ABSTRAK
Dian Purwanti (1106457). Pengaruh Penggunaan Model Guided Discovery Learning terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan menggunakan model guided discovery learning lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang menggunakan model pembelajaran ekspositori. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Metode yang digunakan adalah metode Quasi Experimental Design. Dengan desain yang digunakan The Randomized
Posttest-Only Control Group Design. Instrumen penelitian yang digunakan adalah
instrumen tes kemampuan pemecahan masalah matematis tipe uraian. Berdasarkan hasil pengolahan dan penganalisisan data posttest dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan menggunakan model guided discovery
learning lebih baik daripada siswa yang menggunakan model pembelajaran ekspositori.
ABSTRACT
Dian Purwanti (1106457). The Effect of The Use of Guided Discovery Learning Models For Junior High School Students’ Mathematical Problem Solving Ability.
This study aims to showing that student’ mathematical problem solving ability using the model of guided discovery learning is better than student’ mathematical problem solving ability using the model of expository learning. This study implemented in one of the Junior High School in Lembang, West Bandung Regency. The method used is Quasi Experimental Design’s method. With design that used is Posttest-Only Control Group Design. The instrument’s study used is a test of instrument mathematical problem solving ability type description. Based on the result of processing and analyzing the data posttest can be concluded that students' mathematical problem solving ability using the model of guided discovery learning is better than students who use the model of expository learning.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada
setiap jenjang pendidikan di Indonesia mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai
Sekolah Menengah Atas (SMA). Matematika adalah ilmu yang abstrak,
materinya bersifat terstruktur dan saling berhubungan antar materi satu
dengan materi lainnya. Sedangkan pembelajaran matematika merupakan
usaha membantu siswa mengkonstruksi pengetahuan melalui proses. Proses
tersebut dimulai dari pengalaman, sehingga siswa diberikan kesempatan
seluas-luasnya untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang harus
dimiliki.
Sekolah Menengah Pertama (SMP) merupakan jenjang pendidikan
dasar pada pendidikan formal di Indonesia setelah Sekolah Dasar (SD). Di
SMP pelajaran matematika termasuk pelajaran wajib yang harus dikuasai oleh
siswa. Menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tahun 2006, tujuan
dari mata pelajaran matematika yaitu agar siswa memiliki kemampuan
sebagai berikut:
1. Memahami konsep matematis, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien dan
tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematis, menyelesaikan model, dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
(BSNP, 2006, hlm. 346).
Tujuan pembelajaran tersebut menempatkan pemecahan masalah
menjadi bagian penting dalam kurikulum matematika. Pandangan tersebut
mengandung pengertian bahwa matematika dapat membantu dalam
memecahkan persoalan baik dalam pelajaran matematika, pelajaran lain
maupun dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Wahyudin (2003),
pemecahan masalah bukan sekedar keterampilan untuk diajarkan atau
digunakan dalam matematika, tetapi juga merupakan keterampilan yang akan
dibawa pada masalah-masalah keseharian siswa atau situasi-situasi
pembuatan keputusan. Oleh karenanya, kemampuan pemecahan masalah ini
menjadi tujuan umum pembelajaran matematika. Walaupun kemampuan
pemecahan masalah merupakan kemampuan yang tidak mudah dicapai, akan
tetapi karena kepentingan dan kegunaannya maka kemampuan pemecahan
masalah ini hendaknya diajarkan kepada siswa pada semua tingkatan. Hal ini
berarti, kemampuan pemecahan masalah sangat penting dimiliki oleh setiap
siswa dalam kehidupannya untuk membantu menyelesaikan masalah.
Menurut Noer & Agnesa (2011, hlm. 121):
Berdasarkan hasil peninjauan pada penelitian pendahuluan, diketahui bahwa siswa masih sangat sulit mengemukakan pendapatnya sendiri ketika diminta untuk menyimpulkan hasil belajar dan atau dalam memecahkan masalah yang berbeda dari contoh-contoh soal yang telah dipelajari sebelumnya, sebagian besar siswa cenderung menghafal tanpa makna.
Menurut Syaiful dkk. (2011, hlm. 9), beberapa faktor yang
menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal
matematika non rutin diantaranya: (1) faktor pendekatan pembelajaran yang
kurang membangun kemampuan pemecahan masalah matematis, dan (2)
faktor kebiasaan belajar dengan cara menghafal.
Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran di sekolah diperlukan
metode atau model pembelajaran yang dapat membantu menciptakan,
mengembangkan, bahkan meningkatkan kemampuan-kemampuan yang
harus dimiliki oleh siswa, termasuk kemampuan pemecahan masalah.
3
satunya adalah model guided discovery learning atau model pembelajaran
penemuan terbimbing.
Model guided discovery learning (pembelajaran penemuan
terbimbing) adalah model mengajar dimana guru memberikan contoh-contoh
topik spesifik dan memandu siswa untuk memahami topik tersebut (Eggen,
2012, hlm. 177). Model guided discovery learning juga merupakan model
pembelajaran yang bersifat student oriented dengan teknik trial and error,
menerka, menggunakan intuisi, menyelidiki, menarik kesimpulan, serta
memungkinkan guru melakukan bimbingan dan penunjuk jalan dalam
membantu siswa untuk mempergunakan ide, konsep, dan keterampilan yang
mereka miliki untuk menemukan pengetahuan yang baru. Menurut Siadari
(Nupita, 2013, hlm. 4), keuntungan dari model guided discovery learning,
yaitu: (a) pengetahuan ini dapat bertahan lama, mudah diingat dan mudah
diterapkan pada situasi baru, (b) meningkatkan penalaran, analisis dan
keterampilan siswa memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain, (c)
meningkatkan kreatifitas siswa untuk terus belajar dan tidak hanya menerima
saja, (d) terampil dalam menemukan konsep atau memecahkan masalah.
