SPPS, Vol. 24, No. /, Aprit 2010 rssN
0215 - 8809
ryssryclMAffi
SERI PENGETAHUANDAil
PEI{GAIARANSEHRAH
HlsroRlA vlrAE adalah majalah ilmiah yang berisi kumpuranhasil penetitian dan/ atau karangal irmiah mengenai kependidika; da;/
atau kesejarahan dari para dosen dan
alumni Program Studi pendidikan sejarah-FKrp dan Jurusan ,mu sejarah-Faku*as SiTolryn''"rs*as sanara Dharma. Majararr ini terbit dua kari setahun: Aprir dan Redaksi menerima naskah, baik yang berbahasa rndonesia, maupun berbahasa rnggris.
Naskah harus dituris sesuai oengan format yang berraku di HisroRrA
vrrAE,
danharus diterima oreh redaksi parinj rambat oua butan seberum terbit. tsi karangan yang dimuat tidak seraru menc.erminkan pendapat Redaksi, maka
tanggung jawab isi sepenuhnya di tangan
penuris.
rrrqr\s rqrrvDEWAN REDAKSI
Pemimpin Umum/penanggung jawab/
Pemimpin Redaksi Anggota Dewan Redaksi
Dr. Anton Haryono, M.Hum.
Drs. B. Musidi, M.pd.
Drs. Sutarjo Adisusito J.R., S.Th. Drs. A.K. Wiharyanto, M.M.
REDAKTUR AHLI
Dr. F.X. Baskara T. Wardaya SJ,
M.A.
Universitas Sanata Dharma yogyakartaDr. S. Nawiyanto
...
Universitas Jember
REDAKTUR PELAKSANA
Drs. Y.R. Subakti, M.pd Dra. Theresia Sumini, nll.pO.
Drs. A.A. Padi
SEKRETARIAT ADMIN ISTRASI R. Marsidiq ATAMAT REDAKSI
Program Studi pendidikan Sejarah-FKlp, Universitas Sanata Dharma
}frican, Tromol pos 29, yogyakarta 55002
Telepon (0274) s13301,
515352; Fax. (0214) 562383 Telegram: SADHAR yOGyA
E-rnail: spps@staff. usd.ac. id
q
Uol24, No. 1, Aprit20/0
lssN 0215 - 8809EISffiffi
SERI PEI{GETAHUAN DAN PENGAJARAN SEJARAH
DAFTAR
ISI
UEKJ
Ekid
WE
t@it Bercpefurum Luas: lndustri Pnbumi di DaerahlWffi
1830-an- 1930-an Anton HaryonolffiPendidikan
SejanhH. Purwanta
@na
Pembelal:aran Sejanh Befiasis KonstnktiuismeY.R. Subakti
kreflian
Tindakan Kelas dan Pengembangan Profesi Guru ...Th. Sumini
kann
Sutan Sjahrir datam Pemen:ntahan lndonesia ( I %5- I % Z).... Bemarda PrihartantiI
ilt
1-23
24-37
38-70
71 -91
SPPS, Vol. 24, No. 1, April2010
USAHA KECIL BERSPEKTRUM LUAS:
INDUSTRI
PRIBUMI
DI
DAERAH
YOGYAKARTA
1830-AN
-
L930-ANAnton Haryono
Abstract
This article was discussing the deoelopment of indigenous industry in
Yogyakarta region during the colonial era of L830s
-
1930s. Referring to the fact that Yogyakarta region was located in the inland laaa, which was often considered as agricultural domain, the study aimed atknowing the intensi$ and aastness
of
its
indigenous industrial actiztities. The findings of the study showed that the inland location did not hinder the intensioe and extensioe industrial actiaities, and eaenthe industrial actioities
in
Yogyakarta region exceeded those in other region in laoa. The indigenous industry was not too marginal and itsoitali$ or competitiaeness was relatiaely good. The industrial sector became a solution to the problem of the decrease in farmland as the
result of the growth of population.
Keyw ords: industry, indigenous, Yogy akarta, colonial era.
Pengantar
Daerah Yogyakarta terletak
di
pedalamar; yakni kawasan yang sering dipahami sebagai ranah pertanian. Namun, masyarakatdi
daerahini
tidak hanyahidup
dari pertanian, tetapi juga dari industri. Sejumlahproduk industrinya telah menjadi komoditas perdagangan jauh sebelum 1830 (Carey,1981;5). Hubungan-hubungan dagang dengan daerah lain, termasuk dengan luar Jawa, antara lain diperankan oleh para pedagang
dari
Kotagede, yang pada 1830-an banyakdi
antara merekamemiliki
kekayaan 50-60.000 gulden, setara dengan 25-30.000
pikul
(1pikul
=61,76 kilogram) beras (Algemeen Verslag
/
A.V . 1836).Pada 1830-arL daerah Yogyakarta
telah
menunjukkantanda-tanda
kesuburan
dalam
hal
pengembanganindustri
(A.V.
1836).Kesuburan
ini
masihterlihat
secara jelaspada satu
abad kemudian (1930),ketika
10,6%penduduk (dari iotal
i.Sgg.gOSjiwa)
memperolehDr. Anton Haryono, M.Hum., adalah'dosen tetap pada Program Studi Pendidikan
Usaha Kecil Bercpektrum Luas.... (Anton Haryono)
pendapatan
darinya.
Menarik
dan
penting
untuk
dikaji,
karena persentase jumlah penekunindustri di
daerah Yogyakarta tadi ternyatamerupakan
yang paling
tingg
dan
jauh
di
atas persentase jumlah penekunindustri
di
]awa-Madura
yang hanya mencaPai 4% (Sitsen, L937: L7L-200).Industri
pribumi
daerah Yogyakarta 1830-an-
1930-an jugaunggul dalam hal jumlah cabang usaha. Namury seperti yang terjadi
di
]awa danMadura
sektorindustri
tetap bukan merupakan arus utamakehidupan ekonomi
masyarakat.Kecuali
itu,
sebagian besar usahadijalankan dalam bentuk industri rumah dan industri kecil minim
modalfinansial dan
teknologi. Dalamwaktu
lama,industri pribumi
praktis
tidak
memperolehperlindungan
dari
pemerintahdan
harus menghadapi persaingan tajam dengan produk impor.Studi
ini
akan mengkaji tentang
keragamandan
dinamikaindustri. Pertama, sejauh mana dan dalam hal apa saja industri
pribumi
yang sering mendapat predikat marginal jugamemiliki
spektrum luas. Kedua, bagaimana sektorini
berkembangdi
tengah-tengah tantangan zarrrarlt termasukdalam
menghadapiproduk impor.
Ketiga,faktor-faktor
apa sajayang
telah berpengaruhbagi
perkembangan industripribumi
tersebut. Prestasidan
batas-batasprestasi akan
dipahamiberdasarkan faktor-faktor yang melingkupi.
Untuk
membahas persoalan-persoalandi
atas,
tulisan
ini
memakai sejumlah sumber, seperti Algemeen Verslag (A.V.), Memorie ttan
Ooergaoe
(MvO),
Koloniaal
Verslag
(K.V.),
dan
majalah-majalah berbahasa Belanda. Sumber penulisanjuga diperoleh
dari
beberapakarya
publikasi hasil
penelitiaru sepertikarya
Rouffaer (1904), Sitsen (1937),Wilde
(1941),dan
Oorschot (1956) tentang sektorindustri di
Jawa-Madura
dan
Indonesia.
Karya
publikasi
yang
memuat perkembangan industripribumi di
daerah Yogyakarta antara lain karyaO'Malley
(1977) dan Carey (1981). Karya O'Malley terbatas pada masa depresi ekonomi 1930-an dan merupakan studi perbandingan mengenai persoalan yang lebih luas dengan Sumatera Timur. Sementara itu, karyaCarey membahas keadaan masyarakat desa Jawa menjelang Perang Diponegoro. Persoalan yang belum terjawab pada sumber-sumber
itu
adalahposisi
atau prestasi daerah Yogyakarta dalam perkembanganSPPS, Vol. 24, No. 1, April2010
Kesinambungan Dari Masa Lalu
Kegiatan memproduksi barang telah lama berlangsung di daerah Yogyakarta. lejak-jejalcrya
bisa
dilacakhingga
zamatl Senopati pada abad ke-16 (Soepardi, 1932: 820 dan de Graaf,1985: 282-283). Meskipununtuk
kemasyurannya sendiri, Senopati adalah raja penggiat kerajinan tangan; ia jugadikmal
sebagai penganjur didirikannya pengecoran besidi
Batur
(Klaten)untuk
memproduksi mata bajak pada 1590 (Wilde,194L: 169),
yang masih
hidup
hingga
sekarang.Pada
zaman itu, pembuatangula
kelapa
untuk
komoditas
perdaganganpun
dapat ditemukan di Gunungkidul (de Graaf, 1985: 295-296).Pada
rrasa
Sultan
Agr^g
(1613-1,645),Mataram
banyakmelakukan perang penaklukan. Serangkaian peperangan yang berhasil dimenangkan biasanya
diikuti
dengan dibawanya ke Mataram ribuanorang taklukan
untuk
dipekerjakandi
sana. Banyakdi
antara orang-orang taklukan yang dibawa pulangmemiliki
keahlian yangtinggi di
bidang keraiinan
dan
pertukangan
(de
Graaf,
1986: 49), sehinggakehadiran mereka
sangatmendukung bagr
berkembangnya kedua bidang pekerjaanitu
di Mataram. Pada awalnya, aktivitas mereka dalammemproduksi barang
di
tempat tinggalnya yang baru terutamauntuk
melayani kepentingan keraton.
