• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak

Salah satu sumber penerimaan negara yang terbesar adalah dari pajak, dimana dana tersebut digunakan untuk membiayai berjalannya roda pemerintahan dan pembangunan yang berguna bagi kepentingan masyarakat. Dalam penerimaan pajak dari masyarakat, pemerintah pada dasarnya menganut sistem self assessment, yaitu jumlah pajak yang terutang dihitung, disetor dan dilaporkan sendiri oleh wajib pajak melalui Surat Pemberitahuan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau terlambat disampaikan oleh wajib pajak setelah ditegur secara tertulis, atau apabila wajib pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap akan diterbitkannya Surat ketetapan pajak kurang bayar / kurang bayar tambahan beserta sanksi administratif (official assessment).

Ada baiknya kita simak dahulu pengertian pajak yang dikemukan oleh para ahli dalam bidang perpajakan yang memberi definisi berbeda namun pada dasarnya mempunyai inti yang sama, antara lain:

1. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani yang dikutip dalam buku “Perpajakan Indonesia: menyatakan:

“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat

(2)

prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan”.(Waluyo, 2002:4)

2. Menurut Prof. Dr. Rachmat Soemitro, S.H. yang dikutip dalam buku

“Perpajakan Indonesia” menyatakan:

“Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditujukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” (Waluyo, 2002:5)

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur:

1. Iuran dari rakyat kepada negara.

Pihak yang berhak memungut pajak hanyalah Negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).

2. Berdasarkan undang-undang.

Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.

3. Dapat dipaksakan.

Artinya bila pajak tidak dibayar, pajak itu dapat ditagih dengan menggunakan paksaan (misalnya dengan surat paksa) dan bila kewajiban perpajakan ini tidak dipenuhi dengan tepat dan benar, maka akan dikenakan sanksi-sanksi, baik sanksi administrasi maupun pidana.

(3)

4. Tanpa jasa timbal (kontraprestasi) dari Negara yang secara langsung dapat ditunjuk.

Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.

5. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran- pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Seperti diuraikan di atas, pajak bersifat dapat dipaksakan dan tanpa jasa timbal yang langsung dapat ditunjuk. Hal ini menyebabkan banyak orang tidak senang membayar pajak. Mereka berusaha agar pajak dibayar sekecil mungkin, kadang-kadang wajib pajak melakukan usaha-usaha penyelundupan pajak.

Penyelundupan pajak ini melanggar undang-undang dan peraturan pemerintah.

Bagaimanapun juga, pajak tetap harus dibayar dan penyelundupan pajak harus dihindari. Pajak akan mengurangi laba bersih perusahaan dan pembayaran pajak akan mengurangi likuiditas perusahaan. Padahal manajemen perusahaan bertujuan menghasilkan laba sebesar-besarnya dan menjaga likuiditas perusahaan tetap baik.

Dengan demikian, pajak tetap merupakan biaya bagi perusahaan. Tetapi jika perusahaan tidak membayar pajak atau melakukan penyelundupan pajak untuk memperkecil jumlah pajak yang dibayar, maka perusahaan akan menghadapi masalah dan kerugian-kerugian, misalnya terkena sanksi atau denda. Akibatnya perusahaan akan membayar jumlah pajak yang sangat besar dan menghamburkan sumber daya perusahaan yang tidak sedikit. Hal ini tidak perlu terjadi jika pajak perusahaan direncanakan dengan baik.

(4)

Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dapat terlihat dua fungsi pajak yaitu:

1. Fungsi Budgetair

Pajak berfungsi sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.

2. Fungsi Mengatur (Regulerend)

Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

2.2 Pajak Penghasilan

Dasar hukum pajak penghasilan adalah Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 tahun 2000, menyebutkan bahwa yang menjadi dasar objek pajak penghasilan dalam pasal 4 adalah sebagai berikut :

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu: setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

(Undang-undang No. 17, 2000: pasal 4)

Termasuk dalam pengertian penghasilan tersebut adalah:

a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, komisi, bonus atau gratifikasi, uang pensiunan, honorarium atau imbalan dalam bentuk lainnya.

(5)

b. Hadiah dari undian, pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan karena suatu prestasi.

c. Laba usaha.

d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk:

1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

2. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota;

3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemeliharaan, pemekaran, pemecahan, atau pemgambilan usaha;

4. Keuntungan karena hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai beban.

f. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan lain karena jumlah pengembalian hutang.

g. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan oleh perseoran, pembayaran dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada pengurus dan kepada anggota.

(6)

h. Royalty.

i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.

k. Keuntungan karena pembebasan hutang.

l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.

m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.

n. Premi asuransi.

o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, sepanjang iuran tersebut ditentukan berdasarkan volume kegiatan usaha atau pekerjaan bebas anggotanya.

p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.

Tetapi ada pula penghasilan yang diterima oleh wajib pajak yang tidak termasuk sebagai objek pajak, sehingga terhadapnya tidak dipungut pajak penghasilan. Hal-hal yang tidak termasuk sebagai objek pajak adalah sebagai berikut:

a. Bantuan dan sumbangan, dan harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang berkepentingan.

(7)

b. Warisan, adanya tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh karena adanya pembagian warisan.

c. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwi guna, dan asuransi bea siswa. Hal ini sebagai imbalan terhadap ketentuan bahwa premi asuransi jiwa, kesehatan dwi guna, dan asuransi bea siswa tidak boleh dikurangkan terhadap penghasilan, kecuali bagi pemberi kerja yang menanggung premi asuransi karyawannya.

d. Penggantian berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura atau kenikmatan, dengan ketentuan bahwa yang memberikan penggantian adalah pemerintah atau wajib pajak dan yang memberikan penggantian tersebut tidak boleh mengurangkan penggantian tersebut sebagai beban. Dengan demikian kalau yang memberikan kenikmatan atau natura tersebut bukan wajib pajak, misalnya kantor kedutaan negara asing, maka kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pihak yang menerimanya.

e. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh perseroan, persekutuan atau badan lainnya sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.

f. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perseroan terbatas dalam negeri, selain bank atau lembaga keuangan lainnya, dari perseroan lainnya di Indonesia dengan syarat:

● Bahwa perseroan yang menerima dividen tersebut paling sedikit memiliki 25% (dua puluh lima persen) dari nilai saham yang disetor dari badan yang membayar dividen.

(8)

● Kedua badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dalam jalur usahanya (misalnya antara badan yang berusaha dalam bidang pembuatan roti dengan badan perusahaan dalam pengadaan terigu).

g. Iuran yang diterima oleh “Badan Dana Pensiun” yang pembentukannya telah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan, baik yang dibayar secara berkala atau sekaligus oleh pemberi kerja maupun oleh wajib pajak sendiri, tidak termasuk penghasilan yang dikenakan pajak. Demikian pula penghasilan dana pensiun serupa dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu berdasarkan keputusan Menteri Keuangan, yaitu:

● Deposito berjangka pada bank pemerintah.

● Tanah dan bangunan

● Saham yang diperdagangkan di bursa

● Sertifikat saham dan sertifikat dana yang diperdagangkan di luar bursa.

