• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA

Pertanyaan untuk Audiens Pertanyaan Umum

1. Boleh memperkenalkan diri dan kesibukan apa yang sedang dijalani?

2. Seberapa sering kamu mengakses Instagram, dan biasanya digunakan untuk apa? 3. Apakah kamu mengetahui employer branding? Akun employer branding apa yang

kamu ketahui? Apa yang membuat mereka menonjol?

4. Apakah kamu mengetahui akun Life at Telkomsel? Kapan dan dari mana Anda mengetahui akun ini?

Akun Instagram @LifeatTelkomsel

5. Menurut Anda, apa itu Life at Telkomsel? Apa tujuan dari pembuatan akun tersebut? 6. Seberapa sering kamu mengakses akun Life at Telkomsel?

7. Siapa publik sasaran Life at Telkomsel menurut Anda? Apakah sudah tepat? 8. Menurut Anda, apa saja manfaat yang kamu dapat dari akun Life at Telkomsel? 9. Pesan apa yang ingin disampaikan Life at Telkomsel kepada publiknya?

10. Selain Instagram, media komunikasi apa yang digunakan Life at Telkomsel untuk menyampaikan pesan kepada publiknya? Apakah sudah tepat menurut Anda?

11. Menurut Anda, apakah Life at Telkomsel berjalan dengan sukses? Bagaimana Anda menilai hal tersebut?

Employer Branding

12. Bagaimana Anda melihat peran perusahaan PT Telekomunikasi Selular dalam Life at Telkomsel?

13. Apa saja kelebihan dan kekurangan Life at Telkomsel? Adakah saran yang ingin disampaikan?

14. Apakah menurut Anda Life at Telkomsel perlu dilanjutkan? Apa harapan untuk ke depannya?

15. Sebagai pencari kerja, apa saja yang kamu perhatikan dari media sosial perusahaan? Adakah kamu menemukannya di Life at Telkomsel?

16. Menurut Anda, bagaimana cara menyajikan konten yang bersifat korporat menjadi lebih luwes untuk audiens, berkaitan dengan employer branding?

17. Sebagai pencari kerja, topik apa yang Anda sering baca di Life at Telkomsel?

18. Bagaimana dengan konten yang disajikan, apakah menurut Anda cukup menarik? Adakah hal yang bisa ditingkatkan?

19. Menurut Anda, apakah para pencari kerja cukup mengenal Life at Telkomsel? Mengapa?

20. Apakah Anda memiliki ide yang bisa membantu meningkatkan awareness akun Life at Telkomsel?

21. Menurut Anda, apakah dengan hadirnya akun employer branding seperti Life at Telkomsel bermanfaat? Adakah dampak yang didapat dari membaca konten-kontennya?

(3)

Pertanyaan untuk Pihak Perusahaan

Audit/Discovery

1. Boleh diceritakan apa itu Life at Telkomsel dan latar belakang penciptaannya?

2. Masalah apa yang menjadi latar belakang penciptaan Life at Telkomsel berdasarkan kondisi dan kebutuhan perusahaan?

3. Apa objective yang ingin dicapai dari pembuatan akun Instagram @lifeattelkomsel ini?

Goals, Budget, Audience Profile, Objectives

4. Bagaimana proses perancangannya? Bagaimana proses penentuan goals dan budget? Apakah Life at Telkomsel menyasar audiens tertentu? Siapakah audiens tersebut? 5. Pesan seperti apa yang ingin dibangun dan disampaikan dalam akun Instagram Life at

Telkomsel?

6. Tujuan apa yang ingin dicapai dari penyampaian pesan kepada audiensnya? 7. Bagaimana Instagram dapat berkontribusi mencapai tujuan tersebut? 8. Hasil akhir seperti apa yang diharapkan dari akun Life at Telkomsel?

Tracking & Monitoring Strategy

9. Bagaimana proses penyampaian pesan (mulai dari pemilihan hingga tayangnya konten) di akun Instagram Life at Telkomsel? Berapa lama prosesnya?

10. Bagaimana proses penentuan topik dapat membantu dalam berkomunikasi pada audiens?

11. Konten seperti apa yang tampil di Life at Telkomsel? Adakah indikator untuk tampilnya konten?

12. Sumber apa saja yang bisa dijadikan konten? Apa saja bentuk konten yang ada di Life at Telkomsel?

13. Sebagai employer, apakah respon yang diinginkan saat audiens membuka akun Life at Telkomsel?

Distribution/Channel Strategy

14. Saluran komunikasi apa sajakah yang digunakan untuk keperluan employer branding? Mengapa memilih platform tersebut?

15. Bagaimana cara mengajak audiens menanggapi atau berpartisipasi dalam konten atau media sosial dari Life at Telkomsel?

16. Bagaimana Instagram membantu berjalannya proses employer branding ini?

Communications/Content Optimazation Strategy

17. Adakah kustomisasi isi pesan berdasarkan audiens yang dituju?

18. Adakah tips dan trik yang bisa dibagikan untuk membuat konten menjadi menarik? Apakah definisi menarik ini bagi tim?

19. Fitur Instagram mana yang dirasa paling membantu dalam proses penyampaian pesan menurut akun Life at Telkomsel?

20. Adakah panduan konsep dalam menjalankan Life at Telkomsel? Boleh diceritakan? 21. Adakah pengembangan konten yang dilakukan dalam akun Instagram Life at

(4)

Engagement Strategy

22. Bagaimana cara tim Life at Telkomsel menilai keterlibatan dengan audiens?

23. Bagaimana cara tim Life at Telkomsel mengevaluasi konten dan engagementnya? Bagaimana mekanisme serta indikator kesuksesannya?

24. Hubungan seperti apa yang ingin dijalin dengan audiens?

Measurement Strategy

25. Bagaimana keefektifan peran dari Instagram dalam menyampaikan pesan kepada audiens target?

26. Bagaimana performa dari akun Life at Telkomsel sejauh ini? Konten mana yang paling disukai oleh audiens?

27. Apa saja indikator konten yang disukai dan kurang disukai oleh audiens?

28. Bagaimana pelaksanaan penyampaian pesan dalam akun Life at Telkomsel yang sudah dilakukan? Apakah telah sesuai dengan harapan?

29. Pernahkah Life at Telkomsel mendapatkan saran untuk konten-kontennya? Apa tindakan lanjutan dari saran tersebut?

30. Untuk ke depannya, apa harapan atas pelaksanaan penyampaian pesan dalam program employer branding ini?

31. Apa saja hambatan dan kendala (khususnya dalam hal komunikasi) yang dihadapi selama membuat konten di Life at Telkomsel?

32. Apakah kualitasnya sudah cukup baik? Bagaimana Anda menilainya? 33. Menurut Anda, aspek apa yang perlu ditingkatkan?

(5)

Pertanyaan untuk Praktisi Employer Branding

1. Apa pengertian konsep employer branding menurut Anda?

2. Bagaimana peran media sosial, terutama Instagram untuk kegiatan employer branding?

3. Menurut Anda, apa saja manfaat dari employer branding di media sosial?

4. Tahap apa saja yang harus ada dalam proses pelaksanaan employer branding? Bagaimana sebaiknya tahap tersebut dijalankan?

5. Bagaimana perusahaan menentukan publik sasaran untuk employer branding yang dilakukan?

6. Apa saja indikator yang menurut anda perlu dinilai dalam pelaksanaan employer branding?

7. Bagaimana cara menentukan pesan yang ingin disampaikan di media sosial terkait proses employer branding?

8. Dalam pelaksanaan employer branding di media sosial, adakah aktivitas komunikasi yang dilakukan? Apabila ya, pada bagian mana aktivitas tersebut dilakukan?

9. Aktivitas komunikasi seperti apa yang menurut Anda yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan employer branding, terutama di media sosial?

10. Menurut Anda, media apa saja yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk melakukan komunikasi terkait perusahaan secara internal dan eksternal?

11. Bagaimana metode penilaian terhadap aktivitas komunikasi dalam program employer branding di media sosial?

12. Apa saja indikator untuk menilai kesuksesan employer branding?

13. Apakah kesuksesan employer branding perlu disampaikan kepada public umum atau hanya kepada pihak tertentu? Mengapa demikian?

14. Akun Life at Telkomsel di Instagram menyajikan konten wawancara dengan karyawan dan juga membagikan konten yang bersifat tips bagi audiens. Bagaimana pendapat Anda akan hal ini, apakah dua jenis konten tersebut cukup untuk keperluan employer branding?

15. Menurut anda, fitur Instagram apa yang bisa dimaksimalkan untuk keperluan employer branding? Mengapa?

16. Berapa besar budget yang perlu disiapkan untuk keperluan employer branding di media sosial menurut Anda? Porsi terbesar perlu dipertimbangkan untuk apa?

17. Bagaimana pendapat Anda mengenai pemilihan media komunikasi yang digunakan (Instagram, LinkedIn, Medium) untuk employer branding PT Telekomunikasi Selular dalam menjangkau sasaran programnya, yakni pekerja eksekutif muda berusia >=25 tahun peminat teknologi? Apakah sudah cukup? Apabila ya, mengapa demikian dan bila belum, apa yang perlu dilakukan perusahaan untuk komunikasi program employer branding ini?

18. Bagaimana cara mengevaluasi keberhasilan employer branding dalam media sosial ini?

(6)

*Daftar pertanyaan di atas merupakan panduan bagi peneliti untuk wawancara dengan informan. Pertanyaan tidak terbatas hanya pada daftar di atas dan bisa ditanyakan dengan kalimat berbeda dengan maksud dan konteks yang sama. Pertanyaan dapat dielaborasikan untuk memperdalam jawaban wawancara.