Menurut Hadi (Syaiful dkk., 2011, hlm. 9), hal yang menjadi ciri
praktik pendidikan di Indonesia selama ini antara lain adalah pembelajaran
yang berpusat pada guru. Kemudian diperkuat dengan temuan Wahyudin bahwa: “Guru matematik pada umumnya mengajar dengan metode ceramah dan ekspositori. Pada kondisi seperti itu, kesempatan siswa untuk menemukan dan membangun pengetahuannya sendiri tidak ada”, (Fauziah, 2010, hlm. 2).
Model pembelajaran Ekspositori merupakan model pembelajaran
yang digunakan dengan memberikan keterangan terlebih dahulu seperti
definisi, prinsip dan konsep materi pelajaran, kemudian memberikan
contoh-contoh latihan pemecahan masalah dalam bentuk ceramah, demonstrasi,
tanya jawab dan penugasan (Firmansyah, 2011). Siswa mengikuti pola yang
diterapkan oleh guru secara cermat, mendengarkan dan mencatat apa yang
disampaikan oleh guru, juga mengerjakan soal latihan dan bertanya jika tidak
individual, menerangkan lagi kepada siswa secara klasikal bila dirasakan
banyak siswa yang belum jelas. Penggunaan model pembelajaran ekspositori
merupakan model pembelajaran yang mengarah pada tersampaikannya isi
pelajaran kepada siswa secara langsung dengan maksud agar siswa dapat
menguasai materi pelajaran secara optimal. Sehingga Roy Killen (Sanjaya,
2006, hlm. 179) menamakan model pembelajaran ekspositori ini dengan
istilah model pembelajaran langsung (dirrect intruction), karena dalam
model ini materi pelajaran disampaikan langsung oleh guru dan siswa tidak
dituntut untuk menemukan materi itu.
Menurut Tarsito Suharyono (Firmansyah, 2011), model pembelajaran
ekspositori mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan model
pembelajaran ekspositori adalah sebagai berikut:
1. Dapat menampung kelas besar, tiap siswa mempunyai kesempatan aktif
yang sama.
2. Bahan pelajaran diberikan secara urut oleh guru.
3. Guru dapat menentukan terhadap hal-hal yang dianggap penting.
4. Guru dapat memberikan penjelasan secara individual maupun klasikal.
Sedangkan kekurangan model pembelajaran ekspositori ini adalah
sebagai berikut:
1. Pada model ini tidak menekankan penonjolan aktifitas fisik seperti
aktivitas mental siswa.
2. Interaksi berlangsung satu arah saja.
3. Pengetahuan yang didapat dengan model pembelajaran ekspositori cepat
hilang.
4. Kepadatan konsep-konsep dan aturan-aturan yang di berikan dapat
berakibat siswa tidak menguasai bahan pelajaran yang diberikan.
Dengan memperhatikan hal-hal diatas, maka model pembelajaran
ekspositori dapat diterapkan pada kelas kontrol sebagai pembanding dari
model guided discovery learning yang akan diterapkan pada kelas
5
Adapun penelitian sebelumnya yang relevan adalah sebagai berikut:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Haryani Hasibuan (2014) pada siswa
Sekolah Menengah Atas dengan kesimpulan bahwa kemampuan
pemahaman matematis siswa yang belajar dengan menggunakan metode
guided discovery lebih baik daripada kemampuan pemahaman matematis
siswa yang belajar dengan menggunakan metode konvensional.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Femilya Sri Zulfa (2014) pada siswa
Sekolah Menengah Atas dengan kesimpulan bahwa kemampuan penalaran
matematis siswa yang belajar dengan menggunakan metode guided
discovery learning lebih baik daripada kemampuan penalaran matematis
siswa yang belajar dengan menggunakan pembelajaran konvensional.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Syarifah Ambami (2013) pada siswa
Sekolah Dasar dengan kesimpulan bahwa pembelajaran matematika
melalui Metode Penemuan Terbimbing dapat meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa. Sedangkan secara khusus,
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing lebih baik
secara signifikan daripada siswa yang memperoleh pembelajaran
matematika yang melalui metode konvensional.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Neneng Watini (2013) pada siswa
Madrasah Tsanawiyah dengan kesimpulan bahwa kemampuan berpikir
kreatif matematis siswa yang belajar dengan menggunakan metode guided
discovery learning lebih baik daripada kemampuan berpikir kreatif
matematis siswa yang belajar dengan menggunakan metode pembelajaran
ekspositori.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Fauzan Azmi (2012) pada siswa Sekolah
Menengah Atas dengan kesimpulan bahwa hasil belajar matematika siswa
dengan menggunakan metode guided discovery lebih baik daripada hasil
belajar matematika siswa dengan menggunakan metode konvensional.
