• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM MELAKUKAN PEMBATASAN TRANSAKSI TUNAI DI PERBANKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM MELAKUKAN PEMBATASAN TRANSAKSI TUNAI DI PERBANKAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM MELAKUKAN PEMBATASAN TRANSAKSI TUNAI DI PERBANKAN

EFFORT PREVENTION OF CORRUPTION IN THE CONDUCT OF RESTRICTIONS ON CASH TRANSACTION IN BANKING

Penulis:

Zainal Abidin Marsaoly Ingratubun

Abstract

The results of the study showed that the prevention of corruption in the restrictions on cash transactions in the banking does not inhibit the economy or infrastructure development due to the provider financial services can refer to in the implementation of law number 8 year 2010 0n prevention and eradication of money laudering article 23 paragraph (1) and regulation the head of PPATK number PER- 11/1.02/PPATK/09/2012 about financial transactions in cash that are excluded from the reporting obligation but in seeking the prevention of corruption in the banking it is necessary to restrict the financial transactions cash to certify the academic paper of the draft law submitted in the preparation of the program of the national legislation, in particular the draft legislation that comes from the government so the passing of it into law as soon as possible aither at the end of 2018 or beginning of 2019, so that limits cash transactions to Rp.500 million and above for 1 (one) worning day to Rp.100 million and above 1 (one) worning day obliged to be reported by providers of financial services to the PPATK law enforcement officers have a strong legal basis in the prevention and eradication of corruption aptimally both government agencies and non government or private sector.

Keywords : Prevention, Corruption, Restrictions on cash transactions, Banking.

PENDAHULUAN

Tindak pidana korupsi merupakan sebuah kejahatan yang secara kualitas maupun kuantitasnya terus meningkat.

Peningkatan jumlah tindak pidana korupsi dalam melakukan transaksi tunai di perbankan tentu akan sangat berpengaruh terhadap turunnya kualitas kesejahteraan bagi masyarakat.

Padahal negara Indonesia memiliki kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XIV tentang Kesejahteraan Sosial Pasal 33 ayat (2) yaitu; “Cabang-cabang

produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”

Menurut Harkristuti Harkrisnowo, (2002:67).

Pelaku korupsi bukan orang sembarangan karena mereka mempunyai akses untuk melakukan korupsi tersebut, dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan- kesempatan atau sarana yang ada padanya.

Bahkan menurut Marella Buckley, yang dikemukakan (Hans Otto Sano, 2003:157).

(2)

Korupsi merupakan penyalahgunaan jabatan publik demi keuntungan pribadi dengan cara suap atau komisi tidak sah.

Selaras dengan pendapat di atas, menurut Indryanto Seno Adji, (2006:374).

Bahwa tak dapat dipungkiri korupsi merupakan white collar crime dengan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga dikatakan sebagai invisible crime yang penanganannya memerlukan kebijakan hukum pidana.

Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (2012:3) mengemukakan bahwa

Dalam dunia modern, transaksi keuangan berkembang sangat pesat seiring dengan perubahan perdagangan dunia yang semakin mengglobal. Perkembangan transaksi keuangan tersebut terjadi, baik pada transaksi keuangan tunai maupun non tunai.

Transaksi pada masa yang akan datang memerlukan kecepatan dan keakuratan tinggi, karena transaksi tidak saja dilakukan dalam lingkup domestik tetapi juga dengan intensitas bisnis di manca negara. Transaksi bisnis tradisional secara tunai akan semakin ditinggalkan karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih akan memudahkan transaksi non tunai melalui sarana elektronik atau perbankan.

Pada prinsipnya, terjadinya transaksi non tunai bertujuan untuk meminimalisasi resiko, mempermudah

komunikasi atau melanggengkan hubungan bisnis antar para pihak yang telah terjalin cukup baik dan berlangsung lama.

Harus diakui bahwa bagi masyarakat pada umumnya, transaksi dengan uang tunai memiliki beberapa kelebihan dan sampai sekarang dianggap lebih menarik untuk digunakan dibandingkan dengan melakukan transaksi secara non tunai (electronic money) pada (Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Tunai. Sumber : http:www.bphn.go.id//, diakses pada 5 Januari 2018).

Beberapa kelebihan tersebut antara lain: kepastian diterima (certainty of acceptance); penyelesaian segera (immediate settlement); tidak memerlukan infrastruktur (no infrastructure requirement); kemudahan penggunaan (ease of use); kemudahan pemantauan (ease of monitoring);

anonimitas (anonymity); dan dijamin negara (state-underpinning).

Ketentuan Pasal 17 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diatur kewajiban pelaporan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) berupa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) atau Suspicious Transaction Report (STR) dan Laporan Tranksaksi Keuangan Tunai (LTKT) atau Cash Transaction Report (CTR) kepada PPATK.

Di dalam internal PPATK, laporan- laporan ini diterima oleh direktorat

(3)

kepatuhan untuk selanjutnya diteruskan ke direktorat analisis setelah melalui pengecekan kelengkapan laporan dimaksud. Maka dari itu diperlukan kerja sama antar lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Bank Indonesia (BI) serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memerangi pelaku-pelaku tindak pidana korupsi dengan menerapkan pembatasan transaksi tunai di perbankan tidak lupa pula bahwa perlu kerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) agar dapat singkronisasi dalam menerapkan Rancangan Undang- Undang (RUU) yang lebih spesifik mengenai aturan-aturan pembatasan transaksi tunai sehingga efektif mencegah tindak pidana korupsi.

Selanjutnya untuk menegaskan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Angka 5 Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:

a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;

b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;

c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang

diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau

d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Hasil Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mencurigakan yang dilakukan PPATK mengindikasikan bahwa sumber dari transaksi mencurigakan terutama berasal dari transaksi Korupsi.

Berdasarkan data PPATK, lembaga itu telah menyampaikan sebanyak 2.415 Hasil Analisis (HA) kepada penyidik kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, dan Direktorat Jenderal Pajak selama periode 2003- 2013. Periode januari sampai november 2013 telah ada 265 HA yang terdiri dari 63 HA proaktif dan 202 HA reaktif. HA reaktif tersebut dibuat karena ada indikasi pencucian uang dan pidana asal yang telah disampaikan ke penyidik.

Dari 265 HA sepanjang tahun 2013 tersebut, sebanyak 153 HA berasal dari pidana korupsi, 35 HA penipuan, 10 HA penggelapan, dan delapan HA dengan pidana asal narkotika. PPATK ingin membatasi transaksi tunai dengan nominal di atas Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah).

Lembaga intelijen keuangan itu meminta transaksi di atas nominal tersebut dilakukan dengan cara transfer untuk mengurangi dugaan korupsi dan kemungkinan peredaran uang palsu.

Naskah akademik RUU Pembatasan Transaksi Tunai telah rampung. PPATK

(4)

ingin rancangan tersebut dimasukkan ke dalam agenda utama pemerintah

dan DPR periode 2014-

2019.(https://www.cnnindonesia.com/na sional/20141023144439-12-

7662/pembatasan-transaksi-tunai- tekan-korupsi).

Dengan Pertimbangan bahwa apabila dilakukan pembatasan transaksi tunai/cash paymant (Maksimal Rp.100.000.000.-) maka akan membawa manfaat sebagai berikut:

1. Dapat mencegah, menekan, mengurangi, terjadinya tindak pidana korupsi oleh karena transaksi tersebut tercatat, termonitor.

2. Negara dapat melindungi masyarakat dari risiko kejahatan uang palsu dan perampokan.

3. Biaya pencetakan dan peredaran fisik uang akan berkurang.

4. Akan terbangun kebiasaan masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan (bank minded society), dan masyarakat terbiasa menggunakan kartu (less cash society).

5. Dapat meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak.

6. Dapat menangkal politik uang dalam proses demokrasi.

7. Pembatasan transaksi tunai telah berhasil dilaksanakan dibeberapa negara maju seperti Amerika dll.

Sebagaimana Andri Gunawan, (2013:123) mengemukakan.

Transaksi tunai adalah sebab dari segala persoalan yang kita hadapi termasuk korupsi yang masih sangat sistemik dan merajalela. Namun tidak semua transaksi tunai itu pertanda korupsi. Karena masih banyak masyarakat Indonesia seperti, para petani yang baru panen sering mempunyai uang tunai

dalam jumlah yang tidak sedikit dan menyimpan uangnya sendiri dirumah. Hal ini disebabkan mereka tidak memiliki rekening bank, maka semua transaksi dilakukan dengan cara tunai.

Disini kita dihadapkan kepada kesadaran dan rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai lembaga perbankan yang seharusnya menjadi lembaga tempat transaksi dan penyimpanan uang. Para petani, nelayan, atau buruh adalah warga negara yang harus menjadi sasaran perbaikan ekonomi agar kelak bisa mengerti dengan hukum, politik dan ekonomi. Mereka harus di naikkan kualitas kehidupannya, pendidikan, kesehatan dan sebagainya.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai institusi yang mempunyai tugas menganalisis transaksi keuangan mengusulkan transaksi tunai dibatasi sampai jumlah tertentu (Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Tunai.

http:www.bphn.go.id//, diakses pada 5 Januari 2018).

Pembatasan ini diperlukan agar upaya penyuapan yang mengarah pada tindak pidana khususnya korupsi dapat dicegah lebih dini, dapat mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana dalam bertransaksi.

Selain itu, aturan mengenai pembatasan transaksi tunai akan memberikan manfaat untuk Pemerintah, antara lain menghemat jumlah uang yang harus dicetak, menghemat bahan baku uang, menghemat biaya

(5)

penyimpanan (fisik) uang di Bank Indonesia, mengurangi peredaran uang palsu, mendidik dan mendorong masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan dalam bertransaksi.

Pembatasan pembawaan uang tunai di Indonesia bukanlah hal baru karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dikeluarkan telah jauh menetapkan suatu ketentuan mengenai kewajiban bagi setiap orang untuk melaporkan pembawaan uang tunai rupiah sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) atau lebih, atau dalam mata uang asing yang nilainya setara Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah) untuk melaporkannya kepada Ditjen Bea dan Cukai berikut dengan sanksinya.

Dari keseluruhan pengaturan pembawaan uang tunai, ketentuan mengenai pemidanaan terhadap tindak pidana pencucian uang secara tegas diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, “Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana

karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

Dengan adanya pembatasan transaksi tunai, dimana setiap transaksi dalam jumlah besar harus melalui lembaga keuangan, diharapkan semua transaksi akan tercatat dalam pembukuan. Pembatasan ini termasuk juga didalamnya transaksi yang menggunakan e-money, baik berupa kartu debit maupun kredit. Selain memberikan dampak atau pengaruh pada pemberantasan praktik korupsi dan pencucian uang dengan signifikan, adanya pembatasan transaksi tunai juga diarahkan untuk mewujudkan cita- cita menuju masyarakat non-tunai atau less-cash society dan juga efisiensi sistem pembayaran.

Hal ini diharapkan dapat mengurangi budaya menggunakan uang tunai dalam kegiatan ekonomi di masa mendatang.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka penulis merasa perlu untuk meneliti serta mengkaji lebih lanjut mengenai pencegahan tindak pidana korupsi terhadap pembatasan transaksi tunai di perbankan dalam bentuk penulisan ilmiah Proposal Tesis sehingga penulis mengangkat judul mengenai “Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dalam Melakukan Pembatasan Transaksi Tunai Di Perbankan.”

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah: Bagaimana upaya

(6)

pencegahan tindak pidana korupsi dalam bentuk penyuapan melalui pembatasan transaksi tunai di perbankan?

METODE PENELITIAN Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan teknik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan (studi bahan hukum) dan penelitian lapangan (pengamatan, wawancara) terhadap suatu masalah atau kejahatan dengan mengkaji sebab- sebab terjadinya kejahatan berdasarkan norma-norma dan data lapangan.

PEMBAHASAN

Upaya pencegahan tindak pidana korupsi khususnya terkait pemberian suap dari pihak swasta ke penyelenggara negara. Salah satu caranya adalah mengajak korporasi swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk dapat menjadi bagian dari pemberantasan korupsi itu sediri. Dalam hal ini pihak swasta mempunyai peran yang cukup besar dalam tindak pidana korupsi khususnya pemberian suap. Maka pihak swasta punya peran mendorong upaya pencegahan korupsi, dalam konteks itu, swasta harus ditarik menjadi bagian penting melawan korupsi.

Sehingga dalam Peraturan perundangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi sebenarnya sudah diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal- pasal dalam KUHP yang memuat tindak pidana korupsi adalah pasal 209, 210,

215, 216, 217, 218, 219, 220, 423, 425, dan 435. Penyalahgunaan jabatan dijelaskan di dalam Bab XXVIII KUHP.

Namun demikian pasal-pasal tersebut dirasa masih kurang jelas berbicara mengenai tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, perlu ada peraturan- peraturan lain yang mendukung atau melengkapi KUHP tersebut.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 penjelasan tentang korupsi dan sanksi pidananya disebutkan mulai dari pasal 2 sampai pasal 20. Kemudian pada Bab IV mulai pasal 25 sampai pasal 40 memuat tentang ketentuan formil bagaimana menjalankan ketentuan meteriilnya. Pemerintah kemudian melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor Nomor 20 Tahun 2001 melakukan perubahan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yakni pada penjelasan pasal 2 ayat (2) sedang substansinya tetap, kemudian ketentuan pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal 12. rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Undang-Undang Hukum Pidana yang diacu. Dari sudut sanksi, Undang-Undang Nomor Nomor 20 Tahun 2001 menetapkan sanksi jauh lebih ringan dari yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Untuk efektifnya pemberantasan tindak

(7)

pidana korupsi pemerintah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Korupsi yang makin meluas justru berkembang menjadi cara berpikir dan cara hidup masyarakat untuk memperoleh kekayaan. Tidak salah bahwa korupsi telah menjadi budaya.

Korupsi tidak hanya terjadi di tingkat elit birokrasi pemerintah tetapi juga merambah ke seluruh aspek kehidupan bangsa. Perkembangan teknologi yang canggih malah menjadi sarana yang efektif untuk melakukan korupsi dan membuat korupsi jadi tambah sulit untuk diditeksi dan diberantas. Pelaku korupsi sudah semakin pintar untuk tidak melakukan transaksi “illegal” di atas kertas sehingga dengan mudah menjadi barang bukti, mereka cukup melakukan transfer antar rekening bank.

Dalam pencegahan (Preventif) tindak pidana korupsi tentu perlu adanya suatu upaya-upaya yang harus dilakukan terhadap pejabat-pejabat pemerintahan yang sedang memegang suatu kekuasaan antara lain:

Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada bangsa dan Negara melalui pendidikan formal, informal dan agama; Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis; Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tanggung jawab yang tinggi; Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa tua;

Menciptakan aparatur pemerintahan

yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi;

Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab tinggi dan dibarengi oleh sistem control yang efisien; Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok; Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan.

Dapat dilihat dari kasus tindak pidana korupsi di Indonesia khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana penyuapan banyak menggunakan transaksi keuangan tunai serta dalam jabatannya. Penggunaan transaksi tunai dalam kasus-kasus korupsi tersebut menjadi kendala baru bagi Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam melakukan pelacakan kembali aliran dananya dan membuat penyidik sulit menelusuri kembali transaksi tersebut karena tidak tercatat dalam sistem keuangan. Terungkapnya beberapa kasus tindak pidana penyuapan yang diduga dibiayai dari berbagai pihak, menimbulkan kecurigaan bahwa kasus-kasus tersebut dilakukan dengan transaksi tunai dan tidak melalui sistem keuangan yang ada sehingga tidak terlacak.

Kasus penyuapan sebagaimana dalam data yang didapat dari pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dalam hal ini kepala daerah merupakan salah satu objek bidang penindakan KPK.Kasus tindak pidana penyuapan yang dilakukan dengan berbagai macam modus operandi yang penulis akan menjabarkan sebagai berikut.

Contoh kasus Amran Abdulah BatalipuBupati Buol, Sulawesi Tengah, kasus Tndak Pidana Korupsi berupa

(8)

menerima sesuatu atau janji terkait dengan proses pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan atas nama PT Cipta Cakra Murdaya dan atau PT Hardaya Inti Plantation yang terletak di Kecamatan Bukal Kab. Buol Sulawesi Tengah dalam jenis tindak pidana penyuapan secara singkat tekait transaksi keaungan tunai berikut uraian kasus.

Pada tanggal 20 Juni 2012 Siti Hartati Murdaya menghubungi Terdakwa melalui Handphone milik Totok Lestiyo menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan Terdakwa dan meminta agar Terdakwa menerbitkan surat-surat yang berhubungan dengan proses pengurusan pengajuan IUP dan HGU terhadap tanah di luar 4.500 hektar, serta akan memberikan uang sebesar Rp2 miliar Kemudian Siti Hartati Murdaya memerintahkan Totok Lestiyo untuk mengatur penyerahan uang tersebut kepada Terdakwa, untuk itu Totok Lestiyo meminta Arim menyiapkan uang sebesar Rp2 miliar yang diambil dari kas PT HIP atau PT CCM. Dengan alasan sangat berisiko jika membawa uang secara tunai, maka Arim mentransfer uang tersebut ke beberapa rekening yakni, Rp500 juta ke rekening Bank Mandiri atas nama Gondo Sudjono Notohadi Susilo, Rp500 juta ke rekening Bank Mandiri atas nama Dede Kurniawan, Rp250 juta ke rekening Seri Siriton dan Rp250 juta ke rekening Benhard.

Sedangkan yang sebesar Rp 500 juta Arim meminta kepada Gondo Sudjono Notohadi Susilo dan Sukirno untuk membawa secara tunai ke Buol

masing-masing sebesar Rp250 juta sekaligus memerintahkan kepada mereka untuk berkordinasi dengan Yani Ansori guna penyerahan uang sebesar Rp. 2 miliar itu kepada Terdakwa.

Gondo Sudjono Notohadi Susilo kemudian memberitahu Yani Ansori bahwa dirinya akan datang ke Buol untuk bertemu Terdakwa guna menyerahkan uang Rp. 2 miliar Setelah Yani Ansori mengambil uang sebesar Rp. 500.000.000,- dari Berhand, kemudian Yani Ansori menyerahkan kepada Gondo Sudjono Notohadi Susilo untuk digabungkan dengan uang sebesar Rp1,5 miliaryang dicairkan dari rekening milik Sukirno dan Dede Kurniawan.

Pada Selasa pagi 26 Juni 2012 Yani Ansori menghubungi Terdakwa melalui handphone Gazali untuk menanyakan kapan dan dimana Terdakwa bersedia menerima uang sebesar Rp2.000.000.000,-tersebut, yang mana Terdakwa meminta agar Yani Ansori menyerahkan uang itu ke Villanya di Kelurahan Leok Kabupaten Buol.

Selanjutnya Yani Ansori, Gondo Sudjono Notohadi Susilo, Sukirno dan Dede Kurniawan membawa uang sebesar Rp. 2 miliar yang telah dimasukan ke dalam 2 (dua) dus minuman air mineral menuju villa Terdakwa, kemudian Yani dan Gondo Sudjono Notohadi Susilo menyerahkannya kepada Terdakwa dengan cara meletakannya di lantai ruang tamu villa. Setelah menerima uang tersebut, beberapa saat kemudian Terdakwa ditangkap oleh petugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

(9)

Berdasarkan paparan dari contoh kasus terhadap modus transaksi yang begitu maraknya terjadi di negara ini khususnya berkaitan tentang korupsi dalam bentuk penyuapan yang dilakukan oleh kepala daerah, maka muncul wacana pembatasan transaksi tunai.

Sebagaimana dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Pembatasan Transaksi tunai dalam Pasal 3 ayat (1) menyebutkan Batasan Nilai dan Jenis Transaksi sebagai berikut: “Setiap Orang dilarang melakukan Transaksi dengan menggunakan Uang Kartal dalam jumlah Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih; atau yang nilainya setara, yang dilakukan baik dalam satu kali Transaksi maupun beberapa kali Transaksi dalam 1 (satu) hari kerja yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai institusi yang mempunyai tugas menganalisis transaksi keuangan mengusulkan transaksi tunai dibatasi sampai jumlah tertentu. Pembatasan ini diperlukan agar upaya penyuapan yang mengarah pada tindak pidana khususnya korupsi dapat dicegah lebih dini, dapat mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana dalam bertransaksi. Selain itu, aturan mengenai pembatasan transaksi tunai akan memberikan manfaat untuk Pemerintah, antara lain menghemat jumlah uang yang harus dicetak, menghemat bahan baku uang, menghemat biaya penyimpanan (fisik) uang di Bank Indonesia, mengurangi

peredaran uang palsu, mendidik dan mendorong masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan dalam bertransaksi.

Penyelesaian transaksi dalam masyarakat dapat dilakukan melalui transaksi keuangan secara tunai maupun non tunai. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, transaksi keuangan secara tunai yang dilakukan tanpa melalui sistem pembayaran memiliki kelemahan yaitu informasi dan lalu lintas pembayarannya tidak tercatat, sehingga penelusuran transaksi secara tunai sangat sulit dilakukan. Selain itu, transaksi dengan menggunakan uang kartal seperti kertas dan logam tidak bisa terlacak karena banyak berpindah tangan dan tidak terekam. Di Indonesia, ketiadaan pencatatan ini digunakan untuk menutupi aliran dana hasil tindak pidana khususnya korupsi. Hal ini terbukti dalam kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Berdasarkan penjelasan di atas, ketentuan pembatasan transaksi secara tunai dapat mencegah sejak dini upaya tindak pidana karena pelaku tidak mudah lagi untuk menyerahkan uang tunai dalam jumlah besar. Namun disadari bahwa pembatasan transaksi secara tunai sangat berkaitan dengan hak asasi manusia untuk menentukan bentuk transaksi yang akan digunakan dalam aktivitas ekonominya. Mengingat substansi pengaturan transaksi secara tunai ini bersifat pembatasan terhadap hak asasi ekonomi setiap individu, bentuk aturan yang tepat adalah undang-undang. Pembatasan transaksi keuangan secara tunai disatu sisi

(10)

memang akan mengurangi pilihan masyarakat, namun disisi lain akan mendorong penyelesaian transaksi keuangan melalui sistem pembayaran di perbankan.

Upaya Pencegahan Pembatasan Transaksi Tunai Diperbankan.

Transaksi pada masa yang akan datang memerlukan kecepatan dan keakuratan tinggi, karena transaksi tidak saja dilakukan dalam lingkup domestik tetapi juga dengan entitas bisnis di manca negara. Transaksi bisnis tradisional secara tunai akan semakin ditinggalkan karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih akan memudahkan transaksi non tunai melalui sarana elektronik atau perbankan. Namun demikian, harus diakui bahwa bagi masyarakat pada umumnya, transaksi dengan uang tunai memiliki beberapa kelebihan dan sampai sekarang dianggap lebih menarik untuk digunakan dibandingkan dengan melakukan transaksi secara non tunai (electronic money). Beberapa kelebihan tersebut antara lain: kepastian diterima (certainty of acceptance); penyelesaian segera (immediate settlement); tidak memerlukan infrastruktur (no infrastructure requirement); kemudahan penggunaan (ease of use); kemudahan pemantauan (ease of monitoring);

anonimitas (anonymity); dan dijamin negara (state-underpinning).

Dari hasil wawancara pada tanggal 10 April 2018 dengan pihak Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Papua.

Inrayanto Ariandos, mengatakan bahwa setiap kebijakan Bank Indonesia yang berhubungan dengan transaksional itu

pasti akan mengacu pada setiap kebijakan penyelenggara peraturan Bank Indonesia mengenai transfer dana atau pengiriman uang, maka di lihat dari ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transer Dana dapat di lihat dari form atau profil oleh nasabah yang bersangkutan. Apabila form atau profil nasabah yang melakukan transaksi baik itu secara tunai maupun secara non tunai melebihi batas transaksi atau tidak sesuai dengan profil yang di isi maka akan di laporkan oleh pihak PPATK karna patut dicurigai adanya indikasi kejahatan yang nantinya dilakukan maka akan ditelesuri oleh pihak PPATK terkait hasil laporan oleh pihak bank tersebut.

Upaya pencegahan pembatasan transaksi tunai mengubah kebiasaan masyarakat dari transaksi tunai kepada transaksi melalui lembaga keuangan atau secara elektronik dapat dilakukan melalui sarana hukum, khususnya peraturan perundang-undangan, karena bagi para pelanggarnya dapat dikenakan sanksi. Pembentukan peraturan perundang-undangan mengenai pembatasan transaksi keuangan tunai adalah upaya mengarahkan masyarakat agar dapat menunjang pembangunan nasional.

Pembatasan transaksi tunai akan mendorong masyarakat untuk beralih dari transaksi tradisional dengan barter atau tunai kearah transaksi melalui sistem pembayaran yang lebih cepat, efisien, akurat dan modern melalui perbankan maupun lembaga keuangan non perbankan.

Pembatasan transaksi tunai juga akan berdampak pada akumulasi supply

(11)

dana yang dapat disalurkan dan digunakan oleh perbankan, baik untuk aktivitas di pasar keuangan maupun untuk kebutuhan sektor riil. Adanya sejumlah besar uang tunai di perbankan, maka akan dapat didayagunakan untuk pembangunan karena dikelola oleh pihak perbankan yang juga berfungsi sebagai mediator antara pemilik uang dan orang yang membutuhkan uang, khususnya untuk kepentingan investasi. Pembatasan transaksi keuangan tunai yang ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan akan berdampak besar kepada masyarakat terutama terkait dengan tata cara pembayaran.

Tidak dipungkiri bahwa masih banyak bagian dari masyarakat di Indonesia yang dalam melakukan transaksinya enggan berhubungan dengan perbankan atau lembaga keuangan karena berbagai hal.

Oleh karena itu, walaupun transaksi secara tunai masih diperlukan khususnya untuk kalangan masyarakat yang belum terjangkau oleh bank dalam meningkatkan aktivitas perekonomian, pembatasan transaksi tunai juga sangat penting untuk mengurangi aliran dana hasil tindak pidana. Hal ini karena transaksi secara tunai sangat memungkinkan dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan ilegal, seperti penghindaran pajak, pencucian uang dari kegiatan perdagangan obat-obat terlarang dan terorisme serta pencucian uang dari hasil tindak korupsi.

Pembatasan transaksi keuangan tunai juga berkaitan dengan bank, apakah ada pengecualian terhadap transaksi yang dilakukan oleh lembaga

sosial; misalnya dalam pembagian santunan sosial untuk kaum dhuafa dalam jumlah yang besar. Pengecualian untuk sektor dan daerah tertentu memerlukan masukan dari Bank Indonesia untuk data penggunaan uang tunai dan PPATK untuk analisis sektor dan daerah mana yang banyak melakukan transaksi tunai.

Pengecualian pembatasan transaksi tunai juga juga perlu diberikan kepada entitas bisnis yang membutuhkan mass cash.

Terkait dengan pengecualian transaksi keuangan tunai yang dilakukan oleh entitas bisnis yang menggunakan dana tunai dalam jumlah besar dapat mengacu pada Pasal 23 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Undang-Undang TPPU) dan Peraturan Kepala PPATK Nomor PER-11/1.02/PPATK/09/2012 tentang Transaksi Keuangan Tunai Yang Dikecualikan Dari Kewajiban Pelaporan.

Adapun transaksi keuangan tunai yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan kepada PPATK berdasarkan Undang-Undang TPPU meliputi:

a. Transaksi yang dilakukan oleh penyedia jasa keuangan denganpemerintah dan bank sentral;

b. Transaksi untuk pembayaran gaji atau pensiun;

c. Transaksi lain yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau ataspermintaan penyedia jasa keuangan yang disetujui oleh PPATK.

(12)

Adapun transaksi lain yang ditetapkan oleh Kepala PPATK sebagaimanadimaksud oleh TPPU adalah TKT yang secara rutin dilakukan baik harian,mingguan, maupun bulanan oleh Pengguna Jasa yang memiliki jenis usahaatau pihak tertentu yang berbentuk Korporasi.

Jenis usaha tertentu yangdikecualikan dari pelaporan ke PPATK, meliputi:

1. Usaha perkebunan;

2. Pengelola jalan tol;

3. Supermarket, hypermarket, department store, dan usaha sejenisdengan nama lain;

4. Stasiun pengisian bahan bakar umum;

5. Maskapai penerbangan;

6. Perusahaan pelayaran serta angkutan sungai, danau danpenyeberangan;

7. Lembaga pendidikan formal;

8. Operator telekomunikasi;

9. Pengelola rumah sakit; Penyedia tenaga listrik; Perusahaan daerah air minum atau yang sejenis;

10. Terkait dengan pembayaran pajak;

11. Terkait dengan pelaksanaan putusan pengadilan. tidak hanya jenisusaha tertentu yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan kePPATK, tetapi termasuk juga pihak tertentu yang berbentukkorporasi.

Dari hasil wawancara pada tanggal 21 Maret 2018 dengan pihak Otoritas Jasa Keuangan. Steven Parinussa, mengatakan Kalau OJK di daerah ini fungsinya lebih banyak di fungsi pengawasan.

Jadi OJK tugas utamanya ada 3 yang biasa disingkat dengan tiga kata;

a. Mengatur;

b. Mengawasi;

c. Melindungi.

Disisi mengatur kami di Otoritas Jasa Keuangan papua dan papua barat tidak terlibat karna yang membuat pengaturan atau yang terlibat dari sisi rancangan undang- undang karna lingkupnya undang- undang maka pusat atau Jakarta sehingga OJK pusat yang mempunyai ranah. Namun perlu dikonfirmasi kembali apakah OJK ikut terlibat dalam penyusunan naskah akademik rancangan undang-undang tersebut baik di undang sebagai narasumber, maupun pertemuan-pertemuan dalam penyusunan. Kumungkinan dilibatkan karna memang begitu berbicara mengenai transaksi non tunai maka yang melakukan transaksi non tunai ini kan institusi bank maupun lembaga jasa keuangan itu dibawah pengawasan OJK. Implementasi transaksi non tunai memberikan manfaat antara lain; Mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Mencegah peredaran uang palsu; Menghemat

pengeluaran Negara;

Menekanlajuin flasi; Mencega htransaksi illegal (korupsi);

Meningkatkan sirkulasi uang dalam perekonomian (velocityofmoney);

Mewujudkan tertib administrasi pengelolaan kas. Maka perlu adanya mekanisme yang diharapkan pembayaran yang efisien untuk mencegah terjadinya transaksi tunai yang diterapkan diperbankan seperti proses pembayaran non tunai.

1. Bank;

2. Bendahara;

(13)

3. Bilyet Giro;

4. APMK (Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu).

Jika proses mekanisme pembayaran transaksi dapat diterapkan sesuai maka dapat mencegah adanya pelaku tindak pidana korupsi dalam bentuk penyuapan dan mengurangi angka kerugian keuangan negara maupun daerah.