(7)

TRANSKRIP WAWANCARA

Informan 1

Nama : Pandu Maulana

Jabatan : Digital PR Officer Telkomsel Waktu Wawancara : 21 Mei 2021

Devina:

Pagi, Mas Pandu. Pertama-tama, perkenalkan, aku Devina Aprilia, mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara, sekarang tengah menjalankan skripsi. Kebetulan aku memilih Telkomsel sebagai subjek penelitian aku, secara terkhusus akun Instagram @lifeattelkomsel. Hari ini kita bakal ngobrol-ngobrol aja, Mas. Aku akan nanya-nanya tentang akun Instagram @lifeattelkomsel ini, mungkin bisa dibantu Mas Pandu untuk penjabarannya. Pertama mungkin boleh diperkenalkan dulu, diri Mas Pandu ini, siapa? Pandu:

Halo, nama saya Pandu Maulana, saya di Telkomsel bertanggung jawab untuk

me-manage Digital PR Strategy and Activities, eee… posisi saya sebagai Public Relations Officer Telkomsel.

Devina:

Kalo misalnya secara spesifik di akun Instagram @lifeattelkomsel, itu, (perannya) sebagai apa, sih, Mas?

Pandu:

Intern, konseptor, strategist, you name it… I am also a writer, I’m an editor, I am everything you want me to be.

Devina:

Baik, mantap! Mas Pandu ini palugada, nggak bisa kalo gaada, harus bisa semua, ya, Mas. Semuanya bisa! Disikat!

Pandu:

Hahaha.. harus bisa. On a serious note, saya bertanggung jawab secara harian untuk membuat konten di akun @lifeattelkomsel bersama teman-teman saya di Telkomsel dan juga maintain akunnya.

Devina:

Oke. Pertama mungkin boleh diceritakan dulu, ap aitu Life at Telkomsel? Bagaimana latar belakang penciptaan akun tersebut?

(8)

Pandu:

Ehm. Thank you, Dev. Cerita dulu, ya, di awalnya. Telkomsel sebagai sebuah perusahaan tuh kan punya visi sebagai leading digital telecom company dan salah satu cara Telkomsel menerjemahkan visi itu adalah dengan cara bagaimana perusahaan ini bisa tetap sustainable sampe puluhan bahkan ratusan tahun ke depan. Ee…. Kenapa ini penting? Karena untuk menjadi leading digital telco itu ehm, tidak mudah… kalau kita mengetahui dinamika perkembangan bisnis, perkembangan teknologi yang ada di seluruh dunia sekarang ini, gitu, ya. Sorry, nih, agak serak.. Jadi Telkomsel secara perusahaan ga pengen jadi yang terdepan di industri telekomunikasi, tapi pengen juga jadi leader di industri digital telecom. Jadi maksudnya apa? Karena industri telekomunikasi itu makin ke sini basic service semakin obsolete, dalam arti kayak,

voice dan SMS itu secara penggunaan sudah semakin tergerus oleh layanan data, jadi

secara bisnis Telkomsel harus agak shifting ke bisnis-bisnis yang menggunakan Mobile

Growth & Services, seperti layanan data, dan juga aplikasi-aplikasi yang running di

atas layanan data itu gitu, ya.

Nah, ehm.. saingan Telkomsel itu bukan sudah operator seluler lagi. Saingannya sudah perusahaan-perusahaan teknologi yang ada di luar sana, Perusahaan teknologi kan

nature-nya.. eee.. mereka tuh inovatif, mereka tuh selalu ee… solution-oriented,

customer-oriented, gitu, ya. Telkomsel punya visi ke arah situ, sih. Semua bisnis yang telah dikembangkan dan sedang dikembangkan oleh Telkomsel sekarang untuk kebutuhan masa depan, itu diarahkan untuk semua digital business, gitu. Nah, supaya

digital business ini bisa berhasil, salah satu recipe-nya adalah punya talenta-talenta

yang qualified dan kompeten untuk masa depan. Nah, caranya gimana? Mungkin sebagian besar dari karyawan di Telkomsel sudah ada yang punya requirements tersebut, cuma belum semuanya. Salah satu cara yang bisa dilakukan agar Telkomsel bisa tetap adaptif sama berbagai macam perubahan, bisa survive beberapa tahun ke depan adalah dengan merekrut digital talents.

Digital talents itu maksudnya not necessarily tech talents, ya. Tech talents itu adalah

anak-anak muda yang punya potensi dan skills untuk... ehm… dari sisi kemampuan eee… teknologi, misalnya, sebagai data scientist atau data analyst, eee…. nggak

necessarily kayak gitu. Digital talents itu adalah talent-talent yang punya growth mindset, talent-talent yang selalu haus untuk bisa belajar dan berkontribusi secara

positif terhadap lingkungannya. Jadi, gimana caranya mendapatkan talent-talent seperti itu? Balik lagi, ga Cuma dari sisi bisnis aja, ee… kami berkompetisi sama e… perusahaan teknologi. Dari sisi merekrut/hire/akuisisi talent juga sama. Saingan kami sekarang, ya, perusahaan-perusahaan unicorn, decacorn yang ada di Indonesia sekarang. Gimana caranya kami meng-attract mereka supaya mereka mau jadi bagian dari Telkomsel, karena Telkomsel sebenernya sebagai perusahaan sendiri juga bisa dibilang cukup appealing dalam arti ee… secara basis market, gitu ya, Telkomsel punya customer base paling besar, gitu, di Indonesia, ee.. kita ga bisa liat perusahaan lain di Indonesia yang punya customer base sampe ratusan juta selain Telomsel. Kami

(9)

sudah punya sekitar 170 juta pelanggan, potensi sangat besar dan ini perlu didukung oleh digital talents yang berkualitas tadi.

Salah satu vehicle atau way in untuk attract e…. potential employees, ya lewat Life at

Telkomsel, gitu. Kenapa social media jadi dipilih? Karena kita gabisa tutup mata kalau social media itu influence-nya tinggi banget. Social media itu punya kemampuan untuk

menggiring conversation, mengarahkan opini, mempengaruhi orang lain… Social media bisa punya kemampuan persuasif yang sangat baik. Kita ga bilang Life at

Telkomsel itu satu-satunya senjata kita buat attract talent, tapi ini bisa jadi salah satu

cara atau corong kita memperkenalkan, seperti apa, sih, Telkomsel, tuh, sebagai suatu perusahaan, sebagai sebuah tempat bekerja buat calon karyawan di masa depan. Harapannya dengan adanya akun media sosial ini, akan ada lebih banyak digital talent di luar sana yang melihat Telkomsel sebagai perusahaan yang bener-bener inspiring, bener-bener layak untuk dijadikan tempat bekerja, dan tempat berkarya. Karena kalau ngomongin valuesnya Telkomsel, Telkomsel selalu ingin memberikan manfaat buat orang banyak ya di Indonesia lewat beberapa produk dan servis, gitu, sih, Dev, yang bisa aku ceritain. Udah lumayan clear, belum, Dev?

Devina:

Lumayan sih, Mas. Secara objective, tadi, berarti untuk recruit digital talents, itu, ya, Mas? Mungkin akum au nanya tentang digital talents itu, kalau diterjemahin, mungkin umurnya berapa, personanya seperti apa? Kira-kira orang yang seperti apa, sih, digital

talents itu yang bener-bener dicari Telkomsel?

Pandu:

Oke. Mungkin kita ga punya kriteria khusus, tapi secara psikografis, orang-orang ini…. Ehm.. target audiens kami ya berarti, adalah orang-orang yang tadi aku bilang.. punya

growth mindset, orang yang selalu haus untuk bisa berkontribusi, memberikan sesuatu

yang positif kepada orang lain, eee… orang-orang yang selalu haus untuk belajar, belajar untuk improve diri sendiri dan lingkungannya. Kalau dari sisi demografis, ga tergantung dari jenis kelamin, usia, atau biografis tertentu, gitu… nggak sih. Tapi memang, kami percaya kalau Telkomsel di masa depan kalau dipumpin oleh orang-orang yang seperti ini, Telkomsel bisa makin powerful lagi memberikan impact untuk masyarakat. Jadi, itu sih sebenarnya visi kami untuk rekrutmen atau akuisisi talent. Devina:

Dari awal bikin akun Instagram @lifeattelkomsel, gimana, sih, cara perancangan mulai dari goals, budget, gimana caranya bisa muncul goals pengen mencapai ini? Gimana cara perancangannya?

Pandu:

Kalau kita ngmgin proses, mungkin lebih technical, ya. Jadi, ehm.. dari pihak management kami, dari direksi kami, terutama direktur HCM (Human Capital Management), punya concern untuk bisa…. Agar Telkomsel punya strategi komunikasi khusus sih sebenarnya, untuk bisa attract potential talents untuk join our

(10)

workforce. Kalau dibilang gimana mulainya, ini sebenarnya buah kolaborasi dari tim

Human Capital Management sama Corporate Communications, gitu, ya. Arahan dari direktur HCM itu kami translate menjadi y aini, yang kita bilang Life at Telkomsel, ini, gitu. Proses detail teknisnya gimana, intinya tim HCM bikin strategi employer branding secara general, kemudian diturunkan menjadi beberapa tactical programs, salah satunya Life at Telkomsel. Nah, dari strategi yang dibikin tim HCM itu butuh kolaborasi dengan corcomm, karena corcomm adalah corong informasi dan komunikasi perusahaan ke eksternal... public eksternal, ya. Dari sisi kapabilitas dan otoritas, HCM sebenernya tidak punya kewenangan untuk melakukan komunikasi ke eksternal, kalau di Telkomsel seperti itu aturannya, ya. Kami sadar kami berangkat dengan merasa adanya kebutuhan yang sama, visi yang sama, makanya ini harus dikolaborasikan, nggak bisa jalan sendiri-sendiri. Tim HCM tidak bisa jalan, tidak bisa komunikasi ke eksternal kalau tidak ada guidance dan insight dari corcomm, begitu juga dengan tim corcomm tidak bisa jalan sendirian. Basically, apa yang coba kita ehm… sampaikan, apa yang coba kita amplifikasikan, apa pesan yang mau kita sampaikan lewat

channel-channel komunikasi ini, tidak bisa jalan kalau tidak dapat informasi atau big picture

dari HCM. Ini memang perlu saling mendukung, sih, antara dua tim ini.

