1 1.1. Latar Belakang Masalah
Pemerintah merupakan organisasi sektor publik yang mempunyai tanggung jawab mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan barang dan layanan publik. Selama ini pemerintah dianggap gagal dalam memenuhi tanggung jawabnya (Jones dan Kettl, 2003). Pemerintah dianggap tidak efisien dan tidak efektif karena terlalu birokratis, tidak peka terhadap kebutuhan publik, dan keberadaannya bukan untuk melayani publik melainkan ingin dilayani oleh publik.
Meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap gagasan baru mengenai manajemen sektor publik, melalui penggunaan alat-alat manajemen dari sektor swasta (Harun, 2009), memunculkan tuntutan yang semakin tinggi atas akuntabilitas instansi pemerintah. Masyarakat menuntut pemerintahan yang transparan dan akuntabel (Mardiasmo, 2004) baik secara finansial maupun kinerja.
Tuntutan masyarakat mendorong pemerintah untuk mengubah kebijakannya
yang semula berorientasi pada input menjadi pemerintahan yang berorientasi pada
hasil (result oriented government). Berorientasi pada input artinya program kerja
disusun berdasarkan ketersediaan dana yang berhasil dihimpun, bukan
berdasarkan kebutuhan publik. Kemampuan pemerintah dalam membelanjakan
seluruh dana yang berhasil dihimpun untuk menjalankan program dianggap
sebagai suatu bentuk pengukuran kinerja. Friedman (2009) menganggap kondisi
semacam ini sebagai salah satu bentuk kebangkrutan. Inilah yang menyebabkan pemerintah gagal dalam memenuhi tuntutan akuntabilitas publik.
Suatu bentuk pengukuran kinerja diperlukan untuk mengetahui peningkatan akuntabilitas instansi pemerintah. Pengukuran kinerja digunakan untuk menilai pencapaian kinerja dan memberikan gambaran tentang keberhasilan atau kegagalan pencapaian tujuan dan sasaran. Hal tersebut dapat dilakukan melalui beberapa cara, misalnya pengukuran atas proses atau aktivitas, pengukuran atas output, dan/atau pengukuran atas outcome (Propper dan Wilson, 2003; Hoque,
2008). Pemerintahan yang berorientasi pada hasil akan fokus pada outcome apa yang bisa membuat keadaan atau kondisi publik menjadi lebih baik, bukan hanya sekedar melakukan aktivitas dan menghasilkan output. Pengukuran kinerja berbasis outcome merupakan hal yang paling utama karena secara langsung menggambarkan pencapaian tujuan (Shah, 2007).
Salah satu masalah dalam pengukuran kinerja adalah adanya credit trap.
Credit trap adalah keinginan pegawai atau bawahan untuk dihargai atau dinilai
berdasarkan apa yang mereka kerjakan (Friedman, 1997). Fokus kinerja ada pada
pertanyaan: “Berapa banyak yang sudah diselesaikan?”. Kinerja hanya diukur
berdasarkan kuantitas pekerjaan. Ini berarti kinerja hanya sebatas mengukur
aktivitas dan keluaran (output), belum pada outcome atau dampak (effect) dari
aktivitas yang dikerjakan. Menurut change-agent model of service, pengukuran
semacam ini dikategorikan sebagai effort (upaya) karena kegiatan ini bertujuan
memicu perubahan pada kondisi klien (Friedman, 2009).
Friedman (1997) menyarankan penggunaan four quadrant analysis sebagai metode yang dapat digunakan untuk mengetahui orientasi dari ukuran kinerja, apakah berorientasi pada effort (upaya) atau pada effect (dampak). Friedman’s four quadrant analysis mengombinasikan dua perspektif dalam pengukuran
kinerja, yaitu kuantitas (quantity) dan kualitas (quality) atas upaya (effort) dan dampak (effect). Hasil kombinasi tersebut menghasilkan klasifikasi ukuran kinerja dalam empat kuadran yang terdiri dari kuantitas upaya (quantity of effort), kualitas upaya (quality of effort), kuantitas dampak (quantity of effect), dan kualitas dampak (quality of effect).
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah menjadi langkah awal reformasi pengelolaan administrasi sektor publik di Indonesia. Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah menjadi wujud pertanggungjawaban instansi pemerintah dalam mencapai misi dan tujuan organisasi terhadap masyarakat. Dalam pelaksanaannya akuntabilitas kinerja ini mengembangkan sistem pelaporan yang meliputi indikator, metode, cara kerja pengukuran dan tata cara pelaporan kinerja instansi pemerintah.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan akuntabilitas juga dilakukan melalui
peningkatan kualitas pelayanan publik. Peningkatan kualitas pelayanan ini
diwujudkan dengan menetapkan standar pelayanan dan transparansi yang juga
berfungsi untuk meniadakan perilaku koruptif di dalam pemerintahan. Ketentuan
tersebut diatur dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004
tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Penetapan standar pelayanan, dalam
kaitannya dengan penetapan kinerja, mewajibkan setiap instansi untuk menetapkan indikator dan target kinerja. Akuntansi sektor publik dalam proses penetapan kinerja menyediakan informasi bagi pemerintah dalam mengelola sektor publik mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap pertanggungjawaban. Informasi akuntansi dibutuhkan terutama untuk menetapkan indikator kinerja yang menjadi sarana mengukur kinerja pemerintah dalam tahap pertanggungjawaban (Mardiasmo, 2004).
Pejabat atau aparat instansi pemerintah dan stakeholders hendaknya memiliki pemahaman yang sama atas indikator kinerja yang digunakan oleh instansi pemerintah (Mahsun, 2013). Adanya pemahaman yang sama oleh semua pihak yang berkepentingan diharapkan dapat membentuk kesamaan interpretasi dalam menilai keberhasilan pencapaian tujuan suatu instansi pemerintah. Bagi pihak internal pemerintah, indikator kinerja digunakan untuk mengidentifikasi dan mengukur capaian kinerjanya (Mahsun, 2013). Indikator kinerja ini menjadi pedoman bagi pemerintah untuk mengambil keputusan dalam rangka identifikasi dan perbaikan atas layanan yang mereka berikan. Indikator kinerja juga dapat digunakan oleh pihak eksternal untuk mengawasi kinerja pemerintah sekaligus untuk menilai akuntabilitas pemerintah terhadap publik (Mardiasmo, 2004).
Untuk menilai keberhasilan tersebut para pemangku kepentingan (stakeholders) memerlukan indikator kinerja yang sesuai dengan apa yang diukur dan dapat dimengerti (Mahsun, 2013).
Indikator kinerja harus valid agar dapat digunakan dalam pengukuran
kinerja dan memonitor perkembangan pelaksanaan program atau kegiatan. Suatu
ukuran dikatakan valid atau benar jika secara tepat mampu merepresentasikan fenomena yang ingin digambarkan atau jelaskan (Hammersley, 1987). Validitas indikator kinerja dapat diuji dengan menggunakan kriteria SMART (specific, measurable, achievable, relevant, dan timed). Australian National Audit Office
(ANAO) merekomendasikan penggunaan kriteria SMART dalam mengevaluasi indikator kinerja 89 program pada 50 entitas General Government Sector (GGS) pada tahun 2011-2012. Kriteria SMART adalah alat diagnostik untuk menilai apakah indikator kinerja telah menggambarkan efektivitas kinerja (ANAO, 2012).
Evaluasi secara periodik diperlukan untuk menjaga agar indikator-indikator tersebut tetap sesuai dengan misi, sasaran, dan tujuan yang telah ditetapkan.
Evaluasi atas indikator kinerja merupakan kewajiban bagi pimpinan masing- masing instansi. Namun, pemerintah juga mengatur evaluasi atas akuntabilitas kinerja yang dilakukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN & RB).
Evaluasi oleh aparat pengawas eksternal pemerintah dilakukan dalam
rangka mewujudkan konsensus antara pemerintah dengan stakeholders. Aparat
pengawasan eksternal merupakan pihak independen yang dapat menjamin
keandalan informasi dalam laporan akuntabilitas (Rai, 2011). Evaluasi tersebut
dapat dilakukan melalui audit kinerja (performance audit). Audit kinerja terhadap
pemerintah bertujuan menilai kinerja pemerintah dari aspek ekonomi, efisiensi,
dan efektivitas. Rekomendasi hasil audit kinerja dapat digunakan untuk
meningkatkan akuntabilitas publik, salah satunya melalui perbaikan indikator
kinerja (Rai, 2011).
Indikator kinerja utama (IKU) di lingkungan instansi pemerintah disusun dan ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/09/M.PAN/5/2007 tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama di Lingkungan Instansi Pemerintah dan Nomor PER/20/M.PAN/11/2008 tentang Petunjuk Penyusunan Indikator Kinerja Utama.