6. Penelitian yang dilakukan oleh Asrul Karim (2011) pada siswa Sekolah
berfikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode
penemuan terbimbing lebih baik.
Berdasarkan uraian diatas dan hasil-hasil penelitian yang relevan
sebelumnya, penulis termotivasi untuk melakukan penelitian tentang
pengaruh penggunaan model guided discovery learning terhadap kemampuan
pemecahan masalah matematis pada siswa SMP.
B. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Apakah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang belajar
dengan model guided discovery learning lebih baik daripada kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa yang belajar dengan model
pembelajaran ekspositori?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian
ini pun memiliki tujuan sebagai berikut:
Mengetahui apakah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang
belajar dengan model guided discovery learning lebih baik daripada
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang belajar dengan model
pembelajaran ekspositori.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi setiap
kalangan pembaca baik secara teoritik maupun praktik. Adapun manfaat yang
diharapkan adalah sebagai berikut:
1. Sebagai sumber referensi bagi pembaca atau peneliti untuk melakukan
penelitian selanjutnya.
2. Sebagai sumber referensi bagi pembaca untuk menambah pengetahuan
dan wawasan terkait dengan model guided discovery learning dan
7
3. Sebagai acuan bagi pembaca khususnya mahasiswa calon guru untuk
menentukan model pembelajaran yang lebih baik untuk diterapkan dalam
proses pembelajaran.
E. Definisi Operasional
Agar tidak terdapat perbedaan penafsiran, berikut dijelaskan beberapa
istilah yang digunakan dalam penelitian ini, diantaranya:
1. Kemampuan pemecahan masalah matematis yang dimaksud adalah
kecakapan atau potensi yang dimiliki seseorang atau siswa dalam
menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang tidak rutin,
mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau keadaan
lain, dan membuktikan atau menciptakan atau menguji konjektur yang
ditunjukkan dengan kemampuan siswa dalam: (1) Mengidentifikasi
unsur-unsur yang diketahui, yang ditanya, dan kecukupan unsur yang
diperlukan lainnya, (2) Merumuskan masalah matematis atau menyusun
model matematika, (3) Menerapkan strategi untuk menyelesaikan
berbagai masalah (sejenis atau masalah baru), (4) Menjelaskan atau
menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan awal, dan (5)
Menggunakan matematika secara bermakna.
2. Model guided discovery learning ini merupakan model pembelajaran
yang bersifat student oriented dengan teknik trial and error, menerka,
menggunakan intuisi, menyelidiki, menarik kesimpulan, serta
memungkinkan guru melakukan bimbingan dan penunjuk jalan dalam
membantu siswa untuk mempergunakan ide, konsep, dan keterampilan
yang mereka miliki untuk menemukan pengetahuan yang baru dengan
langkah-langkah: (1) Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada
siswa dengan data secukupnya, (2) Dari data yang diberikan oleh guru,
siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganalisis data
tersebut, (3) Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis
yang dilakukan, (4) Konjektur yang dibuat oleh siswa tersebut diperiksa
oleh guru, (5) Apabila telah diproses kepastian tentang kebenaran
siswa untuk menyusunnya, dan (6) Setelah siswa menemukan apa yang
dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal tambahan
untuk memeriksa apakah penemuan tersebut benar.
3. Model pembelajaran ekspositori adalah model pembelajaran yang
menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari
seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen melalui pendekatan
kuantitatif dengan Quasi Experimental Design, dikarenakan tidak
memungkinkan untuk melakukan pengelompokkan secara acak. Bentuk Quasi
Experimental Design yang digunakan adalah Posttest-Only Control Group
Design. Dalam desain ini tidak dilaksanakan pretest, namun tetap dilakukan
pengumpulan dan penganalisisan data yang diperoleh dari hasil nilai ujian
harian siswa. Hal ini dilakukan untuk menyatakan kesamaan rata-rata
kemampuan awal siswa.
Penelitian ini dilakukan terhadap dua kelas sampel yang dipilih
dengan menggunakan teknik sampling purposive. Satu kelas sebagai kelas
eksperimen, yaitu kelas yang menggunakan model guided discovery learning
(X1), sedangkan satu kelas lainnya sebagai kelas kontrol, yaitu kelas yang
menggunakan model pembelajaran ekspositori (X2). Dengan demikian bentuk
desain penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
X1
X2
Keterangan:
X1 : Penggunaan model guided discovery learning
X2 : Penggunaan model pembelajaran ekspositori
: Posttest
B. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII pada
salah satu SMP Negeri di Kabupaten Bandung Barat dan sampelnya dipilih
dengan menggunakan teknik sampling purposive, yaitu teknik penentuan
sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2014, hlm. 124). Dalam hal
ini akan dipilih dua kelas, yaitu kelas VIII-A dan kelas VIII-I. Kelas VIII-A
guided discovery dan kelas VIII-I sebagai kelas kontrol yang memperoleh
pembelajaran dengan model pembelajaran ekspositori.
C. Variabel Penelitian
Menurut Sugiyono (2014, hlm. 60), variabel penelitian merupakan
segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari, sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut dan kemudian
dapat ditarik kesimpulannya. Penelitian ini memuat dua buah variabel, yaitu
variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas (variabel independen)
merupakan variabel yang memberikan pengaruh atau yang menjadi sebab
terjadinya perubahan pada sesuatu, sedangkan sesuatu yang dipengaruhi oleh
variabel bebas atau yang menjadi akibat disebut variabel terikat (variabel
dependen).
