakim.

c) Liberatoir Overeenkomst adalah perjanjian diamana seseorang membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban. Misalnya A berhutang kepada B, kemudian B mengadakan perjanjian liberatoir yakni mulai sekarang A tidak usah membayar hutang tersebut.

d) Vaststelling Overeenkomst adalah perjanjian untuk mengakhiri perselisihan yang ada di muka pengadilan. Contoh perjanjian ini adalah dading (perjanjian antara kedua belah pihak untuk mengakhiri perselisihan yang ada di muka pengadilan).

e. Akibat Hukum Perjanjian

Soeroso menjelaskan mengenai akibat dari suatu perjanjian yang dibuat secara sah sebagai berikut :

1) Berlaku sebagai Undang-Undang yan mengikat bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 Ayat(1) KUH Perdata)

2) Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya (Pasal 1340 KUH Perdata) dan perjanjian dapat mengikat pihak ketiga apabila telah diperjanjikan sebelumnya (Pasal 1317 KUH Perdata).

3) Para pihak dalam perjanjian tidak dapat secara sepihak menarik diri

dari akibat-akibat yang timbul dari suatu perjanjian yang telah dibuat

oleh mereka (Pasal 1338 Ayat (2) KUH Perdata).

(31)

4) Mengenai kebatalan atau nulitas dalam perjanjian.

5

Suatu Perjanjian yang dibuat apabila tidak memenuhi salah satu atau lebih persyaratan yang ditentukan sesuai ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian tersebut menjadi tidak sah. Yang berarti perjanjian tersebut terancam batal. Berikut merupakan macam-macam kebatalan dalam perjanjian, yaitu :

6

1) Perjanjian yang dapat dibatalkan.

Perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan jika perjanjian tersebut dalam pelaksanaannya akan merugikan pihak-pihak tertentu. Pembatalan tersebut dapat dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian dan dapat dimintakan apabila tidak terjadi kesepakatan bebas dari pihak yang membuat perjanjian dan salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap bertindak menurut hukum.

Apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya perjanjian tetap berlaku dan wajib dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan selama perjanjian tersebut belum dibatalkan.

2) Perjanjian yang batal demi hukum

Suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum, yang berarti perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya jika terjadi pelanggaran terhadap syarat objektif dari sahnya suatu perjanjian. Dengan katalain perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif akan batal demi hukum.

Artinya perjanjian dianggap tidak pernah ada.

3) Kebatalan relatif dan kebatalan mutlak

Suatu kebatalan dikatakan relatif jika kebatalan tersebut hanya berlaku terhadap individu orang perorangan tertentu saja, dan disebut mutlak jika kebatalan tersebut berlaku umum terhadap seluruh anggota masyarakat tanpa terkecuali. Perjanjian yang dapat dibatalkan dapat saja berlaku

5 R. Soeroso, Perjanjian di Bawah Tangan (Pedoman Pembuatan dan Aplikasi Hukum), (Bandung: Alumni, 1999), h. 19.

6 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 2006), h.165.

(32)

relatif atau mutlak, meskipun tiap-tiap perjanjian yang batal demi hukum pasti berlaku mutlak.

f. Berakhirnya Suatu Perjanjian

Suatu perjanjian dapat dikatakan berkahir apabila segala perikatan- perikatan yang timbul dari suatu perjanjian tersebut hapus seluruhnya.

Berakhirnya atau terhapusnya perjanjian, pada umumnya yaitu ketika segala tujuan dari perjanjian tersebut yang dibuat oleh para pihak telah tercapai. Ada beberapa sebab yang membuat berakhirnya suatu perjanjian yaitu:

7

1) Ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian

2) Undang-undang yang menentukan batas waktu berlakunya perjanjian.

3) Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka perjanjian akan dihapus.

4) Pernyataan penghentian perjanjian (Opzegging). Dapat dilakukan oleh salah satu pihak

5) Terhapus karena putusan hakim 6) Tujuan perjanjian telah tercapai

7) Berkahir karena persetujuan para pihak (Herroeping).

2. Perjanjian Baku

Istilah perjanjian baku disebut juga perjanjian standar, dalam bahasa Inggris disebut dengan standard contract, dalam bahasa belanda dikenal standard voorwarden.

