6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Desain
Desain adalah perantara bagi informasi dan pengertian. Desain membantu manusia mengerti atau memahami sebuah informasi yang sedang atau ingin disampaikan. Sedangkan desain grafis adalah bahasa yang menciptakan kepercayaan terhadap suatu objek atau gagasan (Landa, 2014).
2.1.1. Desain Grafis
Robin Landa, dalam bukunya menjelaskan desain grafis sebagai bentuk komunikasi visual. Desain grafis adalah sebuah ilmu untuk berkomunikasi melalui media visual, dengan pengaturan elemen visual. Sehingga desain grafis memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan pesan atau informasi yang ingin disampaikan kepada audiens. (Landa, 2014, hlm. 1)
2.1.2. Elemen Desain
Dalam proses perancangan atau desain, desainer memanfaatkan elemen-elemen desain untuk menyusun suatu komposisi yang dapat menyampaikan suatu pesan atau informasi. Elemen-elemen desain dijelaskan dengan detil dalam buku Graphic Design Solutions karangan Robin Landa sebagai berikut :
a. Titik
Titik merupakan elemen desain terkecil yang berbentuk lingkaran. Pada gambar yang berwujud digital atau berbasis komputer, sebuah titik
7 diibaratkan sebagai sebuah pixel, dan berwujud persegi, bukan lingkaran.
Titik-titik yang disejajarkan atau dipanjangkan akan membentuk garis.
b. Garis
Garis seringkali dipersepsikan sebagai jalur perpindahan sebuah titik dari satu tempat ke tempat lainnya. Garis terbuat dari titik-titik yang dijajar atau titik yang dipanjangkan. Sebuah garis didefinisikan berdasarkan panjangnya, apakah garis itu dianggap panjang atau pendek dalam komposisinya, bukan dari ketebalan atau lebarnya. Garis memiliki banyak wujud, yaitu lurus, melengkung, bersudut, halus, kasar, dan lain-lain (Landa, 2014, hlm. 19-20).
c. Bentuk
Bentuk, (dalam bahasa inggris disebut shape ) merupakan sebuah daerah atau area yang terbentuk dari garis atau warna di atas sebuah permukaan. Sebuah bentuk pada dasarnya berwujud dua dimensi, hanya memiliki panjang dan lebar, namun tidak memiliki ukuran kedalaman ruang.
Pada dasarnya, terdapat tiga bentuk dasar yaitu persegi, segitiga, dan lingkaran. Ketiga bentuk dasar ini memiliki wujud tiga dimensi (volumetrik) atau bangun ruang, yaitu kubus, piramid, dan bola. Landa juga menjelaskan dalam bukunya bahwa bentuk memiliki banyak jenis, yaitu bentuk geometris, bentuk organik, bentuk bujursangkar, bentuk lengkung, bentuk yang tidak beraturan, bentuk yang tidak disengaja, bentuk yang non-objektif atau non representasional, bentuk abstrak, dan bentuk representasional. Dalam dunia
8 desain, bentuk dasar juga disebut bentuk dua dimensi, sedangkan bentuk volumetrik disebut bentuk tiga dimensi (Landa, 2014, hlm. 20-21).
d. Figure-Ground
Figure – Ground atau yang diterjemahkan sebagai sosok-latar, juga disebut sebagai daerah positif dan daerah negatif oleh Landa dalam bukunya, Graphic Design Solutions. Figure-Ground adalah hubungan yang tercipta diantara bentuk-bentuk dalam sebuah komposisi. Figure, disebut juga daerah positif, adalah bentuk yang nyata dan benar ada, serta dapat segera terlihat sebagai sebuah bentuk. Sedangkan ground atau daerah negatif, adalah bentuk yang tidak nyata. Ground terbentuk dari area kosong di antara figure (Landa, 2014, hlm. 21-22).
e. Warna
Warna adalah pantulan cahaya yang tertangkap oleh mata manusia dari benda tertentu. Mata manusia mampu melihat warna karena adanya cahaya. Cahaya yang mengarah kepada sebuah benda atau objek tertentu sebagian terserap oleh benda tersebut, dan sebagian dipantulkan. Cahaya yang dipantulkan dan tidak terserap inilah yang dilihat manusia sebagai warna. Sebagai sebuah contoh, sebuah pisang menyerap semua warna yang mengenainya kecuali warna kuning. Warna kuning yang tidak terserap kemudian dipantulkan dan terlihat oleh mata manusia, maka pisang dikenal berwarna kuning. Warna yang dipantulkan ini disebut dengan warna substraktif.
9 Dalam melihat warna yang dihasilkan oleh layar dari media digital (komputer, televisi, dan lain-lain), warna dihasilkan dari cahaya yang dipancarkan oleh layar. Warna-warna ini tidak dipantulkan dan tidak mengenai benda, tetapi dipancarkan langsung dari layar kepada mata manusia. Warna ini disebut warna aditif (Landa, 2014, hlm. 23-27).
1. Nomenklatur Warna
Terdapat tiga kategori yang dapat membagi warna menjadi lebih spesifik, yaitu hue, value, dan saturation.
a. Hue
Hue merupakan nama warna, seperti “merah”, “kuning”, “hijau”,
“biru”, dan sebagainya. Hue juga dapat menunjukkan temperatur warna. Temperatur warna tidak dapat dirasakan secara langsung, tetapi hanya dapat dilihat secara visual. Temperatur ini tercipta di dalam otak manusia melalui asosiasi dan ingatan. Warna merah, kuning, dan oranye digolongkan sebagai warna hangat. Sedangkan warna biru, hijau, dan ungu digolongkan sebagai warna dingin.
b. Value
Value merupakan tingkatan luminosity suatu warna, atau tingkatan terang dan gelapnya warna. Tint, tone, dan shade merupakan tingkatan-tingkatan yang berbeda dalam value. Tint merupakan warna yang terang, tercipta dari campuran hue dengan putih. Tone
10 merupakan warna standar tanpa campuran hitam dan putih.
Sedangkan shade merupakan hasil pencampuran hue dengan hitam.
c. Saturation
Saturation merupakan ukuran kecerahan suatu warna, apakah suatu warna dianggap cerah atau kusam, tergantung dari jumlah warna abu-abu dalam pencampuran warna tersebut. Saturation juga dikenal dengan nama color intensity.
2. Pencampuran Warna
Terdapat dua jenis pencampuran warna, berdasarkan jumlah warna yang dicampurkan, yaitu warna primer dan warna sekunder.
a) Primer
Pada warna substraktif, warna primernya adalah merah, kuning, dan biru (RYB). Warna-warna ini disebut sebagai warna primer karena tidak dapat tercipta dari pencampuran warna lain.
Sedangkan pada warna aditif, warna primernya adalah merah, hijau, dan biru (RGB). Warna ini disebut sebagai warna primer aditif, karena jika ketiga warna ini digabungkan dalam jumlah yang sama, akan menciptakan cahaya berwarna putih.
11 b) Sekunder
Warna sekunder adalah warna yang tercipta dari pencampuran beberapa warna primer. Dalam warna substraktif, warna sekundernya adalah oranye, hijau, dan ungu. Jika warna-warna sekunder ini dicampurkan lagi, baik dengan sesama warna sekunder atau dengan warna primer yang telah ada sebelumnya, maka akan dihasilkan sejumlah warna lain, yaitu warna tersier.
f. Tekstur
Tekstur merupakan hasil simulasi atau representasi dari wujud permukaan suatu benda atau objek. Terdapat dua jenis tekstur dalam seni visual, yaitu tekstur asli dan tekstur visual. Tekstur asli adalah tekstur yang dapat disentuh dengan indera peraba. Tekstur asli dapat diciptakan dengan berbagai cara dalam teknik print design, seperti embossing, debossing, stamping, engraving, dan letterpress. Tekstur visual, adalah tekstur yang tidak dapat dirasakan secara fisik, merupakan ilusi yang menampilkan tekstur hanya secara visual. Tekstur visual diciptakan dengan cara scanning, foto, gambar, maupun keterampilan lainnya (Landa, 2014, hlm. 28).
g. Pola
Pola merupakan suatu pengulangan (repetisi) sistematis dan konsisten dari suatu bentuk, objek, unit, atau elemen visual, pada suatu area visual. Struktur dasar pola bergantung pada tiga bentuk dasar, yaitu titik, garis, dan grid (Landa, 2014, hlm. 28).
12 2.1.3. Prinsip Desain
Dalam perancangan komposisi desain, desainer memanfaatkan elemen-elemen pembentuk. Dalam pemanfaatannya, desainer perlu memahami prinsip desain dasar dan mengkombinasikannya dengan konsep yang telah dirancang agar menghasilkan karya desain yang baik (Landa, 2014, hlm. 29).
a. Format
Format merupakan istilah yang menggambarkan hubungan antara dua hal.