Adapun variabel bebas dalam penelitian ini adalah model guided
discovery learning, sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan
pemecahan masalah matematis.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen merupakan alat yang digunakan untuk melakukan sesuatu.
Sedangkan penelitian memiliki arti pemeriksaan, penyelidikan, kegiatan
pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data secara sistematis dan
objektif. Dengan masing-masing pengertian kata tersebut di atas maka
instrumen penelitian adalah semua alat yang digunakan untuk mengumpulkan,
memeriksa, menyelidiki suatu masalah, atau mengumpulkan, mengolah,
menganalisa dan menyajikan data secara sistematis serta objektif dengan
tujuan memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis. Adapun
instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah instrumen tes.
Jenis instrumen tes yang digunakan adalah tes tertulis tipe subyektif
(uraian/essay). Jenis tes ini dipilih dengan pertimbangan, bahwa soal bentuk
uraian sangat baik untuk menarik hubungan antara pengetahuan atau
fakta-fakta yang telah ada pada struktur kognitif siswa dengan pengertian materi
20
2008) bahwa keunggulan dari tes berbentuk uraian adalah dapat menimbulkan
sifat kreatif pada diri siswa dan hanya siswa yang telah menguasai materi yang
dapat memberikan jawaban yang baik dan benar.
Instrumen tes yang digunakan pada penelitian ini adalah tes
kemampuan pemecahan masalah matematis. Pemberian skor untuk tes
kemampuan pemecahan masalah matematis ini berpedoman pada adaptasi dari
[image:13.595.117.528.266.753.2]Sumarmo (Andriatna, 2012), yaitu sebagai berikut:
Tabel 3.1
Pedoman Pemberian Skor untuk Kemampuan Pemecahan Masalah
Aspek yang dinilai Skor Keterangan
Pemahaman masalah
0 Salah menginterpretasikan soal/tidak ada
jawaban sama sekali
1 Salah mengiterpretasikan sebagian
soal/mengabaikan kondisi soal
2 Memahami soal selengkapnya
Perencanaan
penyelesaian
0 Menggunakan strategi yang tidak
relevan/tidak ada strategi sama sekali
1 Menggunakan strategi yang kurang dapat
dilaksanakan/tidak dapat dilanjutkan
2
Menggunakan strategi yang benar tapi
mengarah pada jawaban yang salah/tidak
mencoba strategi lain
3 Menggunakan beberapa strategi yang
mengarah pada jawaban yang benar
Penyelesaian masalah
sesuai rencana
0 Tidak ada solusi sama sekali
1 Menggunakan beberapa strategi yang
mengarah pada jawaban yang benar
2 Hasil salah/sebagian hasil salah akan tetapi
Aspek yang dinilai Skor Keterangan
3 Hasil dan proses benar
Pemeriksaan kembali
hasil perhitungan
0 Tidak ada pemeriksaan/tidak ada keterangan
apapun
1 Ada pemeriksaan tetapi tidak tuntas
2 Pemeriksaan dilaksanakan untuk melihat
keterangan hasil dan proses
Agar instrumen yang digunakan dapat berfungsi sebagaimana
mestinya, maka perlu dilakukan ujicoba terlebih dahulu pada siswa diluar
sampel penelitian yang telah mempelajari materi yang akan diujikan.
Pengolahan data hasil uji instrumen tersebut menggunakan bantuan Software
Anates V4 tipe uraian.
1. Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kesahihan
suatu alat evaluasi. Suatu alat evaluasi dapat dikatakan valid apabila alat
tersebut mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi. Untuk
menguji validitas setiap butir soal, maka skor-skor yang terdapat pada tiap
butir soal dikorelasikan dengan skor totalnya. Skor tiap butir soal
dinyatakan dengan skor X dan skor total dinyatakan dengan skor Y,
dengan diperolehnya indeks validitas dari setiap butir soal, maka dapat
diketahui butir-butir soal manakah yang memenuhi syarat (Arikunto, 1999,
hlm. 78).
Untuk menguji validitas setiap butir soal digunakan rumus korelasi
product moment dengan angka kasar (raw score), yaitu:
∑ ∑ ∑
√[ ∑ ∑ ][ ∑ ∑ ]
Dengan:
22
= banyak testi
= simpangan terhadap rata-rata dari setiap data pada kelompok
variabel X
= simpangan terhadap rata-rata dari setiap data pada kelompok
variabel Y
(Suherman & Sukjaya, 1990, hlm. 154)
Menurut J.P. Guilford (Suherman, 2003, hlm. 113), koefisien
validitas dibagi ke dalam kategori-kategori seperti berikut ini:
0,90 ≤ ≤ 1,00 validitas sangat tinggi (sangat baik) 0,70 ≤ < 0,90 validitas tinggi (baik)
0,40 ≤ < 0,70 validitas sedang (cukup)
0,20 ≤ < 0,40 validitas rendah (kurang)
0,00 ≤ < 0,20 validitas sangat rendah
< 0,00 tidak valid
Setelah harga koefisien validitas tiap butir soal diperoleh, maka
perlu dilakukan uji signifikan untuk mengukur keberartian koefisien
korelasi berdasarkan distribusi kurva normal dengan menggunakan
statistik uji-t, dengan persamaan:
√
Dengan:
= nilai hitung koefisien validitas
= nilai koefisien korelasi tiap butir soal
= banyak testi
Kemudian hasil di atas dibandingkan dengan nilai t dari tabel pada
taraf kepercayaan 95% dan derajat kebebasan . Jika
, maka koefisien validitas butir sangat signifikan.