Proses selanjutnya, ya jauh lebih teknis, ya, kalau kita bikin akun baru, pikirin

positioning seperti apa, terus dari sisi strategi komunikasi supaya bisa konsisten tuh

seperti apa, itu dibicarakan along the way antara HCM dan corcomm. Akhirnya kami menentukan naming account, bio seperti apa, secara konsep seperti apa, storytelling seperti apa, sampai akhirnya Life at Telkomsel ada seperti yag kamu lihat sampai saat ini.

Devina:

Menarik banget, apalagi untuk skrpsi ini aku membahas dari postingan pertama Life at

Telkomsel, sejak September 2020 hingga Februari 2021 gitu. Mas Pandu tadi sempet

singgung, tentang gimana caranya, positioning ingin seperti apa, mungkin boleh elaborasikan tentang konsep dan storytelling yang digunakan oleh Life at Telkomsel?

Pandu:

Oke. Jadi, setelah kami bikin akunnya, on daily basis, kami membuat semacam content

calendar yang selalu mengacu pada objective akhir kita sebenernya pengen apa, ngetrack potential talents.. dalam artian ingin mempengaruhi persepsi mereka terhadap

Telkomsel. Mungkin yang ada di top of mind anak-anak ini, pada saat melihat Telkomsel.. kam juga sebelumnya sudah melakukan riset, potential talent itu ngeliat Telkomsel sebagai perusahaan yang 1) satu, sangat kuat asosiasi BUMN-nya, 2) dua, cenderung kaku. Kalau Telkomsel punya visi sebagai leading digital telco, sepertinya asosiasi atau persepsi ini perlu kita kikis, gimana caranya? Salah satunya dengan komunikasi di channel ini dengan akun @lifeattelkomsel. Jadi our goal in this channel

(11)

tempat bekerja. Mungkin kalo lu liat Telkomsel sebagai perusahaan, gitu yang ada di kepala lu. Tapi, sebagai tempat bekerja, apa sih? Karena selama ini tidak pernah ada informasi yang kami keluarkan, sampaikan kepada eksternal itu bisa memberikan idea atau suggestion ke audiens mengenai Telkomsel gimana sih sebagai tempat bekerja. Jadi, Life at Telkomsel tuh bisa dibilang sebagai, waktu itu ya, satu-satunya channel yang bisa memberikan informasi apa sih yang terjadi di dalam Telkomsel sebagai sebuah perusahaan. Karena sebelumnya nggak ada informasi kayak gitu. Sebelumnya informasi yang keluar tuh terkait sama news, product, customer service, tapi, di dalam perusahaannya sendiri, cara karyawan bekerja, cara karyawan berkolaborasi, cara karyawan develop product, cara karyawan mengamankan network, itu belum pernah ada sebelumnya. Jadi, kami berharap dengan storytelling, dengan konsep komunikasi seperti ini, target audience kami bisa memperoleh semacam persepsi bahwa Telkomsel tidak seperti apa yang mereka bayangkan sebelumnya.

Asosiasi-asosiasi yang menurut kami tadi kurang match dengan visi kami, mulai pelan-pelan kita kikis. Kalo ngomongin lebih detil lagi tentang tactical communicationsnya, kami kemarin tuh bagi jadi beberapa pilar, harus ngecek lagi deck-nya, yang tahu lebih dalam itu Tora… nah tapi aku bisa bilang secara eksekusi komunikasi ada dua pilar besar yang kami ceritakan, karena kebetulan akun ini lahir di tengah pandemi, jadi ruang kami untuk bereksplorasi, untuk menunjukkan excitement kerja di Telkomsel seperti apa tuh menjadi terbatas karena karyawan Telkomsel dari Maret tahun lalu sudah kerja dari rumah. Jadi kami tidak bisa menceritakan sisi-sisi fun, casual bekerja di Telkomsel. Kami harus punya cara lain untuk menceritakan gimana serunya kerja di Telkomsel, kerja di Telkomsel itu punya positive impact untuk masyarakat dengan cara yang berbeda, gitu, misalnya. Makanya, yang kami angkat adalah cerita-cerita tentang karyawan, apa saja yang mereka lakukan selama ini, not necessarily daily activities mereka di kantor, tapi apa sih value yang mereka bikin pada saat bekerja? Apa benefitnya buat masing-masing stakeholders mereka? Itu yang kami ceritakan. Kalo ngomongin potential talents yang kita sasar, mereka selalu pengen iat additional value yang bermanfaat, apa manfaatnya untuk orang lain, gitu. Makanya itu yang kami kejar di cerita-cerita karyawan supaya mereka memberikan inspirasi buat orang-orang di luar sana terutama target audiens kita, supaya mereka tau, kerja di Telkomsel itu ternyata se-meaningful itu, punya manfaat untuk orang banyak misalnya.

Kami juga ada pilar konten yang membahas mengenai tips untuk karier dan bekerja. Kami mau share pengalaman dan expertise kami, knowledge kami selama ini dalam bekerja. Terutama terkait masalah yang dihadapin karyawan sehari-hari. Tips dalam bekerja misalnya gimana caranya lebih kolaboratif, gimana bisa lebih produktif e… itu kami kemas supaya mudah dicerna, tetep fun, tapi mereka tetep dapet konteks utuhnya dan esensinya seperti apa, supaya mereka bisa praktikkan dalam kehidupan profesional mereka sehari-hari. Tujuannya itu sih, jadi secara ga langsung kami mengirim sinyal ke mereka bahwa Telkomsel itu salah satu thought leadership untuk kalo lu mau cari informasi untuk karier tips atau work tips. Jadi kalau tadi karyawan lebih dari sisi gimana sih kerja dalam Telkomsel, konten tips ini lebihke arah ‘oh ya gue bisa dapat

(12)

semacam informasi atau tips yang bermanfaat untuk mendukung professional life gue’. Itu sih persepsi yang kami bangun… yang coba kami bangun di benak audiens.

Devina:

Apakah akun Life at Telkomsel yang tadi distate untuk recruit digital talents itu secara demografis menyasar kepada generasi Z dan milenial kah?

Pandu:

Ya, jadi sebenarnya strategi komunikasi buat employer branding ini harus disesuaikan juga dengan strategi rekrutmen dari tim HCM kami. Kalau aku boleh cerita lagi, strategi employer branding untuk komunikasi ke eksternal itu sebenernya ada dua tujuan. Pertama, yang lebih umum adalah untuk membangun persepsi mengenai Telkomsel sebagai sebuah tempat bekerja. Itu target audiens itu lebih luas, publik manapun bisa kita sampaikan pesan seperti itu. Adalagi yang kedua, yaitu yang lebih spesifik, untuk attract talent, attract digital talent yang tadi aku sudah ceritakan. Nah,

Life at Telkomsel ini positioning-nya, objective-nya, itu lebih menyasar yang pertama

tadi. Supaya audiens di luar sana, publik luas di luar sana get an idea about what

Telkomsel is, sebagai tempat bekerja. Nah, untuk attract digital talent yang spesifik,

menurut kami not necessarily ini satu-satunya channel, gitu. Misalnya ya, Telkomsel mau rekrut data scientist. Belum tentu data scientist itu mainnya di akun IG juga, siapa tau mereka lebih banyak dapet informasi pekerjaan dari komunitas mereka sendiri, dari forum-forum data scientist, gitu kan, dari LinkedIn mungkin, belum tentu dari Instagram, misalnya. Jadi, kalau ditanya siapa target audiensnya, Life at Telkomsel beneran publik yang lebih general, sukur-sukur masih overlap sama target e….

potential talent yang mau kita rekrut, ya. Tapi memang ini bukan silver bullet-nya sih.

Ini tuh bener-bener untuk build general perception aja. Nah kalau ditanya, target audiensnya Life at Telkomsel ini, tadi ya, general public tapi memang kalo bisa lebih deket, lebih beririsan sama target potential talent yang mau kita rekrut. Kalau potential

talent yang mau kita rekrut sendiri, yaitu udah lebih spesifik lagi. Misalnya, kita mau

rekrut yang sudah pengalaman 3-5 tahun, biasanya usia di atas 27 atau 28, kami pakai cara atau channel komunikasi yang lain. Life at Telkomsel malah menjadi secondary

channel, bukan primary channel-nya ya, untuk rekrutmen. Kalau tujuan untuk build perception, iya, Life at Telkomsel adalah primary channel-nya.

Devina:

Nice, Mas. Kalau kayak gitu, mungkin udah di-mention juga kalau misalnya Instagram @lifeattelkomsel membantu untuk shape atau membentuk persepsi ya, Mas. Menurut Mas, bagaimana Instagram berkontribusi terhadap hal tersebut?

(13)

Oke, seperti yang tadi aku bilang, ya. Sebelum ini, publik itu nggak pernah dapat idea atau insight ‘apa sih Telkomsel? Kayak gimana sih, kerja di Telkomsel? Apa sih karyawan? Dalemnya ngapain aja sih?’

Nah dengan adanya channel ini, paling nggak mereka tuh udah dapat gambaran ‘bekerja di Telkomsel itu seperti ini, oh tidak semudah yang gue bayangkan, ternyata

meaningful, punya benefit yang luas untuk masyarakat banyak’, misalnya seperti itu.