Format adalah bidang terbatas yang telah ditentukan untuk mengerjakan desain. Bidang tersebut dapat berupa benda apa saja yang akan didesain oleh desainer. Desainer juga seringkali menggambarkan jenis aplikasi menggunakan istilah format. Format dapat berupa poster, sampul CD, dan lain-lain. Bagaimanapun wujud atau jenis formatnya, setiap komponen dan elemen desain harus memiliki hubungan yang signifikan dengan format (Landa, 2014, hlm. 29-30).
b. Balance
Balance atau yang biasa diterjemahkan sebagai keseimbangan, sering kali dikerjakan secara intuisi oleh desainer, karena manusia telah mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Suatu tindakan perlu diseimbangkan dengan tindakan lain untuk mencapai keseimbangan atau kesetaraan dan kestabilan. Balance dapat diciptakan dengan cara mengatur komposisi elemen visual pada setiap sisi sumbu pusat, serta distribusi berat visual yang merata pada masing-masing elemen visual. Balance merupakan prinsip yang penting untuk dicapai dalam perancangan desain agar dapat
13 tercapai harmoni. Ketidakseimbangan dan ketidakstabilan dalam desain berpotensi menimbulkan reaksi negatif dari audiens. Balance sebagai salah satu prinsip desain, perlu bekerja sama dengan prinsip lain untuk menciptakan komposisi desain yang baik (Landa, 2014, hlm. 30-32). Balance dapat dicapai dengan penerapan teori-teori berikut :
1. Simetri
Simetri merupakan cara menciptakan balance dengan melakukan pencerminan unsur-unsur yang setara, distribusi berat visual yang setara pada kedua sisi sumbu pusat. Pada cara ini, jika sebuah format dibagi menjadi dua bagian, audiens dapat melihat bahwa kedua sisi belahan format memiliki komposisi yang sama persis.
2. Asimetri
Asimetri adalah cara menciptakan balance dengan mengatur penyebaran bobot visual yang sama pada dua sisi sumbu pusat. Dalam mencapai keseimbangan asimetris, komponen visual yang digunakan dan diletakkan tidaklah sama persis, namun memiliki bobot yang sama atau seimbang (tidak lebih banyak atau berat pada sisi tertentu).
3. Radial Balance
Radial Balance atau keseimbangan radial adalah keseimbangan yang dicapai melalui keseimbangan komposisi pada dua sumbu, horizontal dan vertikal. Radial balance biasanya lebih terlihat seperti memiliki satu titik pusat di bagian tengahnya, dan seluruh objek tampak melingkar mengelilingi titik tersebut. Pada prinsip radial balance,
14 seluruh objek atau elemen visual terlihat seimbang, baik secara horizontal maupun vertikal, atau bahkan secara diagonal.
c. Hierarki Visual
Menurut Landa (2014), penyampaian informasi merupakan hal yang penting dalam desain grafis. Audiens harus mampu menangkap informasi yang ingin disampaikan dengan tepat dan sebisa mungkin menghindari kesalahan persepsi. Hierarki visual penting untuk diterapkan dalam mengatur informasi yang disampaikan secara visual, agar dapat tersampaikan dengan tepat.
Hierarki visual adalah penentuan urutan visual yang dilihat terlebih dahulu dan selanjutnya oleh audiens. Desainer menggunakan prinsip ini untuk memberikan penekanan sesuai dengan hierarkinya, agar desainer dapat mengatur dan mengarahkan audiens untuk melihat informasi atau elemen visual yang harus dilihat terlebih dahulu, dan mana yang dilihat berikutnya (Landa, 2014, hlm. 33).
d. Emphasis
Emphasis atau penekanan adalah pengaturan elemen visual berdasarkan kepentingannya, dilakukan dengan memberikan penekanan atau titik berat terhadap suatu elemen, dan membuat elemen lainnya menjadi elemen pendukung (Landa, 2014, hlm. 33-35). Dalam mencapai emphasis, terdapat berbagai cara yang dapat diterapkan, yaitu:
15 1. Emphasis by isolation (Penekanan dengan mengisolasi)
Pembuatan emphasis dilakukan dengan cara mengisolasi sebuah bentuk untuk mengarahkan fokus kepada bentuk tersebut.
2. Emphasis by placement (Penekanan dengan penempatan)
Penempatan suatu objek atau elemen visual memiliki pengaruh terhadap ketertarikan audiens terhadap elemen visual tersebut. Penempatan elemen grafis pada posisi tertentu, seperti pada bagian depan, pojok kiri atas, atau bagian tengah halaman dinilai paling mudah menarik perhatian audiens.
3. Emphasis through scale (Penekanan melalui ukuran)
Ukuran sebuah elemen visual dapat mempengaruhi penekanannya dalam sebuah komposisi, ukuran juga dapat memberikan ilusi visual terhadap kedalaman, berupa ruang komposisi yang terbentuk. Suatu elemen menjadi terkesan dekat dan berada di depan ketika berukuran besar, dan terlihat jauh ketika berukuran kecil. Sebuah elemen yang berukuran jauh lebih besar daripada elemen-elemen lainnya akan menarik perhatian mata audiens. Bagaimanapun juga, elemen yang sangat kecil juga akan menarik perhatian jika diletakkan diantara elemen-elemen visual lain yang berukuran besar.
4. Emphasis through contrast (Penekanan melalui kontras)
Emphasis dapat diciptakan dengan memberikan kontras pada elemen- elemen visual tertentu terhadap elemen visual lainnya. Dengan memberikan kontras, mata audiens diarahkan untuk melihat elemen yang
16 berbeda terlebih dahulu. Contohnya, sebuah bentuk dengan warna tint yang berada di tengah bentuk serupa dengan warna shade akan menjadi emphasis. Kontras juga tergantung pada ukuran, skala, lokasi, bentuk, dan posisi sebuah elemen visual dalam sebuah komposisi.
5. Emphasis through direction and pointers (Penekanan melalui unsur arah dan penunjuk)
Emphasis dapat tercapai dengan menggunakan arah panah, diagonal, maupun penunjuk arah lainnya untuk membantu mengarahkan pandangan audiens kepada elemen atau bagian tertentu dalam sebuah halaman yang telah ditentukan.
6. Emphasis through diagrammatic structures (Penekanan melalui struktur diagramatik)
Penekanan melalui struktur diagramatik dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu struktur pohon, struktur sangkar, dan struktur tangga.
a. Tree structures / Struktur pohon
Struktur pohon berbentuk seperti pohon, dengan posisi elemen utama sebagai pusat emphasis. Elemen utama disamakan dengan dahan pohon, dan elemen pendukungnya disamakan dengan ranting-ranting yang terhubung ke dahan. Elemen pendukung berada di sekitar elemen utama dan dihubungkan dengan garis atau elemen visual mirip garis.
17 b. Nest structures / Struktur sangkar
Struktur sangkar menghasilkan hierarki visual yang baik dan mudah dipahami oleh audiens. Struktur sangkar dibuat dengan membuat elemen visual saling tumpang tindih dan diatur berdasarkan elemen utama (superordinat) dan elemen pendukung (subordinat). Struktur ini juga digunakan untuk menjelaskan atau mengilustrasikan susunan elemen dari yang paling spesifik hingga yang paling umum, atau berlaku juga sebaliknya.
c. Stair structures / Struktur tangga
Struktur tangga mengilustrasikan hierarki dengan menumpuk elemen dengan urutan berdasarkan kepentingannya masing-masing. Elemen diurutkan dengan posisi elemen utama pada bagian atas dan elemen pendukung pada bagian bawah layaknya anak tangga. Struktur ini mengarahkan mata pembaca atau audiensnya agar melihat atau membaca mulai dari bagian atas terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan ke bagian bawah. Bagian bawah adalah bagian yang terakhir dilihat oleh audiens.
Ketiga jenis struktur ini mampu membantu menghasilkan emphasis atau penekanan pada desain visual. Masing-masing memiliki fungsi hierarkinya sendiri dan dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan perancangan (Landa, 2014, hlm. 33-35).