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan bantuan software
Tabel 3.2
Validitas Butir Soal
No.
Soal rxy rtabel
Kriteria
(Valid/Tidak
Valid)
Kategori Signifikansi (Sig.)
1 0,324 0,381 Valid Rendah -
2 0,783 0,381 Valid Tinggi Sangat Signifikan
3 0,892 0,381 Valid Tinggi Sangat Signifikan
4 0,861 0,381 Valid Tinggi Sangat Signifikan
Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk soal nomor 1
kriteria validitasnya terkategori rendah dan karena rxy lebih kecil dari rtabel
sehingga soal nomor 1 tidak signifikan. Sedangkan untuk soal nomor 2, 3,
dan 4 kriteria validitasnya terkategori tinggi dan rxy lebih besar dari rtabel
sehingga soal nomor 2, 3, dan 4 sangat signifikan.
2. Reliabilitas
Reliabilitas suatu alat evaluasi adalah suatu alat yang memberikan
hasil yang tetap sama (konsisten). Hasil evaluasi itu harus tetap sama
(relatif sama) jika pengukuran diberikan pada subjek yang sama meskipun
dilakukan oleh orang yang berbeda, waktu yang berbeda, dan tempat yang
berbeda pula. Tidak terpengaruh oleh pelaku, situasi, dan kondisi. Alat
evaluasi yang reliabilitasnya tinggi disebut alat evaluasi yang reliabel.
Koefisien reliabilitas soal tipe uraian dihitung dengan
menggunakan rumus Cronbach Alpha, yaitu:
∑
Dengan:
= koefisien reliabilitas
= banyak butir soal
24
= varians skor total
(Suherman & Sukjaya, 1990, hlm. 194)
Tolak ukur untuk menginterpretasikan derajat reliabilitas alat
evaluasi dapat digunakan tolak ukur yang dibuat oleh J.P. Guilford
(Suherman, 2003, hlm. 139) sebagai berikut:
r11 < 0,20 derajat reliabilitas sangat rendah
0,20 ≤ r11 < 0,40 derajat reliabilitas rendah
0,40 ≤ r11 < 0,70 derajat reliabilitas sedang
0,70 ≤ r11 < 0,90 derajat reliabilitas tinggi
0,90 ≤ r11 ≤ 1,00 derajat reliabilitas sangat tinggi
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan bantuan software
Anates V4 tipe uraian, diperoleh hasil perhitungan koefisien reliabilitasnya
adalah 0,90. Hal ini berarti instrumen tes tersebut memiliki derajat
reliabilitas sangat tinggi.
3. Daya Pembeda
Daya pembeda (DP) dari suatu butir soal menyatakan suatu
kemampuan yang dimiliki oleh butir soal tersebut dalam membedakan
antara testi yang mengetahui jawabannya dengan benar (pandai) dengan
testi yang tidak dapat menjawab soal tersebut (atau testi yang menjawab
salah). Dalam hal ini, daya pembeda sebuah butir soal merupakan
kemampuan yang dimiliki oleh butir soal itu untuk membedakan antara
testi (siswa) yang pandai (kemampuan tinggi) dengan siswa yang
berkemampuan rendah.
Rumus untuk menentukan daya pembeda soal tipe uraian adalah:
̅̅̅ ̅̅̅̅ Dengan:
= daya pembeda
̅̅̅ = rata-rata skor kelompok atas untuk soal itu
= skor maksimal ideal (bobot) (Suherman & Sukjaya, 1990, hlm. 201)
Klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda yang banyak
digunakan adalah:
DP ≤ 0,00 sangat jelek
0,00 < DP ≤ 0,20 jelek
0,20 < DP ≤ 0,40 sedang
0,40 < DP ≤ 0,70 tinggi
0,70 < DP ≤ 1,00 sangat tinggi
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan bantuan software
Anates V4 tipe uraian, diperoleh hasil perhitungan daya pembeda untuk
[image:18.595.167.484.385.538.2]setiap soal sebagai berikut:
Tabel 3.3
Daya Pembeda Tiap Butir Soal
No.
Soal Daya Pembeda Interpretasi
1 0,11 Jelek
2 0,48 Baik
3 0,37 Cukup
4 0,44 Baik
4. Indeks Kesukaran
Suatu hasil dari alat evaluasi dikatakan baik akan menghasilkan
skor atau nilai yang membentuk distribusi normal. Jika soal tersebut terlalu
sukar, maka frekuensi distribusi yang paling banyak terletak pada skor
yang rendah karena sebagian yang besar mendapat nilai yang jelek.
