• Tidak ada hasil yang ditemukan

DETERMINAN KEPATUHAN MINUM OBAT UNTUK MENCEGAH PENYAKIT FILARIASIS DI DESA BULAN-BULAN KABUPATEN BATUBARA TAHUN 2020 SKRIPSI. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DETERMINAN KEPATUHAN MINUM OBAT UNTUK MENCEGAH PENYAKIT FILARIASIS DI DESA BULAN-BULAN KABUPATEN BATUBARA TAHUN 2020 SKRIPSI. Oleh"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

BULAN-BULAN KABUPATEN BATUBARA TAHUN 2020

SKRIPSI

Oleh

FIRA KHAIRUNISA NIM: 151000132

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2022

(2)

IN THE VILLAGE IN 2020

SKRIPSI

By

FIRA KHAIRUNISA NIM: 151000132

PUBLIC HEALTH UNDERGRADUATE PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2022

(3)

DETERMINAN KEPATUHAN MINUM OBAT UNTUKMENCEGAH PENYAKIT FILARIASIS DI DESABULAN-BULAN KABUPATEN BATUBARATAHUN 2020 Fira Khairunisa151000132

FKM 2022

(4)

BULAN-BULAN KABUPATEN BATUBARA TAHUN 2020

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

FIRA KHAIRUNISA NIM. 151000132

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2022

(5)
(6)

ii Telah diuji dan dipertahankan

Pada tanggal: 20 September 2021

TIM PENGUJI SKRIPSI

Ketua : dr. Rusmalawaty, M.Kes.

Anggota : 1. dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D 2. Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes.

(7)

iii

Pernyataan Keaslian Skripsi

Saya menyatakan dengan ini bahwa skripsi saya yang berjudul

“Determinan Kepatuhan Minum Obat untuk Mencegah Penyakit Filariasis di Desa Bulan-Bulan Kabupaten Batubara Tahun 2021” beserta seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, 17 Oktober 2021

Fira Khairunisa

(8)

iv Abstrak

Filariasis merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filarial dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini dapat menimbulkan cacat menetap dan akan menghambar produktifitas. WHO menyatakan di dunia terdapat 893 juta penduduk yang berisiko tertular penyakit filariasis. Kasus yang berada di Asia Tenggara diperkirakan sebesar 60%. Pada tahun 2018, di Indonesia dilaporkan 12.667 kasus klinis kronis filariasis, di provinsi Sumatera Utara mencapai 111 kasus. Desa Bulan-Bulan memiliki jumlah penderita terbanyak di Kabupaten Batu Bara. Berdasarkan survei awal, didapatkan bahwa dari 5 orang yang berisiko filariasis, menyatakan takut mengkonsumsi obat anti filariasis karena efek samping yang ditimbulkan, dan tidak minum obat anti filariasis karena tidak meraka terkena filariasis sehingga tidak perlu mengkonsumsi obat.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif dengan pendekatan cross sectional, untuk mengetahui kepatuhan masyarakat dalam meminum obat anti filariasis sebagai bentuk upaya pencegahan penyakit filariasis di Desa Bulan-Bulan dengan waktu penelitian mulai dari Oktober 2019 sampai dengan selesai. Populasi penelitian adalah seluruh masyarakat Desa Bulan-Bulan dengan jumlah sampel sebesar 94 orang.

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik random sampling.

Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan uji chi-square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang mempunyai hubungan dengan kepatuhan minum obat anti filariasis yaitu pekerjaan (p=0,002), pengetahuan (p=0,010), persepsi efek samping obat (p=0,002), dan petugas kesehatan (p=0,013). Diharapkan agar pihak puskesmas dapat memberikan edukasi terkait pentingnya minum obat anti filariasis untuk pencegahan penularan filariasis.

Kata kunci: Filariasis, kepatuhan minum obat, pengetahuan

(9)

v Abstract

Filariasis is a chronic infectious disease caused by filarial worms and is transmitted through mosquito bites. This disease can cause permanent disability and will hamper productivity. WHO states that in the world there are 893 million people who are at risk of contracting filariasis. Cases in Southeast Asia are estimated at 60%. In 2018, Indonesia reported 12,667 chronic clinical cases of filariasis, in North Sumatra province it reached 111 cases. Bulan-Bulan Village has the highest number of sufferers in Batu Bara Regency. Based on the initial survey, it was found that out of 5 people at risk of filariasis, expressed fear of taking anti-filariasis drugs because of the side effects, and did not take anti- filariasis drugs because they did not have filariasis, so they did not need to take drugs. The type of research used is descriptive quantitative research with a cross sectional approach, to determine community compliance in taking anti-filariasis drugs as a form of prevention of filariasis in Bulan-Bulan Village with the research time starting from October 2019 until the end. The research population is the entire community of Bulan-Bulan Village with a total sample of 94 people.

Sampling in this study using random sampling technique. Data were collected using a questionnaire and analyzed using chi-square test. The results showed that the variables that had a relationship with adherence to taking anti-filariasis drugs were occupation (p=0.002), knowledge (p=0.010), perception of drug side effects (p=0.002), and health workers (p=0.013). It is hoped that the puskesmas can provide education regarding the importance of taking anti-filariasis drugs to prevent filariasis transmission.

Keywords: Filariasis, medication adherence, knowledge

(10)

vi

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala berkah yang telah diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul . Skripsi ini adalah salah satu syarat yang ditetapkan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak baik moril maupun materil. Pada kesempatan ini,penulis menyampaikan ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Muryanto Amin., S.Sos, M.Si., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si., selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes., selaku Ketua Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. dr. Rusmalawaty, M.Kes., selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan dengan sabar memberikan bimbingan, arahan, dan masukan kepada penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.

(11)

vii

5. dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D., selaku Dosen Penguji I dan Dr. Drs.

Zulfendri, M.Kes., selaku Dosen Penguji II yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam penyempurnaan skripsi ini.

6. Prof. Dr. Ir. Evawany Yunita Aritonang, M.Si., selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah membimbing penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

7. Para Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara atas ilmu yang telah diajarkan selama ini kepada penulis.

8. Pegawai dan Staf Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Kepala Dinas Kesehatan Batu Bara dan seluruh masyarakat desa Bulan-Bulan yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian.

10. Teristimewa untuk kedua orang tua Yulfadiaz, S.E, M.Si dan Lismawati yang selalu memberikan kasih sayang, doa, bimbingan, arahan serta memberikan apapun demi kebahagiaan dan kesuksesan penulis.

11. Untuk saudara kandung Muhammad Fadillah dan Ahmad Salim yang telah memberikan semangat kepada penulis.

12. Untuk seseorang teman yang terbaik Ariadi Irpan yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan arahan, melakukan penelitian, menyemangati, selalu sedia saat penulis membutuhkan pertolongan dalam menyelesaikan skripsi.

(12)

viii

13. Untuk sahabat terbaik, selalu membantu penulis Febriyanti Safitri, Fadilah Sartika, dan Septina Daulay yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi serta selalu saling menyemangati satu sama lain.

14. Untuk teman-teman penulis lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang selalu sedia membantu dalam menyelesaikan skripsi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan kontribusi yang positif dan bermanfaat bagi pembaca.

Medan, 17 Oktober 2021

Fira Khairunisa

(13)

ix

Riwayat Hidup

Penulis bernama Fira Khairunisa berumur 23 tahun. Penulis lahir di Medan, pada tanggal 07 Juli 1997. Penulis beragama islam, anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Yulfadiaz dan Ibu Lismawati.

Pendidikan formal dimulai di TK Dharmawanita Medan Tahun 2001- 2003. Pendidikan sekolah dasar di SDN Tilil 3 Bandung Tahun 2004-2006, kemudian lanjut di SD Swasta Dharmawanita Medan Tahun 2006-2009, sekolah menengah pertama di Pondok Pesantren Ar-raudhatul Hasanah Medan Tahun 2009-2012, dan sekolah menengah atas di SMA Swasta Muhammadiyah 2 Medan Tahun 2012-2015. Penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara.