18 e. Rhythm
Rhythm seringkali diasosiasikan dengan musik saja, sebagai ketukan yang tercipta dari penekanan dan pelepasan tekanan. Dalam desain grafis, rhythm berupa pola, repitisi yang konsisten, yang mampu mengarahkan mata audiens menjelajahi halaman dan menerima berbagai informasi dalam halaman tersebut. Rhythm yang kuat mampu menciptakan stabilitas visual yang baik (Landa, 2014, hlm. 35-36).
f. Unity
Unity, atau kesatuan, diperlukan untuk mencapai keselarasan komposisi desain. Untuk mencapai kesatuan dari sebuah desain, desainer perlu menciptakan keteraturan, membuat koneksi diantara satu elemen dengan elemen lainnya, dan mencari keseluruhan dengan pengelompokkan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengatur penempatan, orientasi, kemiripan, bentuk, dan warna elemen yang tergabung dalam komposisi (Landa, 2014, hlm. 36).
g. Laws of Perceptual Organization
Terdapat 6 poin pengaturan persepsi, yaitu similarity, proximity, continuity, closure, common fate, dan continuing line (Landa, 2014, hlm. 36-37).
1.) Similarity
Pada prinsip similarity, dijelaskan bahwa mata dan pikiran manusia akan mengelompokkan elemen yang memiliki karakteristik yang sama.
Kesamaan warna, tekstur, arah, maupun bentuk membuat elemen-elemen menjadi terkelompokkan.
19 2.) Proximity
Prinsip proximity menjelaskan kecenderungan otak manusia untuk mengelompokkan elemen-elemen yang saling berdekatan.
3.) Continuity
Prinsip continuity menunjukkan otak manusia yang menangkap elemen- elemen yang membentuk jalur atau koneksi visual yang berada di antara elemen lain, yang dipersepsikan sebagai kesinambungan, dan mengarahkan mata audiens ke arah tertentu.
4.) Closure
Manusia cenderung mempersepsikan elemen-elemen yang ada dan berdekatan menjadi sebuah bentuk/unit/pola yang sempurna. Meskipun elemen-elemen yang ada sebenarnya tersebar secara acak, tetapi mata manusia memiliki kecenderungan untuk menganggapnya sebagai satu bentuk sempurna.
5.) Common Fate
Elemen-elemen yang dipersepsikan sebagai satu kelompok atau bahkan satu unit karena memiliki arah yang sama. Mata dan otak manusia secara tidak sadar menganggap beberapa elemen dengan arah yang sama sebagai satu kelompok atau satu unit.
6.) Continuing Line
Pada prinsip ini, dinyatakan bahwa otak manusia mengganggap garis sebagai sebuah jalur sederhana, yang jika terpotong, akan tetap dianggap sebagai garis yang berkesinambungan, dan manusia akan tetap
20 menangkap keseluruhan gerak garis tersebut. Bagian garis yang terpotong pada fenomena ini, disebut sebagai garis tersirat. Garis tersirat bukanlah garis yang terlihat secara kasat mata secara langsung, tetapi otak manusia mempersepsikan bahwa garis ini ada. Sebenarnya, garis tersirat tidak nampak dan hanya merupakan sebuah ruang kosong yang dipersepsikan oleh otak manusia sebagai sebuah garis. Garis tersirat sering kali dimanfaatkan dalam prinsip gestalt, untuk mempengaruhi persepsi manusia terhadap sebuah karya visual.
Gambar 2.1. Laws of Perceptual Organization (Landa, 2014)
h. Scale
Scale atau skala dalam desain merupakan ukuran dari sebuah elemen dibandingkan dengan elemen-elemen lain yang terdapat dalam komposisi.
21 Skala juga digunakan untuk membantu audiens memahami ukuran yang dimaksud, misalnya penggambaran sosok manusia yang sedang berdiri didepan bangunan, untuk menjelaskan besarnya bangunan tersebut jika dibandingkan dengan manusia (Landa, 2014, hlm. 39-40).
i. Proportions
Proporsi dalam desain merupakan hubungan atau perbandingan ukuran suatu bagian dengan keseluruhan komposisi desain. Contohnya, hubungan kepala manusia dengan tubuhnya pada kehidupan nyata merupakan ukuran proporsional, jika pada sebuah gambar terdapat ukuran kepala manusia yang lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya, maka dianggap tidak proporsional. Hal ini diterapkan terhadap sebuah bagian terhadap keseluruhan komposisi desain.
2.1.4. Tipografi
Kusrianto (2007) menjelaskan tipografi sebagai ilmu yang harus dipelajari dalam desain grafis. Tipografi menjelaskan segala sesuatu tentang huruf cetak. Tipografi membahas tentang unsur, anatomi, penggunaan, pemaknaan, jenis, dan detil lainnya yang berkaitan dengan huruf secara visual. Tipografi didefinisikan sebagai proses perancangan huruf, mulai dari bentuk huruf, hingga komposisi huruf-huruf yang disusun sehingga membentuk tulisan.
Komposisi huruf yang disusun menciptakan tampilan tertentu yang dapat diatur oleh desainer sesuai dengan tujuan dan fungsinya. Dalam bukunya, Landa (2014) menyebutkan bahwa sebuah typeface adalah satu set karakter huruf yang
22 memiliki karakteristik atau gaya visual yang konsisten. Satu set typeface biasanya memiliki huruf, angka, simbol, lambang, aksen, dan tanda baca.
a. Anatomi
Huruf dapat juga dikategorikan sebagai simbol, masing-masingnya merepresentasikan suatu bunyi yang dapat dibaca. Setiap huruf memiliki karakteristik sendiri, dan perlu diperhatikan agar tetap dapat terbaca (Landa, 2014, hlm. 44-46).
Gambar 2.2. Anatomi pada Karakter Huruf (Landa, 2014)
Berikut ini adalah nama atau istilah untuk anatomi dari huruf atau karakter menurut Landa dalam bukunya Graphic Design Solutions:
1.) Arm
Arm merupakan garis atau stroke horizontal atau diagonal, yang memanjang dari sebuah stem.
23 2.) Ascender
Ascender merupakan bagian atas, atau bagian dari karakter yang berada di atas dan di luar x-height pada lowercase. Beberapa contoh ascender adalah pada huruf b, d, f, k, l, dan t.
3.) Axis
Axis adalah derajat kemiringan suatu karakter, yang diukur dari bagian melingkar suatu karakter. Contohnya adalah kemiringan stress pada lingkaran dalam yang terbentuk dari stem huruf O.
4.) Bar dan Crossbar
Bar adalah garis horizontal yang menghubungkan dua garis vertikal pada sebuah karakter. Contoh bar adalah garis horizontal pada huruf A dan H. Sedangkan garis horizontal pada huruf e disebut crossbar.
5.) Baseline
Baseline merupakan garis yang ditarik sepanjang bagian bawah x- height pada deretan huruf, atau pada tulisan, tidak termasuk bagian descender.
6.) Bowl
Bagian huruf yang melengkung hingga menciptakan sebuah ruang melingkar pada huruf disebut bowl.
7.) Cap Height
Cap Height adalah istilah untuk tinggi huruf kapital atau uppercase, yang diukur dari baseline hingga ke ujung atas huruf. Cap height juga sering dikenal dengan sebutan capline.
24 8.) Character
Karakter, adalah istilah untuk sebuah letterform, angka, tanda baca, atau unit apapun dalam sebuah font.
9.) Counter
Counter adalah ruang yang tercipta dari garis atau stroke melengkung pada sebuah huruf.
10.) Descender
Descender merupakan bagian bawah pada karakter lowercase yang terletak di bawah baseline. Contoh huruf yang memiliki descender adalah g, j, p, q, dan y.
11.) Ear
Ear umumnya hanya dimiliki oleh huruf g. Ear adalah garis atau stroke kecil yang muncul pada bowl huruf g lowercase.
12.) Foot
Foot adalah istilah untuk bagian bawah dari sebuah karakter.
13.) Hairline
Garis atau stroke tipis pada sebuah karakter roman disebut hairline.
14.) Head
Head merupakan istilah untuk bagian atas dari sebuah huruf.
15.) Italics
Italics adalah salah satu jenis variasi dalam type family yang didesain secara khusus, yang memiliki karakter miring. Huruf italic terinspirasi dari hasil tulisan tangan yang umumnya miring ke arah kanan.
25 16.) Leg
Bagian bawah dari huruf yang mengarah ke bawah pada huruf K dan R disebut leg.
17.) Ligature
Ligature adalah istilah untuk dua atau lebih karakter yang saling berhubungan atau menyatu.
18.) Link
Link adalah istilah untuk garis yang menghubungkan dua lingkaran pada huruf g lowercase.
19.) Loop
Loop atau lobe, adalah bagian bawah huruf g yang membentuk lingkaran.
20.) Oblique
Oblique adalah istilah untuk font yang dengan sengaja dimiringkan, mirip dengan italic, namun tanpa menggunakan typeface versi italic.
21.) Serif
Garis atau stroke kecil yang ditambahkan pada bagian ujung atas atau ujung bawah garis utama sebuah karakter disebut serif. Dalam bahasa Indonesia, serif juga dikenal dengan istilah kait.
