• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMENUHAN HAK ATAS UPAH YANG LAYAK BAGI PEKERJA/BURUH SETELAH DISAHKANNYA UNDANG-UNDANG TENTANG CIPTA KERJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEMENUHAN HAK ATAS UPAH YANG LAYAK BAGI PEKERJA/BURUH SETELAH DISAHKANNYA UNDANG-UNDANG TENTANG CIPTA KERJA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PEMENUHAN HAK ATAS UPAH YANG LAYAK BAGI PEKERJA/BURUH SETELAH DISAHKANNYA UNDANG-UNDANG TENTANG CIPTA KERJA

Niazi Mubarak, Randhika Pratama, Fairuz Rana Indrayanti

I. Pendahuluan

Pada Senin, 5 Oktober 2020, Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) atau yang kerap disebut sebagai Omnibus Law, disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).1 Undang-Undang ini dalam perjalanannya mulai dari Rancangan Undang-Undang sampai disahkan menjadi Undang-Undang menuai banyak kontroversi, salah satunya adalah terkait sektor ketenagakerjaan yang menjadi permasalahan besar. Dengan berbagai macam perubahan atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), Omnibus Law mendapat banyak penolakan dari publik, terutama pekerja/buruh karena dinilai terlalu berpihak pada investor.2 Poin-poin yang dinilai merugikan buruh antara lain adalah terkait penetapan upah dan pengubahan ketentuan jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).3 Tulisan ini akan membahas bagaimana UU Cipta Kerja mengubah substansi mengenai pengupahan, terutama terkait Upah Minimum Sektoral, Dewan Pengupahan, dan penangguhan pembayaran upah dalam UU Ketenagakerjaan. Setelah mengetahui perubahan- perubahan tersebut, tulisan ini membahas mengenai bagaimana pemenuhan hak pekerja/buruh atas upah yang layak berdasarkan peraturan baru mengenai pengupahan dalam UU Cipta Kerja versi 812 halaman.

II. Fakta Hukum

1. Ketentuan mengenai pengupahan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.

1 Vincent Fabian Thomas, “Skandal DPR dan Pemerintahan Jokowi Mengesahkan RUU Cipta Kerja”, https://tirto.id/skandal-dpr-dan-pemerintah-jokowi-mengesahkan-ruu-cipta-kerja-f5UX, diakses 22 Oktober 2020.

2Kristian Erdianto, “Omnibus Law RUU Cipta Kerja, antara Kepentingan Investor dan Perbudakan Modern,” https://nasional.kompas.com/read/2020/03/06/07360811/omnibus-law-ruu-cipta-kerja-antara- kepentingan-investor-dan-perbudakan?page=all, diakses 22 Oktober 2020.

3 Ahmad Fauzan, “Omnibus Law Cipta Kerja Merugikan Buruh Memanjakan Oligarki,”

https://tirto.id/omnibus-law-cipta-kerja-merugikan-buruh-memanjakan-oligarki-f6aF, diakses 22 Oktober 2020.

(2)

2. Ketenagakerjaan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tenaga kerja.

3. Pekerja/Buruh adalah orang yang bekerja dan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

4. Pengusaha adalah orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan.

5. Upah adalah hak pekerja/buruh dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan atas suatu pekerjaan yang dilakukan pekerja/buruh.

6. Upah Minimum adalah nilai minimum upah yang harus dibayarkan pemberi kerja/pengusaha kepada penerima upah atas pekerjaannya pada waktu telah ditentukan yang tidak bisa direduksi melalui perjanjian kerja bersama maupun perjanjian kerja perseorangan.

7. Upah Minimum Sektoral adalah penetapan upah minimum untuk kelompok lapangan usaha tertentu di dalam suatu provinsi atau kabupaten/kota yang nilainya lebih tinggi daripada Upah Minimum Provinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota.

8. Dewan Pengupahan adalah suatu lembaga non struktural yang bersifat tripartit yang berfungsi untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, yang berada di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

9. Penangguhan pembayaran upah merupakan sebuah langkah yang dapat ditempuh bagi pengusaha yang tidak mampu untuk membayar upah minimum dengan mengajukan ke Gubernur sesuai peraturan yang berlaku.

10. Pada 5 Oktober 2020 UU Cipta Kerja disahkan, termasuk di dalamnya perubahan ketentuan yang sebelumnya dimuat pada UU Ketenagakerjaan.

11. Terdapat beberapa ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang mengubah substansi mengenai pengupahan yang ada dalam UU Ketenagakerjaan, yang meliputi Upah Minimum Sektoral, Dewan Pengupahan, dan penangguhan pembayaran upah.

(3)

III. Pertanyaan yang Diajukan

1. Apakah status quo pengaturan upah minimum sebelum disahkannya UU Cipta Kerja memenuhi hak atas upah yang layak bagi pekerja/buruh?

2. Bagaimana akibat penghapusan Pasal 89 UU Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja mengenai upah minimum berdasarkan sektor terhadap hak atas upah yang layak?

3. Bagaimana akibat penghapusan ketentuan mengenai Dewan Pengupahan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam UU Cipta Kerja terhadap hak atas upah yang adil?

4. Bagaimana akibat dari penghapusan ketentuan mengenai penangguhan pembayaran upah dalam UU Cipta Kerja terhadap perlindungan pekerja/buruh saat perusahaan mengalami masa sulit?

IV. Dasar Hukum dan Peraturan Terkait

1. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right atau Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (“ICESCR”).

2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (“UUD NRI 1945”).

3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).

4. Undang-Undang tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”).

V. Pendapat Hukum

1. Status Quo Pengaturan Upah Minimum Sebelum Berlakunya UU Cipta Kerja mengenai Pemenuhan Hak atas Upah yang Layak

Upah minimum didefinisikan sebagai nilai minimum upah yang harus dibayarkan pemberi kerja/pengusaha kepada penerima upah atas pekerjaannya pada waktu telah ditentukan yang tidak bisa direduksi melalui perjanjian kerja bersama maupun perjanjian kerja perseorangan.4 Berdasarkan Pasal 1

4International Labour Organization, Minimum Wage System, (Geneva: ILO, 2014), hlm. 33.

(4)

Rekomendasi Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization/ILO) Tahun 1970 tentang Rekomendasi Penetapan Upah Minimum disebutkan bahwa penetapan upah minimum harus menjadi bagian dari kebijakan yang dirancang untuk mengatasi kemiskinan juga menjamin pemenuhan kebutuhan hidup semua pekerja dan keluarganya.5 Hal ini juga sejalan dengan ICESCR dan UUD NRI 1945, yaitu tujuan ditetapkannya upah minimum adalah sebagai jaring pengaman untuk pemenuhan hak atas upah yang layak bagi pekerja/buruh.

Dalam Pasal 89 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, upah minimum di Indonesia terbagi menjadi dua jenis yaitu upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.6 Upah minimum berdasarkan sektor dikenal sebagai Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) untuk tingkat provinsi dan Upah Minimum Sektor Kabupaten/Kota untuk tingkat kabupaten/kota.7

Hadirnya penentuan upah minimum khususnya secara sektoral sejalan dengan pemenuhan hak atas upah yang layak yang dijamin dalam ICESCR dan UUD NRI 1945. ICESCR telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya). Dalam ICESCR terdapat jaminan hak atas upah yang layak yaitu pada Pasal 7 ICESCR sebagaimana yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:8

“Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk mengenyam kondisi-kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, dan menjamin khususnya :

5International Labour Organization, “Recommendation R135, Wage Fixing Recommendation, 1970,”

https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:12100:0::NO::P12100_INSTRUMENT_ID:31247 3, diakses 18 Oktober 2020.

6 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN. No.39/2003, TLN. 4279, Ps. 89 ayat (1).

7Indonesia, Menteri Ketenagakerjaan, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Upah Minimum, Nomor PM 15 Tahun 2018, Ps. 1 angka 5 dan 6.