Sebaliknya jika soal yang diberikan terlalu mudah, maka frekuensi
distribusi yang paling banyak pada skor yang tinggi, karena sebagian besar
26
Derajat kesukaran suatu butir soal dinyatakan dengan bilangan
yang disebut indeks kesukaran. Bilangan tersebut adalah bilangan real
pada interval 0,00 sampai dengan 1,00. Soal dengan indeks kesukaran
mendekati 0,00 berarti butir soal tersebut terlalu sukar, sebaliknya soal
dengan indeks kesukaran 1,00 berarti soal tersebut terlalu mudah.
Pengujian indeks kesukaran ini dilakukan pada dua tipe soal yaitu tipe
objektif dan tipe uraian.
Rumus untuk menentukan indeks kesukaran butir soal, yaitu:
Dengan:
= indeks kesukaran
= jumlah benar untuk kelompok atas
= jumlah benar untuk kelompok bawah
= jumlah siswa kelompok atas
= jumlah siswa kelompok bawah
(Suherman & Sukjaya, 1990, hlm. 213)
Klasifikasi indeks kesukaran yang paling banyak digunakan
adalah:
IK = 0,00 soal terlalu sukar
0,00 < IK ≤ 0,30 soal sukar
0,30 < IK ≤ 0,70 soal sedang
0,70 < IK ≤ 1,00 soal mudah
IK = 1 soal terlalu mudah
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan bantuan software
Anates V4 tipe uraian, diperoleh hasil perhitungan indeks kesukaran untuk
Tabel 3.4
Indeks Kesukaran Tiap Butir Soal
No.
Soal Indeks Kesukaran Interpretasi
1 0,30 Soal Sukar
2 0,57 Soal Sedang
3 0,73 Soal Mudah
4 0,69 Soal Sedang
Adapun untuk rekapitulasi hasil ujicoba instrumen secara keseluruhan
[image:20.595.128.529.371.516.2]disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 3.5
Rekapitulasi Hasil Ujicoba Instrumen Tes
No.
Soal Validitas Daya Pembeda
Indeks
Kesukaran Reliabilitas
1 0,32 (Rendah) 0,11 (Jelek) 0,30 (Sukar)
0,90
(Sangat Tinggi)
2 0,78 (Tinggi) 0,48 (Baik) 0,57 (Sedang)
3 0,89 (Tinggi) 0,37 (Cukup) 0,73 (Mudah)
4 0,86 (Tinggi) 0,44 (Baik) 0,69 (Sedang)
Berdasarkan analisis hasil ujicoba instrumen tes di atas, dapat
dikatakan bahwa kualitas instrumen tes yang telah disusun cukup baik. Akan
tetapi pada soal nomor 1, interpretasi daya pembedanya termasuk dalam
kategori jelek. Melihat dari hasil jawaban siswa, hal tersebut dikarenakan
kurang tepatnya dalam penggunaan kalimat pada soal sehingga siswa
mengalami kesalahan dalam memahami soal. Dan karena terbatasnya waktu,
maka instrumen soal nomor 1 tidak dirubah dan tetap digunakan untuk
28
E. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui empat tahap, yaitu: tahap persiapan,
tahap pelaksanaan, tahap analisis data, dan tahap penyusunan kesimpulan.
1. Tahap persiapan
Langkah-langkah yang dilaksanakan pada tahap ini adalah:
- Mengidentifikasi dan merumuskan permasalahan yang terdapat pada
pembelajaran matematika
- Mengajukan judul penelitian terkait masalah yang akan diteliti
- Penyusunan proposal penelitian
- Pelaksanaan seminar proposal penelitian
- Penyusunan instrumen penelitian
- Melaksanakan ujicoba instrumen
- Penentuan lokasi, populasi dan sampel penelitian yang akan diteliti
2. Tahap pelaksanaan
Langkah-langkah yang dilaksanakan pada tahap ini adalah:
- Pengumpulan data nilai ujian harian siswa pada kelas eksperimen dan
kelas kontrol
- Pengolahan data nilai ujian harian siswa pada kelas eksperimen dan
kelas kontrol
- Melaksanakan pembelajaran dengan model guided discovery learning
pada kelas eksperimen dan model pembelajaran ekspositori pada
kelas kontrol
- Memberikan posttest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk
mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
3. Tahap analisis data posttest
Langkah-langkah yang dilaksanakan pada tahap ini adalah:
- Pengumpulan data kuantitatif yang diperoleh dari hasil posttest
- Pengolahan data kuantitatif yang diperoleh dari hasil posttest
4. Tahap penyusunan kesimpulan
Pada tahap ini langkah yang dilaksanakan adalah menyusun
kesimpulan berdasarkan data yang telah diolah dan dianalisis agar dapat
F. Analisis Data
Setelah semua data terkumpul agar dapat menjawab hipotesis
penelitian yang telah disampaikan pada bab dua, maka data yang telah
diperoleh harus diolah dan dianalisis terlebih dahulu. Pada penelitian ini
diperoleh data kuantitatif dari nilai ujian harian siswa dan hasil soal posttest
setelah penerapan model guided discovery learning dan model pembelajaran
ekspositori. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji
statistik.