22.) Shoulder
Shoulder adalah istilah untuk garis yang melengkung pada lowercase huruf h, m, atau n.
26 23.) Spine
Garis utama yang melengkung pada huruf S disebut spine.
24.) Spur
Spur adalah istilah untuk bagian kecil yang muncul dari garis utama sebuah karakter.
25.) Stem
Stem adalah istilah untuk garis atau stroke utama pada sebuah karakter, umumnya tegak lurus.
26.) Stress
Sudut yang terbentuk antara axis utama dengan garis atau stroke pada sebuah karakter disebut stress.
27.) Stroke
Stroke adalah garis utama yang menjadi struktur penting dalam sebuah karakter.
28.) Swash
Sebuah unsur dekoratif berupa perpanjangan pada letterform yang biasanya menggantikan terminal atau serif pada sebuah karakter disebut swash.
29.) Tail
Tail hanya terdapat pada huruf Q, merupakan istilah untuk bagian bawah pada huruf Q yang melebihi baseline.
27 30.) Terminal
Terminal adalah bagian ujung atau akhir dari sebuah garis yang tidak diakhiri dengan serif.
31.) Text Type
Text type adalah istilah untuk sekumpulan teks, konten naratif, yang berukuran lebih kecil dari judul dan subjudul. Kumpulan teks ini juga biasa dikenal dengan istilah body text atau body copy.
32.) Thick/Thin Contrast
Perbedaan antara tebal tipisnya garis atau stroke pada typeface dikenal dengan istilah thick/thin contrast.
33.) Vertex
Vertex merupakan istilah untuk bagian foot pada huruf yang runcing.
34.) Weight
Weight pada sebuah karakter atau typeface diukur dari ketebalan garis atau stroke jika dibandingkan dengan tingginya. Beberapa contoh kategori weight adalah light, medium, dan bold.
35.) X-Height
X-height adalah istilah untuk tinggi huruf lowercase, tanpa mengukur ascender dan descender-nya.
28 b. Type Classification
Landa menuliskan, bahwa meskipun pada masa kini terdapat sangat banyak typeface, tetap ada beberapa klasifikasi utama typeface berdasarkan sejarah dan gayanya (Landa, 2014, hlm. 47-49). Beberapa klasifikasi tersebut adalah:
1.) Oldstyle atau Humanist
Huruf oldstyle mulai muncul pada akhir abad ke-15. Huruf oldstyle atau humanist dikenal dengan karakteristiknya yang miring dan bracketed serif. Beberapa contoh huruf oldstyle atau humanist adalah Times New Roman dan Garamond
2.) Transitional
Huruf yang diklasifikasikan sebagai transitional, adalah typeface yang memiliki serif, dan muncul pada abad ke-18. Jenis ini merupakan transisi antara typeface oldstyle yang mulai beralih ke modern. Contoh huruf transitional adalah Baskerville dan Century.
3.) Modern
Huruf modern memiliki serif, dan terlihat lebih geometris dari pada bentuk huruf pada abad sebelumnya. Jenis huruf ini mudah dikenali dari karakter tebal tipisnya yang sangat kontras pada masing-masing huruf.
Umumnya, huruf modern memiliki stress vertikal, dan merupakan jenis huruf yang paling terlihat simetris di antara semua jenis huruf lainnya.
Beberapa contoh typeface modern adalah Bodoni dan Didot.
29 4.) Slab Serif
Landa (2014) menjelaskan bahwa jenis slab serif dikenali dari karakternya yang tebal dan memiliki serif tebal. Jenis ini memiliki sub kategori lagi, yaitu Clarendon dan Egyptian. Kusrianto (2007) menyebutkan huruf slab serif mudah dikenali dengan ciri khasnya, yaitu serif yang sangat tebal dan sering kali difungsikan untuk menarik perhatian. Huruf ini banyak digunakan pada headline atau judul suatu tulisan. Bentuk huruf yang mencolok, tebal, dan berbeda dari huruf yang umum digunakan membuat slab serif mudah menarik perhatian audiens.
Meskipun menarik, slab serif jarang digunakan sebagai body text, karena ketebalan hurufnya yang akan menyulitkan mata pembaca.
Slab serif sebaiknya digunakan pada judul maupun subjudul sebuah tulisan. Slab serif juga dapat digunakan untuk menimbulkan kesan elegan, namun tetap terlihat santai.
Serif pada huruf slab serif terletak horizontal dan kaku, tidak memiliki lengkungan dan perbedaan ketebalan pada serifnya. Stroke pada huruf ini memiliki perbedaan ketebalan yang sangat sedikit, sehingga karakter huruf hampir terkesan konsisten (Kusrianto, 2007).
5.) Sans Serif
Landa (2014) menjelaskan sans serif, sebagai huruf tanpa kait atau serif.
Jenis huruf ini muncul pada abad ke-19. Beberapa huruf sans serif memiliki ketebalan yang sama, dan beberapa lainnya memiliki ketebalan yang berbeda. Jenis huruf sans serif memiliki beberapa sub kategori
30 adalah Grotesque, Humanist, Geometric, dan lain sebagainya. Contoh huruf sans serif adalah Futura, dan Helvetica.
6.) Blackletter
Typeface dengan jenis blackletter muncul dari gaya letterform manuskrip pada era medieval, sekitar abad 13 hingga 15. Tipe huruf ini dikenali dengan karakteristiknya yang condensed dan tebal dengan lengkungan.
7.) Script
Typeface jenis script adalah jenis yang paling mirip atau merepresentasikan tulisan tangan. Typeface ini dapat terlihat menyerupai hasil tulisan tangan dengan chisel-edge pen, flexible pen, pointed pen, dan bahkan pensil atau torehan kuas.
8.) Display
Display typeface merupakan typeface yang sengaja dirancang untuk kebutuhan display, atau diperuntukkan bagi penggunaan dalam ukuran besar. Penggunaan display typeface umumnya adalah untuk judul dan headline. Biasanya jenis huruf ini lebih sulit dibaca daripada jenis lainnya.
c. Type Family
Type style adalah istilah untuk ragam variasi dari typeface. Variasi dapat berupa perbedaan weight maupun perbedaan lebar, atau perbedaan kemiringan huruf. Sebuah type family mencakup beberapa variasi dari sebuah typeface (Landa, 2014, hlm. 48-49).
31 d. Pemilihan Type
Pemilihan typeface haruslah didasari dengan analisis terhadap audiens yang akan membaca, karena perancang ingin menentukan dengan jelas apa yang ingin disampaikan, serta bagaimana cara menyampaikannya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih typeface adalah memilih berdasarkan kelayakannya dihadapan audiens, memisahkan kebutuhan display type atau text type atau bahkan keduanya, pertimbangan terhadap ukuran teks ketika diaplikasikan, memilih karakter berdasarkan fungsi desainnya, mempertimbangkan voice yang dihasilkan, ukuran x-height, legibility, font tracking, serta penggunaan cetak atau digital (Landa, 2014, hlm. 51-55).
e. Typeface Pairings
Memasangkan beberapa jenis typeface adalah sebuah kebutuhan dalam perancangan. Umumnya, disarankan hanya untuk menggunakan dua jenis typeface, yaitu satu untuk display dan satu untuk text. Dalam memasangkan kedua jenis typeface, perancang sebaiknya mementingkan perbedaan dan persamaan antara kedua jenis typeface yang dipasangkan. Perbedaan perlu diperhatikan, karena memasangkan dua jenis typeface bertujuan agar pembaca mudah membedakan teks sebagai judul, headline, atau teks penjelasan. Sedangkan persamaan antara keduanya perlu diperhatikan untuk menjaga kesatuan dan harmoni antara dua jenis typeface yang berbeda (Landa, 2014, hlm. 55-36).
32 2.1.5. Proporsi dan Grid
Landa (2014) menjelaskan proporsi sebagai perbandingan ukuran antara suatu bagian dengan bagian lainnya atau dengan keseluruhan. Proporsi yang baik dalam desain menghasilkan harmoni. Dalam mengatur proporsi elemen desain, dapat digunakan beberapa teori tentang rasio, yaitu deret Fibonacci, Golden Ratio, Rule of Thirds, dan Modularity (Landa, 2014, hlm. 171-174).
Grid adalah petunjuk yang dirancang untuk membantu pengaturan peletakkan atau komposisi elemen visual pada suatu halaman, baik digital maupun cetak. Grid terbentuk dari garis-garis vertikal dan horizontal yang membagi format menjadi kolom dan margin. Dalam merancang, seorang desainer dapat dengan bebas mengikuti atau melewati grid ketika meletakkan elemen visual.
