MODERNISASI PESANTREN ISLAM AL IMAN MUNTILAN PADA MASA KEPEMIMPINAN K.H. MOH HADI DAN PENGARUHNYA DI PATOSAN, SEDAYU, MUNTILAN,
MAGELANG, JAWA TENGAH (1987-2003 M)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh:
Rino Pambudi NIM 16120070
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2020
ii
iii NOTA DINAS
Kepada Yth,
Dekan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Assalamu’alaykum wr. wb.
Setelah membimbing, membaca, mengarahkan, mengoreksi, dan mengadakan perbaikan terhadap naskah skripsi yang berjudul:
MODERNISASI PESANTREN ISLAM AL IMAN MUNTILAN PADA MASA KEPEMIMPINAN K.H. MOH HADI DAN PENGARUHNYA DI PATOSAN, SEDAYU, MUNTILAN, MAGELANG, JAWA TENGAH (1987-
2003 M) Yang ditulis oleh:
Nama : Rino Pambudi
NIM : 16120070
Program Studi : Sejarah dan Kebudayaan Islam
Saya berpendapat bahwa skripsi tersebut sudah bisa diajukan kepada Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk diajukan dalam sidang munaqosyah.
Wassalamu’alaykum wr. wb.
Yogyakarta, 18 September 2020 Dosen Pembimbing
Siti Maimunah S. Ag., M. Hum.
NIP. 19710430 199703 2 002
iv
HALAMAN PENGESAHAN
v MOTTO
“ Kebenaran Yang Tidak Terorganisir Akan Kalah Dengan Kebathilan Yang Terorganisir”
~Ali bin Abi Thalib~
vi
PERSEMBAHAN
Karya ini peneliti persembahkan untuk:
Kedua orang tua dan seluruh keluarga besar peneliti.
Guru dan seluruh dosen yang telah membimbing dan berbagi ilmu.
Teman-teman dan sahabat peneliti.
Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga.
Pesantren Islam Al Iman Muntilan dan seluruh elemen yang ada di
dalamnya.
vii ABSTRAK
MODERNISASI PESANTREN ISLAM AL IMAN MUNTILAN PADA MASA KEPEMIMPINAN K.H. MOH HADI DAN PENGARUHNYA DI PATOSAN,
SEDAYU, MUNTILAN, MAGELANG, JAWA TENGAH (1987-2003 M) Pesantren Islam Al Iman Muntilan didirikan oleh K.H. Yunus Alwan tahun 1942 M di Kec. Muntilan Kab. Magelang. Tujuan dilakukannya penelitian yaitu untuk mendeskripsikan kondisi masyarakat Patosan sebelum era pesantren modern, modernisasi pesantren oleh K.H. Moh Hadi, serta pengaruh pesantren modern terhadap masyarakat Patosan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Sosiologi untuk melihat dan mempelajari Pesantren Islam Al Iman Muntilan dan pengaruhnya di Patosan, Muntilan, Magelang dari berbagai aspek. Teori yang digunakan oleh peneliti adalah Teori Fungsionalisme dari Emile Durkheim (1858-1917). Ia mengungkapkan bahwa suatu sistem sosial bekerja seperti sistem organik, dimana instansi dan masyarakat sekitar mempunyai fungsi masing-masing dan saling mempengaruhi.
Metode yang digunakan peneliti adalah metode historis. Adapun metode ini digunakan untuk menggambarkan secara kronologis sejarah modernisasi pesantren serta pengaruhnya di Patosan, Sedayu, Muntilan.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa modernisasi pesantren memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap perubahan masyarakat Patosan dan Pesantren Islam Al Iman Muntilan itu sendiri. Moderniasi Pesantren Islam Al Iman Muntilan ditandai dengan didirikannya madrasah pesantren dengan dua jenjang pendidikan yaitu MTs dan MA, adanya kurikulum baru yang memadukan mata pelajaran umum dan mata pelajaran khas pesantren serta pesantren tidak lagi menggunakan metode dan buku-buku klasik sebagai acuan. Adapun perubahan- perubahan yang terjadi akibat modernisasi mencakup beberapa aspek yaitu, sosial yang ditandai dengan semakin banyaknya kegiatan-kegiatan sosial dan event-event hari besar nasional. Keagamaan yang dapat dilihat dengan naiknya tingkat religiusitas masyarakat dan banyaknya kegiatan-kegiatan keagamaan. Ekonomi yang ditandai dengan perkembangan sektor ekonomi masyarakat seperti perdagangan. Pendidikan yang dapat dilihat dengan semakin berkembangnya TPA serta budaya yang tercermin dari wawasan masyarakat akan budaya dan tradisi- tradisi yang terus dilakukan. Modernisasi Pesantren Islam Al Iman Muntilan sendiri terdiri dari dua periode yaitu periode pengembangan tahun 1987-1999 dan periode pembinaan tahun 2000-2003.
Kata kunci : K.H. Moh Hadi, Modernisasi, Pesantren Islam Al Iman, Patosan
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
11. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat dilihat pada halaman berikut :
Huruf arab Nama Huruf latin Nama
ا Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan
ب Ba B Be
ت Ta T Te
ث Tsa Ts Te dan Es
ج Jim J Je
ح Ḥa Ḥ Ha (dengan titik dibawah)
خ Kha Kh Ka dan Ha
د Dal D De
ذ Dzal Dz De dan Zet
ر Ra R Er
ز Zai Z Zet
س Sin S Es
ش Syin Sy Es dan ye
ص Shad Sh Es dan Ha
ض Dlad Dl De dan el
1
Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merujuk pada hasil keputusan bersama (SKB)
Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158 Tahun
1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.
ix
ط Tha Th Te dan Ha
ظ Ẓa Ẓ Zet (dangan titik dibawah)
ع ‘Ain ‘ Apostrof terbalik
غ Gain Gh Ge
ف Fa F Ef
ق Qof Q Qi
ك Kaf K Ka
ل Lam L El
م Mim M Em
ن Nun N En
و Wau W We
ه Ha H Ha
ء Hamzah ’ Apostrof
ي Ya Y Ye
Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (’).