Perlu diketahui, keraton selain
membutuhkan barang-barangpakai kebututran sehari-hari yang
cukup
banyakbagi
keluarga besardan para
pegawainya,juga
berkepentingan terhadap diproduksinya barang-barangmewah.
Barang-barangyang
disebut
terakhir,
yangmahal harganya dan
bernilai
senitinggi,
berfungsi sebagai salah satuperangkat
material
bagi
kultus
kemegahanraja.
Tidak
anehjika
kemudian tenaga-tenaga terampil senantiasa dipekerjakan
di
istana raja. Pada eranyadulu,
tenaga sepertiini
mencapairibuan
otartg, termasukpara wanita
unfuk
pekerjaan
dapur,
pemintalan,
penenunan,penyulaman, pembatikan, penjahitan, dan lain-lain (Rouffaer, 1904: 16).
S"iuk runtuhnya
keraton Plered karena serbuan
pasukanTronojoyo padal677, kurang lebih selama 75 tahun daerah Yogyakarta menjadi agak
jauh dari
kota istana. Selama masaitu,
pusat kekuasaan beradadi
Kartasura (1,680-1746) dan kemudiandi
Surakarta (Ricklefs, 199'1,:110-145). Namun,di
daerah Yogyakarta terdapatdua
kompleksUsaha Kecil Berspektrum Luas.... (Anton Haryono)
mereka dibebaskan
dari
kerja
wajib
dan
menerima sebidang tanah jabatan. Setelah merawat makam, mereka masih memiliki banyak waktuyang kemudian dipakai
untuk
menekuni berbagai pekerjaan tangan(Angelino,
1930:Un.
Jadi, meskipun
sedangjauh
dari
keratorL kerajinan tetap memiliki penekun di daerah Yogyakarta.Pada periode Kartasura dan Surakarta sangat mungkin kerajinan
di
daerah Yogyakarta berkembang
lebih baik,
karena
jauh
dari peperanganantar faksi
bangsawanistana. Seperti diketahui,
padaperiode
itu
terjadi
perang-perang pergantiantahta
yang
destruktif;bahkaru perang
suksesiyang
terakhir
harus
diselesaikan denganpembagian kerajaan
menjadi dua, yakni
Surakartadan
Yogyakarta,melalui
PerjanjianGiyanti
pada\755
(Ricklefs, 1974: 37-95). Denganmunculnya Kasultanan Yogyakarta, sektor kerajinan
di
daerah yang sedang dibahasini
kembali memperoleh kedekatannya dengan keraton, suatu institusi yang tidak pernah sepi dari kesemarakan duniawi. Tentu saja kehadiran keraton baruitu
akandapat
menambah daya kembang aktivitas kerajinan dan pertukangan secara signifikan.Raja
pertama
(pembangun)
Kasultanan
Yogyakarta,Mangkubumi
atau yang kemudian bergelar Hamengku Buwana
I, termasuk raja besardi
antara raja-raja Mataram yanggiat
melakukanpembangunan (Ricklefs, 1974: 84).
Pada
zamannya, saling berlombadalam
kesemarakanistana antara Surakarta
dan
Yogyakarta
takterhindarkan; apalagr,
pada
masa-masaawal masih terdapat
ambisiuntuk
menyatukan
kembali kerajaan Jawa Tengah
yang
terbelah(Ricklefs, 1974: 96-118).
Oleh karena
unjuk
kekuatanmiliter
sudahmenjadi masa lampau, maka
kultus
kemegahan yangidentik
denganperikehidupan keraton
kini
lebih
diorientasikanpada
kepemilikan sarana-saranalain
denganlebih optimal,
khususnya sar.rna material. Akibatnya, sektor kerajinar; meskipun masih dominan dalam perspektif kepentingan keratory memperoleh daya dorong baru.Perlu
dikemukakanjuga
bahwa Jawa sejak Perjanjian Giyanti 1755 adalah Jawayang damai
(Ricklefs, 199'L: 151). Kedamaianini
mendukung
bagi kegiatan ekonomi yang lebihproduktif.
Setidaknyahingga
awal
abad
ke-19
Daerah
Kerajaan
menikmati
zaman kemakmuran. Perdagangan dengan Pantai Utara Jawa meningkat, yang komoditas jualannya antara lain: beras, tembakau, rtlla, kapas, benang,SPPS, Vol. 24, No. 1, April 2010
berorientasi
untuk
melayani
kepentingan pasar. Selainitu,
denganmemperhatikan jenis-jenis
barang
tadi,
kegiatanindustri juga
telah menjangkau daerah pedesaan. Dengan kata lairu semakin banyak orangtidak lagi hidup semata-mata dari hasil pertanian.
Dengan
menyimak
hasil penelitian Carey
(1981:11)
terlihatbahwa pada awal abad ke-L9,
kain
dan benang merupakan komoditasterpenting Daerah Kerajaan setelah
padi dan
tembakau. Ribuankodi
sarung
wama
dan selendangdari
Bagelery sertakain putih
dan batikdari
Yogyakarta diekspor ke Pantai Utara Jawa.Dari
Yogyakarta juga diekspor ratusanpikul
benangbiru
ke Semarang; daryproduk
lainnyayang
laku
keras
di
Pantai
Utara adalah
kain
kelengan(batik biru
sederhana)
dan
kain lurik
(Carey,
1981.:12). Sudah
tentu
volumeproduksi
jauh lebih
besar
dari
volume
ekspornya,karena
DaerahKerajaan
sendiri
juga
membutuhkan
dalam
jumlah yang
besar. Mengingat proses produksi dilakukan tanpa menggunakan mesin, maka tenaga kerja yang terserap bisa dipastikan cukup tinggi. Pengerjaannyapun sulit
dipusatkan pada suatu tempat kerja tertentu,
melainkan tersebar luas dalam bentuk industri rumah dan industri kecil.Sederet cabang
industri
lainnya
juga
telah ditekuni
secaradinamis
pada awal abad ke-19. Cabang-cabangitu
antaralain
minyakkelapa gula kelapa
nila
canr, gararn,dan
berbagai cabang kerajinanpengolah aneka logam.
Ini
semua memberikanbukti
tentang begitu kuatnya tradisi pertukangan dan kerajinan yang berkembangdi
daerahYogyakarta. Pada
awalnya
kegiatanmemproduksi barang
terutamamemang
diarahkan
dan
demi
kepentingankeraton ataupun untuk
memenuhi kebutuhankeluarga sendiri.
Prinsip
swasembada dalam masyarakat subsisten menghendaki demikian. Namury seiring dengan perkembangan dan tantangar. zamary kegiatanproduktif tadi
semakinlama
semakin membukadiri
terhadap
permintaan pasar, terutama ketika sektor pertanian semakin tidak bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan.Skala Kecil Tetapi Sangat Beragam
Sepanjang sejarahnya,
industri pribumi
di
daerah Yogyakarta selalu menunjukkan spektrum yang luas. Pada 1830-an, cabang-cabangr{
(emas, perak, tembaga, kuningan, dan besi), kerajinan kayu, kerajinan
kulit,
kerajinanbatu,
kerajinantanah
liat
(genieng,batu
bata
dan gerabah),serta
pertukanganlain (A.v.
1935aan
isas;.
penyebutan'pertukangan
lain"
memberi petunjuk yang jelas tentang
kegiatanindustri
rakyat yang bersifat aneka-ragam. Keragamanini
tersajilebih
lengkap pada
PameranIndustri
18b2(A.v.