Data yang akan dianalisis adalah data nilai ujian harian siswa dan hasil
posttest dari kelas yang akan diterapkan model guided discovery learning dan
kelas yang akan diterapkan model pembelajaran ekspositori. Analisis data
nilai ujian harian siswa dan hasil posttest akan dilakukan dengan
menggunakan bantuan software SPSS (Statistical Product and Service
Solution) versi 20.0. Adapun analisis data yang akan dilakukan adalah uji
kesamaan dua rata-rata yang digunakan untuk mengetahui apakah kelas yang
akan diterapkan model guided discovery learning dan kelas yang akan
diterapkan model pembelajaran ekspositori memiliki rata-rata yang sama atau
tidak. Berikut adalah penjelasan tentang teknik analisis data yang dilakukan:
1. Analisis Data Nilai Ujian Harian
Analisis data nilai ujian harian ini bertujuan untuk mengetahui
kemampuan awal siswa pada kedua kelas penelitian.
a. Uji Normalitas Data Nilai ujian harian
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data nilai ujian
harian tersebut berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak.
Uji normalitas ini dilakukan dengan bantuan software SPSS versi 20.0
menggunakan uji statistik Saphiro-Wilk. Dengan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Data nilai ujian harian siswa berdistribusi normal
H1 : Data nilai ujian harian siswa tidak berdistribusi normal
Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05
adalah menerima H0 jika nilai signifikan (Sig.) lebih besar atau sama
30
Jika data nilai ujian harian siswa kedua kelas penelitian
berdistribusi normal, uji statistik selanjutnya yang dilakukan adalah uji
homogenitas varians. Akan tetapi, jika data nilai ujian harian siswa salah
satu atau kedua kelas penelitian tidak berdistribusi normal, maka uji
homogenitas tidak perlu dilakukan melainkan akan dilakukan uji statistik
non-parametrik, yaitu uji Mann-Whitney U untuk uji perbedaan dua
sampel independen.
b. Uji Homogenitas Varians
Uji homogenitas varians dilakukan untuk mengetahui apakah data
nilai ujian harian tersebut berasal dari varians yang homogen/sama atau
tidak. Apabila data nilai ujian harian siswa kedua kelas penelitian
berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan uji homogenitas varians.
Uji homogenitas varians ini dilakukan dengan bantuan software SPSS
versi 20.0 menggunakan uji Levene’s. Dengan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Data nilai ujian harian siswa pada kelas yang akan diterapkan model
guided discovery learning dan kelas yang akan diterapkan model
pembelajaran ekspositori bervarians homogen
H1 : Data nilai ujian harian siswa pada kelas yang akan diterapkan model
guided discovery learning dan kelas yang akan diterapkan model
pembelajaran ekspositori tidak bervarians homogen
Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05
adalah menerima H0 jika nilai signifikan (Sig.) lebih besar atau sama
dengan α, dan menolak H0jika nilai signifikan (Sig.) lebih kecil α.
c. Uji Kesamaan Dua Rata-Rata
Uji kesamaan dua rata-rata dilakukan untuk mengetahui apakah
data nilai ujian harian siswa kedua kelas penelitian memiliki rata-rata
kemampuan yang sama atau tidak. Apabila data nilai ujian harian siswa
kedua kelas penelitian berdistribusi normal dan bervarians homogen, maka
uji kesamaan dua rata-rata dilakukan dengan menggunakan uji t.
berdistribusi normal dan tidak bervarians homogen, maka uji dua rata-rata
dilakukan dengan menggunakan uji t’. Adapun perumusan hipotesis untuk
uji kesamaan dua rata-rata ini adalah sebagai berikut:
H0 : �1 = �2
H1 : �1≠ �2
Dengan:
�1 adalah rata-rata nilai ujian harian siswa kelas yang akan menggunakan
model guided discovery learning
�2 adalah rata-rata nilai ujian harian siswa kelas yang akan menggunakan
model pembelajaran ekspositori
Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05
adalah menerima H0 jika nilai signifikan (Sig.) lebih besar atau sama
dengan α, dan menolak H0jika nilai signifikan (Sig.) lebih kecil α.
2. Analisis Data Posttest
Analisis data posttest ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa pada kelas yang menerapkan model
guided discovery learning dan pada kelas yang menerapkan model
pembelajaran ekspositori.
a. Uji Normalitas Data Posttest
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data posttest
tersebut berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Uji
normalitas ini dilakukan dengan bantuan software SPSS versi 20.0
menggunakan uji statistik Saphiro-Wilk. Dengan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Data posttest siswa berdistribusi normal
H1 : Data posttest siswa tidak berdistribusi normal
Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05
adalah menerima H0 jika nilai signifikan (Sig.) lebih besar atau sama
dengan α, dan menolak H0jika nilai signifikan (Sig.) lebih kecil α.
Jika data posttest siswa kedua kelas penelitian berdistribusi normal,
uji statistik selanjutnya yang dilakukan adalah uji homogenitas varians.
32
tidak berdistribusi normal, maka uji homogenitas tidak perlu dilakukan
melainkan akan dilakukan uji statistik non-parametrik, yaitu uji
Mann-Whitney U untuk uji perbedaan dua sampel independen.
b. Uji Homogenitas Varians
Uji homogenitas varians dilakukan untuk mengetahui apakah data
posttest tersebut berasal dari varians yang homogen/sama atau tidak.
Apabila data posttest siswa kedua kelas penelitian berdistribusi normal,
maka dilanjutkan dengan uji homogenitas varians. Uji homogenitas
varians ini dilakukan dengan bantuan software SPSS versi 20.0
menggunakan uji Levene. Dengan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Data posttest siswa pada kelas yang menggunakan model guided
discovery learning dan kelas yang menggunakan model
pembelajaran ekspositori bervarians homogen
H1 : Data posttest siswa pada kelas yang menggunakan model guided
discovery learning dan kelas yang menggunakan model
pembelajaran ekspositori tidak bervarians homogen
Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05
adalah menerima H0 jika nilai signifikan (Sig.) lebih besar atau sama
dengan α, dan menolak H0jika nilai signifikan (Sig.) lebih kecil α.
c. Uji Kesamaan Dua Rata-Rata
Uji kesamaan dua rata-rata dilakukan untuk mengetahui apakah
data posttest siswa kedua kelas penelitian memiliki rata-rata kemampuan
pemecahan masalah matematis yang sama atau tidak. Apabila data posttest
siswa kedua kelas penelitian berdistribusi normal dan bervarians homogen,
maka uji dua rata-rata dilakukan dengan menggunakan uji t. Sedangkan
apabila data posttest siswa kedua kelas penelitian berdistribusi normal dan
tidak bervarians homogen, maka uji dua rata-rata dilakukan dengan
menggunakan uji t’. Adapun perumusan hipotesis untuk uji kesamaan dua
H0 : �1 = �2
H1 : �1 ≠ �2
Dengan:
�1 adalah rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada
kelas yang menggunakan model guided discovery learning
�2 adalah rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada
kelas yang menggunakan model pembelajaran ekspositori
Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05
adalah menerima H0 jika nilai signifikan (Sig.) lebih besar atau sama
DAFTAR PUSTAKA
Abruscato, J. & DeRosa, D.A. (2010).Teaching Children Science A Discovery Approach.United Stated of America: Allyn and Bacon.
Ambami, S. (2013).Peningkatan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sekolah Dasar Kelas V Melalui Metode Penemuan Terbimbing.(Skripsi). Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Andriatna, R. (2012). Meningkatkan KemampuanPemecahan MasalahMatematis Siswa SMA melalui Menulis Matematika dalamPembelajaran Berbasis Masalah. (Skripsi). Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Arikunto, S. (1999).Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk Matematika SMP-MTs. Jakarta: BSNP.
Carin, A.A. & Sund, R.B. (1985).Teaching Modern Science. Colombus: Charles E. Merril Publishing.
Eggen, P. & Kauchak, D. (2012).Strategi dan Model Pembelajaran. Jakarta: PT Indeks.
Fauziah, A. (2010). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP Melalui Strategi REACT. Forum Kependidikan, 30 (1), hlm. 1-13.
Firmansyah.(2011). Pengertian Inquiri, Ekspositori dan Teori Pemahaman. Diakses dari: http://firmansyah100288.blogspot.com/2011/09/pengertian-inquiri-ekspositori-dan.html
Fitriani, G.P. (2014). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP dalam Pembelajaran Matematika dengan Strategi REACT.(Skripsi).Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Jaenudin, A. (2011). Mengembangkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pembelajaran Matematika Realistik.(Tesis). Pendidikan Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Mahardika, G.A. (2013). Uji Validitas dan Reliabilitas.[Online].Diakses dari http://statistikapendidikan.com/wp-content/uploads/2013/05/Uji-Validitas-dan-Reliabilitas.Gilang-AM1.pdf.
Noer, S.H. & Agnesa, T. (2011).Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Open-Ended.Makalah Seminar Nasional Pendidikan MIPA (hlm. 118-129). Lampung: Unila.
Nupita, E. (2013). Penerapan Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Keterampilan Pemecahan Masalah pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar.(Skripsi). Universitas Negeri Surabaya, Surabaya.
Polya, G. (1994). How to Solve It: A New Aspect of Mathematical Method. Princeton, NJ: Princeton Science Library Printing.
Prince, M.J. & Felder, R.M. (2006). Inductive Teaching and Learning Methods: Definitions, Comparisons, and Research Bases. Journal of Engineering Education, 95 (2), hlm 123-138.
Purnomo, Y.W. (2011). Efektivitas Model Penemuan Terbimbing dan Cooperative Learning Ditinjau dari Kreativitas Siswa pada Pembelajaran Matematika di Kelas IX SMP.(Tesis). Universitas Sebelas Maret, Semarang.
Purnomo, Y.W. (2011). Keefektifan Model Penemuan Terbimbing Dan
Cooperative Learning Pada Pembelajaran Matematika. Jurnal
Kependidikan, 41 (1), hlm. 23 – 33.
Ruseffendi.(2010). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito Bandung.
Sanjaya, W. (2006).Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sugiyono.(2012). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Suherman, E. & Sukjaya, Y. (1990). Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157.
Suherman, E. (2010). Belajar dan Pembelajaran Matematika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Suherman, E. Dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Suherman, E. Dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Syaiful, Dkk. (2011). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Melalui Pendekatan Matematika Realistik. Jurnal Pendidikan
50
Wahyudin.(2003). Peranan Problem Solving. Makalah Seminar Technical Cooperation Project for Development of Mathematics and Science for Primary and Secondary Education in Indonesia. Bandung: UPI Press.
Wardhani, S. (2005). Prinsip Dasar Penilaian dan Penyusunan Perangkat. Tim PPPG Matematika Yogyakarta: Depdiknas.
Watini, N. (2013). Pengaruh Metode Guided Discovery terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa.(Skripsi). Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon.