• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN PADA SMAN 1 MASAMBA KECAMATAN MASAMBA KABUPATEN LUWU UTARA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN PADA SMAN 1 MASAMBA KECAMATAN MASAMBA KABUPATEN LUWU UTARA SKRIPSI"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN PADA SMAN 1

MASAMBA KECAMATAN MASAMBA KABUPATEN LUWU UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Pada Jurusan Kurikulum Teknologi Pendidikan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Penddidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh HAIRUDDIN NIM: 10531 1575 09

JURUSAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Butuh Waktu untuk suatu perubahan Dengan sedikit keras kepala”

Kupersembahkan karya ini buat:

Bapak dan ibu yang selalu tulus mendoakanku,

Saudara-saudaraku, sahabat sahabatku, almamater tercinta. Atas keikhlasan dan doanya dalam mendukung

(7)

ABSTRAK

Hairuddin. 2014. “Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan di SMAN 1 Masamba Kecamatan Masamba Kabupaten Masamba”. Skripsi. Jurusan Teknologi Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I Hj. Rahmiah B, dan pembimbing II, Hj. Muliani Azis.

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan tentang implementasi manajemen berbasis sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan di SMAN 1 Masamba. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode deskriptif. Alasan pemilihan ini adalah karena penelitian ini bermaksud untuk mendiskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang. Kuesioner digunakan untuk mengambil data dari peneliti di lapangan dengan melibatkan guru SMAN 1 Masamba dengan jumlah responden 23 orang guru. Data implementasi MBS terdiri dari 32 item soal. Sementara data mutu pendidikan diperoleh melalui angket yang terjadi dari 17 item soal tersebut.

(8)

KATA PENGANTAR

Allah yang maha penyayang dan pengasih, demikian kata untuk mewakili atas segala karunia dan nikmat-Nya. Jika ini takkan henti bertahmid atas detik waktu, denyut jantung, serta rasa dan rasio pada-Mu, sang khalik. Skripsi ini adalah setitik dari sederetan berkah-Mu. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad saw beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Segala puji bagi Allah SWT yang selalu menolong hambah-Nya dalam melaksanakan ketaatan menjauhi kemaksiatan.

Setiap orang dalam berkarya selalu mencari kesempurnaan, tetapi terkadang kesempurnaan itu terasa jauh dari kehidupan seseorang. Kesempurnaan bagaikan fatamorgana yang semakin dikejar semakin menghilang jika didekati. Demikian pula tulisan ini, kehendak hati ingin mencapai kesempurnaan, tetapi kapasitas penulis dalam keterbatasan. Segala daya dan upaya telah penulis kerahkan untuk membuat tulisan ini selesai dengan baik dan bermanfaat dalam dunia pendidikan, khususnya dalam ruang lingkup Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar.

(9)

Selain itu, penulis ucapkan terima kasih pula yang setinggi-tingginya kepada Dr. H. Irwan Akib, M.Pd, Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, Andi Sukri Syamsuri, M.Hum, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar, Andi Adam., S. Pd. M.Pd Ketua Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar, Aliem Bahri, S.Pd, M.Pd Sekretaris Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar, Nasir S.Pd Administrator Prodi Jurusan Kurikulum Teknologi Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar yang selalu memberikan konstribusi, Drs. H. Zaenal, MM Kepala Sekolah SMA Negeri I Masamba,Wakil Kepala Sekolah dan Guru-guru serta siswa-siswi SMA Negeri I Masamba Kabupaten Luwu Utara, yang telah menerima dan memberi kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di SMA Negeri I Masamba Kabupaten Luwu Utara.

(10)

Semoga Allah SWT memberikan imbalan dan pahala yang berlipat ganda dan menjadikan amalan tersebut sebagai bekal di akhirat nanti. Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, besar harapan penulis atas kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan penulis-penulis selanjutnya. Namun demikian mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidikan. Amin.

Makassar, 31 Oktober 2014

(11)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PENGESAHAN...ii LEMBAR PENGESAHAN...iii PERSETUJUAN PEMBIMBING...iv SURAT PERNYATAAN...v SURAT PERJANJIAN...vi

MOTO DAN PERSEMBAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Perumusan Masalah...6

C. Tujuan Penelitian...6

D. Manfaat Penelitian...6

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Manajemen Berbasis Sekolah...8

(12)

j. Implementasi MBS...26

2. Mutu Pendidikan a. Pengertian Mutu Pendidikan...36

b. Indikator Mutu Pendidikan...37

c. Langkah-Langkah Peningkatan Mutu Pendidikan...39

B. Kerangka Pikir...46

C. Hipotesis...47

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian...48

B. Definisi Operasional Penelitian...49

C. Variabel dan Desain Penelitian...49

D. Populasi dan Sampel...51

E. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data...51

F. Uji Asumsi...54

G. Teknik Analisis Data...55

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 4.1 Distribusi implementasi MBS dalam manaj. Kurikulum dan

Pengajaran...59

Tabel 4.2 Distribusi implementasi MBS dalam manajemen tenaga kependidikan.60 Tabel 4.3 Distribusi Implementasi MBS dalam manajemen Kesiswaan...62

Tabel 4.4 Distribusi implementasi MBS dalam manaj.tenaga kependidikan...64

Tabel 4.5 Distribusi implementasi MBS dalam manajemen sarana dan Prasarana...65

Tabel 4.6 Distribusi implementasi MBS dalam manajemen hubungan sekolah dan Masyarakat...67

Tabel 4.7 Distribusi total Implementasi MBS di SMAN 1 Masamba Kec. Masamba Kab. Luwu Utara...69

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi dan mutu pendidikan dalam tentang guru...69

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi dan mutu pendidikan dalam kepala sekolah...72

Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi dan mutu pendidikan dalam komite sekolah...73

Tabel 4.11 Distribusi total mutu pendidikan SMAN 1 Masamba Kec. Masamba Kab. Luwu Utara...75

Tabel 4.9 Hasil perhitungan Analisis Regresi Linear Sederhana...77

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 2.1 Penyempurnaan kualitas berkesinambungan dalam pendidikan...44 Gambar 2.2 Kerangka Pikir...46 Gambar 3.1 hubungan antara variabel...50

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Kisi-Kisi Instrumen Penelitian...89

Angket Penelitian...91

Hasil Kuesioner Implementasi MBS...95

Hasil Kuesioner Mutu Pendidikan...96

Hasil Korelasi MBS...97

Hasil Korelasi Mutu Pendidikan...101

Frekuensi Manajemen Berbasis Sekolah...103

Frekuensi Tabel Mutu Pendidikan...110

Uji Validitas Instrumen Penelitian...114

Uji Asumsi...116

Uji Hipotesis...117

Korelasi Product Moment...117

Uji signifikansi...118

Regresi Sederhana...119

Koefisien Determinasi...120

(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Secara fungsional, pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk menyiapkan manusia menghadapi masa depan agar hidup lebih sejahtera, baik sebagai individu maupun secara kolektif sebagai warga masyarakat, bangsa maupun antar bangsa.

Namun saat ini dunia pendidikan kita belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat. Fenomena itu ditandai dari rendahnya mutu lulusan, penyelesaian masalah pendidikan yang tidak tuntas, atau cenderung tambal sulam, bahkan lebih berorintasi proyek. Akibatnya, seringkali hasil pendidikan mengecewakan masyarakat. Mereka terus mempertanyakan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dalam dinamika kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Kualitas lulusan pendidikan kurang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja dan pembangunan, baik industri, perbankan, telekomunikasi, maupun pasar tenaga kerja sektor lainnya yang cenderung menggugat eksistensi sekolah. Bahkan sumber daya manusia yang disiapkan melalui pendidikan sebagai generasi penerus belum sepenuhnya memuaskan bila dilihat dari segi akhlak, moral, dan jati diri bangsa dalam kemajemukan budaya bangsa.

Depdiknas (2001: 1-2), rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain disebabkan oleh sistem pendidikan yang sentralistik (terpusat) dan partisipasi masyarakat khususnya orang tua dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah selama ini sangat minim. Kebijakan penyelenggaraan yang bersifat sentralistik (terpusat) dimana hampir semua hal diatur secara rinci dari pusat telah menyebabkan sekolah kehilangan kemandirian, kreativitas dan insiatif untuk mengambil kebijakan yang diperlukan tanpa adanya petunjuk dari birokrasi pendidikan di atasnya.

(17)

Partitipasi masyarakat (stakeholders) selama ini lebih berupa dukungan dana, kurang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan akuntabiltas, sehingga sekolah tidak memiliki beban untuk mempertanggungjawabkan proses dan hasil pendidikan kepada masyarakat (stakeholders).

Menghadapi rendahnya mutu pendidikan tersebut, maka perlu dilakukan upaya perbaikan terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Upaya pemerintah dalam menyikapi hal tersebut adalah dengan melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan yaitu dari manajemen pendidikan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah atau manajemen berbasis sekolah (Depdiknas, 2001: 3). Perubahan sistem penyelenggaraan pendidikan ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan pendidikan yang ada.

Dalam kerangka inilah tumbuh kesadaran akan pentingnya manajemen berbasis sekolah, yang memberikan kewenangan penuh kepada sekolah dalam mengatur pendidikan dan pengajaran, merencanakan, mengorganisasikan, mengawasi, mempertanggungjawabkan, mengatur serta memimpin daya-daya sumber insani untuk membantu pelaksanaan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan sekolah.

(18)

terhadap gejala-gejala ketidakpuasan yang muncul dari masyarakat terhadap kinerja sekolah dan rendahnya mutu pendidikan.

Melalui implementasi manajemen berbasis sekolah, maka diharapkan dapat meningkatkan produktifitas kerja. Syukur (2001: 21) menyatakan bahwa “Produktitivitas kerja adalah persentasi yang menyatakan perbandingan antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang diharapkan“. Selain itu dengan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah pihak lain di luar siswa akan mengetahui kemampuan sekolah dalam mendidik, mengajar, dan melatih siswa menuju sumber daya manusia yang berkualitas. Namun sampai dengan saat ini pelaksanaan manajemen berbasis sekolah tersebut belum berjalan sesuai yang diharapkan. Akibat dari kurangnya manajemen berbasis sekolah maka produkstivitas kerja sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan belum dapat memperoleh hasil seperti yang diharapkan. Sebagai akibat akhir adalah tampak pada siswa yaitu prestasi belajar yang diperoleh belum sesuai dengan ketuntasan belajar baik secara individual maupun secara klasikal. Oleh karena itu, setiap sekolah diharapkan dapat melaksanakan manajemen berbasis sekolah sehingga apa yang akan dicapai oleh sekolah dapat tercemin dalam program sekolah.

(19)

karena kepentingan, ketidakmampuan secara teknis dan manajerial, atau tertambat pada tradisi dan kelaziman yang telah mengkristal dalam tubuh sekolah dan dinas pendidikan; (3) kesulitan dalam menerapkan prinsip-prinsip MBS (kemandirian, kerjasama, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas); (4) belum optimalnya partisipasi pemangku kepentingan sekolah, dan (5) belum optimalnya teamwork yang kompak dalam menerapkan manajemen berbasis sekolah”.

Manajemen berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam manajemen pendidikan yang lebih menekankan pada kemandirian dalam memenuhi segala kebutuhan serta kemandirian dalam mengambil keputusan secara partisipatif dengan melibatkan orang tua siswa. Model ini akan menyerahkan fungsi kontrol yang berada pada pemerintah kepada masyarakat melalui komite sekolah, serta fungsi monitor tetap pada pemerintah. Hal ini memungkinkan adanya kejasama yang erat antara staf sekolah, kepala sekolah, guru, personel lain dan masyarakat dalam upaya pemerataan, efisiensi, efektifitas, dan peningkatan kualitas, serta produktifitas pendidikan. Proses pengambilan keputusan melibatkan seluruh warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.

(20)

terbuka dan pengambilan keputusan bersama dari masing-masing pemegang peran dalam merumuskan suatu kebijakan.

Melalui implementasi manajemen berbasis sekolah, maka diharapkan dapat meningkatkan produktifitas kerja. Selain itu dengan pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah pihak lain di luar siswa akan mengetahui kemampuan sekolah dalam mendidik, mengajar, dan melatih siswa menuju sumber daya manusia yang berkualitas.

Dengan latar belakang tersebut jelas bahwa Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu penawaran bagi sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai bagi peserta didik karena MBS memberi peluang bagi kepala sekolah, guru, dan peserta didik untuk melakukan inovasi dan improvisasi di sekolah, berkaitan dengan masalah kurikulum, pembelajaran manajerial dan lain sebagainya yang tumbuh dari aktivitas, kreativitas, dan profesionalisme yang dimiliki dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, oleh karenanya penulis tertarik untuk mengetahui apakah implementasi manajemen berbasis sekolah berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan.

Dalam hal ini penulis mengadakan penelitian dengan judul: Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Untuk Meningkatan Mutu Pendidikan Di SMAN 1 Masamba Kabupaten luwu Utara.

B. Rumusan Masalah

(21)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah “Untuk mengetahui hubungan antara Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam Meningkatan Mutu Pendidikan di SMA Negeri 1 Masamba”.

D. Manfaat Penelitian 1. Teoretis

a. Untuk memperkaya khasanah penelitian di bidang pendidikan khususnya yang berhubungan dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Menengah Atas.

b. Untuk mengetahui hubungan sekolah dengan masyarakat demi terciptanya hubungan yang harmonis.

c. Sebagai bahan pembanding, pertimbangan dan pengembangan pada penelitian sejenis untuk masa yang akan datang.

2. Praktis a. Bagi Sekolah

Hasil penelitian ini diharap dapat dijadikan masukan untuk lebih mendorong keberhasilan program Manajemen Berbasis Sekolah.

b. Bagi Peneliti

Penelitian ini sebagai studi pendalaman tentang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).

c. Bagi Departemen Pendidikan

Sebagai sumbangan pemikiran dalam pengimplementasian program Manajemen Berbasis Sekolah di masa mendatang.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka

1. Manajemen Berbasis Sekolah

a. Konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah)

(22)

masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat.

Pengertian Manajemen berbasis Sekolah menurut beberapa ahli:

Menurut E. Mulyasa: “MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staff, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan”.

Menurut Nanang Fatah: “MBS merupakan pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, komite sekolah, orang tua siswa dan masyarakat. Manajemen berbasis Sekolah mengubah sistem pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal Local Stakeholder”.

Menurut Bedjo sudjanto, “MBS merupakan model manajemen pendidikan yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah. Disamping itu, MBS juga mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan langsung semua warga sekolah yang dilayani dengan tetap selaras pada kebijakan nasional pendidikan”.

Jadi, MBS merupakan sebuah strategi untuk memajukan pendidikan dengan mentransfer keputusan penting memberikan otoritas dari negara dan pemerintah daerah kepada individu pelaksana di sekolah. MBS menyediakan kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua kontrol yang sangat besar dalam proses pendidikan dengan memberi mereka tanggung jawab untuk memutuskan anggaran, personil, serta kurikulum.

b. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang dinyatakan dalam GBHN. Hal ini dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan,

(23)

baik secara makro, meso, maupun mikro. MBS yang ditandai dengan otonomi sekolah dan perlibatan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan.

Model MBS yang diterapkan di Indonesia adalah MPMBS (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah). Berikut dikemukakan tujuan dari penerapan MBS menurut Depdiknas (2001:4) adalah sebagai berikut:

1) Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.

2) Meningkatkan kepedulian warga dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.

3) Meningkatkan tanggung jawab sekolah, kepala. sekolah, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya.

4) Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.

Menurut Mulyasa (2005:25) Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah adalah ”Agar sekolah dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja mutu sekolah, dengan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat”.

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah. (Eman Suparman, 2001: http://www.depdiknas.go.id).

(24)

sekolah dengan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada para pengguna atau masyarakat yaitu penyediaan pelayanan pendidikan secara komprehensif.

Manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk memberdayakan sekolah, terutama sumber daya manusia melalui pemberian kewenangan, serta fleksibilitas sumber daya lain untuk memecahkan persoalan yang dihadapi sekolah yang bersangkutan. Tujuan utama penerapan MBS adalah untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan dan relevansi pendidikan di sekolah, dengan adanya wewenang yang lebih besar dan luas bagi sekolah untuk mengelola urusannya sendiri.

Wahyudi (2012:3) secara lebih khusus menyampaikan tujuan manajemen berbasis sekolah, sebagai berikut: 1) meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia, 2) meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama, 3) meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orangtua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolah, 4) meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah untuk pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan. 5) memberdayakan potensi sekolah yang ada agar menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat.

(25)

melibatkan partispasi masyarakat dan orang tua siswa. c. Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah

Manfaat manajemen berbasis sekolah akan menghasilkan nilai positif bagi sekolah, antara lain:

1) Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi sekolah yang bersangkutan sehingga sekolah dapat lebih mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada.

2) Sekolah lebih mengetahui kebutuhan skala prioritas. 3) Pengambil keputusan lebih partisipatif terutama dalam hal:

a. Menetapkan sasaran peningkatan mutu. b. Menyusun rencana peningkatan mutu. c. Melaksanakan rencana peningkatan mutu.

d. Melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu. 4) Penggunaan dana lebih efektif dan efisien.

5) Keputusan bersama lebih menciptakan transparansi dan demokrasi. 6) Dapat lebih meningkatkan rasa tanggungjawab.

7) Menumbuhkan rasa persaingan sehat sehingga diharapkan adanya upaya inovatif. ( http://manajemen-strategi.com/2009/04/konsep-dasar-manajemen-berbasis-sekolah/) Diakses kamis, 23 Oktober 2014, pukul 13.00 WITA.

(26)

keterlibatan maksimal berbagai pihak, seperti pada sekolah-sekolah swasta, sehingga menjamin partisipasi staf, orang tua, peserta didik, dan masyarakat yang lebih luas dalam perumusanperumusan keputusan tentang pendidikan.

Manfaat penerapan MBS yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa sekolah memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang tentu saja, lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki. Dengan fleksibilitas, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal.

d. Karakteristik MBS

MBS memiliki karakter yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya, karakteristik tersebut merupakan ciri khas yang dimiliki sehingga membedakan dari sesuatu yang lain. MBS memiliki karakteristik sebagai berikut:

a) Adanya otonomi yang luas kepada sekolah

b) Adanya partisipasi masyarakat dan orang tua siswa yang tinggi c) Kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional d) Adanya team work yang tinggi, dinamis dan profesional

Karakteristik Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dapat dilihat pula melalui pendidikan sistem. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah merupakan. Sebuah sistem sehingga penguraian karakteristik MPMBS berdasarkan pada input, proses dan output.

1. Input Pendidikan

Dalam input pendidikan ini meliputi; (a) memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas, (b) sumber daya yang tersedia dan siap, (c) staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi, (d) memiliki harapan prestasi yang tinggi, (e) fokus pada pelanggan.

(27)

Dalam proses terdapat sejumlah karakter yaitu; (a) PBM yang memiliki tingkat efektifitas yang tinggi , (b) Kepemimpinan sekolah yang kuat, (c) Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (d) Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif, (e) Sekolah memiliki budaya mutu, (f) Sekolah memiliki team work yang kompak, cerdas, dan dinamis.

3. Output yang diharapkan

Output Sekolah adalah Prestasi sekolah yang dihasilkan melalui proses pembelajarn dan manajemen di sekolah. Pada umumnya output dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu output berupa prestasi akademik yang berupa NEM, lomba karya ilmiah remaja, cara-cara berfikir ( Kritis, Kreatif, Nalar, Rasionalog, Induktif, Deduktif dan Ilmiah. Dan output non akademik, berupa keingintahuan yang tinggi, harga diri, kejujuran, kerjasama yang baik, toleransi, kedisiplinan, prestasi olahraga, kesenian dari para peserta didik dan sebagainya.

e. Prinsip-Prinsip MBS

Nurkolis dalam (Wahyudi, 2012: 4) mengemukakan empat prinsip yang perlu diperhatikan dalam mengelola sekolah menggunakan MBS, sebagai berikut:

(28)

dengan situasi dan kondisinya. Walaupun sekolah yang berbeda memiliki masalah yang sama, cara penanganannya akan berlainan antara sekolah yang satu dengan yang lain.

2) Prinsip Desentralisasi (Principal of Decentralization) yaitu prinsip yang dilandasi oleh teori dasar bahwa pengelolaan sekolah dan aktifitas pengajaran tak dapat dielakkan dari kesulitan dan permasalahan. Pendidikan adalah masalah yang rumit dan kompleks sehingga memerlukan desentralisasi dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, sekolah harus diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memecahkan masalahnya secara efektif dan secepat mungkin ketika masalah itu muncul. Tujuan prinsip desentralisasi adalah efisiensi dalam pemecahan masalah, bukan menghindari masalah. Oleh karena itu MBS harus mampu menemukan masalah, memecahkannya tepat waktu dan memberi sumbangan yang lebih besar terhadap efektivitas aktivitas pengajaran dan pembelajaran. Tanpa adanya desentralisasi kewenangan kepada sekolah itu sendiri maka sekolah tidak dapat memecahkan masalahnya secara cepat, tepat, dan efisiensi.

3) Prinsip Pengelolaan Mandiri (Principal of Self Managing System) yaitu prinsip yang terkait dengan prinsip ekuifinalitas dan prinsip desentralisasi. Ketika sekolah menghadapi permasalahan, maka harus diselesaikan dengan caranya sendiri. Sekolah dapat menyelesaikan masalahnya bila telah terjadi pelimpahan wewenang dari birokrasi di atasnya ke tingkat sekolah. Dengan adanya kewenangan di tingkat sekolah itulah maka sekolah dapat melakukan sistem pengelolaan mandiri.

(29)

tidak dapat lagi menggunakan istilah staffing yang konotasinya hanya mengelola manusia sebagai barang yang statis. Dengan demikian, lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan Human Resources Development (HRD) yang dinamis dan menganggap serta memperlakukan manusia di sekolah sebagai aset yang amat penting dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan.

f. Peran Manajemen Berbasis Sekolah. a. Peran Kepala Sekolah/Madrasah

Dengan kedudukan sebagai manajer kepala sekolah/Madrasah bertanggung jawab atas terlaksananya fungsi-fungsi manajemen. Sebagai perencana, kepala sekolah mengidentifikasi dan merumuskan hasil kerja yang ingin dicapai oleh sekolah dan mengidentifikasi serta merumuskan cara-cara (metoda) untuk mencapai hasil yang diharapkan. Peran dalam fungsi ini mencakup: penetapan tujuan dan standar, penentuan aturan dan prosedur kerja disekolah /madrasah, pembuatan rencana, dan peramalan apa yang akan terjadi untuk masa yang akan datang.

b. Peran Guru dan Staf Sekolah

(30)

kemajuan siswa, serta melakukan evaluasi perkembangan setiap anak sebagai masukan bagi perbaikan pelaksanaan proses pembelajaran secara terus menerus. Guru juga memberi penghargaan bagi siswa yang menunjukkan kemajuan dalam belajar (berprestasi) serta memberikan semangat/dorongan (motivasi) serta membantu siswa yang prestasinya kurang/belum memuaskan.