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
x
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf latin Nama
َ ا Fatḥah A A
َ ا Kasrah I I
َ ا Dlammah U U
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harkat dan Huruf Nama Huruf
dan tanda
Nama
...
َاَ ..
/َ
ىَ ...
َ fatḥah dan alif atau
ya
͞a a dan garis di atas
يَ .... kasrah dan ya ͞i i dan garis di atas
وَ ... dlammah dan wau ͞u u dan garis di atas
Contoh:
َ تا م : m͞ata
ى م ر : ram͞a
َ لْي ق : q͞ila
َ تْو يَ : yam͞utu
4. Ta marbuthah
Transliterasi untuk ta marbuthah ada dua, yaitu: ta marbuthah yang hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah, dan dlammah, transliterasinya adalah [t].
Sedangkan ta marbuthah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya
adalah [h].
xi
Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbuthah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta marbuthah itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh:
َ لا فْط ْلْاَ ة ضْو ر : Raudlah al-athf͞al
َ لْ ي ض فْلاَ ة نْ ي د مْلا
َ ة : Al-madinah al-fadlil͞ah
َ ة مْك لحا : Al-ḥikmah
5. Syaddah (tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda tasydid ( ّ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah.
Contoh :
ا نَّ ب ر : Rabban͞a
َ نْ يَّ نَ
ا : Najjain͞a
َ ج ْلح ا : Al-ḥajj
َ و د ع : ‘aduwwun
Jika huruf ي ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf kasrah
( َ ي ى ), maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah ( ͞͞i ).
Contoh:
َ ي ل ع : ‘al͞i (bukan ‘aliyy atau ‘aly)
َ ب ر ع : ‘arab͞i (bukan ‘arabiyy atau ‘araby)
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf (alif lam
ma‘arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti
xii
biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiah maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-). Contohnya:
َ سْمَّشلا : Al-syamsu (bukan asy-syamsu)
َ ة ل زْلَّزلا : Al-zalzalah (bukan az-zalzalah)
َ ف سْل فلا
َ ة : Al-falshafah
َ د لا بلا : Al-bil͞adu
xiii
KATA PENGANTAR
َْسَ م َ ب
َ
َ الل
ََّرلا َ
َمْح َ
ََّرلا َ نَ
َ حَْي
َ م
ْلح َ اَ
َْمَ د
َ م للَ َ
َ ر
َ ب
ََْلا
َ عَ لا
َ ْي َ م
ََ وَ ب
َ نَْس َ هَ
َ تَ ع
َ ْي
ََ عَ ل
ََ اَ م ي
َْوَ رَ
َ دلا
َْ نَ ي
َ وَا
َ دلا
َْيَ ن
ََ و
ََّصلا
َ ةََ و َ لا
ََّسلا
َ مَ َ لا
َ عَ ل
َي
َ اَْش
َ ر
ََْا َ ف
َ لَْْن
َ بَ ي
ََ وَْلا َ ءا
َ مَْر
َ سَ ل
َ ْي
َ سَ ي َ
َ ن َ د
َ َُ
ََّمَ د
ََ و
َ عَ ل
َ لآَي
َ وَ ا َ هَ
َ ح َْص
َ باَ ه
َ ْج ََ ا
َ ْي َ ع
Segala puji hanya milik Allah swt, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga peneliti berhasil menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada baginda Rasullullah Muhammad saw., munusia pilihan pembawa rahmat dan pemberi syafaat di hari kiamat.
Skripsi yang berjudul “Modernisasi Pesantren Islam Al Iman Muntilan Pada Masa Kepemimpinan K.H. Moh Hadi dan Pengaruhnya di Patosan, Sedayu, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah Pada Tahun 1987-2003” ini merupakan karya peneliti yang telah mengalami berbagai proses yang tentunya butuh perjuangan dan pengorbanan. Oleh karena itu, peneliti menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukan semata-mata usaha dari peneliti, melainkan atas bantuan dari berbagai pihak. Dalam hal ini, peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2. Dekan beserta seluruh tenaga kependidikan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya.
3. Ketua Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam.
xiv
4. Bapak Dr. Badrun, M. Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik, dan seluruh dosen di Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam.
5. Ibu Siti Maimunah, S. Ag., M. Hum., selaku Pembimbing Skripsi.
6. Kedua orang tua peneliti, bapak Eko Pramono dan ibu Imul Khoiriyah.
7. Sahabat-sahabat peneliti Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam angkatan 2016.
8. Para Narasumber yaitu Ustadz Budi Susanto, Ustadz Mustofa, Ustadz Kasbani, Ustadzah Susan Sa’adah, Bapak Dawam, dan Bapak Muh Suyitno.