● Obligasi yang dikeluarkan oleh BUMN.

h. Penghasilan yayasan dari usaha semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum.

i. Penghasilan yayasan dari modal yang ditanamkan di luar kegiatannya semata- mata untuk kepentingan umum.

j. Pembagian keuntungan dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, firma dan persekutuan kepada para anggotanya, kecuali ditetapkan oleh Menteri Keuangan, karena terdapat penyalahgunaan sehingga merugikan keuangan negara.

k. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana.

(9)

l. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan ventura berupa bagian laba dari bagian pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

● Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

● Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia.

2.2.1 Perhitungan Penghasilan Kena Pajak

Untuk menghitung besarnya pajak penghsilan yang terhutang, maka terlebih dahulu harus dihitung besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang menjadi dasar penerapan tarif pajak penghasilan. Tetapi untuk mendapatkan nilai Penghasilan Kena Pajak, kita harus mengetahui beban-beban yang dapat dikurangkan menurut fiskal.

Beban-beban ini digunakan untuk memperoleh penghasilan dan bisa mengurangi Penghasilan Kena Pajak. Selain itu, ada pula beban-beban yang tidak boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak. Kita harus mengetahui kedua macam beban tersebut untuk melakukan perencanaan pajak yang baik dan tidak melakukan penyelundupan pajak.

Jadi, besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi :

a. Beban untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk beban pembelian bahan, beban berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang

(10)

diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalty, beban perjalanan, beban pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan.

b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan beban lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.

c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.

e. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing.

f. Beban penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.

g. Beban bea siswa, magang dan pelatihan.

h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:

● Telah dibebankan sebagai beban dalam laporan laba rugi komersial.

● Telah diserahkan perkaranya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan.

● Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus.

(11)

● Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Apabila penghasilan bruto sesudah dikurangi beban sebagaimana tersebut di atas didapat kerugian, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

Untuk menentukan besarnya Penghasilan kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:

a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.

c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan beban reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwi guna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.

(12)

e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.

g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

h. Pajak Penghasilan.

i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.

j. Gaji yang dibayarkan kepada persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.

k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

(13)

2.2.2 Tarif Pajak

Tarif yang dipergunakan di Indonesia sebagaimana diatur oleh UU PPh pasal 17 tahun 2000, dimana bagi wajib pajak pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut : 1. Lapisan penghasilan kena pajak sampai dengan Rp. 25.000.000,- dengan tarif 5%.

2. Lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp. 25.000.000,- sampai dengan Rp.

50.000.000,- dengan tarif 10%.

3. Lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp. 50.000.000,- sampai dengan Rp.

100.000.000,- dengan tarif 15%.

4. Lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp. 100.000.000,- sampai dengan Rp.

200.000.000,- dengan tarif 25%.

5. Lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp. 200.000.000,- dengan tarif 35%.

Sedangkan untuk wajib pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap adalah sebagai berikut:

1. Lapisan penghasilan kena pajak sampai dengan Rp. 50.000.000,- dengan tarif 10%.

2. Lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp. 50.000.000,- sampai dengan Rp.

100.000.000,- dengan tarif 15%.

3. Lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp. 100.000.000,- dengan tarif 30%.

Dalam melakukan tax planning, tarif pajak rata-rata yang ditanggung perusahaan diusahakan seminimal mungkin. Karena tarif pajak di Indonesia bersifat progresif, maka untuk meminimalkan beban pajak adalah dengan mengusahakan penghasilan

(14)

kena pajak perusahaan tidak termasuk kelas penagihan yang bertarif tinggi.Hal ini dapat dilakukan dengan cara:

1. Menyebarkan penghasilan menjadi penghasilan dari beberapa wajib pajak (misalnya dengan mendirikan perusahaan baru). Bisa juga dengan menyebar penghasilan ke beberapa tahun.

2. Mengusahakan agar terdapat penghasilan yang stabil untuk menghindarkan pengenaan pajak dari kelas penagihan yang tarifnya tinggi.

Tetapi perencanaan pajak dengan cara pertama akan menyebabkan masalah lain, misalnya dalam mendirikan perusahaan baru akan mengakibatkan membesarnya beban overhead yang terjadi. Seringkali beban overhead ini malah jauh lebih besar daripada penghematan pajaknya. Karena itu, perencanaan pajak dengan cara ini sulit dilakukan. Sedangkan pada cara kedua terdapat banyak kendala, yaitu perusahaan sukar untuk menjaga supaya penghasilan stabil, karena fluktuasi penghasilan sering tidak terduga dan dipengaruhi oleh berbagai faktor non ekonomis.

2.2.3 Pajak Penghasilan Pasal 21

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 merupakan Pajak Penghasilan yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Dalam Negeri.

Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah :

(15)

1. Pemberi kerja terdiri dari orang pribadi dan badan, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainnya dengan nama apa pun

2. Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan

3. Dana pensiun badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun, Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua

4. Perusahaan, Badan dan bentuk Usaha Tetap yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan, jasa

5. Perusahaan, Badan dan bentuk Usaha Tetap yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak Luar Negeri

6. Yayasan, lembaga, kepanitiaan, asosiasi, perkumpulan dan organisasi masa, organisasi sosial politik dan organisasi lainnya sebagai pembayar gaji, upah, honorarium, atau imbalan dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi.

7. Perusahaan, badan dan bentuk usaha tetap yang membayarkan honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan

(16)

8. Penyelenggara kegiatan yang membayar honorarium, hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi Dalam Negeri berkenaan dengan suatu kegiatan

Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah:

a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah honorarium, premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transport, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan, bea siswa, hadiah, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa

produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan dan penghasilan sejenis lainnya yang bersifat tidak tetap

c. Upah harian, upah mingguan, upah satuan dan upah borongan

● Upah harian adalah terutang atau dibayarkan atas dasar jumlah dari hari kerja

● Upah mingguan adalah upah yang terutang atau dibayarkan secara mingguan

● Upah satuan adalah upah terutang atau yang dibayarkan atas dasar banyaknya satuan yang dihasilkan

● Upah borongan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar penyelesaian pekerjaan tertentu

d. Uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, uang pesangon, dan pembayaran lainnya yang sejenis

(17)

e. Honorarium, uang saku, hadiah, atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri

f. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait gaji yang diterima oleh pejabat negara, PNS serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda, atau duda, dan atau anak-anaknya

g. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak.

Penghasilan yang tidak dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah:

1. Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwi guna, asuransi bea siswa

2. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan yang diberikan oleh pemerintah 3. Iuran pensiun yang diberikan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah

disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja

4. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh pemerintah

5. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja

6. Penghasilan yang dibayarkan kepada Pegawai Negeri Sipil golongan IId dan anggota TNI/ Polri berpangkat Pembantu Letnan Satu ke bawah atau Ajun Inspektur Tingkat Satu ke bawah

(18)

7. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah

Pajak Penghasilan Pasal 21 Yang Ditanggung Oleh Pemerintah 1. Menurut KMK No.70/KMK.03/2003 tanggal 17 Februari 2003

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:

1. Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan dan pembayaran lainnya bagi pekerja dan keluarganya.

2. Upah Minimum Propinsi adalah upah minimum yang berlaku untuk seluruh Kabupaten/ Kota di satu propinsi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat.