Menurut Abdulkadir Muhammad, Perjanjian baku adalah perjanjian yang menjadi tolak ukur yang digunakan sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha.

8

Perjanjian atau kontrak baku menurut Sutan Remy Sjahdeni adalah perjanjian yang hampir seluruh kalusula-klausulanya sudah dibakukan oleh

7 R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta,1987), h. 69.

8 Abdulkadir Muhammad., Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, (Bandung: PT Citra Aditya bakti, 1992), h. 6.

(33)

pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.

9

Dengan menggunakan perjanjian baku ini, maka pengusaha akan memperoleh efisiensi dalam pengeluaran biaya, tenaga, dan waktu.

Sehubungan dengan sifat massal dan kolektif, perjanjian baku ini dinamakan sebagai “take it or leave it contract” yang artinya pihak debitur hanya dapat menerima atau tidak sama sekali, jika tidak diterima oleh debitur, maka kemungkinan untuk mengadakan perubahan itu sama sekali tidak ada. Pada awal kemunculannya perjanjian baku karena keadan sosial ekonomi. Saat itu, perusahaan besar dan perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka,ditentukan syarat-syarat secara sepihak. Pihak lawan pada dasarnya mempunyai kedudukan (ekonomi) yang lemah karena posisinya, maupun karena ketidaktahuannya, hanya menerima apa yang ditawarkan.

10

Pendapat pertama datang dari pemikiran Sluitjer yang menyatakan bahwa perbuatan kreditur secara sepihak menentukan isi perjanjian standar, secara materil akan melahirkan legio particuliere wetgevers (pembentuk undang- undang swasta). Oleh karena itu, menurutnya bahwa perjanjian baku bukan merupakan perjanjian, karena syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian. Sedangkan dalam pandangan Pitlo, bahwa perjanjian standar ini adalah suatu

“dwangkontract”, karena kebebasan pihakpihak yang dijamin oleh Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata sudah dilanggar. Pihak yang lemah (debitur) terpaksa menerima hal ini sebab mereka tidak mampu berbuat lain.

11

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kalusula baku merupakan isi dari suatu perjanjian dan dengan demikian klausula baku identik dengan perjanjian baku. Perjanjian baku juga bersifat paksa.

Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, ketentuan mengenai perjanjian baku ini tidak dimuat secara khusus, melainkan diatur perihal

9 Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan Dengan Penjelasanya, (Bandung:

Alumni, 1993), h.140.

10 Mariam Darus Barulzaman, Aneka Hukum Bisnis (Bandung, Alumni, 1994), h. 46.

11 David Tobing, Klausula Baku : Paradoks Dalam Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2019), h. 23-24.

(34)

klausula baku, yang definisinya terdapat dalam Pasal 1 angka (10) Undang- undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu;

Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

a. Jenis Perjanjian Baku

Perjanjian baku dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:

12

1) Perjanjian baku sepihak

Jenis ini adalah Perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang Kuat kedudukannya di dalam perjanjian. Pihak yang kuat kedudukannya disini dilihat dari sisi ekonomi maupun kekuasaannya.

2) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah

Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah ialah perjanjian yang isisnya telah ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu. Misalnya, perjanjian-perjanjian yang mempunyai obyek atas tanah.

3) Perjanjian baku yang ditentukan dalam lingkungan notaris atau advokat

Jenis perjanjian baku ini adalah perjanjian yang konsepnya untuk memenuhi permintaan dari masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan.

b. Perjanjian Baku yang Dilarang Oleh Undang-Undang

Salah satu alasan yang menyebabkan munculnya pengaturan klausula baku dalam UUPK adalah karena banyaknya kalusula baku yang sangat merugikan pihak konsumen. Pembuatan klausula baku yang merugikan konsumen dianggap membuat posisi tawar-menawar konsumen menajdi sangat lemah. Namun, klausula baku bukanlah menjadi suatu hal yang perlu “diharamkan”. Seperti halnya yang diterapkan oleh negara lain, di Indonesia klausula baku banyak digunakan dalam perjanjian, khususnya perjanjian yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.

12 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka hukum Bisnis, (Bandung :Alumni, 1994), h.49-50.

(35)

Terkait hal tersebut, Clayton mencatat, setidaknya ada tiga keuntungan yang dapat diperoleh dari klausula baku, yaitu: Pertama, klausula baku menekan biaya transaksi. Kedua, menghasilkan manfaat yang terkait dengan eksternalitas jaringan. Ketiga, memudahkan kontrol biaya agensi dalam trnsaksi pasar. Baik dan buruknya klausula baku tersebut, pembentuk undang-undang menekankan ide perlindungan konsumen dari konsep keseimbangan antara para pihak. Dalam kerangka tersebut, UUPK dihadirkan sebagai sebuah perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat mewujudkan keseimbangan. Perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga terciptalah perekonomian yang sehat.

13

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur klausula baku yang dilarang untuk digunakan atau disebut sebagai klausula eksonerasi. Pelarangan tersebut tercantum dalam Pasal 18 Ayat (1) yang berbunyi:

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

1) Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

2) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

3) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

4) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

5) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

6) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

7) Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

13 David Tobing, Klausula Baku : Paradoks Dalam Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen, ……, h. 34-35.

(36)

8) Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.”

David Tobing mengemukakan Pendapatnya bahwa larangan pencantuman klausula baku dalam Pasal 18 UUPK, pada prinsipnya dapat digolongkan kedalam 4 (empat) bagian:

1) Larangan klausula baku tertentu dalam dokumen dan/atau Perjanjian;

2) Standar pencantuman klausula baku dalam perjanjian;

3) Akibat dari pencantuman klausula baku yang tidak sesuai dengan UUPK; dan

4) Kewajiban pelaku usaha untuk mematuhi pengaturan klausula sesuai dengan Undang-Undang Pelrindungan Konsumen.

Dalam asal 18 UUPK, dalam kaitannya diposisikan sebagai sebuah nilai, Gustav Radbruch pernah berbicara tentang “legal idea” yang menurutnya harus sejalan dengan “justice, purprose, and legal certainty”. Sebagai

“keadilan”, Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUPK ditujukan sebagai perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang beradab.

Karena hal tersebut, larangan terhadap pencantuman klausula baku diciptakan agar setiap individu anggota masyarakat dan penyelenggara negara melakukan suatu tindakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan kehidupan bersama, atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan. Jika tindakan yang diperintahkan tidak dilakukan atas dasar suatu larangan yang dilanggar, tatanan sosial akan terganggu karena tercerainya keadilan.

Untuk mengembalikan tertib kehidupan bermasyarakat, keadilan harus ditegakan.

14

3. Perjanjian Elektronik a. Pengertian

Mustolih Hakim berpendapat bahwa E-commerce adalah kepanjangan dari Electronic Commerce yaitu perdagangan yang memperguna-kan fasilitas elektronik (internet). Seseorang yang berminat untuk berbisnis di internet dengan e-commerce, bisa membangun bisnis perdagangan secara online,

14 David Tobing, Klausula Baku : Paradoks Dalam Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen, ……, h. 39-40.

Referensi

Dokumen terkait

Pada proses khlorinasi langsung ini diperoleh .hasil percobaan sebagai berikut : kecepatan alir gas Cl2 sebesar 4,4 liter/menit, tinggi bed sekitar 6 cm dari dasar

MIKAEL SURAKARTA 30/42 SMA PANGUDI

Pada penelitian ini, penulis menggunakan bahan analisis berupa Kontrak baku pada situs crowdfunding berbasis utang piutang yang beroperasi di Indonesia, yaitu pada

Skor 4: siswa yang menanggapi pendapat orang lain dengan disertai alasan yang logis dan disertai bukti pendukung yang tepat. Skor 3: siswa yang menaggapi pendapat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peran Amil dan Pegawai pencatat nikah dari KUA dalam mengatasi nikah tidak tercatat di kecamatan Sawangan Kota Depok

Rantai Pemasaran durian tidak terlalu rumit, sama dengan pemasaran duku. Durian yang telah jatuh kemudian dikumpulkan oleh petani pada pondok-pondok kecil di lahan tersebut. Hasil

Soelianti Saroso ini juga menegaskan bahwa jika kita mengalami sakit gigi tidak tertahankan pada masa pandemi COVID-19, maka hal pertama yang bisa dilakukan adalah

Hukum progresif karena bertitik-tolak dari pengandaian dasar tentang hubungan antara hukum dan manusia; maka hukum adalah untuk manusia bukan sebaliknya, disisi lain