1g52). Ringkasnya, daribarang-barang mewah, mahal, dan
indah
yang berterrgg".di
keraton megah, yang sering menjadi pendukung bagikultus
kemegahan ra]a(Moertono, 1985: 72-85),
hingga
barang-barangamat
sederhana dan murah yang berserak di dapur petani miskin.Berdasarkan laporan-laporan
umum
residen
bisa
diketahuibahwa industri
pribumi
yang aneka ragamitu
pada 1g50-an mengalami suatu peningkatan dan semakin berkembang. Beberapa laporan umumresiden mencatat mengenai ditemukannya
himpir
r"-,ru
jenis kerajinan dalam kehidupan masyarakat dan daerah yogyakarta tidak kekuranganle1aga cakap
yang mampu
bersaing dengan tenagalain
di
uindia
Belanda(A.v.
1852, 18s4,dan
18s9). Transaksi perdagangan jugamengalami banyak
peningkatan, sampai-sampaiiesiden
-""y"rit
daerah Yogyakartamirip
sebuah pasar(A.v.
ig52).
Berbagaiproduk
kerajinan sudah barang tentu
memiliki
kontribusi yang signifikan bagimeningkatnya transaksi pasar pada L850-an itu.
situasi dinamis
industri
rakyat juga bisa ditemukan pad,a1g70-an,
terutama usahabatik yang
disebut-sebutdalam
laporan residenq.v.
1873) sangatmenyibukkan banyak orang.
Amai
beragamnyacabang
industri dan
bervariasinyaproduk
pada sejumlah cab"angnyaterpelihara terus pada masa-masa selanjutnya. Bahkan dalam
purrp"tur
kegiatan usahapribumi,
setidaknya berdasarkan keadaan r9ao, cabangindustri
yang
berkembangdi
daerahyogyakarta
-er,rpakan
yan[
paling beragam
di
]awa dan Madura (sitsen, l9z7:197-1ra).oataiosb
juga
mencatat beberapa cabangindustri yang tidak
disebutkan pada sumber-sumber sebelumnya,seperti
pembuatanrokok
dan industri
makanary yang
juga
menyerapribuan
tenaga kerja.Dari sini
terlihatbetapa sektor
industri
telahdihidupi
olehdin
memberikan kehidupan kepada banyak orang di daerah yogyakarta.K"penekunan
industri
akan semakin tampak spektrum luasnyabila- usaha-usaha
jasa diperhitungkan. salah satu
usahajasa
yangSPPS, Vol. 24, No. 1, April 2010 dengan
mobil
sewaarL prahoto,dan bus (MvO
1934: 21). Salah satu kelompok masyarakat yang menekuninya dengan prestasi tinggi adalahorang-orang
kaya
Kalang
sub
Yogyakarta yffiLg
bermukim
di
Tegalgendu (Nakamura,1983: 47). Menariknya, usaha
pribumi ini tidak
serta merta tergusur oleh hadirnya kereta api. Setidak
ya
pada awal L890-anangkutan tradisional masih
laku
keras,karena
dibutuhkan untuk mengangkut aneka produk tanaman ekspor dari pabrik-pabrikdi
tanah
sewaanke
stasiunkereta
api
dan
juga
masih sering untuk
mengangkut barang dagangan dari dan ke Semarang (K.V. 1892,81i1. C. 1,4:3).
Bila orang Kalang sub
Yogyakarta menekunijasa
angkutan,maka orang Kalang
sub
Surakarta
frgu
tinggal
di
Tegalgendu)menekuni usaha jasa pegadaian. Sama seperti usaha jasa angkutan, usaha pegadaian yang
dimulai
pada peralihan abad ke-19/20
rni
firyamembawa keuntungan sangat besar bagi para pelakunya (Nakamura, 1983: 47). Berkembangnya jasa pegadaian memberikan
bukti
penguatlain
tentang meningkatnya peredaranuang seiring
dengan ekspansiperkebunan yang disebut-sebut oleh sejumlah sumber. Terlepas dari itu,
pemahaman terhadap
eksistensi
dinamis usaha jasa pegadaian -dan angkutan- bisa melengkapi gambaran tentang spektrum luas industri yang dikembangkan oleh orang-orangpribumi
di
daerah Yogyakarta. Orang Yogyakarta tidak hanya sibuk di sawah dan di ladang, tetapi jugadi
rumah,di
pegadaian,di
pasar, dandi
jalan-jalan. Sektor pertanianbukan
satu-satunya sumber kehidupan, karenadi
balik
itu
terdapat sederet kegiatanproduktif
lainnya.Memahami
keragamanindustri
tidak
cukup
hanya
denganmelihat banyaknya
cabangdan
bervariasinyaproduk
pada
setiapcabang usaha. Aspek-aspek
lain juga perlu
dipertimbangkan. Dariperspektif bahan
baku
misalnya, terdapat banyak
cabang industriberbahan baku lokal, seperti
industri
penghasil garam, minyak kelapa, gula kelapa, tepung, blawu,kulit,
tanduk, kayu, anyam-anyaman, bafu,kapur, genteng, batu
bata
dan gerabah; dantidak
sedikit pula cabangindustri pengolah bahan baku impor, seperti industri tenun, batik, emas/
perak,
perunggu,besi, dan
kaleng.Di
sini
terlihat jelas
bagaimana sumber daya alam setempat yang berlimpahdiberi nilai
tambah; dan demi barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maka ketiadaanIndustri berbahan baku lokal dan industri berbahan baku impor
sudah
tentu
me{lifi
tantangan yang
berbeda,sehingga
straiegiproduksi
juga tidaklah
sama. Kelangkaan bahanbaku beierapa
kaiidialami
oleh cabang-cabangindustri
berbahanbaku impor,
sehinggamenyulitkan
kegiatan usaha, terutamaketika daya
beii
,.,u.yr.u"k"utsedang merosot.
untuk
menyiasati
modal
yang
sangat
terbatas, beberapa cabangindustri tipe
ini
sering membeli -bahanbaku
secarakredit,
seperti
pada industri tenun
dan
batik
(sitsen, ir9z7:
149;soerachman, 1927: 27); atau
dengan
menerapkan sistemdaur
ulang, seperti yang sering terjadi pada kerajinan emas, perak, tembaga, besI, danbatik
(K.v. L892, Bijl.c.
L4 2; Jasper,l9o2:2i7;
soerachmarr,lg27: 40). Bisa dikatakanini
adalah siasat yang cerdas dalam industri kecil.Industri pribumi juga
bisa dipitahkan atas dasar jenis kelamin para perajinnya. Kerajinan logam, kayu, batu,kulit,
kapur, genteng, dan batu- bata, cenderung dilakukan oleh laki-taki; kerajinan ienur,, batik,minyak kelapa, gula kelapa, tepung, dan makanan dominan dikerjakan
oleh perempuan; dan kerajinan
lairy
seperti anyam-anyaman, gerabatr,dan
payung, memperlihatkan
sifat
campuran
(Economisch-rileekblad, 1941). Pada 1930-an,jumlah
perajin perempuanjauh lebih
besar dari jumlah perajin laki-laki, yakni mencapai sekitar g0% (sitsen,1937:197-1qs).
Komposisi mayoritas perempuan
dalam
industri
pribumi
diperkirakan telah berlangsun g lama, karena cabang-cabur,g .rruhu yurrg
dijalankan
tidak
banyak
mengalami perubahan. LagTpula,
aauri
masyarakat agraris kelompok yang terlempar terlebilr
autu dari
sektorpertanian
-ketika
luas lahan semakintidak mencukupi-
adalah kaumperempuarL sehingga
tingkat
kemendesakanuntuk
mengembangkan sektor kerajinan sebagai pekerjaan baru atau tambahanadipada
k"aum PeremPuan.spektrum luas
industri pribumi di
daerah yogyakarta juga bisadilihat
dari persebaran kepenekunannya. perru ditekankaru para perajin keraton ataupun perajin kota hanyalah sebagian dari penopang inaustri pribumi. Tidak sedikit usaha kerajinan yang dilakukan ole^h misyarakatdesa, seperti industri tenun, garam, gula keiapa, minyak kerapa,
ur,yu--lnyamart
gerabah, genteng, batubata, kapur, dan pandai besi. Bahkarubatik tulis
yang telah lamaditekuni
olehpu.u
p"r"-puan
kota
pury pengerjaannya kemudianjuga
melibatkan purup"r"*puan
miskin di
desa-desa (Angelino, 1930: 175).Dari sini
terlihai jelas bahwaindustri
pribumi tidak
hanya bisadijumpai di
kota, tetapi dengan mudah jugadataran-SPPS, Vol. 24, No. 1, April20/0
dataran tinggi, yang hingga
kini
masih setia memproduksi -misarnya-gula kelapa dan aneka produk olahan khas pegunungan.Keragaman industri juga bisa dipetakan dari motivasi seseorang dalam memproduksi barang. sejumlah besar orang melakukan kegiatan
itu
tidak lebih
sebagai pekerjaan sampingan
demi
memperolehtambahan pendapatan, seperti
terlihat pada industri tenun
sebelum revitalisasi pada 1930-an dan anyam-anyaman (K.V.1892, Bijl. C. 14 2).Cukup banyak
pula
perajin yang
menekuninya sebagai pekerjaanpokok; dan usaha
ini
sebagian besar dalam bentukindustri
kecil. Batikmerupakan contoh usaha
yang
bergerakdari industri rumah
hinggaindustri
besar (Rouffaer, 1904:23-25). sektor tenun yang daram waktulama nyaris sebagai usaha sampingan
(industri
rumah), pada 1930-antelah ada
pula
yang menjelma dalambentuk
perusahaan kapitalistikdengan peralatan yang lebih baik
(Mvo
1934: s26). sekali lagi, dari segimotivasi dan kemampuan
untuk
menjangkau, praksisindustri
rakyatjuga menunjukkan keragamannya.
Lebih lanjut, tingkat keluasan daerah penjualan juga bisa dipakai
untuk
membedakan antara cabangindustri
yang satu dengan cabangindustri
lainnya.
Berdasarkan sumber-sumberyang telah
dikutip,
anyam-anyaman, perabotan
dari kayu,
dan barang-barangdari
tanahliat, dapat dicontohkan sebagai produk yang pemasarannya cer,rderung terbatas
di
daerah Yogyakarta sendiri. sementaraitu,
produk
tenurubatik,
tembag+ perak,
minyak
kelapa,
dan gula
kelapa
mampumenembus pasar-pasar
di
karesidenanlain.
Bahkan,batik
tulis
dan benda-bendadari
perak pernah memiliki
prestasi fenomenal, yakni dikenal luas hingga mancanegara. Daya jangkau pasar yang berbeda-bedatadi tentu
saja akan berpengaruh terhadap dayahidup
masing-masing cabang industri.Tidak kalah penting adalah usaha
untuk
memahami keragamanindustri
ditinjau dari kelas sosial konsumennya. Kelas sosial konsumen kain tenun desa, misalnya, berbeda dengan kelas sosial konsumen batiktulis.
Demikianpula
konsumenbatik
tulis
dan konsumenbatik
cap, apalagi batik cap yang paling kasar, bisa menunjukkan kelas sosial yangtidak
sama. sama-sama perabotan dapur, barang-barang dari tanahliat
akanmemiliki
kekuatan mengalir ke kelas bawah yang jauh lebih besardibandingkan dengan barang-barang dari tembaga. Gamelan perunggu tentu akan menemukan konsumennya pada orang-orangkaya. Dapatlah dikatakan bahwa berkat keragaman cabang dan produknya yang sangat
ttr
I i
permintaan semua lapisan masyarakat, dari raja
di
istana hingga buruhtani di desa-desa miskin.
Arti
PentingIndushi
Kegiatan
industri pribumi yang
meningkatdan
meluas sejak 1830-an bisadilihat dari
data-data sebagaiberikut.
pada 1836, ketikajumlah penduduk
di
daerah Yogyakarta baru tercatat go6.97gjiwa (A.v.1836),
terdapat 500 keluarga penekun usaha
tenun
di
Kabupatenslemary
3.000keluarga pembuat minyak kelapa
dan
100 keluarga pembuatnila
cairdi
Kabupaten Kalasan, 800 keluarga penekun usaha pencelupandi
seluruh daeratu 1.500 keluarga pembuat gula kelapadi
Kabupaten
Bantul dan
sleman,dan
773 keluarga pembuat garamdi
Pantaiselatan
(Carey, 1981: 13).Data
ini
bukanlah
gambaran dariseluruh aktivitas
industri,
tetapi sekedar contoh dari usaha-usaha yangmenonjol dan
ditekuni
sebagai spesialisasi. Contohitupun
terbatasdi
daerah inti, atau tidak termasuk Kulonprogo dan Gunungkidul. Artinya,jumlah
orang
yang menekuni sektorindustri,
termasuk para perajin paruh waktu, lebih besar lagi.Bila
menilik
jumlah
penduduk
waktu
itu,
jumlah
penekunindustri
pada data ilustrasi, 6.673 keluarga, pur. sudah menunjukkan angka yang agak besar. Bila satu keluarga rata-rataterdiri
dari 4 orang, maka jumlah penduduk tersebut setara dengan 76.749 keluarga. Dengandemikian,
jumlah
keluarga penekunindustri
pada datailustrasi
sajatelah mencapai 8,7% dari
jumlah total
keluarga.]umlah
gL,J% sisanyatidak serta merta semua
hidup
dari sektor pertanian, karena masih ada pekerjaanlain, yakni
sektorpublik,
perdagangatt, jasa,dan industri
yang tidak terdata. selain itu, tentu saja terdapat keluarga-keluarga yangtidak produktif lagi
karenafaktor
usia. Bila usaha pencelupanterdati
800 keluarga, maka bisa diperkirakanjumlah
orang yang terserap ke dalam kerajinan batik, sebagai contokr, tentu jauh lebih besar.Meskipun data
tidak
cukup lengkapuntuk
membuat gambaranyang
pasti, Daerah Yogyakartatidak
hanya berdenyut karena sektorpertanian. Pada 1890,
dari
L74.262 pemegang pekerjaan, yang tercatathidup dari usaha pertanian hanya 44.642jiwa atau 2s,6% (K.v. 1892: Bijl.
A:
14-15). Jumlahini
mungkin
sekali hanya mencakuppetani
yang semata-matahidup dari
sektor pertanian, mengingatklasifikasi
datapada
sumberterkutip terlalu banyak
(26jenis
pekerjaan), sehingga petani yang kebetulan memiliki kolam ikan atau beternak dan berjualanSPPS, Vol. 24, No. 1, April2010
jumlah
petani harus diperbesar, data Koloniaal versrag(K.v.)
itu
tetapbisa
memberikan gambarantentang
besarnyaproporsi o.ur,g
yur,ghidup dari
ekonomi non-pertaniaru yang salah satunya adalatr- sektoiindustri.
Terdapat sejumlah
kategori
pada
K.V.
1892
yang
bisadimasukkan
ke
dalam sektorindustri, yakni
pembuat garu,^, pemilikdan pengemudi gerobak, pandai emas dan perak, perajin senjata, perajin mebel, perajin payun& dan tukang cat biru, yang jumlah totalnya 5.675 jiwa. Perajin tenun, batik, anyaman, tembaga, besi, kaleng, tanduk,
kulit,
batu, batu bata, genteng, getabah, gula kelapa, dan minyak kelapa rupa-rupanya dimasukkan dalam kategori"tukang
dan pekerja tangan lain,termasuk pemborong,
kuli,
dan lain-lain",
yang jumlahnya mencapai 66.049 jiwa. Jumlah tadi bukan sepenuhnyamilik
sektor industri, tetapijumlah perajin diperkirakan cukup besar, karena cabang-cabang industri
yang diwadahi dalam kategori
itu
beranekaragam.Lagi
pula
tidaksedikit cabang industri yang ditekuni secara luas dan daya serap tenaga kerjanya lebih tinggi dari cabang-cabang industri yang terdata eksplisit, seperti industri tenun, batik, dan anyam-anyaman.
Tingginya
persentasejumlah orang
pribumi
penekun
sektorindustri
terlihat agak jelas pada
keadaan 1930.Dari
total
jumlahpenduduk
padawaktu
itu
(1.538.868jiwa),
17,7%hidup
dari
sektor pertanian dart!0,6% dari sektorindustri
(sitsen, 1937: \97-198). Terlihat,proporsi antara penekun pertanian dan
industri tidak
terlalu timpang,hanya terpaut 7,'1,%.Menariknya lagi, persentase jumlah penekun sektor
induski
dari total penduduk tadi merupakan yang paling tinggi di Jawa dan Madura. Pada waktu itu, jumlah penekun industri di ]awa-Madurasendiri hanya 4% dafi total penduduk (sitsen, 1927:17'r,-198), sehingga
capaian daerah Yogyakarta sebesar 10,6%
cukup
fenomenal. Tradisikerajinan yang telah lama terbangun, bahkan akar-akar historisnya bisa
dilacak hingga
zarvln
senopati, kiranya
memiliki
kontribusi
yangsignifikan. selain
itu,
seperti akan terbukti
di
belakang, banyaknya penekun industri berkaitan dengan persoalan kependudukan.Di
kawasansubur dan padat penduduk yang
kini
menjadiDaerah Tingkat
II
Sleman, Yogyakarta, dan Bantul, pada 1930 jumlahorang yang
bekerjadi
sektor
industri
mencapai LZ,7%dari
totalpenduduk.
Padahal persentasejumlah
orangyang
bekerjadi
sektor pertanian hanya tercatat 13,4%.Artinya, di
kawasan subur tadi jumlahpenekun industri telah bisa
melampauijumlah penekun
pertanian. sementaraitu, ai
Kabupaten Kulonprogo, jumlah orang yang bekerjadi
Usaha Kecil Bercoektrum Luas.... (Anton Harymo)
sektor
industri
sebesar 1'r,,g%dan
di
sektor pertanian sebesar 23,7%;dengan kata
lain,
sektor pertanian masih menunjukkan dominasinya. Dominasi sektor pertanian yanglebih
menyoloki".irJi
di
KabupatenGunungkidul,
suatu.wilayih
|ang
paling
iurung
fenduduknya.
Di kabupatenini
jumlah penekun
r""ttor
inlustri
fru"yu
tercatat 1.,s%, sedangkan
sektor
pertanian 24,6%. Berdasarkan anarisis data, terdapathubungan
erat
antara kepadatan
penduduk
dan
pengembangan
industri. Makin padat
penduduknya,makin
uu"yut
orang
bertekunpada sektor industri.
Bukan
faktor
kebetulan
bill
daerah yogyakarta
yarrgberpenduduk padat, bahkan terpadat di Jawa-Madura
(sitse
n,19i7:
197-198),
memiliki
persentaselurruan
penekun
industri (dari
totar
penduduk) yang
lertinggi
danjauh
di
atas rata-rata. Bukan kebetulanpula
apabiladi
kawasan terpadat penduduknya (sleman, yogyakarta,$a1 r-antul) proporsi
jumlarrpenekln industriaan
p"*t
r,
pertanian berimbang. Bisa dikatakan,di
daerah yogyakartu,,"kto,
induski
telah menjadi solusi bagi masalah krusiarr"-rkir-,
tidak mencukupinya lahanpertanian
seiring
dengan
pertambahan
penduduk.
Tradisi
memproduksi
barang
yang telah lama
terilangun
merupakan
keuntungan tersendiri,
tu.".,u
banyak orang uisameiiaosrormasikan
kegiatan pra-pasarnya.ke kegiatan produkt-ifbaru
berorientasi pasar. Tanpa pengembanganindustri
bisa yiuai*igrusi
sejak awal abadke-20,
Iulg
sesungguhnya_sarat dengan
kepentingan
koroniar,
akanberlangsung lebih
masif.
o----P"lui"
tingkat
kepenekunanyang
lhggi,
sejunlah
cabangindustri pribumi di
daerah yogyakarta pemah-u.ilil.i
reputasi pasar yang baik. Garam dari pantai Sehtan, yang pada 1g30-an terah dibatasi pemerintahkolonial
hanyau6len dikonsirmsi
di
daerah yogyakartasendiri (A.v. 1836)
,
padaawal 1g90-an masih banyak dijual,""riu
ilregaididaerah perbatasan Kedu (K.v.1gg2,Bijl.
c.
rs, +yaan
surakarta (K.v. !8-93:Pii!. 61,76 C.L5:5).
pada L836, ribuanpikul
minyak ketapa (1pikul
=kg) berhasil
dikirim
ke karesidenanlain
dan telah menghasilkan:1.9
yangrrilainyar"lu:u
dengan harga 31.500pikut
beras1alv.
raeoj. Eksportasi komoditasini
terus b"rrangiung, duntrrrrpuJu
u*ut
1 g90-anmulai
ty-t}l
tutoi"q..9T8ln
meningkatulyi eksportasikopra dan
gula kelapa (K.v -'1.892, Br]1.c
L4:2). Eksfortasiguh
Lehpa sendiritelah bisa
SPPS, Vol. 24, No. 1, April2010
Sejak
awal
pembuatan
kain
tenun telah
terganggu
olehmasuknya
kain
impor (A.V.
1836).Namun,
usahaini
sedikit
banyak dibentengi oleh tradisi. Pada 187A-an, meskipun arus masuk kain impor cukup besar,industri
tenun masih banyakditekuni
di
desa-desa (A.V. 1574-1879). Masyarakat padawaktu
itu
memang menyukaikain putih
impor,
tetapiuntuk
bahan pakaian merekalebih
mengutamakan kainbatik, ikat kepala
batik,
ataukainlurik
bikinanpribumi
(A.V. 1874). Halini
memberi petunjuk bahwa
kain
impor
mendesakkain
pribumi
terutamapada kain
putib
yang
sesungguhnya dalamjumlah
besaruntuk
bahan bakubatik.
Sementaraitu,
kain
warnaimpor tidak
bisa segera menggeserkatnlurik
warisan masa lalu yang khas. Bahkan padaawal
1890-arUkarn
lurik
Yogyakarta masih banyak
diminati
olehmasyarakat
di
KaresidenanKedu
dan
Madiun
berkat
mutu
dan ketahanannyayang
baik
(K.V.
1892,Biil. C.
13:2
dan 16: 3).
Bisa dikatakarU tradisi berpakaian ala jawa sedikit banyak berkontribusi bagi tetap bertahannya industri tenun, kendatipun vitalitasnya menurun.Vitalitas industri
tenun yang memrrun semakin tampak nyata pada periode Perang DuniaI.
Pada masaini
harga bahan-bahan baku impor, termasuk benang, melonjak (" Achterlijkh eid", 1926: 54). Bila dulu benang impor yang murah harganya merupakan fasilitas tersendiri bagiindustri tenury
kini
kelangkaannyadi
pasar, karenaarus
masuknya mengkerut, merupakan pukulan yang menyakitkan. Untuk memulihkan keadaannyayang
menyedihkan,pada paruh kedua
1920-an mulaidilakukan
program
penggiatanindustri tenun,
sehinggapada
1930 puluhanribu
orang desa menekuninya kembali dalam bentuk industrirumah
(Sitsen, 1937: 197-198). Revitalisasiindustri
tenun menemukanmomentum terbaiknya
pada
L930-an.Hal
ini
antara
lain
karenadorongan
kuat dari
pemerintah
(MvO
1934:
525)
dan
begitu mendesaknya masyarakatuntuk
memperoleh uang kontandi
zamanmeleset (O'Maley, 1977 : 192-193).
Dibandingkan dengan
industri tenun, industri batik memiliki
nasib yang lebih baik, bahkan bisa disebut sebagai cabang industri yangcukup
fenomenal. Padaawal
abad ke-20, Yogyakarta, bersama-samaSurakarta,
masih
bisa
mempertahankan keunggulannya untuk
menghasilkan
batik
yang paling
indaLu
paling asli,
dan
palingaristokratis
r
lang
tetapdicari
oleh semua pembesarpribumi
di
Jawa (Rouffaer, 1904: 27). Eksportasike
daerahlain
yang telah berlangsungjauh
sebelum Perang Diponegoro (Carey, 1981': 11)terus
dilakukandalam rentang waktu yang panjang. Hingga menjelang Perang Dunia I,
Usaha Kecil Bercpekfittm Luas.... (Anton Haryono)
industri batik,
dalam menghadapikain impor, berdiri jauh
lebih kuatdaripada
industri
tenun (Koperberg, 1922: 1,48). pada awal abad ke-20 Rouffaer (1904:27) pernah mengemukakan bahwa setiap orangpribumi
yang mampu membayar akan tetapmemilih kain batik tulis
daripadabatik
cap, danbatik
cap daripadakain
cetak dankain
warna bikinanpabrik
Eropa. sejauh uangdimiliki,
kemahalan harga kainbatik
tidakmenjadi persoalan.
Kiranya
menarikuntuk
melihat sejenak munculnyabatik
cap.Dari segi mutu, batik cap lebih rendah bila dibandingkan dengan batik
tulis.
Namurubila
ditinjau
dari
sisi
lain, munculnya
batikiap
bisa dipahami sebagai inovasi besar. Pengerjaannya jauh lebih cepat dan bisadilakukan
dalamjumlah
besar, sehingga harganya bisa ditekan jauhlebih rendah daripada harga batik tulis.
oleh
karenaitu,
sesunggur'nyabatik
capmemiliki fungsi
strategisuntuk
memperluas segmen pasar batik. Apalagi, batik cap bisa dibuat dalam tiga jenis mutu, yakni halus, sedang, dan kasar (Soerachman, 1927:12), sehingga bisa menjangkaubanyak lapisan sosial konsumen. Pada masa-masa
sulit, ketiku ,urrg
tidak
mencukupi
untuk
membeli
batik tulis,
seseorangmasih
bisi
membeli batik cap.
Pada awal 1870-an, pembuatan batik cap telah banyak ditekuni
di
daerah Yogyakarta,ya'.g
sebagiandari
produknya diekspor
ke daerahlain
(Rovers, 1873: 425). Rupa-rupanya, arus deraskain
impor pada1870-an dan disebut-sebut kain putihnya amat disukai, antara liainberkaitan dengan berkembangnya
industri
batik
cap.Apabila hal ini
benar,maka bisa
dikatakanbahwa
dengan bahanbaku
kain
putih
impor, batik cap merupakan alat ampuh bagiindustri
batikuntuk
bisa bersaing dengan kain warna impor. selainitu,
tanpa batik cap, industri batikdi
daerah Yogyakarta tidak pernah akan mendapatkan pasar yangsedemikian
luas
dan
mampu
menjangkau banyak lapisan
sosial sekaligus.oleh
sebabitu,
fenomenalitas industri batik yogyakarta tidakhanya mengait dengan batik tulisnya, tetapi juga dengan batik capnya. selama Perang Dunia I industri batik mengalami kesulitan daram pengadaan kain
putih
dan bahan pewarna. selain melambungnya harga bahan baku, padawaktu
itu
dayabeli
masyarakat merosot, sehingga banyak perusahaan batik besar mengkerut dan pemodal-pemodattecit
gulung
tikar
("Achterlijkheid",
1926: 54). Pada pasca perangindustri
batik
bangkit kembali,
mengintegrasikan pusat-pusatbatik
di
kotaSPPS, Vol. 24, No. 1, April2010
Pada 1930,
puluhan
ribu
tenaga kerja terserap kembalike
dalamnya (sitsen, 1937:197-198). Hanya saja, selama krisis ekonomi, nasibindustri
batik justru berkebalikan dengan industri tenun. selain karena daya beli masyarakat sedang
melorot, pada
1924 pemerintah membatasi kainimpor
-termasuk
kain
putih- untuk
merindungi
industri
tenun(oorschot, 1956: 45;
Mvo
1939:219). setelah krisis usai,industri
batikmembaik dan mampu melakukan eksportasi lagi (Davis, 1941,:49).
,
Cabang industri yang jugamemiliki
reputasi sangat baik adalahindustri perak dan emas, khususnya yang berpusat
di
Kotagede. sejalan dengan terjadinya krisis ekonomi padaparuh
kedua lggO-an, industri barang-barangdari
logammulia
mengalami kemerosotan(K.v.
1g92,Bijl.
c.
14:2). NamurL pada awal abad ke-20 industriini
bangkit kembalidan
produk-produknya
yang
sangat
halus
dan
kaya
desain
aslidikagumi
di
seluruhpenjuru ]awa
(Nakamura,ro&:
45). Tidak jelaskapan mulainya, pada
1722jumlah penekun industri
iogu-
muliamenurun dibandingkan dengan keadaan pada awal abad ke-20 (Mook, 1958:289).
Ketika disadari bahwa
orang-orangpribumi tidak
bisa
lagi dijadikan tumpuan, sejumlah pengusaha perak mulai membuatbaran[-barang yang disukai oleh wisatawan dan orang-orang Eropa (soeparii,
1912: 820-821). Dengan ditemukannya pasar
baru
di
luai
lingkungan pribumi ini, pada 1928 industri perak mulai bangkit kembalirntrt
yir,g
kesekiankalinya
("Kunstambachtwerk",
l94i:
215).Sejak
,uui
iti
industri
perak
di
Kotagedeterus
membesardan
pada
masa-masaterbaiknya (1935-1938)
terdiri
atas z0 perusahaan dengan 1400 pekerja,yang setiap tahun bisa memproses 25.000 kilogram perak (Nakamura, 1983:11'4).Berkat pasar baru dan keunggulan mutu produknya, industri
p"lu!
tidak
terpengaruh olehkrisis
ekonomi l9zo-an, bahkan mampu melahirkan r aja-raja uang (Nakamura, 1983: L14).Kotagede
sendiri memiliki
fenomenalitasyang
pantas untuk dicatat. Historitas keperajinannya sudah bisaditemukan
pada zamarr senopati dan masih bisa dijumpai pada masa sekarangini.
pada masakolonial,
bekas
kota
istana
ini
merupakan
pmrt
industri
danperdagangan
yang
terkemuka.Di
kota
ini
juga lahir
juragan-juraganJawa
kaya
yang
dari
waktu
ke
waktu
kekayaan meieka
r"Ll.t
menimbulkan kekaguman bagi banyak orang. Di Kotagede, justru sektor
pertanian
dan
bukannya sektor
industri
yang berada pada
posisiUsaha
Kdl
fuo*ktu,
Luo....(Ant*
Hrryoro)_.,_.rv,,v,/,
perdagangannya
yang
begitu ruas, padawaktu
itu
banyakdi
antaramereka kekayaannya-mencapai 60.0b0 gulden, saat harga satu pikur beras hanya dua
gulde|
(Av
1g36). Dengan katalain,
ruja-raja uangpada
-1930-an, seperti dikatakan oteh Naklamura, bukanlah fenomena
baru bagi Kotagede. sudah sejak lama Kotagede
memiliki
nama besar berkat talenta, semangat k-"4u, dan kekayau"o]ru yang besar.Realitas Pelingkup
Perkembangan industri seperti terah dibahas pada bagian depan
memperoleh
daya
dorong
yang
besar
dari
prir",
moneterisasi.Meskipun
jauh
sebelum 1g30dierah
yogyakarta sudah
mengenalekonomi uang (care
y,
1981,: 1g-'r.4), akan tetapi pada periode seranjritnya penyewaan tanah mempengaruhi jumrah,rrrg
yur,g beredars"hing!,
mengalami peningkatanyang
tajam (Houben]zooi
eoo-e61).Bahiin
Houben
(2002: 665) menegaskan,pada periode
1g30-1g70 ekonomi Daerah-Kerajaan sudah termoneteriiasi dalamwaktu
yangjauh
lebih
cepat
dari
yang terjadi
di
daerah-daerahyang
beiada
di
bawah |<ekuryaan pemerintah kolonial. Keadaanini
tentu"saja sangat kondusifbagi
berkembangnya usaha-usahaproduktif
y*g
berorientasipada Pasar.
oleh
karena setelah 1870 perkebunan Barat terus meluas, makalu.s
r1,q
mengalir ke lingkunganpribumi
semakin lama juga semakin besar. Padaawal
L890-aninstitusi
perkebunandi
daerah Vogyakarta setiap tahunnya mengeluarkan uang sebesarr,s
-
2,ojuta gurde"nhanya
untuk upah buruh pabrik dan pembelian keranjung grrtu
1(.v.
rsrz
ni;r.9
!4:
?L|il,
uang- sewa tanah diperhitungk;,,iuiu
jumlahnya akanjauh lebih besar. Beberapa tahun
reb"rr-
k
i.i,
ekonorni 1930-an,uang yang mengucur dari perusahaan-perusahaan gula saja setiap
tahunnyl
sekitar 8,3 juta gulden (o'Maney, r9z7: 190). 5ekali iags,meningkatnyary1"9u1u1uang merupakan rangsangan tersendiri
bafr
sektor industri.Tidak boleh
diabaikanpula
meningkatnyakemakiruran
di
daerahqyb_e_rnymen, seperti yang terjadi
padiperioa"
rago-rgg0-an (Fernando, 1993: 96-100), kiranya juga penting bagi perkembangan sektorindustri
di.
daerah Yogyakarta,karena
dilam
rentang
*rfto
yang
panjangsejumlah
produknya juga
banyak dieksporkI
sana.perlu
diketahuibahwa proses moneterisasi yang semakin menguat juga terjadi di daerah yang dikuasai langsung oleh pemerintah
kolorial
itu."