3. Upah Minimum Kabupaten/Kota adalah upah minimum yang berlaku di daerah Kabupaten/ Kota yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat.

4. Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja didalam lingkungan kerja pada pengusaha dengan menerima upah hanya dari satu pemberi kerja yang tidak menduduki jabatan struktural atau fungsional dalam unit organisasi atau perusahaan dan tidak memperoleh penghasilan lain dari usaha, tidak termasuk tenaga kerja asing, tenaga ahli, dan tenaga profesi.

(19)

5. Pengusaha adalah pemberi kerja yang terdiri dari orang atau badan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang melakukan kegiatan usaha yang mempekerjakan pekerja dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak, baik milik swasta maupun milik Negara atau Pemerintah Daerah.

7. Undang-undang Pajak Penghasilan adalah Undang-undang No.7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang No.17 Tahun 2000.

Pasal 2

(1) Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh pekerja, dihitung dari penghasilan neto untuk pegawai tetap dan penghasilan bruto untuk pegawai tidak tetap, setelah dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dengan menerapkan tarif pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan.

(2) Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh Pemerintah adalah sebesar Pajak Penghasilan atas penghasilan sampai dengan sebesar Upah Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/ Kota setelah dikurangi dengan PTKP.

(3) Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atas penghasilan pekerja adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terhutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

(20)

Pasal 3

Apabila di suatu daerah terdapat Upah Minimum Propinsi dan Upah Minimum Kabupaten/ Kota, maka yang digunakan sebagai dasar perhitungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) adalah Upah Minimum Kabupaten/ Kota.

Pasal 4

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan ini ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 5

Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan No.42/KMK.03/2002 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Yang Diterima Oleh Pekerja Sampai Dengan Sebesar Upah Minimum Propinsi Atau Upah Minimum Kabupaten/ Kota, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 6

Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 2 Januari 2003.

Contoh Penghitungan:

1. Rachmat adalah pegawai tidak tetap di PT Bella Nisa Utama yang berlokasi di Provinsi Lampung. Rachmat belum menikah menerima penghasilan sebesar Rp 600.000,- sebulan. Misalkan UMP di Lampung sebesar Rp 350.000,-

(21)

sebulan. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terhutang, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung Pemerintah, dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong oleh pemberi kerja adalah sebagai berikut:

* Pajak Penghasilan Pasal 21 terhutang:

Penghasilan sebulan Rp 600.000,- PTKP (TK/-) sebulan Rp 240.000,-

Penghasilan Kena Pajak Rp 360.000,- Pajak Penghasilan Pasal 21 Rp 18.000,- (5% x Rp 360.000,-)

* Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah:

UMP (Lampung) sebulan Rp 350.000,- PTKP (TK/-) sebulan Rp 240.000,-

Penghasilan yang PPh-nya

Ditanggung Pemerintah Rp 110.000,-

(5% x Rp 110.000,-) Rp 5.500,-

* Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong Rp 12.500,-

Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar Rp 12.500,- dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh pemberi kerja.

2. Ivan Widodo, sudah menikah dan belum punya anak pada bulan Januari 2003 bekerja selama 16 hari kerja pada PT Sita Dewi Utama di Jakarta dengan menerima upah sebesar Rp 40.000,- per hari. UMP di Jakarta sebesar Rp 631.000,- sebulan.

(22)

* Pajak Penghasilan Pasal 21 terhutang:

Penghasilan per hari Rp 40.000,00- Penghasilan sehari di atas sepersepuluh UMP

(Rp 40.000,- – Rp 63.100,-) Rp Nihil

Tidak ada Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong, karena Penghasilan harian di bawah sepersepuluh UMP/UMK.

Pada hari ke-16 dalam bulan takwim yang bersangkutan, Ivan Widodo telah menerima penghasilan melebihi Rp 631.000,- yaitu Rp 40.000,- x 16 = Rp 640.000,-. Maka Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan Ivan Widodo dihitung sebagai berikut:

* Pajak Penghasilan Pasal 21 terhutang:

Penghasilan 16 hari Rp 640.000,-

PTKP 16 hari 16 x (Rp 4.320.000,-/360) Rp 192.000,- Penghasilan terhutang Pajak Penghasilan Pasal 21 Rp 448.000,-

Pajak Penghasilan Pasal 21 (5% x Rp 448.000,-) Rp 22.400,-

* Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah UMP 16 hari :

{16 x (Rp 631.000,-/30)} Rp 336.533,- PTKP 16 hari :

16 x (Rp 4.320.000,-/360) Rp 192.000,- Penghasilan yang PPh-nya

Ditanggung Pemerintah Rp 144.533,-

Pajak Penghasilan Pasal 21 (5% x Rp 144.000,-) Rp 7.200,-

(23)

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong Rp 15.200,- Pajak Penghasilan Pasal 21 telah dipotong -

sampai dengan hari ke-15 Rp - Pajak Penghasilan Pasal 21 harus dipotong pada –

hari ke-16 Rp 15.200,-

Jumlah penghasilan yang diterima Ivan Widodo pada hari ke-16 sebesar Rp 40.000,- – Rp 15.200,- = Rp 24.800,-.

2. Menurut KMK 486/KMK.03/2003 tanggal 30 Oktober 2003 Pasal 1

(1) Pekerja yang mendapat perlakuan Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh Pemerintah adalah Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang bekerja sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak tetap pada satu pemberi kerja di Indonesia, yang menerima gaji, upah, serta imbalan lainnya dari pekerjaan yang diberikan dalam bentuk uang sampai dengan Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) sebulan.

(2) Pajak Penghasilan yang terutang atas gaji, upah, serta imbalan lainnya dari pekerjaan yang diterima oleh Pekerja sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) sebulan ditanggung oleh Pemerintah.

(3) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dihitung secara bulanan dan tidak disetahunkan.

(24)

Pasal 2

(1) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang oleh Pekerja yang berstatus sebagai pegawai tetap atas penghasilan dari pekerjaan adalah sebesar jumlah penghasilan kena pajak yang dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (3) dikalikan tarif Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan yang berlaku.

(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang oleh Pekerja yang berstatus sebagai pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya atas penghasilan dari pekerjaan adalah sebesar jumlah penghasilan kena pajak yang dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (4) dikalikan tarif Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan yang berlaku.

(3) Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) adalah sebesar Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terhutang oleh Pekerja sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) atas jumlah penghasilan bruto dari pekerjaan sebulan sampai dengan Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).

(4) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong oleh Pemberi Kerja atas penghasilan Pekerja dari pekerjaan adalah sebesar Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terhutang sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh Pemerintah sesuai ketentuan sebagaimana tersebut dalam ayat (3).

(25)

Pasal 3

Pajak Penghasilan yang terutang oleh Pekerja, yang ditanggung oleh Pemerintah, dan yang harus dipotong oleh Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, wajib dilaporkan baik dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Pekerja dan atau dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 Pemberi Kerja sesuai ketentuan umum yang berlaku.

Pasal 4

Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 70/KMK.03/2003 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima oleh Pekerja sampai dengan Sebesar Upah Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/ Kota dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 5

Pemotong Pajak Penghasilan yang terlanjur menerapkan perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 70/KMK.03/2003 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima oleh Pekerja sampai dengan Sebesar Upah Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/ Kota terhitung sejak tanggal 1 Juli 2003 sampai dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan ini, dapat melakukan pembetulan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 atau melakukan penyesuaian perhitungan pada saat membuat SPT Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 dengan melakukan perhitungan kembali Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang setelah Tahun Takwim berakhir, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

(26)

Pasal 6

Ketentuan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaaan Keputusan Menteri Keuangan ini diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 7

Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 Juli 2003.

Contoh Penghitungan:

1. Saefudin adalah pegawai tetap di PT Insan Selalu Lestari. Ia memperoleh gaji beserta tunjangan berupa uang sebulan sebesar Rp 1.400.000,- dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 25.000,- sebulan. Saefudin menikah tetapi belum mempunyai anak (status K/0).

a. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 terhutang:

Gaji dan tunjangan sebulan Rp 1.400.000,- Pengurangan:

Biaya jabatan (5% x Rp 1.400.000,-) Rp 70.000,-

Iuran Pensiun Rp 25.000,-

Rp 95.000,- Penghasilan Neto sebulan Rp 1.305.000,-

Penghasilan Neto setahun 12 x Rp 1.305.000,- Rp 15.660.000,- PTKP setahun:

- untuk WP sendiri Rp 2.880.000,- - tambahan WP kawin Rp 1.440.000,-

Rp 4.320.000,-

Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp 11.340.000,-

(27)

Pajak Penghasilan Pasal 21 terhutang setahun:

5% x Rp 11.340.000,- Rp 567.000,-

Pajak Penghasilan Pasal 21 terhutang sebulan Rp 47.250,-

b. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung oleh Pemerintah:

Penghasilan sebulan ditanggung oleh Pemerintah Rp 1.000.000,- Pengurangan:

Biaya jabatan (5% x Rp 1.000.000,-) Rp 50.000,-

Iuran Pensiun Rp 25.000,-

Rp 75.000,-

Penghasilan Neto sebulan Rp 925.000,-

PTKP sebulan:

- untuk WP sendiri Rp 240.000,- - tambahan WP kawin Rp 120.000,-

Rp 360.000,- Penghasilan Kena Pajak sebulan Rp 565.000,- Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah sebulan:

5% x Rp 565.000,- Rp 28.250,-

c. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong oleh Pemberi Kerja

= Rp 47.250,- – Rp 28.250,- = Rp 19.000,-

2. Sudir Gunanto adalah pegawai tetap di PT Jawa Sumatera Cemerlang. Ia memperoleh gaji bulan Desember sebesar Rp 1.200.000,- serta menerima bonus sebulan gaji, yaitu sebesar Rp 1.200.000,- dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 25.000,- sebulan. Sudir Gunanto belum menikah.

(28)

Karena Penghasilan Sudir Gunanto dalam bulan Desember totalnya melebihi Rp 2.000.000,- (gaji Rp 1.200.000,- dan bonus Rp 1.200.000,- sehingga total penghasilan Rp 2.400.000,-) maka seluruh penghasilan Sudir Gunanto pada bulan Desember terhutang Pajak Penghasilan Pasal 21 dan harus dipotong, disetor dan dilaporkan oleh Pemberi Kerja. Dengan demikian pada bulan Desember tersebut tidak ada Pajak Penghasilan yang Ditanggung Pemerintah.

3. Sokhid adalah juga pegawai tetap PT Insan Selalu Lestari. Ia memperoleh gaji beserta tunjangan berupa uang sebulan sebesar 900.000,- dan membayar iuran sebesar Rp 12.500,- sebulan. Sokhid menikah tetapi belum mempunyai anak (status K/0).

Karena penghasilan Sokhid sebulan kurang dari Rp 1.000.000,- sebulan, maka seluruh Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terhutang atas penghasilan tersebut ditanggung oleh Pemerintah.

4. Anuri adalah pegawai tetap PT Dinda Dimana. Ia memperoleh gaji beserta tunjangan berupa uang sebulan Rp 2.050.000,- dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 30.000,- sebulan. Anuri belum menikah (status TK/0).

Karena penghasilan Anuri sebulan lebih dari Rp 2.000.000,- maka seluruh Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terhutang atas penghasilan tersebut harus dipotong oleh Pemberi Kerja.

(29)

5. Rini bulan Agustus 2003 bekerja sebagai buruh harian pada PT Yana Putri Merayu. Ia bekerja selama 6 hari dan menerima upah sehari sebesar Rp 100.000,-. Misalkan Upah Minimum yang berlaku di wilayah Propinsi DKI Jakarta sebesar Rp 631.000,- sebulan. Rini belum menikah (status TK/0).

a. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 terhutang:

Upah sehari Rp 100.000,-

Dikurangi: 1/10 x UMP = 1/10 x Rp 631.000,- Rp 63.100,- Penghasilan Kena Pajak sehari Rp 36.900,- Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang sehari

5% x Rp 36.000,- Rp 1.800,- Jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 terhutang selama 6 hari adalah

6 hari x Rp 1.800,- = Rp 10.800,-

b. Karena jumlah upah yang diterima oleh Rini dalam bulan Agustus 2003 belum melebihi jumlah penghasilan bruto sebesar Rp 1.000.000,- sebulan, maka seluruh Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terhutang atas upah tersebut ditanggung oleh Pemerintah.

6. Eko pada bulan Agustus 2003 bekerja sebagai buruh harian pada PT Dayat Harini Perkasa. Ia bekerja selama 15 hari dan menerima upah sehari sebesar Rp 100.000,-. Misalkan ketentuan Upah Minimum yang berlaku di wilayah Propinsi DKI Jakarta sebesar Rp 631.000,- sebulan . Eko belum menikah (status TK/0).

a. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 terhutang:

Upah sehari Rp 100.000,-

(30)

Dikurangi: PTKP sehari=1/360 x Rp 2.880.000,- Rp 8.000,- Penghasilan Kena Pajak Sehari Rp 92.000,- Pajak Penghasilan Pasal 21 terhutang sehari

5% x Rp 92.000,- Rp 4.600,-

b. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung Pemerintah:

Batas upah sehari yang PPh-nya ditanggung oleh Pemerintah

1/26 x Rp 1.000.000,- Rp 38.462,- Dikurangi:PTKP sehari=1/360 x Rp 2.880.000,- Rp 8.000,- Penghasilan Kena Pajak sehari Rp 30.462,- Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah sehari

5% x Rp 30.000,- Rp 1.500,-

c. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong oleh Pemberi Kerja:

(Rp 4.600,- – Rp 1.500,-) x 15 hari = Rp 46.500,-

2.2.4 Pajak Penghasilan Pasal 23

Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggara kegiatan selain yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terhutang oleh badan pemerintah atau Subjek Pajak Dalam Negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.

Subjek Pajak atau penerima penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap.