Peraturan tersebut menetapkan kriteria indikator kinerja yang baik dan cukup memadai bagi pengukuran kinerja instansi pemerintah. Pengembangan IKU pada masing-masing instansi pemerintah diatur lebih lanjut oleh pimpinan instansi pemerintah yang bersangkutan dengan berpedoman kepada peraturan menteri tersebut.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah salah satu instansi pemerintah yang wajib melaksanakan peraturan pemerintah mengenai akuntabilitas kinerja.
Sebagai salah satu instansi pemerintah yang memiliki tanggung jawab menghimpun penerimaan negara, DJP telah menerapkan pengelolaan kinerja dengan alat manajemen kinerja berupa balanced scorecard (BSC) sejak tahun 2007. Pengelolaan kinerja berbasis BSC terus dikembangkan dan terakhir diatur melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 105/PJ/2012 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut mengembangkan pengelolaan kinerja organisasi dan pegawai yang meliputi kontrak kinerja, indikator kinerja utama, mekanisme penghitungan nilai kinerja, dan pengawasan serta evaluasi kinerja.
DJP memegang peranan penting dalam menghimpun penerimaan negara.
Penerimaan pajak merupakan sumber pendanaan utama dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN-Perubahan tahun 2013 bahkan menargetkan penerimaan pajak yang berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN &
PPnBM) sebesar 35,9% dan 28,2% dari total rencana penerimaan sebesar Rp1.502.005.024.993.000,00 (satu kuadriliun lima ratus dua triliun lima miliar dua puluh empat juta sembilan ratus sembilan puluh tiga ribu rupiah).
Tabel 1.1. Anggaran Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2013 (dalam miliar rupiah)
Uraian 2013
Rp %
I. Penerimaan Dalam Negeri 1,497,521.4 99.7%
1. Penerimaan Pajak 1,148,364.7 76.5%
a. Pajak dalam Negeri 1,099,943.6 73.2%
i. Pajak Penghasilan 538,759.9 35.9%
ii. Pajak Pertambahan Nilai 423,708.3 28.2%
iii. Pajak Bumi dan Bangunan 27,343.8 1.8%
iv. BPHTB - 0.0%
v. Cukai 104,729.7 7.0%
vi. Pajak Lainnya 5,402.0 0.4%
b. Pajak Perdagangan Internasional 48,421.1 3.2%
i. Bea Masuk 30,811.7 2.1%
ii. Bea Keluar 17,609.4 1.2%
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 349,156.7 23.2%
a. Penerimaan Sumber Daya Alam 203,730.0 13.6%
b. Bagian Laba BUMN 36,456.5 2.4%
c. PNBP Lainnya 85,471.5 5.7%
d. Pendapatan BLU 23,498.7 1.6%
II. Hibah 4,483.6 0.3%
Pendapatan Negara dan Hibah 1,502,005.0 100.0%
Sumber: diolah dari UU Nomor 15 tahun 2013
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Semarang Barat, sebagai salah satu
ujung tombak DJP dalam melaksanakan tanggung jawab menghimpun
penerimaan negara harus memiliki kinerja yang optimal. Kinerja KPP Pratama
Semarang Barat diukur menggunakan IKU yang ditetapkan berdasarkan
perspektif BSC.
Berdasarkan diskusi awal yang dilakukan dengan beberapa pegawai KPP Pratama Semarang Barat ditemukan adanya target IKU yang dianggap tidak achievable (tidak dapat dicapai). Ini menunjukkan bahwa masih ada IKU yang
dianggap tidak menggambarkan kinerja yang sebenarnya. Realisasi penerimaan hasil pemeriksaan tidak bisa mencapai target yang ditetapkan meskipun penyelesaian pemeriksaan telah ditingkatkan. Gambaran perbandingan antara pencapaian penyelesaian pemeriksaan dan penerimaan hasil pemeriksaan disajikan pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2. Pencapaian Target Penerimaan dari Hasil Pemeriksaan No. Tahun
Penyelesaian Pemeriksaan
Penerimaan Hasil Pemeriksaan Target Realisasi Target Realisasi
1. 2012 80% 139,01% 100% 5,84%
2. 2013 80% 134,66% 100% 66,22%
Sumber: Nilai Kinerja Organisasi (NKO) tahun 2012 dan 2013.