Namun, jika terlalu sering melewati grid, desain yang dihasilkan dikhawatirkan akan kehilangan armature-nya. Margin adalah ruang kosong yang sengaja dibuat pada bagian terluar dari suatu halaman, untuk memastikan konten terjaga dengan baik dalam sebuah format. Perancangan margin harus didasari dengan pertimbangan atas fungsi dan keindahan. Beberapa model grid menurut Landa:
a. Single Coloumn Grid
Single coloumn grid merupakan grid dengan satu kolom saja untuk satu halaman. Salah satu contoh dari single coloumn grid adalah halaman novel kontemporer. Single coloumn grid juga sering dikenal dengan nama manuscript grid. Grid jenis ini tidak hanya digunakan untuk keperluan cetak, tetapi juga sering digunakan untuk kepentingan digital, terutama dalam mendesain untuk perangkat mobile.
33 b. Multi-Coloumn Grid
Grid membantu menjaga alignment, memastikan konten tetap berada pada posisi yang tepat. Multi-coloumn grid dapat diatur sesuai dengan kebutuhan dan fungsinya, masinng-masing kolom dapat dirancang seimbang atau berbeda sesuai fungsinya. Multi-coloumn grid umumnya digunakan untuk desktop, tablet, dan mobile. Dalam sebagian besar ukuran layar, grid yang paling sering digunakan dan bekerja dengan baik adalah twelve-coloumn grid rancangan Nathan Smith, dengan interval sebesar 20 pixel.
c. Modular Grid
Modular grid terdiri dari banyak modul, yang dapat digunakan sendiri atau digabungkan. Hal ini merupakan keuntungan dari penggunaan modular grid, yaitu fleksibilitas peletakkan konten atau elemen visual. Modular grid juga merupakan grid yang baik untuk digunakan pada konten-konten yang membutuhkan banyak ilustrasi atau diselingi dengan gambar.
2.1.6. Layout
Dalam bukunya, Kusrianto menyampaikan bahwa layout atau tata letak dalam desain grafis tidak memiliki aturan yang paten, aturan untuk tata letak dapat berbeda dan berubah menyesuaikan dengan konteks dan media yang digunakan.
Namun, penyusunan layout haruslah menarik dan baik secara komunikasi maupun visual, maka diperlukan penerapan prinsip-prinsip desain dalam perancangan layout. (Kusrianto, 2007). Hingga saat ini, terdapat banyak jenis layout yang mendunia dan sering kali dipakai sebagai acuan dalam mendesain :
34 a. Mondrian Layout
Mengacu pada rancangan Piet Mondrian, dimana semua bidang/elemen sejajar dengan bidang dasar penyajian (format).
b. Multi Panel Layout
Pengaturan layout yang membagi bidang dasar penyajian menjadi beberapa bagian dan diisi dengan elemen-elemen visual dengan ukuran yang teratur.
c. Picture Window Layout
Layout yang menampilkan elemen utama dengan sangat close up (dekat atau besar), dan elemen pendukung hanya sedikit/kecil.
d. Copy Heavy Layout
Layout yang mengutamakan komposisi copywriting, dan didominasi oleh teks.
e. Frame Layout
Aturan layout yang membuat frame/border menyampaikan informasi/cerita.
f. Silhouette Layout
Ilustrasi atau elemen utama dalam layout berupa gambar siluet (hanya bayangan saja), dan biasanya untuk memberikan penekanan pada bentuk secara umum (bukan detil).
g. Type Specimen Layout
Layout yang berfokus pada pengaturan headline yang dibuat sangat besar, headline digunakan sebagai elemen utama dalam komposisi halaman.
35 h. Sircus Layout
Layout dengan komposisi yang tidak baku, bahkan pengaturan teks dan visual dapat dibuat tidak beraturan.
i. Jumble Layout
Layout yang berkebalikan dengan sircus layout, dimana komposisi disusun secara teratur.
j. Grid Layout
Layout yang mengacu pada skala, ukuran, dan pengaturan sistem grid.
k. Bleed Layout
Layout yang menggunakan frame yang jelas/literal, tampak seolah-olah seperti belum dipotong/trim.
l. Vertical Panel Layout
Layout yang memiliki garis vertikal atau pembagi secara vertikal yang terlihat oleh mata.
m. Alphabet Inspired Layout
Layout yang mengacu pada susunan huruf atau angka.
n. Angular Layout
Layout yang disusun menggunakan garis-garis diagonal atau membentuk sudut 40-70 derajat.
o. Informal Balance Layout
Elemen visual pada layout disusun dengan menggunakan perbandingan yang tidak seimbang.
36 p. Brace Layout
Penyusunan layout dengan mengacu pada bentuk dasar huruf L, peletakan elemen utama pada area L atau menghindari area L.
q. Two Mortises Layout
Two Mortises Layout dapat dikenali dari layout yang memiliki dua inset deskriptif.
r. Quadran Layout
Layout ini membagi halaman menjadi empat bagian dengan perbandingan/skala berbeda (tidak sama besar).
s. Comic Strip Layout
Layout berbentuk mirip komik strip, didominasi oleh gambar dan memiliki bubble chat.
t. Rebus Layout
Layout dengan kombinasi komposisi gambar dan teks yang menghasilkan cerita atau narasi dalam satu halaman.
Pemilihan dan penggunaan setiap jenis layout dapat disesuaikan atau ditentukan berdasarkan kebutuhan, tujuan, dan fungsi perancangan.
2.1.7. Fotografi
Terdapat berbagai cara untuk mendukung komunikasi visual, imagery dapat diciptakan menggunakan bermacam-macam teknik. Fotografi adalah salah satu cara untuk menciptakan imagery. Landa menjelaskan, fotografi adalah visual yang dihasilkan oleh kamera. Fotografi juga merupakan salah satu wujud imagery yang paling terkenal dalam komunikasi visual (Landa, 2014, hlm.121). Ensenberger
37 mendefinisikan fotografi sebagai bahasa komunikasi yang paling universal pada audiens yang luas, sekaligus dapat menjadi sangat personal dan khas.
Dalam mengatur komposisi fotografi, dibutuhkan analisis terhadap faktor yang mempengaruhi foto seperti subjek dan lingkungannya, arah cahaya dan bayangan, serta sudut pandang dan perspektif. Beberapa elemen yang menyusun komposisi foto adalah warna, pola, tekstur, leading line, highlights and shadows, subjek utama dan subjek pendukung, dan bahkan area netral atau kosong.
Pengaturan cahaya yang baik sangat mempengaruhi hasil foto, highlight dan area yang terang menarik perhatian audiens, sedangkan shadow dan area gelap menghindari perhatian audiens. Kedua hal ini dapat digunakan untuk menghasilkan focus pada hasil foto. Pencahayaan menggunakan sinar matahari sangat dipengaruhi oleh waktu pemotretan, karena keadaan sinar matahari yang tertangkap kamera menghasilkan warna yang berbeda pada waktu yang berbeda.
Warna merupakan elemen vital dalam fotografi, warna memiliki kekuatan untuk membantu audiens mengidentifikasi sebuah scene. Warna dalam fotografi mampu menyampaikan kesan psikologis khusus bagi audiensnya. Penggunaan warna dalam fotografi dapat mempengaruhi kontras hasil foto, kontras yang dimaksud tidak hanya terang gelap, tetapi pada warna, yaitu dengan mengatur komposisi warna analogus atau komplementer dalam sebuah frame. Viewpoint atau sudut pandang, adalah posisi kamera dan angle penglihatan kamera terhadap subjeknya. Ensenberger dalam bukunya mengutip Ansel Adams, seorang landscape photographer abad 20, bahwa untuk menghasilkan fotografi yang baik, seseorang harus mengetahui posisi yang tepat terhadap subjek. Pemilihan sudut
38 pandang dan perspektif pada fotografi menghasilkan kesan ruang yang spesifik.
Foto yang diambil dengan posisi horizontal dan vertikal juga menghasilkan kesan berbeda (Ensenberger, 2011).
2.2. Branding
Alina Wheeler (2018), dalam bukunya yang berjudul Designing Brand Identity, menjelaskan bahwa branding merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh brand designer untuk menciptakan awareness, mengundang customer baru, serta memperdalam atau meningkatkan loyalitas customer. Branding adalah proses menentukan posisi sebuah brand yang tepat dalam pasar untuk menjadi sukses.
Sebuah brand dikatakan perlu melakukan branding apabila sebuah perusahaan merupakan perusahaan baru, hendak mengganti namanya, ingin melakukan revitalisasi brand, atau revitalisasi identitas brand, ingin menciptakan sistem integrasi, atau menggabungkan perusahaan.