c. Peran Orang Tua Siswa dan Masyarakat

Peran orang tua siswa dan masyarakat sudah lama dikenal sebagai pusat-pusat pendidikan yang penting di dalam mengembangkan anak (menjadi pribadi mandiri dengan segala keterampilan hidupnya) bersama-sama dengan sekolah sebagai institusi formal yang terencana, terstruktur, dan teratur melaksanakan fungsi pendidikan.

d. Peran Siswa

Siswa atau murid merupakan subjek utama dan konsumen utama primebeneficiary dari segala upaya yang dilaksanakan oleh penyelenggara satuan pendidikan bersama manajemen yang terlibat didalamnya. Dalam posisinya yang menjadi subjek tujuan pendidikan itu, maka keinginan dan harapan mereka, motivasi mereka, serta komitmen keterlibatan mereka menjadi penting. Salah satu cara untuk mengakomodasi kepentingan mereka adalah dengan mendengarkan suara mereka.

g. Komponen-Komponen Manajemen Berbasis Sekolah

(31)

1) Manajemen Kurikulum dan Program Pengajaran

Suryosubroto, (2004: 32) mengemukakan “Kurikulum adalah segala pengalaman pendidikan yang diberikan oleh sekolah kepada seluruh anak didik, baik dilakukan didalam sekolah maupun di luar sekolah. Pengalaman anak didik di sekolah dapat diperoleh melalui berbagai kegiatan pendidikan antara lain: mengikuti pelajaran di kelas, praktik ketrampilan, latihan-latihan olahraga dan kesenian dan kegiatan karya wisata atau praktik dalam laboratorium di sekolah”.

Sedangkan Mulyasa, (2006: 10) Manajemen kurikulum dan program pengajaran merupakan bagian dari MBS. Manajemen kurikulum dan pengajaran mencakup kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian kurikulum. Perencanaan dan pengembangan kurikulum nasional pada umumnya telah dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional pada tingkat pusat. Karena itu level sekolah yang paling penting adalah adalah bagaimana merealisasikan dan menyesuaikan kurikulum tersebut dengan kegiatan pembelajaran.

2) Manajemen Tenaga Kependidikan

Manajemen tenaga kependidikan atau manajemen personalia pendidikan bertujuan untuk mencapai hasil yang optimal namun tetap dalam kondisi yang menyenangkan. Mulyasa, (2006: 42) mengemukakan manajemen tenaga kependidikan (guru dan personil) mencakup (a) perencanaan pegawai, (b) pengadaan pegawai, (c) pembinaan dan pengembangan pegawai, (d) promosi dan mutasi, (e) pemberhentian pegawai, (f) kompensasi, dan (g) penilaian pegawai. Semua itu perlu dilakukan dengan baik dan benar agar apa yang diharapkan tercapai, yakni tersedianya tenaga kependidikan yang diperlukan dengan kualifikasi dan kemampuan yang sesuai serta dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik dan berkualitas.

(32)

Menurut Mulyasa (2006: 46) Manajemen kesiswaan adalah penataan dan pengaturan terhadap kegiatan yang berkaitan dengan peserta didik, mulai masuk sampai dengan keluarnya peserta didik tersebut dari suatu sekolah. Manajemen kesiswaan bukan hanya berbentuk pencatatan data peserta didik, melainkan meliputi aspek yang lebih luas yang secara oprasional dapat membantu upaya pertumbuhan dan perkembangan peserta didik melalui proses pendidikan disekolah.

Manajemen kesiswaan bertujuan untuk mengatur berbagai kegiatan dalam bidang kesiswaan agar kegiatan pembelajaran di sekolah dapat berjalan lancar, terib dan teratur, serta mencapai tujuan pendidikan di sekolah. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, bidang manajemen kesiswaan setidaknya memilki tiga tugas utama yang harus diperhatikan, yaitu penerimaan murid baru, kegiatan kemajuan belajar, serta bimbingan dan pembinaan disiplin.

4) Manajemen Keuangan dan Pembiayaan.

Mulyasa (2006:47) mengemukakan Dalam penyelenggaraan pendidikan, keuangan dan pembiayaan merupakan potensi yang sangat menentukan dan merupakan kegiatan yang sangat menentukan dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kajian manajemen pendidikan. Komponen keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah merupaka komponen produksi yang menentukan terlaksananya kegiatan-kegiatan proses belajar mengajar di sekolah bersama komponen-komponen lain.

5) Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan

(33)

alat-alat dan media pengajaran. Adapun yang dimaksud dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan.

Suryosubroto, (2004:115) Pada garis besarnya manajemen sarana prasarana meliputi 5 hal :

a) Penentuan kebutuhan. b) Proses pengadaan. c) Pemakaian.

d) Pencatatan/pengurusan. e) Peratnggungjawaban

6) Manajemen Hubungan Sekolah dan Masyarakat.

Menurut Ibnoe Syamsi (1967) humas adalah kegiatan organisasi untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan masyarakat agar mereka mendukungnya dengan sadar dan sukarela. Sedangkan menurut Drs. SK. Bonar (1977) hubungan masyarakat menjalankan usahanya untuk mencapai hubungan yang harmonis antara sesuatu badan organisasi dengan masyarakat sekelilingnya. Hubungan sekolah dan masyarakat bertujuan antara lain untuk: mamajukan kualitas pembelajaran dan pertumbuhan anak, memprkokoh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat, dan menggairahkan masyarakat untuk menjalin hubungan dengan sekolah, Mulyasa, (2006:50).

7) Manajemen Layanan Khusus

(34)

dinas kesehatan setempat. Di samping itu, sekolah juga perlu memberikan pelayanan keamanan kepada peserta didik dan para pegawai yang ada di sekolah agar mereka dapat belajar dan melaksanakan tugas dengan tenang dan nyaman.

h. Langkah-langkah MBS

Secara umum dapat disimpulkan bahwa implementasi MBS akan berhasil melalui strategi- strategi berikut ini:

Pertama, sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal, yaitu dimilikinya otonomi dalam kekuasaan dan kewenangan, pengembangan pengetahuan dan keterampilan secara berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian dan pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil.

Kedua, adanya peran serta masyarakat secara aktif, dalam hal pembiayaan, proses pengambian keputusan terhadap kurikulum. Sekolah harus lebih banyak mengajak lingkungan dalam mengelola sekolah karena bagaimanapun sekolah adalah bagian dari masyarakat luas.

Ketiga, kepala sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan sekolah secara umum. Kepala sekolah dalam MBS berperan sebagai designer, motivator, fasilitator. Bagaimanapun kepala sekolah adalah pimpinan yang memiliki kekuatan untuk itu. Oleh karena itu, pengangkatan kepala sekolah harus didasarkan atas kemampuan manajerial dan kepemimpinan dan bukan lagi didasarkan atas jenjang kepangkatan.

(35)

hanya menyenangkan pimpinannya namun mengorbankan masyarakat pendidikan yang utama.

Kelima, semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara bersungguhsungguh. Untuk bisa memahami peran dan tanggung jawabnya masing-masing harus ada sosialisasi terhadap konsep MBS itu sendiri. Siapa kebagian peran apa dan melakukan apa, sampai batas-batas nyata perlu dijelaskan secara nyata. Keenam, adanya guidlines dari departemen pendidikan terkait sehingga mampu mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif. Guidelines itu jangan sampai berupa peraturan-peraturan yang mengekang dan membelenggu sekolah. Artinya, tidak perlu lagi petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam pelaksanaan MBS, yang diperlukan adalah rambu-rambu yang membimbing.

Ketujuh, sekolah harus memiliki transparansi dan akuntabilitas yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggung jawabannya setiap tahunnya. Akuntabilitas sebagai bentuk pertanggung jawaban sekolah terhadap semua stakeholder. Untuk itu, sekolah harus dijalankan secara transparan, demokratis, dan terbuka terhadap segala bidang yang dijalankan dan kepada setiap pihak terkait.

Kedelapan, Penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah dan lebih khusus lagi adalah meningkatkan pencapaian belajar siswa. Perlu dikemukakan lagi bahwa MBS tidak bisa langsung meningkatkan kinerja belajar siswa namun berpotensi untuk itu. Oleh karena itu, usaha MBS harus lebih terfokus pada pencapaian prestasi belajar siswa.

(36)

Bagi sekolah yang sudah beroperasi ( sudah ada / jalan) paling tidak ada 6 (enam) langkah, yaitu : 1) evaluasi diri self assessment; 2) Perumusan visi, misi, dan tujuan; 3) Perencanaan; 4) Pelaksanaan; 5) Evaluasi; dan 6) Pelaporan.

i. Alasan Diterapkannya MBS

Menurut Depdiknas (2001:5) “ MBS diterapkan karena beberapa alasan berikut :

1) Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya, sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya.

2) Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.

3) Pengambilan keputusan yang dilakukan sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya.

4) Penggunaan sumberdaya pendidikan lebih efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat setempat.

5) Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat. 6) Sekolah dapat bertanggungjawab tentang mutu pendidikan

masing-masing kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, sehingga dia akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan. 7) Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah

lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua peserta didik, masyarakat dan pemerintah daerah setempat.

(37)

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2008), implementasi berarti penerapan. Sementara itu, Salusu (1996) menyatakan bahwa implementasi adalah operasionalisasi dari berbagai aktivitas guna mencapai suatu sasaran (Lolowang, 2008: 19). Dari dua pengertian ini, implementasi dapat diartikan sebagai penerapan atau operasionalisasi suatu keputusan guna mencapai suatu sasaran. Dalam hal ini adalah implementasi manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai model pengelolaan pendidikan di sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan/kerjasama, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas (PP No. 19 tahun 2005).

a. Kemandirian sekolah

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2008), mandiri adalah keadaan dapat berdiri sendiri dan tidak bergantung pada orang lain,sedangkan kemandirian adalah hal atau keadaaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Pengertian ini menunjukkan bahwa kemandirian terlihat dari keadaan yang dapat berdiri sendiri atau tidak selalu tergantung kepada pihak lain dalam memutuskan atau melakukan sesuatu. Senada dengan hal ini, Surya Darma (2010: 15) menyampaikan bahwa otonomi dapat diartikan sebagai kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah.

(38)

Hal ini dapat terjadi apabila terjadi pelimpahan wewenang dari birokrasi di atasnya ke tingkat sekolah.

Otonomi yang berarti mempunyai kewenangan mengatur semua masalah secara mandiri pada sekolah bukanlah otonomi tanpa batas. Sebagai kewenangan yang diberikan oleh otoritas di atasnya, hal ini merupakan pelimpahan wewenangan yang ada batasnya. Di antara batasan otonomi sekolah menurut Umaedi (2008: 4.6) adalah kebijakan dan peraturan yang berlaku, serta idealisme atau harapan mengapa manajemen berbasis sekolah perlu diterapkan.

Batasan pertama, yaitu kebijakan dan peraturan perundangan yang berlaku. Kebijakan dapat berupa kebijakan nasional, propinsi, atau kabupaten/kota yang berhubungan dengan pengelolaan sekolah dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Sisdiknas yang berlaku.

Batasan kedua, yaitu berupa harapan-harapan semua stakeholder (orang tua, masyarakat, pengguna lulusan, guru, kepala sekolah, dan penyelenggara pendidikan) yang berkepentingan terhadap keberhasilan pendidikan untuk melaksanakan fungsinya. Kalau batasan pertama bersifat normatif, sedangkan batasan kedua bersifat relatif dalam arti bahwa manajemen berbasis sekolah dinilai dari sejauh mana ia dapat memenuhi harapan para stakeholder.

(39)

didukung oleh sumber dana yang memadai sesuai dengan tuntutan program. Hal ini berarti bahwa sekolah yang mandiri dapat dilihat dari terpenuhinya kebutuhan sumber daya sekolah tersebut, yang meliputi ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan, ketersediaan sarana dan prasarana sekolah, dan ketersediaan dana sekolah sesuai dengan tuntutan program.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian sekolah dapat di lihat dari beberapa hal diantaranya: 1) sekolah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, dan 2) sekolah memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan sumber dayanya sendiri, Untuk lebih jelasnya indikator kemandirian sekolah dalam penelitian adalah sebagai berikut.

b. Kerjasama/kemitraan sekolah

Dalam pandangan manajemen, kerjasama dimaknai dengan istilah collaboration (Surya Darma, 2008: 5). Makna ini sering digunakan dalam terminologi manajemen pemberdayaan staf yaitu kerjasama antara manajer dengan staf dalam mengelola organisasi. Sekolah merupakan organisasi, tidak ada organisasi tanpa kerjasama, sehingga dalam pengelolaan sekolah dibutuhkan kerjasama yang baik dari para pemangku kepentingan agar tujuan sekolah dapat tercapai.

(40)

Menurut Daryanto (2006: 71), dalam dunia pendidikan dikenal dua macam hubungan, yakni: (1) hubungan dalam penyelenggaraan program pendidikan dengan masyarakat sekolah, dan (2) Hubungan dengan masyarakat di luar sekolah. Hubungan dengan masyarakat sekolah dapat diartikan sebagai kerjasama antar warga sekolah (kerjasama internal). Hubungan dengan mayarakat di luar sekolah merupakan kerjasama antara sekolah dengan pihak luar sekolah (kerjasama eksternal). Kerjasama sekolah yang baik ditunjukkan oleh hubungan antar warga sekolah yang erat, hubungan sekolah dan masyarakat erat, serta adanya kesadaran bersama bahwa output program sekolah merupakan hasil teamwork (Depdiknas, 2009: 63).

Kemitraan/kerjasama penting untuk dilakukan karena disadari sepenuhnya bahwa hasil pendidikan sekolah merupakan hasil kolektif dari unsur-unsur terkait atau para pemangku kepentingan (stakeholders). Kemitraan yang dapat menghasilkan teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis akan menentukan keberhasilan pencapain tujuan sekolah. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk meningkatkan kemitraan perlu ditempuh melalui: (1) pembuatan pedoman mengenai tatacara kemitraan, penyediaan sarana kemitraan dan saluran komunikasi, (2) melakukan advokasi, publikasi, dan transparansi terhadap pemangku kepentingan, dan (3) melibatkan pemangku kepentingan sesuai dengan prinsip relevansi, yurisdiksi, dan kompetensi serta kompatibilitas tujuan yang akan dicapai (Surya Darma, 2010: 45).

(41)

kerjasama warga sekolah, bukan hasil individual. Karena itu, budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah dan antar individu dalam sekolah harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga sekolah.

Menurut Surya Darma (2010: 36), dalam MBS sekolah memiliki mitra yang mewakili masyarakat sekitarnya yang disebut komite sekolah. Tugas dan fungsi komite sekolah dalam pelaksanaan MBS adalah: (1) memberi masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada sekolah mengenai kebijakan dan program pendidikan, RAPBS, kriteria kinerja sekolah, kriteria pendidik dan tenaga kependidikan, kriteria fasilitas pendidikan, dan hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan; (2) mendorong orangtua siswa dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan, menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan, mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu tinggi, melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan/program/ penyelenggaraan dan keluaran pendidikan, melakukan kerjasama dengan masyarakat, dan menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.

c. Bentuk partisipasi

Partisipasi berasal dari Bahasa Inggris yaitu “participation” yang berarti pengambilan bagian atau pengikutsertaan (Echols dan Shadily, 2006: 419). Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2008) partisipasi adalah turut berperan serta dalam suatu kegiatan. Berdasarkan definisi ini maka partisipasi dapat diartikan sebagai peran serta atau dukungan dalam suatu kegaitan.

(42)

secara individual maupun koletif, secara langsung maupun tidak langsung, dalam pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan/ pengevaluasian pendidikan di sekolah. Partisipasi yang dimaksud merupakan penciptaan lingkungan yang terbuka dan demorakatik di sekolah, dimana warga sekolah (kepala sekolah, guru, karyawan) dan masyarakat didorong untuk terlibat dalam memberikan dukungan secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang turut serta (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka akan memiliki rasa memiliki terhadap sekolah, sehingga akan bertanggung jawab dan berdedikasi untuk mencapai tujuan sekolah.

Tujuan utama peningkatan partisipasi adalah untuk: (1) meningkatkan dedikasi/kontribusi stakeholders terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah, baik dalam bentuk jasa (pemikiran/intelektualitas, keterampilan), moral, finansial, dan material/barang; (2) memberdayakan kemampuan yang ada pada stakeholders bagi pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional; (3) meningkatkan peran stakeholders dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, baik sebagai advisor, supporter, mediator, controller, resource linker, and education provider, dan (4) menjamin agar setiap keputusan dan kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan aspirasi stakeholders dan menjadikan aspirasi stakeholders sebagai panglima bagi penyelenggaraan pendidikan di sekolah (Surya Darma, 2010: 68).

(43)

Engkoswara (2010: 297), peningkatan partisipasi masyarakat dipilah dalam dua kategori, yaitu partisipasi dalam bentuk kontribusi pembiayaan, dan partisipasi dalam bentuk pemikiran dan tenaga. Sementara itu, Depdiknas (2009: 9) menyatakan bentuk-bentuk partisipasi stakeholders diantaranya adalah: a) berupa dukungan dana, (b) berupa dukungan tenaga, (c) berupa dukungan pemikiran, dan (d) berupa dukungan material/fasilitas.

d. Keterbukaan sekolah

Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan sekolah, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil- hasil yang dicapai. Prinsip ini memiliki 2 aspek, yaitu (1) komunikasi publik oleh sekolah, dan (2) hak masyarakat terhadap akses informasi. Keduanya akan sangat sulit dilakukan jika sekolah tidak menangani kinerjanya dengan baik kinerjanya. Manajemen kinerja sekolah yang baik adalah titik awal dari transparansi sekolah. (Surya Darma, 2010: 72).

Keterbukaan sekolah ditujukan untuk membangun kepercayaan dan keyakinan publik terhadap sekolah bahwa sekolah adalah organisasi pendidikan yang bersih dan berwibawa. Bersih dalam arti tidak KKN dan berwibawa dalam arti profesional. Transparansi bertujuan untuk menciptakan kepercayaan timbal balik antara sekolah dan publik melalui penyediaan informasi yang memadai dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat.

e. Akuntabilitas sekolah

(44)

keterangan atau pertanggungjawaban. Sementara itu, Depdiknas (2009: 45) menyampaikan bahwa akuntabilitas sekolah adalah pertanggungjawaban sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat, dan pemerintah melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka. Dengan demikian, akuntabilitas sekolah adalah bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan.

Manajemen berbasis sekolah dengan desentralisasi kewenangan kepada sekolah bukan hanya memberikan kewenangan untuk mengambil keputusan yang lebih luas (daripada sebelumnya), tetapi juga sekaligus membebankan pertanggungjawaban oleh sekolah atas apa-apa yang dikerjakan dan hasil kerjanya. Akuntabilitas pendidikan dan hasilnya diberikan bukan hanya kepada satu stakeholder (pusat/birokrasi), tetapi kepada berbagai pihak (stakeholders), termasuk di dalamnya orang tua, komite sekolah (masyarakat), dan pengguna lulusan, disamping secara internal kepada guru-guru dan warga sekolah (Umaedi, 2008: 10). Akuntabilitas kepada berbagai pihak ini pada gilirannya akan meningkatkan kepedulian yang kuat (komitmen) pihak-pihak terkait tersebut atas apa yang terjadi di sekolah.

Akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan antara pengelola sekolah dengan masyarakat (sekolah dengan orang tua siswa, dan sekolah dengan instansi di atasnya yaitu yayasan atau Dinas Pendidikan). Sedangkan akuntabilitas horisontal menyangkut hubungan antara sesama warga sekolah (antar kepala sekolah dengan komite, dan antara kepala sekolah dengan guru).

(45)

terpercaya. Keberhasilan akuntabilitas sekolah adalah ditandai dengan meningkatnya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah (Depdiknas, 2009: 45). Dengan meningkatnya akuntabilitas sekolah, maka akan mewujudkan sekolah yang akuntabel dan terpercaya.

2. Mutu Pendidikan

a. Pengertian Mutu Pendidikan

Pengertian mengenai mutu pendidikan mengandung makna yang berlainan. Namun, perlu ada suatu pengertian yang operasional sebagi suatu pedoman dalam pengelolaan pendidikan untuk sampai pada pengertian mutu pendidikan, kita lihat terlebih dahulu pengertian mutu pendidikan.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Mutu adalah ukuran baik buruk suatu benda, keadaan, taraf atau derajad (kepandaian, kecerdasan, dan sebagainya).

Menurut Oemar Hamalik, Pengertian mutu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu segi normatif dan segi deskriptif, dalam artian normatif, mutu ditentukan berdasarkan pertimbangan (kriteria) intrinsik dan ekstrinsik. Berdasarkan kritria intrisik, mutu pendidikan merupakan produk pendidikan yakni. manusia yang terdidik. Sesuai dengan standar ideal. Berdasarkan kriteria ekstrinsik, pendidikan merupakan instrumen untuk mendidik. tenaga kerja. yang terlatih. Dalam artian deskriptif, mutu ditentukan berdasarkan keadaan senyatanya, misalkan hasil tes prestasi belajar. Hamalik, (1990: 33)

Korelasi mutu dengan pendidikan, sebagaimana pengertian yang dikemukakan oleh Dzaujak Ahmad, .Mutu pendidikan adalah kemampuan sekolah dalam pengelolaan secara operasional an efisien tehadap komponen-komponen yang berkaitan dengan sekolah sehingga menghasilkan nilai tambah terhadap komponen tersebut menurut norma/ standar yang berlaku. Dzaujak, (1996: 6)

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa bicara pendidikan bukanlah upaya sederhana, melainkan suatu kegiatan dinamis dan penuh tantangan. Pendidikan selalu berubah seiring dengan perubahan jaman. Oleh karena itu pendidikan senantiasa memerlukan upaya perbaikan dan peningkatan mutu sejalan dengan semakin tingginya kebutuhan dan tuntunan kehidupan masyarakat.

(46)

Indikator atau kriteria yang dapat dijadikan tolok ukur mutu pendidikan yaitu:

a. Hasil akhir pendidikan

b. Hasil langsung pendidikan, hasil langsung inilah yang dipakai sebagai titik tolak pengukuran mutu pendidikan suatu lembaga pendidikan. Misalnya tes tertulis, daftar cek, anekdot, skala rating, dan skala sikap.

c. Proses pendidikan

d. Instrumen input, yaitu alat berinteraksi dengan raw input (siswa) e. Raw input dan lingkungan. Nurhasan, (1994: 390)

Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu dalam hal ini mengacu pada konteks hasil pendidikan mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu setiap catur wulan, semester, setahun, 5 tahun dan sebagainya). Prestasi yang dicapai dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, UN, dan lain-lain), dapat pula prestasi di bidang lain misalnya dalam cabang olah raga atau seni. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang intangible seperti suasana disiplin. Keakraban, saling menghormati dan sebagainya.

Dalam .proses pendidikan. yang bermutu terlibat berbagai input. Seperti: bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah dukungan administrasi dan sarana prasarana, dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas, baik konteks kurikuler maupun ekstra kurikuler, baik dalam lingkup substansi yang akademis maupun yang non akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran.

(47)

terlebih dahulu oleh sekolah, dan jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun kurun waktu tertentu. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu hasil output yang ingin dicapai.

Adapun instrumental input, yaitu alat berinteraksi dengan raw input (siswa) seperti guru yang harus memiliki komitmen yang tinggi dan total serta kesadaran untuk berubah dan mau berubah untuk maju, menguasai ajar dan metode mengajar yang tepat, kreatif, dengan ide dan gagasan baru tentang cara mengajar maupun materi ajar, membangun kenerja dan disiplin diri yang baik dan mempunyai sikap positif dan antusias terhadap siswa, bahwa mereka mau diajar dan mau belajar. Kemudian sarana dan prasarana belajar harus tersedia dalam kondisi layak pakai, bervariasi sesuai kebutuhan, alat peraga sesuai dengan kebutuhan, media belajar disiapkan sesuai kebutuhan. Biaya pendidikan dengan sumber dana, budgeting, kontrol dengan pembukuan yang jelas. Kurikulum yang memuat pokok-pokok materi ajar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran, realistik, sesuai dengan fenomena kehidupan yang sedang dihadapi. Tidak kalah penting metode mengajar pun harus dipilih secara variatif, disesuaikan dengan keadaan, artinya guru harus menguasai berbagai metode.

Begitu pula dengan raw input dan lingkungan, yaitu siswa itu sendiri. Dukungan orang tua dalam hal ini memiliki kepedulian terhadap penyelenggaraan pendidikan, selalu mengingatkan dan peduli pada proses belajar anak di rumah maupun di sekolah.

c. Langkah-langkah Meningkatan Mutu Pendidikan

Upaya perbaikan pada lembaga pendidikan tidak sederhana yang dipikirkan karena butuh perbaikan yang berkelanjutan, berikut ini langkah-langkah dalam meningkatkan mutu pendidikan.

(48)

Kurikulum adalah instrumen pendidikan yang sangat penting dan strategis dalam menata pengalaman belajar siswa, dalam meletakkan landasan-landasan pengetahuan, nilai, keterampilan,dan keahlian, dan dalam membentuk atribut kapasitas yang diperlukan untuk menghadapi perubahan-perubahan sosial yang terjadi. Saat ini, memang telah dilakukan upaya-upaya untuk semakin meningkatkan relevansi kurikulum dengan melakukan revisi dan uji coba kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Kurikulum uji coba tersebut didasarkan pada pendekatan yaitu: (1) Pengasaan aspek kognitif dalam bentuk kemampuan, (2) penguasaan aspek afektif yang lebih komprehensif, dan (3) penguasaan aspek keterampilan dalam bentuk kapasitas profesional. Kompetensi itu hendaknya dapat membentuk suatu kapasitas yang utuh dan komprehensif sehingga tidak diredusir menjadi keterampilan siap pakai.

2. Memperkuat Kapasitas Manajemen Sekolah

Dewasa ini telah banyak digunakan model-model dan prinsip-prinsip manajemen modern terutama dalam dunia bisnis untuk kemudian diadopsi dalam dunia pendidikan. Salah satu model yang diadopsi dalam dunia pendidikan. Salah satu model yang diadopsi adalah . School Based Management..

(49)

3. Memperkuat Sumber Daya Tenaga Kependidikan

a. Memperkuat Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan

Dalam jangka panjang, agenda utama upaya memperkuat sumber daya tenaga kependidikan ialah dengan memperkuat sistem pendidikan dan tenaga kependidikan yang memiliki keahlian. Keahlian baru itu adalah modal manusia (human investmen), dan memerlukan perubahan dalam sistem pembelajarannya. Menurut Thurow (sularso,2002), di abad ke-21 perolehan keahlian itu memerlukan perubahan dalam sistem pembelajaran karena alasan: (1) keahlian yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan akan semakin tinggi dan berubah sangat cepat, (2) Keahlian yang diperlukan sangat tergantung pada teknlogi dan inovasi baru, maka banyak dari keahlian itu harus dikembangkan dan dilatih melalui pelatihan dalam pekerjaan, dan (3) kebutuhan akan keahlian itu didasarkan pada keahlian individu.

b. Memperkuat Kepemimpinan

Dalam fondasi berbagai karakteristik pribadi, pimpinan lembaga pendidikan perlu menciptakan visi untuk mengarahkan lembaga pendidikan dan karyawannya. Dalam konteks ini, penciptaan visi yang jelas akan menumbuhkan komitmen karyawan terhadap kwalitas, memfokuskan semua upaya lembaga pendidikan pada rumusan kebutuhan pengguna jasa pendidikan, menumbuhkan sense of team work dalam pekerjaan, menumbuhkan standard of excellence, dan menjebatani keadaan lembaga pndidikan sekarang dan masa yang akan datang.

c. Meningkatkan Mutu Mengajar Melalui Program Inovatif Berbasis Kompetensi

(50)

memperkuat kemampuan mengajar telah diupayakan melalui berbagai jenis penataran, pendidikan, ataupun pelatihan-pelatihan. Melalui berbagai kegiatan tersebut dikenalkan pada inovasi-inovasi pembelajaran. Tetapi dari pengalaman empirik tampaknya upaya-upaya itu belum secara signifikan membawa perubahan dalam arti peningkatan mutu hasil belajar. Pengembangan bahan ajar, pengembangan strategi dan metode pembelajaran, pengembangan sistem evaluasi, dan pengembangan MBS. Kebutuhan akan inovasi itu dapat dilihat dalam dua hal yaitu untuk kepentingan inventions dan untuk kepentingan perubahan kultural sekolah, sehingga terbangun suatu kultur yang (1) berorientasi inovasi, (2) menumbuhkan kebutuhan untuk terus maju dan meningkat, (3) kebutuhan untuk berprestasi, (4) inovasi adalah sebagai suatu kebutuhan. d. Mengoptimalkan Fungsi-Fungsi Tenaga Kependidikan

Di sekolah-sekolah selama ini yang berperan utama adalah guru. Seorang guru melaksanakan berbagai fungsi baik fungsi mengajar, konselor, teknisi, maupun pustakawan. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu terdapat guru mengajar bukan berdasarkan keahliannya. Kondisi ini jelas kurang menguntungkan bagi terselenggaranya suatu proses pendidikan yang baik diperlukan fungsi-fungsi kependidikan yang saling mendukung, sehingga dapat dicapai suatu hasil yang maksimal. (membina mutu pendidikan, www.kompas.com, 22 Oktober 2014). 4. Perbaikan yang berkesinambungan

(51)

inkrimental mewujudkan visi tersebut (Lewis dan smith, 1994). Perbaikan yang berkesinambungan tergantung kepada dua unsur. Pertama, mempelajari proses, alat, dan keterampilan yang tepat. Kedua, menerapkan keterampilan baru small achieveable project. Proses perbaian berkesinambungan yang dapat dilakukan berdasarkan siklus PDCA Plan, Do, Check, Action. Siklus ini merupakan siklus perbaikan yang never ending, dan berlaku pada semua fase organisasi/lembaga.

Gambar 2.1

Penyempurnaan kualitas berkesinambungan dalam pendidikan

5. Manajemen berdasarkan fakta

Pengambilan keputusan harus didasarkan pada fakta yang nyata tentang kualitas yang didapatkan dari berbagai sumber diseluruh jajaran organisasi. Jadi, tidak sematamata atas dasar intuisi, praduga, atau

(52)

organizational politik. Berbagai alat telah dirancang dan dikembangkan untuk mendukung pengumpulan dan analisis data, serta pengambilan keputusan berdasarkan fakta.

Sebenarnya banyak sekali aspek yang turut menentukan mutu pendidikan disekolah. Edward sallis (1993:2) mengemukakan bahwa yang menentuan mutu pendidikan mencakup aspek-aspek berikut: pembinaan yang berkelanjutan, guru yang profesional, nilai-nilai moral yang luhur, hasil ujian ynag gemilang, dukungan orang tua, komunitas bisnis dan komunitas lokal, kepemimpinan yang tangguh dan berarah tujuan, kepedulian dan pehatian pada anak didik, kurikulum yang seimbang, atau kombinasi dari faktorfaktor tersebut.

(53)

B. Kerangka Pikir

Penyelenggaraan pendidikan nasional yang dilakukan secara sentralistik menempatkan sekolah sangat tergantung pada keputusan birokrasi pusat, yang terkadang kebijakan tersebut tidak sesuai dengan kondisi sekolah. Hal inilah yang menyebabkan mutu pendidikan di Indonesia rendah dan tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Oleh karena itu dilakukan perubahan pengelolaan sistem pendidikan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi yang disebut dengan manajemen berbasis sekolah (MBS).

Untuk lebih jelasnya dalam memahami pembahasan yang akan dilakukan dalam penelitian ini maka peneliti menggambarkan melalui kerangka pikir sebagai berikut:

C. Hipotesis

Menurut Sugiyono, (2013: 96) Perumusan hipotesis penelitian merupakan langkah selanjutnya dalam penelitian, setelah peeneliti mengemukakan landasan teori dan kerangka pikir. Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan.

Dengan memperhatikan uraian pada bab sebelumnya mengenai latar belakang masalah dan permasalahan yang dihadapi, serta berdasarkan kajian teoretis

Implementasi Manajemen Berbasis

Sekolah Mutu Pendidikan

Gambar 2.2 Kerangka Pikir

Manaj.Tenaga Kependidikan

Manaj.Keuangan dan Pembiayaan Manaj.Kesiswaan

Manaj.Hubungan Sekolah dan Masyarakat Manaj.Sarana dan Prasarana Pendidikan Manaj.Kurikulum dan Program Pengajaran

Kepala sekolah Komite sekolah

(54)

dan kerangka pikir, maka penulis menyusun dan mengajukan hipotesis penelitian sebagai berikut :

(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Pada umumnya penelitian kuantitatif banyak dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran data serta penampilan dari hasil penelitiannya.

2. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskripsif. Metode deskriptif adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian.

Tujuan utama dalam menggunakan metode ini adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Sedangkan jenis penelitian ini adalah jenis penelitian eksperimen, yang bertujuan untuk mencari tingkat perubahan suatu variabel terhadap variabel lainnya agar dapat teratasi.

B. Definisi Operasional Penelitian

Untuk menghindari kesalahan penafsiran tentang semua variabel pokok penelitian, maka perlu diberi batasan sebagai berikut:

(56)

Masyarakat, (5) Manajemen Sarana Prasarana.

 Yang dimaksud Mutu Pendidikan dalam penelitian ini adalah skor yang diperoleh dari kuisioner mengenai apa saja yang menjadi faktor dalam meningkatkan mutu pendidikan yang mencakup: guru, kepala sekolah dan komite sekolah.

C. Variabel dan Desain Penelitian 1. Variabel

Sugiyono (2013:60) mengemukakan “Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Dalam penelitian ini yang menjadi variable penelitian meliputi variabel bebas dan variabel terikat”.

a. Variabel bebas (independen)

Variabel bebas merupakan variable yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variable dependen (terikat). Yang menjadi varibel bebas dalam penelitian ini adalah implementasi manajemen berbasis sekolah yang diberi simbul (X).

b. Variabel terikat (dependen)

Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi variable terikat ialah peningkatan mutu pendidikan yang beri simbul (Y).

2. Desain Penelitian

(57)

implementasi manajemen berbasis sekolah sebagai variabel bebas (Variabel X), dan mutu pendidikan sebagai variabel terikat (Variabel Y).

Untuk lebih jelas pola hubungan antara variabel penelitian tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Ket:

X = Implementasi MBS Y = Mutu Pendidikan Gambar 3.1 hubungan antara variabel D. Populasi dan Sampel Penelitian

a. Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono 2013:117). b. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut (Sugiyono 2013:118). Pengambilan sampel harus dilakukan sedimikian rupa sehingga diperoleh sampel (contoh) yang benar-benar dapat berfungsi sebagai contoh, atau dapat menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya. Dengan istilah lain, sampel harus representatif. Dalam penelitian ini populasi yang diambil adalah guru SMAN 1 Masamba yang berjumlah 23 orang.

E. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data 1. Teknik Pengumpulan Data

Agar data yang diperoleh dalam peelitian benar-benar akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, maka teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Kuesioner (angket)

Kuesioner atau angket merupakan teknik pengumpulan data dengan memberikan seperangkat pertanyaan tertulis kepada reponden untuk dijawab. Sugiyono (2012:199) mengemukakan bahwa “kuesioner merupakan teknik

(58)

pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya”. Jenis instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa skala yaitu merupakan kumpulan dari pernyataan atau pertanyaan yang pengisiannya oleh responden dilakukan dengan memberikan tanda centang (√) pada tempat yang sudah disediakan dengan alternatif jawaban yang disediakan merupakan sesuatu yang berjenjang. (Arikunto. 2006:105). Teknik angket ini digunakan penulis untuk memperoleh data melalui pertanyaan tertulis yang dibagikan kepada sejumlah responden. Dalam hal ini semua guru kelas dan guru bidang studi lainnya yang ada disekolah yang akan diteliti. Bentuk angket dalam penelitian ini adalah angket berstruktur, dimana responden hanya memilih alternative jawaban sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dari sejumlah pertanyaan angket, dengan cara mengetahui distribusi frekuensi masing-masing variabel yang pengumpulan datanya menggunakan keusioner (angket), maka model skala yang digunakan dalam angket ini adalah model skala likert dalam empat pilihan yaitu SL (Selalu), SR (Sering), KD (kadang-kadang), dan TP (Tidak Pernah), pembobotan angket tergantung pada butir pertanyaannya.

Syaodih (2007:238) menyatakan :

Model skala likert menggunakan skala deskriptif (SL, SR, KD TP). Dasar dari skala deskriptif ini adalah merespon seseorang terhadap sesuatu dapat dinyatakan dengan pernyataan persetujuan terhadap suatu objek.

Pemberian bobot setiap item pada angket menggunakan rentang antara 1 sampai 4 untuk respon yang menjawab, sebagai berikut:

- Selalu (SL) dengan bobot nilai 4 - Sering (SR) dengan bobot nilai 3

Gambar

Gambar 2.2 Kerangka Pikir
Gambar 3.1 hubungan antara variabel
Tabel 4.11 Distribusi total mutu pendidikan SMAN 1 Masamba Kec. Masamba  Kab.
Tabel 4.9 : Hasil perhitungan Analisis Regresi Linear Sederhana

Referensi

Dokumen terkait

IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DALAM PENINGKATAN MUTU PENYELENGGARAAN.. PENDIDIKAN D1 SEKOLAH DASAR

Hasil penelitian untuk mendeskripsikan Kemampuan Kepala SMP Negeri 2 Brebes dalam Implementasi Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) terkait dengan. Proses

Secara umum manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah memberikan

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa impelementasi manajemen berbasis sekolah di SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta pada kategori baik yang ditunjukkan dengan; (1)

Pendidikan Islam dalam konteks manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya adalah pemberian otonomi yang lebih luas kepada sekolah dengan tujuan akhir meningkatkan

Ermila Yulandari, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya, dalam skripsinya yang berjudul manajemen tenaga pendidik untuk meningkatkan mutu pembelajaran di

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah yang dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Menegah Umum, diungkapkan beberapa indikator yang menjadi karakteristik

Solusi Dalam Mengatasi Hambatan/ Kendala Manajemen Berbasis Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Di MTs.. Sunan Giri Kota Probolinggo