Selain itu dikatakan bahwa IKU yang digunakan sebagian besar digunakan untuk mengukur aktivitas. Hal ini ditunjukkan dengan IKU yang menggunakan kalimat yang menunjukkan aktivitas, misalnya “penyelesaian kegiatan”,
“penyusunan laporan”, “pemenuhan atas permintaan”, “tindak lanjut pemanfaatan data”, dan “pengemasan dokumen”. Untuk menguji kebenaran informasi tersebut, penelitian ini mencoba untuk mengevaluasi IKU pada KPP Pratama Semarang Barat menggunakan kriteria SMART dan Friedman’s four quadrant analysis.
1.2. Rumusan Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini berdasarkan uraian di atas adalah sebagai
berikut:
1. Diskusi awal yang dilakukan menunjukkan masih ada IKU KPP Pratama Semarang Barat yang dianggap tidak achievable. IKU yang tidak achievable ini dianggap tidak dapat menggambarkan kinerja yang sebenarnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi terhadap IKU yang digunakan oleh KPP Pratama Semarang Barat baik terhadap yang dianggap tidak achievable maupun terhadap IKU yang lain.
2. Sebagian besar IKU digunakan untuk mengukur aktivitas yang dilakukan.
IKU yang baik seharusnya berorientasi pada hasil (outcome). Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi terhadap orientasi IKU yang digunakan.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian berdasarkan rumusan masalah di atas adalah:
1. Bagaimana validitas indikator kinerja utama yang digunakan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Semarang Barat?
2. Apakah indikator kinerja utama pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Semarang Barat telah berorientasi pada hasil?
1.4. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan validitas indikator kinerja utama pada KPP Pratama Semarang Barat dalam menggambarkan kinerja yang sebenarnya melalui identifikasi kesesuaian indikator kinerja utama dengan kriteria SMART.
2. Menjelaskan orientasi indikator kinerja utama pada Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Semarang Barat dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan
dengan menggunakan four quadrant analysis.
1.5. Batasan dan Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada indikator kinerja utama yang digunakan untuk menilai kinerja KPP Pratama Semarang Barat pada tahun 2013. Lingkup IKU yang dievaluasi adalah IKU pada level unit eselon III dan level unit kerja di dalamnya, yaitu unit eselon IV dan Kelompok Jabatan Fungsional. Penelitian ini tidak mencakup IKU pada tingkat individu atau pegawai.
1.6. Motivasi Penelitian
Motivasi penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran secara ilmiah terhadap penetapan dan pengembangan IKU pada instansi pemerintah khususnya bagi unit-unit kerja di lingkungan DJP.
1.7. Kontribusi Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi praktis dan keilmuan sebagai berikut:
1. Kontribusi Praktis
Kontribusi praktis diharapkan dapat diimplementasikan secara langsung dalam sistem pengelolaan kinerja. Kontribusi bagi DJP adalah agar dapat mengembangkan IKU yang ideal, yang mampu menggambarkan kinerja yang sebenarnya dan berorientasi pada hasil dengan menggunakan four quadrant analysis.
2. Kontribusi Keilmuan
Sebagai bahan referensi bagi penelitian dalam bidang pengukuran
kinerja pada instansi pemerintah, serta memperkuat penelitian sebelumnya
berkenaan dengan penggunaan four quadrant analysis dalam evaluasi indikator kinerja.
1.8. Proses Penelitian
Proses penelitian yang dilakukan digambarkan melalui tahapan-tahapan dalam skema berikut:
Gambar 1.1. Proses Penelitian 1.9. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan disajikan dalam empat bab sebagai berikut:
BAB 1 : PENDAHULUAN
Pendahuluan memuat latar belakang pemilihan judul Evaluasi Indikator Kinerja Utama pada KPP Pratama Semarang Barat, rumusan permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, batasan dan lingkup, motivasi penelitian, kontribusi penelitian, dan proses penelitian.
BAB 2 : TINJAUAN LITERATUR
Tinjauan literatur memuat landasan teoretis sebagai kerangka berpikir untuk melakukan evaluasi dan menganalisis temuan investigasi kasus
Perencanaan:
Menentukan topik
Diskusi awal
Identifikasi pertanyaan penelitian
Desain:
Menentukan
unit analisis
Teori yang berkaitan
Desain riset
Pengumpulan Data:
Dokumentasi
Wawancara
Kuesioner
Analisis:
Evaluasi menggunakan SMART dan four quadrant approach
Analisis deskriptif
Laporan:
Menulis Laporan