(31)

Pemotong Pajak Penghasilan pasal 23 adalah:

a. Badan pemerintah

b. Subjek Pajak badan Dalam Negeri c. Penyelenggara kegiatan

d. Bentuk Usaha Tetap

e. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya

f. Orang pribadi sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 Yang tidak termasuk penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah:

2. Sewa yang dibayarkan atau terhutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi

3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri, Koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah

5. Bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia 1. Penghasilan yang dibayar atau terhutang kepada bank

4. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha

6. Sisa Hasil Usaha Koperasi yang dibayarkan koperasi kepada anggotanya

7. Bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan

(32)

Tarif dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 23 dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1. Sebesar 15% dari jumlah bruto atas: dividen, bunga, royalty, hadiah dan penghargaan selain yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21

2. Sebesar 15% dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi

a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan hukum, jasa konsultan pajak, dan jasa lain yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atau bentuk usaha tetap.

No

3. Sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto atas:

Jenis jasa lain yang imbalannya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang- Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep. 170/PJ/2002 Tanggal 28 Maret 2002 adalah sebagai berikut:

Perkiraan Penghasilan Netto Jenis Jasa 1 50% dari jumlah bruto tidak

termasuk PPN

Jasa profesi, jasa konsultan kecuali konsultan konstruksi, jasa akuntansi dan pembukuan, jasa penilai, dan jasa aktuaris

2 40% dari jumlah bruto tidak

termasuk PPN b. Jasa perancang/ design c. Jasa instalasi/ pemasangan

d. Jasa perawatan/ pemeliharaan/

perbaikan

e. Jasa kustodian/ penyimpanan/ penitipan a. Jasa teknik dan jasa manajemen

(33)

f. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga

g. Jasa pemanfaatan informasi di bidang teknologi, termasuk jasa internet

h. Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum

i. Jasa pengolahan/ pembuangan limbah

k. Jasa pengeboran (jasa drilling) dibidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap

l. Jasa penunjang di bidang penambangan dan migas

m. Jasa penunjang di bidang penambangan selain migas

o. Jasa pengisian sulih suara (dubbing) dan/ atau mxing film

p. Jasa Maklon

q. Jasa rekruitmen/ penyediaan tenaga kerja

j. Jasa penebangan hutan, termasuk land clearing

n. Jasa perantara

r. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan/

pemeliharaan dan perbaikan

s. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara

(34)

3 26,67% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN

a. Jasa perencanaan konstruksi b. Jasa pengawasan konstruksi 4 13,33% dari jumlah bruto

tidak termasuk PPN

Jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan bangunan, jasa instalasi/ pemasangan mesin, listrik/telepon/ air/ gas/ AC/TV kabel.

5 10% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN

a. Jasa pembasmian hama

2.2.5 Pajak Penghasilan Pasal 25

Besarnya angsuran Pajak Penghasilan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong dan dipungut serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terhutang diluar negeri yang boleh dikreditkan

b. Jasa catering

c. Jasa selain jasa-jasa tersebut diatas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan dalam tahun pajak berjalan.

Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak terhadap pajak yang terhutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak pada akhir tahun pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan.

(35)

sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 21, 22, 23, 24, kemudian dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam tiap tahun pajak.

2.3 Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertambahan Nilai sebenarnya telah lama dikenal walaupun dalam berbagai nama. Ditinjau dari sejarahnya, pajak penjualan diterapkan di Eropa pada abad pertengahan, seperti Belanda, Spanyol, Jerman, Perancis, dan lain-lain.

Ada 3 (tiga) metode pemungutan PPN:

1. Addition Method

Pada metode ini besarnya PPN dihitung dari tarif dikalikan seluruh penjumlahan nilai tambah

2. Subtraction Method

Pada metode ini, PPN yang terutang dihitung dari tarif dikalikan selisih antara harga penjualan dengan harga pembelian

3. Credit Method

Pada metode ini harus dicari selisih antara pajak yang harus dibayar saat pembelian dengan pajak yang dipungut saat penjualan.

Pajak Pertambahan Nilai mempunyai beberapa sifat pemungutan, yaitu:

1. PPN sebagai Pajak Objektif

Artinya, pungutan PPN ini berdasarkan objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak

(36)

2. PPN sebagai Pajak Tidak Langsung

Menjelaskan bahwa secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada pihak lain. Namun dari segi yuridis tanggung jawab penyetoran pajak tidak berada pada penanggung pajak (pemikul beban)

3. Pemungutan PPN Multi Stage Tax

Pemungutan PPN dilakukan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi dan pabrikan, pedagang besar, sampai dengan pengecer

4. PPN dipungut dengan menggunakan alat bukti faktur pajak

Credit Method sebagai metode yang digunakan dengan konsekuensi Pengusaha Kena Pajak harus menerbitkan faktur pajak sebagai bukti pemungutan PPN 5. PPN bersifat Netral

Netralitas ini dapat dibentuk karena adanya 2 (dua) faktor:

b. PPN dipungut menggunakan prinsip tempat tujuan 6. PPN tidak menimbulkan pajak berganda

7. PPN sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dilakukan atas konsumsi dalam negeri.

Tipe pemungutan PPN adalah

a. Consumption Type Value Added Tax

Pada tipe ini semua pembelian yang digunakan untuk produksi termasuk barang modal dikurangkan dari nilai tambahnya sehingga memberikan sifat netral PPN atas pola produksi.

a. PPN dikenakan atas konsumsi barang atau jasa

(37)

b. Net Income Type Value Added Tax

c. Gross Product Type Value Added Tax

Tipe ini menyatakan bahwa pembelian barang modal tidak diperkenankan sama sekali untuk dikurangkan dari dasar pengenaan pajak. Akibatnya sama saja yaitu barang modal dikenakan pajak dua kali pada saat pembelian dan dilakukan melalui hasil produksi yang dijual kepada konsumen.

Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah Bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor dan melaporkan pajak yang terhutang oleh pengusaha kena pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada bendaharawan pemerintah, badan atau instansi pemerintah tersebut.

Objek Pajak Pertambahan Nilai

a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.

Pada tipe ini tidak dimungkinkan adanya pengurangan pembelian barang modal dari dasar pengenaan. Pengurangan tersebut diperkenankan hanya sebesar penyusutan yang ditentukan pada saat menghitung laba bersih dalam rangka penghitungan pajak penghasilan. Cara ini berakibat pengenaan pajak dua kali atas barang modal

Pemungut Pajak Pertambahan Nilai

b. Impor Barang Kena Pajak

(38)

c. Penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.

d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atau terhadap jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean dikenakan pajak menurut Undang-undang PPN.

f. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak

g. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan.

h. Penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktivanya tersebut tidak untuk diperjualbelikan.

Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah

a. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%

b. Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor sebesar 0%. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di dalam Dearah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang diekspor atau dikonsumsi di luar daerah Pabean dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0%.

2.4 Batas Waktu Penyetoran dan Pelaporan Pajak

Wajib pajak berkewajiban membayar pajak dan melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Hal ini sesuai dengan sistem pemungutan pajak di Indonesia,

(39)

yaitu sistem self assessment. Karena itu wajib pajak harus mengetahui kapan batas waktu penyetoran dan pelaporan pajak, sebab jika wajib pajak terlambat menyetor ataupun melaporkan pajaknya maka akan terkena sanksi.

Adapun batas waktu pembayaran pajak diatur sebagai berikut:

a. Pembayaran Masa

Jenis Pajak

1. PPh pasal 21 Tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah masa pajak berakhir.

2. PPh pasal 22 impor

3. PPh pasal 22 Dirjen Bea dan Cukai (DJBC)

1 (satu) hari setelah pemungutan pajak dilakukan.

Batas Waktu Pembayaran

Bersamaan dengan pembayaran Bea Masuk.

Apabila Bea Masuk dibebaskan atau ditunda, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen impor.

4. Pajak pasal 22 Bendaharawan

Pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran.

5. PPh pasal 23 dan 26 Tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terhutangnya pajak.

6. PPh pasal 25 Tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

b. Pembayaran kekurangan pajak yang terhutang berdasarkan SPT tahunan harus dibayar lunas selambat-lambatnya tanggal 25 bulan ketiga setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum SPT itu disampaikan.

c. Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan

(40)

Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar ditambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.

Sedangkan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) untuk melaporkan pajak yang sudah dibayar diatur sebagai berikut:

a. SPT Masa

Jenis Pajak Yang Menyampaikan SPT Batas Waktu Penyampaian SPT PPh pasal 21 Pemotong PPh pasal 21 Tanggal 20 bulan takwim

berikutnya setelah Masa Pajak berakhir

PPh pasal 22 impor

Bea Cukai 14 hari setelah berakhirnya Masa Pajak

PPh pasal 22 Bendaharawan Tanggal 14 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir

PPh pasal 23 Pemotong PPh pasal 23 Tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir

PPh pasal 25 Wajib pajak yang mempunyai NPWP

Tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir

PPh pasal 26 Pemotong PPh pasal 26 Tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir

(41)

b. SPT Tahunan

Jenis Pajak Yang Menyampaikan SPT

Batas Waktu Penyampaian SPT SPT Tahunan PPh Wajib pajak yang

mempunyai NPWP

Selambatnya 3 bulan setelah akhir Tahun Pajak (biasanya tanggal 31 Maret tahun berikutnya) SPT Tahunan PPh pasal

21

Pemotong PPh pasal 21 Selambatnya 3 bulan setelah Akhir Tahun Pajak

Dalam perencanaan pajak yang baik biasanya wajib pajak akan selalu membayar pajak tepat waktu, yaitu pada tanggal batas akhir. Alasannya jika pembayaran pajak dilakukan pada awal bulan takwim (sebelum batas akhir), maka uang tersebut tidak bisa dimanfaatkan terlebih dahulu dan perusahaan menanggung opportunity cost. Contohnya: lebih baik uang tersebut disimpan di bank sampai batas akhir pembayaran pajak, sebab uang tersebut akan mendapat bunga. Pada tanggal batas akhir pembayaran pajak, uang tersebut baru diambil dan digunakan untuk membayar pajak. Jadi, perusahaan untung, sebab mendapat bunga. Tetapi jika pajak dibayar melewati batas akhir pembayaran, maka perusahaan akan dikenakan sanksi, yaitu dikenakan bunga sebesar 2% perbulan. Karena itu lebih baik membayar tepat waktu, yaitu pada tanggal batas akhir pembayaran pajak.

2.5 Perencanaan Pajak

Perencanaan pajak adalah tahap pertama dalam penghematan pajak. Strategi penghematan pajak disusun pada saat perencanaan. Karena itu, penelitian dan

(42)

pengumpulan ketentuan peraturan perpajakan dilakukan pada tahap ini. Dari penelitian tersebut akan diketahui jenis tindakan penghematan pajak.

Dalam perencanaan pajak ada beberapa rencana penghindaran pajak yang dapat ditempuh, antara lain:

1. Mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari ketentuan mengenai pengecualian dan potongan atau pengurangan yang diperkenankan.

2. Mengambil keuntungan dari kepemilikan, bentuk-bentuk perusahaan yang tepat.

3. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha sehingga dapat diatur secara keseluruhan penggunaan tarif pajak, potensi penghasilan, kerugian dan aktiva yang dapat dihapus.

4. Menyebarkan penghasilan menjadi pendapatan dari beberapa wajib pajak.

5. Menyebarkan penghasilan menjadi beberapa tahun untuk mencegah penghasilan tersebut termasuk dalam kategori yang tarifnya tinggi. Bila mungkin, pembayaran pajak dapat ditunda.

Perencanaan pajak bertujuan untuk meminimalkan beban pajak sepanjang hal itu dimungkinkan oleh peraturan perpajakan maupun secara komersial. Memang terdapat banyak kritik terhadap perencanaan pajak karena menganggap bahwa perbuatan ini adalah untuk melepaskan diri dari kewajiban bagi seorang warga negara dan merugikan penerimaan negara. Tetapi sesungguhnya perencanaan pajak merupakan upaya legal yang bisa dilakukan dengan memanfaatkan hal-hal yang tidak diatur (loopholes).

Pada dasarnya ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi beban pajak dalam perencanaan pajak, yaitu:

(43)

a. Tax saving

Tax saving adalah tindakan menghemat pembayaran pajak dengan cara menghindari terjadinya peristiwa yang dapat menimbulkan terhutangnya / harus dibayarnya pajak. Contohnya: wajib pajak dengan sengaja mengurangi jam kerja atau pekerjaan yang dapat dilakukannya sehingga penghasilannya menjadi lebih kecil dan dengan demikian terhindar dari pengenaan pajak penghasilan yang besar. Pada tax saving aparat perpajakan tidak dapat berbuat apa-apa karena hal-hal yang dilakukan dalam tax saving tidak disarankan sebagai salah satu cara untuk mengurangi beban pajak dalam perencanaan pajak, karena cara-cara dalam tax saving (mengurangi penghasilan) berarti mengurangi kemampuan ekonomis dari wajib pajak tersebut.

b. Tax avoidance

Tax avoidance adalah usaha untuk mengurangi pajak yang masih dalam batas ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dapat dibenarkan.

Tax avoidance adalah usaha-usaha supaya seorang wajib pajak membayar pajaknya tidak melebihi apa yang menjadi kewajibannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dengan asumsi bahwa wajib pajak melapokan semua penghasilannya dengan benar, maka wajarlah jika dia ingin mengklaim semua potongan dan kredit pajak yang memang menjadi haknya. Secara sepintas ada kesamaan anatara tax saving dan tax avoidance. Tetapi sesungguhnya secara teoritis kedua hal tesebut dapat dibedakan sebagai berikut:

(44)

Tax saving adalah usaha memperkecil jumlah hutang pajak yang tidak termasuk dalam ruang lingkup perpajakan, sedangkan tax avoidance merupakan usaha memperkecil jumlah hutang pajak dengan cara menggunakan celah-celah yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga aparat perpajakan tidak dapat menjatuhkan sanksi dan tindakan apapun.

Tax avoidance ini merupakan cara yang digunakan untuk mengurangi beban pajak dalam tax planning, karena tax avoidance dapat diperbolehkan oleh pihak perpajakan dan tidak dapat menjatuhkan sanksi dan tindakan apapun.

c. Tax evasion

Tax evasion adalah penyelundupan pajak yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Tax evasion ini tidak dapat ditolerir oleh peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga cara ini bukan merupakan cara yang akan dipergunakan untuk mengurangi beban pajak dalam tax planning. Karena itu, dalam melakukan tax planning hendaknya berhati-hati agar tidak sampai melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pengertian tax evasion tidak saja terbatas pada kecurangan dan penggelapan pajak dalam segala bentuknya, seperti: melakukan penyuapan terhadap aparat perpajakan, mengintimidasi aparat perpajakan, melaporkan beban-beban fiktif, tetapi juga meliputi kelalaian memenuhi perpajakan yang disebabkan oleh:

(45)

1. Ketidaktahuan (ignorance), yaitu wajib pajak tidak sadar atau tidak tahu akan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut.