9. Pimpinan Pesantren Islam Al Iman Muntilan dan jajarannya.
10. Kepala Desa Sedayu, Bapak Ir. Riyadi Suhirmanto dan jajarannya.
11. Warga Dusun Patosan dan sekitarnya
12. Semua teman, sahabat, keluarga yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu
Atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak di atas, skripsi ini dapat
diselesaikan. Peneliti hanya bisa berdoa, semoga semua pihak yang terkait dalam
penyusunan skripsi ini senantiasa mendapatkan balasan yang setimpal dari sisi
Allah swt. Peneliti berharap mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi
peneliti khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya. Peneliti sangat menyadari
bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
sangat peneliti harapkan demi perbaikan skripsi ini.
xv
Yogyakarta, 11 Februari 2020 Peneliti,
Rino Pambudi
NIM: 16120070
xvi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... ii
NOTA DINAS ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ... viii
KATA PENGANTAR ... xv
DAFTAR ISI ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB 1: PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Batasan Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8
D. Tinjauan Pustaka ... 9
E. Landasan Teori ... 12
F. Metode Penelitian ... 14
G. Sistematika Pembahasan ... 18
BAB II: KONDISI MASYARAKAT PATOSAN DAN PESANTREN ISLAM AL IMAN MUNTILAN SEBELUM MODERNISASI ... 20
A. Gambaran Umum Masyarakat Patosan Sebelum Modernisasi Pesantren ... 20
1. Kondisi Sosial ... 20
2. Kondisi Keagamaan ... 22
3. Kondisi Ekonomi ... 23
4. Kondisi Pendidikan ... 24
xvii
5. Kondisi Kebudayaan ... 25
B. Pesantren Islam Al Iman Muntilan Sebelum Modernisasi ... 27
BAB III: PERIODISASI MODERNISASI PESANTREN ISLAM AL IMAN MUNTILAN PADA MASA KEPEMIMPINAN K.H. MOH HADI (1987-2003) ... 31
A. Biografi Singkat K.H. Moh Hadi ... 32
B. Sejarah Modernisasi Pesantren Islam Al Iman Muntilan ... 34
1. Periode Pengembangan (1987-1999) ... 36
a. Tahap Perencanan ... 37
b. Tahap Pembagunan dan Pencarian Santri ... 41
c. Tahap Perancangan dan Pengembangan Kurikulum ... 46
d. Tahap Pengembangan ... 48
2. Periode Pembinaan (2000-2003) ... 52
BAB IV: PENGARUH MODERNISASI PESANTREN ISLAM AL IMAN MUNTILAN PADA MASYARAKAT PATOSAN, SEDAYU, MUNTILAN, MAGELANG (1987-2003) ... 60
A. Sosial ... 61
B. Keagamaan ... 62
C. Ekonomi ... 65
D. Pendidikan ... 68
E. Kebudayaan. ... 69
BAB V: PENUTUP ... 72
A. Kesimpulan ... 72
B. Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA ... 76
LAMPIRAN ... 78
KELENGKAPAN SKRIPSI ... 91
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 94
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Wawancara dengan Bapak Dawam tentang masyarakat Patosan sebelum dan setelah modernisasi Pesantren Islam Al Iman Muntilan, di Patosan, Sedayu, Muntilan, Kab. Magelang. Hlm. 87.
Gambar 2. Wawancara tentang sejarah Pesantren Islam Al Iman Muntilan dan sejarah modernisasi Pesantren Islam Al Iman Muntilan pada masa kepemimpinan K.H. Moh Hadi , bersama Ustadz Budi Susanto, di Beteng, Muntilan, Kab. Magelang. Hlm. 87.
Gambar 3. Wawancara dengan Ustadzah Susan Sa’adah tentang biografi K.H.
Moh Hadi, di Beteng, Muntilan, Kab. Magelang. Hlm. 88.
Gambar 4. Foto K.H. Moh Hadi saat menjadi pimpinan Pesantren Islam Al Iman Muntilan, sekitar tahun 1990-an. Hlm. 89.
Gambar 5. Foto Pesantren Islam Al Iman Muntilan tahun 1996. Hlm. 89.
Gambar 6. Foto K.H. Moh Hadi bersama santri dari suku Asmat, yaitu Zaini Rohman, Salim, dan Abu Bakar. Hlm. 90.
Gambar 7. Foto K.H. Moh Hadi bersama pengurus KOPPAM. Hlm. 90.
Gambar 8. Surat Izin Penelitian ditujukan kepada Pesantren Islam Al Iman Muntilan. Hlm. 91.
Gambar 9. Surat Izin Penelitian ditujukan kepada Kepala Desa Sedayu, Muntilan, Kab. Magelang. Hlm. 92.
Gambar 10. Surat Izin Penelitian dari Kepala Desa Sedayu, Muntilan, Kab.
Magelang. Hlm. 93.
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Daftar Narasumber. Hlm. 78.
Lampiran II Transkripsi Wawancara. Hlm. 80.
Lampiran III Foto Wawancara dengan Narasumber Utama. Hlm. 87.
Lampiran IV Foto Pesantren Islam Al Iman Muntilan Pada Masa Kepemimpinan
K.H. Moh Hadi. Hlm. 89.
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan berbasis pondok yang mengajarkan tentang nilai-nilai Islam. Pesantren pada umumnya didirikan di pedesaan yang masih asing akan nilai-nilai keislaman dengan tujuan untuk menyebarluaskan pemahaman Islam dan memantapkan keimanan masyarakat sekitarnya.
1Selain sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga merupakan bagian dari struktur masyarakat yang secara sosiologi-kultural ikut dalam pembentukan karakteristik masyarakat sekitarnya.