8 Perserikatan Bangsa-Bangsa, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, UNTS 993 (1966), hlm. 3, Ps. 7.

(5)

(a) Imbalan yang memberikan kepada semua pekerja, sekurang- kurangnya dengan:

(i) Upah yang adil dan imbalan yang sama untuk pekerjaan yang senilai tanpa pembedaan apapun, khususnya kepada perempuan dijamin kondisi kerja yang tidak lebih rendah daripada yang dienyam oleh laki-laki dengan gaji yang sama untuk pekerjaan yang sama;”

Sedangkan dalam UUD NRI 1945 juga dijamin hak atas upah yang layak sebagaimana dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945, menyatakan:9

“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.**)”

Dari kedua pasal di atas, dapat dilihat bahwa hadirnya pengaturan upah minimum sebagaimana yang diatur di dalam UU Ketenagakerjaan merupakan bentuk jaminan terhadap hak atas upah yang layak sebagai bagian dari penegakan Hak Asasi Manusia.

2. Akibat Penghapusan Pasal 89 UU Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja mengenai Upah Minimum Berdasarkan Sektor terhadap Hak Atas Upah yang Layak.

Upah Minimum Sektoral bertujuan sebagai jaring pengaman untuk terpenuhinya hak atas upah yang layak bagi pekerja/buruh. Kebijakan upah minimum sektoral ditetapkan karena beberapa sektor memiliki kondisi pekerjaan yang berbeda sehingga diharapkan mampu membayar di atas upah minimum yang lebih tinggi yaitu Upah Minimum Sektoral.10 Tujuan dari penentuan Upah Minimum Sektoral adalah agar dapat menjangkau perlindungan pekerja/buruh lebih jauh sehingga dapat menyesuaikan kebutuhan pekerja/buruh yang sesuai dengan produktivitas sektor tertentu.

Namun, Pasal 81 angka 26 UU Cipta Kerja menghapus ketentuan Pasal 89 UU Ketenagakerjaan yang turut menghapus ketentuan Upah Minimum Sektoral. Meskipun upah minimum telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan, tetap ditemui pelanggaran hak pekerja/buruh atas upah. Berdasarkan Catatan

9 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Ps. 28D ayat (2).

10International Labour Organization, “Setting and adjusting minimum wage levels”, https://www.ilo.org/global/topics/wages/minimum-wages/setting-adjusting/lang--en/index.htm, diakses 18 Oktober 2020.

(6)

Akhir Tahunan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (Catahu YLBHI) yang diluncurkan pada Selasa, 8 Januari 2019 tercatat bahwa jumlah pengaduan ke seluruh kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang bernaung di bawah YLBHI, mayoritas berasal dari kasus perburuhan, khususnya kasus mengenai hak atas upah yang layak sebanyak 22 kasus.11 Meskipun telah ditetapkan upah minimum baik itu berdasarkan sektor maupun bukan, pelanggaran terhadap hak atas upah yang layak masih terjadi. Apabila penghapusan terhadap Upah Minimum Sektoral dihapus, maka pelanggaran terhadap hak atas upah yang layak semakin banyak. Padahal pelanggaran terhadap upah pekerja/buruh merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Disahkannya UU Cipta Kerja yang menghapus ketentuan Upah Minimum Sektoral merupakan bentuk pelanggaran Negara terhadap hak asasi pekerja/buruh. Dalam ICESCR disebutkan bahwa Negara harus menjamin imbalan bagi pekerja/buruh dengan upah yang adil. Menurut Rawls mengenai pemaknaan adil dalam teori keadilan, apabila bidang utama keadilan merupakan struktur dasar masyarakat maka permasalahan yang utama dalam keadilan adalah merumuskan serta memberikan rasionalisasi pada prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh sebuah struktur dasar masyarakat yang adil.12 Prinsip- prinsip tersebut menetapkan pendistribusian barang-barang pokok berupa hak- hak dasar masyarakat. Selain ICESCR, UU Cipta Kerja juga bertentangan dengan UUD NRI 1945. Menurut A. Hamid S. Attamimi, pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut yaitu yang berdasarkan asas Cita Hukum Indonesia, asas Negara Berdasar Atas Hukum, dan asas Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi dalam hal ini UUD NRI 1945.13 Merujuk pada Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa setiap orang dijamin untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Namun, penghapusan Upah Minimum Sektoral dalam UU Cipta Kerja merupakan bentuk tidak adanya jaminan hak atas upah yang layak sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945. Maka dari itu, UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD NRI 1945. Dengan penghapusan Upah Minimum

11Ady Thea, “Catahu YLBHI 2018: Penyebab Pengaduan Terbanyak Kasus Perburuhan”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c34e8ef34c58/catahu-ylbhi-2018--penyebab-pengaduan- terbanyak-kasus-perburuhan, diakses 18 Oktober 2020.

12John Rawls, A Theory of Justice, (London: Oxford University, 1973), hlm. 30.

13Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 254.

(7)

Sektoral dalam UU Cipta Kerja, pekerja/buruh tidak memiliki jaminan hak atas upah yang layak.

3. Akibat Penghapusan Ketentuan Mengenai Dewan Pengupahan di Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam UU Cipta Kerja terhadap Hak Atas Upah yang Adil.

Dalam UU Ketenagakerjaan, dirancang Dewan Pengupahan sebagai suatu Lembaga yang menunjang pemerintah dalam penetapan kebijakan pengupahan. Berdasarkan Pasal 98 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, Dewan Pengupahan dibentuk di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional. Namun, ketentuan ini oleh Pasal 81 angka 36 UU Cipta Kerja diubah rumusannya sehingga Dewan Pengupahan dibentuk untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan.

Kemudian, di Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang membahas mengenai upah minimum, dirumuskan bahwa upah minimum, baik berdasarkan wilayah maupun sektor, ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.14 Pasal 89 UU Ketenagakerjaan ini dihapus oleh Pasal 81 angka 26 UU Cipta Kerja dan substansi mengenai upah minimum dipindahkan ke Pasal 88C, 88D, dan 88E. Setelah perubahan ini, ketentuan bahwa penetapan upah minimum diterapkan dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan tidak lagi ditemukan.

Dengan ditiadakannya pembagian Dewan Pengupahan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, posisi tawar kelompok pekerja/buruh dalam perumusan kebijakan pengupahan berpotensi menjadi lemah.15 Dewan Pengupahan terbagi di tingkatan nasional, provinsi, kota/kabupaten, dan terdiri

14 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, Ps. 89.

15 Sania Mashabi, “LIPI: RUU Cipta Kerja Lemahkan Posisi Buruh dalam Dewan Pengupahan,”

https://nasional.kompas.com/read/2020/02/27/16012201/lipi-ruu-cipta-kerja-lemahkan-posisi-buruh-dalam- dewan-pengupahan?page=all, diakses 20 Oktober 2020.

(8)

dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serta Serikat Pekerja/Buruh dengan komposisi perbandingan 2:1:1.16 Dengan perkembangan pemerintahan Indonesia ke arah otonomi daerah, Dewan Pengupahan di tingkat regional (provinsi dan kabupaten/kota) menjadi sarana yang menguatkan posisi serikat pekerja/buruh terhadap pengusaha dan pemerintah.17 Hal ini dikarenakan peran dari serikat pekerja/buruh dalam perumusan kebijakan pengupahan di tingkat regional semakin besar. Pelemahan terhadap posisi kelompok pekerja/buruh sebenarnya sudah terjadi sebelumnya dengan adanya Pasal 43 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang menyatakan bahwa kajian peninjauan komponen dan jenis kebutuhan hidup yang dilaksanakan oleh Dewan Pengupahan Nasional menggunakan data dan informasi yang bersumber dari lembaga yang berwenang. Konsekuensinya adalah peran Dewan Pengupahan tingkat provinsi untuk memberikan rekomendasi sebagaimana diamanatkan UU Ketenagakerjaan yang diejawantahkan melalui survei untuk menetapkan Kebutuhan Hidup Layak nyaris tidak ada.18 Apabila Dewan Pengupahan di tingkatan Provinsi dan Kabupaten/Kota kemudian benar-benar ditiadakan, sarana bagi pekerja/buruh untuk memperjuangkan pengupahan yang adil akan berkurang dan posisi pekerja/buruh dalam perumusan kebijakan pengupahan semakin lemah. Terlebih lagi, dengan penetapan upah minimum yang tidak dinyatakan secara tegas memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan, celah adanya penetapan upah minimum yang tidak mencerminkan kebutuhan hidup pekerja/buruh semakin besar.

Dengan berkurangnya partisipasi pekerja/buruh, mewujudkan peraturan pengupahan minimum yang adil menjadi sulit untuk dijangkau karena pekerja/buruh adalah pihak yang terdampak langsung dari adanya kebijakan pengupahan serta serta pekerja/buruh yang paling mengetahui kebutuhan hidup mereka sendiri. Dapat dikatakan bahwa partisipasi dari pekerja/buruh dalam perumusan kebijakan memberi legitimasi kepada keputusan yang akan diambil

16 Indonesia, Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Dewan Pengupahan, Keppres Nomor 107 Tahun 2004, Ps. 6, Ps. 23, dan Ps. 40.

17 Surya Tjandra, “Labour Law and Development in Indonesia,” (Disertasi Doktor Leiden University, Leiden, 2016). Hlm. 171.

18 Penny Naluria Utami, “Penetapan Upah Minimum dalam Meningkatkan Kesejahteraan bagi Pekerja”, Sosio Informa Vol. 5, No. 02 (Mei - Agustus 2019), hlm. 170.

(9)

dari proses perumusan tersebut.19 Mekanisme penentuan upah minimum yang partisipatif sebenarnya sudah dicakup dalam Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional atau International Labour Organization (ILO) tentang Penetapan Upah Minimum tahun 1970 dengan adanya prinsip konsultasi penuh dan partisipasi, atas dasar kesetaraan, dari mitra sosial dalam pembentukan dan pengoperasian sistem upah minimum.20 Sayangnya, sampai hari ini konvensi tersebut belum kunjung diratifikasi Indonesia.

Dalam Pasal 7 ICESCR, diketahui bahwa negara yang menjadi pihak dalam kovenan ini harus menjamin pengupahan yang adil.21 Indonesia sebagai negara yang sudah meratifikasi kovenan ini, memiliki kewajiban untuk mewujudkan hak atas upah yang adil bagi warga negaranya. Pelemahan peran buruh dalam penentuan kebijakan pengupahan minimum tentu dapat dilihat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan semangat untuk mewujudkan upah yang adil. Berdasarkan hal tersebut, pengaturan UU Cipta Kerja terkait Dewan Pengupahan dapat dinilai sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kovenan ini.

4. Akibat Penghapusan Ketentuan mengenai Penangguhan Pembayaran Upah Minimum terhadap Perlindungan Pekerja/Buruh saat Perusahaan mengalami Masa Sulit.

Pada UU Ketenagakerjaan, terdapat ketentuan mengenai penangguhan pelaksanaan upah minimum di Pasal 90 ayat (2) dan (3) yang berbunyi:22

“(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.

(3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.”

19 Gerald Starr, Minimum Wage Fixing : An International Review of Practices and Problems (Geneva: International Labour Office, 1981), hlm. 73.

20 International Labour Organization, “Minimum Wage Systems” (Geneva: International Labour Office, 2014), hlm. 101.

21 Perserikatan Bangsa-Bangsa, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, UNTS 993 (1966), hlm. 3, Ps. 7.

22 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, Ps. 90 ayat (2) dan (3)

(10)

Dalam penjelasan pasal tersebut, dijelaskan bahwa penangguhan pelaksanaan upah minimum dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan dari kewajiban membayar upah minimum dalam kurun waktu tertentu dan apabila kurun waktu tersebut sudah habis maka perusahaan harus membayar upah minimum yang berlaku pada saat itu tanpa harus memenuhi ketentuan upah minimum yang berlaku pada masa penangguhan.23 Lalu terhadap Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dilakukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi yang telah diputuskan dengan Putusan Nomor 72/PUU-XIII/2015 terkait tidak adanya kewajiban pemenuhan upah minimum pada masa penangguhan.

Penjelasan pasal tersebut dinilai bertolak belakang dengan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945 yang menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja/buruh karena mereka tetap harus mendapatkan upah yang layak walaupun pengusaha tengah mengalami masa sulit. Dalam amar putusan, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan bahwa penjelasan Pasal 90 ayat (2) tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sehingga perusahaan tetap harus membayarkan selisih upah minimum.24

Upah minimum mempunyai fungsi sebagai safety net atau jaring pengaman yang menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja/buruh. Walaupun sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, pada kenyataannya ada saat di mana pengusaha tidak dapat memenuhi ketentuan upah minimum itu untuk pekerjanya, terutama banyak dialami oleh pengusaha dengan modal kecil yang masih membutuhkan bantuan untuk mendukung keberlangsungan usahanya.25 Saat pengusaha mengalami masa di mana mereka tidak dapat memenuhi upah minimum bagi pekerjanya/buruhnya, maka ketentuan mengenai penangguhan upah minimum ini memberikan kepastian hukum bagi pekerja/buruh mengenai keberlangsungan hubungan kerjanya. Adanya ketentuan penangguhan dengan kewajiban membayar selisih upah minimum tersebut menjadi suatu bentuk perlindungan bagi pekerja/buruh agar tetap dapat bekerja pada perusahaan yang tengah mengalami masa sulit tanpa menghilangkan hak atas upah yang layak.

23Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, Penjelasan Pasal 90 ayat (2).

24 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 72/PUU-XII/2015, hlm. 40.

25 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 61/PUU-VII/2010, hlm. 73.

(11)

Selain itu, ketidakmampuan perusahaan untuk membayar upah minimum akibat terbatasnya modal yang tidak mendapat kesempatan untuk menangguhkan pembayaran upah dapat mengakibatkan matinya usaha mereka yang akan berdampak negatif pula kepada pekerja/buruh di bawah perusahaan tersebut dengan hilangnya lapangan kerja, sebagaimana telah dijabarkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 61/PUU-VII/2010 yang juga menguji Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.26

Dalam UU Cipta Kerja, Pasal 90 dihapus dengan ketentuan ayat (1) dipindahkan ke Pasal 88E ayat (3), sementara ketentuan mengenai penangguhan pelaksanaan upah minimum tidak ditemui sama sekali. Penghapusan ketentuan penangguhan pelaksanaan upah minimum menyebabkan tidak adanya kepastian hukum yang menjadi perlindungan bagi pekerja/buruh saat pemberi kerjanya mengalami masa sulit. Penyusunan UU Cipta Kerja menyampingkan pendapat Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa penangguhan upah ini penting bagi pekerja/buruh demi melindungi hak mereka atas kehidupan yang layak sebagaimana telah dijamin oleh UUD NRI 1945. Absennya ketentuan mengenai penangguhan ini pun dapat membuka celah bagi perusahaan untuk mengesampingkan hak pekerja/buruh dengan berlindung di balik kesulitan mereka.

VI. Kesimpulan

Dari tulisan di atas, dapat dilihat bahwa perubahan terhadap ketentuan pengupahan pada UU Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja berdampak kepada pemenuhan jaminan atas hak atas upah yang layak bagi pekerja/buruh. Maka, Penulis menyimpulkan dampak dari disahkannya UU Cipta Kerja terhadap hak atas upah yang layak bagi pekerja/buruh antara lain:

1. Sebelum diberlakukannya UU Cipta Kerja, ketentuan mengenai upah minimum diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Upah minimum terbagi menjadi upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan upah minimum berdasarkan sektor. Adanya penentuan upah minimum di Indonesia sejalan dengan jaminan pemenuhan hak atas upah yang layak sebagaimana tertera pada Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945 dan Pasal 7 ICESCR. Dari hal tersebut dapat

26 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 61/PUU-VII/2010, hlm. 73.

(12)

dimaknai bahwa penentuan upah minimum dalam UU Ketenagakerjaan merupakan wujud dari jaminan terhadap hak pekerja/buruh berupa hak atas upah yang layak.

2. UU Cipta Kerja yang disahkan ada 5 Oktober 2020 menghapuskan ketentuan Upah Minimum Sektoral. Tujuan adanya Upah Minimum Sektoral untuk memberikan perlindungan pekerja/buruh lebih jauh sesuai dengan kebutuhan pekerja/buruh tidak lagi dipenuhi dengan dihapuskannya ketentuan pada Pasal 89 UU Ketenagakerjaan. Hal ini bertolak belakang dengan jaminan hak pekerja/buruh atas upah yang layak, dan dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap hak pekerja/buruh terkait dengan upah. Dengan adanya Upah Minimum Sektoral, upah bagi pekerja/buruh disesuaikan kembali dengan kebutuhan pekerja/buruh sesuai dengan sektor pekerjaannya sehingga jaminan atas upah yang layak terpenuhi.

3. Dalam UU Cipta Kerja, ketentuan bahwa Dewan Pengupahan terdapat di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dihapuskan. Dewan Pengupahan merupakan lembaga tripartit yang melibatkan unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/buruh. Dewan Pengupahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota merupakan sarana yang menguatkan posisi serikat pekerja/buruh terhadap pengusaha dan pemerintah. Jika Dewan Pengupahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota ditiadakan, maka dapat disimpulkan bahwa posisi tawar pekerja/buruh akan melemah. Hal ini bertentangan dengan hak atas upah yang layak dan adil bagi pekerja/buruh, karena hilangnya unsur partisipatif dari pihak pekerja/buruh sebagai pihak yang terdampak oleh penetapan upah minimum tersebut. Dengan terlibatnya unsur serikat pekerja/buruh dalam penetapan upah minimum, maka keputusan yang diambil akan memenuhi hak atas upah yang adil dan layak bagi pekerja/buruh itu sendiri.

4. Ketentuan mengenai penangguhan pelaksanaan upah minimum yang sebelumnya diatur dalam Pasal 89 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dihapus dalam UU Cipta Kerja. Ketentuan penangguhan tersebut dimaksudkan sebagai perlindungan atas hak pekerja/buruh untuk tetap mendapatkan upah yang layak dan juga kepastian hukum mengenai hubungan kerja saat perusahaan mengalami masa sulit. Akibat dari tidak adanya ketentuan ini pada UU Cipta Kerja adalah ikut hilangnya jaminan bagi hak atas upah yang layak bagi pekerja/buruh dan potensi hilangnya

(13)

lapangan pekerjaan bagi mereka saat perusahaan tidak mampu untuk memenuhi ketentuan upah minimum untuk beberapa waktu.

VII. Daftar Pustaka Buku

Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan. Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Rawls, John. A Theory of Justice. London: Oxford University, 1973.

Starr, Gerald. Minimum Wage Fixing : An International Review of Practices and Problems. Geneva: International Labour Office, 1981.

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Indonesia. Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan. UU No. 13 Tahun 2003, LN.

No.39/2003, TLN. 4279.

Indonesia, Menteri Ketenagakerjaan. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Upah Minimum. Nomor PM 15 Tahun 2018.

Indonesia. Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Dewan Pengupahan.

Keppres Nomor 107 Tahun 2004.

Dokumen Internasional

International Labour Organization. Minimum Wage System. (Geneva: International Labour Office, 2014).

Perserikatan Bangsa-Bangsa. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. UNTS 993 (1966).

Artikel

Utami, Penny Naluria. “Penetapan Upah Minimum dalam Meningkatkan Kesejahteraan bagi Pekerja.” Sosio Informa Vol. 5, No. 02 (Mei - Agustus 2019). Hlm. 170.

Disertasi

Tjandra, Surya. “Labour Law and Development in Indonesia.” Disertasi Doktor Leiden University. Leiden, 2016.

Putusan

(14)

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan No. 72/PUU-XII/2015.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan No. 61/PUU-VII/2010.

Internet

Erdianto, Kristian. “Omnibus Law RUU Cipta Kerja, antara Kepentingan Investor

dan Perbudakan Modern.”

https://nasional.kompas.com/read/2020/03/06/07360811/omnibus-law-ruu- cipta-kerja-antara-kepentingan-investor-dan-perbudakan?page=all. Diakses 22 Oktober 2020.

Fauzan, Ahmad. “Omnibus Law Cipta Kerja Merugikan Buruh Memanjakan Oligarki.” https://tirto.id/omnibus-law-cipta-kerja-merugikan-buruh- memanjakan-oligarki-f6aF.Ddiakses 22 Oktober 2020.

International Labour Organization. “Recommendation R135, Wage Fixing Recommendation,

1970.”https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:12100:0::

NO::P12100_INSTRUMENT_ID:312473. Diakses 18 Oktober 2020.

International Labour Organization. “Setting and adjusting minimum wage levels.”

https://www.ilo.org/global/topics/wages/minimum-wages/setting- adjusting/lang--en/index.htm. Diakses 18 Oktober 2020.

Mashabi, Sania. “LIPI: RUU Cipta Kerja Lemahkan Posisi Buruh dalam Dewan Pengupahan.” https://nasional.kompas.com/read/2020/02/27/16012201/lipi- ruu-cipta-kerja-lemahkan-posisi-buruh-dalam-dewan-pengupahan?page=all.

Diakses 20 Oktober 2020.

Thea, Adhy. “Catahu YLBHI 2018: Penyebab Pengaduan Terbanyak Kasus Perburuhan”,

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c34e8ef34c58/catahu-ylbhi- 2018--penyebab-pengaduan-terbanyak-kasus-perburuhan. Diakses 18 Oktober 2020.

Thomas, Vincent Fabian. “Skandal DPR dan Pemerintahan Jokowi Mengesahkan RUU Cipta Kerja.”https://tirto.id/skandal-dpr-dan-pemerintah-jokowi- mengesahkan-ruu-cipta-kerja-f5UX. Diakses 22 Oktober 2020.

Referensi

Dokumen terkait

yang dihadapi dalam pelaksanaan program tersebut diantaranya: (1) kesiapan instansi di tingkat kabupaten dan provinsi – kesiapan lahan, kesiapan bibit yang penyalurannya sangat

Alokasi penggunaan dana yang diperoleh dari Penawaran Umum untuk modal kerja akan digunakan untuk mendanai kegiatan operasional Perseroan, yang seluruhnya

Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa upah dapat diartikan sebagai pembayaran atau imbalan, yang wujudnya dapat bermacam macam seperti upah harian, upah borongan, upah

• Pasal 88A dan Pasal 88E RUU Cipta Kerja tetap mewajibkan Pengusaha untuk membayar pekerja sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan, dan kesepakatan

Sebuah bangun ruang, dalam konteks geometri ruang, adalah himpunan semua titik, garis, dan bidang dalam ruang berdimensi tiga yang terletak dalam bagian tertutup beserta

Berdasarkan pengujian hipotesis, pada uji t keputusan yang didapatkan adalah Ho ditolak atau dengan kata lain sistem remunerasi berpengaruh secara signifikan

Kurva kerapuhan seismik struktur Gedung V Fakultas Teknik UNS menunjukkan nilai probabilitas kegagalan struktur yang bervariasi pada berbagai spectra displacement