2. Kesalahan (error), yaitu wajib pajak paham dan mengerti akan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, tetapi salah hitung datanya.

3. Kesalahpahaman (misunderstanding), yaitu wajib pajak salah menafsirkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

4. Kealpaan (negligence), yaitu wajib pajak alpa untuk melakukan kewajiban-kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.

Contoh-contoh cara melakukan penyelundupan pajak (tax evasion):

1. Merendahkan (mengecilkan) penghasilan yang diperoleh dengan cara hanya melaporkan sebagian penghasilan yang diperoleh atau tidak melaporkan seluruh penghasilan atau merendahkan harga jual maupun kuantitas barang yang dijual.

2. Meninggikan (memperbesar) harga pokok barang yang dijual dengan cara meninggikan harga pembelian, membuat pembelian fiktif dan membebankan pajak masukan yang telah dikreditkan ke dalam harga pokok penjualan.

3. Meninggikan (memperbesar) beban usaha dengan cara membuat hutang fiktif guna memperbesar beban bunga dan beban fiktif yang tidak didukung dokumen ekstern.

5. Merendahkan harga ekspor barang kepada perusahaan yang ada hubungan istimewa di luar negeri.

4. Meninggikan harga impor atau jasa dari perusahaan yang ada hubungan istimewa di luar negeri.

(46)

6. Penghasilan pegawai direndahkan (dikecilkan) dalam perhitungan Pajak Penghasilan pasal 21 untuk pegawai. Sedangkan dalam perhitungan Pajak Penghasilan perusahaan, penghasilan karyawan ini ditinggikan (dinaikkan).

Tujuannya adalah agar Pajak Penghasilan yang dibayar kecil.

7. Pembayaran dividen kepada pemegang saham secara terselubung dengan cara menciptakan seolah-olah pembayaran hutang sebagai upaya untuk menghindarkan pengenaan Pajak Penghasilan pasal 23 atau Pajak Penghasilan pasal 26.

Contoh kebijaksanaan perencanaan pajak yang dapat dilakukan oleh perusahaan antara lain:

a. Mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari ketentuan mengenai pengecualian dan potongan atau pengurangan yang diperkenankan. Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan banyak terdapat pengecualian dan pengurangan yang diperkenankan. Contoh pengurangan yang dapat dimanfaatkan untuk mengurangi pajak dapat dilakukan sebagai berikut:

Menjelang akhir tahun diketahui bahwa jumlah pajak yang akan terhutang cukup besar. Untuk mengurangi jumlah itu, perusahaan dapat menguranginya dengan menambah beban, misalnya beban pendidikan, beban perbaikan kantor dan beban pemasaran. Dengan demikian pajak yang dibayar akan dapat dikurangi. Jadi, daripada membayar pajak yang besar, lebih baik uang tersebut digunakan untuk Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa cara yang tepat untuk meminimalisasi beban pajak dalam tax planning adalah dengan cara melakukan tax avoidance.

(47)

kepentingan perusahaan. Tetapi bisa saja kebijaksanaan ini menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Karena itu, akibat dari kebijaksanaan ini harus diperhitungkan dengan seksama.

b. Mengambil keuntungan dari pemilihan bentuk-bentuk perusahaan yang tepat. Bila dilihat dari segi perpajakan, bentuk usaha perseorangan, firma dan kongsi adalah bentuk yang dipilih menguntungkan dari pada perseroan terbatas (PT). Alasannya adalah karena pajak atas penghasilan PT dikenakan dua kali. Pertama, pengenaan pajak dikenakan pada saat penghasilan diperoleh atau diterima. Kedua, pajak dikenakan lagi pada saat pemilik (orang pribadi) menerima atau memperoleh dividen.

d. Menyebarkan penghasilan menjadi beberapa tahun untuk mencegah penghasilan tersebut termasuk dalam kategori pendapatan yang tarifnya tinggi. Jadi menyebarkan atau menunda penghasilan kepada periode yang akan datang.

e. Menyebarkan penghasilan menjadi pendapatan dari beberapa wajib pajak.

Misalnya dengan menyebarkan penghasilan ke beberapa lini bisnis.

c. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha sehingga dapat diatur secara keseluruhan penggunaan tarif pajak, potensi penghasilan, kerugian dan akitva yang bisa dihapus.

Untuk melakukan perencanaan pajak agar beban pajak seminimal mungkin, maka terlebih dahulu kita harus tahu mengenai objek pajak penghasilan dan hal-hal apa saja yang dapat mengurangi Penghasilan Kena Pajak.

(48)

2.6 Rekonsiliasi Laporan Keuangan Komersial dan Fiskal

Laporan keuangan akuntansi yang dihasilkan oleh suatu badan pada umumnya berbeda dengan laporan keuangan fiskal, karena laporan keuangan fiskal disusun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sedangkan laporan keuangan komersial disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, sehingga singkatnya untuk menjelaskan perbedaan kedua laporan keuangan fiskal dan komersial, perlu dibuat rekonsiliasi antara kedua laporan keuangan tersebut.

1. Perbedaan Temporer (Temporary Differences)

Perbedaan waktu pengakuan penghasilan atau beban tertentu menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan Standar Akuntansi Keuangan, dimana penghasilan atau beban tertentu dapat diakui berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan pada tahun yang berbeda dengan pengakuan penghasilan dan beban menurut Standar Akuntansi Keuangan.

2. Perbedaan Tetap (Permanent Differences)

Perbedaan tersebut terjadi karena perbedaan dalam pengakuan pendapatan dan beban yang dapat digolongkan dalam dua golongan yaitu:

Perbedaan pengakuan penghasilan atau beban tertentu menurut perundang- undangan perpajakan dengan Standar Akuntansi Keuangan, dimana suatu penghasilan atau beban tertentu dapat diakui oleh Standar Akuntansi Keuangan, tetapi tidak dapat diakui sebagai penghasilan atau beban menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan.

(49)

Beberapa contoh perbedaan tersebut, diuraikan sebagai berikut:

2.6.1 Beda Temporer 1. Piutang Usaha

2. Persediaan

Persediaan hanya boleh dinilai berdasarkan harga perolehan dengan metode rata-rata atau masuk pertama keluar pertama (FIFO) secara taat asas untuk tujuan fiskal, sedangkan untuk tujuan komersial sesuai ketentuan dalam pernyataan Standard Akuntansi Keuangan No.14, biaya persediaan dapat dihitung dengan metode masuk terakhir keluaran pertama (LIFO) disamping metode rata-rata dan FIFO. Menurut akuntansi komersial bila harga pasar turun sampai dibawah harga perolehan harus dikoreksi menjadi harga pasar.

