• Tidak ada hasil yang ditemukan

Checks and Balance Antara Eksekutif dan Legislatif di Era Otonomi Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Checks and Balance Antara Eksekutif dan Legislatif di Era Otonomi Daerah"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Hardinata; 41 - 45 41

Checks and Balance

Antara Eksekutif dan Legislatif di Era Otonomi Daerah

Oleh: Hardinata Abstract

In process of Indonesia national legislation, the House of Representatives (DPRD) is one of the main elements of governance in the region. Therefore, as a partner of local government, duties and functions of parliament (based on the mandate of the law) is more emphasis on the duties and functions of control or balance (checks and balances) between the branches of power, leadership and ranks of the bureaucracy. DRRD existence, whose members are directly elected by the people in the general election, is sufficient to reflect the representation of popular sovereignty and the rationalization of the principles of democracy. Revised from the procedural and substantive, the condition is a significant development in the process of democratization in Indonesia.

Keywords: Legislation, checks and balances, decentralization, governance

Pendahuluan

Harapan baru bagi rakyat Republik Indonesia dengan lahirnya reformasi 1998, yang telah merubah tatanan sistem pemerintahan sentralisasi menjadi sistem desentralisasi (otonomi daerah), melalui Undang No. 22 Tahun 1999, kemudian direvisi melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, dengan tujuan sama, yaitu pengaturan tata kelola pemerintahan di daerah. Undang-undang otonomi juga mengatur peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang selama ini hanya menjadi ”stempel” pemerintah, berubah menjadi mitra kerja pemerintah daerah dengan tugas pokok dan fungsi yang lebih jelas dan terukur.

Otonomi daerah itu berarti hak, wewenang dan kewajiban suatu pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Fungsi mengatur diberikan kepada aparat legislatif, yaitu DPRD. Itulah sebabnya DPRD pada masing-masing daerah dapat membuat Peraturan Daerah (Perda) masing-masing ketentuan yang berlaku. Sedangkan fungsi mengurus diserahkan kepada eksekutif daerah yaitu kepala daerah dan dinas-dinas otonomnya (Inu Kencana, 2011:64).

Sesunguhnya harapan untuk dapat diciptakan adanya ckeck and balance antara DPRD dan Bupati/Walikota sebelum lahir undang-undang otonomi, dimana kedudukan dan peran pemerintah daerah (bupati dan perangkatnya) terlalu kuat, sementara peran DPRD sangat lemah. Dengan lemahnya peran itu, maka secara logika mencerminkan lemahnya partisipasi masyarakat.

Dalam pandangan Kansil (2003:143), kedudukan kepala daerah dan DPRD sama tinggi, Kepala daerah memimpin bidang eksekutif dan DPRD bergerak di bidang legislatif. Meskipun demikian, harus diakui bahwa pembuatan peraturan daerah tidak dapat dilakukan oleh DPRD sendiri, tetapi bersama-sama dengan kepala daerah dan DPRD. Selanjutnya, tugas kepala daerah ialah memimpin penyelengaraan dan bertanggungjawab penuh atas jalannya pemerintahan daerah.

(2)

Hardinata; 41 - 45 42

Harapan untuk mewujudkan check and balance tidak terwujud dengan baik malah menjadi pudar karena ternyata peran DPRD menjadi lebih kuat. Apa yang terjadi di beberapa daerah kabupaten/kota, DPRD sebagai lembaga legislatif dapat mengunakan kekuasaan secara berlebih tanpa ada yang bisa mengontrol dan mengendalikannya. Kasus ini terjadi seperti pengajuan anggaran daerah (RAPBD), pengadaan kendaraan dinas, asuransi, studi banding, serta uang saku anggota dewan terjadi di banyak daerah.

Posisi kuatnya DPRD menyebabkan bupati dan walikota cenderung untuk kompormistis. Dan bagi daerah dimana bupati dan walikota yang tidak lagi idealis memperjuangkan kepentingan rakyat, maka akan memberikan peluang berpindahnya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (pusat) ke kabupaten dan kota.

Riswandha Imawan menjelaskan bahwa konsekuensinya pada tataran pemerintahan lokal, lembaga perwakilan rakyat daerah DPRD menjadi aktor utama penentu kebijakan. Hingga implikasinya, performa eksekutif di daerah sangat ditentukan oleh performa lembaga legislatifnya. Sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah, DPRD merumuskan isu yang berkembang dalam masyarakat, bisa saja salah dalam memberikan tugas kepada eksekutif. Artinya, bila terjadi kesalahan pada eksekusi sebuah ide yang datang dari DPRD, bisa jadi kesalahan itu datang dari DPRD itu sendiri (dalam Syamsudin Haris, 2007:41).

Hubungan kelembagaan antara eksekutif dan legislatif yang banyak menimbulkan peselisihan perlu dicari tata hubungan check and balance dalam sistem demokrasi. Dalam bahasa undang-undang merupakan hubungan antara sesama unsur penyelenggara pemerintah daerah yang demokratis. Boleh berbeda, tetapi tidak menjadi antagonis yang sulit didamaikan (Miftah Thoha, 2008:95).

Pada prinsipnya Indonesia adalah negara hukum, maka UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi yang menentukan sistem ketatanegaraan melalui konstitusi, dan dapat ditetapkan mengenai; 1) susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar, 2) fungsi dan alat-alat negara; 3) hubungan antara pemerintah dengan warga negara, dan; 4) hak dan kewajiban warga negara.

Salah satu yang penting untuk menghindari peselisihan tentunya harus dilihat dalam konstitusi adalah pembatasan kekuasan pemerintahan melalui pemisahan atau pembagian kekuasaan pemerintahan pada beberapa lembaga negara, agar kekuasaan tidak terpusat pada satu lembaga atau pada satu kelompok penguasa saja.

Sehubungan pembatasan kekuasan pemerintahan melalui pemisahan atau pembagian kekuasaan pemerintahan tentunya tidak lepas dari hak dan kewajiban kepala daerah dan DPRD. Adapun hak dan kewajiban kepala daerah, adalah sebagai berikut: 1) menjalankan pimpinan pemerintahan daerah sebagai kepala wilayah, sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi didaerahnya; 2) bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sesuai dengan kedudukan presiden sebagai penanggungjawab tertinggi penyelengaraan pemerintahan di seluruh wilayah Indonesia; 3) memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD sekurang-kurangnya sekali setahun agar DPRD sebagai salah satu unsur pemerintahan daerah, dapat selalu mengikuti dan mengawasi jalannya pemerintahan daerah, dan; 4) mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan sehubungan dengan hak dan kewajiban kepala daerah sebagai pimpinan daerah.

Akan tetapi, karena banyaknya tugas kepala daerah, apabila dipandang perlu, kepala daerah dapat menunjuk seorang kuasa atau lebih untuk mewakilinya dalam hal-hal tertentu di luar dan di dalam pengadilan. Sementara DPRD mempunyai hak antara lain, adalah sebagai berikut: 1) membuat peraturan daerah serta membuat dan menetapkan APBD bersama – sama kepala daerah, dan; 2) masing-masing anggota DPRD mempunyai hak-hak tertentu, seperti

(3)

Hardinata; 41 - 45 43

hak mengajukan pertanyaan, mengajukan pendapat, meminta keterangan, prakarsa, dan mengadakan penyelidikan.

Sedangkan kewajiban DPRD adalah: 1) mempertahankan, mengamankan, serta mengamalkan Pancasila dan UUD 1945; 2) menjunjung tinggi dan melaksanakan Propenas dan ketetapan-ketetapan MPR lainnya secara konsekuen, serta menaati segala perundang-undangan yang berlaku, (3) bersama – sama kepala daerah menyusun serta menetapkan APBD dan peraturan daerah untuk kepentingan daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada daerah atau melaksanakan peraturan perundang-undangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada daerah, dan; 4) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpengang kepada program pembangunan pemerintah (Kansil, 2003:145).

Jika kita merujuk pada ketentuan pasal 46 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 43 PP No. 25/2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, alat kelengkapan DPRD terdiri dari pimpinan, komisi, panitia musyawarah, panitia anggaran, badan kehormatan dan alat kelengkapan lain yang diperlukan. Jika dikaitkan dengan fungsi legislasi, tidak semua alat kelengkapan tersebut terlibat secara langsung. Jika kita mengacu pada fungsi dewan, ada 3 hal yang melekat padanya, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Fungsi-fungsi tersebut secara inhern melekat pada tugas komisi selain alat kelengkapan dewan yang lain.

Sehububungan dengan tugas dan wewenang DPRD, juga telah dijelaskan dalam UU 32 tahun 2004 (pasal 42), yaitu: “bahwa DPRD berhak meminta laporan pertanggung jawaban kepala daerah dalam penyelengaraan pemerintahan daerah”, akan tetapi pada kenyataannya dan yang terjadi rill dilapangan dalam penyelengaraan pemerintahan yang harapannya good

governance ternyata hanya menjadi harapan yang harap maklum, itu dikarenakan laporan

pertanggung jawaban bupati dan walikota akan cenderung bersifat simbolistis saja karena didalamnya mengandung nuansa-nuansa kompromistis yang belum tentu aspirasi anggota dewan merupakan mencerminkan aspirasi konstituennya. Kemungkinan terjadinya laporan yang tidak akuntabel tetapi lebih bersifat menuruti keinginan anggota legislatif tidak dapat dihindari lagi. Sebenarnya tidak ada masalah dengan kondisi yang demikian, dengan asumsi sepanjang anggota dewan memiliki kapabilitas tentang penyelengaraan pemerintahan.

Melemahnya Pemerintah Daerah

Pergantian kekuasaaan ternyata tidak mengembalikan kepercayaan masyarakat, demikian pula pemilu 1999 yang dinilai sebagai pemilu yang demokratis ternyata tidak menghasilkan para anggota perwakilan rakyat yang aspiratif dan representatif. Sementara itu, dalam tataran struktural, perluasan kewenangan pada lembaga legislatif yang tidak diimbangi oleh kualitas anggota legislatif membawa pada praktik-praktik pengunaan kekuasaan yang berorientasi pada kepentingan pribadi dan partai, yang terjadi baik di tingkat nasional maupun di daerah (Mariana dan Paskarina, 2008:25).

UU 32 tahun 2004 yang isinya tentang pokok-pokok otonomi dan juga tingkat kewenangan pemerintah daerah dalam membangun daerahnya untuk menjadi lebih baik, ternyata dilapangan mengalami pergeseran orientasi, seperti sebagai dampak dari terlalu kuatnya posisi DPRD menyebabkan bergesernya orientasi program pemerintah daerah lebih diarahkan kepada usaha untuk mengambil hati DPRD agar laporan pertanggungjawaban yang dibuat pada akhir tahun dapat diterima secara mulus oleh anggota dewan.

Kelemahan ini dimanfaatkan oleh anggota dewan untuk menitipkan anggaran dewan pada kegiatan-kegiatan eksekutif agar anggaran dewan tidak nampak secara eksklusif.

(4)

Hardinata; 41 - 45 44

Sehingga sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak berjalannya kegiatan pemerintahan secara baik, karena anggaran sebagian titipan dari dewan.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Mardiyanto dalam Syamsudin Haris (2007;320), menyatakan, pertanggungjawaban merupakan rangkaian pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah yang harus disampaikan kepada masyarakat melalui DPRD selaku lembaga perwakilan rakyat di daerah.

Oleh karena itu kesetaraan antara eksekutif dan legislatif mempunyai esensi untuk secara bersama-bersama meningkatkan kinerja pemerintah daerah yang mengemban misi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bukan sebagai ajang untuk menjatuhkan kepala daerah karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu.

Pada dasarnya kepala daerah sebagai kepala daerah otonom juga menjadi wakil daerahnya, karena ia telah mendapat dukungan dari rakyatnya di daerah. Setiap kepala daerah, sebelum diangkat, dicalonkan, dan dipilih, kepala daerah otonom harus dapat bekerja sama dengan seerat-eratnya dengan DPRD, seperti dalam: a) pembuatan peraturan daerah; b) pembuatan dan penetapan APBD, dan; c) pemberian keterangan pertangungjawaban kepada DPRD sekurang-kurangnya sekali setahun agar DPRD dapat selalu mengikuti dan mengawasi jalannya pemeritahan daerah. (Kansil, 2003:144).

Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD seyogyanya merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa diantara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi.

Hal ini dapat dicerminkan dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung (sinergi) bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsinya masing-masing.

Penutup

Dalam proses demokrasi yang harapan adanya ckeck and balance pemerintah daerah dan DPRD sebagai lembaga yang mewadahi aspirasi rakyat, yang pada dasarnya berpijak pada pembelaan kepentingan rakyat.

Dalam hal ini, DPRD sebagai lembaga yang memliki fungsi dan tugas sebagai lembaga perwakilan atau parlemen, secara teknis biasanya disebut sebagai legislatur, hendaknya lebih bisa membangun sinergi dengan pemerintah (daerah) yang dalam wujud melaksanakan fungsinya masing-masing dalam membangun dearahnya. Tetapi dalam membangun sinergi

check and balance kedua lembaga tersebut, tentunya bukan sebagai ajang “perselingkuhan”

(5)

Hardinata; 41 - 45 45

DAFTAR PUSTAKA

Haris, Syamsudin. 2007. Desentralisasi, Demokrasi & Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: LIPI Press

Kansil, C.S.T, Kansil, Christine C.S.T. 2003. Sistem Pemerintahan Indonesia, Ed. Revisi. Jakarta: Bumi Aksara

Mariana, Dede & Caroline Paskarina. 2008. Demokrasi & Politik Desentralisasi. Yogyakarta: Graha Ilmu

Syafiie, Inu Kencana. 2011. Sistem Pemerintahan Indonesia, Ed. Revisi. Jakarta: Rineka Cipta Thoha, Miftah. 2008. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Jakarta: Kencana

Prenada Media

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004, tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Undang-Undang Undang Otonomi daerah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Bandung: Citra Umbara

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Bandung: Citra Umbara

Referensi

Dokumen terkait

aplikasi jelas , 82,50% anggota Paguyuban dan 87,50% dari anak-anak menyatakan Aplikasi ini membuat Anda tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang gamelan , dan 75,00%

Adapun materi dan objek komparatif yang dikorelasikan dengannya adalah berupa (a) Gambaran tentang Konsepsi Bunga Padma yang tersurat dalam naskah manuskrip

1) Pemimpin Belajar, artinya merencanakan, melaksanakan dan mengontrol kegiatan peserta didik belajar. Pola kepemimpinan kelas yang demokratis merupakan ciri utama dalam

MAHASISWA JURUSAN

Pelajaran yang dapat diambil dari pendidikan di Inggris untuk kemajuan pendidikan Indonesia diantaranya perlunya peran serta aktif pemerintah daerah dan pusat dalam mengajak

Pernyataan pemberlakuan secara retroaktif suatu pemberlakuan perundang-undangan pidana akan menjadi permasalahan manakala pernyataan “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum

With test impact analysis, as you make code changes, you can view which tests are impacted by the code change — not just unit tests, but even manual tests that have been

Adapun kontribusi sektor industri dan bisnis dinilai oleh narasumber sangat jelas lebih penting untuk diperhatikan jika dibandingkan dengan pendapatan asli daerah (PAD),