6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan tentang Jantung
2.1.1 Definisi Jantung
Sistem kardiovaskular memiliki tiga komponen utama yaitu jantung, pembuluh darah serta darah (Virtual Medical Centre, 2013).Jantung merupakan salah satu bagian organ dari suatu sistem kardiovaskular dalam tubuh manusia yang berperan dalam mekanisme keseimbangan atau homeostasis (Aranson & Ward, 2010).Pembuluh darah adalah rute pengiriman dan darah dianggap sebagai cairan yang mengandung oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan tubuh (Virtual Medical Centre, 2013).
2.1.2 Anatomi Jantung
Jantung merupakan sebuah organ muscular yang bekerja untuk mensuplai oksigen dan nutrisi ke jaringan serta organ lainnya. Jika salah satu sistem kardiovaskular terganggu maka akan terjadi penyakit kardiovaskular (Aaronson and Ward, 2010). Terdapat tiga lapisan pada jantung diantaranya lapisan terluar (epikardium), lapisan tengah merupakan lapisan otot yang disebut miokardium, sedangkan lapisan terdalam adalah lapisan endotel yang disebut endokardium (Sylvia
& Price, 2008).
Secara fungsional jantung dibagi menjadi dua sisi yaitu pompa sisi kanan dan sisi kiri, yang memompa darah pada vena ke sirukulasi paru dan darah bersih ke peredaran darah sistemik. Pada organ jantung terdiri dari empat ruangan, dua ruang berdinding tipis disebut atrium atau serambi dan dua berdinding tebal yaitu ventrikel atau bilik. Atrium kanan ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan darah serta penyalur darah dari vena-vena sirkulasi sistemik yang mengalir ke ventrikel kanan melalui katup yang kemudian akan dibawa ke paru-paru. Atrium kiri memiliki fungsi menerima darah yang teroksigenasi dari paru-paru melalui vena pulmonaris,kemudian akan mengalir dari atrium kiri menuju ventrikel kiri melalui katup dan selanjutnya dialirkan ke seluruh tubuh melalui aorta. Pada atrium kanan dan atrium kiri terdapat
skat yang disebut septum atrium.Pada jantung terdapat dua ventrikel yaitu ventrikel kanan dan ventrikel kiri. Ventrikel kanan harus menghasilkan kekuatan yang cukup besar untuk menerima darah dari atrium kanan yang kemudian akan dipompa ke paru melalui pulmonalis. Sedangkan ventrikel kiri berfungsi menerima darah dari atrium kiri kemudian di pompakan kembali ke seluruh tubuh melalui aorta.Pada kedua ventrikel ini terdapat skat yang disebut septum interventrikulasi (Sylvia & Price, 2008).
Jantung memiliki dua jenis katup yaitu katup atrioventrikularis dan katup semilunaris.Katup atriovertikularis terletak antara atrium dan ventrikel, sedangkan katup semilunaris memisahkan antara arteri pulmonalis dengan aorta dari ventrikel.Katup-katup tersebut membuka dan menutup secara pasif dan ritmik (Sylvia
& Price, 2008). Pada jantung manusia normal memiliki dua arteri koroner mayor yang keluar dari aorta yaitu right coronary artery dan left main coronary artery (Kasma, 2011). Pada gambar 2.1 merupakan anatomi jantung pada manusia (Nuryati, 2010).
Gambar 2.1. Anatomi Jantung (Nuryati, 2010)
2.2 Tinjauan Infark Miokard Akut (IMA)
2.2.1 Definisi Infark Miokard Akut (IMA)
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab tertinggi pada kematian di Negara maju.Pada sindrom koroner akut (SKA) salah satu bagiannya adalah infark miokard akut yaitu terjadinya nekrosis pada otot jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.Keluhan utama pasien IMA adalah nyeri dada (ESC, 2015).Infark Miokard Akut (IMA) ini terjadi karena adanya gangguan aliran darah ke jantung yang dapat menyebabkan hipoksia pada sel otot jantung. Pembuluh darah koronaria mengalami penyumbatan menyebabkan aliran darah menuju ke otot jantung akan terhenti sehingga tidak dapat mempertahankan fungsinya karena daerah tersebut mendapatkan aliran darah sangat sedikit bahkan tidak ada, kejadian ini dapat dikatakan sebagai infark.Seperti pada gambar 2.2 telah dijelaskan perbedaan pembuluh darah normal dan yang mengalami penyumbatan (Boyle & Jaffe, 2009).
Gambar 2.2 Pembuluh Darah Normal dan Mengalami Penyempitan (Boyle & Jaffe, 2009)
2.2.2 Epidemiologi Infark Miokard Akut
Penyakit jantung koroner saat ini merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia. Pada tahun 2012, sekitar 17,5 juta orang di dunia meninggal dunia karena penyakit kardiovaskular, di mana 42% kematian dikarenakan penyakit jantung koroner (WHO, 2013). Sedangkan pada tahun 2012 Sebanyak 715.000 orang di Amerika Serikat diperkirakan menderita infark miokard(Li Yulong et al., 2014).Menurut Departemen Kesehatan tahun 2013, di Indonesia sebanyak 478.000 pasien terdiagnosis penyakit jantung koroner.Prevalensi infark miokard akut dengan ST-elevasi (STEMI) mengalami peningkatan dari 25% hingga 40% (Depkes, 2013).
Di Negara maju Infark Miokard Akut (IMA) paling sering terjadi pada pasien rawat inap. Laju mortalitas awal yaitu 30 hari pada penderita IMA mencapai 30% dan lebih dari setengahnya bahkan terjadikematian sebelum tiba dirumah sakit (Alwi, 2009). IMA dengan ST-elevasi (STEMI) dapat dikatakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas diseluruh dunia, namun setelah adanya pelayanan CCU (Coronary Care Unit) dapat menurunkan angka kematian hingga 20% (Stiermaier et, al, 2013).
2.2.3 Patofisiologi Infark Miokard Akut
Patofisiologi dari infark miokard akut diawali peningkatanRenin Angiotensin AldosteronSystem(RAAS) yang memiliki peran dalam homeostasis sistem kardiovaskular, tekanan darah, keseimbangan cairan dan elektrolit. Aktivitas tersebut secara terus menerus akan membentuk angiotensin II. Angiotensin IIakan meningkat dan dapat menyebabkan vasokontriksi, retensi cairan dan aktivitas simpatik serta berkonstribusi pada terjadinya hipertrofi dan remodeling. Selanjutnya akan terbentuk proses aterosklerosis atau pengerasan arteriyang menunjukkan kondisi pada arteri besar dan kecil yang ditandai penimbunan endapan lemak, trombosit, neutrofil, monosit dan makrofag di seluruh lapisan sel endotel, dan akhirnya ke lapisan otot polos. Arteri yang paling sering terkena adalah arteri koroner, aorta dan arteri-arteri sereberal.
Langkah pertama dalam pembentukan aterosklerosis dimulai dengan disfungsi lapisan endotel lumen arteri, kondisi ini dapat terjadi setelah cedera pada sel endotel
atau dari stimulus lain, cedera pada sel endotel dapat meningkatkan permeabelitas terhadap berbagai komponen plasma, termasuk asam lemak serta triglesirida, sehingga zat ini dapat masuk kedalam arteri, oksidasi asam lemak menghasilkan oksigen radikal bebas yang selanjutnya dapat merusak pembuluh darah. Cedera pada sel endotel dapat menimbulkan reaksi inflamasi dan imun, termasuk menarik sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit, serta trombosit ke area cedera. Pada saat ditarik ke area cedera, sel darah putih akan menempel di lapisan endotelial, monosit dan neutrofil mulai berimigrasi di antara sel-sel endotel keruang interstisial. Di ruang interstisial, monosit yang matang akan menjadi makrofag, dan bersama neutrofil tetap melepaskan sitokin yang meneruskan siklus inflamasi.Selain itu pada kolesterol dan lemak plasma mendapat akses ke lapisan sel otot polos karena permeabilitas lapisan endotel meningkat, pada tahap indikasi dini kerusakan teradapat lapisan lemak diarteri.Apabila cedera dan inflamasi terus berlanjut, agregasi trombosit meningkat dan mulai terbentuk bekuan darah (tombus), sebagian dinding pembuluh diganti dengan jaringan parut sehingga mengubah struktur dinding pembuluh darah, hasil akhirnya adalah penimbunan kolesterol dan lemak, pembentukan deposit jaringan parut, pembentukan bekuan yang berasal dari trombosit dan proliferasi sel otot polos sehingga pembuluh mengalami kekakuan dan penyempitan.Apabila kekakuan ini dialami oleh arteri-arteri koroner akibat aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan oksigen, dan kemudian terjadi iskemia (kekurangan suplai darah) miokardium dan sel-sel miokardium. Suplai oksigen yang kurang pada jantung dengan cepat juga menyebabkan terjadinya perubahan metabolism aerob menjadi anaerob. Proses pembentukan energi ini sangat tidak efisien, menyebabkan peningkatan asam laktat dan menurunkan pH miokardium sehingga merangsang reseptor nyeriyang berkaitan dengan angina pektoris. Ketika kekurangan oksigen pada jantung dan sel-sel otot jantung berkepanjangan serta iskemia miokard yang tidak teratasi maka terjadilah kematian otot jantung yang di kenal sebagai infark miokard (Corwin, 2009). Seperti yang dijelaskan pada gambar 2.3 berikut ini :
Gambar 2.3 Patofisiologi Infark Miokard Akut (Crowin, 2009) 2.2.4 Etiologi Infark Miokard Akut
Sindrom koroner akut (SKA) meliputi angina pectoris tak stabil, IMA tanpa ST elevasi (NSTEMI) dan IMA dengan ST elevasi (STEMI).Asupan lemak yang berlebih dapat menyebabkan kadar lipid dalam darah tidak dalam batas normal atau disebut dengan dislipidemia. Dengan adanya peningkatan kadar lipid dalam darah
Faktor yang dapat diubah :
Dislipidemia
Hipertensi
DM
Obesitas
Meroko
Aktivitas fisik Ateroskerosis
Faktor yang tidak dapat diubah :
Umur
Jenis kelamin
Riwayat keluarga
Penyempitan Pembuluh darah
Aliran darah ↓
Suplai oksigen ↓
Iskemik Miokard
Metabolisme Anaerob
Infark Miokard Akut - Asam laktat ↑
- pH Miokardium ↓
Reseptor Nyeri
Angina Pektoris
Ketidak seimbangan kebutuhan oksigen
STEMI NSTEMI Renin Angiotensin
Aldosteron system (RAAS) ↑
Angiotensin II ↑
maka akan memicu terbentuknya plak aterosklerosis (Strom & Libby, 2011). Proses pembentukan plak aterosklerosis mengakibatkan gangguan pengangkutan oksigen dan hasil metabolisme ke otot jantung sehingga menimbulkan iskemia miokard.
Penyebab yang paling mendasari dari IMA adalah penyakit arteri koroner aterosklerosis yang menyebabkan obstruksi progresif di arteri. Adapun faktor pemicu perkembangan penyakit koroner adalah riwayat keluarga, kurangnya olahraga atau aktvitas fisik, peningkatan LDL, penurunan HDL, merokok, hipertensi dan diabetes militus (Sudoyo dkk, 2009).
2.2.5 Klasifikasi Infark Miokard Akut
Infark Miokard Akut adalah manifestasi klinis yang terjadi akibat oklusi dari arteri koroner, yang menimbulkan terjadinya nekrosis dari sel miosit jantung pada area yang disuplai oleh arteri tersebut.Infark miokard akut dapat menimbulkan sekuele yang bervariasi, tergantung dari luasnya arteri koroner yang terkena.Dimulai dari nekrosis pada area yang kecil hingga area yang luas, yang dapat menimbulkan syok kardiogenik hingga kematian (Boyle & Jaffe, 2009). Infrak miokard dibagi menjadi dua yaitu seperti pada gambar 2.4 :
Gambar 2.4 Perbedaan STEMI dan NSTEMI
Non ST Elevasi Miokardial Infark (NSTEMI)
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak,erosi dan ruptur plak atreoma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.Non STEMI memiliki gambaran klinis dan patofisilogi yang mirip dengan angina tidak stabil, sehingga penatalaksanaan keduanya tidak berbeda.Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.Selain itu dapat juga dilihat dari hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna(PERKI, 2015).
ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI)
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskular, di mana injuri ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid (Sudoyo, 2009).Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung (PERKI, 2015).Pada gambar 2.5 merupakan perbedaan gambaran EKG pada STEMI dan NSTEMI :
Gambar 2 5 perbedaan EKG pada STEMI dan NSTEMI
Infark Miokard Akut juga diklasifikasikan sesuai dengan kondisi klinis. ECS 2012 mengklasifikasikan IMA sebagai berikut :
1. IMA Tipe 1 : Infark Miokard sepontan terjadi karena rupture plak, fisura atau diseksi plak aterosklerosis. Selain itu peningkatan kebutuhan dan ketersediaan oksigen yang inadekuat memicu munculnya infark miokard.
2. IMA Tipe 2 : Infark Miokard tipe 2 ini adanya ketidakseimbangan iskemik.
3. IMA Tipe 3 : Infark Miokard yang dapat menyebabkan kematian sebelum kadar biomarker diketahui.
4. IMATipe 4a :Infark Miokard ini yang berhubungan dengan tindakan intervensi koroner perkutan (IKP).
IMA Tipe 4b : pada Infark Miokard 4b berhubungan dengan trombosis stent.
5. IMA Tipe 5 : Infark Miokard ini yang berkaitan dengan operasi pintas koroner atau coronary artery bypass grafting (CABG).
2.2.6 Tanda dan Gejala Infark Miokard Akut
Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan hingga ke leher, rahang, epigastrium, bahu, lengan kiri, atau hanya sebatas rasa tidak enak di dada.Sekitar 50% pasien Infark Miokard Akut (IMA) didapati sering berawal dari serangan angina pektoris.Namun, nyeri pada IMA biasanya berlangsung beberapa jam hingga hari, pasien juga sering mengalami keringat berlebihan (diaphoresis).
Pada sebagian kecil pasien (20% sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada.Silent AMI terjadi terutama pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia lanjut (Robin, 2007 & Sudoyo, 2009).
2.2.7 Faktor Risiko Infark Miokard Akut
Faktor risiko penderita IMA ditentukan melalui interaksi dua bahkan lebih faktor risiko yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable factors) dan faktor yang dapat dimodifikasi (modifiable factors), Faktor yang dapat dimodifikasi meliputimerokok, aktivitas fisik, dislipidemia, obesitas, hipertensi dan DM.
Sedangkan faktor yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis kelamin dan riwayat keluarga (Bender dkk, 2011).
2.2.7.1 Faktor yang tidak dapat dimodifikasi 2.2.7.1.1 Umur
Semakin bertambah usia, semakin besar kemungkinan terkena serangan jantung.
Pada pria dapat dikatakan lebih besar dibandingkan wanita untuk jumlah yang terkena IMA. Setelah umur 40 tahun risiko terkena IMA lebih besar karena faktor usia memang tidak dapat diubah lagi. Data statistik ini mnjelaskan bahwa bertambahnya usia merupakan faktor risiko yang membuat orang-orang merasa agak tidak berdaya dalam memerangi penyakit jantung koroner termasuk infark miokard akut (Wahyuningsih, 2011).
2.2.7.1.2 Jenis kelamin
Dari sisi jenis kelamin, pria lebih berpotensi terkena IMA dibanding perempuan.
Setelah menopause perempuan memiliki peningkatan resiko yang sama dengan
pria hal ini dapat disebabkan karena adanya efek perlindungan estrogendan kematian 2-3 kali lebih besar setelah menepouse daripada wanita sebelum menopause (Tomaszewski, 2008).
2.2.7.1.3 Riwayat Keluarga
Faktor riwayat keluarga dan genetika mempunyai peranan penting dalam patogenesis PJK.terdapat 35,7% penderita PJK mempunyai riwayat keluarga menderita penyakit jantung serta hipertensi dan resiko terkena PJK. Pada orang yang mempunyai riwayat keluarga atau genetika 3,8 kali lebih berisiko dibanding yang tidak mempunyai riwayat keluarga (Fazida, 2009).
2.2.7.2 Faktor yang dapat dimodifikasi 2.2.7.2.1 Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama untuk terjadinya PJK.
Perubahan akibat hipertensi khususnya pada jantung disebabkan karena :
Meningkatnya tekanan darah
Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri (faktor miokard), keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi.
Mempercepat timbulnya aterosklerosis
Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koroner, sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini menyebabkan angina pektoris, insufisiensi koroner, dan infark miokard lebih sering didapatkan oleh penderita hipertensi dibandingkan orang normal.Kejadiannya PJK pada hipertensi sering ditemukan dan secara langsung berhubungan dengan tingginya tekanan darah sistolik.Penelitian Framinghan yang dilakukan selama 18 tahun terhadap penderita berusia 45-75 tahun mendapatkan hipertensi sistolik merupakan faktor pencetus terjadinya angina pektoris dan infark miokard(Anwar, 2004).
Klasifikasi hipertensi pada orang dewasa menurut The Sevent report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) (Yogiantoro, 2006)
Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC Klasifikasi Tekanan
Darah
TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Normal <120 <80
Prahipertensi 120-139 80 – 90
Hipertensi derajat 1 140-159 90-99
Hipertensi derajat 2 ≥160 ≥100
2.2.7.2.2Dislipidemia
Dislipidemia merupakan salah satu masalah yang harus diperhatikan karena termasuk faktor risiko utama terjadinya PJK.Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai oleh peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi utama dari lipid adalah kenaikan kadar kolesterol total, Low Density lipoprotein (LDL) dan trigliserida serta penurunan High Density lipoprotein (HDL). Low Density Lipoprotein (LDL) dan Trigliserida merupakan kolesterol yang bersifat merugikan karena jika kadarnya meninggi, maka akan menebalkan dinding pembuluh darah dan menjadi petunjuk yang lebih tepat untuk menentukan risiko terjadinya PJK.High Density Lipoprotein (HDL) merupakan kolesterol yang menguntungkan.HDL mencegah penebalan dinding pembuluh darah atau mencegah terjadinya aterosklerosis dengan mengangkut kolesterol dari pembuluh darah kembali ke hati untuk dibuang.
Hubungan antara kadar kolesterol dengan adanya risiko PJK dapat diketahui dengan menggunakan parameter-parameter seperti tabel di bawah ini:
Tabel 2.2. Kadar lipid dalam darah yang merugikan (Anwar, 2004) Faktor Lipid
Darah
Normal Agak Tinggi (Pertengahan)
Tinggi
Kadar Kolesterol Total
< 200 mg/dl 200-239 mg/dl > 240 mg/dl
Kadar LDL < 130 mg/dl 130-159 mg/dl > 160 mg/dl Kadar HDL > 45 mg/dl 35-45 mg/dl < 35 mg/dl Kadar Trigliserida < 200 mg/dl 200-239 mg/dl > 240 mg/dl
2.2.7.2.3 Diabetes mellitus
Individu dengan DM mudah terjadi penyakit yang berhubungan dengan aterosklerosis dan diyakini bahwa lebih dari dua pertiga kematian pasien DM akibat penyakit arterial.Pada satu penelitian Helsinki policeman study, menjelaskan bahwa angka kematian PJK 3x lipat lebih tinggi pada pasien DM daripada individu normal.Mekanisme yang mungkin adalah berhubungan dengan peningkatan perkembangan aterosklerosis dan abnormalitas metabolisme lipid (Ramandika, 2012).
2.2.7.2.4 Merokok
Merokok dapatmenambah beban miokard karena rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya konsumsi oksigen akibat inhalasi karbonmonoksida atau dengan kata lain dapat menyebabkan takikardi, vasokonstriksi pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah, sehingga meningkatkan risiko terkena sindrom koroner akut (Stivano, 2014). Semakin banyak merokok semakin besar risiko terkena serangan jantung. Studi menunjukkan jika berhenti merokok selama setahun makan akan menurunkan setengah dari risiko serangan jantung (Ramandika, 2012).
2.2.7.2.5 Aktivitas fisik
Pada latihan fisik akan terjadi dua perubahan pada sistem kardiovaskuler, yaitu peningkatan curah jantung dan redistribusi aliran darah dari organ yang kurang aktif ke organ yang aktif. Disimpulkan juga bahwa olah raga secara teratur akan menurunkan tekanan darah sistolik, menurunkan kadar kolesterol dan lemak darah, meningkatkan kadar HDL lipoprotein, memperbaiki sirkulasi koroner dan meningkatkan percaya diri (Sumiati, 2010).
2.2.7.2.6 Obesitas
Berat badan lebih dan obesitas mengacu pada berat badan yang berlebihandaripada yang dinilai sehat untuk tinggi yang sesuai. Data dari Framingham menunjukkan bahwa apabila setiap individu mempunyai berat badan optimal, maka akan terjadi penurunan kejadian PJK sebanyak 25%.
Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah, memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan dislipidemia (Malau, 2011).
2.2.8 Manifestasi Klinik Infark Miokard Akut
Manifestasi klinik IMA adalah nyeri dada serupa dengan angina pektoris tetapi lebih parah dan tidak hilang setelah pemberian nitrogliserin, rasa nyeri dada seperti ditekan atau diremas, terasa menusuk atau terbakar bahkan kesulitan untuk bernafas. Rasa tidak nyaman tersebut biasanya akan menjalar ke bagian yang lain seperti leher, rahang, bahu, punggung atau lengan kiri. Kejadian seperti ini akan berlangsung hingga 30 menit kadang disertai dengan lemah, mual dan muntah (ESC, 2012).
2.2.8.1 Aritmia dan Gangguan Konduksi
Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jampertama setelah infark miokard. Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa manifestasi darikondisi berat yang mendasarinya, seperti iskemia miokard, kegagalanpompa, hipoksia, dan gangguan elektrolit(seperti hipokalemia) dan gangguan asam-basa (PERKI, 2015).
2.2.8.2Gagal Jantung
Ventrikel kiri mengalami perubahan dalam bentuk ukuran, dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodelling ventriculardan mengawali perkembangan gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun setelah infark. Diagnosis gagal jantung secara klinis pada fase akut atau sub akut setelah IMA didasari gejala gejala klinis seperti dispnea (sesak), tanda seperti sinus takikardi, suara jantung ketiga, dan bukti bukti objektif disfungsi jantung seperti dilatasi ventrikel kiri dan berkurangnya fraksi ejeksi (PERKI, 2015).
2.2.8.3 Syok Kardiogenik
Penelitian registry SHOCK (Should we emergently revascularize Occluded coronaries for Cardiogenic Shock) menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenikterjadi dalam 6 jam dan 75% syok terjadi dalam 24 jam. Tanda dan gejala klinissyok kardiogenik yang dapat ditemukan beragam dan menentukan berattidaknya syok serta berkaitan dengan luaran jangka pendek.Pasien biasanyadatang dengan hipotensi, bukti output kardiak yang rendah (takikardia saatistirahat, perubahan status mental, oliguria, ekstremitas dingin) dan kongestiparu.Syok kardiogenik biasanya dikaitkan dengan kerusakanventrikel kiri luas, namun juga dapat terjadi pada infark ventrikel kanan (PERKI, 2015).
2.2.9 Diagnosis IMA 2.2.9.1 Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan aktifitas listrik jantung, atau gambaran elektrokardiogram (EKG) adalah pemeriksaan penunjang untukmembedakan STEMI dan SKA lainnya.Selama fase awal infark miokard akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG tersebut akan berkembang menjadi gelombang Q dan sebagian kecil berkembang menjadi gelombang non-Q. Ketika trombus tidak mengakibatkan oklusi total, maka tidak terjadi elevasi segmen ST. Jika gambaran EKG tanpa elevasi segmen ST dapat dikatakan ke dalam unstable angina atau Non STEMI (Kumar, 2009).
2.2.9.2 Penanda biokimia jantung
Troponin
Troponin adalah suatu protein regulator yang terdiri dari 3 subunit, yaitu Troponin T, Troponin I, dan Troponin C .Tiap-tiap komponen troponin memainkan fungsi yang khusus. Troponin C mengikat Ca²+ , Troponin I menghambat aktivitas ATPase aktomiosin dan Troponin T mengatur ikatan troponin pada tropomiosin (Samsu dan Sargowo, 2007).
Enzim CK-MB
Enzim CK-MB adalah senzim yang dilepaskan saat terjadi cidera otot. Cidera otot menyebabkan terjadinya peningkatan kreatinin kinase..Kenaikan aktivitas CKMB dapat mencerminkan kerusakan miokardium.Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB dapat digunakan(Prasetyo, dkk, 2014).
Gambar 2.6. Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung(PERKI, 2015) 2.2.9.3 Corangiografi Koroner
Corangiografi koroner saat ini merupakan satu-satunya metode yang menggambarkan anatomi koroner untuk menentukan prognosis dan tindakan ini harus dilakukan sebelum dilakukan pemasangan stent.Pada pemeriksaan ini dapat
menentukan derajat keparahan stenosis pembuluh darah koroner (Rosmiatin, 2012).
2.2.10 Penatalaksanaan Infark Miokard Akut 2.2.10.1 Terapi Farmakologi IMA
Penatalaksanaan pada pasien IMA adalah berdasarkan gejala klinis yang terdapat pada pasien dan dari hasil pemeriksaan diagnostik. Pada sebagian orang, perubahan gaya hidup dapat mengontrol penyakit. Tetapi pada kasus yang lebih parah, terapi invasif atau pembedahan mungkin diperlukan.Namun, pada semua kasus IMA memerlukan manajemen pengobatan seumur hidup (Nor, 2010).
Adapun terapi yang dilakukan mencakup terapi farmakologi Infark Miokard Akut dengan ST elevasi (STEMI) dan tanpa ST elevasi (NSTEMI)juga terapi non farmakologi menurut Guidline AHA. Pada terapi farmakologi, fokus utama terapi IMA adalah mencegah proses terbentuknya aterosklerosis yang terus berkelanjutan dan mengurangi gejala yang muncul (Talbert, 2008).
2.2.10.1.1 Terapi NSTEMI 2.2.10.1.1.1 Oksigen
IMA merupakan kematian sel-sel otot jantung karena iskemia yang berlangsung lama akibat adanya oklusi di arteri koroner, sehingga suplai oksigen ke miokard berkurang (Thygesen, 2012; Verdy, 2012).Terapi oksigen diberikan pada pasien IMA untuk mencegah perluasan infark miokard.Terapi oksigen bertujuan untuk mempertahankan oksigenasi jaringan tetap adekuat dan dapat menurunkan kerja miokard akibat kekurangan suplai oksigen (Widiyanto & Yamin, 2014).
2.2.10.1.1.2 Nitrat
Nitrat memiliki efek sebagai venodilator yang akan mengurangi preload jantung dan volume diastolik akhir ventrikel kiri sehingga akan mengurangi konsumsi oksigen. Pada pasien dengan NSTEMI yang dirawat di rumah sakit, pemberian nitrat dengan intravena lebih efektif dibandingkan nitrat dengan sublingual (Hamm et al, 2011).
Tabel 2.3Obat, Rute, Dosis penggunaan, dan Mula Kerja Obat Preparat Nitrat (Abrams, et al., 2011; PERKI, 2015)
Dosis yang di rekomendasikan
Obat Rute Dosis Penggunaan Onset
Nitrogliserin, gliseril trinitrat
Sublingual 0,3-0,6 2-5
Oral 1-3 mg (2-3 kali sehari) 2-5 Salep 0,5-2,0 mg (3 kali sehari) 15-60
Patch 0,4-0,8 mg/jam 30-60
IV 5-200 mg/menit 1 menit
Isosorbid dinitrat
Sublingual 2,5-10,0 mg 3-5
Oral 10-60 mg (2-3 kali sehari) 15-45 SR oral 80-120 mg (1 kali sehari) 60-90
IV 1,25-5 mg/jam 1 menit
Isosorbid mononitrat
Oral 20-30 mg (2-3 kali sehari) 30-60 SR Oral 60-120 mg (1 kali sehari) 60-90 2.2.10.1.1.3Morfin
Morfin digunakan untuk mengatasi nyeri (1 mg sampai 5 mg IV) dapat diberikan selama terapi nitrogliserin intravena dengan pemantauan.Dosis morfin dapat diulang setiap 5 sampai 30 menit untuk menghilangkan gejala dan menjaga kenyamanan pasien.
2.2.10.1.1.4 Beta-blocker
Keuntungan utama terapi β-blocker terletak pada efeknya terhadap reseptor beta- 1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium melalui pengurangan kontraktilitas miokard, denyut jantung, konduksi AV dan tekanan darah sistolik.β-blockersecara kompetitif menghambat efek katekolamin pada
reseptor beta.Bila tidak ada kontraindikasi, pemberian penyekat beta harus dimulai segera.Kontraindikasi penggunaan obat ini meliputi asma dan kondisi bronkospatik lainnya, blockade atrioventrikular, bradikardi berat, dan kegagalan ventrikel kiri. Pada pasien NSTEMI beta bloker diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60 kali/menit (Katzung, 2007).
Tabel 2.4Jenis dan Dosis Penyekat Beta(PERKI, 2015)
Penyekat Beta Selektivitas Dosis untuk angina
Atenolol β1 50-200 mg/hari
Bisoprolol β1 10 mg/hari
Carvediol α dan β1 2 x 6,25 mg/hari, titrasi sampai maksimum 2 x 25 mg/hari
Metoprolol β1 50-200 mg/hari
Propanolol Non selektif 2 x 20-80 mg/hari
2.2.10.1.1.5 CCB (Calcium Channel edesBlockers)
Obat antagonis kalsium menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan, sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler kedalam sel. Relaksasi otot polos vaskuler menyebabkan vasodilatasi dan membuka arteri koroner sehingga meningkatkan aliran darah ke otot jantung dan mengurangi kebutuhan oksigen karena efek penurunan tekanan darah, frekuensi denyut jantung, dan kontraksi.
Antagonis kalsium tidak disarankan bila terdapat penurunan fungsi bilik kiri atau gangguan konduksi atrioventrikel. Antagonis Kalsium berguna pada pasien dengan kontraindikasi beta bloker (Hamm et al, 2011; Majid, 2007). Berikut adalah contoh obat golongan penghambat kanal kalsium :
Tabel 2.5Jenis dan Dosis Obat Golongan Penghambat Kanal Kalsium(PERKI, 2015)
Penghambat Kanal Kalsium Dosis Verapamil 180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis Diltiazem 120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis Nifedipin GITS (long acting) 30-90 mg/hari
Amlodipin 5 - 10 g/hari
2.2.10.1.1.6ACE Inhibitor
Penghambat ACE (ACE-I) bekerja dengan cara menghambat enzim ACE secara kompetitif. Secara garis besar obat penghambat ACE mempunyai efek kardioprotektif dan vaskuloprotektif terhadap jantung dan vaskular. Pada jantung ACE-I efeknya dapat menurunkan massa ventrikel kiri, menurunkan stimulasi simpatis, serta menyeimbangkan kebutuhan dan suplai oksigen. Pada vaskular ACE-I dapat berefek antihipertensi,memperbaiki fungsi endotel, antitrombogenik. ACE Inhibitor memiliki efek yang signifikan pada kelangsungan hidup pada 30 hari, dengan manfaat yang terlihat pada 24 jam setelah masuk IMA (AHA, 2013). Golongan obat ACEI diantaranya adalah kaptopril, benazepril, enalapril, fosinopril, lisinopril, moexipril, ramipril, quinapril, trandolapril (Wijayanti, 2015).
Tabel 2.6Jenis dan Dosis ACE Inhibitor
Obat Dosis (mg) Regimen Standart
Kaptopril 25-100 mg
Elanapril 2,5-20 mg
Lisinopril 2,5-10 mg
Ramipril 2,5-10 mg
2.2.10.1.1.7Antidislipidemia
Saat ini ada beberapa golongan obat untuk terapi dislipidemia, namun yang sering digunakan yaitu golongan statin.Terapi dengan statin pada pasien dengan
NSTEMI mengurangi tingkat MI berulang, mortalitas penyakit jantung koroner, kebutuhan akan revaskularisasi miokard, dan stroke. Pasien berisiko tinggi, seperti mereka yang memiliki NSTEMI, mendapatkan lebih banyak manfaat dalam mengurangi kejadian ini dari statin dengan intensitas tinggi, seperti atorvastatin yang menurunkan tingkat kolesterol lipoprotein lowdensity sebesar
≥50% (AHA, 2013).
2.2.10.1.1.8 Antiplatelet
Antiplatelet adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering ditemukan pada sistem arteri.Saat ini, terdapat tiga golongan antiplatelet yang disetujui untuk digunakan dalam pengobatan dan pencegahan pada pasien PJK.Ketiga golongan tersebut adalah obat penghambat siklooksigenase, contohnya aspirin yang merupakan Non-selective COX inhibitor, antagonis adenosis difosfat (ADP) reseptor P2Y12 (contohnya klopidogrel), dan inhibitor reseptor glikoprotein (GP) IIb/IIIa (contohnya abciximab) (Prasanti, 2013).
2.2.10.1.1.8.1 Aspirin
Aspirin pada pasien dengan NSTEMI dapat mengurangi kejadian MI dan kematian berulang.Aspirin diberikan kepada pasien NSTEMI dengan dosis awal 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka panjang (Alwi, 2008).
2.2.10.1.1.8.2 Clopidogrel
Clopidogrel ppsien NSTEMI dengan loading dose 300 mg/hari, dilanjutkan clopidogrel 75 mg/hari (Alwi, 2008). Pemberian clopidogrel dengan aspirin lebih unggul daripada pemberian aspirin saja dalam mengurangi kejadian kematian kardiovaskular dan Infark Miokard pada 11 bulan berikutnya (AHA,2013)
2.2.10.1.1.8.3 Reseptor Glikoprotein (GP) IIb/IIIa
Reseptor glikoprotein (GP) IIb/IIIa adalah reseptor penting pada proses akhir agregasi trombosit, yang akan berikatan dengan fibrinogen plasma. Ikatan ini akan menjadi jembatan antar trombosit yang berdekatan untuk saling berikatan,
dan seterusnya berikatan satu sama lain sedemikian rupa sehingga akhirnya terbentuk sumbatan hemostatik. Trombosis dapat dihambat secara efektif dengan penghambatan reseptor ini (Departemen Kesehatan, 2006).
Tabel 2.7Jenis dan Dosis Antiplatelet (PERKI, 2015)
Antiplatelet Dosis
Aspirin Dosis loading 150-300 mg, dosis pemeliharaan 75-100 mg Ticagrelor Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2x90 mg/hari Clopidogrel Dosis loading 300 mg, dosis pemeliharaan 75 mg/hari
Amlodipin 5-10g/hari
2.2.10.1.1.9 Antikoagulan
Antikoagulan digunakan pada terapi NSTEMI untuk menghambat pembentukan dan atau aktivitas thrombin sehingga dapat mengurangi kejadian-kejadian yang berhubungan dengan pembentukan thrombus.Antikoagulan direkomendasikan untuk semua pasien sebagai tambahan terapi anti platelet (Ham, et.al. 2011).
2.2.10.1.1.9.1 Heparin
Heparin diberikan pada pasien NSTEMI sebagai terapi antikoagulan.Pada pasien NSTEMI, dapat diberikan low molecular weight heparin (LMWH).
LMWH mengaktifkan antitrombin dan menghambat lebih selektif faktor Xa dibandingkan dengan UFH. Dosis yang bisa diberikan 0,6-1,0 U/ml dengan risiko pendarahan yang meningkat pada dosis 1,8-2 U/ml (Sjaharuddin, 2008).
Heparin intravena yang diberikan sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U) dan terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali (Firdaus, 2011).
2.2.10.1.1.9.2 Fondaparinux
Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks,
penambahan bolus UFH 85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang mendapatkan penghambat reseptor GP IIb/IIIa perlu diberikan saat IKP.
2.2.10.1.2 Terapi STEMI 2.2.10.1.2.1 Oksigen
Terapi oksigen diberikan pada pasien IMA untuk mencegah perluasan infark miokard dan diberikan pada 6 jam pertama. Terapi oksigen bertujuan untuk mempertahankan oksigenasi jaringan tetap adekuat dan dapat menurunkan kerja miokard akibat kekurangan suplai oksigen (Widiyanto & Yamin, 2014).
2.2.10.1.2.2 Morfin
Morfin adalah analgetik yang dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg intravena dan dapat diulang dengan kenaikan dosis 2 – 8 mg IV dengan interval waktu 5 sampai 15 menit, morfin merupakan pilihan utama untuk manajemen nyeri yang disebabkan STEMI. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri (Safitri, 2013).
2.2.10.1.2.3 Nitrat
Pada penderita STEMI diruang gawat darurat dapat di berikan nitrogliserin dengan dosis 0,4mg dan dapat di berikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit Intravena nitrogliserin ini diindikasikan untuk bila nyeri iskemikmasih berlangsung (Safitri, 2013).Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipotensi, ditandai dengan bradikardia atau takikardia. Obat-obat yang termasuk golongan vasodilator nitrat adalah nitrogliserin, isosorbid dinitrat (ISDN), isosorbid 5-mononitrat (ISMN) (PERKI,2015)
2.2.10.1.2.4 Antiplatelet 2.2.10.1.2.4.1 Aspirin
Aspirin merupakan golongan anti platelet yang merupakan rekomendasi dari ACC/AHA untuk terapi STEMI.Aspirin harus segera diberikan kepada pasien STEMI setelah sampai di departemen emergensi (Heng Li, Et al, 2012).Aspirin
sekarang merupakan bagian dari manajemen awal untuk seluruh pasien yang dicurigari STEMI dan diberikan dalam 24 jam pertama dengan dosis antara 162 – 325 mg dan dilanjutkan dalam jangka waktu tidak terbatas dengan dosis harian 75 – 162 mg (Antmal, Et al, 2013).
2.2.10.1.2.4.2 Clopidogrel
Clopidogrel direkomendasikan pada seluruh pasien STEMI dengan pemberian secara oral dengan dosis loading awal segera yaitu 300 mg yang dilanjutkan dengan dosis harian sebesar 75 mg. Clopidogrel berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien dengan hipersensitivitas aspirin (Daga, Et al, 2011).
2.2.10.1.2.4.3 Reseptor GP IIb/IIIa
Reseptor glikoprotein (GP) IIb/IIIa adalah reseptor penting pada proses akhir agregasi trombosit, yang akan berikatan dengan fibrinogen plasma. Ikatan ini akan menjadi jembatan antar trombosit yang berdekatan untuk saling berikatan, dan seterusnya berikatan satu sama lain sedemikian rupa sehingga akhirnya terbentuk sumbatan hemostatik. Trombosis dapat dihambat secara efektif dengan penghambatan reseptor ini dan contoh obatnya adalah abciximab (Departemen Kesehatan, 2006).
2.2.10.1.2.5 Antikoagulan
Antikoagulan digunakan pada terapi STEMI untuk menghambat pembentukan dan atau aktivitas thrombin sehingga dapat mengurangi kejadian-kejadian yang berhubungan dengan pembentukan thrombus.Antikoagulan direkomendasikan untuk semua pasien sebagai tambahan terapi anti platelet (Ham, et.al. 2011).
2.2.10.1.2.5.1 Heparin
Heparin intravena yang diberikan sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan Dosis Heparin pada STEMI yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U) dan terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.
Heparin tidak diabsorbsi secara oral, karena itu diberikan secara subkutan atau intravena (Firdaus, 2011).
2.2.10.1.2.5.2 Fondaparinux
Fondaparinuxmerupakansalah satu antikoagulan yang dapat diberikan pada penderita STEMI. Dapat diberikan fondaparinux dosis awal 2,5 mg intravena dilanjutkan dengan subkutan 2,5 mg/hari (Alwi, 2008).
2.2.10.1.2.6 Beta Blocker
Beta-bloker digunakan dalam pengobatan angina, angina tidak stabil dan infark miokard.Penggunaan β-bloker jangka panjang (tanpa aktivitas simpatomimetik intrinsik) dapat menurunkan mortalitas setelah infark miokard.Pada penderita STEMI ketika berada di ruang emergensi, jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada pemberian β-bloker secara intravena mungkin efektif (Safitri, 2013).
Golongan obat penyekat beta meliputi Atenolol, Bisoprolol, Carvediol, Metoprolol, Propanolol (PERKI,2015).
2.2.10.1.2.7 ACE Inhibitor
ACE Inhibitor berguna dalam mengurangi remodeling vascular dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis.Angiotensin bekerja sebagai hormon sistemik, hormon lokal jaringan, dan sebagai neurohormonal susunan saraf pusat. Penghambat ACE (ACE-I) bekerja dengan cara menghambat enzim ACE secara kompetitif melalui ikatan pada active catalytic enzym tersebut, dengan demikian pembentukan angiotensin I menjadi angiotensin II akan terhambat. Hambatan tersebut selain terjadi pada sirkulasi sistemik juga terjadi pada ACE jaringan yang dihasilkan oleh sel-sel endotel jantung, ginjal, otak dan kelenjar adrenal. Penghambat ACE juga berperan dalam menghambat degradasi bradikinin, yang merupakan vasodilator.Pada pasien – pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang tidak dapat bertoleransi dengan ACEI, maka dapat dipertimbangkan pemberian ARB.Rekomendasi di atas dibuat berdasarkan potensi mereka terhadap manfaat jangka panjang dan golongan obat ACEI diantaranya adalah kaptopril, benazepril, enalapril, fosinopril, lisinopril, moexipril, ramipril, quinapril, trandolapril (PERKI, 2015).
2.2.10.1.2.8 Antagonis Kalsium (CCB)
Antagonis kalsium memiliki lebih sedikit efek samping serius di bandingkan dengan β-bloker.Antagonis kalsium ini memblokir calcium-channels di otot polos arterial dan menimbulkan relaksasi dan vasodilatasi perifer.Tekanan darah arteri dan frekuensi jantung menurun, begitu pula dengan pengunaan oksigen pada saat mengeluarkan tenaga.Selain itu, pemasukan darah di perbesar karena vasodilatasi miokard (Alwi, 2008).
2.2.10.1.2.9 Antidislipidemia
Saat ini ada beberapa golongan obat untuk terapi dislipidemia, namun yang sering digunakan yaitu golongan statin.Statin digunakan setelah ACS (termasuk IMA) untuk memperkecil resiko kematian PJK, IMA berulang, stroke dan kebutuhan untuk revaskularisasi koroner.Statin adalah obat penurun lipid paling efektif untuk menurunkan kolesterol LDL dan terbukti aman tanpa efek samping yang berarti.Selain berfungsi untuk menurunkan kolesterol LDL, statin juga mempunyai efek meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan TG.Studi awal yang menggunakan statin untuk menurunkan kolesterol LDL menunjukkan penurunan laju PJK (PERKI, 2013). Statin dapat diberikan pada semua pasien IMA, pengobatan ini diberikan pada awal MRS karena hal ini dapat meningkatkan kepatuhan pasien saat KRS.Pengobatan dengan statin digunakan untuk mengurangi risiko baik pada prevensi primer maupun sekunder. Berbagai hasil studi telah membuktikan selain sebagai penurun kolesterol, statin juga memiliki mekanisme lain yang dapat berperan sebagai antiinflamasi, antitrombotik, dan lain-lain (Majid, 2007).
2.2.9.6 Terapi Non-Farmakologi Infark Miokard Akut 2.2.9.6.1 Modifikasi Faktor Risiko
Pencegahan harus dilakukan sebisa mungkin dengan cara mengendalikan faktor- faktor risiko dari IMA. Pengendalian dapat dilakukan dengan cara misalnya berhenti merokok, menjaga berat badan tetap normal, olahraga teratur, mengatur pola makan (mengkonsumsi makanan dengan kadar kolesterol rendah atau lemak
dengan saturasi rendah), mengontrol tekanan darah, dan mengontrol gula darah.
(Anwar, 2004).
2.2.9.6.2 Coronary Artery Bypass Grafting (CABG)
Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) adalah teknik pembedahan yang menggunakan pembuluh darah dari bagian tubuh yang lain untuk memintas (melakukan bypass) arteri yang menghalangi suplai darah ke jantung.CABG sangat ideal untuk pasien dengan penyempitan di beberapa cabang arteri koroner (Kulick & Shiel, 2007).
2.3 Tinjauan tentang Captopril padaInfark Miokard Akut 2.3.1 Captopril
Gambar 2.7. Struktur Kimia Captopril(BNF, 2011 Hl : 1239)
Captopril merupakan ACEI yang pertama digunakan untuk uji klinis.Captopril berinteraksi dengan enzim melalui beberapa obligasi, yaitu elektrostatik, hidrogen dan koneksi lipofilik.Di antaranya, ikatan karboksil terbentuk antara kelompok thiol bebas dari captopril dan Zn2+ dalam tempat aktif ACE (Kumar et al, 2010).
2.3.2 Farmakokinetik
Captopril memiliki duration of action 6 jam. Captopril yang diberikan secara oral diabsorbsi secara cepat yang memiliki bioavailabilitas 60% sampai 75%, konsentrasi puncaknya terjadi dalam 1 jam. Sebagian besar obat dieliminasi dalam
urin, 40-50% sebagai captopril dan sisanya sebagai dimer captopril disulfida dan captopril sistein disulfida. Dosis captopril berkisar 6,5 sampai 150 mg dua hingga tiga kali sehari. Makanan mengurangi bioavailabilitas captopril sekitar 25-30% sehingga obat diberikan 1 jam sebelum makan (BNF, 2011).Pemberian kaptopril tiap 12 jam akan meminimalkan risiko peningkatan tekanan darah pada pagi hari dan memperbaiki rasio tekanan darah malam dan siang hari. Waktu pemberian yang tepat pada kaptopril akan memberi keuntungan dalam mengontrol tekanan darah selama 24 jam dan meminimalkan risiko non dipper. Selain itu dengan mendapatkan efek maksimal dari kaptopril maka pengobatan menjadi lebih ekonomis yang merupakan keuntungan secara farmakoekonomi (Hermida dkk., 2013). Mengontrol tekanan darah selama 24 jam sangat berpengaruh terhadap munculnya komplikasi kardiovaskuler.
Komplikasi yang seirng muncul saat tekanan darah selama 24 jamtidak terkontrol adalah hipertrofi ventrikel kiri, mikroalbuminuria, penyakit serebrovaskular, gagal jantung kongestif, demensia vaskular dan infark miokard (Hermida dkk, 2007).Dengan mengetahui ritme pada tekanan darah, maka pemberian obat tidak hanya mengacu pada tepat obat dan tepatsasaran namun juga membutuhkan ketepatan waktu pemberian.Hal ini bertujuan menyesuaikan perbedaan respon tubuh manusia terhadap lingkungan sekitar dan kondisi penyakit pada waktu tertentu yang terjadi secara periodik sehingga meminimalkan risiko kejadian kardiovaskuler (Bisht, 2011).
2.3.3 Farmakodinamik
Captopril merupakan penghambat ACE yang mengkatalisasi konversi angiotensin I menjadi angiotensin II yang memiliki peran dalam pengaturan tekanan darah. Captopril jugasebagai antiremodeling vaskular dan vasodilator yang menyebabkan suplai oksigen dapat meningkat sehingga terjadi keseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen.Secara farmakodinamik, kaptopril menunjukkan efek penurunan tekanan darah setelah digunakan selama minimal 7 hari secara terus menerus.Efek maksimal didapatkan setalah penggunaan sekitar 14 hari.Apabila penggunaan selama 14 hari belum menunjukkan efek maka dosis kaptopril harus disesuaikan tergantung dari respon setiap individu (Duchin et al, 2007).
2.3.4 Mekanisme Kerja
Kaptopril merupakan obat antihipertensi dengan cara supresi sistem renin angiotensin aldosteron. Renin adalah enzim yang dihasilkan ginjal dan bekerja pada globulin plasma untuk memproduksi angiotensin I yang besifat inaktif. "Angiotensin Converting Enzyme" (ACE), akan merubah angiotensin I menjadi angiotensin Il yang besifat aktif dan merupakan vasokonstriktor endogen serta dapat menstimulasi sintesa dan sekresi aldosteron dalam korteks adrenal. Dalam kerjanya, kaptopril akan menghambat kerja ACE, akibatnya pembentukan angiotensin ll terhambat, timbul vasodilatasi, penurunan sekresi aldosteron sehingga ginjalmensekresi natrium dan cairan serta mensekresi kalium. Keadaan ini akan menyebabkan penurunan tekanan darah (Arbex et al, 2010).
Gambar 2.8. Mekanisme Kerja ACE Inhibitor
2.3.5 Indikasi
Captopril memiliki indikasi untuk hipertensi berat hingga sedang, untuk gagal jantung, disfungsi ventrikel kiri setelah IMA dan diabetic nefropati(Kumar et al, 2010). Kaptopril efektif dalam menurunkan hemoglobin dan hematokrit untuk mengeliminasi kebutuhan atau menurunkan frekuensi proses pengeluaran darah pada pasien pasca transplantasi ginjal erthrositosis. Indikasi lain kaptopril merupakan obat second line pada pengobatan rheumatoid arthritis (Prabu et al, 2005)
2.3.6 Dosis dan Rute Pemberian
Kaptopril harus diberikan 1 jam sebelum makan, dosisnya sangat tergantung dari kebutuhan penderita (individual).Untuk hipertensi dosis awal adalah12,5 mg tiga kali sehari secara oral. Bila setelah 2 minggu, penurunan tekanan darah masih belum memuaskan maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 25 mg tiga kali sehari.Bila setelah 2 minggu lagi, tekanan darah masih belum terkontrol sebaiknya ditambahkan obat diuretik golongan tiazida misal hidroklorotiazida 25 mg setiap hari.Dosis diuretik mungkin dapat ditingkatkan pada interval satu sampai dua minggu.Maksimum dosis kaptopril untuk hipertensi sehari tidak boleh lebih dari 450 mg (BNF, 2011).
2.3.7 Sediaan di Indonesia
Tabel 2.8 Sediaan Captopril di Indonesia (MIMS, 2013) Nama
dagang
Dosis Sediaan Pabrik
Acendril® 12,5mg , 25mg Tablet PT. Harsen
Captensin® 12,5mg , 25mg Tablet PT. Kalbe Farma
Dexacap® 12,5mg, 25mg, 50mg Tablet PT. Dexa Medica
Farmoten® 12,5mg, 25mg Tablet PT. Fahrenheit
Tensicap® 12,5mg , 25mg Tablet PT. Sanbe Bandung
Metopril® 25mg, 50mg Tablet PT. Metiska Farma
Tensobon® 25mg Tablet PT. Coronet Crown
Vapril® 12,5mg, 25mg Tablet PT. Phapros
2.3.7 Efek Samping
Efek samping yang sering muncul adalah batuk kering. Captopril menimbulkan proteinuria lebih dari 1 g sehari pada 0,5 % penderita dan pada 1,2 % penderita dengan penyakit ginjal. Dapat terjadi sindroma nefrotik serta membran glomerulopati pada penderita hipertensi.Karena proteinuria umumnya terjadi dalam waktu 8 bulan pengobatan maka penderita sebaiknya melakukan pemeriksaan protein urin sebelum dan setiap bulan selama 8 bulan pertama pengobatan.Neutropenia/agranulositosis terjadi kira – kira 0,4 % penderita. Efek samping ini terutama terjadi penderita dengan gangguan fungsi ginjal.Neutropenia ini muncul dalam 1 – 3 bulan pengobatan, pengobatan agar dihentikan sebelum penderita terkena penyakit infeksi.Sering terjadi ruam pruritus, kadang – kadang terjadi demam dan eosinofilia. Efek tersebut biasanya ringan dan menghilang beberapa hari setelah dosis diturunkan.Terjadi perubahan rasa (taste alteration), yang biasanya terjadi dalam 3 bulan pertama dan menghilang meskipun obat diteruskan.Retensi kalium ringan sering terjadi, terutama pada penderita gangguan ginjal, sehingga perlu diuretik yang meretensi kalium seperti amilorida dan pemberiannya harus dilakukan dengan hati – hati (Brunton et al, 2011).