Untuk tujuan fiskal tidak diperkenankan untuk melakukan penyisihan penurunan harga atau kerugian karena kerusakan atau keusangan persediaan, sedangkan untuk tujuan komersial, penyisihan berdasarkan pengalaman yang lalu atau keadaan yang diketahui merupakan keharusan.

Untuk tujuan fiskal hanya diperkenankan metode penghapusan langsung (direct write off) kecuali bank dan lembaga keuangan bukan bank. Untuk tujuan komersial disamping metode penghapusan langsung dapat juga digunakan metode penyisihan.

(50)

3. Penyertaan Saham

Untuk tujuan komersial, penyertaan saham dapat dicatat dengan metode perolehan (Cost Method) atau metode pemilikan (Equity Method), sedangkan untuk tujuan fiskal hanya diperkenankan metode perolehan.

Penyusutan menurut komersial, lebih melihat pada umur ekonomis dari aktiva tetap yang bersangkutan. Untuk pelaporan fiskal penyusutan aktiva tetap dapat menggunakan metode garis lurus atau penyusutan dengan menggunaan tarif tetap atas nilai sisa buku berdasarkan pengelompokan yang sudah ditentukan menurut ketentuan perpajakan.

5. Pembayaran sewa guna usaha 4. Aktiva Tetap

Perbedaan waktu dapat disebabkan karena perbedaan metode dan tarif penyusutan untuk tujuan komersial dan fiskal.

Untuk tujuan fiskal, pembayaran sewa guna usaha seluruhnya dibebankan sebagai beban begitu juga apabila terdapat laba atau rugi transaksi “sales and lease back” Untuk tujuan komersial, apabila digunakan metode capital lease, bagian pembayaran yang dibebankan ke perhitungan laba rugi adalah setelah dikurangi bagian untuk cicilan pinjaman. Laba rugi transaksi “sale and lease back” secara komersial dapat diamortisasikan selama masa sewa.

(51)

2.6.2 Beda Tetap

2. Pemberian kenikmatan kepada karyawan

Pemberian kenikmatan atau fasilitas kepada karyawan tidak boleh dikurangkan dari penghasilan untuk tujuan fiskal, kecuali apabila dinilai dalam bentuk uang, maka atas pemberian kenikmatan tersebut diperlakukan sebagai tunjangan dan diperhitungkan kewajiban Pajak Penghasilan Pasal 21.

Contoh Kenikmatan tersebut antara lain:

a. Pengobatan, fasilitas kendaraan, perumahan (kecuali perumahan di daerah terpencil sesuai Keputusan Menteri Keuangan), kafetaria dan sebagainya.

b. Beban perjalanan yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan usaha perusahaan, misalnya biaya perjalanan direktur dan keluarganya untuk keperluan pribadi.

Biaya perjamuan yang tidak dapat dibuatkan daftar nominatif sesuai dengan SE.027/PJ.22.1986 tanggal 14 Juni 1986 tidak boleh diakui sebagai beban dalam perhitungan pajak penghasilan untuk tujuan fiskal.

4. Pajak

1. Penghasilan yang sudah dikenakan pajak penghasilan final, dikeluarkan dari perhitungan laba rugi untuk menghitung pajak penghasilan. Apabila atas penghasilan tersebut terdapat beban, maka beban tersebut juga dikeluarkan dari beban usaha perusahaan.

3. Perjamuan

(52)

Untuk tujuan fiskal Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai yang dapat dikreditkan, sanksi administrasi pajak berupa bunga, denda dan kenaikan pajak bukan merupakan beban.

5. Sumbangan

Sumbangan dalam bentuk apapun dan nama apapun tidak boleh dikurangkan dari penghasilan kena pajak.

6. Rugi penarikan aktiva tetap

Untuk tujuan fiskal, rugi yang timbul dari penarikan aktiva tetap yang tidak digunakan dalam usaha tidak boleh dikurangkan dari penghasilan.

Secara komersial rugi penarikan aktiva tetap yang tidak digunakan ini harus diakui.

7. Penghasilan bunga

Bunga deposito berjangka, bunga tabungan, pendapatan jasa giro (atas saldo debet), tidak dilaporkan sebagai bagian dari penghasilan dalam perhitungan laba rugi fiskal, karena atas penghasilan tersebut telah dipotong pajak penghasilan yang bersifat final.

Ringkasan perbandingan perlakuan akuntansi komersial dan perpajakan :

Akun Akuntansi Komersial Akuntansi Fiskal BEDA TEMPORER

Piutang Usaha Boleh menggunakan

metode cadangan penghapusan piutang

Penghapusan piutang hanya untuk yang benar- benar tak tertagih.

Persediaan Metode rata-rata, FIFO Metode rata-rata, FIFO

(53)

dan LIFO

Penyertaan saham Dinilai menurut harga perolehan atau dengan metode kepemilikan

Dinilai menurut harga perolehan.

Aktiva Tetap Penyusutan menurut umur ekonomis

Penyusutan menurut kelompok aktiva yang diatur pemerintah.

Pembayaran sewa guna usaha

Yang menjadi beban adalah beban bunga atas sewa guna secara financial dan beban penyusutan sewa guna

Yang menjadi beban adalah seluruh jumlah yang dibayar setiap bulan atas transaksi sewa guna.

BEDA TETAP Penghasilan sewa yang sudah dikenakan pajak penghasilan final

Menjadi penghasilan

periode yang bersangkutan

Dikeluarkan dari perhitungan laba rugi untuk perhitungan pajak penghasilan.

Pemberian kenikmatan kepada karyawan

Sebagai beban periode yang bersangkutan

Tidak boleh dibebankan sebagai beban. Kecuali apabila dinilai dalam bentuk uang dan dihitung pajak yang terhutang.

Perjamuan Sebagai beban periode

yang bersangkutan

Tidak boleh dibebankan sebagai beban. Kecuali apabila dibuatkan daftar nominatif.

Sumbangan Sebagai beban periode

yang bersangkutan

Tidak boleh dibebankan sebagai beban.

Rugi penarikan aktiva Sebagai beban periode Tidak boleh dibebankan

(54)

tetap yang bersangkutan sebagai beban.

Penghasilan bunga deposito / jasa giro

Menjadi penghasilan

periode bersangkutan Dikeluarkan dari penghasilan karena sudah

dikenakan Pajak Penghasilan Final.

Referensi

Dokumen terkait

Dasar dalam menentukan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam BPHTB pada Jual Beli Tanah dan/atau Bangunan di Kabupaten Badung.... Penghitungan Pajak BPHTB dalam Jual Beli

PPh Pasal 23 adalah pajak penghasilan dalam tahun berjalan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha

Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Abadi, dkk (2013) bahwa 68% subjek melaporkan motivasinya menggunakan media sosial adalah untuk mengembangkan hubungan

bank konvensional nilai minimum rasio LDR dimiliki oleh Bank Bukopin sedangkan nilai maksimum dimiliki oleh Bank Mandiri, hal ini dikarenakan nominal dari loan

RPJPD Kabupaten Polewali Mandar merupakan suatu dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, yang penyusunannya berpedoman

Sebanyak 1 g hati mencit betina dihomogenasi dalam 10 ml dapar tris-kalium klorida 150 mM:50 mM pH 7,2 yang dijaga pada suhu dingin kemudian disentrifuga dengan kecepatan 3000

Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal