BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1 Kajian Teoretis
2.1.1 Hakikat Permainan Kasti
Permainan kasti pada hakikatnya merupakan salah satu jenis permainan menggunakan bola dan tergolong ke dalam permainan bola kecil. Jenis permainan ini juga merupakan salah satu materi permainan yang diajarkan di tingkat SD kelas tinggi (kelas IV, V, dan VI). Karena permainan kasti ini tergolong permainan, maka permainan ini tidak terlepas dari proses bermain. Bermain dan permainan adalah dua istilah yang sering dipakai secara bergantian. Bermain adalah kata kerja, dan permainan adalah kata benda. Kedua istilah ini adalah suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Dikatakan bermain karena ada permainan, dan dikatakan permaianan karena di dalamnya ada unsur bermainnya.
Anak-anak SD pada dasarnya sangat gemar bermain. Pada usia ini, bermain merupakan kebutuhannya. Anak bermain berarti melakukan permainan.
Misalnya anak bermain permainan kasti, permainan bola bakar, permainan sepak, dan permainan tradisional lainnya. Di dunia anak-anak, kata Van Den Berg yang dikutip oleh Rijsdorp (dalam Tamat dan Mirman, 2008: 4.4), anak-anak bermain sepanjang hari, sepanjang masa dan diseluruh pelosok dunia. Dengan demikian, setiap anak yang bermain akan melakukannya dengan sungguh-sungguh. Bila ada anak yang bermain tidak dengan sungguh-sungguh, maka petanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres padanya. Misalnya sedang tidak sehat, sehingga teman bermain maupun lawan bermain akan merasa kecewa. Aktivitas bermain yang
7
sungguh-sungguh bagi anak belum tentu dilakukan dengan kesungguhan (earnest). Yang dimaksud dengan kesungguhan di sini ialah bermain untuk memperoleh sesuatu imbalan jasa sehingga bernilai negatif, sedangkan bermain (play) adalah bermain dengan sungguh-sungguh dan bernilai positif.
Menurut Saputra (2002: 6), bermain adalah suatu kegiatan yang menyenangkan. Kegiatan bermain sangat disukai oleh anak-anak. Bermain yang dilakukan secara tertata sangat bermanfaat untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak. Bermain merupakan pengalaman yang sangat berharga untuk anak. Pengalaman itu bisa berupa jalinan hubungan sosial untuk mengungkapkan perasaannya dengan sesama temannya dan menyalurkan hasrat.
Terkait dengan konsep bermain jika pelakunya adalah anak-anak, dapat dibuat suatu simpulan, bermain merupakan kegiatan yang selalu menjadi kebutuhan anak dan menjadi pengalaman berharga baginya karena di dalamnya berlangsung dalam suasana menyenangkan walaupun tidak sungguh-sungguh tetapi terdapat kesungguhan yang menyerap konsentrasi dan tenaga, sehingga dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak.
Seperti yang diuraikan di atas, anak bermain karena ada permainan, maka Caillois (dalam Husdarta, 2010: 131) membagi permainan (game) menjadi empat kategori utama, yaitu: (1) agon, yakni permainan yang bersifat pertandingan, perlawanan kedua pihak dengan kesempatan yang sama untuk mencapai kemenangan sehingga dibutuhkan perjuangan fisik yang keras; (2) alea, yakni permainan yang mengandalkan hasil secara untung-untungan, atau hukum peluang seperti permainan dadu, rulet, kartu, dll, sementara keterampilan,
kemampuan otot, tidak diperlukan; (3) mimikri, yakni permainan fantasi yang memerlukan kebebasan, dan bukan kesungguhan; dan (4) illinx, yakni mencakup permainan yang mencerminkan keinginan untuk melampiaskan kebutuhan untuk bergerak, bertualang, dan dinamis, lawan dari keadaan alam, seperti berolahraga di alam terbuka, mendaki gunung.
Bermain dalam permainan kasti bagi anak tentu menjadi suatu hal yang menyenangkan. Dalam permainan kasti yang begitu unik akan mendorong hasrat anak untuk memainkannya. Berdasarkan kategori-kategori permainan di atas, maka permainan kasti termasuk bentuk permainan bentuk agon.
2.1.2 Pengertian Permainan Kasti
Kata “kasti” berasal dari bahasa Belanda yang berarti suatu permainan di lapangan yang menggunakan bola kecil dan pemukul yang terbuat dari kayu.
Permainan kasti dilakukan secara beregu, yang dimainkan oleh dua regu, setiap regu terdiri dari 12 pemain (Depdiknas, 2001: 26-27). Selanjutnya, pengertian permainan kasti menurut Sukrisno, dkk. (2007: 2) merupakan suatu permainan bola kecil yang dimainkan oleh dua regu, yakni regu pemukul dan regu penjaga.
Regu pemukul berusaha mendapat nilai dengan memukul bola kemudian berlari mengelilingi lapangan. Sedangkan regu penjaga berusaha menangkap bola serta mematikan regu pemukul. Regu yang banyak mengumpulkan nilai menjadi pemenangnya.
Hal senada dikemukakan oleh Tamat dan Mirman (2008: 4.101) bahwa kasti adalah permainan beregu (tim) yang dimainkan oleh dua regu, masing- masing regu terdiri dari 12 orang pemain, bagi regu yang mendapat kesempatan
memukul disebut regu pemukul atau pihak pemukul, dan regu yang bertugas menjaga di lapangan (berjaga) disebut regu lapangan atau pihak lapangan. Kasti dimainkan khusus oleh anak-anak putera atau anak-anak puteri saja.
Berdasarkan uraian pengertian kasti di atas dapat disimpulkan, permainan kasti ialah permainan yang menggunakan bola kecil yang dimainkan oleh dua regu, yakni regu pemukul dan regu penjaga (regu lapangan), setiap regu terdiri dari 12 orang pemain. Regu pemukul berusaha untuk memperoleh nilai dengan memukul bola dan berlari mengelilingi lapangan, sedangkan regu penjaga atau regu lapangan berusaha mematikan regu pemukul. Tujuan dari permainan ini ialah untuk mengumpulkan nilai (poin) sebanyak-banyaknya. Permainan ini juga dapat dimainkan oleh anak-anak putera atau anak-anak puteri dengan catatan bahwa anak-anak putera tidak boleh bercampur (seregu) dengan anak-anak puteri dalam satu regu, sebaliknya anak-anak puteri tidak boleh bercampur dengan anak-anak putera. Kecuali, sesama anak-anak putera atau sesama anak-anak puteri.
2.1.3 Gerak Dasar Permainan Kasti
Untuk dapat bermain kasti dengan baik diperlukan suatu keterampilan teknik dasar permainan kasti itu sendiri. Adapun teknik dasar dalam permainan kasti ialah melempar bola, menangkap bola, berlari, melambung bola, dan memukul bola (Tamat dan Mirman, 2008: 4.106), serta teknik mengelak (Azis, 2000: 6.10). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat uraiannya berikut ini.
1) Teknik lari
Dalam bermain kasti, ketika berlari kencang dan memperhatikan di mana bola berada, serta berusaha menghindarkan diri pada saat akan dimatikan.
2) Teknik melempar. Cara melakukannya:
a) Lemparan bola datar b) Lemparan bola ke atas c) Lempar bola menggelinding
3) Teknik menangkap. Cara melakukannya:
a) Menangkap bola datar b) Menangkap bola rendah
c) Menagkap bola yang melambung ke atas d) Menagkap bola yang menggelinding 4) Teknik melambungkan
Teknik melambung berbeda pengertiannya dengan melempar bola tinggi.
Melambung bola adalah lambungan bola yang dilakukan oleh pemain yang diberi tugas sebagai pelambung kepada pemaim pemukul.
5) Teknik memukul
Teknik memukul dapat dilakukan dengan cara:
a. Memukul bola mendatar;
b. Memukul bola melambung; dan c. Memukul bola merendah.
6) Teknik mengelak
Teknik mengelak merupakan upaya pemain regu pemukul dalam menghindari lemparan dari pemain lapangan (lawan) agar tidak terkena padanya saat ia berlari mengelilingi lapangan.
2.1.4 Peraturan Permainan Kasti
Berikut ini akan diuraikan peraturan permainan kasti dalam Depdiknas (2001: 43-46) sebagai berikut.
1) Waktu
Lamanya permainan 2 x 20 menit atau 2 x 30 menit ditambah dengan waktu istirahat 10 menit.
2) Pemain
a. Pemain terdiri dari dua regu, masing-masing regu berjumlah 12 orang.
Satu di antaranya menjadi kapten regu. Semua mengenakan nomor dada dari nomor 1 s.d 12.
b. Pemain dapat diganti atas persetujuan wasit bila ada alasan yang sah.
Pemain pengganti 6 (enam) orang. Sedang penggantian pemain sebanyak- banyaknya 6 (enam) orang.
3) Bidang sasaran lemparan bola
Pemain hanya boleh melempar lawan dari bagian pinggang sampai dengan kaki. Lemparan bola yang mengenai kepala, tangan dan bagian badan dari pinggang ke atas tidak sah, dan pelempar dikenakan sanksi berupa kartu kuning. Pemain yang melanggar sebanyak dua kali ketentuan tersebut diberi kartu merah dan dikeluarkan dari lapangan dan tidak boleh diganti pemain lain.
4) Pemukul
a. Pemukul berhak satu kali melaksanakan pukulan.
b. Pemukul terakhir apabila di ruang bebas tidak ada orang/kosong berhak melakukan pukulan tiga kali.
c. Pukulan salah apabila bola yang dipukul jatuh pada garis pukul.
d. Pemukul salah kalau bola terpukul oleh tangan.
e. Pukulan salah bila bola jatuh di ruang bebas.
f. Pukulan salah bila bola yang dipukul melambung ke luar lapangan di depan bendera tengah.
g. Pukulan benar bila bola yang dipukul melampaui garis pukul dan tidak melewati garis samping sebelum bendera tengah.
h. Pemukul setelah pemukul bola, harus meletakkan kayu pemukul di ruang pukul.
i. Bila kayu pukul jatuh di luar, tidak mendapat nilai, kecuali apabila segera membetulkan letak kayu pemukul sebelum pemain menyentuh tiang pertolongan.
5) Penjaga
a. Mematikan lawan.
b. Menangkap langsung bola yang dipukul.
c. Membakar ruang bebas, bila dalam permainan ruang bebas kosong.
6) Pelambung
a. Bola dilambungkan sesuai dengan permintaan si pemukul.
b. Bola yang dilambungkan tidak boleh diputar dan tidak boleh membuat gerakan pura-pura.
c. Bila lambungan bola dianggap salah, boleh ditolak oleh pemukul.
d. Apabila tiga kali lambungan dianggap salah, pemukul boleh lari bebas ke tiang bebas.
7) Pergantian tempat
Pergantian tempat terjadi bila:
a. Regu pemukul kena lempar bola oleh regu penjaga.
b. Penjaga dapat tiga kali menangkap bola yang dipukul yang sebelumnya tidak terpantul dari tanah lapangan.
c. Kayu pemukul lepas dari tangan ketika memukul.
d. Regu penjaga dapat membakar ruang bebas yang sama sekali tidak ada pemain pemukul di mana permainan sedang berlangsung.
e. Pelari masuk ke ruang bebas melalui garis belakang.
f. Ke luar dari ruang bebas tidak untuk memukul bola dan ke luar dari batas lapangan.
8) Wasit
a. Bertugas memimpin pertandingan.
b. Wasit dibantu oleh tiga orang penjaga garis, yaitu untuk mengawasi garis samping kanan-kiri dan belakang serta dua orang pencatat nilai.
9) Nilai
a. Pemain regu pemukul mendapat nilai 1, bila dapat memukul bola dengan benar dan dapat kembali ke ruang bebas dengan selamat.
b. Pemain regu pemukul mendapat nilai 2 apabila pukulan benar dan dapat langsung kembali ke ruang bebas dengan selamat.
c. Regu penjaga mendapat nilai 1 apabila dapat menangkap langsung bola yang dipukul oleh pemukul.
d. Regu penjaga mendapat nilai 3 bila dapat menangkap langsung bola yang dipukul tiga kali berturut-turut.
10) Pemenang
Regu yang dinyatakan pemenang ialah regu yang mendapat nilai terbanyak.
2.1.5 Hakikat Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional di kelas. Model pembelajaran dapat diartikan pula sebagai pola yang digunakan untuk menyusun kurikulum, mengatur materi, dan memberi petunjuk kepada guru di kelas. Model pembelajaran ialah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas. Model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas. Suprijono (2011: 46) mengatakan bahwa model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Berbicara model pembelajaran berarti tidak terlepas dari konsep belajar dan pembelajaran. Secara sederhana, belajar merupakan proses perubahan tingkah laku, sedangkan pembelajaran merupakan proses interaksi yang melibatkan guru,
siswa dan lingkungan serta sumber belajar lainnya untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi tersebut merupakan proses belajar. Nah, Sebelum kita membahas model pembelajaran kooperatif, berikut ini akan diuraikan lebih jauh konsepsi belajar dan pembelajaran agar pemahaman terhadap model pembelajaran kooperatif tersebut lebih efektif.
a. Konsep Belajar
Beberapa sumber yang diperoleh mengenai teori belajar akan diuraikan berikut ini. Gagne (dalam Slameto, 2010: 13) memberikan dua definisi belajar, yakni: (1) belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan tingkah laku; dan (2) belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari instruksi.
Lutan (2002: 7) mengatakan bahwa “Belajar adalah perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman, bukan karena faktor keturunan atau kematangan”.
Senada dengan Burton (dalam Usman dan Setiawati, 2001: 4) mengartikan belajar sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara in dividu dengan individu dan individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengnan lingkungannya.
Witherington (dalam Usman dan Setiawati, 2001: 5) menyatakan bahwa
“Belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari reaksi berupa kecakapan, sikap, kebiasaan kepribadian atau suatu pengertian”. Terkait dengan belajar, Suprijono (2011: 4) menjelaskan prinsip-prinsip belajar, yakni: (1) belajar adalah perubahan tingkah
laku, (2) belajar merupakan proses, dan (3) belajar merupakan bentuk pengalaman.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar merupakan proses perubahan tingkah laku yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu melalui pemberian pengetahuan, latihan maupun pengalaman. Belajar dengan pengalaman akan membawa pada perubahan diri dan cara merespon lingkungan termasuk dalam melakukan kegiatan permainan yang melibatkan fisik (jasmani).
b. Konsep Pembelajaran
Konsep pembelajaran menurut Corey adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondosi khusus yang dapat menghasilkan respon. Sedangkan konsep mengajar menurut Burton ialah upaya memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar (dalam Sagala, 2009: 61).
Pembelajaran merupakan hubungan interaksi antara guru dan siswa serta lingkungannya yang dilakukan untuk mencapai target tertentu. Pembelajaran memerlukan suasana yang kondunsif demi tercapainya kondisi pembelajaran yang dinamis, berkesan, dan menyenangkan. Pada pasal 1 Ketentuan Umum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Sehubungan dengan pembelajaran Penjasorkes, tugas utama dalam menyelenggarakan pengajaran adalah membantu siswa untuk menjalani proses pertumbuhan, baik yang berkenaan dengan keterampilan fisik maupun dalam aspek sikap dan pengetahuannya. Cara terbaik untuk memahami perubahan tersebut ialah dengan menyimak dan mengamati perubahan yang terjadi.
c. Konsep Hasil Belajar
Tujuan akhir dilaksanakan kegiatan pembelajaran Penjasorkes adalah untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Hasil belajar dapat ditingkatkan melalui usaha sadar yang dilakukan secara sistematis mengarah kepada perubahan yang positif yang kemudian disebut dengan proses belajar. Sebagai akibat dari proses belajar, maka yang akan terjadi ialah output atau yang disebut dengan hasil belajar. Sudjana (2010: 22) menyatakan hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajar. Selanjutnya Dimyati dan Mudjiono (2009: 3) menjelaskan bahwa hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Warsito (dalam Depdiknas, 2006:
125) mengemukakan bahwa hasil dari kegiatan belajar ditandai dengan adanya perubahan perilaku ke arah positif yang relatif permanen pada diri orang yang belajar.
Rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan intruksional, menggunakan klasifikasi Bloom (dalam Abdullah dan Manadji, 1994: 15; Sudjana, 2010: 22) secara garis besar membagi tiga ranah antara lain:
ranah kognitif, afektif, dan psikomotoris. Selanjutnya Gagne (dalam Sudjana, 2010: 22) membagi lima macam kemampuan hasil belajar antara lain:
1) Hasil belajar intelektual merupakan hasil belajar terpenting dari sistem lingsikolastik.
2) Strategi kognitif yaitu mengatur cara belajar dan berfikir seseorang dalam arti seluas-luasnya termaksuk kemampuan memecahkan masalah.
3) Sikap dan nilai, berhubungan dengan arah intensitas emosional dimiliki seseorang sebagaimana disimpulkan dari kecenderungan bertingkah laku terhadap orang dan kejadian.
4) Informasi verbal, pengetahuan dalam arti informasi dan fakta.
5) Keterampilan motorik yaitu kecakapan yang berfungsi untuk lingkungan hidup serta memprestasikan konsep dan lambang.
Hasil belajar yang diperoleh dapat diukur melalui kemajuan yang diperoleh siswa setelah belajar dengan sungguh-sungguh. Melalui proses belajar seseorang siswa berusaha mengumpulkan pengalaman berupa pengetahuan, kecakapan, keterampilan dan penyesuian tingkah laku. Hasil belajar tampak terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang dapat diamati dan diukur melalui perubahan sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya (Hamalik, 2006: 155).
Berdasarkan konsepsi hasil belajar yang diuraikan di atas, maka hasil belajar pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan juga mencakup 3 (tiga) ranah.
Hal ini senada bahwa sasaran kompetensi dalam pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan mencakup kognitif, afektif, dan psikomotor (Depdiknas-BSNP, 2007: v). Hasil belajar pada aspek kognitif menyangkut pengetahuan dan
pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran, aspek afektif menyangkut sikap dan tingkah laku siswa secara umum dan terhadap materi yang diberikan secara khusus, dan aspek psikomotirik menyangkut tingkat kemampuan serta keterampilan gerak/motorik siswa setelah terlibat dalam proses pembelajaran.
Jadi, pembelajaran merupakan interaksi antara guru dan siswa serta lingkungannya yang dilakukan untuk mencapai target tertentu. Guru bertindak sebagai pengajar dan siswa sebagai pebelajar (yang melakukan proses belajar).
Dengan adanya proses belajar tersebut menghasilkan output yang selanjutnya disebut hasil belajar, yang berarti perubahan perilaku secara positif serta kemampuan yang dimiliki siswa dari suatu interaksi tindak belajar dan mengajar yang berupa hasil belajar intelektual, strategi kognitif, sikap dan nilai, inovasi verbal, dan hasil belajar motorik. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya.
d. Model Pembelajaran Kooperatif
Perkembangan mental siswa di sekolah, antara lain, meliputi kemampuan untuk bekerja secara abstraksi menuju konseptual. Implikasinya pada pembelajaran, harus memberikan pengalaman yang bervariasi dengan metode yang efektif dan efisien. Pembelajaran harus memperhatikan minat dan kemampuan siswa. Penggunaan model yang baik akan turut menentukan efektivitas dan efisiensi pembelajaran. Pembelajaran dengan model koopertif pada hakikatnya melibatkan beberapa orang dalam kelompok atau biasa disebut dengan pembelajaran gotong royong, di mana para siswa bekerja dalam kelompok-
kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lain dalam mempelajari materi pelajaran. Fatirul (2008) menjelaskan bahwa kelompok-kelompok kecil dimaksud bekerja melalui tugas hingga semua kelompok berhasil memahami dan menyelesaikan tugas tersebut.
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang dikembangkan dalam rangka menciptakan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan, agar tercapai hasil belajar berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keragaman, dan lengembangan keterampilan sosial. Untuk mencapai hasil belajar itu, model pembelajaran kooperatif menuntut kerja sama dan interpendensi siswa dalam struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur reward-nya (Suprijono, 2011: 61).
Sehubungan dengan uraian di atas, Hasan mengemukakan pengertian model pembelajaran kooperatif, yakni bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama. Selanjutnya, Slavin mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran di mana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok- kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 sampai 6 orang, dengan struktur kelompoknya bersifat heterogen, sedangkan keberhasilan belajar dari kelompok tergantung pada kemampuan dan aktivitas anggota kelompok baik secara individual maupun kelompok (dalam Solihatin dan Raharjo, 2008: 4).
Model pembelajaran kooperatif pada dasarnya merujuk pada berbagai macam metode pengajaran di mana para siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lain dalam mempelajari materi pelajaran.
Dalam kelas kooperatif, para siswa diharapkan dapat saling membantu, berdiskusi
dan berargumentasi, untuk mengasah pengetahuan dan keterampilan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing. Cara belajar kooperatif jarang sekali menggantikan pengajaran yang diberikan oleh guru, tetapi lebih seringnya menggantikan pengaturan tempat/posisi siswa secara individual, cara belajar yang individual, dan dorongan individual apabila diatur dengan baik, siswa-siswa dalam kelompok kooperatif akan belajar satu sama lain untuk memastikan bahwa setiap orang dalam kelompok telah menguasai konsep- konsep yang telah dipikirkan. Pembelajaran kooperatif tidak sama dengan hanya sekedar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan alasan- alasan. Pelaksanaan prosedur model pembelajaran kooperatif dengan benar akan memungkinkan pendidik (guru) mengelola kelas dengan lebih efektif (Lie, 2007:
28-29).
Dalam pembelajaran kooperatif, para siswa diharapkan dapat bergotong royong, saling membantu, saling mendiskusi dan beragumentasi, untuk mengasah pengetahuan dan keterampilan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing. Lie, 2007: 31 merumuskan lima unsur model pembelajaran gotong royong, yaitu: (1) saling ketergantungan positif, (2) tanggung jawab perseorangan, (3) tatap muka, (4) komunikasi antaranggota, dan (5) evaluasi proses kelompok.
Berdasarkan uraian di atas, model pembelajaran kooperatif menuntut adanya suatu kelompok yang bekerja sama dan interpendensi siswa dalam struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur reward-nya untuk mencapai tujuan. Maksud
dari kata kelompok ini adalah sekumpulan siswa yang berjumlah dua orang atau lebih. Ketentuannya bahwa dalam upaya mencapai hasil maksimal, maka harus menerapkan lima unsur berikut, yakni saling ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, interaksi promotif, komunikasi antaranggota, dan pemrosesan kelompok. Sehubungan dengan kelompok dalam pembelajaran, terdapat beberapa variasi jumlah tiap kelompok, yakni mulai dari 2 s.d 5 orang menurut kesukaan guru dan kepentingan tugas.
2.1.6 Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif pada Materi Gerak Dasar Menangkap Bola Melambung dalam Permainan Kasti
Permainan kasti dibelajarkan di SD khusus untuk kelas tinggi, yakni kelas IV, V, dan VI (Depdiknas, 2001: 7). Tujuan dari pemainan ini bukan semata-mata untuk meningkatkan keterampilan motorik siswa, melainkan sebagai alat pendidikan guna mewujudkan tujuan pendidikan jasmani pada khususnya dan tujuan pendidikan nasional pada umumnya.
Proses pembelajaran permainan kasti di SD diselenggarakan dalam tiga tahapan, yakni tahap pemanasan, latihan inti, dan penenangan (pendinginan).
Namun, sebelum proses pembelajaran ini berlangsung, hal yang perlu diperhatikan ialah (1) susunan barisan siswa dalam bermain jangan menghadap matahari; (2) susunan harus mudah diawasi guru; (3) dari susunan harus terjamin lancarnnya pelaksanaan permainan; (4) susunan harus disesuaikan dengan kemampuan siswa (Depdiknas, 2001: 7).
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam PTK ini saat tindakan pembelajaran guna meningkatkan kemampuan siswa dalam melakukan gerak
dasar menangkap bola melambung pada permainan kasti diselenggarakan melalui model pembelajaran kooperatif. Inti penerapan model pembelajaran ini ialah membentuk kerlompok (terdiri dari 2-4 orang). Setiap kelompok mendapatkan tugas dari guru sesuai gerak dasar yang akan dipelajari saat itu. Di dalam kelompok bekerjasama melaksanakan tugas-tugas gerak, membina hubungan yang baik antarkelompok dengan tujuan menghasilkan kemampuan yang diharapkan.
Dan dalam proses pembelajaran, kelompok tersebut tidak bersifat permanen.
Kelompok dapat pula diubah dalam bentuk berpasangan dan bertukar pasangan.
Menjelang akhir pembelajaran, sisiwa diarahkan pada situasi bermain yang sesungguhnya. Beberapa kelompok akan bergabung menjadi sebuah regu hingga terbentuk dua regu.
Akhir pembelajaran, guru melakukan pengamatan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam bermain, baik secara individu dan/atau kelompok. Hasil dari pengamatan tersebut akan menjadi acuan untuk merencanakan kegiatan selanjutnya.
2.2 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teoretis di atas, maka hipotesis dalam PTK ini ialah:
“Jika model pembelajaran kooperatif diterapkan, maka dapat kemampuan gerak dasar menangkap bola melambung dalam permainan kasti pada siswa kelas IV SDN 48 Hulonthalangi” meningkat.
2.3 Indikator Kinerja
Adapun yang menjadi indikator kinerja dalam PTK ini ialah: “Jika kemampuan gerak dasar menangkap bola melambung dalam permainan kasti pada
siswa kelas IV SDN 48 Hulonthalangi yang mencapai pada nilai 75 ke atas, meningkat dari 35% menjadi 80% ke atas, maka penelitian dinyatakan selesai”.