Medan, 17 Oktober 2021

Fira Khairunisa

(14)

x

Daftar Isi

Halaman

Halaman Persetujuan i

Halaman Penetapan Tim Penguji ii

Halaman Pernyataan Keaslian Skripsi iii

Abstrak iv

Abstract v

Kata Pengantar vi

Riwayat Hidup ix

Daftar Isi x

Daftar Tabel xii

Daftar Gambar xiii

Daftar Lampiran xiv

Daftar Istilah xv

Pendahuluan 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 9

Tujuan Penelitian 9

Manfaat Penelitian 10

Tinjauan Pustaka 11

Definisi Filariasis 11

Kebijakan 12

Strategi 12

Penyebab 12

Rantai Penularan 14

Gejala Klinis 16

Gejala Klinis Akut 17

Gejala Klinik Kronis 17

Masa Inkubasi 17

Masa Penularan 18

Pencegahan Penyakit Filariasis 18

Pengobatan Penyakit Filariasis 19

Dosis dan Cara Pemberian Obat 24

Konsep Kepatuhan Minum Obat 24

Cara Mengukur Kepatuhan 25

Aspek-Aspek Kepatuhan 26

Landasan Teori 28

Kerangka Konsep 29

Metode Penelitian 30

Jenis Penelitian 30

Lokasi dan Waktu Penelitian 30

Populasi dan Sampel 30

Variabel dan Definisi Operasional 32

Metode Pengumpulan Data 33

(15)

xi

Metode Pengukuran 33

Metode Analisis Data 33

Hasil Penelitian 36

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 36

Karakteristik Responden 36

Hubungan Pekerjaan dan Kepatuhan Minum Obat Anti Filariasis 38 Hubungan Pengetahuan dan Kepatuhan Minum Obat Anti Filariasis 40 Hubungan Persepsi Efek Samping Obat dan Kepatuhan Minum Obat

Anti Filariasis 42

Hubungan Peran Petugas Kesehatan dan Kepatuhan Minum Obat

Anti Filariasis 43

Pembahasan 46

Kepatuhan Minum Obat Anti Filariasis di Desa Bulan-Bulan Kecamatan

Lima Puluh Kabupaten Batubara 46

Hubungan Pekerjaan dan Kepatuhan Minum Obat Filariasis 47 Hubungan Pengetahuan dan Kepatuhan Minum Obat Anti Filariasis 48 Hubungan Persepsi Efek Samping Obat dan Kepatuhan Minum Obat

Anti Filariasis 50

Hubungan Peran Petugas Kesehatan dan Kepatuhan Minum Obat

Anti Filariasis 52

Kesimpulan dan Saran 55

Kesimpulan 55

Saran 56

Daftar Pustaka 57

Lampiran 60

(16)

xii Daftar Tabel

No Judul Halaman

1. Dosis Obat Berdasarkan Berat Badan 23

2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden 39

3. Distribusi Frekuensi Pekerjaan 41

4. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang

Penyakit Filariasis 41

5. Distribusi Frekuensi Pengetahuan 42

6. Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi Efek Samping

Obat Penyakit Filariasis 42

7. Distribusi Frekuensi Persepsi Efek Samping Obat 44 8. Distribusi Responden Berdasarkan Peran Petugas Kesehatan 44 9. Distribusi Frekuensi Peran Petugas Kesehatan 45 10. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Minum Obat Anti Filariasis 45 11. Tabulasi Silang Hubungan Antara Pekerjaan dengan Kepatuhan

Minum Obat Anti Filariasis 46

12. Tabulasi Silang Hubungan Antara Pengetahuan dengan

Kepatuhan Minum Obat Anti Filariasis 47

13. Tabulasi Silang Hubungan Antara Persepsi Efek Samping Obat

Dengan Kepatuhan Minum Obat Anti Filariasis 48

14. Tabulasi Silang Hubungan Antara Peran Petugas Kesehatan

Dengan Kepatuhan Minum Obat Anti Filariasis 49

(17)

xiii

Daftar Gambar

No Judul Halaman

1. Siklus penularan penyakit filariasis 16

2. Kerangka Konsep 32

(18)

xiv

Daftar Lampiran

Lampiran Judul Halaman

1. Output SPSS 60

2. Master Data 70

3. Kuesioner Penelitian 79

4. Surat Izin Penelitian dari Kampus 82

5. Surat Izin Penelitian Dinas Kesehatan 83

6. Surat Izin Selesai Penelitian 84

7. Dokumentasi 85

(19)

xv

Daftar Istilah

3M Menguras, Menutup, Mengubur

BELKAGA Bulan Eliminasi Kaki Gajah DEC Diethylcarbamazine Citrate

DBD Demam Berdarah Dengue

GPELF Global Program to Eliminate Lumphatic Filariasis POMP Pemberian Obat Massal Pencegahan

PSN Pemberantasan Sarang Nyamuk

WHO World Health Organization

(20)

Pendahuluan

Latar Belakang

Penyakit menular atau penyakit infeksi adalah sebuah penyakit yang disebabkan oleh agen biologi (seperti virus, bakteria, atau parasit), bukan disebabkan faktor fisik seperti luka bakar atau kimia seperti keracunan (Oksfriani Jufri, 2017). Menurut Notoadmodjo (2003) dalam Irwan (2017), Penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan (berpindah dari orang yang satu ke orang yang lain, baik secara langsung maupun melalui perantara (Irwan, 2017).

Filariasis limfatik, adalah penyakit tropis yang terabaikan. Penyakit ini dapat menyebabkan pembesaran abnormal bagian tubuh yang terjadi di kemudian hari, sehingga menimbulkan kecacatan permanen. Tidak hanya cacat fisik, tetapi penderita akan mengalami kerugian mental, sosial dan finansial (WHO, 2020).

Filariasis merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filarial dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Tidak seperti DBD dan malaria yang ditularkan melalui gigitan satu jenis gigitan nyamuk, melainkan dapat ditularkan melalui semua jenis nyamuk. Penyakit ini dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, kantong buah zakar, payudara dan kelamin wanita. Selain itu, penyakit ini akan menghambat produktifitas serta mempengaruhi kerugian ekonomi (Kemenkes RI, 2019).

WHO menyatakan bahwa pada saat ini di dunia terdapat 893 juta pendudukdi49negaradiseluruhduniayangberisikotertularpenyakitfilariasis dan memerlukan kemoterapi preventif untuk menghentikan penyebaran infeksi parasit ini. diperkirakan 60% dari seluruh kasus berada di asia tenggara. Pada tahun 2000

(21)

orang menjadi cacat dan lumpuh oleh penyakit tersebut (WHO, 2018).

Filariasis menyebar diseluruh wilayah Indonesia, di beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan RI sampai dengan tahun 2018, dilaporkan 12.677 kasus klinis kronis yang tersebar di 34 provinsi. Dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, sebanyak 236 kabupaten/kota yang tersebar di 28 provinsi masih merupakan daerah endemis filariasis (Kemenkes RI,2019).

Jumlah kasus kronis filariasis terbanyak pada tahun 2018 terdapat di CX Provinsi Papua dengan jumlah kasus 3.615 kasus, kemudian Provinsi Nusa Tenggara Timur menduduki urutan kedua dengan banyak kasus 2.864 kasus, urutan ketiga terdapat di Provinsi Papua Barat dengan jumlah 1.244 kasus, kemudian jumlah kasus kronis terbanyak urutan keempat yaitu di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah kasus 907 kasus, dan urutan ke lima yaitu berada di Provinsi Aceh dengan banyak kasus 591 kasus. Selain itu provinsi dengan jumlah kasus kronis terendah yaitu Provinsi Kalimantan Utara dengan 11 kasus, Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan 14 kasus, dan Provinsi Bali 18 kasus (Infodatin, 2018).

Jumlah total kasus kronis filariasis pada tahun 2018 di Sumatera Utara sebanyak 207 kasus dan di dominasi oleh laki-laki yaitu sebanyak 125 kasus dan perempuan sebanyak 91 kasus, nmeningkat dibandingkan tahun 2017 yaitu 151 kasus yang terdiri dari laki-laki 85 kasus dan perempuan 47 kasus (Dinkes Sumut, 2019).