Itulah yang pelan-pelan ingin kami bangun, persepsi seperti itu. Kalau ditanya, apakah sejauh ini sudah efektif? Sayangnya kita belum melakukan riset pengukuran yang sebegitu spesifik, ya. Maksudku, dari yang tadinya ga ada, menjadi ada, dari yang tadinya people don’t get the idea, menjadi they get the idea, menurutku itu udah

progress, sih. Memang yang namanya komunikasi untuk employer branding ini ga

Cuma Life at Telkomsel ya, kalau diibaratkan seperti kata Mas Tora (HCM) ya seperti

marathon sih. Ini bukan sprint, karena kita ga mungkin selesai dalam waktu satu, dua,

tiga, lima tahun. Ini kan untuk masa depan Telkomsel, sama seperti yang di awal aku bilang. Tujuannya untuk membuat Telkomsel sustainable puluhan sampai ratusan tahun nanti, gitu. Jadi, ini akan evolving dan progressing terus tapi menurut kami, apa yang sudah kami lakukan ini menunjukkan adanya peningkatan dan growth, dari yang sebelumnya tidak ada sama sekali.

Memang kami sadar ini masih jadi PR untuk mengukur efektivitas, tapi untuk first

attempt, untuk nunjukkin e…. Telkomsel perusahaan seperti apa, ini I think is a good move, sih. Jadi memang masih perlu banyak improvement, tapi it’s a good start

menurutku untuk nunjukkin ini.

Devina:

Oke. Mungkin sekarang boleh diceritain nih, Mas, sekarang lebih mengenai kontennya, gimana sih proses penyampaian pesan, mulai dari pemilihan topik hingga tayangnya konten di akun Instagram @lifeattelkomsel ini, mungkin bisa diceritain juga berapa

lama prosesnya, gitu, Mas.

Pandu:

Oke, berarti on a daily basis, ya, bener-bener yang kerjaan daily basis seperti apa. Misalnya pada saat mau bikin konten, kita tentukan dulu nih, misalnya aku ngambil contoh konten yang cerita employee ya, cerita karyawan. Cerita karyawan itu kita ambil dari ide pertamanya adalah e…. kita mau Telkomsel diliat sebagai perusahaan apa gitu ya? Misalnya, oke, perusahaan yang ternyata menerapkan teknologi canggih. Kita sebenernya bagi… bagi… bagi… prioritas dulu sih, tiering dulu. Jadi, kalau Telkomsel gamau diliat hanya sebagai perusahaan telekomunikasi, kira-kira advancement apa sih, yang Telkomsel bikin, agar publik bisa liat Telkomsel itu perusahaan yang beda. Misalnya, konten-konten awal yang kami taro, tuh, kami… kami… kami amplify di

channel ini adalah Internet of Things, 5G, pokoknya yang e…. future technology… e…. future network, gitu-gitu ya, yang… yang… yang…coba kami itu.. terus.. hm… digital

(14)

advertising, digital services, pokoknya cerita-cerita karyawan yang men-develop digital services, digital advertising, terus ehm… big data, gitu-gitu, ya. Jadi, e…

sesuatu yang bisa bener-bener thought-provoking buat audiens yang bisa bikin mereka keluar dari pemahaman bahwa Telkomsel cuma sebagai perusahaan telekomunikasi yang lu cuma SMS, cuma voice, cuma data. Padahal, scope business Telkomsel jauh lebih luas daripada itu. Nah, ini cerita-cerita karyawan ini yang kami angkat mungkin awalnya masuk dari situ, biar mereka tuh ‘oh ternyata Telkomsel tidak seperti yang aku pikirin selama ini’. Untuk cerita-cerita karyawan, kami coba cari siapa sih, representatif untuk menceritakan ini, dan biasanya yang kami pilih biasanya karyawan yang e…. secara knowledge sudah cukup e…. kompeten dan secara usia kalau bisa lebih muda dan poin plusnya kalau bisa di Instagram dia punya digital presence yang lumayan bagus, gitu sih kriteria yang kami bikin untuk cerita karyawan.

Kalau untuk konten yang general (tips), lebih ke berangkat dari pengalaman e… kami masing-masing di… di… selama kami bekerja, gitu. Nah, kira-kira masalah apa, sih yang paling bisa relevan, bisa… bisa… bisa kita address gitu dan bis akita kasih solusi dan tipsnya untuk audiens kita, gitu, ya. Kami ngambil sumber dari macem-macem, ya, misalnya banyak dari Harvard Business Review, atau dari Inc.com, tapi memang kami kemas supaya bahasanya tidak serratus persen plek-ketiplek dari sumber aslinya. Jadi, selalu kami rework dan adjust sesuai dengan konteks Telkomsel, gitu. Jadi, kami selalu berusaha untuk ngasih additional value dan perspektif dari konten-konten yang tips

working dan karier tadi, gitu. Itu sih, Dav, eh, Dev.

Devina:

Berarti selama prosesnya kalau diitung, dikuantifikasiin, jadi berapa lama tuh, ya, Mas? Pandu:

Untuk bikin satu konten, mulai dari development planning, e…. sampai akhirnya kami

publish, rata-rata seminggu, bisa lebih dari seminggu. Misalnya gini, kalau cerita

karyawan kan kami harus interview karyawannya langsung, ya. Jadi, mulai dari ngegodok idenya nih.. ‘oh ya kami akan interview Indra, salah satu expert-nya IoT kami, gitu’. Pertama, kenapa Indra? Karena itu tadi ya, dia sudah lolos set of criteria tadi, terus, ok, kita reach out ke Indra. Indra setuju, kemudian kita janjian untuk jadwal ketemuan interview, ngobrol, abis ngobrol itu, kita bikin draf tulisannya dalam bentuk

copy key visual. Abis itu setelah kami approve atau sudah di-approve oleh Indra-nya

langsung, kami develop key visual-nya, balik lagi kami preview for approval, abis itu tayang. Ya, mungkin itu kira-kira secara waktu perlu satu sampai dua minggu, sih, itu kalau untuk cerita karyawan, ya. Kalau untuk konten tips and general, karena tidak perlu ada interview, kita ambil source dari yang ada di publik, kemudian kami kaitkan dengan pengalaman sendiri, itu biasanya waktu tidak sampai seminggu, paling lama dua minggu sih, sebenarnya. Dan yang namanya manage akun itu, ini… ini…

nge-create a content is one thing, tapi ya, managing account itu responsibility besar gitu,

ya. Namanya media sosial kan interaktif sifatnya, bukan media satu arah, jadi bikin konten itu satu hal, tapi manage akunnya, maintain interactiveness sm audiens dan

(15)

followers itu menjadi challenge, sih. Gimana supaya engagement tetap terjaga. Tadi

pertanyaan kamu apa, Dev? Udah menjawab belom tuh?

Devina:

Udah, udah. Pertanyaannya tadi berapa lama, sih, tadi, aku nanyanya. Pandu:

Oh, berapa lama. Oke, sip. Devina:

Bagaimana proses untuk penentuan topik-topik tadi membantu berkomunikasi pada audiens ya menurut Mas?

Pandu:

E…. maksudnya gimana, sorry? Devina:

Bagaimana proses penentuan topik dapat membantu berkomunikasi kepada audiens, mungkin tadi sudah disampaikan kalau konten tips itu berdasarkan pengalaman, kalau cerita karyawan ya mengenai pengalaman bekerja di Telkomsel... bagaimana topik-topik yang udah tayang tadi, akhirnya bisa membantu berkomunikasi kepada audiens? Apakah dari audiens sudah ada respon atau mungkin gimana sih mas, audiens menanggapi dari kontennya?

Pandu:

Ehm… jadi e… kalo aku bilangnya yaitu tadi, ya. Kami belum mengukur efektivitasnya seperti apa, tapi tujuan awalnya adalah kami ngasih another angle of

Telkomsel, the other side of Telkomsel, yang mungkin belum pernah mereka tahu.

Harapannya dengan konten-konten yang seperti ini, ya, nunjukkin… nunjukkin

another business side yang orang-orang belum pernah tau. Mungkin orang-orang baru

tau ini perusahaan pulsa atau perusahaan sinyal atau apa. Asosiasi yang seperti itu yang mau kami buang jauh-jauh. Jadi, mudah-mudahan they get the idea, sih Dav, eh Dev. Dev, sorry, aku harus bales message dulu sebentar.

Devina: Oke. Pandu: Bentar, ya. Pandu:

Yes, gimana, Dev, sorry.

Devina:

(16)

talents, secara umumnya tapi untuk membuat persepsi aja kepada publik untuk

memberikan gambaran kehidupan di Telkomsel seperti apa. Nah, kalau kayak gitu, memposisikan Telkomsel sebagai employer ya, Mas. Sebagai employer, apa respon yang diinginkan Telkomsel ketika audiens membuka akun Instagram @lifeattelkomsel?

Pandu: Persepsinya?

Devina:

Bukan, responsnya, Mas. Respon yang diinginkan dari audiens. Pandu:

Ooooh, paling nggak, ya, first impressionnya diliat sebagai e… perusahaan yang keren, udah pasti keren, sih. Keren tuh in terms of kan kita lumayan… menurutku ya, dari sisi visual kita lumayan playful, lumayan fun di akun ini. Jadi, kita pengen dapet mereka tuh saat first impression liat kita ‘wah keren ya’ kayak gitu, ‘wah ternyata Telkomsel seperti ini ya, gua belom pernah denger sebelumnya’, ‘ternyata Telkomsel perannya banyak juga ya, buat orang lain’, ‘oh, ternyata ga semudah ini juga ya nge-develop suatu produk’ yang mungkin selama ini mereka ngerasain layanan telekomunikasi ini

taken for granted. Begitu mereka melihat akun ini, mereka jadi melihat bahwa proses

yang dilakukan internal Telkomsel untuk membuat sesuatu sampe akhirya jadi output produk yang digunakan end-user itu nggak mudah. Jadi, e…. harapannya itu ya. Jadi, mereka e…. itu tadi… get, get, get an idea of something they haven’t seen before, tentunya ke arah yang lebih positif.