Sejarah kelahiran pesantren berawal dari persoalan riil masyarakat. Hal ini berdasarkan perjuangan Wali Songo (Wali Sembilan) di pulau Jawa yang ditengarai sebagai tonggak berdirinya pesantren di Indonesia. Perjuangan mereka diawali dengan proses penataan masyarakat demi menciptakan tatanan masyarakat yang damai dan sejahtera. Pada tahapan selanjutnya, mereka mulai memasukkan unsur- unsur pengajaran keislaman yang menitikberatkan pada persoalan akidah, akhlak, dan tasawuf.
21
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm. 20.2
Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bhakti, 1982),
hlm. 22-24.
2
Banyak ulama besar yang mendefinisikan pandangannya mengenai pesantren, salah satunya yaitu K.H. Imam Zarkasyi yang merupakan salah satu pendiri Pondok Modern Gontor. Ia berpendapat bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan dengan sistem asrama, kemudian kyai sebagai sentral figurnya dan masjid menjadi titik pusat yang menjiwai.
3Menurut peneliti, pesantren merupakan lembaga yang menjadi produk dari kebudayaan Islam. Hal ini dikarenakan ajaran Islam yang menuntut setiap pengikutnya untuk mencari ilmu dan mendakwahkan Islam. Oleh karena itu timbullah ide yang dipelopori oleh Wali Songo untuk menciptakan lembaga pendidikan Islam sebagai wadah untuk mempelajari ajaran-ajaran Islam dan mendakwahkannya. Karena budaya sendiri merupakan produk akal budi manusia, maka bukan tidak mungkin pesantren mengalami perubahan sesuai tuntutan zaman. Diantaranya modernisasi pesantren seperti yang terjadi di Pesantren Islam al Iman Muntilan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, modernisasi diartikan sebagai proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.
4Sedangkan menurut Ustadz Budi Susanto (pengurus yayasan Pesantren Islam Al Iman), modernisasi pesantren yaitu pergeseran dari sistem klasik menuju sistem modern yang lebih mengutamakan penguasaan bahasa dan wawasan keislaman maupun wawasan umum disertai dengan praktik-praktik
3
Susmanto, Menelusuri Jejak Pesantren. cet. I (Yogyakarta: Alief Press, 2004), hlm. 49.
4
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2018), hlm. 659.
3
demi terciptanya muslim yang komprehensif.
5Dengan dua pendapat di atas dapat dimaknai bahwa modernisasi yaitu sebuah proses pergeseran sikap dan mentalitas sebuah golongan maupun kelompok demi terciptanya golongan atau masyarakat yang dapat hidup sesuai tuntutan zaman.
Kec. Muntilan memiliki luas 28,61 Km
2. Kec. Muntilan merupakan daerah yang menjadi pusat perdagangan dan jasa yang terletak di bagian selatan Kab. Magelang.
Muntilan terletak sekitar 10 km dari pusat pemerintahan Kab. Magelang, yaitu kota Mungkid dan kurang lebih 25 km dari kota Yogyakarta. Muntilan sendiri berdiri di jalur provinsi yang menjadi penghubung antara Kota Semarang, Kab. Magelang, Kota Magelang, dan DIY.
6Hal ini menjadikan Muntilan sebagai daerah yang lebih maju dibandingkan daerah Magelang lainnya. Selain pusat perdagangan dan jasa, Muntilan juga merupakan pusat pendidikan karena banyaknya sekolah dan lembaga pendidikan yang beridiri di Muntilan. Salah satu yang terbesar adalah van Lith yang merupakan sekolah Katolik terbesar di Asia Tenggara. Oleh karena itu, Muntilan tak hanya menjadi basis Katolik di Magelang, tetapi di Indonesia bahkan Asia Tenggara. Sekolah van Lith sendiri didirikan oleh Fransciscus Geogius Josephus van Lith atau sering disebut Frans van Lith atau Rm. van Lith pada tahun 1900 M, ia adalah seorang romo yang memberikan ajaran Katolik di wilayah Jawa Tengah.
75
Wawancara dengan Ustadz Budi Susanto, di Beteng, Muntilan, Kab. Magelang, Jawa Tengah, 10 Juli 2020 pukul 13.00 WIB.
6
https://www.magelangkab.go.id, diakses pada 28 Januari 2020 pukul 20.00 WIB.
7
Muhammad Febri Prasetyo, “Sekolah Katholik Pribumi Van Lith di Muntilan Tahun (1990-
1942)” dalam AVATARA : e-Journal Pendidikan Sejarah Vo\.6 No. 1, Maret 2018, hlm. 126.
4
Pesantren Islam Al Iman Muntilan merupakan lembaga pendidikan Islam berbasis pesantren yang didirikan oleh Kyai H. Yunus Alwan yang merupakan pria berkebangsaan Malaysia pada tahun 1942 M. Secara garis besar, perkembangan Pesantren Islam Al Iman Muntilan memiliki tiga periode penting, yaitu Periode Klasik yang berisi Masa Rintisan (1942-1963), Periode semi modern yang berisi masa Penataan (1963-1986), Kemudian Periode Pembaharuan yang terdiri dari Masa Pengembangan (1987-1999) dan Pembinaan (2000-2003).
8Ciri khas dari periode klasik adalah pesantren masih menjadikan sistem salaf sebagai sistem resmi pesantren. Menurut Zamaksyari Dhofier, pesantren yang dikategorikan dalam pesantren salaf atau klasik yaitu pesantren yang inti pendidikannya mengajarkan kitab Islam klasik. Sedangkan ciri khas pesantren modern yaitu pesantren yang dilengkapi dengan madrasah atau sekolah umum yang mayoritas mata pelajaran yang dikembangkannya bukan kitab Islam klasik.
9Selain pendapat diatas, ciri-ciri pesantren berdasarkan kurikulum dan metode pembelajaran dapat dikategorikan menjadi menjadi dua yaitu pesantren tradisional atau klasik dan pesantren modern. Pesantren klasik memiliki ciri-ciri: kyai sebagai pimpinan pesantren, santri bermukim di asrama dan belajar pada kyai, asrama sebagai tempat tingal para santri, pengajian sebagai bentuk pengajaran, dan masjid sebagai pusat kegiatan pondok pesantren. Adapun ciri-ciri dari pesantren modern
8
”Sejarah Singkat Pondok Pesantren Islam Al Iman Muntilan”,
https://pesantrenaliman.or.id, Diakses pada tanggal 28 Januari 2020 pukul 13.00 WIB.9
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm. 75-76.5
yaitu: penekanan pada bahasa Arab dalam percakapan, memakai buku-buku literatur bahasa Arab kontemporer, memiliki sekolah formal di bawah kurikulum Kemenag, dan tidak lagi memakai sistem pengajian tradisional.
10Periode awal pesantren jelas masuk kedalam kategori pesantren klasik. Periode kedua dapat dikategorikan kedalam pesantren modern karena mulai tahun 1963 pesantren sudah memiliki madrasah dan kurikulum yang mencakup mata pelajaran umum, namun karena pesantren masih menggunakan kitab Islam klasik sebagai landasan kajian, metode pengajaran tradisional serta pesantren masih belum menggunakan kurikulum Kemenag maka peneliti memasukkan periode ini kedalam kategori semi modern. Sedangkan periode ketiga pesantren sudah dikategorian kedalam pesantren modern karena selain secara formal pesantren sudah menggunakan nama Pondok Pesantren Modern Islam Al Iman Muntilan, kurikulum pesantren juga sudah menggunakan kurikulum resmi dari Kemenag, serta fasilitas- fasilitas yang lebih modern. Sistem pesantren modern bertahan sampai sekarang dan tidak mengalami banyak perubahan.
11Sistem pesantren modern sendiri dipelopori oleh K.H. Moh Hadi pada tahun 1987, hal ini dilakukan untuk merespon semakin majunya ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Dengan berubahnya sistem pesantren dari sistem salaf menuju sistem pesantren modern dengan boarding school, pesantren
10
Anik Farida, dkk, Modernisasi Pesantren (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007), hlm. 23.
11
Wawancara dengan Ustadz Kasbani, di Pesantren Islam Al Iman Muntilan, tanggal 26
Januari 2020 , pukul 19.00 WIB.
6
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan internal maupun masyarakat sekitar pesantren. Sebagai contoh, dengan berubahnya sistem ke pesantren modern, selain berubahnya kurikulum pesantren juga menambahkan sarana dengan mendirikan koperasi yang dapat menunjang perekonomian masyarakat sekitar. Dengan demikian, perekonomian masyarakat sedikit banyak akan lebih terbantu. Selain itu, dengan adanya sekolah maka pesantren juga menyuplai kebutuhan pendidikan masyarakat, baik sebagai siswa maupun sarana belajar siswa.
Modernisasi Pesantren Islam Al Iman Muntilan yang dipelopori K.H. Moh Hadi memiliki peran besar terhadap kemajuan dan perkembangan pesantren. Selain itu, dampak yang dirasakan masyarakat karena modernisasi begitu terasa. Terlebih, Pesantren Islam Al Iman juga menjadi salah satu pelopor pondok modern di Magelang sehingga menarik untuk diteliti lebih lanjut. Semoga penelitian ini memberi manfaat dan wawasan baru kepada para pembacanya.
Oleh karena faktor-faktor diatas, penelitian ini menjadi menarik karena
pesantren menjadi benteng keislaman masyarakat sekitar karena lokasi pesantren
yang dikelilingi oleh sekolah-sekolah non Islam, bahkan salah satunya yang
terbesar se Asia Tenggara. Selain itu pesantren juga memiliki peran yang cukup
signifikan terhadap perkembangan masyarakat muslim berkat adanya modernsiasi
pesantren. Dampak modernisasi juga terasa bagi masyarakat sekitar pesantren, yaitu
masyarakat Patosan.
7
B. Batasan Rumusan Masalah
Pesantren Islam Al Iman Muntilan didirikan oleh Kyai H. Yunus Alwan pada tahun 1942 M di Muntilan. Peneliti memfokuskan pada pada modernisasi Pesantren Islam Al Iman Muntilan pada masa kepemimpinan K.H. Moh Hadi dan pengaruhnya di Patosan tahun 1987-2003 M. Batasan waktu penelitian ini dimulai dari tahun 1987 M, tahun tersebut merupakan tahun pertama proses modernisasi seutuhnya Pesantren Islam Al Iman Muntilan yang dilakukan oleh K.H. Moh Hadi.
Tahun 2003 M dipilih karena meskipun pun K.H. Moh Hadi telah wafat sejak tahun 2000, namun pengaruhnya selama menjadi pimpinan pesantren masih sangat terasa hingga tahun tersebut, bahkan gagasan-gagasannya masih terus diupayakan pada tahun tersebut. Dipilihnya Pesantren Islam Al Iman Muntilan karena pesantren tersebut merupakan salah satu pelopor pesantren modern di Magelang. Buktinya yaitu sejak tahun 1963 pesantren sudah menerbitkan ijazah dan sudah memenuhi beberapa syarat untuk menjadi pesantren modern atau dapat dikategorikan sebagai pesantren semi modern. Pesantren Pabelan yang juga merupakan salah satu pesantren modern tertua mulai menggunakan unsur-unsur pesantren modern sejak kebangkitannya kembali pada tahun 1965 yang depelopori oleh K.H. Hammam Ja’far.