'
selain
mengucurkanuang,
institusi
perkebunan merupakanSPPS, Vol. 24, No. 1, April2010
Pembangunan
infrastruktur
yang mengait dengannya,ymg
dilakukanoleh
pemerintahbaik
di
daerah Yogyakartamaupun
di
Jawa padaumumnya merupakan kemudahan tersendiri bagi mobilitas barang dan
manusia. Namun,
institusi
perkebunan
juga
memiliki
andil
bug
rendahnyaformasi modal
di
kalanganrakyat.
sebelum reorganisasi agraria pada 1918,di
tanah-tanah sewaan, petani -seperti sebelumnya-selain mengerjakan tanah untuk bagiannya(z/s),juga
harus menggaraptanah jatah bekel
(1/5) dan
tanahuntuk
tanaman ekspor(2/S)
yangditentukan
sepihakoleh
perkebunantanpa dibayar (O'Malley,
1977: 169). sebagian besarhasil dari jerih
payah petanijustru
mengalir kepihak-pihak
yang
merasa berhak atas tanah (raja, ba4gsawan, bekel, ataupun pengusaha perkebunan). Tidak anehjika industri
rakyat yang berkembang sebagian besartetap
dalambentuk
industri rumah
danindustri kecil minim modal finansial dan
teknologi,bukan
pertama-tama sebagai investasi
kapitaf tetapi
sebagai bagiandari
perjuanganhidup dalam mengatasi kesulitan.
Seperti
telah diuraikan
pada bagian depan, keratonmemiliki
peran yang sangat penting bagi berkembangnya aneka bentuk kerajinan.Dalam wakfu
lama, keraton merupakanpatron
sekaligus konsumenpotensial, penjaga
tradisi,
dan
sumber referensi sosio-kultural bagibanyak orang
Jawa.Keraton
secaranyata juga telah
menunjukkan tanggungjawabnya dalam pembangunaninfrastruktur yang
kondusif bagi aktivitasindustri.
Namun, konsep"rakyat untuk
penguasa" yangdiintrodusir dalam tata kuasa feudal kiranya merupakan perintang kuat
bagi
proses pemajuan usaha ekonomirakyat
denganlebih
optimal. selain itu, para petinggipribumi
tidak memanfaatkan kekayaan merekahanya
untuk
membeli
produk yang
dihasilkan
rakyatrya
sendiri.Perilaku konsumtif mereka
juga
diarahkanuntuk
pemenuhan barang-barang mewahdari luar
negeri, bahkan dalam skalayang
menguraskekayaan (Houben, 2002: 306, 349-350,
dan
679)dan
memerosotkanvitalitas
sejumlah
industri
pribumi
('s-Gravesande, 191,4:135
danResink-Wilkens, 1923: 52).
Sementara
itu,
pemerintah
kolonial
terlalu asyik
untuk
menjadikan
Hindia
Belanda sebagai
pasar
bugr
produk-produkmanufaktur luar negeri, khususnya dari negeri induk. Pemikiran ke arah pengembangan
industri
memang dilakukan pada saat-saat krisis, tetapilebih banyak menimbulkan
polemik
daripada realisasi yang konsisten(oorschot
1956: 1s-37). sebelum L930, serangkaian pameran industriyang pernah dilakukan oleh lembaga kolonial ataupun penerangan dan
Ir
li
Usaha Kecil Bercpektrum Luas.... (Anton Haryono)
pendampingan oleh Afdeeling Nijaerheid sangat berharga. NamurL peran
pemerintah
kolonial
baru
akan tampak
lebih
tegasseiring
denganterjadinya depresi ekonomi dunia.
Sejaksaat
itu,
berbagai bentukpenyuluhan,
penggiatan, pendampingan,dan
banfuan
dari
organpemerintah
kolonial dan pribumi terbukti mampu
menopang usaha-usaha revitalisasi industridi
daerah Yogyakarta (MvO 1934:525-532 danDavis, !941,:45-56).
Pelingkup
lain
ytrtg
berpengaruh terhadap
perkembanganindustri
pribumi
di daerah Yogyakarta adalah pedagang dan pengusaha asing, sertaindustri pribumi
di
daerahlain.
Berkat modal usaha yanglebih
besar, pedagangdan
pengusaha asing merupakan kompetitor tangguh. Mereka juga bertindak sebagai penggelontor produk-produk manufakturimpor
yang lebih murah harganya, sehingga ruang gerakproduk pribumi
terbatasi.Namun, pada sisi
lain
terdapatdi
antaramereka orang-orang
yang
turut
mendinamisasikanindustri pribumi
berkat perannya sebagai pemasok bahan baku dan penyalur produk
jadi
hingga luar negeri, seperti yang dilakukan oleh para pedagang Cina dan
Arab dalam kasus industri
batik
(Soerachman, 1927:27-40). Sementaraitu, industri
pribumi
di daerah lain secara jelas merupakan kompetitor.Kesimpulan
Lokasi geografis pedalaman samasekali
tidak
menghalangi bagi kegiatanindustri
yang bersifat intensif dan ekstensif. Justrudi
daerah Yogyakarta marginalitasindustri
berada pada tingkat paling rendahdi
]awa-Madura, baik ditinjau dari segi jumlah tenaga kerja yang terserap, keragaman cabang usaha
dan produk yang
dihasilkarumaupun
darisegi penetrasi pasarnya. Bahkan,
di
kawasansubur
padat penduduk(S1eman, Yogyakarta, dan Bantul), kegiatan
industri
-setidaknya padaakhir
1920-an-tidak
bisa dikatakan marginal.
Di
lokalitas-lokalitastertentu, teristimewa
di
Kotagede, sektorindustri -dan
perdagangan-mampu menjadi arus utama kehidupan ekonomi masyarakat.Industri pribumi
di
daerah Yogyakarta pada L830-an-
1930-anmemiliki spektrum luas.
Cabang-cabang usahayang
dikembangkanamat banyak dan
menunjukkan keragamandalam
hal
bahan baku, penekury lokasi kegiatan, skala usah4 tipologi produk, pasar, dan hasil usaha. Spektrum luasnya diperkaya oleh usaha jasa transportasi danSPPS, Vol. 24, No. 1, April2010
Kegiatan industri yang sejak 1830-an makin intensif dan ekstensif
merupakan kelanjutan
dari
tradisi
memproduksi barangyang
telahlama terbangun. Ketika pertambahan
penduduk
telah mengakibatkansemakin
tidak
mencukupinya
lahan
pertaniary
kegiatan
industri menjadi salah satu solusipenting bagi
keluarga petani lahan sempitataupun angkatan kerja
yang
tidak
lagi
tertampung
pada
sektorpertanian.
Daya dorong
internal
ini
bersinergi
dengan rangsangan-rangsangan eksternal,yakni
semakin meningkatnya peredaran uangdan membaiknya
infrastruktur
hasil sampingan dari usaha kapitalistikperkebunan.
Kelangkaan
modal
finansial
tidak
selamanya menghalangi kegiatan industri yang intensif dan ekstensif. Kelangkaan pada aspekini
mendapat kompensasi pada kepemilikan modal material berupa sumber daya alam setempat yang berlimpah dan modalkultural
berupa tradisikerajinan dan orientasi produksi
untuk
melayani pasar yang telah lamaterbangun.
Sumber daya
alam
menyajikan
bahan-bahan bakuberlimpah dan murah, bahkan banyak yang bisa diperoleh secara gratis. Sementara
itu,
tradisi industri yang telah lama berkembang merupakan referensi yang mudah diserap oleh para penekun baru.Industri
dengan peralatan amat sederhanatidak
menghalangibagi
langkah-langkahinovatif,
terutama dalam rangka
menjawabtantangan
pasar.
Dari sini
daya
desakproduk
massalimpor
bisa dihambat, dan daya desakitu
ternyata tidak sekuat seperti yang selamaini
dipahami. Selainitu, produk impor
yang lebih murahtidak
hanyaberposisi sebagai pengganggu, karena banyak
di
antaranya berfungsi sebagai bahan baku bagi sejumlah cabangindustri
penting, termasukbagi
cabang-cabangindustri yang erat kaitannya
dengan aktualisasi budaya. Dengan bahan bakuimpor,
sejumlahproduk pribumi
terbuktimampu melawan produk impor saingannya.
Keraton, pemerintah kolonial, perkebunan Barat, serta industri
dan perdagangan non-pribumi merupakan institusi-institusi pelingkup
yang
berpengaruhbagi
perkembanganindustri pribumi
di
daerah Yogyakarta. Kesemuanyamemiliki
peran berwajah ganda; pada aspek-aspek tertentu memiliki kekuatan mendinamisasikar1 tetapi padaaspek-aspek
lainnya
-disadari
atau tidak-
kontraproduktif
brg
pengembangan
yang lebih optimal.
Realitas kegiatanindustri
yangintensif dan ekstensif,
tetapi
yang pelaksanaanrrya sebagian besar tetap dalam bentuk industri rumah dan industri kecilminim
modal finansial, dalam banyakhal
merupakan akibatdari
pengaruh eksternalitas yang!:I*iiun
ganda
itu.
Jangkauan pengembanganlebih lanjut
juga dihadang oleh eksistensi industri pribu-mi di daerah lain._Bagi masyarakat
di
daerah yogyakarta, kegiatanindustri
yangkini
diklasifikasikan sebagai
UMKM
secara
liuat
telah -"ryual
kebudayaan. Pada masakrisis, revitalisasi
mengenainyatidak
sulitdilakukaru apalagi jika tersedia dinamisator ekstra
inaividual
dan supralrl4
Yogyakarta kontemporer bisa merancang arah pengembangannyalebih optimal dari
perspektif statusnya sebagii Daeiahlujuan
-wirutuataupun
DaerahIstimewa yang
sedangdiributkan.
satu
syarafutya,yakni
komitmen
kuat dari
pemerintah daerah
untuk
melakukanpenggiatan
d4n
pemajuan
melalui
langkah-Iangkah komprehensif seperti pernahterjadi pada
1930-an.Tentu
saja, kebijakan-kebijakan ekonomi pro-rakyat dari pemerintah pusat sangat diharapkan.Daftar Ruiukan
"Achterlijkheid
]ogjasche kunstnijverheid,,,
1926,
dalam
Djawa:Tijdschrift oan het Jatsa Instituut, ZesdeJaargang.
Algemeen laarhiks oerslag aan de Residentie Djocjokarta
(A.v.)
oaer het jaar 1836. ANRI. Bundel Yogyakarta.Algemeen laarlijks verslag aan de Residentie Djocjokarta ooer het
jaar
1gilg.ANRI. Bundel Yogyakarta.
Alegemeen Verslag oan de Residentie Djocjokarta (A.V.)
ANRI. Bundel Yogyakarta.
Algemean verslag der Residentie Djocjokarta ooer het
jaar
1g52. ANRI.Bundel Yogyakarta. No. 4c.
Algemeen verslag
ilcr
Residentie Djocjokarta ooer hetjaar
1g54. ANRI.Bundel Yogyakarta. No. 4e.
Algemeen verslag der Residentie Djocjokarta ooer het
jaar
1g5g. ANRI.Bundel Yogyakarta. No. 4j.
Algemeen verslag der Residentie Djocjokarta ooer het
jaar
1g23. ANRI.Bundel Yogyakarta. No. 5.13.
Algemeen verslag der Residentie Djocjokarta ooer het
jaar
1g24. ANRI.Bundel Yogyakarta. No. 5.14.
Algemery verslag der Residentie Djocjokarta oaer het
jaar
lgzs.
ANRI.SPPS, Vol.24, No. 1, April2010
Algemeen Verslag der Residentie Djocjokarta ooer het
jaar
1876. ANRI.Bundel Yogyakarta. No. 5.L8.
Algemeen Verslag der Residentie Djocjokarta oaer het Bundel Yogyakarta. No. 5.17.
Algemeen Verslag der Residentie Djocjokarta ooer het
jaar
L877. ANRI.jaar
L878. ANRI.Bundel Yogyakarta. No. 5.16.
Algemeen Verslag der Residentie Djocjokarta oaer het
jaar
1879. ANRI.Bundel Yogyakarta. No. 5.20.
Angelino,
P.
de
Kat.1930. Batikrapportll:
Midden laoa. Weltevreden: Landsdrukkerij.Burger,
D.H.
1939.De
ontsluiting
aan laoa's
binnenlandooor
het wereldoerkeer. Wageningen: H. Veenman & Zonen.Wolters.
Carey, Peter
B.A.
1981."Waiting
for the
RatuAdil
('JustKing'):
The ]avanese Village Community on the Eve of the JavaWar
(1825-30)".
Makalah
pada
Second
Anglo Dutch
Conference on Comparative Colonial History 23 -25 September, Leiden.Davis, F.J.H. 194'1.
"De
buitengewestenals
afzetgebeidvan
]avaasche industriegoederenen
als
vestiginggebeidvan de
nijverheid"dalam
Economisch Weekblad rsoor Nederlandsche lndie, Bljzonder Nummer, Mei.Femando
M.R.
1993.
"Growth
of
Non-Agricultural
IndigenousEconomic
Activities
in
java,
1820-
1880' dalam J.
ThomasLindblad
(ed.). Neru Challengesin
the Modern Economic History of Indonesia. Leiden: Programme of Indonesian Studies.Furnivall,
].S.
1967. NetherlandsIndia:
A
Study
of
Plural
Economy.Cambridge: The University Press.
Graaf., H.]. de dan Th.G.Th. Pigeaud. 1985. Kerajaan-kerajaan lslam di lawa:
P eralihan dari Maj apahit ke Mataram. lakarta: Grafitipers.
.
1986. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agun g. ]akarta:Gr#itipers.
Houben, ].H. Vincent.2002. Kraton dan Kompeni: Suraknrta dan Yogyakarta
1-830-1870. Yogyakarta: Bentang.
Usaha Keal BercpeWrum Luas.... (Anton Haryono)
Koloniaal Verslag 1892.Bijlage A. "Beroepen en bedrijvend door Inlanders
en
Vreemde Oosterlingen, volgensde
over
1890 verzamelde opgaven".Koloniaal Verslag L892.
Bijlage
C,
"Overzichten betreffende
den economischen toestand van den verschillende gewesten van ]avaen
Madoera",
untuk
nomor-nomor
sbb:
13.
Kedoe,
1.4.Djogjokarta,15. Soerakarta, dan 16. Madioen.
Koperberg,
S.
1922."De
]avaanschebatikindustrie" dalam
Djawa:Tij ds chrift a an het I aa a lnstituut, J aar gang 2.
"Kunstambachtwerk", 194'J.,
dalam
EconomischWeekblad
ooor Nederlandsche lndie, Bijzonder Nummer.Memorie oan Oaergaoe oan ilen Afredenden Gouoerneur aan logjakarta H.H.
de Cook (MvO) 1934. ANRI. Microfilm, Seri 2e, Film 8.
Memorie ztan Ooergaae aan
l.
Bijleaeld, Gouaerneur oan Jogjakarta L934-1-939. ANRI. Microfilm, Seri 2e, Film 8.Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Llsaha Bina Negara di lawa Masa Larnpau: Studi tentang Masa Mataram
ll
AbadXVI
sampaiXlX.
]akarta: Yayasan Obor Indonesia.Mook,
H.J.van.
L958."Kuta Gede"
dalam W.F. Wertheimet al.
Thelndonesian Town Selected Studies on lndonesia. The Hague: W. van Hoeve Ltd.
Nakamura,
Mitsuo.
1983. Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin: Studi tentang Pergerakan Muhammadiyahdi
Kotagede. Yogyakarta: Gadjah Mada Uniersity Press.O'Malley,
William
I.1977. "Indonesiain
the Great Depression:A
Studyof
East Sumatraand
]ogjakartain
the
1930's". Thesis Ph.D. Faculty of the Graduate School of Cornell University.Oorschot,
H.].
1956.De
onhnikkelingoan de
nijoerheidin
lndonesia. Bandung: N.V. UitceverijW. van Hoeve -'s-Gravenhage.Prawirodipoero, Soep ar di. 1932. " Ontwikkeling der zilverwerk industrie
te Kotta4edeh"
dalam Economisch Weekblad ooor Nederlandsche lndie. Eerste Jaar gang, No. 20, 18 November.SPPS, Vol. 24, No. 1, April2010
Ricklefs,
M.C.
1974. logjakarta under Sultan Mangkubumi 1.749-1792:A
History of the Diaision of laoa Sejarah lndanesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. London: Oxford University..1991,. Sejarah lndonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Rouffaer, G.P. 1904. De aoornaamste industrieen der lnlandsche beoolking oan laoa en Madoera. 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Rovers,I.L.1873. "Bijdrage tot de kennis der Inlandsche katoenindustrie
op
lava"
dalam
Tijdschriftooor
Nijoerheiden
Landbouw inN ederlands ch lndie, Deel XVIII.
9Gravesande, Storm van. 1914.
"Het
smedenvan
edele wapens metpamorversiering", dalam Het Nederlandsclte lndie Huis, Oud, en
Nieuw,L
-2.
Sitseru P.H.W. 1937. "De kleine nijverheid
in
Inheemsche sfeer en hare expansiemogelijkheden ,oplava"
dalam Djawa: Tijdschrift oan het I aoa lnstituut, J aargang 17 .Soerachman. P. 1927 . Het batikbedrijf in Vorstenlandm. Weltevreden: Dept. van Landbouw, Nijverheid, en Handel.
Wildq
C.I.M.
Kretschmer de. 1941,."De
kampong aan den loopendeband"
dalam
Economisch Weekbladooor
Neilerlandsche lndie, Bijzonder Nummer, Mei.