Devina:

Kalau misalnya kayak gitu, selain dari Instagram, saluran komunikasi apa sajakah yang digunakan untuk keperluan employer branding ini, Mas? Alasan memilih patform tersebut?

Pandu:

Jadi, buat employer branding, ada beberapa channel yang kalau untuk komunikasi ke eksternal tadi ya, Life at Telkomsel salah satunya di Instagram, LinkedIn Telkomsel, dan Medium Life at Telkomsel dengan positioning yang berbeda-beda tiap platform. Kalau IG @lifeattelkomsel, lebih ke visual display, lebih playful, lebih light. Kalau LinkedIn itu lebih mature, lebih profesional, itu tone-nya ya secara tampilan dan kesan yang ingin didapat. Karena kami sesuaikan positioning akun ini dengan karakteristik masing-masing platform, sih, sebenernya. Kalau di Instagram lebih playful soalnya kan, kalau LinkedIn lebih profesional karena platform-nya itu platform bisnis. Kalau di e… medium, kami posisikan akun ini kayak memperoleh kayak deeper

understanding of our thought process, our work process, jadi di situ karyawan

Telkomsel dapat kesempatan buat nunjukkin behind the scenes dari apa yang mereka kerjakan selama ini. Jadi kalo misalnya di e… mungkin di Instagram audiens bisa dapet

(17)

bisa tahu gimana proses kerja di Telkomsel, gimana sebenernya karyawan Telkomsel punya thought leadership yang bagus untuk masing-masing bidang pekerjaan yang mereka lakukan, gitu.

Devina:

Kalau misalnya Instagram itu masih dibantu sama corcomm since akun Instagram ini sebagai kolaborasi dari HCM dan corcomm, sedangkan kalau medium tuh ada campur tangan karyawannya sendiri yang menulis, karena itu lebih teknis, gitu, ya, Mas? Pandu:

Iya, karena sebenarnya kalau kita ngeliat dari ada satu riset yang menyebutkan kenapa sih kami percaya, karyawan sendiri itu bisa jadi kayak corong komunikasi perusahaan? Karena tingkat reliability karyawan itu tinggi banget, gitu, sebagai sebuah sumber informasi. Jadi, instead of perusahaannya yang ngomong, biasanya kalo karyawannya yang ngomong itu akan lebih di buy in oleh audiensnya. Misalnya gini, kalau ada berita hari ini Telkomsel launching produk baru, itu disampakan oleh akun Telkomsel atau langsung disampaikan oleh juru bicara Telkomsel. Itu bagus, tapi itu komunikasi yang terpoles dengan sangat baik, gitu, ya. Tapi kalo yang ngomong itu Pandu sebagai karyawan Telkomsel yang ngomong ke temen deket atau saudara sendiri gitu, misalnya, itu lebih bisa punya unsur convincing yang tinggi, influencing yang lebih tinggi, karena disampaikan langsung oleh Pandu sebagai karyawan yang mana Pandu itu insider-nya Telkomsel. Jadi, kadang-kadang, kadang-kadang ya, karyawan itu posisinya lebih reliable dari official channel resminya perusahaan dan somehow kita ambil idea itu untuk kita implement untuk di Medium ini, sih. Jadi kayak, ngapain dengerin informasi setiap hari dari redaksinya Telkomsel, kenapa ga langsung dari karyawannya langsung yang punya knowledge dan expertise di bidang itu? Jadi, secara ga langsung kami juga promote expertise karyawan-karyawan ini, bahwa karyawan Telkomsel itu leader loh di bidangnya masing-masing. Mereka itu thoughtful, visioner, kompeten, punya capability di bidang itu yang mungkin, mungkin ya nggak dimiliki oleh karyawan-karyawan di perusahaan lain. Gitu sih, dev, bedanya.

Devina:

Mungkin kita balik lagi ke Instagram, ya, Mas. Gimana sih cara dari akun Instagram @lifeattelkomsel untuk mengajak audiens menanggapi atau berpartisipasi dalam konten-konten yang ada di akun Instagram tersebut?

Pandu:

Boleh ulangi lagi pertanyaannya? Devina:

Bagaimana cara dari tim Telkomsel mengajak audiens untuk menanggapi atau berpartisipasi dalam konten-konten yang ada di akun tersebut?

Pandu:

(18)

e…. proses kreatif ya, di visual kami coba… balik lagi ngomongin soal topik konten itu, kami selalu coba cari yang relevan sama apa yang terjadi di sekitar kita sehari-hari. Misalnya kita coba cari isu yang sedang mencuat, cari, misalnya baru-baru ini, mungkin ini ada yang ga di periode Februari, tapi baru-baru ini, misalnya kemarin itu di social media rame soal ghosting. Akhirnya kami dapet ide, gimana caranya bikin konten ghosting yang untuk konten tips working and general ini. Akhirnya kami dari topik yang sedang trending itu kami coba translate untuk kebutuhan konteks bikin konten ini, jadi akhirnya kami sempat bikin konten ghosting at work itu intinya sebenernya secara umum ngomongin tentang komunikasi sih. Bahwa yang namanya komunikasi dalam pekerjaan sangat fundamental dan jangan sampai ada putus komunikasi. Dari cara bikin konten, kami coba cari sesuatu yang lebih relate dan relevan dari kondisi saat itu. Sedangkan dari sisi treatment visual, biasanya mungkin di ending slide carousel kami akan lempar satu pertanyaan, atau di kolom caption kita juga ‘tulis komentar kamu atau pengalaman kamu di kolom komentar’, itu salah satu cara kami untuk bisa engage sama followers supaya ada interaksinya dengan followers. Kami juga sadar ini kayak yang namanya build engagement dan interactivity itu ga gampang di social media, karena masing-masing orang punya preference, atau nggak semua orang nyaman untuk memberikan komentar, tapi ga ada masalah juga, sih. Tapi dari cara kami bikin konten, kami berusaha untuk menjaga supaya gaya lebih

conversational, tidak menggurui, atau hanya memberikan informasi aja gitu. Itu kalo

di Instagram feed, kalau di Instagram story jauh lebih interaktif, karena Instagram story secara nature lebih fast paced, orang lebih willing untuk bales di Instagram story,

followers-followers kami. Belakangan kami merasa, kalau tujuan untuk build engagement, build interactivity sama audiens, mungkin lebih efektif di Instagram story,

tapi kalau untuk thought leadership, storytelling, itu mungkin lebih pas untuk Instagram feed. Along the way akhirnya kami menemukan celah itu.

Devina:

Adakah komponen yang harus selalu ada dalam akun Instagram @lifeattelkomsel? Pandu:

Komponen yang dimaksud seperti apa, ya? Devina:

Bisa jadi kayak kalimat, sesuatu yang ada di caption, visual, atau copywriting, gitu, mas?

Pandu:

Oke. Gaada yang spesifik, tapi kami percaya kalau message yang kami ingin sampaikan dibawa dengan gaya storytelling, itu bisa lebih compelling dan i, karena memang secara biologis manusia suka sama cerita, dan storytelling menjadi tool yang powerful untuk meng-influence, membangun persepsi, itu sih yang kami coba. Jadi, kalau kami bisa eksekusi komunikasi dengan storytelling, our chance untuk influence atau bangun persepsi di mata audiens sepertinya lebih besar. Kami selalu coba cara storytelling pada saat setiap kali bikin konten itu, dan vibes-nya pasti selalu positif, tidak mau negatif, kita selalu cari cara supaya eksekusi konten yang kita bawa itu selalu encourage orang

(19)

instead of discourage orang. Tone selalu kita arahkan ke yang lebih positif, ga yang

negatif, depressing, bikin orang terkucil, demotivasi, justru malah kita menghindari itu. Jadi vibes dan energi yang kami bagikan melalui channel ini ya untuk arah yang lebih positif.

Eh, Dev, kayanya bentar lagi aku harus cabut. Devina:

Pertanyaannya masih agak lumayan banyak mas, apa abis ini kita atur jadwal lagi atau

via call whatsapp?

Pandu:

Kalau mau di zoom atau di manapun bisa, tapi aku cek ya, sebentar. Nanti sore kita ketemuan lagi jam empat sore, gimana?

Devina:

Bisa, oke, boleh, Mas. Pandu:

Oke, kalo gitu jam empat yaa. Thank you, Dev. Devina:

Thank you juga, ya, Mas.

Tambahan tanya jawab melalui Zoom online meetings pada 21 Mei 2021.

Devina:

Sore, Mas Pandu. Pandu:

Noise kamu kedengeran banget, ngeganggu recording-nya gak ya?

Devina:

Gapapa, Mas. Aku sudah back up ke HP, juga, jadi aman. Pandu:

Ya udah, jadi, gimana? Devina:

Oke. Sore Mas Pandu, kita lanjutin lagi dengan pertanyaan yang tadi pagi mungkin terpotong. Kalo Mas Pandu memposisikan diri sebagai audiens, gitu, ya, sebagai pengguna Instagram. Ketika Mas buka Instagram terus klik atau ngeliat di explore ada

posting-an Life at Telkomsel, gitu, e…. kesan apa sih, Mas yang terbentuk untuk

(20)

kesan apa sih, yang ingin dibentuk terhadap audiens itu dan akun Life at Telkomsel ini ingin dilihat seperti apa? Dan gimana cara mencapai hal tersebut.

Pandu:

Di jawaban yang tadi kayanya aku udah jawab, kalo ga salah. Kesan yang mau dibentuk kalau bisa mengikis asosiasi BUMN atau perusahaan yang kaku atau tua, itu tuh udah ada kan ya? Kita pengen dilihat sebagai… dari akun Life at Telkomsel ini di Instagram lebih playful, lebih cheerful¸ lebih fun, e….. tapi mereka juga get the sense kalo Telkomsel tuh ya tetap bisa memberikan manfaat. Itu-nya nggak hilang. Gitu, Dav, eh, Dev.

Devina:

Menurut Mas sekarang, hal tersebut udah tercapai belum? Pandu:

Ehm… balik lagi ya, ini kita tidak bisa mengambil kesimpulan terlalu awal, terlalu prematur, karena kita nggak pernah, belum… belum pernah ngukur efektivitasnya gitu, ya. Balik lagi yang aku bilang tadi, yang penting ada progress-nya. Dari yang tadinya ga ada, they get no idea, menjadi ada, they get the idea, walaupun dari yang tadinya ga ada jadi ada kan pastinya ada… ada… pengaruhnya, ya, ada impactnya. Cuma sayangnya memang belum kita lakukan riset, gitu. Cuma sementara… kalau mau dilihat e…. secara ini ya… ehm… secara permukaan, kita sama-sama bisa lihat dari respon-responnya followers kita di Instagram baik dari feed maupun story, komen-komen seperti apa, engagement dari sisi likes dan share seperti apa, gitu, sih.

Devina:

Ini juga menarik. Kalian udah liat dari audiens mana konten yang menarik dan nggak. Kalau menurut Mas sendiri, ada nggak sih, tips dan trik yang bisa dibagikan untuk membuat konten ini menjadi menarik? Dan apa sih definisi menarik bagi tim?

Pandu:

Ya, kami melihatnya secara general ya. Tampilan yang lebih menjauhkan asosiasi Telkomsel dari perusahaan BUMN, itu yang kita pengen, kan. Kalau ngomongin menarik, itu relatif ya, cuma bisa dibilang kita gak pengen secara tone beda jauh dari misalnya akun-akun serupa dari brand lain, dalam arti dari cara kita, gaya bahasanya, eksekusi visualnya, itu kita pengen ga terlalu jauh dari situ, tapi punya identity sendiri. Itu itu definisi menarik menurut aku. Mungkin secara umum ya… dalam tanda kutip ya, mungkin definisi menarik bagi anak-anak gaul yang gimana ya, yang agak edgy,

gitu-gitu loh, mungkin menariknya dari sisi itu, kali yah. Aku ga ngerti apakah itu

sudah cukup menarik bagi mereka, cuma kami selalu berusaha supaya konten-konten atau komunikasi yang kami lakukan di Life at Telkomsel itu tetap cool gitu, loh. Bagi mereka bisa diperceive sebagai sesuatu yang cool. Udah, itu aja. Karena kalau ngomongin social media, spektrumnya luas banget, gitu. Yang menurut kamu menarik, atau cool atau keren, bisa jadi beda sama aku, ya. At some point kita bisa ketemu

(21)

tengahnya, yang kira-kira tetep bisa cool,tanpa ngilangin identity Telkomsel seperti apa yang kita punya sekarang.

Devina:

Sekarang kan akun Life at Telkomsel ini sudah berjalan hampir satu tahun, gitu, ya, Mas. Fitur Instagram mana yang dirasa paling membantu dalam proses penyampaian pesan, menurut tim Life at Telkomsel?

Pandu:

Beda-beda ya kalau di Instagram ini. Seperti yang tadi sempet aku bilang, kalo e…. selama ini berdasarkan apa yang kami lakukan, sudah hampir setahun ini, konten-konten yang kami posting di Instagram feed, konten-konten-konten-konten yang lebih mungkin memberikan insight untuk audiens, bisa memberikan edukasi dan manfaat dari audiens, itu nggak necessarily akan naikkin engagement atau traffic. Tapi, kalau dari sisi apa, e… Instagram story, justru di situlah conversation lebih banyak muncul, gitu. Mungkin aku ga ngerti ya behaviornya audiens kita seperti apa atau sedalam apa, tapi masih banyak di antara mereka yang enggan berkomentar kalau di Instagram feed. Tapi, kalau di Instagram story, mereka lebih willing, gitu. Yang selama ini kami pantau, e… komentar yang muncul di Instagram feed, biasanya adalah kalau kami posting cerita karyawan, itu circle-nya karyawan di kantor, yang biasanya akan nimpal atau ngasih komen. Kayaknya untuk circle yang di luar karyawan atau di luar Telkomsel, belum terlalu banyak yang respon seperti itu. Gitu, Dev, kira-kira.

Devina:

Hm.. kalau kayak gitu kan tadi juga udah dijelasin yang feed gimana, yang story gimana, mungkin lebih dielaborasiin, kali, ya. Mungkin mas Pandu bisa menjelaskan, konten seperti apa yang pada akhirnya bisa memicu atau melibatkan audiens? Konten seperti apa yang menarik perhatian mereka, dan seberapa sering hal tersebut dilakukan?

Pandu:

Hm.. e… story itu kami selalu berusaha keep up setiap minggu selalu nyapa, sih. E… di story, ya. Jadi, e… intinya kami selalu coba cari topik, gitu, apa yang bisa menjadi bahan menarik untuk jadi bahan diskusi, gitu, atau bahan percakapan dengan followers. E….. inspirasi dapet dari mana, bisa berangkat dari apa yang mau dibahas sama Telkomsel, dalam arti masih ada kaitannya sama bekerja di Telkomsel, atau sama sesuatu yang baru, atau misalnya kita lagi punya satu message yang mau disampaikan kepada audiens luas, ya. Kita coba kemas supaya bahasanya bisa e…. kayak kita lebih banyak bercerita, gitu. Lewat eksekusi beberapa visual di Instagram gitu, ya, kita share di story, seolah kita coba bangun percakapan dengan audiens itu. Kalau pendekatannya lebih kita tone down dalam bentuk percakapan, instead of komunikasi satu arah, itu biasanya lebih efektif untuk gather atau raise engagement sama followers. Gitu, sih, Dev.

(22)

Devina:

Apakah ada prioritas untuk feed atau story, mana yang lebih diutamakan? Pandu:

Nggak, sih, itu komplementer. Jadi, kita gak bisa bilang lebih penting IG feed atau Instagram story, karena masing-masing telah berjalan dan kami lihat memang punya

positioning masing-masing karena ada followers yang tertarik sama konten IG feed,

gitu, karena pengen dapet insight, pengen dapet informasi lebih dalam tentang pekerjaan, apa aja yang ada di Telkomsel, tapi ada juga yang pengen e… diskusi, ada

conversation sama miminnya Telkomsel, dan itu akan mereka dapatkan dari Instagram story. Jadi, ini bukan pilihan, sih, kita harus jalaninnya, Dev. Kami juga memanfaatkan

fitur highlight ya, terutama juga buat ngegali sisi-sisi lain dari pekerjaan di Telkomsel gitu, ya, di luar dari yang ada di Instagram feed, sebenarnya. Kayak misalnya, di medium kami taro di situ. Di highlight, kalo ga salah ada mediumnya, kami juga manfaatin fitur linktree di bio, di bio itu ada beberapa link yang terkait dengan medium Telkomsel dan fitur-fitur lainnya, ini aku sambil cek. Jadi, kalau mereka mau explore, di highlight ada medium, ada book recommendations karyawan Telkomsel, linktree di situ ada e… beberapa cabang yang mengarah ke page article medium, atau LinkedIn-nya Telkomsel, gitu, ya. Ehm. Di situ sih, bisa diexplore sama… sama…. followers kami.

Devina:

Oke. Berdasarkan percakapan kita yang lalu, Mas Pandu ada sempat singgung kalau misalnya target audiens in ikan publik umum, spektrumnya juga luas, tuh, ya, Mas. Siapa aja bisa akses akun Life at Telkomsel. Karena luasnya itu, apakah ada kustomisasi isi pesan berdasarkan audiens yang dituju? Maksudnya kan dengan luasnya spektrum bisa banyak age group, apakah ada kustomisasi untuk masing-masing age group? Pandu:

Secara segmentasi, pada saat aku bilang luas, bukan dalam arti, bukan dalam konteks yang kayak… semua orang, tentunya kita juga punya segmentasi usia dan segmentasinya itu ehm.. kalau misalnya kita ibaratkan, misalnya, kalau kami punya target untuk rekrut tech talents misalnya atau digital talents yang bener-bener di apa namanya di bagian tengah, di layer selanjutnya itu adalah ya kira-kira circlenya digital

tech talents ini siapa aja. Jadi ngga terlalu jauh dari digital talents yang udah kita

targetkan, sebenernya. Jadi kurang lebih secara psikografis atau demografis nggak beda jauh dari digital talents itu, tapi juga nggak terbuka lebar untuk semua publik, gitu. Karena yang namanya audiens itu tadi ya spektrumnya luas. Jadi, yang kami sebut sebagai audiens Life at Telkomsel yaitu, satu layer dari primary target buat recruiter, eh buat rekrutmen gitu, sih Dev. E… bukan jauh berlayer-layer di atas itu ya, masih satu layer, yang kira-kira masih nyambung lah ngobrolnya, ga jauh sama digital talents yang tadi kami incar untuk rekrutmen.