12Selain itu modernisasi pesantren oleh K.H. Moh Hadi sangat berpengaruh terhadap perkembangan pesantren dan masyarakat sekitarnya.
12
Wawancara dengan Ustadz Muhammad Nashiruddin, di Kauman, Sedayu, Muntilan, Kab.
Magelang, tanggal 20 Oktober 2020, pukul 13.00 WIB.
8
Berdasarkan fokus dan batasan masalah yang tercantum di atas, maka rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi masyarakat Patosan dan Pesantren Islam Al Iman Muntilan sebelum modernisasi ?
2. Mengapa K.H. Moh Hadi melakukan modernisasi pesantren ? 3. Bagaimana modernisasi yang dilakukan K.H. Moh Hadi ?
4. Bagaimana pengaruh modernisasi Pesantren Islam Al Iman Muntilan terhadap perkembangan pesantren dan masyarakat Patosan ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Secara garis besar penelitian ini mempunyai tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan rumusan masalah yang ada. Adapun tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan modernisasi Pesantren Islam Al Iman Muntilan pada masa kepemimpinan K.H. Moh Hadi dan pengaruhnya terhadap internal pesantren maupun masyarakat Patosan, Sedayu, Muntilan.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai kontribusi pengetahuan intelektual muslim mengenai salah satu pondok pesantren modern tertua di Muntilan.
2. Memberikan pengetahuan bagi pembaca tentang sejarah modernisasi Pesantren Islam Al Iman Muntilan dan pengaruhnya di Dusun Patosan sejak era pesantren modern.
3. Sebagai kontribusi pengetahuan kepada Pesantren Islam Al Iman Muntilan yang
nantinya skripsi ini akan saya serahkan kepada pesantren.
9
D. Tinjauan Pustaka
Pada penelitian yang dilakukan berkaitan dengan Pesantren Islam Al Iman Muntilan, peneliti mencoba untuk melakukan tinjauan terhadap karya terdahulu yang berkaitan dengan pesantren. Pertama adalah skripsi yang berjudul “Ustadz Yunus Alwan dan Pondok Pesantren Al Iman Patosan dalam Pengembangan Islam di Muntilan 1942-1986” karya Heetik Susilowati, Yogyakarta: Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, 2009. Dalam skripsi ini saudari Heetik menjelaskan biografi Ustadz Yunus Alwan dan sejarah singkat pesantren serta peran pesantren dalam perkembangan Islam di Muntilan tahun 1942-1986.
Persamaan antara penelitian ini dan skripsi di atas adalah sama-sama mengkaji Pesantren Islam Al Iman Muntilan sebagai objek kajian, perbedaannya adalah skripsi karya saudari Heetik lebih fokus mengkaji pribadi Ustadz Yunus Alwan selaku pendiri dan pesantren pada masa kepemimpinannya. Sedangkan fokus penelitian ini yaitu modernisasi Pesantren Islam Al Iman pada masa kepemimpinan K.H. Moh Hadi dan pengaruhnya di Patosan, Sedayu, Muntilan. Periode penelitian ini juga berbeda karena fokus pada periode kedua kepemimpinan Pesantren Islam Al Iman Muntilan, sedangkan skripsi karya saudari Heetik fokus pada periode pertama kepemimpinan Pesantren Islam Al Iman Muntilan .
Kedua yaitu buku Sekapur Sirih Pesantren al Iman Magelang Karya Yunus
Muhammad Hadi, Yogyakarta: Mitra Gama Widya, 1994. Pengarang dari buku ini
merupakan pimpinan Pesantren Al Iman sekaligus putra pendiri yaitu Kyai Yunus
Alwan. Dalam buku ini Ustadz Hadi berusaha memaparkan biografi K.H. Yunus
10
Alwan dan bagaimana sejarah awal berdirinya pesantren. Persamaan penelitian ini dengan buku karya Ustadz Hadi adalah dengan menjadikan Pesantren Islam Al Iman Muntilan sebagai objek pembahasan. Perbedaannya adalah penelitian ini lebih fokus kepada modernisasi pesantren pada masa kepemimpinan K.H. Moh Hadi, perkembangan pesantren setelah modernisasi, dan pengaruhnya terhadap masyarakat Patosan.
Ketiga, skripsi dengan judul “ Modernisasi Pesantren (Studi Kasus Pondok Pesantren Ma’had Sighar al Islami Gedongan- Ender, Cirebon)” karya Muhammad Zahidin Arief, Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filshafat UIN Syarif Hidayatullah, 2017. Dalam skripsi ini saudara Arief memaparkan konsep modernisasi dan pelaksanaannya di Pesantren Ma’had Sighar al Islami dengan mendirikan madrasah baru berupa SMP pada tahun 2007/2008, SMK pada tahun 2008/2009, dan MA pada tahun 2010/2011 serta menambahkan ilmu umum dalam materi kajiannya.
Selain itu, dilakukan juga perubahan dalam sistem manajemen pesantren serta adanya pemaduan antara pendidikan tradisional dengan pendidikan modern.
Persamaan antara penelitian ini dengan skripsi diatas yaitu sama-sama mengkaji
tentang modernisasi pesantren. Adapun perbedaannya yaitu terletak pada objek
kajian. Objek kajian penelitian ini adalah Pesantren Islam Al Iman Muntilan pada
masa kepemimpinan K.H. Moh Hadi sedangkan objek kajian skripsi diatas yaitu
Pesantren Ma’had Sighar al Islami. Selain itu fokus penelitian ini yaitu untuk
mendeskripsikan modernisasi Pesantren Islam Al Iman Muntilan secara historis,
sedangkan skripsi diatas berusaha memaparkan konsep modernisasi serta
pelaksanaanya di Pesantren Ma’had Sighar al Islami.
11
Keempat yaitu jurnal ilmiah Cendekia, vol. 17 no. 2 Juli-Desember Tahun 2019 dengan judul “Modernisasi Pesantren dalam Konstruksi Nurcholish Madjid” yang ditulis oleh Mukaffan dan Ali Hasan Siswanto dari Institut Agama Islam Negeri Jember. Jurnal ini merupakan hasil penelitian tentang modernisasi pesantren menurut Nurcholish Madjid. Dalam jurnal ilmiah ini saudara Mukaffan dan Ali berusaha memaparkan modernisasi pesantren yang ideal menurut Nurcholish Madjid. Menurutnya pesantren harus menjadi lembaga solutif bagi masalah keummatan, selain itu pesantren modern harus memiliki kepekaan terhadap realitas sosial yang selalu berubah-ubah sehingga para santri di pesantren harus dibekali keterampilan sehingga bisa langsung beradaptasi dengan kondisi masyarakat.
Selain itu ia berpendapat bahwa pesantren modern harus memperbarui tujuannya.
Adapun pembaruan tersebut yaitu: tujuan eksistensi pesantren, kurikulum yang
menjadi acuan, pengembangan santri yang tidak hanya fokus pada aspek kognitif
tapi juga keterampilan atau kreativitas, memperdalam sistem ajaran atau mazhab
yang digunakan pesantren. Menurutnya wujud dari pesantren modern yang ideal
yaitu Pesantren Gontor. Gontor menjadi wujud pesantren ideal karena berusaha
menggabungkan keilmuan modern dengan ilmu agama, sehingga lahir madrasah
yang dapat menyelaraskan keduanya sebagai produk modern. Penguasaan dua
bahasa asing yaitu bahasa Arab dan Inggris juga menjadi kunci keberhasilan
modernisasi. Hal ini karena pesantren modern tidak lagi menggunakan buku-buku
Islam klasik sebagai acuan dalam pembelajaran, namun juga buku kontemporer
Islam dan Barat. Para pengajar juga dituntut lebih menguasai metodologi
dibandingkan dengan teori. Hal ini karena pesantren modern lebih mengedepankan
12
praktik-praktik dalam pembelajarannya. Persamaan penelitian ini dengan jurnal diatas yaitu sama-sama membahas tentang modernisasi pesantren. Adapun perbedaanya terletak pada fokus pembahasan, jurnal diatas lebih memfokuskan pada konsep modernisasi pesantren menurut Nurcholish Madjid. Berbeda penelitian ini yang lebih memfokuskan pada praktik atau penerapan modernisasi pesantren di Pesantren Islam Al Iman Muntilan dan pengaruhnya terhadap masyarakat Patosan, peneliti juga berusaha menjabarkannya secara historis.
E. Landasan Teori
Pesantren Islam Al Iman Muntilan sendiri merupakan lembaga pendidikan Islam berbasis pesantren yang didirikan oleh Kyai H. Yunus Alwan yang merupakan pria berkebangsaan Malaysia pada tahun 1942 M di Muntilan. Secara garis besar, perkembangan Pesantren Islam Al Iman Muntilan memiliki empat periode penting, yaitu Periode Rintisan (1942-1963) Periode Penataan (1963-1986) Periode Pengembangan (1987-2001) dan Periode Pembinaan (2001-2003). Pada konteks ini peneliti memfokuskan pada Pesantren Islam Al Iman pada masa kepemimpinan K.H. Moh Hadi, modernisasi pesantren dan pengaruhnya terhadap masyarakat sekitar.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan sosiologis. Pendekatan
sosiologis adalah sebuah pendekatan yang melihat suatu gejala dari aspek sosial,
interaksi dan jaringan hubungan sosial yang ke semuanya mencakup dimensi sosial
13
kelakuan manusia.
13Pendekatan sosiologis dalam penelitian ini adalah untuk menedeskripsikan pengaruh modernisasi Pesantren Islam Al Iman Muntilan di Desa Patosan tahun 1987-2003 dengan meneliti bagaimana interaksi sosial antara internal pesantren dengan masyarakat sekitar, ideologi dan nilai-nilai yang ia bawa, dan bagaimana respon masyarakat terhadap ajaran-ajaran baru yang dibawa oleh pesantren.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori fungsionalisme menurut Emile Durkheim (1858-1917). Teori ini menjelaskan bahwa suatu sistem sosial bekerja seperti sistem organik. Masyarakat terbentuk dari struktur kebudayaan yakni keyakinan dan praktik yang sudah mantap, sehingga masyarakat tunduk dan taat terhadapnya. Bagi fungsionalisme, institusi dalam masyarakat adalah bagian yang saling terintegrasi dan terhubung satu sama lain. Dengan demikian setiap bagian memiliki pengaruh dan fungsinya masing-masing sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
14Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana pengaruh modernisasi Pesantren Islam Al Iman Muntilan di Patosan, Muntilan, Magelang, perlu untuk mengetahui bagaimana interaksi antara pesantren dan masyarakat sekitar serta apakah setiap bagian telah melakukan fungsinya dengan baik. Selain itu perlu diketahui bagaimana norma-norma yang berlaku dalam masyarakat sekitar.