Dinas Kesehatan Sumatera Utara menetapkan 5 kabupaten/kota sebagai daerah endemis penyakit kaki gajah (filariasis), kelima kabupaten/kota tersebut adalah kabupaten Serdang Bedagai, Batu Bara, Labura, Tapanuli Selatan dan

(22)

Gunung Sitoli. Jumlah penderitafilariasis yang tersebar di kabupaten/kota mencapai sebanyak 111 penderita. Sementara pada tahun 2016, jumlah penderitanya naik menjadi 156 orang, kabupaten Asahan menempati urutan tertinggi dengan jumlah penderita 36 orang, Langkat dan Tapteng masing-masing 12 orang, Madina 10 orang, Medan 4 orang, Siantar 3 orang, Tanjung Balai dan Paluta 2 orang dan Palas 1 orang. Namun setelah dilaksanakannya program POPM yang bersifat parsial ditemukan 68 kasus lagi yaitu Labusel 34 kasus, Batu Bara 12 kasus, Labura 10 kasus, Gunungsitoli 7 kasus (Dinkes Sumut,2016).

Berdasarkan laporan dari Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Batu Bara, yang ditindak lanjuti dengan survei darah jari oleh Kemenkes RI pada tahun 2014, Kabupaten Batu Bara merupakan salah satu dari 5 (Lima) Kabupaten di Sumatera Utara yang dinyatakan sebagai daerah Endemis filariasis. Kabupaten Batu Bara sampai dengan tahun 2018 terdapat 10 kasus yaitudi tahun 2016 terdapat 2 kasus, di tahun 2015 terdapat 4 kasus, tahun 2014 terdapat 3 kasus dan pada tahun 2018 terdapat 1 kasus. Kasus filariasis di kabupaten Batu Bara menyebar di seluruh kelurahan/desa diantaranya yaitu Titi Putih, Indrapura, Pematang Panjang, Simpang Dolok, Lima Puluh (Laporan TahunanDinas Kesehatan Batu Bara, 2018).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan kabupaten Batu Bara bahwa pada tahun 2018 ditemukan jumlah penderita filariasis sebanyak 5 orang yaitu 1 orang di Desa Lubuk Cuik, 1 orang di Desa Titi Putih, 2 orang di desa Bulan-Bulan, dan 1 orang di desa Perupuk. (Dinkes Batu Bara 2018).

Pada tahun 1997, World Health Assembly menetapkan resolusi

“Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem”, yang kemudian

(23)

pada tahun 2000 diperkuat dengan keputusan WHO dengan mendeklarasikan The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020 (GPELF) yaitu sebuah program global untuk menghilangkan limfatik filariasis (WHO, 2018). Untuk menghentikan penularan dan membebaskan dunia dari penyakit kaki gajah, WHO membuat strategi yang berdasarkan pada 2 komponen utama yaitu; menghentikan penyebaran infeksi melalui perawatan tahunan berskala besar dari semua orang yang memenuhi syarat di suatu daerah atau wilayah di mana infeksi itu hadir, dan mengurangi penderitaan yang disebabkan oleh filariasis limfatik melalui penyediaan paket perawatan dasar yang direkomendasikan. Menurut WHO, eliminasi filariasis limfatik dapat dihentikan penyebarannya dengan melalui kemoterapi preventif yaitu adalah pemberian obat secara massal atau yang disebut dengan Muss Drug Administration (MDA). Obat-obatan yang digunakan secara efektif dapat mengurangi kepadatan mikrofilaria dalam aliran darah dan mencegahpenyebaran parasit ke nyamuk. Untuk pengendalian nyamuk adalah strategi tambahan yang di dukung oleh WHO untuk mengurangi penularan filariasis limfatik dan infeksi yang ditularkan oleh nyamuk lainnya. Adapun langkah-langkahnya seperti jaring yang diobati insektisida, penyemprotan residu dalam ruangan atau tindakan perlindungan pribadi dapat membantu melindungi orang dari infeksi, penggunaan kelambu berinsektisida (WHO, 2020).

Upaya dalam penanggulangan filariasis di Indonesia, Kementerian Kesehatan RI telah mengeluarkan Permenkes Nomor 94 Tahun 2014 Tentang filariasis Penanggulangan Filariasis, bahwa Indonesia telah sepakat untuk melaksanakan eliminasi tahun 2020 sesuai ketetapan WHO. Indonesia

(24)

melaksanakan penanggulangan masalah filariasis melalui dua pilar kegiatan yaitu;

memutuskan mata rantai penularan filariasis dengan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) filariasis kepada seluruh penduduk di daerah endemis filariasis dengan jenis obat yang dipakai adalah Diethylcarbamazine Citrate (DEC) dan Albendazole sekali setahun selama lima tahun berturut-turut dengan menggerakkan seluruh lapisan masyarakat yang diberi nama bulan eliminasi kaki gajah (BELKAGA), kemudian mencegah dan membatasi kecacatan dengan penatalaksanaan kasus klinis filariasis mandiri (Kemenkes RI,2019).

Upaya pencegahan penyakit filariasis menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonatik yaitu dengan menggunakan kelambu sewaktu tidur, menutup ventilasi rumah dengan kawat kassa, menggunakan obat nyamuk semprot/bakar untuk mengusir nyamuk, dan menggunakan obat oles anti nyamuk. Selain itu, masyarakat harus menjaga kebersihan lingkungan, menghilangkan tempat perindukan nyamuk, dan minum obat pencegahan filariasis. (Kemenkes, 2019).

Menurut Hendrik L. Blum (1974) dalam Notoadodjo, terdapat empat faktor yang yang mempengaruhi status kesehatan manusia, yaitu: lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Perilaku mempunyai pengaruh terhadap tingkat kesehatan seseorang. Kepatuhan merupakan salah satu perilaku yaitu suatu sikap yang merupakan respon yang hanya muncul apabila individu tersebut dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual (Anwar,2016).

Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat filariasis menurut Niven (2008), diantaranya adalah faktor pendidikan, pendidikan

(25)

masyarakat dapat meningkatkan kepatuhan. Kemudian faktor lingkungan, lingkungan berpengaruh besar terhadap kepatuhan, lingkungan yang positif akan membawa dampak yang positif serta sebaliknya. Selanjutnya faktor dukungan tenaga kesehatan, petugas kesehatan berperan penting dalam memberikan informasi tentang suatu peyakit agar meningkatkan kepatuhan terhadap masyarakat. Terakhir adalah faktor pengetahuan, semakin baik pengetahuan masyarakat terhadap suatu penyakit, maka semakin baik pula tingkat pengetahuannya (Niven, 2008).

Upaya pencegahan tidaklah bisa berjalan dengan baik apabila tidak masyarakat itu sendiri tidak patuh dalam menjalankan pencegahan penyakit filariasis ini. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam pengobatan menurut Niven (2002), digolongkan menjadi 4 bagian yaitu Pemahaman tentang instruksi (Dukungan Sosial) dimana seseorang bisa berprilaku tidak patuh terhadap instruksi jika terjadi salah paham terhadap instruksi yang diberikan.

Kemudian Kualitas interaksi (Dukungan dari Tenaga Kesehatan) dimana kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Kemudian Isolasi sosial dan keluarga (Dukungan dari Keluarga) dimana keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan nilai keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.

Kemudian Faktor Individu (Keyakinan, sikap dan kepribadian) dimana keyakinan, sikap, dan kepribadian muncul berdasarkan pengetahuan dan persepsi pada diri sendiri. Pasien yang tidak patuh adalah orang yang lebih mudah mengalami depresi, ansietas, sangat memperhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego

(26)

yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian kapada dirinyasendiri.

Upaya yang dilakukan pemerintahan Batu Bara dalam pemberantasan penyakit kaki gajah melalui Program Eliminasi Penyakit Kaki Gajah yang disebut juga dengan BELKAGA (Bulan Eliminasi Penyakit Kaki Gajah). Belkaga akan dijalankan selama 5 tahun berturut-turut yang dilaksanakan pada setiap bulan oktober mulai tahun 2015 sampai tahun 2019. Selain itu, Dinas Kesehatan Batu Bara memberikan sosialisasi pencegahan penyakit guna mengantisipasi penyebaran penyakit filariasis, serta membagikan obat pencegahan filariasis kepada warga yang berisiko filariasis. (Dinkes Batu Bara, 2018).

Lokus penelitian ini dipilih berdasarkan jumlah terbanyak penderita filariasis di Desa Bulan-Bulan. Jumlah penduduk Desa Bulan-Bulan yaitu 3946 jiwa. Jika dibandingkan dengan jumlah kasus filariasis yang ada di desa ini, maka terlihat sangat kecil. Namun tetap harus dilakukan pencegahan dan pengendalian agar tidak tertular ke masyarakat lainnya, melihat sifat penyakit filariasis ini yang berdampak buruk terhadap fisik, psikologis, dan ekonomi penderita.

Berdasarkan hasil survei awal di Desa Bulan-Bulan, pihak petugas kesehatan telah menjalankan program pencegahan filariasis dengan cara POPM (Pemberian Obat Pencegahan Massal) kepada seluruh masyarakat di Desa Bulan- Bulan serta sosialisasi dan advokasi filariasis terpadu. Setelah melakukan survei pendahuluan melalui observasi terhadap lingkungan serta perilaku masayarakat setempat, dapat digambarkan banyak pepohonan rimbun di sekitar rumah penduduk yang di duga menjadi tempat sarang berkembang biak nyamuk, kebersihan rumah yang kurang terjaga, perilaku masyarakat yang tidak melakukan

(27)

PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dengan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur), ada beberapa rumah yang tidak menggunakan kawat kassa, dan kebiasaan menggantung baju dikamar. Tindakan masyarakat setempat dalam melakukan pencegahan penyakit filariasis juga masih sangat minim, di karenakan pengetahuan terhadap penyakit tersebut dan juga jarak antar rumah penduduk dengan puskesmas sangat jauh, sehingga program sosialisasi pencegahan kaki gajah yang dilakukan petugas kesehatan tidak menyebar laus ke masyarakat, selain itu kurangnya pemantauan secara langsung mengenai responmasyarakat terhadap obat yang diberikan. Sehingga, masih banyak masyarakat yang takut dan menolak mengkonsumsi obat filariasis yang telah diberikan.

Berdasarkan hasil wawancara dari 5 orang yang berisiko filariasis, diantaranya Ibu Sumiyati, 39 Tahun berprofesi sebagai ibu rumah tangga, takut mengkonsumsi obat tersebut dikarenakan efek samping yang ditimbulkan obat yaitu sakit kepala, lemas, mual dan muntah. Kemudian Ibu Sarah 37 tahun berprofesi sebagai guru, ia juga mengatakansetelah minum obat tersebut,badannya menjadi ngilu dan diikuti demam selama 2 hari, sehingga membuat aktifitas mengajar menjadi terhambat.Sedangkan lainnya tidak minum obat tersebut karena merasa tidak terkena filariasis maka tidak perlu mengkonsumsi obat tersebut. Dan ada sebagian masyarakat yang tidak mendapatkan obattersebut.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk menganalisis Kepatuhan Minum Obat untuk Mencegah Penyakit Filariasis di Desa Bulan-Bulan Kabupaten Batu Bara Tahun 2020

(28)

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yaitu Apa Determinan Kepatuhan Minum Obat untuk Mencegah Penyakit Filariasis di Desa Bulan-Bulan Kabupaten Batu Bara Tahun 2020?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Determinan Kepatuhan Minum Obat untuk Mencegah Penyakit Filariasis di Desa Bulan-Bulan Kabupaten Batu Bara Tahun2020

Tujuan khusus. Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu

1. Untuk mengetahui faktor pekerjaan dalam kepatuhan minum obatuntukMencegahan Penyakit Filariasis di Desa Bulan-Bulan Kabupaten Batubara.

2. Untuk mengetahui faktor pengetahuan dalam kepatuhan minum obat untuk Mencegahan Penyakit Filariasis di Desa Bulan-Bulan Kabupaten Batubara.

3. Untuk mengetahui faktor persepsi efek samping obat dalam kepatuhan minum obat untuk Mencegahan Penyakit Filariasis di Desa Bulan-Bulan Kabupaten Batubara.

4. Untuk mengetahui faktor peran petugas kesehatan dalam kepatuhan minum obat untuk Mencegahan Penyakit Filariasis di Desa Bulan-Bulan Kabupaten Batubara.

(29)

Manfaat Penelitian

1. Bagi pemerintahan daerah kabupaten batubara, dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi dinas kesehatan batubara mengenai kepatuhan minum obat filariasis.

2. Bagi masyarakat desa bulan-bulan, dapat dijadikan sebagai masukan dan menambah wawasan pengetahuan tentangfilariasis.

3. Bagi peneliti lain, sebagai tambahan informasi dan referensi tentang filariasis sehingga menjadi dasar bagi akademisi dan peneliti lain untuk melakukan penelitianselanjutnya.

(30)

Tinjauan Pustaka

Definisi Filariasis

Filariasis adalah penyakit kaki menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Penyakit ini dapat merusak sistem limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, glandula mammae, dan scrotum, menimbulkan cacat seumur hidup serta stigma sosial bagi penderita dan keluarganya (Kemenkes RI, 2014)

Menurut Zulkoni dalam (Rini Aryani, 2019), Filariasis adalah penyakit infeksi sistemik kronik yang disebabkan oleh cacing filarial yang dewasannya hidup dalam kelenjar limfe manusia, ditularkan oleh serangga (nyamuk) secara biologik, bila tidak mendapatkan pengobatan akan menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, payudara, dan alat kelamin (Rini Aryani, 2019).

Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filarial dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini dapat menimbulkan cacat seumur hidup berupa pembesaran tangan, kaki, payudara, dan buah zakar. Cacing filarial dapat menyebabkan gejala klinis akut dan kronik (Depkes RI, 2005).

Filariasis hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Walaupun penyakit ini tidak mematikan namun dapat mengakibatkan kecacatan sehingga memberikan dampak yang cukup besar bagi penderita maupun masyarakat, antara lain menurunnya produktivitas penderita dan memberikan beban bagi penderita, keluarga maupun masyarakat (Rini Aryani, 2019).

(31)

Kebijakan

1. Eliminasi filariasis merupakan salah satu prioritas nasional program pemberantasan penyakitmenular.

2. Melaksanakan eliminasi filariasis di Indonesia dengan menerapkan Program Eliminasi Filariasis Limfatik Global dari WHO, yaitu memutuskan rantai penularan filariasis serta mencegah dan membatasi kecacatan serta mencegah penyebaran filariasis antar kabupaten, propinsi dannegara.

3. Satuan lokasi pelaksanaan (Implementation Unit) eliminasi filariasis adalah kabupaten/kota.

4. Mencegah penyebaran filariasis antar kabupaten, propinsi danNegara.

Strategi

1. Memutuskan rantai penularan filariasis melalui pengobatan massal di daerah endemisfilariasis.

2. Mencegah dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis filariasis.

3. Pengendalian vektor secaraterpadu.

4. Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dannegara.

Penyebab

Filariasis limfatik disebabkan oleh infeksi parasit yang diklasifikasikan sebagai nematoda (cacing gelang) dari keluarga Filariodidea. Ada 3 jenis cacing filaria, yaitu Wucheria bancrofti (yang bertanggung jawab atas 90% kasus), Brugia malayi (yang menyebabkan sebagian besar sisa kasus), dan Brugia timori (yang juga menyebabkan penyakit). Cacing ini bersarang di pembuluh limfatik, dan mengganggu fungsi normal sistem limfatik (sistem limfatik merupakan

(32)

komponen penting dalam kekebalan tubuh). Cacing tersebut dapat hidup sekitar 6- 8 tahun, dan selama hidupnya menghasilkan jutaan mikrofilaria yang bersirkulasi dalam darah (WHO, 2020).