(23)

Oke mas, selanjutnya nih, apakah ada pengembangan konten yang dilakukan dalam akun Life at Telkomsel? Dan kalau ada, boleh diceritakan proses pengembangannya gimana? Bukan pertumbuhan konten, tapi setelah beberapa kali bikin konten kan jadi tau mana yang oke buat akun Instagram @lifeattelkomsel, gitu? Gimana sih proses pengembangan sampe akhirnya ini oke, mungkin dari segi format atau gimana, Mas? Pandu:

Pengembangan akun gitu, ya… oke, hm… jadi tiap…. Ini kita agak-agak nyenggol soal

monitoring sama evaluasi, ya. Jadi kan tiap bulan kami selalu punya monitoring, punya monthly report untuk memantau performansi konten-konten dan komunikasi yang

kami lakukan di akun ini. Dan itu sebenernya proses untuk e…. improvementnya berjalan secara berkala.. eee.. setiap kali kita liat ada suatu apa namanya, kita sambil belajar, dalam arti kita melihat suatu fenomenal mana akun paling performing, atau akun mana yang paling least performing, kalau misalnya dicompare sama bulan-bulan selanjutnya, apakah itu linear atau nggak, sejalan apa nggak?

Kalau memangnya misalkan sejalan, kita bisa ambil kesimpulan lebih awal, oh berarti konten-konten seperti ini yang misalnya kurang disukai audiens, justru ada tipe-tipe konten lain yang misalnya setelah kami evaluasi selama berbulan-bulan, itu secara likes lebih tinggi, kita jadi lebih tau patternnya, audiens kami suka konten yang seperti ini. Untuk sekarang ini, ya itu, ya… kami belajar dari monthly report yang secara berkala kami evaluasi itu ya performance-nya, untuk sekarang ini, pengembangan ke depannya e…. kami masih belum fokus ke arah sana lagi. Fokusnya lebih maintain konsistensi dulu, always on ada dulu, sambil kita coba gather kira-kira ada strategi apa lagi yang bisa ngebantu supaya bisa lebih powerful untuk mencapai tujuan awalnya. Kalau diliat, misalnya salah satu indikator yang kita lihat misalnya e…. jumlah followers, gitu ya. Jumlah followers itu, e… kita memang ga pernah punya target dari awal harus punya followers sekian, tapi yang kita lihat adalah setiap bulan kalau bisa selalu progressive angkanya dan followers bertambahnya bukan karena kita dorong pakai akun palsu atau apa, tapi memang secara organik dorong itu. Kalau memang misalnya kami ada kerja sama dengan beberapa influencers atau KOL yang kemarin sempat kami lakukan bulan Desember, kami kerja sama dengan empat KOL untuk bikin Instagram Live, gitu, ya, itu sebenarnya secara numbers tidak berpengaruh segitu banyak, tetapi secara

engagement membuat orang lebih aware bahwa Telkomsel punya akun ini. Telkomsel

punya akun yang bener-bener jadi wadah dan dapat perspektif sebagai tempat bekerja. Gitu, sih, ee… Dev.

Devina:

Akankah ada, ke depannya e… campaign-campaign atau program seperti ini lagi, ya, yang seperti kemarin IG live tadi untuk ke depannya? Karena lumayan nih, membantu mengembangkan awareness, apakah sekarang dirasa sudah cukup atau mungkin nanti akan ada lagi?

(24)

Ya, sampai sekarang belum ada plan ke arah sana, ya. Kemarin itu kalau ngelihat dari sisi jumlah followers tidak naik signifikan, tapi paling nggak, kami bisa e… attract atau e… ngegrab attention dari followers KOL atau influencers untuk program tersebut. Sampai saat ini belum ada plan untuk seperti itu, mungkin untuk saat ini yang jalan sekarang adalah kami kolaborasi sama bukan KOL sebenarnya, sama beberapa new

media gitu, ya, e… aku lupa nama medianya, aku harus cek dulu, tapi intinya, e…

karena balik lagi ya, primary target audiens kita sebenarnya untuk rekrutmen adalah

tech talents, jadi tech talents ini kita kolaborasi sama komunitas misalnya e… media

yang punya basis e… audiens e…. apa namanya e… data scientist, misalnya. Atau data

analyst, misalnya. Kayak kemarin misalnya kita punya e…. kerja sama sama

komunitas Workipedia: Spill the Tech. Di situ jadi salah satu vehicle kita untuk memperkenalkan karyawan-karyawan Telkomsel, sih, sebenarnya, di sini ya. Di hadapan audiens yang sudah komunitas, yang sudah benar-benar tersegmentasi sesuai yang kita pengen. Jadi kayanya kolaborasi-kolaborasi yang kayak gini yang bikin orang lebih aware sama akun ini dan ujung-ujungnya lebih aware sama Telkomsel sebagai tempat bekerja.

Devina:

Oke. Selanjutnya, Mas, variasi konten sudah sejauh mana dilakukan sama akun @lifeattelkomsel dan seberapa besar pengaruhnya sama engagement, lebih ke arah positifkah, atau negatif?

Pandu:

Ehm… e… kami sebetulnya lagi jalan, pas banget, nih, Dev… sore ini kita ada konten baru, e… bukan baru ya, jadi ada satu konten yang lebih related sama ke-HCM-an, sih. E… ini ngomongin work from home, fenomena gitu, ya. Konten ini sebenernya not

necessarily tips, tapi semacam konten renungan buat, buat siapa pun pekerja di luar

sana, profesional di luar sana yang pengen ngedapetin arti lebih dari e… bekerja dari rumah selama masa pandemi. Mungkin nanti topiknya bisa beragam, ya, tapi tujuannya konten ini, tuh lebih ajak orang untuk refleksi, gitu. E… not necessarily harus kita kasih tips, ya, tapi ajak ngobrol, ajak.. ajak… apa namanya, ngeliat kembali, look back apa yang kita alamin selama ini, dan kira-kira apa, sih yang bisa kita pelajari dari situ. Konten itu lagi kita coba, sih, dan kita gatau performancenya gimana, mungkin sebenarnya belum tentu bisa jadi konten rutin cerita karyawan dan general tips, tapi paling tidak menambah variasi jenis konten yang ada di akun ini.

Devina:

Kalau misalnya format wise, apakah akan jadi seperti sekarang lagi, Mas? Carousel lagi, atau single post atau mungkin jadi audio/video, Mas?

Pandu:

Ah, kalo formatnya seperti itu, nggak sih, kayak, so far belum ada untuk arah yang

develop dari sisi variety of format, belum sampai difokusin ke arah sana, karena jujur

(25)

waktu, butuh energi, untuk memikirkan mateng-mateng, basically dari sisi manpower juga ada, gitu, ya, tapi sayangnya dari sisi manpower kita gak nambah, ide akan selalu ada, kalaupun kita punya ide, ga akan bisa dieksekusi dengan baik atau dengan cepat, ya, karena secara resource kita gak ada. Ini jadi salah satu handicap kita sih, salah satu

drawback kita untuk bisa ngembangin akun ini. Sayang sih sebenernya, tapi mungkin,

mungkin bisa dipahami kalau management Telkomsel belum terlalu memprioritaskan ini jadi salah satu strategi yang bener-bener pelru dipikir sebagai sesuatu proyek atau inisiatif yang strategic untuk perusahaan. Intinya, kita tetap mengusahakan dengan berbagai macam limitations, tetep ngusahain untuk akun ini tetep bisa always on, tetep interaktif dengan segala keterbatasan yang ada. Jadi, pengembangan pasti akan ada, cuma semuanya balik lagi, tergantung sama gimana kita set prioritas, gimana kita

manage untuk waktunya, dan segala macem.

Devina:

Bagaimana uhm… kalau misalnya tadi Mas Pandu sudah sempet singgung juga report secara berkala untuk mengukur evaluasi dari masing-masing kontennya, gitu, kan, selama satu bulan. Nah, gimana sih, boleh diceritain nggak, mekanismenya dan indikator kesuksesannya? Definisi performing itu seperti apa?

Pandu:

Kita selalu ga pernah punya minimum requirement dari sisi angka, ya, misalnya apakah

likes di atas seratus udah bagus apa belum, gitu. Kami nggak mau terlalu terpaku sama

metriks seperti itu, sih. Bagi kami, as long as ini bisa memberikan value yang lebih buat audiens, gaakan necessarily harus diliat dari angka, sih, sebenernya. Intinya tetep balik lagi, ya, e… objective-nya adalah memberikan sesuatu yang punya manfaat gitu untuk audiens, sukur-sukur audiens yang menkonsumsi atau berinteraksi di akun ini tuh bisa mendapatkan sesuatu yang berguna untuk kehidupan profesional mereka. Gitu sih, sebenernya, e… memang keliatannya sangat kualitatif, ya, tapi memang kami ga punya target kuantitatif soalnya, karena apa ya, target kuantitatif bisa menjebak. Kita bisa dapet jumlah likes yang tinggi, hanya dengan bikin sesuatu yang receh tapi secara

value belum tentu ada. Idealnya kan, bikin sesuatu yang low effort tapi dengan high impact, gitu misalnya. Nah untuk bikin sesuatu yang high impact, kadang-kadang ga

bisa bikin dengan yang low effort, gitu. Sayangnya seperti itu, apalagi untuk content

creation di social media, rumusnya ga berlaku itu. Tapi, buat kami yang penting sustainability, gimana kita bisa maintain konsistensi, yang penting always on, tetep

kasih vibes yang positif, e… evaluasi itu bisa dibilang secara kualitatif banget dan kasat mata aja, gitu. ‘Oh, kira-kira mereka bisa bakal suka yang seperti ini, kira-kira ada faktor apalagi, ya, yang bisa bikin ini, nih, likesnya lebih tinggi, dibandingin yang lain.’ Itu selalu kami analisa sifatnya, tapi memang belum ada patokan yang kayak ‘Oh iya kita coba, ya, minggu depan atau bulan depan likes kita kejar di atas 200’, gaada seperti itu. Balik lagi, buat kami kami nggak mau terjebak sama metriks-metriks seperti itu, angka yang tinggi pun belum jaminan bahwa itu bisa resonance dengan audiens kami, tapi kami yang penting apa yang kami offer ke audiens bisa memberikan value untuk audiens. Secara ga langung, kalau Telkomsel vibesnya positif, kalau lu kasih values,

(26)

kasih manfaat, secara ga langsung akan build perceptions tentang perusahaan itu seperti apa. Karena Telkomsel gak mau terjebak di e… apa namanya di… di… pembicaraan atau diskusi-diskusi yang tidak memberikan manfaat yang unfaedah seperti tu, sih.

Devina:

Berarti kalau misalnya buat memberikan value kepada pembacanya, susah banget, ya, mas untuk diterjemahin?

Pandu:

Iya, ehm.. kalau aku liatnya gini, sih. E…. luas ya buat kamu misalnya definisi sampe sejauh mana yang memberikan value? Balik lagi kira-kira psychographic-nya si audiens secara umum seperti apa yang kami tau, yang menurut kami sih apa yang kami lakukan selama ini e… sudah mengarah ke sana walaupun belum sempurna, banyak sih sebenernya cita-cita, balik lagi secara resource, bener-bener sangat terbatas. Jadi ga semua cita-cita bisa langsung diwujudkan gitu, loh, Dev. Jujur aja secara evaluasi

performance belum maksimal juga, banyak hal yang serta-merta ga bisa dikuantisir

dikalkulasi secara angka. Mungkin ada banyak yang aku miss, sorry, tapi in terms of

engagement rate, sebenarnya, metriks yang kita bisa pakai engagement rate, ya? Engagement rate kami tuh bagus, aku tuh kemarin sempet present report gitu. Sampai

akhir tahun 2020, ngomongin data ya, dalam waktu tiga bulan waktu itu, engagement

rate kami itu paling tinggi di antara tech startups dan telco operators, di angka 6,68

persen. Tapi itu juga mungkin dipengaruhi dengan number of followers yang masih sedikit, karena makin tinggi number of followers biasanya engagement ratenya semakin turun, biasanya seperti itu kecenderungannya, ya. Ini kami suspect kenapa

engagement rate kami tinggi, mungkin karena jumlah followersnya di angka 2400

sekarang suah 8000 sekian. Cuma, buat kami ini small wins aja, gitu. Ini bisa dicelebrate, tapi mungkinga boleh terlalu lama karena sebenarnya masih banyak hal yang bisa diimprove dari akun ini. Tapi, kalau ngomongin in terms of number, mungkin ini bisa diangkat.

Devina:

Oke, tadi mas Pandu juga sempet singgung tentang ehm… keterlibatan audiens, di feed masih kurang, di story lebih responsif, kalau ngomongin hubungan gitu… hubungan seperti apa sih mas yang ingin dijalin dengan audiens? Adakah strategi-strategi khusus untuk treat audiens in terms of keterlibatan?

Pandu:

Kami coba selalu pancing lewat IG story, sih, karena sudah terbukti IG stories ini bisa membangun conversation, e… kami akan coba lebih intens lagi untuk bikin IG story, gitu, ya e… kalau IG feed masih belum ketemu kenapa celahnya belum bisa dapat banyak komentar dari followers, tapi buat kami ga masalah, as long as masih banyak yang pada tertarik untuk berinteraksi sama kami, mungkin salah satu indikatornya sekarang ya seberapa banyak respon yang ada di IG story per konten di story. Itu dulu,

(27)

sih Dev, sambil kita juga gali lagi, coba analisa lagi, apa yang bisa kita lakukan untuk lebih interaktif.

Devina:

Kalau aku lihat salah satu konten di Life at Telkomsel kan ada konten yang mengusung tentang customer-centricity, apakah di akun @lifeattelkomsel ini juga mengusung hal tersebut? Dalam artian, nantinya akan ada hubungan yang lebih personal, akun yang lebih dipersonafikasikan, atau mungkin secara hubungan keterlibatan juga lebih personal, atau gimana?

Pandu:

Maksud kamu tuh, gini ya, personalized? Devina:

Iya, personalized. Contohnya kalau beberapa akun, misalnya anaknya Telkomsel seperti by.U, gitu, kan bener-bener keliatan kayak orang, dalam artian…

Pandu:

Ooooh, maksudnya humanize the brand ya? Devina:

Iya, personafikasi. Pandu:

Ya, ya itu, salah satu ultimate dream kami, sih, kami ingin humanize akun ini sebagai e.. seolah-olah seperti manusia, gitu interaksinya. So far, mungkin masih belum maksimal. Tapi apa yang kita coba kita lakukan di feed, atau Instagram story, itu cara-cara kami humanize akun ini, gitu. Termasuk komen-komen atau reply-reply yang ada di kolom komentar. Kami nggak mau jadi akun yang kaku, yang seperti robot, karena akan bikin…. Sebisa mungkin akan coba humanize lagi, walaupun memang challengenya ga gampang, banyak challengenya. Balik lagi ya, jadi bagian dari

continuous improvement.

Devina:

Next, gimana, sih, mas, keefektifan… selama ini mungkin dalam satu tahun terakhir,

bagaimana keaktifan peran dari Instagram dalam menyampaikan pesan kepada audiens? Apakah sudah cukup okay, atau gimana?

Pandu:

Sayangnya belum sejauh itu, menurutku cara untuk validasi yang paling appropriate adalah bikin riset, ya dan ini sih sudah ada di agenda kami cuma belum dilakukan. Riset ini akan bikin clear apa sih ekspektasi audiens, gimana caranya cari efektivitas antara audiens dengan pesan yang mau kita sampaikan. Sebenarnya itu kan inti dari

(28)

berkomunikasi di social media. Kita menemukan celahnya, overlap antara kebutuhan komunikator dan kebutuhan audiens. Ini yang masih kami coba cari dan menurut kami, salah satu cara untuk validasinya ya dengan riset. Sayangnya, sampai sekarang kita belum bisa melakukan riset yang appropriate untuk kebutuhan itu. Menurut aku, di saat kita udah melakukan itu, pasti impactnya akan bagus untuk improvement akun ini ke depannya. Tapi, sayangnya belum sih… masih sangat premature juga untuk menilai apakah akun ini berhasil atau tidak. Tapi kalau dari internal kami, kami diskusi so far kami sudah puas dengan performancenya, karena e…. balik lagi, dengan segala macam

limitations dan resource yang terbatas, kami bisa melakukan ini, gitu. Dari yang nol

sampe akhirnya jadi kayak gini tuh sesuatu yang menurut kami ada improvement dan ada progressnya, itu sih yang lebih penting. Continuous improvement, e…. bisa kita jaga sustainability-nya. Udah itu dulu. Kalau mau lebih presisi lagi, kalau tim kami sudah lebih lengkap, resourcenya sudah lebih kuat, misalnya, baru kita bisa ngomongin

improvement dari segi strategi dan taktik yang lain.

Devina:

Apa aja, sih, indikator konten disukai dan kurang disukai sama audiens?

Pandu:

Ehm... kalau ngomongin metriks yang secara umum terlihat, ya… yang terlihat kasat mata di Instagram, ya likes, jumlah komen, relevant comments, jumlah reply segala macem kalo di Instagram story, tentunya sama yang ada di Instagram analytics, ya, itu kan semua sudah diukur. Cuma kalau mau dilihat yang ultimate ya dari sisi engagement

rate, bisa kebaca kan dari Instagram analyticsnya. Among tech startups dan telco operators, kita salah satu yang paling tinggi.

Devina:

Pernahkah akun Life at Telkomsel ini mendapatkan saran dari audiens untuk kepentingan kontennya?

Pandu:

Ada, sih, kami kemarin lupa ya bulan berapa, satu dua bulan lalu pernah lempar di Instagram story ‘harapan kalian terhadap konten kami, konten apa yang ingin kalian

consume dari akun Instagram ini?’, kami dapat feedbacknya dan based on komentar itu

kami catat untuk improvement-nya ke depan seperti apa, makanya itu bagian dari proses tadi, ya. We listened to our customer’s desire atau aspire gitu, ya. Karena balik lagi, ya, komunikasi nggak bisa satu arah, apalagi di social media, ini tuh tingkat

impactivity sangat tinggi, jadi, karena kami juga ingin build relationship sama followers kami, makanya kami ngelempar pertanyaan-pertanyaan seperti itu, sih, Dev.

Kami juga akan mencoba translate feedback tersebut berdasarkan kemampuan kami, kapabilitas kami. Nggak semuanya langsung diterima gitu aja, sambil cross-check sama hasil temuan lain berdasarkan performance bulanan, gitu, misalnya.

Referensi

Dokumen terkait

Saran dalam penelitian ini adalah adanya pengembangan lebih lanjut tentang media pembelajaran komik IPA terpadu pada materi yang lain, dan hendaknya guru dalam proses

Pada event mouse, condition on object clicked pada sisi kiri mouse untuk Button cerita 3.. System akan melakukan animasi Button tiap 1,5 detik setelah Button

Piaget menekankan bahwa abstraksi reflektif melibatkan dua fitur/ciri yang tidak dapat dipisahkan, yaitu pertama “reflechissement”, dalam pengertian suatu aktivitas

1) Keuchik, disamping melaksanakan tugas pemerintahan pada tingkat gampong, keuchik juga berwenang dan mempunyai tugas lain yaitu menyelesaikan perselisihan atau

Namun subkultur dari eksplan yang berasal dari media yang mengandung TDZ 3,0 mg/1 ke media yang mengandung konsentrasi TDZ yang sama menunjukkan jumlah tunas yang

1. Seorang wanita yang telah mengandung, melahirkan, membesarkan serta mendidik penulis hingga akhirnya sampai seperti saat ini, semoga segala bentuk kasih sayang

Kita kayak belajar untuk membaca tipe penulisan berita, nah kalo judul itu kita harus tega- tegaan, aku juga beberapa kali di semprot sama senior gitu, karna

Berapa VOLUME yang PANTAS Supaya ketika STOPLOSS tersentuh maka hanya $100 yang