13
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2016), hlm. 162-163.
14
Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-
modernisme, terj. Achmad Fedyani Saifuddin (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010),hlm. 53.
14
F. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yaitu suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis dengan mengangkat data yang ada di lapangan.
15Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah. Metode penelitian sejarah merupakan cara atau prosedur yang sistematis untuk menjelaskan objek kajiannya dalam merekonstruksi masa lampau, metode penelitian sejarah sendiri terdiri dari empat tahap, yaitu:
1. Heuristik
Heuristik merupakan tahap pengumpulan data dalam sebuah penelitian.
Dalam tahap ini peneliti membaginya menjadi dua yaitu studi pustaka dan studi lapangan. Dalam studi pustaka peneliti menjadikan buku Sekapur Sirih Pesantren Al Iman Magelang karya Yunus Muhammad Hadi,
sebagai sumber primer. Peneliti juga menjadikan skripsi “Ustadz Yunus Alwan dan Pondok Pesantren Al Iman Patosan dalam Pengembangan Islam di Muntilan 1942-1986” karya Heetik Susilowati dan buku-buku lainnya sebagai sumber sekunder. Adapun perpustakaan yang dijadikan lokasi kajian pustaka diantaranya Perpustakaan Pusat UIN Sunan Kalijaga, Perpustakaan Pesantren Islam Al Iman Muntilan, dan Perpustakaan Daerah Kab. Magelang. Dalam penelitian lapangan, peneliti melakukan wawancara terhadap narasumber utama yaitu Ustadzah Susan Sa’adah selaku putri K.H. Moh Hadi, Ustadz Budi Susanto sebagai
15
Suharismi Arikunto, Dasar-Dasar Research (Bandung: Tarsito, 1995), hlm. 58.
15
sekretaris K.H. Muhammad Hadi dan Bapak Dawam Selaku Tokoh dan Sesepuh Dusun Patosan. Adapun lokasi penelitian lapangan dilakukan di Magelang.
2. Verifikasi
Setelah tahapan pengumpulan data, berikutnya dilakukan verifikasi.
Verifikasi dapat dimaknai sebagai kritik terhadap sumber yang diperoleh.
Kritik tersebut meliputi kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern adalah kritik terhadap sisi luar sumber, yaitu kritik fisik untuk menilai keaslian sumber. Adapun objek kritik diantaranya yaitu sampul, jenis kertas, jenis font, jenis tinta, waktu, zaman, cap, peneliti dokumen, waktu dibuatnya dokumen maupun penerbit dokumen.
16Dalam kritik intern peneliti berusaha melakukan kritik fisik terhadap buku-buku yang merupakan sumber primer yaitu Sekapur Sirih Pesantren Al Iman Magelang karya Yunus Muhammad Hadi dan skripsi “Ustadz Yunus
Alwan dan Pondok Pesantren Al Iman Patosan dalam Pengembangan Islam di Muntilan 1942-1986” karya Heetik Susilowati, dan beberapa sumber sekunder lain untuk menilai keaslian sumber. Selain itu peneliti juga melakukan kritik terhadap narasumber dengan meneliti usia, kaitan dengan objek kajian, serta posisi atau jabatan pada kurun waktu penelitian.
16
Basri, Metode Penelitian Sejarah: Pendekatan, Teori, dan Praktik (Jakarta: Restu Agung,
2006), hlm. 69.
16
Kritik intern adalah kritik terhadap isi sumber tersebut. Kritik ini dilakukan untuk memastikan kekredibilitasan sumber, dengan mempersoalkan isi sumber dan tujuan penelitian sumber dengan menyelami akal pikiran pengarang, kondisi mental dan keyakinannya.
Pada prinsipnya kritik internal bermaksud untuk mengetahui “apa” dan
“bagaimana” isi kandungan sumber tersebut. Selain untuk mengetahui tujuan pengarang menulis sumber tersebut.
17Dalam kritik ini peneliti berusaha menelaah bagaimana isi dari buku-buku ataupun percakapan hasil wawancara dengan narasumber untuk mengetahui inti dan maksud dari informasi yang terkandung didalamnya.
17
Ibid., hlm. 72.
17
3. Interpretasi
Tahap interpretasi merupakan tahap penafsiran setelah dilakukannya kritik terhadap sumber-sumber yang diperoleh. Interpretasi dilakukan setelah menguji sumber-sumber yang terkumpul. Pengujian ini dilakukan berdasarkan pendekatan yang digunakan dan mengubungkannya dengan sumber-sumber lain yang diperoleh. Penafsiran yang peneliti lakukan berdasarkan teori fungsionalisme Emile Durkheim dan pendekatan sosiologis. Berdasarkan teori fungsionalisme maka peneliti akan menafsirkan bagaimana peran instansi baik itu pesantren, pemerintahan, maupun organisasi lain terhadap masyarakat sekitarnya, begitu pula sebaliknya. Setelah meneliti peran masing-masing, maka nanti dapat ditarik kesimpulan apakah elemen-elemen tersebut telah menjalankan perannya masing-masing sehingga tercipta kondisi yang sedemikian rupa atau justru sebaliknya, ada yang lebih dominan diantara elemen-elemen tersebut. Peneliti juga menganalisis bagaimana dampak pesantren terhadap masyarakat sekitar berdasarkan pendekatan sosiologis.
4. Historiografi
Historiografi adalah penelitian, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang dilakukan dari awal sampai akhir secara kronologis.
18Setelah melakukan kritik terhadap sumber primer maupun
18