Dari hasil wawancara pada tanggal 21 Maret 2018 dengan pihak Otoritas Jasa Keuangan. Steven Parinussa;

Mengatakan lembaga jasa keuangan itu terlibatnya disisi dia patut pada aturan-aturan yang diterapkan PPATK aturan soal pelaporan transaksi keuangan tunai maupun non tunai termasuk

transaksi keuangan

mencurigakan, jika bank patut pada aturan-aturan itu maka sebenarnya secara tidak langsung bank sudah mensuport PPATK dari sisi analisis. Karna bank tugasnya hanya melapor dia tidak melihat dari hasil transaksi tersebut, jika seseorang yang melakukan transaksi dan meninggalkan area bank maka bukan tanggung jawab bank lagi atas transaksi secara tunai maupun non tunai nantinya PPATK yang akan menelusuri apabila ada indikasi mencurigakan dalam melakukan transaksi yang dilaporkan pihak bank dan terjadi tindakan kejahatan berupa korupsi maka akan ditindak lanjuti dan dilaporkan ke penegak hukum yang berwenang baik KPK, Kepolisian, Kejaksaan untuk menyelidiki apakah ada kejahatan korupsi dalam bentuk suap terkait tindakan tersebut. Jadi dalam

jumlah yang tertentu maka pihak bank wajib melaporkan ke PPATK seperti transaksi tunai Rp.500 juta keatas atau transaksi tunai mencurigakan yang dilakukan.

Setiap kebijakan Bank Indonesia yang berhubungan dengan traksaksional itu pasti mengacu pada anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme contohnya setiap kebijakan penyelenggara transfer dana/pengiriman uang dalam hal ini Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana maka untuk kebijakan Bank Indonesia juga mempunyai kebijakan tersendiri namanya itu peraturan tentang transfer dana jadi setiap ada nasabah yang ingin mengirim uang dalam jumlah yang banyak seperti 100 juta itu harus mengisi form-form yang sesuai dengan apa yang disampaikan PPATK jadi lembaga yang digunakan masyarakat untuk mengirimkan uang itu tidak sembarangan karna bank harus memastikan formnya sudah diisi oleh masyarakat pengirim uang.

Nantinya penyelenggara transfer dana/pengiriman uang itu akan melaporkan ke PPATK, jadi ada batasan-batasan dalam transfer dana dan itu mengacu pada PPATK contoh kasus apabila calon nasabah ingin membuka rekening atau menabung uangnya di bank maka pihak bank akan menayakan yang bersangkutan dengan mengisi form-form atau profil yang diberikan oleh calon nasabah tersebut, apabila nasabah tersebut mengisi form atau profilnya dengan pendatan sebulan 5 juta sampai pada pada 3 juta namun dari hasil transaksi ditemukan ada pengeriman uang 200juta sampai pada 50 juta maka

(14)

patut pihak bank mecurigakan karna tidak sesuai dengan form atau profil yang diisi oleh nasabah sehingga pihak bank akan melaporkan ke PPATK untuk melakukan mekanisme pelaporan transaksinya dan akan dianalisa serta ditelesuri lebih lanjut apakah masuk dalam tindakan kejahatan atau tidak.

Dari hasil wawancara pada tanggal 10 April 2018 dengan pihak Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Papua. Inrayanto Ariandos,

Bank Indonesia juga berperan aktif dalam pengawasan jadi seluruh penyelenggara perbankan maupun non perbankan yang melakukan kegiatan transfer dana atau melakukan kegiatan pengawasan kartu ATM, kartu kredit, kartu debit, pendebitan uang elektonik. Ketika bank sudah memberikan izin ke nasabah, maka nasabah tersebut mempunyai kewajiban untuk melaporkan kegiatan transaksinya perbulan. Bank Indonesia juga berperan aktif dalam melaksanakan pengawasan secara rutin dalam melakukan rencana pengawasan keseluruh penyelenggara yang sudah diberikan izin, sehingga bank bisa turun lapangan untuk melakukan omzet atau outzet dari dana-dana yang sudah dilaporkan jadi bank Indonesia dari pengawasan ataupun ada standar yang dilewati kepada perbankan karna bank

bewenang menegur

penyelenggara transaksi tersebut kalau kedapatan bisa saja bank Indonesia mencabut izinnya karna yang mempunyai kebijakan kebijkan adalah bank karna ketika berbicara mmengenai intrumen

pembayaran maka yang mempunyai otoritas ialah bank indonesia. Bank juga pada tahun 2015 sampai pada tahun 2016 sudah mempromosikan kepada masyarakat agar melakukan gerakan nasional non tunai

maksudnya untuk

memberitahukan kepada masyarkat terkait instrumen- instrumen pembayaran non tunai bahwa masyarakat harus membayar memakai kartu debet, atm, kredit dll.

Sebenarnya transaksi non tunai banyak keuntungannya pertama kita tidak lagi membawa uang tunai sebanyak-banyaknya, yang tidak efesien. Kedua dari sisi lain mengatur uang kembalian yang tidak seberapa.

Ketiga ketika membawa uang sebanyak-banyaknya maka peluang kejahatan sangat besar terjadi contoh terjadinya pencurian atau kehilangan uang tersebut, tetapi jika memakai kartu atm dan apabila terjadi hal serupa maka kita dapat memberitahukan kepada pihak bank dan akan diblokir atm tersebut sehingga beegitu banyak keuntungan jika kita memakai atau melakukan setiap transaksi secara non tunai karna jika non tunai maka maka dengan mudah dilacak dan diketahui siapa pelakunya karna aliran dananya kelihatan.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Upaya untuk mencegah adanya tindak pidana korupsi maka perlu Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Tunai yang juga berkaitan dengan

(15)

penyedia jasa keuangan, sebenarnya tidak menghambat perekonomian ataupun pembangunan infrastruktur karena penyedia jasa keuangan dapat mengacu pada Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Undang-Undang TPPU) dan Peraturan Kepala PPATK Nomor PER-11/1.02/PPATK/09/2012 tentang Transaksi Keuangan Tunai Yang Dikecualikan Dari Kewajiban Pelaporan.

Upaya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Kuangan sebagai lembaga intelijen keuangan cukup membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana peran penting dalam Rancangan Undangan-Undang Pembatasan Transaksi Tunai terhadap jenis dan batasan transaksi tunai yaitu diatas Rp.100 juta selama satu hari kerja wajib bagi penyedia jasa keuangan melaporkan hasil transaksi kepada aparat yang berwenang melalui analisis laporan-laporan yang diterima PPATK dari Penyedia Jasa Keuangan, dimana hasil analisis yang berindikasi tindak pidana korupsi atau kejahatan- kejahatan lain disampaikan kepada penyidik tindak pidana baik itu Kepolisian, KPK dan Kejaksaan.

Saran

Adapun pandangan yang perlu disarankan sebagai berikut:

Regulasi yang sudah disusun oleh pemerintah terkait Rancangan Undang- Undang Pembatasan Transaksi Tunai maka perlu dukungan oleh semua kalangan baik eksekutif, legislatif, yudikatif yang ada sehingga dapat

mendukung dan mengesahkan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Pembatasan Transaksi Tunaisesuai dengan tugas dan fungsi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang diajukan dalam penyusunan Program Legislasi Nasional, khususnya Rancangan Undang-Undang yang berasal dari lingkungan Pemerintah sehingga disahkannya menjadi Undang- Undang secepatnya baik diakhir tahun 2018 atau di awal tahun 2019.

Perlu adanya sinergitas antar lembaga penyedia jasa keuangan dan PPATK dalam pelaporan pembatasan transaksi kuangan tunai, untuk menelusuri jejak hasil transaksi kuangan baik tunai maupun non tunai terkait jenis tindak pidana kerupsi dan khususnya dalam bentuk penyuapan sehingga hasil kejahatan tersebut dapat dilaporkan oleh Kepolisian, KPK dan Kejaksaan yang mempunyai kewenangan dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntun.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Andri Gunawan dkk, 2013. Membatasi Transaksi Tunai Peluang Dan Tantangan, Indonesian Legal Rountable, Jakarta.

Badan Kebijakan Fiskal, 2012. Kementerian Keuangan, Kajian Pembatasan Transaksi Tunai, Rineka Cipta, Jakarta.

Indryanto Seno Adji, 2006. Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta.

Marella Buckley, dalam Hans Otto Sano, 2003. Hak Asasi Manusia dan Good Governance, Membangun Suatu Ketertiban, (alih bahasa oleh Rini Adriati), DepKumHam, Jakarta.

PERATURAN PERUNDAN-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Transfer Dana.

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Tunai.

JURNAL

Harkristuti Harkrisnowo, 2002.“Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia”,Jurnal Dictum LeIP, Edisi I, Lentera Hati, Jakarta.

INTERNE

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20141023144439-12-7662/pembatasan- transaksi-tunai-tekan-korupsi, diakses 12 Januari 2018.

https://bphn.jdihn.go.id/pencarian/38792/detail. diakses pada 6 Februari 2018.

Referensi

Dokumen terkait

Salinitas air yang relatif tinggi, sebagai akibat penelitian yang dilaksanakan pada musim kemarau, juga menjadi salah satu faktor pembatas kesesuaian lahan untuk budidaya tambak di

siswa secara perseorangan Perencanaan pembelajaran hendaknya mengacu pada individu perseorangan, karena jika tidak mengacu pada hal tersebut besar kemungkinan siswa

1) Pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah disusun sebelumnya. Pembelajaran dimulai dengan penyampaian tujuan pembelajaran, menggali

Perencanaan, Pertemuan ketiga pada siklus II materi pembelajaran diawali dengan sedikit mengulang materi pertemuan pada siklus I kemudian dilanjutkan dengan materi

Hemofilia merupakan penyakit yang berbiaya tinggi, tidak hanya dari sisi biaya langsungnya saja (biaya pengobatan) tetapi juga dari segi biaya tidak langsung

Hal ini juga didukung dengan adanya R Square yang menunjukkan bahwa sebesar 13,4 persen variabel orientasi masa depan, pengetahuan keuangan dan kecerdasan spiritual

Boleh berbeda, tetapi tidak menjadi antagonis yang sulit didamaikan (Miftah Thoha, 2008:95). Pada prinsipnya Indonesia adalah negara hukum, maka UUD 1945 merupakan sumber

Sistem perwilayahan Kota Salatiga berdasarkan RTRWP termasuk kedalam sistem perwilayahan Kedungsepur yang meliputi Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak,