• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Seminar STIAMI Volume III, No. 01, Februari 2016 ISSN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Prosiding Seminar STIAMI Volume III, No. 01, Februari 2016 ISSN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

112

KEMITRAAN GLOBAL DI BIDANG PERPAJAKAN: HARMONISASI REGULASI PAJAK NASIONAL DAN INTERNASIONAL DALAM MEMINIMALISIR

PRAKTIK BASE EROSION AND PROFIT SHIFTING

Selvi

Institut Ilmu Sosial dan Manajemen STIAMI [email protected]

Abstract. In this article, the authors analyze the practice of Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) conducted by multinational companies in the world which has become one of the issues and problems in international taxation. This issue is related to the increasing number of developing countries that offer tax relief or Tax Haven Countries, along with the development of digital economy, information, and technology. Indonesia has made a National Tax Law which prevent the practice of tax avoidance and tax evasion. The OECD also considers that the importance of national and international tax harmonization in the fight against BEPS considering the losses are enormous.

Keywords: MNC, BEPS

Abstrak. Dalam artikel ini, penulis menganalisis praktik Penggerusan Basis Pajak dan Pengalihan Laba (BEPS) yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional di dunia yang saat ini menjadi salah satu isu serta masalah dalam perpajakan internasional. Isu ini berkembang terkait dengan makin banyaknya negara yang menawarkan keringanan perpajakan atau Tax Haven Countries seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dunia digital. Indonesia telah membuat suatu Undang-Undang Perpajakan Nasional terkait dengan pencegahan atas praktik penghindaran dan penyelundupan pajak. OECD pun memandang bahwa pentingnya suatu harmonisasi regulasi pajak nasional dan internasional dalam memerangi BEPS mengingat kerugian yang ditimbulkan sangatlah besar.

Kata Kunci: MNC, BEPS

Suatu negara dalam memenuhi kebutuhan penduduknya memerlukan kerja sama dengan negara lain. Hal ini disebabkan karena setiap negara memiliki sumber daya yang berbeda-beda, baik dalam hal sumber daya manusia, alam, teknologi, modal, pengetahuan dan lain sebagainya. Kerja sama antar negara ini menyebabkan terjadinya perpindahan suatu sumber daya dari negara yang satu ke negara lainnya dan melahirkan suatu keuntungan satu sama lain. Kerja sama antar negara dapat diibaratkan sebagai suatu perdagangan dimana ada penjual dan

pembeli. Istilah “perdagangan” antar negara ini tentu saja melibatkan penduduk negara masing-masing. Selain itu,

“perdagangan” antar negara ini tentu saja juga ikut memberikan keuntungan bagi penduduknya. Penjual mendapatkan keuntungan dari hasil penjualannya, sedangkan pembeli mendapatkan keuntungan berupa terpenuhinya suatu kebutuhan yang ia inginkan. Keuntungan ini dapat dikonsumsi atau disimpan sehingga dapat dikatakan bahwa keuntungan ini adalah penghasilan kedua belah pihak.

(2)

113 Setiap negara memiliki hak untuk

memungut pajak. Hal ini lah yang kemudian menjadi permasalahan. Penulis akan memberikan gambaran mengenai permasalahan perdagangan internasional dari aspek pajak melalui sebuah contoh berikut. Li Wei, seorang pengusaha asal Cina menjual keramik hasil pabrikannya ke Thomas Jeff di Inggris. Tentu saja Li Wei mendapatkan penghasilan atas penjualan yang ia lakukan tersebut.

Otoritas pajak di Inggris mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima Li Wei oleh karena Li Wei mendapatkan sejumlah penghasilan di Inggris. Begitu pula otoritas pajak di Cina yang mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima Li Wei oleh karena Li Wei merupakan warga negara Cina sehingga Cina berwenang untuk mengenakan pajak.

Pengenaan pajak ganda inilah yang menjadi permasalahan dimana seseorang dapat dikenakan pajak lebih dari satu kali atas penghasilan yang sama sehingga keuntungan justru berubah menjadi suatu kerugian yang dapat mematikan perekonomian. Oleh karena itu, negara- negara mulai membuat suatu perjanjian perpajakan untuk menghindari atau mengurangi resiko pengenaan pajak berganda yang dinamakan Tax Treaty.

Seiring perjalanan waktu, kerja sama internasional kian global. Negara- negara khususnya negara-negara

berkembang saling bersaing memperebutkan investor asing untuk dapat menanamkan modal di negara tersebut.

Salah satu strategi dalam menarik investor adalah dengan menawarkan adanya keringanan pajak baik dalam hal pengenaan tarif pajak yang rendah sampai nihil maupun pemberian fasilitas-fasilitas pajak yang akan meringankan biaya yang harus dikeluarkan investor atau lebih dikenal dengan sebutan Tax Haven Countries. Hal ini membuat investor lebih memilih untuk menanamkan modalnya bukan di negara asalnya (resident country) melainkan di Tax Haven Countries.

Fenomena investasi yang dilakukan karena adanya faktor pajak didukung oleh pernyataan penelitian Zodrow &

Mieszkowski (Parys & Klemm:2011:2) yakni “when the capital is mobile, the sensitivity of capital to tax burden leads countries to undercut each other’s tax rate to attract capital”. Adapun kriteria Tax Haven Country diatur dalam petunjuk pengisian SPT Badan 2009 (PER 39/PJ/2009) ialah:

a. Negara yang memberikan tarif pajak rendah atau negara yang tidak mengenakan PPh, yaitu negara yang mengenakan tarif PPh lebih rendah 50% dari PPh Badan di Indonesia b. Negara yang menerapkan kebijakan

kerahasiaan bank dan tidak melakukan pertukaran informasi, yaitu negara

(3)

114

atau yurisdiksi yang berdasarkan poerundang-undangannya melarang pemberian informasi nasabahnya, termasuk untuk keperluan informasi yang berkaitan dengan perpajakan

Perluasan bisnis ke negara-negara berkembang yang merupakan Tax Haven Countries umumnya dilakukan oleh MNE (Multi National Enterprises) yang mayoritas merupakan residen negara- negara maju. Tarif yang rendah serta ketidakmampuan hampir seluruh negara- negara berkembang dalam mengumpulkan data atau informasi penting menyangkut Wajib Pajak semakin memudahkan MNE untuk melakukan penghindaran bahkan penggelapan pajak. MNE lebih mudah mengalihkan labanya ke Tax Haven Countries. Mintz & Smart (Auerbach et al:2007:229) menyatakan bahwa multijurisdictional firms (memiliki makna yang sama dengan MNE) di Canada dapat lebih mudah mengalihkan labanya (profit shifting) ke perusahaan afiliasinya di negara lain dibandingkan dengan perusahaan non-MNE. Analisa yang dilakukan Fuest & Riedel (2012) menyimpulkan bahwa:

1. MNC melaporkan laba dan membayar pajak yang lebih kecil dibandingkan perusahaan nasional di negara residennya,

2. MNC yang melakukan usaha di tax haven countries melaporkan laba dan

membayar pajak yang lebih kecil dibandingkan MNC yang tidak melakukan usaha di tax haven countries.

Dari kedua penelitian itu, dapat disimpulkan bahwa MNC mendapatkan dua keuntungan sekaligus yakni baik di negara residen maupun di negara sumber yang menawarkan Tax Haven Countries, MNC melaporkan laba yang lebih sedikit dari yang seharusnya dilaporkan di negara residen dan membayar pajak yang lebih sedikit daripada yang seharusnya dibayarkan di negara residen maupun di negara sumber. Fenomena ini dikenal dengan Base Erosion and Profit Shifting atau Penggerusan Basis Pajak dan Pengalihan Laba.

Metode Pengurangan Pajak (Tax Reduction Method) yang Dilakukan

MNC

Menurut Needham (2013:2), metode pengurangan pajak yang dilakukan MNC yakni mengalihkan penghasilan dari negara dengan tarif pajak yang lebih tinggi ke negara yang lebih rendah tarifnya atau negara yang tidak mengenakan pajak.

Berikut adalah metode pengurangan pajak yang dilakukan MNC (Needham:2013:2- 4):

1. Profit Shifting Strategy

Profit Shifting Strategy dilakukan dengan cara mengurangi aktivitas

(4)

115 operasional di negara yang

mengenakan tarif pajak yang tinggi

kemudian mengalihkan

kegiatan/aktivitas tersebut ke anak perusahaan yang berada di negara yang mengenakan tarif pajak yang lebih rendah atau tidak mengenakan pajak.

2. Transfer Pricing

Transfer Pricing terjadi atas transaksi-transaksi yang dilakukan antar perusahaan-perusahaan grup afiliasi MNC dengan harga transaksi yang biasanya tidak wajar dimana harga tersebut bisa lebih mahal atau lebih murah dibandingkan apabila transaksi tersebut dilakukan kepada perusahaan lain non afiliasi.

Ketidakwajaran tarnsaksi tersebut dapat terjadi atas transaksi:

a. Penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud maupun barang tidak berwujud b. Sewa, royalty, atau imbalan

lain yang timbul akibat

penyediaan atau

pemanfaatan harta berwujud maupun harta tidak berwujud

c. Penghasilan atau pengeluaran sehubungan

dengan penyerahan atau pemanfaatan jasa

d. Alokasi biaya

e. Penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan, dan penghasilan atau pengeluaran yang timbul akibat penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan yang dimaksud

Atas transaksi yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa harus dilakukan penyesuaian guna memperoleh suatu harga yang wajar apabila transaksi tersebut dilakukan kepada pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa.

Tercantum dalam tax treaty UN Model pasal 9 ayat 2 mengenai transaksi associated enterprises:

“where a Contracting State includes in the profits of an enterprise of that State-and taxes accordingly-profits on which an enterprise of the other Contracting State has been charged to tax in that other State and the profits so included are profits which would have accrued to the enterprises of that first-mentioned State if the conditions made between the two enterprises had been those which would have been made between

(5)

116

independent enterprises, then that other State shall make an appropriate adjustment…”

Dalam Pasal 18 ayat 3 UU PPh mengatur :

“Direktur Jenderal Pajak

berwenang untuk

menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan

istimewa dengan

menggunakan metode perbandingan harga anatara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya plus atau metode lainnya”

Metode-metode dalam menentukan harga wajar yakni:

a. Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price/

CUP)

b. Metode harga penjualan kembali (resale price method)

c. Metode biaya-plus (cost plus method/ CPM)

d. Metode lain:

1) Metode pembagian laba (profit split method / PSM)

2) Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method / TNMM)

Lebih lanjut, Undang-undang Pajak Penghasilan di Indonesia Pasal 18 ayat 3A juga mengatur ketentuan mengenai transaksi yang melibatkan hubungan istimewa yakni “Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak yang mempunyai hubungan istimewa…”. Perjanjian ini lebih dikenal dengan istilah Advanced Price Agreement (APA).

Misalnya A Company (di negara dengan tarif pajak tinggi) membeli produk seharga US$ 15.000 ke perusahaan afiliasinya yakni B Company (di Tax Haven Country, income tax rate 0%). Dengan jenis, kualitas dan kuantitas produk yang sama, B Company menjual produk tersebut kepada perusahaan lain non afiliasinya seharga US$

12.000, sehingga terdapat ketidakwajaran harga yang terlalu tinggi sebesar US$ 3.000. A Company dapat mengakui beban pembelian tersebut sehingga

(6)

117 mengurangi pendapatan yang pada

akhirnya berujung pada pembayaran pajak yang lebih kecil.

Sedangkan bagi B Company, pendapatan atas penjualan produk tersebut tidak dikenakan pajak.

Atas harga transaksi yang tidak wajar antara A Company dengan B Company, perlu dlakukan appropriate adjustment oleh otoritas pajak dari kedua negara.

Gambar 1

Skema Transfer Pricing Sumber: Diolah Penulis 3. Corporate debt-equity

Maksud corporate debt-equity ialah strategi MNC dalam kaitannya dengan alokasi hutang dan modal. Misalnya, A Company di negara X memberikan pinjaman kepada perusahaan afiliasinya yakni B Company di negara Y. Pinjaman yang diberikan A Company digunakan untuk modal B Company. Negara X merupakan negara surga pajak dengan tarif pajak

penghasilan badan 0% sedangkan negara Y merupakan negara yang menerapkan tarif yang tinggi. B Company dapat mengakui beban bunga atas hutangnya pada A Company sehingga pajaknya di negara Y berkurang sedangkan atas pendapatan bunga pinjaman yang diperoleh A Company tidak dikenakan pajak karena tarif pajak penghasilan badan di negara X sebesar 0%.

(7)

118

Gambar 2

Skema Corporate debt-equity Sumber: Diolah Penulis UU PPh yang berlaku di Indonesia

mengatur kebijakan mengenai rasio hutang dan modal (Debt-Equity Ratio) yang tercantum pada Pasal 18 ayat 1 UU PPh yang berbunyi “Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan undang-undang ini”. Dalam KMK 1002/KMK 04/1984 yang berlaku sejak 8 Oktober 1984 yang berbunyi

“untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan besarnya perbandingan antara hutang dan modal sendiri (debt equity ratio) ditetapkan setinggi- tingginya tiga dibanding satu (3:1)”.

Namun demikian, kekhawatiran pemerintah atas penerapan ketentuan ini akan menghambat dunia usaha maka KMK tersebut ditunda

pelaksanaannya dengan KMK 254/KMK.01/1985, yang berlaku surut sejak 8 Oktober 1984.

4. Payments for Intangibles

Strategi ini merupakan strategi atas kepemilikan barang yang tidak berwujud (intangible assets) berupa IPR (Intellectual Property Rights).

IPR dapat berupa hak paten, hak cipta, merek dagang, ataupun lisensi. Suatu grup korporasi menunjuk dan memberikan kepemilikan atas IPR kepada salah satu perusahaan afiliasinya yang merupakan subjek pajak suatu negara yang menerapkan tarif pajak yang paling rendah atau berada di zona Tax Haven Country.

Perusahaan-perusahaan afiliasi lainnya yang berada di negara dengan tarif pajak yang lebih tinggi harus membayar sejumlah royalti/biaya lisensi atas penggunaan IPR tersebut.

(8)

119 Gambar 3

Skema Paymenst for Intangibles Sumber: Diolah Penulis 5. Shell Holding Company

Shell holding company mengibaratkan dirinya sebagai cangkang karena perusahaan ini tidak melakukan kegiatan produksi, distribusi atau perdagangan dalam memperoleh penghasilannya namun perusahaan ini bisa merupakan pemilik IPR, pemegang saham terbesar atau pusat kegiatan manajerial bagi perusahaan- perusahaan afiliasinya di negara lain.

Shell Holding Company ditempatkan di negara yang mengenakan tarif pajak yang rendah atau bahkan tidak mengenakan withholding tax atas dividen dan capital gains seperti Irlandia, Belgia, Belanda dan Swiss.

Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 18 ayat 3B mengatur pembelian saham atau aktiva melalui Special Purpose Company- memiliki makna yang sama dengan Shell Holding Company.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak oleh Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu perusahaan Wajib Pajak dalam negeri melalui perusahaan luar negeri yang didirikan khusus untuk tujuan tersebut (Special Purpose Company).

“Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian

(9)

120

(special purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang

Wajib Pajak yang

bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan tidak terdapat ketidakwajaran penetapan harga”

Lebih lanjut, pada Pasal 18 ayat 3C UU PPh mengatur tentang penjualan saham perusahaan antara yang berbunyi:

“Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia”

Sebagai ilustrasi, A Ltd didirikan dan bertempat kedudukan di negara A yakni sebuah negara yang merupakan Tax Haven Country. A Ltd memiliki 95% saham PT. ABC yang didirikan dan bertempat kedudukan di Jakarta.

A Ltd ini merupakan shell holding

company/special purpose company/conduit company yang didirikan dan dimiliki sepenuhnya oleh B Co yakni sebuah perusahaan di negara B. Apabila B Co menjual seluruh kepemilikannya atas saham A Ltd kepada PT. Sinar yakni perusahaan yang merupakan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri, maka secara legal formal transaksi di atas

merupakan pengalihan

kepemilikan/saham perusahaan luar negeri oleh Wajib Pajak Luar Negeri.

Namun pada hakikatnya, transaksi ini merupakan pengalihan kepemilikan perseroan Wajib Pajak Dalam Negeri oleh Wajib Pajak Luar Negeri sehingga atas penghasilan dari pengalihan ini terutang Pajak Penghasilan.

6. Hybrid Entities

Hybrid Entities merupakan strategi suatu grup korporasi untuk mendapatkan pengurangan pajak ganda atas suatu transaksi yang sama dengan memanfaatkan peraturan dan fasilitas pajak yang berbeda-beda di negara yang berbeda-beda melalui perusahaan-perusahaan afiliasinya.

Contohnya ialah kasus “Double Irish with Dutch Sandwich” yang melibatkan perusahaan-perusahaan multinasional di Amerika Serikat,

(10)

121 Irlandia, Bermuda, dan Belanda

(Needham: 2013:3). Dapat dilihat pada gambar 4.

Induk perusahaan Amerika Serikat mendirikan sebuah anak perusahaan di Irlandia-1st Irish Company. Induk perusahaan kemudian memberikan kewenangan untuk memiliki dan mengatur IPR zona Eropa kepada 1st Irish Company. 1st Irish Company juga berwenang untuk mengumpulkan laba yang diperoleh di zona Eropa sebelum akhirnya dikirim ke induk perusahaan di Amerika Serikat. 1st Irish Company tersebut kemudian direlokasi ke Bermuda, sebuah negara surga pajak yang menawarkan 0%

pajak korporasi. 1st Irish Company kemudian menjadi residen pajak Bermuda (Irlandia menetapkan penentuan residen pajak korporasi bukan dari dimana korporasi itu

didirikan tetapi dimana ousat manajemen dan kontrol perusahaan dilakukan).

Induk perusahaan di Amerika kemudian mendirikan anak perusahaan di Belanda yang penulis menyebutnya Netherland Company.

1st Irish Company memberikan izin atas penggunaan IPR berupa lisensi kepada Netherland Company.

Selanjutnya, induk perusahaan mendirikan kembali anak perusahaan di Irlandia (2nd Irish Company) yang dimiliki seluruhnya oleh 1st Irish Company. Netherland Company melisensikan kembali IP yang diperoleh dari 1st Irish Company kepada 2nd Irish Company. 2nd Irish Company kemudian melisensikan kembali produk tersebut kepada

Gambar 4. Double Irish with Dutch Sandwich. Sumber: Diolah Penulis

(11)

122

perusahaan-perusahaan lain dan kemudian mendapatkan penghasilan atas royalti yang dipotong pajak 12.5%. 2nd Irish Company membayar royalti atas penggunaan lisensi kepada Netherland Company dan biaya royalti ini dapat diakui sebagai biaya pengurang penghasilan di Irlandia.

Penghasilan atas royalti yang diterima Netherland Company tidak dikenakan pajak di Belanda karena Belanda memberikan tax exemption atas dividen dan capital gains. Atas penggunaan IPR yang didapatkan dari 1st Irish Company, Netherland Company membayar sejumlah royalti kepada 1st Irish Company di Bermuda.

Atas penghasilan royalti, 1st Irish Company tidak dikenakan pajak karena Bermuda tidak mengenakan pajak atas penghasilan badan.

Terlihat bahwa yang dimaksud dengan “Double Irish with Dutch Sandwich” adalah dua perusahaan Irlandia yang diibaratkan sebagai 2 buah roti dan perusahaan Belanda diibaratkan sebagai keju. Keju yang diapit oleh dua roti menjadi sandwich.

Skema “Double Irish with Dutch Sandwich” banyak dilakukan oleh perusahaan Amerika seperti Apple, Google, Abbott, General Electric dan masih banyak lagi.

7. Conduit

Sebuah strategi pengaturan arus penghasilan dan beban melalui perantara pihak ketiga. MNC membentuk jaringan perusahaan di negara yang berbeda-beda guna memanfaatkan beneficial owner suatu Tax Treaty sebagai pihak perantara yang selanjutnya penghasilan akan dikirim ke perusahaan tujuan. Pihak perantara yang dimaksud ialah Direct conduit company yakni anak perusahaan yang dibentuk berdasarkan kesepakatan untuk menghindari pembayaran pajak berganda dari penerimaan, dimana sebuah holding company akan didirikan di Negara yang memiliki perjanjian pajak dengan kedua Negara (Negara induk dan anak perusahaan), yang akan berfungsi sebagai pipa penyambung penerimaan dari anak perusahaan kepada induk perusahaan (Business dictionary).

Sejak Januari 2002, Indonesia melakukan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Pemerintah Belanda. Dalam P3B ini mengatur besarnya tarif pajak penghasilan atas bunga yaitu 0-10%.

Pajak sebesar 0% diterapkan atas penghasilan bunga pinjaman yang jatuh temponya lebih dari 2 tahun.

(12)

123 Kesepakatan tersebut dimanfaatkan

oleh perusahaan-perusahaan Indonesia yang membutuhkan dana dari luar negeri dan mendirikan perusahaan di Belanda. Namun demikian, Pemerintah pada Juli 2005 melalui Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan aturan resmi yakni SE- 04/PJ.34/2005 mengenai beneficial owner yang menyebutkan secara jelas bahwa conduit company ini tidak termasuk dalam pengertian beneficial owner sehingga tidak dapat merasakan keringanan pajak dari P3B dan tetap tunduk terhadap UU PPh domestik.

Kemudian melalui SE-03/PJ.03/2008 aturan mengenai kriteria beneficial owner diperbaharui menjadi:

a. Subjek Pajak Dalam Negeri dari negara mitra P3B

b. Pemilik yang sebenarnya dari penghasilan dividen, bunga dan atau royalty yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat dari penghasilan tersebut.

8. Company-specific Tax Rulings

Beberapa negara memperbolehkan adanya negosiasi langsung mengenai tarif pajak antara perusahaan dengan pejabat pajak yakni Belanda, Siprus dan Luxemburg. Biasanya, penetapan tarif, harga wajar ditentukan oleh pejabat otoritas suatu negara.

Kerugian Akibat BEPS

Pada Febuari 2013, OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) merilis laporan Addressing Base Erosion and Profit Shifting.. Isu ini menjadi hal yang sangat serius karena menyangkut keadilan dan kepatuhan di bidang perpajakan. Menurut OECD, BEPS yang dilakukan MNE merugikan banyak pihak, yakni:

1. Government

Pemerintah mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan sedangkan penerimaan pajak sedikit. Laba MNC di negara-negara dengan tarif pajak yang tinggi mengalami penurunan sedangkan di Tax Haven Countries mengalami peningkatan yang tajam.

Pada gambar 5, terlihat bahwa laba yang dilaporkan (% GDP) MNC asal Amerika Serikat semakin meningkat di Tax Haven Countries sedangkan di negara dengan tarif pajak yang tinggi mengalami penurunan. Lihat gambar 5.

2. Individual Tax Payer

Ketika MNE mengalihkan penghasilan sehingga pajak yang dibayarkan menjadi lebih kecil bahkan nihil, Wajib Pajak Orang Pribadi justru harus menanggung beban pajak yang lebih besar. MNC asal Amerika Serikat melaporkan pendapatan

(13)

124

sebesar 43% dari total profit overseas di Bermuda, Irlandia, Luxemberg, Belanda, dan Swiss namun mereka hanya menyerap 4% tenaga kerja dari

total tenaga kerja yang dipekerjakan MNC di luar AS dan investasi yang hanya sebesar 7% dari total investasi asing yang dilakukan.

Gambar 5

Laba yang Dilaporkan MNC Asal Amerika Serikat (% GDP)

Sumber: U.S Department of Commerce, Bereau of Economic Analysis, U.S Direct Investment Abroad: Operations of U.S Parent Companies and Their Foreign Affiliates (Keightley : 2013: 8)

3. Individual Tax Payer

Ketika MNE mengalihkan penghasilan sehingga pajak yang dibayarkan menjadi lebih kecil bahkan nihil, Wajib Pajak Orang Pribadi justru harus menanggung beban pajak yang lebih besar. MNC asal Amerika Serikat melaporkan pendapatan sebesar 43% dari total profit overseas di Bermuda, Irlandia, Luxemberg, Belanda, dan Swiss namun mereka hanya menyerap 4% tenaga kerja dari total tenaga kerja yang dipekerjakan MNC di luar AS dan investasi yang

hanya sebesar 7% dari total investasi asing yang dilakukan.

Lain halnya dengan anak perusahaannya di negara dengan tarif pajak yang tinggi (traditional economies) yakni Australia, Kanada, Jerman, Meksiko dan Inggris melaporkan pendapatan sebesar 14%

dari total profit overseas namun memperkerjakan 40% pekerja dari total tenaga kerja MNC tersebut di luar AS dan sebesar 34% investasi dari total investasi asing (Keightley:2013). Hal ini menunjukkan bahwa MNC membayar

(14)

125 pajak yang lebih kecil kerena mampu

mengalihkan penghasilannya ke Tax Haven Countries sedangkan individu yang menjadi pekerja membayar pajak yang lebih tinggi karena sebagian besar tenaga kerja MNC tersebut merupakan residen negara-negara dengan tarif pajak yang tinggi. Lihat Gambar 6.

4. Bisnis

Tax avoidance yang dilakukan oleh pelaku usaha MNE menjadikan iklim bisnis menjadi tidak lagi kompetitif.

MNE mengeluarkan biaya yang

sedikit untuk membayar pajak karena dapat melakukan profit shifting ke Tax Haven Countries, sehingga MNE mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dibandingkan dengan pelaku usaha domestik.

OECD ACTION PLAN

Dalam rangka mengurangi kerugian yang ditimbulkan atas praktik BEPS yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional, maka OECD menyusun suatu Action Plan. Action Plan ini terdiri dari:

Gambar 6

Lapangan Kerja & Investasi (% Foreign Employment & Investment) MNC asal AS Sumber: U.S Department of Commerce, Bereau of Economic Analysis, U.S Direct

Investment Abroad: Operations of U.S Parent Companies and Their Foreign Affiliates ((Keightley : 2013: 6)

1. Action 1

Address the Tax Challenges of the Digital Economy

Langkah ini mengidentifikasi tantangan-tantangan yang dihadapi dunia perpajakn dalam dunia ekonomi digital. Dunia ekonomi digital dalam hal ini adalah transaksi perdagangan

(15)

126

secara online melalui internet antar negara. Keuntungan atas transaksi di dunia maya ini sulit dipajaki dikarenakan perusahaan penjual tidak hadir dalam bentuk fisik sehingga tidak menimbulkan Bentuk Usaha Tetap.

2. Action 2

Neutralise the Effects of Hybrid Mismatch Arrangements

Dalam langkah ini merekomendasikan adanya pengembangan model P3B dan juga pembuatan suatu ketentuan perpajakan domestik untuk menetralisir dampak negative yang timbul dari hybrid entities dan juga hybrid instrument. Untuk mewujudkan suksesnya kebijakan ini, perlu adanya kerja sama dan dukungan seluruh negara dalam memerangi BEPS.

3. Action 3

Strengthen CFC Rules

Langkah ini merekomendasikan agar aturan mengenai CFC dapat lebih diperkuat.

4. Action 4

Limit Base Erosion via Interest Deductions and Other Financial Statements

Dalam langkah ini, OECD merekomendasikan adanya penyusunan ketentuan atau aturan terkait pembebanan biaya bunga dan pembayaran lainnya.

5. Action 5

Counter Harmful Tax Practices More Effectively, Taking Into Account Transparency and Substance

OECD mengusulkan adanya perubahan cara penanggulangan harmful tax practices dengan lebih memprioritaskan transparansi dan substansi.

6. Action 6

Prevent Treaty Abuse

OECD mengusulkan adanya pengembangan model P3B dan penyusunan rekomendasi bagi ketentuan perpajakan domestik dalam mencegah penyalahgunaan P3B.

7. Action 7

Prevent the Artificial Avoidance of PE Status

Langkah ini mengusulkan perlu adanya perubahan definisi suatu Bentuk Usaha Tetap

8. Action 8,9, 10

Assure that Transfer Pricing Outcomes are in Line with Value Creation

Langkah ini merekomendasikan perlu adanya penyusunan aturan yang lebih ketat terkait transfer aset tidak berwujud, pengembangan aturan yang ketat terkait transfer resiko dan alokasi modal yang berlebihan, dan disusunnya suatu aturan transfer

(16)

127 pricing terkait transaksi-transaksi yang

memiliki resiko tinggi 9. Action 11

Establish Methodologies to Collect and Analyze Data on BEPS and Actions to Adress it

OECD menyusun rekomendasi terkait pengumpulan dan analisis data yang berhubungan dengan BEPS.

10. Action 12

Require Taxpayers to Disclose Their Agrresive Tax Planning Arrangements Langkah ini mendesak agar perusahaan multinasional mengungkap struktur pajaknya kepada otoritas pajak.

11. Action 13

Re-examine transfer Pricing Documentation

OECD mengusulkan perlu adanya dokumentasi terkait transfer pricing 12. Action 14

Make Dispute Revolution Mechanism More effective

OECD mengusulkan untuk meningkatkan efektivitas penyelesaian sengketa pajak internasional.

13. Action 15

Develop a multilateral instrument

Dalam hal ini, OECD

menrekomendasikan perlu adanya pengembangan instrument multilateral dalam mengatasi isu-isu perpajakan internasional

INTERNATIONAL TAX TRANSFER PRICING REGIME

Praktik Base Erosion and Profit Shifting memberikan dampak yang negatif bagi penerimaan negara, khususnya negara dengan tarif pajak yang tinggi. Oleh karena itu, sangat diperlukan suatu upaya harmonisasi dan koordinasi antar negara, khususnya tercermin pada peraturan perpajkan nasional masing- masing negara dan tentu saja dalam Tax Treaty. Tiap negara perlu menyamakan persepsi, prosedur, prinsip dalam mewujudkan tujuan bersama di bidang perpajakan dalam bentuk International Tax Regime.

Menurut Eden (Darussalam et al: 2013:16) International Tax Regime dapat dipahami sebagai suatu hubungan fungsional dan perilaku antara pemerintah di berbagai negara yang dibentuk sebagai respon dari permasalahan di tingkat internasional mengenai suatu isu tertentu. International Tax Regime berguna untuk mengelola hubungan ketergantungan antar negara. Lihat Tabel 1.

Salah satu bentuk kemitraan global di bidang perpajkan adalah dengan berakhirnya era kerahasian bank untuk kepentingan perpajakan. Pada 2009, anggota G-20 mendeklarasikan komitmen bersama untuk mengakhiri era kerahasiaan bank. Hal ini ditindaklanjuti pada tahun 2014 dimana anggota G-20 dan OECD menyetujui

(17)

128

Common Reporting Standard (CSR) yang dirilis oleh OECD sebagai instrumen pertukaran informasi perbankan secara otomatis. Langkah ini dilanjutkan dengan komitmen berupa penyusunan kerangka waktu untuk mengimplementasikan standar perrukaran informasi perbankan secara

otomatis di negaranya masing-masing.

Pertukaran informasi perbankan antar negara tenru saja kan memudahkan otoritas perpajakan tiap negara dalam rangka memaksimalkan pendapatan pajaknya dengan meminimalisir praktik transfer pricing.

Tabel 1. : International Tax Transfer Pricing Regime

Perihal International Tax Transfer Pricing Regime

Tujuan Untuk mencegah pemajakan berganda atas penghasilan perusahaan multinasional, serta mencegah penghindaran dan penggelapan pajak

Ruang Lingkup Alokasi penghasilan (maupun biaya) antara anggota dari grup perusahaan multinasional yang berada di yuridiksi berbeda serta menilai keseluruhan transaksi afiliasi lintas yuridiksi

Prinsip-prinsip dasar Tiga prinsip utama: kesetaraan antar negara; netralitas pajak; serta kesetaraan Wajib Pajak yang melakukan aktivitas lintas yuridiksi Norma Arm’s length standard (principle) dengan melihat anggota grup

perusahaaan multinasional dalam entitas yang terpisah

Aturan Peraturan yang menjelaskan arm’s length principle dalam aplikasi, misalkan metode yang dipergunakan dalam menilai transaksi afiliasi. Adapun metode yang diakui decara global yaitu metode comparable uncontrolled price (CUP), resale price method (RPM), cost plus method (C+), transactional net margin method (TNMM) dan profit split method (PSM)

Prosedur Prosedur domestik: proses pemeriksaan, dokumentasi, dan advance pricing agreement (APA).

Prosedur internasional: mutual agreement procedure (MAP), pertukaran informasi dan stimulaneous examination procedure Sumber : Eden (Darussalam et al: 2013: 18)

DAFTAR PUSTAKA

Auerbach, Alan J et al. 2007. Taxing Corporate Income in the 21st Century.

Cambridge University

Drucker, Jesse. 2010. The Tax Haven that is Saving Google Billions. (Bloomberg Business Week, 21 Oct. 2010)

Darussalam, et al. 2013. Tranfer Pricing: Ide, Strategi, dan Panduan Praktis Dalam Perspektif Pajak Internasional.

Jakarta: Danny Darussalam Tax Center

Fuest,C & N. Riedel. 2012. Tax Evasion and Tax Avoidance: The Role of International Profit Shifting, (Draining Development? Controlling

(18)

129 Flows of Illicit Funds from

Developing Countries, in P Reuter (ed) page 109-141). Washington: The World Bank

Keightley, Mark P. 2013. An Analysis of Where American Companies Report Profits: Indications of Profit Shifting.

Congressional Research Service: CRS Report for Congress

Klemm, Alexander & Stefan Van Parys.

2011. Empirical Evidence on the Effect of Tax Incentives. (Int Tax Public Finance). (t.t): Springer Science + Business Media LCC.

Muchlinski, Peter. 1999. Multinational Enterprises and The Law. Blackwell.

Needham, Christopher. 2013. Corporate Tax Avoidance by Multinational Firms.

Library of the European Parliament.

OECD. 2013. Action Plan on Base Erosion and Profit Shifting. OECD Publishing.

Wiederhold, Gio. 2011. Follow the Intellectual Property: How Companies Pay Programmers When They Move the Related IP Rights to Offshore Tax Havens?. (Communication of the ACM vol 54 no 1 pp 66-74).

www.businessdictionary.com/definition/direct -conduit-company.html. Diunduh tanggal 17 September 2014.

Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan

Indonesia. Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Belanda untuk Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak yang Berkenaan dengan Pajak atas Penghasilan.

Direktorat Jenderal Pajak. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 04/PJ.24/2005 tentang Petunjuk Penetapan Kriteria Beneficial Owner Sebagaimana Tercantum dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Antara Indonesia dengan Negara Lainnya.

Direktorat Jenderal Pajak. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 03/PJ.03/2008 tentang Penentuan Status Beneficial Owner Sebagaimana Dimaksud Dalam Persetujuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Antara Indonesia dengan Negara Mitra.

Gambar

Gambar 4. Double Irish with Dutch Sandwich. Sumber: Diolah Penulis
Tabel 1.  : International Tax Transfer Pricing Regime

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil review literatur yang dilakukan pada Tabel 1 dan Tabel 2, maka kebaruan dari penelitian ini adalah penggunaan mikro selulosa bakteri sebagai penguat

Apakah keluarga memberikan informasi kepada pengasuh bayi (seperti pembantu, atau anggota keluarga sendiri) bahwa selama ibu bekerja, bayi hanya boleh diberikan ASI saja tanpa

Penelitian deskriptif analitik ini digunakan untuk m enganalisis permasalahan dan penyebab yang ditemukan sebagai bahan pertimbangan untuk Redesain Alat Peraga dan Lembar Kerja

Websocket sanggat cocok untuk sebuah aplikasi grup chatting, karena dengan fitur dan kelebihan yang dimiliki cocok dengan karakteristik chatting, seperti real time,

Untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak pada transaksi afiliasi, Direktorat Jenderal Pajak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pajak

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima

Ketentuan Pasal 4 ayat (1) undang-undang PPH mengatur tentang objek PPH yang berbunyi : “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian maka dapat disimpulkan bahwakemampuan pemecahan masalah mahasiswa PGSD FKIP Universitas Riau pada pecahan melalui pendekatan model