Filariasis di Indonesia juga di sebabkan oleh 3 cacing filaria tersebut, namun daerah endemis filariasis di Indonesia pada umumnya adalah daerah dataran rendah, terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan. Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe, yaitu:

a. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban) Ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna (mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti paru-paru, jantung dan ginjal), ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumahtangga.

b. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural) Ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles, Culex danAedes.

c. Brugia malayi tipe periodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yangditemukan di daerahpersawahan.

d. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari (subperiodik nokturna). Nyamuk penularnya adalah Mansonia spp yang ditemukan di daerahrawa.

(33)

e. Brugia malayi tipe non periodik Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari (non periodik). Nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia uniformis yang ditemukan di hutanrimba.

f. Brugia timori tipe periodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan di Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara (Kemenkes RI,2014).

Rantai penularan

Penularan filariasis dapat terjadi apabila ada tiga unsur yaitu adanya sumber penularan yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya, kemudian adanya vektor seperti nyamuk yang dapat menularkan filariasis, dan manusia yang rentang terhadap filariasis. (Rini Aryani, 2019).

Penyakit filariasis dapat tertular apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk yang infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III (L3).

Kemudian Larva L3 akan keluar dari probosisnya dan tinggal dikulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui lubang bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju kesistem limfe.

Nyamuk tersebut mengandung larva filarial kecil atau disebut microfilaria yang bergerak masuk ke peredaran darah sewaktu menghisap darah penderita yang juga mengandung mikrofilaria atau binatang reservoir yang mengandung mikrofilaria.

(Kemenkes RI,2014).

Menurut Usman (2009) dalam buku Rini Aryani (2019) Mikrofilaria tidak berkembang biak dalam tubuh nyamuk tapi hanya berubah bentuk dalam beberapa

(34)

hari dari larva 1 sampai menjadi larva 3. Oleh karena itu diperlukan gigitan berulang kali untuk terjadinya infeksi. Di dalam tubuh manusia, larva 3 menuju sistem limfe dan selanjutnya tumbuh menjadi cacing dewasa jantan atau betina serta berkembang biak (Rini Aryani, 2019).

Siklus penularan filariasis dalam tubuh nyamuk yaitu, ketika nyamuk menghisap darah penderita maka beberapa microfilaria ikut terhisap bersama darah dan masuk ke dalam lambung nyamuk, kemudian menerobos dinding lambung, menuju ke rongga badan, selanjutnya ke jaringan otot toraks. Di dalam otot toraks larva stadium I (L1) berkembang menjadi larva stadium II (L2), dan selanjutnya berkembang menjadi larva stadium III (L3). Saat perkembangan L1 menjadi L3 inilah yang dinamakan masa inkubasi ekstrinsik, untuk Wucheria bancrofti antara 10-14 hari, Brugia timori 7-10 hari. Setelah itu microfilaria stadium III bergerak menuju proboscis nyamuk dan akan dipindahkan ke manusia sebagai hospes definitif dan binatang sebagai hospes reservoir. (Rini Aryani, 2019).

Siklus perkembangbiakan filariasis dalam tubuh manusia yaitu saat L3 akan menuju sistem limfe di dalam tubuh manusia dan selanjutnya tumbuh menjadi cacing dewasa jantan dan betina. Melalui proses kopulasi, cacing betina menghasilkan microfilaria yang beredar di dalam darah secara periodik, cacing betina sendiri akan menghasilkan 30.000 larva setiap hari. Pada cacing Wucheria bancrofti perkembangangan L3 menjadi cacing dewasa dan menghasilkan microfilaria dibutuhkamn waktu selama 9 bulan dan untuk Brugia malayi dan Brugi timori membutuhkan waktu selama 3 bulan. (Rini Aryani, 2019).

(35)

Adapun siklus penularan penyakit filariasis dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 1. Siklus penularan penyakit filariasis Gejala Klinis

Sebagian besar infeksi tidak menunjukkan gejala, tidak menunjukkan infeksi eksternal saat penularan parasit. Namun saat filariasis limfatik berkembang menjadi kondisi kronis menyebabkan pembengkakan jaringan (limfedema) atau penebalan kulit/jaringan (elefantiasis) dan pembengkakan skrotum (hidrokel).

Kelainan bentuk tubuh seperti itu seringkali mengarah pada stigma sosial dan kesehatan mental, hilangnya peluang memperoleh penghasilan (WHO,2020).

Gejala klinis Filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Pada dasarnya gejala klinis Filariasis yang disebabkan oleh infeksi W. Bancroft, B.

malayi dan B. timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan lebih berat pada infeksi oleh B. malayi dan B. timori. Infeksi W. bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh B.

malayi dan B. Timori tidak menimbulkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin (Kemenkes RI, 2020).

(36)

Menurut Suriyanti (2007) dalam buku Rini Aryani (2019) Patogenesis penyakit kaki gajah dipengaruhi oleh kerentanan individu terhadap parasit, seringnya mendapat gigitan nyamuk, banyaknya larva yang infektif masuk melalui gigitan nyamuk dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri dan jamur.

Manusia yang sudah memiliki larva infektif dalam tubuhnya namun belum menunjukkan gejala klinis maka dia juga disebut sebagai penderita microfilaria asimtimatis namun sudah bisa menularkan penyakit filariasis (Rini Aryani,2019).

Gejala Klinis Akut

Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertasi demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses (Kemenkes RI, 2014). Apabila seseorang terserang filariasis akut, maka gejala yang tampak adalah Demam berulang-ulang selama 3 - 5 hari, demam dapat hilang bila si penderita istirahat dan muncul lagi setelah si penderita bekerja berat.

Pembengkakan kelenjar getah bening sehingga terlihat bengkak di daerah lipatan paha, ketiak yang tampak kemerahan, panas dan sakit. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan merasa panas (Depkes RI, 2009).

Gejala Klinis Kronis

Menurut Usman (2009) dalam Rini Aryani (2019) Gejala klinis filariasis kronis yaitu berupa pembesaran yang menetap (Elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, dan buah zakar (elephantiasis skroti). Diagnosis klinis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis darah yang diambil malam hari.

Seseorang dinyatakan sebagai penderita Filariasis, apabila dalam darah ditemukan mikrofilaria (Rini Aryani, 2019).

(37)

Masa Inkubasi

Manifestasi inflamasi alergik mungkin timbul lebih cepat sebulan setelah terjadi infeksi, mikrofilaria mungkin belum pada darah hingga 3-6 bulan pada Brugia malayi/timori dan 6-12 bulan pada Wucheria bancrofti (A. Arunan Arsin, 2016).

Masa Penularan

Penyakit ini tidak langsung menular orang ke orang. Manusia dapat menularkan melalui nyamuk pada saat mikrofilaria berada pada darah tepi, mikrofilaria akan terus ada selama 5-10 tahun atau lebih sejak infeksi awal.

Nyamuk akan menjadi infektif sekitar 12-14 hari setelah menghisap darah yang terinfeksi (A. Arsunan Arsin, 2016).

Pencegahan Penyakit Filariasis

Menurut Akhsin Zulkoni (2011), pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya filariasis, yaitu :

1. Penyuluhan tentang pendidikan dan pengenalan penyakit filariasis kepada masyarakat serta kesadaran masyarakat agar memeriksakan kedokter dan mendapatkan penanganan berupa obat-obatan, sehingga tidak terjadi penularan.

2. Berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk, dengan cara:

a. Menggunakan kelambu saattidur

b. Menutup ventilasi rumah dengan kawatkassa

c. Menggunakan obat anti nyamuk (bakar, oles, semprot,elektrik) d. Tidak menggantungpakaian

3. Pengelolaan Lingkungan melalui:

(38)

a. Membersihkan semak-semak di sekitarrumah b. Menimbum, mengeringkan genanganair c. Membersihkan tanaman air padarawa-rawa Pengobatan Penyakit Filariasis

Ada dua jenis pengobatan yang dilakukan untuk mengendalikan penyakit filariasis yaitu pengobatan massal filariasis dan pengobatan kasus klinis filariasis.

Berdasarkan Depkes RI (2007) dalam Rini Aryani (2019), Pengobatan massal filariasis adalah pengobatan yang dilaksanakan kepada seluruh penduduk yang berada di daerah endemis filariasis. Pengobatan ini dilaksanakan setahun sekali minimal 5 tahun secara berturut-turut (Rini Aryani, 2019).

Pengobatan massal bertujuan untuk :

1. Memberantas cacing filarial yang sudah ada di dalam tubuh seseorang, maka semua masyarakat yang tinggal di daerah endemis penyakit filariasis harus minum obat sekali setahun dalam limawaktu.

2. Apabila pengobatan tidak selesai atau ada warga yang tidak minum obat, maka penyakit ini tidak akan hilang dan orang yang tidak minum obat tersebut akan menjadi sumber penularan bagi wargalain.

3. Melakukan perawatan bagi penderita yang sudah mengalami cacat menetap dan sukar untuk disembuhkan namun dengan perawatan tersebut dapat menguranipenderitaannya

(39)

Menurut Depkes RI (2007) dalam Rini Aryani (2019), Selain pengobatan massal filariasis, dilakukan juga pengobatan kasus klinis filariasis. Pengobatan kasus klinis filariasis adalah pengobatan yang dilakukan kepada penderita filariasis. Penderita filariasis adalah penderita dengan gejala klinis akut dan penderita dengan gejala klinis kronis serta penderita yang mengandung microfilaria di dalam darahnya tetapi tidak menimbulkan gejala apapun (Rini Aryani, 2019).Setiap penderita Filariasis klinis di daerah endemis maupun daerah non endemis mendapatkan pengobatan sebagai berikut:

1. Pengujian masih hidup (positif) atau sudah matinya cacing filaria, baik dengan pengujian mikroskopis mikrofilaria, maupun pengujian antigen(ICT).

2. Pada penderita Filariasis klinis positif, diberikan DEC 3 x 1 tablet 100 mg selama 12 hari berturut-turut dan parasetamol 3 x 1 tablet 500 mg dalam 3 hari pertama untuk orang dewasa. Dosis anak disesuaikan dengan berat badan.

Pengawasan kejadian ikutan pasca pemberian obat perlu dilakukan dengan ketat.

3. Penderita Filariasis klinis dengan serangan akut atau penderita Filariasis kronis yang sedang mengalami serangan akut, harus diobati terlebih dahulu serangan akutnya sesuai jenis serangan akut yang dialaminya, demikian juga terhadap infeksisekunder.

4. Apabila penderita berada di daerah endemis, maka pada tahun berikutnya baru boleh diikut sertakan dalam POPM Filariasis dengan DEC dan albendazole sekali setahun minimal 5 tahun secara berturut-turut. Penderita yang tinggal di daerah non endemis, tidak perlu mendapat obat sebagai bagian dari pelaksanaan POPMFilariasis.

(40)

5. Setiap penderita Filariasis positif cacing filaria asimptomatis, perlu mendapat pengobatan sebagaimana penderita Filariasis klinis positif cacing filaria.

(Kemenkes RI,2014).

Pemberian obat pencegahan massal filariasis atau yang disebut POMP adalah pemberian obat yang dilakukan untuk mematikan mikrofilaria secara serentak ke semua penduduk dengan sasaran usia 2-70 tahun. Maka dari itu Indonesia menerapkan dua strategi utama yaitu memutuskan rantai penularan dengan pengobatan massal di saerah endemis dan upaya pencegahan dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis filariasis. Pengobatan massal filariasis menggunakan kombinasi DEC 6 mg/kgBB, Albendazole 400 mg dan paracetamol 500 mg. Pemberian obat ini tidak dilakukan atau ditunda pemberiannya terhadap, ibu hamil, penderita gangguang fungsi ginjal, penderita epilepsi, penduduk yang sedang sakit berat, penderita gangguan fungsi hati, penderita penyakit jantung dan pembuluh darah, anak dengam marasmus dan kwasiorkor (Kemenkes RI, 2014).

1. JenisObat

Jenis obat yang diberikan dalam pengobatan massal filariasis yaitu:

a. Diethyl Carbamazine Citrate(DEC)

DEC mempunyai pengaruh yang cepat terhadap mikrofilaria. Dalam beberapa jam mikrofilaria. di sirkulasi darah mati. Cara kerja DEC adalah melumpuhkan otot mikrofilaria. sehingga tidak dapat bertahan di tempat hidupnya dan mengubah komposisi dinding mikrofilaria. menjadi lebih mudah dihancurkan oleh system pertahanan tubuh hospes. DEC juga dapat menyebabkan matinya sebagian cacing dewasa. Cacing dewasa yang

(41)

masih hidup dapat dihambat perkembangbiakannya selama 9 – 12 bulan.

Setelah diminum, DEC dengan cepat diserap oleh saluran cerna dan mencapai kadar maksimal dalam plasma darah setelah 4 jam dan akan dieksresikan seluruhnya melalui urin dalam waktu 48 jam (Kemenkes RI, 2014).

Efek samping dari DEC adalah demam, menggigil, artralgia, sakit kepala, mual, hingga muntah. Efek samping DEC bisa berupa reaksi umum pusing, demam, nyeri otot, muntah-muntah, dan kemerahan pada kulit. Ini disebabkan oleh reaksi alergi obat itu sendiri. Reaksi local berupa pruritus, limfangitis, dan limfadenitis karena reaksi alergi yang disebabkan oleh destruksi microfilaria maupun cacing dewasa yang telah mati.

Keberhasilan pengobatan ini sangat tergantung dari jumlah parasit yang beredar di dalam tubuh, serta sering menimbulkan gejala hipersensitivitas akibat antigen yang dilepaskan dari debris sel-sel parasit yang sudah mati.

Selain DEC, ivermectin juga memiliki efek samping yang serupa dengan gejala ini (James Chin,2006).

b. Albendazole

Albendazole dikenal sebagai obat yang digunakan dalam pengobatan cacing usus (cacing gelang, cacing kremi, cacing cambuk dan cacing tambang). Albendazole juga dapat meningkatkan efek DEC dalam mematikan cacing filaria dewasa dan microfilaria tanpa menambah reaksi yang tidak dikehendaki. Di daerah endemis filariasis, seringkali prevalensi cacing usus cukup tinggi, sehingga penggunaan Albendazole dalam pengobatan massal filariasis juga akan efektif mengendalikan prevalensi

(42)

cacing usus. (Kemenkes RI, 2014). Albendazole diberikan pada saat perut kosong untuk penanganan parasit-parasit intraluminal. Namun untuk penanganan terhadap parasit-parastit jaringan, obat ini harus diberikan mjbersama makanan-makanan berlemak. Saat digunakan selama 3 hari, albendazole hamper sepenuhnya bebas dari efek-efek yang tidak diinginkan (Bertram,2004).

c. Obat untuk Reaksi Pengobatan

Untuk mengatasi adanya reaksi pengobatan digunakan Parasetamol, CTM, Antasida doen, salep antibiotika, infus set, cairan infus ringer laktat, antibiotika oral, vitamin B6, kortikosteroid injeksi, adrenalin injeksi. Cara pemberian obat massal menggunakan obat DEC, Albendazole dan Paracetamol diberikan sekali setahun selama minimal 5 tahun. DEC diberikan 6 mg/KgBB, Albendazole 400 mg untuk semua golongan umur dan Paracetamol 10 mg/KgBB sekali pemberian. Sebaiknya obat diminum sesudah makan dan di depan petugas (Depkes RI, 2008).

(43)

Dosis dan Cara Pemberian Obat

Pengobatan massal menggunakan DEC, albendazole, dan parasetamol yang diberikan sekali setahun selama minimal 5 tahun. DEC diberikan 6 mg/kgBB, albendazole 400 mg untuk semua golongan umur, dan parasetamol 10 mg/kgBB sekali pemberian. Sebaiknya obat diminum sesudah makan dan di depan petugas (Depkes RI, 2008). Dosis obat ditentukan berdasarkan berat badan atau umur sesuai tabel di bawah ini:

Tabel 1

Dosis Obat Berdasarkan Berat Badan Berat Badan

(Kg)

DEC (100 mg) Tablet

Albendazole (400 mg) tablet

Paracetamol (500 mg) tablet

10–16 1 1 0,5

17–25 1,5 1 0,5

26– 33 2 1 1

34– 40 2,5 1 1

41– 50 3 1 1

51– 58 3,5 1 1

59– 67 4 1 1

68– 75 4,5 1 1

76– 83 5 1 1

> 84 5,5 1 1

Hal penting lainnya adalah pengertian dan kesadaran petugas kesehatan dan masyarakat bahwa kejadian ikutan jauh lebih ringan daripada efek penyakit filariasis yang menyebabkan kecacatan dan penderitaan seumur hidup. Mencegah dan mengatasi efek samping sangat penting karena terapi massal berbeda dengan terapi individu, oleh karena itu obat yang dipilih untuk mengatasi efek samping pada terapi massal juga berbeda (Herdiman Pohan, 2007).

Konsep Kepatuhan Minum Obat

Menurut Azwar, Kepatuhan adalah suatu sikap yang merupakan respon

(44)

yang hanya muncul apabila individu tersebut dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Jika individu tidak mematuhi apa yang telah menjadi ketetapan dapat dikatakan tidak patuh (Azwar A, 2007).Menurut Notoatmodjo (2003) dalam Fatma Laili (2019), Kepatuhan adalah salah satu perilaku pemeliharaan kesehatan yaitu usaha seseorang untuk memelihara kesehatan atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha penyembuhan apabila sakit (Fatma Laili,2019).

Menurut Deklerk (2011) dalam Achmad Fauzan (2018), Kepatuhan minum obat sebagai tingkat kesediaan pasien untuk mengikuti pemakaian aturan dosis yang sebenarnya. Nursalam & Kurniawati (2007) dalam Achmad Fauzan (2018), Istilah kepatuhan digunakan untuk menggambarkan perilaku pasien dalam meminum obat secara benar sesuai dosis, frekuensi, dan waktunya. ketaatan sendiri memiliki arti pasien menjalankan apa yang telah dianjurkan oleh dokter atau apoteker nya (Achmad Fauzan,2018).

Cara Mengukur Kepatuhan

Menurut Osterberg dan Blaschke (2005) dalam Mareeya Jilao (2017), Pengukuran kepatuhan minum obat dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu : 1) MetodeLangsung

Pengukuran kepatuhan dengan metode langsung dapat dilakukan dengan observasi minum obat secara langsung, mengukur konsentrasi obat dan metabolitnya dalam darah atau urin serta mengukur biologic marker yang ditambahkan paada formulasi obat. Kelemahan metode ini adalah biayanya yang mahal, memberatkan tenaga kesehatan dan rentan terhadap penolakan pasien.

(45)

2) Metode TidakLangsung

Metode tidak langsung dapat dilakukan dengan menanyakan pasien tentang cara pasien menggunakan obat, menilai respon klinik, melakukan perhitungan obat, mengumpulkan kuesioner pasien, menilai kepatuhan pasien anak dengan menanyakan kepada orangtua.

Aspek-Aspek Kepatuhan

Menurut Aryono (2008) dalam Achmad Fauzan (2018), Aspek kepatuhan minum obat yang antara lain:

1. Minum obat sesuai dengan waktu yang dianjurkan, yaitu dengan tidak mengubah jam minum obat yang telahditentukan.

2. Tidak mengganti obat dengan obat lain yang tidak dianjurkan, yaitu dengan tidak melakukan penggantian obat dengan obat lain yang tidak dianjurkan tanpa sepengetahuandokter.

3. Jumlah obat yang dikonsumsi sesuai dengan dosis yang ditentukan, yaitu dengan tidak mengurangi atau menambah jumlah dosis yang dikonsumsi (Achmad Fauzan, 2018).

Menurut Dewi Kusumawardani (2009) dalam Novia Wulandari (2015), Faktor determinan terhadap kepatuhan minum obat pada pengobatan massal filariasis antara lain jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan dan pengetahuan.

1. JenisKelamin

Jenis kelamin perempuan menurut penelitian Dewi Kusumawardani (2009) lebih banyak dibandingkan laki-laki dalam meminum obat filariasis.

Dikarenakan kebanyakan jenis kelamin laki-laki adalah tulang punggung

(46)

keluarga, sehingga mereka memikirkan efek samping dari obat tersebut dapat mengganggu aktifitas pekerjaan mereka.

2. Pekerjaan

Orang yang tidak bekerja lebih banyak menerima obat tersebut dibanding orang yang bekerja. Hal ini dikarenakan, kebanyakan mereka yang bekerja mengganggap efek samping dari obat ini sangat merugikan mereka dalam pekerjaan.

3. Pengetahuan

Orang yang memiliki pengetahuan tentang filariasis lebih patuh untuk minum obat dibandingkan dengan orang yang memiki pengetahuan kurang baik.

(47)

Landasan Teori

Berdasarkan teori Preced-Proceed Lawrence Green, tindakan seseorang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat yang dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu:

1) Faktor predisposisi (predisposingfactors)

Faktor yang mendahului perilaku seseorang yang akan mendorong untuk berperilaku, yaitu pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai dan persepsi yang mendorong seseorang atau kelompok untuk melakukan tindakan.

2) Faktor pendukung atau pendorong (enablingfactors)

Faktor yang memotivasi individu atau kelompok untuk melakukan tindakan yang berwujud lingkungan fisik, tersedianya fasilitas dan sarana kesehatan, kemudahan mencapai sarana kesehatan, waktu pelayanan, dan kemudahan transportasi.

3) Faktor penguat (reinforcefactors),

Mencakup sikap dan dukungan keluarga, teman, guru, majikan, penyedia layanan kesehatan, pemimpin serta pengambil keputusan.

Berdasarkan kerangka teori diatas peneliti ingin mengetahui Faktor-Faktor yang mempengaruhi kepatuhan masyarakat dalam meminum obat anti filariasis dalam upaya pencegahan penyakit filariasis.

(48)

Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan (Notoadmodjo, 2005).

Pada penelitan ini kerangka konsep digunakan untuk melihat hubungan variabel independen dan variabel dependen. Variabel dependen yaitu variabel yang bebas atau variabel yang mempengaruhi yaitu ketidak patuhan masyarakat seperti: Kerangka konsep ini disimpulkan berdasarkan tinjauan kepustakaan diatas yaitu menurut Teori LawrenceGreen sebagaiberikut:

VariabelIndependen Variabel Dependen

Gambar 2. Kerangka Konsep

Kepatuhan Minum Obat Anti Filariasis - Pekerjaan

- Pengetahuan

- Persepsi Efek SampingObat - Peran PetugasKesehatan

(49)

Metode Penelitian

Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif dengan pendekatan cross sectional, untuk mengetahui kepatuhan masyarakat desa bulan-bulan dalam meminum obat anti filariasis sebagai bentuk upaya pencegahan penyakit filariasis.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di desa Bulan-Bulan kecamatan Lima Puluh kabupaten Batu Bara.

Waktu penelitian. Penelitian dilakukan mulai dari bulan Oktober 2020 sampai dengan selesai.

Populasi dan Sampel

Populasi. Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas:

objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat di Desa Bulan- Bulan Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara yaitu sebanyak 3.946 penduduk.

Sampel. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2006). Untuk mengetahui besarnya sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan rumus lemeshow dengan perhitungan sebagai berikut:

(50)

Rumus : n = Z² 1-α/2 P (1-P) N d2(N-1) + Z2 1- α/2P (1-P) Keterangan :

n = Jumlah sampel yang dibutuhkan

Z²= Nilai distribusi normal pada tingkat kemaknaan (1,96).