Branding merupakan payung bagi marketing, advertising, serta segala sesuatu yang dilakukan atau diucapkan oleh sebuah brand. Branding mengatur batasan-batasan dan cara untuk melakukan komunikasi (marketing, advertising, serta berbagai actions yang dilakukan oleh atau atas nama sebuah brand).
Branding tidak ditujukan untuk mengekang atau membuat suatu perusahaan atau produk terlihat kaku, tetapi sebagai dasar dari tindakan brand agar menghasilkan persepsi yang tepat di mata customer (Wheeler, 2018, hlm. 6-9). Terdapat lima tipe branding yang berbeda menurut Alina Wheeler:
39 a. Co-Branding
Co-Branding adalah branding yang dilakukan dengan cara berpasangan.
Memasangkan satu brand dengan brand lainnya, dan melakukan kolaborasi dengan tujuan untuk mencapai suatu target yang diharapkan.
b. Digital Branding
Digital Branding adalah kegiatan branding yang dilakukan melalui media digital, seperti website, media sosial, dan search engine optimization.
c. Personal Branding
Personal Branding merupakan sebuah cara bagi suatu individu untuk membangun reputasi. Dalam hal ini, personal branding biasanya berlaku bagi individu yang menyediakan jasa, misalnya seorang seniman atau aktor.
d. Cause Branding
Cause Branding adalah kegiatan branding yang dilakukan dengan cara mensejajarkan atau menggandeng isu sosial kepada sebuah brand. Salah satu contohnya adalah kegiatan corporate social responsibility yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau brand.
e. Country Branding
Country Branding adalah branding yang dilakukan terhadap sebuah negara, atau lokasi tertentu, dengan menjadikan negara atau lokasi tersebut sebagai sebuah brand. Country Branding dilakukan dengan tujuan sebagai sebuah usaha untuk mengundang turis, dan mendirikan bisnis.
40 2.2.1. Brand
Brand merupakan gambaran abstrak, tentang siapa dirinya, siapa audience yang perlu tahu, bagaimana memberi tahu atau berkomunikasi, serta mengapa audience harus peduli. Wheeler (2018), menjelaskan dalam bukunya, brand menjadi cara agar sebuah perusahaan, produk, atau jasa memiliki hubungan emosional dengan customernya. Agar perusahaan, produk, atau jasa tersebut menjadi tak tergantikan dan dapat bertahan untuk jangka waktu yang panjang. Brand merupakan aset yang tidak berwujud yang diekspresikan melalui brand identity.
2.2.2. Brand Stakeholders
Brand Stakeholders merupakan pihak-pihak, baik manusia perorangan, maupun perusahaan lain, produk, atau jasa, yang memiliki hubungan atau kaitan dengan brand. Untuk merancang sebuah brand yang baik, yang kuat dan yang mampu memenangkan pasar, brand designer perlu memiliki pemahaman mendalam mengenai brand stakeholders. Brand stakeholders dapat meliputi external customers, atau customer yang membeli produk atau jasa; internal customers, yaitu pekerja dan staf perusahaan; supplier; serta partner bisnis brand atau co- brand (Wheeler, 2018, hlm. 14-15).
2.2.3. Brand Identity
Menurut Wheeler (2018) dalam bukunya Designing Brand Identity, Brand Identity merupakan salah satu wujud nyata dari sebuah brand yang dapat dikenali dengan indera manusia. Brand identity dapat dilihat, disentuh, dipegang, didengar, atau bergerak. Brand identity juga merupakan akar atau bahan utama yang kemudian digunakan untuk memperkenalkan (recognition), menciptakan
41 perbedaan (differentiate), serta menghasilkan big idea dan makna yang dapat dipahami dan ditangkap oleh audiencenya.
Brand identity merupakan alat strategi bisnis. Brand identity meningkatkan kesempatan dan peluang, seperti peningkatan awareness, dan perlakuan pada CSR. Nilai yang dimaksud, diabadikan melalui proteksi hukum, trademark dan trade dress. Trademark yang dilindungi termasuk dengan apapun yang berada di dalamnya, baik lokal maupun global, dan berlaku pada segala iklim dan cuaca (Wheeler, 2018).
2.2.4. Brand Strategy
Alina Wheeler (2018), dalam bukunya menjelaskan bahwa Brand Strategy adalah sederetan rencana strategis yang akan dilaksanakan oleh sebuah brand, baik dalam rupa perilaku maupun komunikasinya. Brand Strategy dapat dianalogikan sebagai sebuah peta yang akan menuntun marketing, mempermudah penjual untuk menjual lebih banyak, menyediakan kejelasan dan konteks, serta menjadi inspirasi bagi karyawannya. Brand strategy selaras dengan business strategy, keduanya muncul dari nilai kebudayaan sebuah perusahaan, dan merupakan hasil refleksi dari kedalaman pemahaman perusahaan terhadap persepsi dan kebutuhan customer. Brand strategy yang efektif menentukan konsep pemikiran yang berpusat pada brand, dan bersifat menyatukan, bagi setiap behavior, action, komunikasi verbal dan non-verbal, hingga seluruhnya menjadi selaras. Brand strategy juga ditujukan untuk membantu perusahaan membuat artikulasi atau penekanan bagi perusahaan, atas apa yang telah mereka miliki, sehingga sebuah brand memiliki pembeda atau keunggulan di pasarnya.
42 2.2.5. Brand Architecture
Brand Architecture adalah susunan atau hirarki brand dari sebuah perusahaan induk, yang menggambarkan jalur relasi antara perusahaan induk, anak perusahaan, produk, dan jasa. Gambaran keterhubungan relasi ini juga harus merefleksikan marketing strategy dari sebuah brand. Brand Architecture diharapkan dapat menciptakan konsistensi, dalam komunikasi verbal dan visual, yang bertujuan untuk mendukung perkembangan perusahaan dan pasarnya dengan lebih efektif (Wheeler, 2018, hlm. 22-23). Beberapa jenis strategi brand architecture menurut Alina Wheeler adalah:
a. Monolithic Brand Architecture
Monolithic Brand Architecture dapat dikenali dari satu brand yang kuat, dimana customers membuat pilihan untuk membeli atas dasar loyalitasnya terhadap sebuah brand. Brand yang berada dibawah naungan brand utama disebut brand extension. Brand extension pada monolithic brand architecture menggunakan sebagian identitas brand parents dan deskripsi genericnya.
b. Endorsed Brand Architecture
Endorsed Brand Architecture dapat dikenali dari sinergi marketing antara produk dengan brand parents. Produk yang dimaksud memiliki target pasar yang jelas, dan dengan menunjukkan atau menggunakan sebagian identitas brand parentsnya, produk mendapat keuntungan dari berbagai asosiasi.
c. Pluralistic Brand Architecture
Pluralistic Brand Architecture dapat dikenali dari serangkaian brand yang sangat dikenal oleh konsumen. Identitas atau nama brand parents tidak
43 dipakai oleh brand extension, atau nama brand extension tidak selaras maupun berkesinambungan sama sekali dengan parentsnya. Identitas brand extension dan brand parents sangat berbeda dan tidak mencerminkan keselarasan. Umumnya, hanya investor atau pihak internal yang benar-benar memahami keterhubungan brand architecture ini.
2.2.6. Brand Ideals
Dalam bukunya, Wheeler (2018) menjelaskan bahwa proses branding memiliki idealisme yang esensial dibaliknya. Brand ideals ditujukan untuk memenuhi kriteria fungsional, (mudah diingat, layak, mudah dikenali, menyediakan citra yang konsisten mengenai perusahaan, dengan jelas mengkomunikasikan persona brand, dapat dilindungi secara legal, mengandung nilai yang dapat bertahan, bekerja dengan baik dalam berbagai media dan ukuran, serta tidak terpengaruh atau bergantung pada waktu) sehingga sebuah brand yang dihasilkan dapat menjadi brand yang sustainable. Beberapa idealisme tersebut dapat dideskripsikan dalam beberapa poin sebagai berikut ini:
a. Vision
Visi adalah sebuah seni untuk melihat apa yang tidak terlihat bagi orang lain.
Untuk dapat menciptakan visi, dibutuhkan keberanian dan ide yang besar, serta kegigihan untuk mengimajinasikan apa yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Visi akan menjadi tujuan atau cita-cita yang ingin dicapai atau diperankan oleh sebuah brand. Dibalik kesuksesan sebuah brand, diperlukan pemimpin yang berpassion untuk menginspirasi orang lain dalam caranya melihat masa depan.
44 b. Meaning
Sebuah brand yang baik memiliki makna yang dalam. Brand berdiri atas dasar big idea, atau kumpulan nilai dasar. Brand memiliki sifat yang serupa dengan simbol, yaitu sebagai wadah bagi makna. Orang-orang menggunakan sebuah simbol dengan lebih sering jika mereka mengerti maknanya.
Pemahaman dan pemaknaan dalam penggunaan simbol adalah bentuk tercepat dari komunikasi yang dilakukan oleh manusia.
c. Authenticity
Dalam ilmu psikologi, makna authenticity mengacu pada pengetahuan tentang diri sendiri, siapa diri mereka, mengapa mereka berdiri. Dengan pengetahuan diri yang baik, maka brand yang terbangun juga akan mampu bertahan lama dan menjadi authentic. Brand expression yang terbangun juga harus menjadi selaras dengan misi perusahaan, target pasar perusahaan, budaya, nilai, dan kepribadian perusahaan. Wheeler mendeskripsikan idealisme authenticity dalam branding menggunakan analogi sebuah piramid:
Gambar 2.3. Branding Pyramid (Wheeler, 2018)
Piramid yang digambarkan Wheeler menjelaskan bahwa pengetahuan mengenai diri (dalam hal ini brand atau perusahaan), adalah dasar yang kuat
45 untuk menentukan dan membangun branding, mulai dari pesan utama, target, look and feel, hingga identitas visual yang diciptakan.
d. Coherence
Koherensi adalah kualitas yang memastikan bahwa setiap aspek brand saling berkesinambungan, saling mendukung dan memperkuat, serta terlihat selaras bagi customer. Koherensi tidak dimaksudkan untuk membuat sebuah brand menjadi kaku atau sangat terbatas, tetapi seharusnya menjadi dasar yang kuat untuk membangun kepercayaan, menumbuhkan loyalitas, serta memuaskan pelanggan. Brand yang baik adalah brand yang sepenuhnya koheren. Apa yang mereka lakukan, apa yang mereka katakana, dan siapa mereka, saling berkaitan dan memperkuat satu sama lain.
Terdapat beberapa cara untuk mencapai koherensi, yaitu menyatukan suara dengan membuat ide utama yang dinamis, membuat strategi perusahaan, menentukan setiap touchpoint, merancang look and feel, memastikan kualitas keseragaman, serta mempertahankan kejelasan dan kesederhanaan dari sebuah brand.
e. Flexibility
Sebuah brand perlu menjadi fleksibel untuk bertahan dalam dunia yang terus berubah dan berinovasi. Brand perlu menjadi tangkas untuk dapat menaklukkan berbagai kesempatan yang tersedia di pasaran. Fleksibilitas brand menjadi penting untuk dapat beradaptasi dan menciptakan koneksi dengan customer melalui media dan bentuk yang sesuai.
46 f. Commitment
Sebuah brand adalah aset yang perlu dilindungi, diabadikan, dan dipelihara.
Untuk mewujudkan komitmen sebuah brand, dibutuhkan keinginan pemimpin yang kuat yang disampaikan pada anggota pekerjanya, serta pemahaman mendalam yang merata bagi seluruh pekerja mengenai sebuah brand atau perusahaan.
g. Value
Hampir semua organisasi atau perusahaan bertujuan untuk menciptakan nilai.
Saat ini perusahaan berusaha untuk bertahan dan menjadi terpercaya dengan menjadi bertanggung jawab secara sosial, sadar secara lingkungan, dan memiliki keuntungan.
h. Differentiation
Semua brand berlomba-lomba untuk mendapat perhatian targetnya. Akan tetapi, customer atau target tidak dapat memilih untuk menggunakan suatu brand begitu saja, mereka perlu merasakan dan mengalami pengalaman emosional dengan suatu brand, hingga seorang customer menjadi “mengerti”
perbedaan satu brand yang digunakan dengan brand lainnya.
i. Sustainability
Brand merupakan pembawa pesan terpercaya. Untuk dapat membawa pesan, sebuah brand perlu bertahan (sustainable) dalam jangka waktu yang panjang.
Beberapa cara untuk membuat brand bertahan menurut Wheeler adalah dengan komitmen yang baik terhadap equity dari ide utama, dan kapasitas yang baik untuk beradaptasi terhadap perubahan.
47 2.2.7. Brand Elements
Brand Elements merupakan uraian elemen-elemen yang membentuk identitas visual sebuah brand. Suatu identitas visual dapat tercipta dari salah satu elemen, atau gabungan dari beberapa elemen (Wheeler, 2018).
a. Brandmarks
Brandmarks dirancang dengan variasi bentuk dan karakter yang sangat bermacam-macam dan tidak terbatas. Brandmarks dapat dikategorikan dalam sejumlah klasifikasi, mulai dari literal sampai simbol, dari word-driven hingga image-driven. Dunia brandmarks sangat tidak terbatas dan masih terus berkembang setiap harinya dari waktu ke waktu (Wheeler, 2018, hlm. 54-55).
Gambar 2.4. Brandmarks dan Signature (Wheeler, 2018)
Tidak ada aturan khusus yang mengikat tentang harus seperti apa wujud sebuah brandmarks, tetapi desainer harus mampu memisahkan dan membedakan pendekatan desain yang paling baik dalam proses perancangan brandmarks dalam memenuhi kebutuhan klien. Brandmarks dapat berdiri sendiri, namun juga dapat didampingi dengan logotype sebagai satu kesatuan.
48 b. Wordmarks
Wordmarks dapat berwujud akronim yang berdiri dengan bebas, nama perusahaan, atau nama produk, yang didesain sedemikian rupa untuk menyampaikan atribut brand atau positioning (Wheeler, 2018, hlm. 56-57).
Gambar 2.5. Wordmarks (Wheeler, 2018)
Wordmarks yang baik mementingkan keterbacaan sebuah atau sekumpulan kata, dengan karakteristik font yang unik dan mudah dibedakan, serta mengintegrasikan elemen abstrak atau elemen gambar. Wordmarks tidak selalu didampingi brandmarks atau elemen visual lain selain huruf, wordmarks dapat berdiri sendiri sebagai sebuah identitas yang harafiah.
c. Letterform marks
Letterform marks merupakan desain unik yang terdiri dari satu atau lebih bentuk huruf, yang dimodifikasi dan berperan sebagai alat pengingat atau pengenal terhadap suatu nama perusahaan. Letterform umumnya memiliki bentuk yang sederhana, namun mudah diingat karena keunikannya. Keunikan bentuk letterform dirancang khusus untuk menyampaikan brand attribute,
49 brand value, atau keunggulan tertentu yang ingin dikomunikasikan melalui identitasnya (Wheeler, 2018, hlm. 58-59).
Gambar 2.6. Letterform (Wheeler, 2018)
Huruf satuan sering digunakan sebagai pembeda untuk sebuah identitas. Huruf yang digunakan memiliki karakter yang unik, tetapi juga didesain dengan layak dan terbaca, serta memiliki pemaknaan yang signifikan bagi brand. Letterform merupakan salah satu jenis marks yang paling mudah diaplikasikan sebagai ikon aplikasi, karena kesederhanaan dan proporsinya.
d. Pictorial Marks
Pictorial marks adalah gambar yang dengan sengaja disederhanakan dan di- stylized sehingga mudah dikenali dengan cepat. Pictorial marks umumnya memiliki makna harafiah terhadap sebuah brand. Pemaknaan yang harafiah ditujukan agar audience dapat dengan mudah memahami maksud atau makna khusus yang didefinisikan oleh marks tersebut. Namun, tidak semua pictorial marks menggunakan pemaknaan harafiah, beberapa pictorial marks juga
50 menggunakan kiasan atau simbol untuk mewakili nilai tertentu (Wheeler, 2018, hlm. 60-61).
Gambar 2.7. Pictorial Marks (Wheeler, 2018)
Gambar yang digunakan mungkin juga menyinggung nama perusahaan atau brand, atau misinya, atau mungkin juga menjadi simbol dari brand attribute. Pictorial marks yang baik harus memiliki keseimbangan antara positive dan negative space dalam komposisinya.
e. Abstract Marks
Abstract marks merupakan sebuah simbol abstrak yang menyampaikan big idea, dengan ambiguitas yang berstrategi. Abstract marks umumnya cocok digunakan untuk perusahaan atau brand yang menyediakan jasa dan teknologi,
51 atau perusahaan yang besar dengan sejumlah divisi yang tidak berhubungan secara langsung antara satu dengan lainnya.
Gambar 2.8. Abstract Marks (Wheeler, 2018)
Abstract Marks cocok untuk menjadi identitas visual perusahaan jasa atau teknologi, karena kedua jenis perusahaan ini memang sulit untuk didefinisikan secara harafiah dan sederhana melalui visual (Wheeler, 2018, hlm. 62-63).
f. Emblems
Emblems merupakan sebuah mark yang berhubungan langsung dengan nama perusahaan atau brand, yang didampingi elemen gambar atau bentuk.
Kombinasi yang unik antara huruf, tipografi, dengan elemen gambar atau bentuk menghasilkan visual yang berkarakter dan dapat dijadikan identitas.
52 Emblems seringkali menggunakan warna yang solid dan tidak menggunakan terlalu banyak variasi warna (Wheeler, 2018, hlm. 64-65).
Gambar 2.9. Emblem (Wheeler, 2018)
Salah satu ciri khas emblem adalah terdapatnya frame yang mengelilingi suatu elemen pada marks. Emblem terlihat baik digunakan dalam desain packaging, sebuah penanda, atau sebagai patch pada seragam karyawan brand.
Seiring dengan perubahan ukuran perangkat mobile dan perkembangan teknologi, emblem merupakan salah satu marks yang dapat bertahan dengan baik karena kesederhanaannya dan tingkat keterbacaannya meskipun harus dicetak dalam ukuran yang cukup kecil (Wheeler, 2018, hlm. 64-65).
g. Dynamic Marks
Dynamic Marks merupakan bentuk marks yang digunakan desainer untuk mewujudkan big ideas dengan cara yang baru, atas hasil adaptasi terhadap dunia yang semakin berkembang secara digital. Beberapa konsep dynamic
53 marks dirancang untuk diaplikasikan pada media digital, menuntut ketersediaan media yang mampu menunjukkan pergerakan dinamis untuk mempresentasikan mark (Wheeler, 2018, hlm. 66-67).
Gambar 2.10. Dynamic Marks (Wheeler, 2018)
Dynamic Marks menentang kekunoan dengan kreatifitas, yaitu wujudnya yang dinamis untuk mencapai brand equity.
h. Characters
Karakter dalam trademark membuat sebuah brand menjadi hidup. Karakter befungsi untuk mewujudkan brand attributes atau brand value secara
54 personifikasi. Karakter dapat dengan cepat menjadi bintang dalam kampanye dan iklan, bahkan karakter-karakter yang baik juga menjadi ikon budaya.
Gambar 2.11. Character (www.michelin.com, 2020)
Big idea yang diterapkan dalam rupa karakter mampu menjadi universal dan timeless, tetapi biasanya karakter perlu digambar ulang dengan style yang disesuaikan secara berkala, untuk beradaptasi dan mempertahankan relevansinya dengan target, serta selaras dengan budaya kontemporer pada masa karakter tersebut diluncurkan (Wheeler, 2018, hlm. 68-69).
55 2.2.8. Brand Communication
Dalam berkomunikasi sebagai sebuah brand maupun mengomunikasikan brand, sebaiknya menggunakan strategi komunikasi. Brand communication seharusnya menyatukan big idea yang didukung oleh key messages. Brand yang baik harus mampu berkomunikasi dengan cara yang unik, mudah dibedakan dan dikenali oleh audiensnya.
Cara komunikasi brand juga sebaiknya selaras, selalu konsisten meskipun menggunakan platform yang berbeda. Brand communication yang baik mempertimbangkan penggunaan bahasa dan terintegrasi dengan baik, memiliki kejelasan dan kepribadian untuk menggapai audiensnya. Komunikasi yang dimaksud berlaku untuk komunikasi secara visual, tertulis, dan bahkan secara lisan. (Wheeler, 2018, hlm. 30-31).
Komunikasi tertulis brand dilakukan menggunakan copywriting. Mitchell (2012) dalam bukunya Advertising & IMC menjelaskan copywriting yang baik, bekerja sama dengan komunikasi visual untuk menyampaikan sebuah pesan yang berkesan bagi audiens. Copywriting yang efektif sebaiknya tidak terlalu panjang atau diusahakan sependek mungkin dan menggunakan diksi yang familiar bagi audiens. Menjadi spesifik dan personal, original, serta akrab dengan audiens yang akan membacanya. Copywriting yang efektif juga sebaiknya bercerita dan melibatkan emosi, untuk menarik perhatian dan ketertarikan audiens (Mitchell, 2012, hlm. 260-263).
56 2.2.9. Brand Guideline
Brand guideline membantu perusahaan dan pihak-pihak terkait untuk bertahan pada brand, tetapi juga diperlukan fleksibilitas untuk menciptakan koneksi dengan pengguna brand. Fleksibilitas berarti tidak kaku, sebuah brand mampu berubah, dengan tetap mempertahankan brand-nya. Namun, perubahan tidak sederhana dan tidak mudah, sehingga perusahaan perlu memastikan bahwa seluruh stakeholdernya memahami pentingnya perubahan dan dampak yang diharapkan dari perubahan tersebut. Keinginan untuk menciptakan perubahan juga diperlukan sebagai modal awal untuk menciptakan ikatan brand dengan pengguna. Brand guideline membantu perusahaan untuk dapat tetap mempertahankan brand sambil mengusahakan fleksibilitas untuk menciptakan koneksi dengan penggunanya.
Brand guideline harus mudah diakses, dinamis, dan mudah diproduksi.
Pihak-pihak yang membutuhkan akses brand guideline adalah pihak internal perusahaan (karyawan) dan pihak eksternal perusahaan yang berkaitan (co-brand, agensi, firma, production house). Semua pihak yang akan melakukan komunikasi, menciptakan aktivitas, atau pergerakan atas nama brand, membutuhkan guideline sebagai acuan dasar. Beberapa contoh pemangku jabatan yang membutuhkan akses brand guideline adalah management, marketing, customer service, bagian komunikasi dan public relations, desainer, ahli hukum perusahaan, bagian penjualan, ahli teknologi, pengurus website, human resources, product designers, perusahaan branding, perusahaan desain, agensi iklan, arsitek, arsitek informasi, penulis, dan partner co-branding (Wheeler, 2018).
57 Suatu brand guideline dikatakan memiliki kualitas yang baik apabila:
a. Jelas dan mudah dipahami
b. Memiliki konten yang terkini dan mudah diaplikasikan
c. Menyediakan informasi yang akurat
d. Menjelaskan makna brand dan alasan dibentuknya sebuah brand
e. Menjelaskan makna identitas brand
f. Menyeimbangkan konsistensi dan fleksibilitas brand
g. Mudah diakses oleh pengguna internal dan eksternal
h. Menciptakan brand awareness
i. Memperkuat file-file yang dibutuhkan, template, dan guidelines
j. Menjanjikan kontribusi dalam pengembalian modal (return of investment)
k. Menyediakan kontak yang dapat dihubungi apabila terdapat pertanyaan mengenai brand atau guideline
l. Mengandung semangat utama atau inti dari program
m. Memberikan contoh dalam rupa prototype yang baik
58 2.2.9.1. Brand Guideline Content
Konten dalam brand guidelines harus diatur sedemikian rupa agar memudahkan pengguna guidelines, menghemat waktu dan uang dalam membuat komunikasi atau perilaku atas nama brand. Kegiatan mendesain, menspesifikasikan, publikasi, dan produksi, dapat didasari pada sistem brand identity yang diatur dalam guideline. Kedalaman dan keluasan konten guideline dipengaruhi ukuran dan lingkup kerja perusahaan atau organisasi (Wheeler, 2018, hlm. 204-205).
Gambar 2.12. Brand Guideline Content (Wheeler, 2018)
59 Konten guideline juga disesuaikan dengan tujuan dan penggunaan brand. Dalam melindungi ekuitas brand dan kekayaan intelektual, perlu dipertimbangkan konten guideline hukum dan guideline nomenklatur (tata nama/penamaan yang berkaitan dengan brand).
2.2.9.2. Brand Book
Hasil pemikiran yang mendalam mengenai perancangan brand, strategi, pemaknaan, dan perencanaan tidak dapat menciptakan dampak dan pengaruh bagi siapapun jika hanya berada dalam kepala seseorang, dalam sebuah catatan, atau hanya muncul pada pembahasan dalam sebuah rapat internal. Visi perusahaan, makna sebuah brand, dan perencanaan yang baik layak untuk dikomunikasikan agar dapat menginspirasi dan mengedukasi, dan bahkan menciptakan brand awareness. Untuk dapat mengkomunikasikannya, dibutuhkan media komunikasi yang baik, mudah diakses, dan bersifat pribadi.
Membangun brand awareness terhadap pekerja sebuah perusahaan menjadi penting, untuk menciptakan sebuah pemahaman bahwa setiap pekerja dapat ikut membantu dan terlibat dalam membangun brand. Brand books, spirit books, dan thought books merupakan beberapa contoh media komunikasi yang mampu menginspirasi, mengedukasi, serta membangun brand awareness (Wheeler, 2018).