P = Proporsi yang digunakan dalam penelitian (0.5) N = Jumlah populasi

d = Derajat ketepatan pendugaan besar sampel (10%)

(1,96)2 x (0,5) (1-0,5) 3.946 n =

(0,1)2 (3.946-1) + (1,96)2 x (0,5) (1-0,5)

(3,8416) (0,5) (0,5) (3.946) n =

(0,01) (3.945) + (3,8416) (0,5) (0,5)

3.789,7384 n =

40,4104

n = 93,712642 digenapkan menjadi 94

Dengan menggunakan rumus diatas maka sampel yang dibutuhkan adalah sebanyak 94 sampel. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Random Sampling. Teknik random sampling adalah teknik pengambilan sampel dari anggota populasi yang dilakukan dengan secara acak sederhana tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu

(51)

Variabel dan Definisi Operasional

Variabel penelitian. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen dan variable dependen. Variabel independen dalam penelitian ini yaitu usia, jenis kelamin, pekerjaan, pengetahuan, persepsi efek samping obat, peran petugas kesehatan. Variabel dependen pada penelitian ini adalah kepatuhan minum obat.

Definisi Operasional. Berikut defenisi operasional dalam penelitian ini : 1. Pekerjaan adalah kegiatan utama yang dilakukan responden setiap hari dalam

memenuhikebutuhan.

2. Pengetahuan adalah tingkat pengetahuan responden mengenai penyakit filariasis yang berkaitan dengan penyebab, gejala, dan pencegahan penyakit filariasis.

3. Persepsi efek samping obat adalah cara pandang responden mengenai efek samping dari obat filariasis yang dapat menimbulkan kerugian, membahayakan, dan menggangu aktifitas responden sehari-hari yaitu berupa pusing, demam, nyeri otot, muntah-muntah, dan kemerahan padakulit.

4. Peran petugas kesehatan adalah jawaban masyarakat / pendapat masyarakat mengenai peran pelayanan kesehatan dalam melakukan penyuluhan penyakit filariasis, memberikan obat filariasis secara merata atau tidak, mengajak masyarakat untuk wajib minum obat sebagai upaya pencegahan penyakit filariasis.

5. Kepatuhan minum obat anti filariasis adalah kepatuhan responden dalam meminum atau tidak meminum obat anti flariasis untuk pencegahan penyakit filariasis.

(52)

Metode Pengumpulan Data

Data primer. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi, wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner kepada masyarakat yang berisi pertanyaan dan pilihan dan jawaban yang telahdisediakan.

Data Sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui Dinas Kesehatan Batu Bara, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kecamatan Limapuluh dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Batubara.

Metode Pengukuran

Pekerjaan. Hasil pengukuran pekerjaan dalam penelitian ini terbagi dua yaitu bekerja dan tidak bekerja. Pengukuran menggunakan alat ukur kuesioner dengan skala ukur nominal.

Pengetahuan. Penilaiaian pengetahuan diukur dengan menggunakan alat ukur kuesioner dengan skala Guttman, dimana responden akan diberi 10 pertanyaan dalam bentuk pilihan ganda yang hanya mempunya 1 jawaban benar, untuk setiap jawaban benar akan diberi skor 1 dan setiap jawaban salah akan diberi skor 0. Dari 10 pertanyaan tersebut maka dapat dikategorikan hasil ukurnya sebagai berikut (Arikunto, 2013):

a. Kurang: bila total skor yang diperoleh < 45% dari jawaban benar (skor < 4) b. Sedang: bila total skor yang diperoleh 45%-75% dari jawabanbenar (skor 4-7) c. Baik: bila total skor yang diperoleh > 75% dari jawabanbenar (skor > 7)

Persepsi efek samping obat. Penilaian dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada responden. Pada persepsi efek samping obat, penulis menggunakan skala Guttman untuk mengukur persepsi responden dengan tegas.

Kuesioner tersebut berisikan 10 pertanyaan untuk persepsi efek samping obat.

(53)

Dalam setiap pertanyaan disediakan 2 pilihan jawaban Ya dan Tidak. Berdasarkan total nilai yang diperoleh dari 10 pertanyaan hasil ukur dapat dikategorikan sebagai berikut(Arikunto, 2013):

a. Kurang: bila total skor yang diperoleh < 45% dari jawaban benar (skor < 4) b. Sedang: bila total skor yang diperoleh 45%-75% dari jawabanbenar (skor 4-7) c. Baik: bila total skor yang diperoleh > 75% dari jawabanbenar (skor > 7)

Peran petugas kesehatan. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner menggunakan angket dengan skala Guttman. Berdasarkan total nilai yang diperoleh dari 5 pertanyaan hasil ukur dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Kurang: bila total skor yang diperoleh < 45% dari jawaban benar (skor < 2) b. Sedang: bila total skor yang diperoleh 45%-75% dari jawabanbenar (skor 2-3) c. Baik: bila total skor yang diperoleh > 75% dari jawabanbenar (skor > 3)

Kepatuhan minum obat anti filariasis. Penliti akan membagikan kuesioner kepada responden, dari kuesioner tersebut peneliti akan menentukan hasil ukur untuk variabel dependen kepatuhan minum obat anti filariasis sebagai berikut:

a. Tidak patuh: jika responden tidak meminum obat b. Patuh: Jika responden meminumobat

Metode Analisis Data 1. AnalisisUnivariat

Analisis univariat dilakukan pada tiap variabel dari hasil penelitian untuk melihat distribusi frekuensi dengan melihat prosentase masing–masing variabel penelitian. Analisis univariat digunakan untuk mengetahui proporsi dari masing–

masing variabel penelitian yaitu variabel independen (Pekerjaan, Pengetahuan,

(54)

Persepsi efek samping obat, Peran petugas kesehatan) dan variabel dependen (Kepatuhan Minum Obat Anti Filariasis).

2. AnalisisBivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel pekerjaan, pengetahuan, persepsi efek samping obat dan peran petugas kesehatan dengan Kepatuhan Minum Obat Anti Filariasis. Data yang telah dikumpulakan kemudian diuji statistik Regresi Logistik (Logistic Regression) dengan derajat kemaknaan atau tingkat signifikansi α<0,05. Peneliti menggunakan uji statistik Regresi Logistik karena tujuan penelitian, skala data dan variabel penelitan ini sesuai dengan ketentuan penggunaan Regresi Logistik. Dari uji korelasi Regresi Logistik ditentukan harga signifikasi antara kedua variabel (Nursalam, 2016).

Dari hasil perbandingan ditentukan apakah hipotesa diterima atau ditolak.

Apabila hasil uji menyatakan signifikan dengan p < 0.05, maka hipotesa diterima berarti ada hubungan antara sampel yang diteliti. Apabila hasil uji menyatakan tidak signifikan/tidak bermakna dengan p ≥ 0.05, maka hipotesa ditolak berarti tidak ada hubungan antara sampel yang diteliti. Berikut analisi statistik pada penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

1. Pengada benih dan pengedar benih dan/atau bibit terdaftar ditetapkan oleh Kepala Dinas Provinsi setempat di mana terletak pusat kegiatan perbenihan dan/atau pembibitan yang

Gambar 4 Tampilan halaman latihan yang dipilih Selain mengikuti proses belajar secara online. Siswa juga bisa mengikuti proses belajar offline dengan mendownload materi

Analisis secara kuantitatif dilakukan dengan menganalisis butir soal dilihat dari jawaban siswa dan kunci jawaban. Teknik Analisis data yang dilakukan terhadap butir- butir Soal

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa tiga indikator yang memiliki pengaruh paling signifikan adalah indikator X2 (Substitusi bahan kimia dengan

Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa kemahiran menceritakan kembali isi cerita pendek dengan model pembelajaran group investigation siswa kelas X Madarasah

Hal ini ternyata sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sharbinie &amp; Suryana (dalam Olii, 2007) bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang kurang mampu

Data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah semua bentuk-bentuk pemakaian bahasa yang terdapat dalam RCB yang dimuat dalam surat kabar SM, yaitu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada (1) kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen 1 dan 2 tuntas KKM; (2) ada perbedaan kemampuan berpikir kritis dari tiga kelompok; (3)