• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK KARKAS SAPI JAWA (STUDI KASUS DI RPH BREBES, JAWA TENGAH)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK KARKAS SAPI JAWA (STUDI KASUS DI RPH BREBES, JAWA TENGAH)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK KARKAS SAPI JAWA

(STUDI KASUS DI RPH BREBES, JAWA TENGAH)

(Carcass Characteristics of Java Cattle:

Case Study in Slaughterhouse in Brebes, Central Java)

ENDANG PURBOWATI,A.PURNOMOADI,C.M.S.LESTARI danKAMIYATUN

Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Kampus Tembalang, Semarang

ABSTRACT

This case study was done to determine carcass characteristics and carcass components (bone, meat, and fat) of Java cattle. Material observed in this study was Java cattle slaughtered in private slaughterhouse at Badak Village, Ketanggungan Sub-District, Brebes District, Central Java. Sampling was done by accidental sampling method. Observation was done to 30 heads consist of 22 females and 8 males of various ages. A total of 19 pieces (14 females and 5 males) of samples for carcass components were taken from commercial cuts between 9th – 12th of ribs. Data gathered were analyzed using t-test (SUGIYONO, 1997). The results showed that average slaughter weight and carcass weight of male Java cattle (235.25 and 122.03 kg) was higher (P < 0.05) than that of female Java cattle (212.08 and 111.28 kg), but the dressing percentage was relatively similar (P > 0.05) as high as 51.81%. The weight and percentage of carcass components were 0.46 kg (16.43%) for bone, 1.77 kg (63.06%) for meat, and 0.49 kg (20.51%) for fat. Statistical analysis showed that carcass components of male and female Java cattle were also similar (P > 0.05). Meat bone ratio (without fat) and meat bone ratio (with fat) between male and female Java cattle were relatively the same (3.06 and 3.89). It is concluded that slaughter and carcass weights of male Java cattle were higher than that of female, but the dressing percentage, weight and percentage of carcass components, and meat to bone ratio of both male and female were relatively similar.

Key Words: Java Cattle, Carcass, Bone, Meat, Fat

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji karakteristik karkas dan komponen karkas (tulang, daging, dan lemak) sapi Jawa. Materi yang diamati dalam penelitian ini adalah sapi Jawa yang dipotong di RPH perseorangan di Dukuh Badak Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode sampling aksidental. Sapi Jawa yang diamati sebanyak 30 ekor terdiri dari 22 ekor sapi betina dan 8 ekor sapi jantan dari berbagai umur. Sampel karkas untuk pengamatan komponen karkas diambil dari bagian rib antara tulang rusuk ke-9 – 12 sebanyak 19 potong (14 potong sapi betina dan 5 potong sapi jantan). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji-T (SUGIYONO, 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot potong dan karkas sapi Jawa jantan (235,25 dan 122,03 kg) lebih besar (P < 0,05) dari pada sapi Jawa betina (212,08 dan 111,28 kg), tetapi persentase karkasnya relatif sama (P > 0,05) yaitu 51,81%. Bobot dan persentase komponen karkas (tulang, daging, dan lemak) antara sapi Jawa jantan dan betina relatif sama (P > 0,05), yaitu 0,46 kg (16,43%) untuk tulang, 1,77 kg (63,06%) untuk daging, dan 0,49 kg (20,51%) untuk lemak. Meat bone ratio (tanpa lemak) dan meat bone ratio (dengan lemak) antara sapi Jawa jantan dan betina juga relatif sama, yaitu masing-masing 3,06 dan 3,89. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bobot potong dan bobot karkas sapi Jawa jantan lebih tinggi dari pada sapi betinanya, tetapi persentase karkas, bobot dan persentase komponen karkas, serta meat bone ratio relatif sama.

(2)

PENDAHULUAN

Sapi Jawa merupakan salah satu sapi lokal di Indonesia yang memiliki beberapa keunggulan yaitu kemampuan beranak setiap tahun, tahan terhadap kondisi lingkungan tropis, pakan yang terbatas dan resisten terhadap serangan serangga (DISNAK BREBES, 2006), sehingga layak untuk dikembangkan sebagai sapi potong dan potensial dalam memasok kebutuhan daging nasional yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu data terpenting untuk mengetahui produktivitas sapi potong yang akan dikembangkan adalah data tentang bobot potong, bobot karkas, dan bobot komponen karkas (tulang, daging, dan lemak) yang akan memberikan gambaran tentang persentase daging yang dihasilkan. Menurut SNI (2000), karkas dapat diperoleh setelah tubuh ternak sapi disembelih, dikuliti, isi perut dan isi rongga dada dikeluarkan, tanpa kepala, kaki bagian bawah, alat kelamin dan ekor. Karkas dapat dalam keadaan utuh atau dibelah membujur sepanjang tulang belakangnya.

Bobot karkas mempunyai hubungan yang erat dengan bobot potong (SOEPARNO, 2005). Bobot potong yang tinggi biasanya menghasilkan bobot karkas yang tinggi pula. Selain bobot potong, bobot karkas juga dipengaruhi oleh kondisi ternak, bangsa, umur, jenis kelamin, dan proporsi bagian non karkas (BERG dan BUTTERFIELD, 1976). Pada sapi, jumlah lemak karkas sapi betina dara lebih besar dari pada sapi jantan kastrasi, dan keduanya lebih besar daripada sapi pejantan (SOEPARNO, 2005). Karkas dengan proporsi daging yang tinggi dan tingkat perlemakan yang optimal akan lebih disukai oleh konsumen (BERG dan BUTTERFIELD, 1976).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji karakteristik karkas dan komponen karkas sapi Jawa yang dipotong di RPH Brebes. Manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan data karakteristik karkas dan komponen karkas sapi Jawa yang dapat digunakan sebagai pijakan penelitian tentang sapi Jawa berikutnya dan kebijakan pengembangan sapi Jawa sebagai ternak potong.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 24 Agustus – 15 September 2009 dan 10 Desember 2009 – 14 Februari 2010 di Rumah Potong Hewan (RPH) perseorangan yang berlokasi di Dukuh Badak Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Materi yang diamati dalam penelitian ini adalah 30 ekor sapi Jawa, terdiri dari 22 ekor sapi betina dan 8 ekor sapi jantan dari berbagai umur, yang dipotong di RPH tersebut. Sebanyak 19 sampel karkas sapi Jawa (14 betina dan 5 jantan) yang diambil dari potongan komersial rib antara tulang rusuk 9 – 12 diurai menjadi tulang, daging dan lemak.

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain: timbangan ternak digital merk Great Scale kapasitas 1.500 kg dengan ketelitian 1 kg untuk menimbang sapi sebelum dipotong, timbangan digital merk Acis kapasitas 7,5 kg dengan ketelitian 0,5 gram untuk menimbang sampel karkas dan komponen karkas, dan timbangan merk Dachin kapasitas 25 kg dengan ketelitian 100 gram untuk menimbang hasil pemotongan.

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus di RPH perseorangan, karena hanya RPH ini yang kontinyu memotong sapi Jawa. Pengambilan sampel dilaksanakan dengan metode sampling aksidental yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu sampel yang secara kebetulan ditemukan selama penelitian dan sampel dianggap cocok sebagai sumber data. Sapi Jawa yang dipotong dan digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini minimal memiliki 3 (tiga) kriteria dari ciri-ciri eksterior sapi Jawa. Ciri-ciri eksterior yang dimiliki sapi Jawa adalah (1) Warna kulit sapi Jawa bervariasi (cokelat kehitaman, cokelat kekuningan, cokelat kemerahan, putih keabu-abuan, putih dan hitam); (2) Bentuk tubuh ramping dengan struktur daging yang padat dan tidak berpunuk; (3) Terdapat garis warna hitam dari punggung sampai ekor; (4) Pantat dan bagian dalam kaki berwarna putih; dan (5) Warna kulit sapi Jawa jantan dominan cokelat kehitaman sampai hitam. Umur sapi Jawa diketahui dari susunan

(3)

gigi serinya. Sebelum dipotong, sapi tidak dipuasakan dan ditimbang untuk mengetahui bobot potongnya,

Parameter yang diukur pada penelitian ini meliputi bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, bobot serta persentase tulang, daging dan lemak. Cara mendapatkan data dari parameter di atas adalah sebagai berikut:

1. Bobot potong diperoleh dengan cara penimbangan sapi sebelum dipotong. 2. Bobot karkas diperoleh dengan cara

memotong sapi Jawa dan memisahkan kepala, darah, kulit, kaki, organ viscera dan ekor kemudian menimbangnya.

3. Bobot tulang, daging dan lemak karkas diperoleh dengan cara memisahkan daging, tulang dan lemak pada sampel karkas yang diambil dari potongan karkas bagian rib antara tulang rusuk 9 – 12, kemudian menimbang masing-masing bagian. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji-T (SUGIYONO, 1997).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan umum

Lokasi RPH perseorangan yang

di-sampling terletak di Dukuh Badak, Kecamatan

Ketanggungan, Kabupaten Brebes. Kompleks bangunan diberi pagar sebagai pembatas dengan lingkungan pemukiman penduduk sehingga tidak menimbulkan gangguan. Bangunan RPH terdiri dari bangunan untuk proses penyembelihan, tempat pembersihan jerohan, kandang penampungan ternak, ruang administrasi, dan tempat parkir kendaraan. Pendirian bangunan dan usaha pemotongan ternak tersebut telah mendapat izin dari Dinas Peternakan Brebes dengan dikeluarkannya surat izin no 524/117 tahun 2000 tentang izin pemotongan ternak atau jagal dan penjualan daging hasil pemotongan. Berdasarkan daerah jangkauan peredaran dagingnya, RPH ini termasuk kelas D, karena peredaran daging hasil pemotongan masih dalam satu wilayah kabupaten.

Sapi Jawa yang dipotong selama penelitian sebanyak 30 ekor, terdiri dari sapi jantan 8

tersebut setiap 2 hari sekali. Surat Keputusan Direktur Jendral Peternakan No. 603/ TN.410/KPTS/DJP/Deptan/1987 menyatakan, bahwa syarat-syarat ternak yang boleh disembelih adalah sehat berdasarkan hasil pemeriksaan dokter hewan atau mantri hewan yang berwewenang dan ternak dalam keadaan tidak lelah atau habis dipekerjakan. Selain itu, ternak betina yang boleh disembelih adalah ternak yang sudah tidak produktif atau tidak dipergunakan sebagai bibit, dan dalam keadaan darurat (sakit atau mengalami kecelakaan), tetapi daging hasil penyembelihan tidak merugikan konsumen. Melihat ketentuan tersebut, maka sapi Jawa betina yang dipotong di RPH Brebes seharusnya tidak boleh, karena masih dalam kisaran umur produktif, yaitu P0 (gigi seri belum berganti atau belum poel) dengan perkiraan umur 1,5 tahun sampai P4 (gigi seri sudah berganti 4 pasang atau poel 4) dengan perkiraan umur di atas 5 tahun. Sapi Jawa yang dipotong di RPH Brebes kebanyakan betina, karena jumlah populasi ternak betina lebih banyak daripada ternak jantan dengan rasio jantan-betina 1 : 8 (DISNAK BREBES, 2006). Selain itu harga hidup sapi Jawa betina lebih murah daripada sapi Jawa jantan, tetapi harga dagingnya sama, sehingga lebih menguntungkan bagi jagal untuk memotong sapi Jawa betina.

Karakteristik karkas sapi Jawa di Brebes

Rata-rata bobot potong, bobot karkas, dan persentase karkas sapi Jawa pada berbagai umur dari hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan hasil uji-T ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata bobot potong pada sapi Jantan maupun betina memperlihatkan tendensi adanya peningkatan seiring dengan bertambahnya umur sapi Jawa sampai P2. Bobot potong sapi Jawa betina setelah umur P2 (pada umur P3) mengalami penurunan, karena laju pertumbuhan otot sapi Jawa diperkirakan telah turun dan pertumbuhan lemak tidak terjadi, kemungkinan dikarenakan konsumsi pakan yang terbatas. Selain itu, kondisi tubuh sapi P3 yang dipotong kecil dan kurus sehingga bobot potongnya kecil dan karkas yang

(4)

Tabel 1. Rata-rata bobot potong, bobot karkas, dan persentase karkas sapi Jawa pada berbagai umur Umur Parameter P0 P1 P2 P3 P4 Rataan SD CV (%) Sapi betina N 4 3 3 2 10 Bobot potong (kg) 156,50 236,67 237,67 201,50 228,10 212,08 34,34 16,19 Karkas (kg) 79,21 128,23 128,68 105,68 114,63 111,28 18,24 16,39 Karkas (%) 50,64 54,17 54,14 50,57 49,93 51,89 2,09 4,03 Non karkas (kg) 77,29 108,44 108,99 95,82 113,47 100,80 14,69 2,09 Non karkas (%) 49,36 45,83 45,86 49,43 50,07 48,11 14,58 4,34 Sapi jantan N 4 3 1 - - Bobot potong (kg) 224,75 236,00 245,00 - - 235,25 10,15 4,31 Karkas (kg) 115,72 125,17 125,21 - - 122,03 5,47 4,48 Karkas (%) 51,43 52,64 51,11 - - 51,73 0,81 1,57 Non karkas (kg) 109,03 110,83 119,79 - - 113,22 5,76 0,81 Non karkas (%) 48,57 47,36 48,89 - - 48,27 5,09 1,67 N : Jumlah sapi

P0: Belum poel (gigi seri rahang bawah belum berganti menjadi gigi tetap) P1: Poel 1 (gigi seri rahang bawah sudah berganti menjadi gigi tetap 1 pasang) P2: Poel 2 (gigi seri rahang bawah sudah berganti menjadi gigi tetap 2 pasang) P3: Poel 3 (gigi seri rahang bawah sudah berganti menjadi gigi tetap 3 pasang) P4: Poel 4 (gigi seri rahang bawah sudah berganti menjadi gigi tetap semua) Cisadap yang pemeliharaannya menggunakan

sistem semi intensif yaitu selain dikandangkan juga digembalakan. Bobot potong sapi Jawa jantan memperlihatkan tendensi adanya peningkatan seiring dengan bertambahnya umur, tetapi belum dapat diketahui dengan pasti mengenai bobot potong setelah P2, karena terbatasnya jumlah pemotongan sapi Jawa jantan di RPH tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin bertambahnya umur sapi, bobot potong sapi Jawa jantan lebih tinggi (P < 0,05) dengan rata-rata 235,25 ± 10,15 kg daripada bobot potong sapi Jawa betina dengan rata-rata 212,08 ± 34,34 kg. Hal ini sesuai dengan pendapat CHANIAGO dan BOYES yang disitasi oleh SOEPARNO (2005) yang menyatakan, bahwa jenis kelamin juga menyebabkan perbedaan laju pertumbuhan. Dibandingkan dengan ternak betina, ternak jantan biasanya tumbuh lebih cepat dan lebih berat bobot potongnya pada umur yang sama. Hal ini dapat terjadi karena keterlibatan steroid kelamin dalam pengaturan pertumbuhan.

Produktivitas sapi Jawa dapat dinyatakan melalui penilaian terhadap karkas yang dihasilkan. Karkas sebagai satuan produksi dinyatakan dalam bobot karkas dan persentase karkas. Berdasarkan data hasil pemotongan sapi Jawa (Tabel 1) dapat dilihat bahwa sapi Jawa betina dari umur P0 sampai P2 menghasilkan bobot karkas yang semakin meningkat, tetapi kemudian menurun pada umur P3 dan naik lagi pada umur P4. Hal ini dikarenakan bobot potong umur P3 kecil dan jumlah sampel P3 sedikit, serta kondisi tubuh ternak saat dipotong dalam keadaan kurus. Bobot karkas pada sapi Jawa jantan mengalami kenaikan seiring dengan bertambahnya umur dan bobot potong. Hal ini sesuai dengan pendapat SOEPARNO (2005) yang menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi bobot karkas adalah bobot potong.

(5)

Tabel 2. Nilai uji-T bobot potong, bobot karkas dan

persentase karkas antara sapi jawa jantan dengan sapi Jawa betina

Sapi Jawa Parameter

Jantan Betina Perbedaan Bobot potong (kg) 235,25 212,08 N Karkas (kg) 122,03 111,28 N Karkas (%) 51,73 51,89 TN

N : ada perbedaan yang nyata (P < 0,05)

TN : tidak ada perbedaan yang nyata (P > 0,05) Rata-rata bobot karkas sapi Jawa betina 111,28 ± 18,24 kg lebih kecil (P < 0,05) daripada rata-rata bobot karkas sapi Jawa jantan sebesar 122,03 ± 5,47 kg. Hal ini selain karena bobot potong sapi betina yang lebih rendah (P < 0,05) dari pada sapi jantan, juga karena viscera (non karkas) ternak betina biasanya lebih tinggi daripada ternak jantan akibat bunting dan menyusui. Pola pertumbuhan organ viscera yang berhubungan dengan digesti dan metabolisme tergantung status nutrisi dan fisiologis ternak (SOEPARNO, 2005).

Rata-rata bobot potong sapi Jawa betina yaitu 212,08 kg menghasilkan bobot karkas 111,28 kg lebih besar dari hasil penelitian BALIARTI (1999) pada sapi Peranakan Ongole (PO) betina dengan rata-rata bobot potong 213,86 kg menghasilkan bobot karkas rata-rata 104,49 kg. Hal ini kemungkinan karena sapi Jawa betina yang dipotong antara umur P0 sampai P4 sehingga masih dalam masa pertumbuhan dan komponen karkas masih tumbuh berkembang, sedangkan sapi PO betina pada penelitian BALIARTI (1999) dipotong pada umur lebih dari P4, sehingga perumbuhan komponen karkas telah berhenti. Hasil penelitian bobot karkas sapi Jawa jantan pada bobot potong rata-rata 235,25 menghasilkan bobot karkas rata-rata 122,03 kg lebih rendah dari hasil penelitian LAYA (2005) pada sapi PO jantan dengan rata-rata bobot potong 259,30 kg dapat menghasilkan bobot karkas rata-rata 139,33 kg. Hal ini karena bobot potong sapi

Persentase karkas sapi betina (Tabel 1), mula-mula lebih tinggi sampai umur P1 (tertinggi) kemudian lebih rendah hingga umur P4 (terendah). Hal ini diduga laju pertumbuhan tulang dan otot sudah maksimal dan mulai mengalami penurunan, sedangkan laju pertumbuhan lemak mulai naik yang dimulai dari lemak di sekitar organ dalam dan ginjal. Persentase karkas sapi Jawa jantan juga menunjukkan pola yang sama dengan sapi Jawa betina. Persentase karkas sapi Jawa jantan lebih tinggi hingga P1, kemudian lebih rendah pada P2, tetapi selanjutnya tidak diketahui.

Hasil penelitian (Tabel 2) menunjukkan bahwa persentase karkas sapi Jawa betina (51,89%) hampir sama (P > 0,05) dengan persentase karkas sapi Jawa jantan (51,73%). Hal ini karena persentase karkas dipengaruhi oleh bobot potong dan bobot komponen tubuh yang terdiri dari komponen karkas dan komponen non-karkas. Bobot potong yang tinggi seharusnya menghasilkan bobot karkas yang tinggi pula sehingga persentase yang diperoleh juga tinggi, tetapi ternyata bobot potong yang tinggi belum tentu menghasilkan persentase karkas yang tinggi pula, karena persentase karkas dipengaruhi oleh bobot karkas dan non karkas ternak. Persentase karkas sapi Jawa jantan dan betina pada penelitian ini hampir sama walaupun bobot potong sapi Jawa jantan lebih besar dari pada sapi Jawa betina, kemungkinan karena bobot komponen non karkas sapi Jawa jantan yang lebih besar dan jumlah sampel yang sedikit.

Persentase karkas sapi Jawa betina pada umur P3 hasil penelitian ini sebesar 50,57%, lebih kecil dari pada sapi PO betina pada umur yang sama hasil penelitian AFFANDHY dan YUSRAN (1992), yaitu 51,35%, tetapi hampir sama dengan sapi Bali hasil penelitian MUTHALIB (2003) yaitu sebesar 50,19%. Persentase karkas sapi Jawa jantan pada umur P1 hasil penelitian ini sebesar 52,64%, lebih kecil daripada sapi PO jantan hasil penelitian ISNAINIYATI (2001) yaitu 53,74% pada umur yang sama.

Rata-rata persentase karkas sapi Jawa betina hasil penelitian ini 51,89% dari bobot potong rata-rata 212,08 kg. Hasil tersebut hampir sama dengan sapi PO betina hasil

(6)

pada bobot potong 257,19 kg yang menghasilkan persentase karkas sebesar 51,42%. Rata-rata persentase karkas pada sapi Jawa jantan adalah 51,73% dari bobot potong 235,25 kg. Hasil ini hampir sama dengan hasil penelitian SALAM yang dikutip oleh YULIANI (2009), yang melaporkan bahwa persentase karkas sapi PO jantan berkisar 51,13 – 51,70%

pada bobot potong antara 250 – 300 kg. PRESTON dan WILLIS (1979) menyatakan bahwa persentase karkas dipengaruhi oleh nutrisi, bobot potong, jenis kelamin dan genetik. Menurut BERG dan BUTTERFIELD (1976) perbedaan persentase karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot potong, kondisi ternak, proporsi bagian-bagian non

Tabel 3. Rata-rata bobot potong, bobot karkas, bobot sampel karkas (potongan karkas bagian rib antara

rusuk 9 – 12), bobot tulang, daging dan lemak dari sampel karkas serta meat bone ratio (MBR) sapi jawa pada berbagai umur

Umur Parameter P0 P1 P2 P3 P4 Rataan SD CV (%) Sapi betina N 2 2 2 2 6 Bobot potong (kg) 152,50 207,00 254,00 201,50 256,67 214,33 38,49 17,96 Karkas (kg) 77,38 111,45 140,20 105,70 133,31 113,6 24,88 21,90 Sampel karkas (kg) 2,08 2,86 2,88 3,37 3,11 2,86 0,48 16,78 Tulang (kg) 0,40 0,39 0,45 0,69 0,45 0,47 0,12 25,53 Tulang (%) 19,14 13,64 15,73 20,48 14,47 16,43 2,98 18,14 Daging (kg) 1,26 1,81 1,72 2,14 1,90 1,77 0,32 18,08 Daging (%) 60,29 63,29 60,14 63,50 61,09 61,89 1,62 2,62 Lemak (kg) 0,43 0,66 0,69 0,54 0,76 0,62 0,13 20,97 Lemak (%) 20,57 23,07 24,13 16,02 24,44 21,68 3,49 16,10 MBR (- lemak) 2,39 3,61 3,17 3,02 3,61 3,16 0,50 15,82 MBR (+ lemak) 3,49 4,64 3,65 3,08 4,27 3,83 0,62 16,19 Sapi jantan N 2 3 - - - Bobot potong (kg) 205,00 236,00 - - - 220,50 21,92 9,94 Karkas (kg) 104,50 125,17 - - - 114,84 14,62 12,73 Sampel karkas (kg) 2,09 3,38 - - - 2,74 0,91 33,21 Tulang (kg) 0,30 0,60 --- - 0,45 0,21 46,67 Tulang (%) 14,36 17,75 - - - 16,42 2,40 14,62 Daging (kg) 1,48 2,03 - - - 1,76 0,39 22,16 Daging (%) 70,81 60,06 - - - 64,23 7,60 11,83 Lemak (kg) 0,31 0,75 - - - 0,35 0,31 88,57 Lemak (%) 14,83 22,44 - - - 19,34 5,38 27,82 MBR (- lemak) 2,52 3,38 - - - 2,95 0,61 20,68 MBR (+ lemak) 4,93 3,84 - - - 4,39 0,77 17,54

N : Jumlah sampel karkas sapi Jawa MBR (- lemak) : Perbandingan daging dengan tulang

(7)

karkas, umur, lingkungan dan efisiensi dalam penggunaan protein pakan.

Karakteristik komponen karkas sapi Jawa di Brebes

Rata-rata bobot potong, bobot karkas, bobot sampel karkas (potongan karkas bagian

rib antara rusuk 9 – 12), bobot tulang, bobot

daging, dan bobot lemak sampel karkas serta

meat bone ratio sapi Jawa pada berbagai umur

dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan hasil uji dari parameter tersebut terdapat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai uji-T terhadap bobot potong, bobot

karkas, bobot sampel karkas (potongan karkas bagian Rib antara Rusuk 9-12), Bobot Tulang, daging dan lemak sampel karkas serta Meat Bone Ratio (MBR) sapi Jawa Parameter Sapi Jawa jantan Sapi Jawa betina Perbedaan Bobot potong (kg) 220,50 214,33 N Karkas (kg) 114,84 113,60 TN Sampel Karkas (kg) 2,74 2,86 TN Tulang (kg) 0,45 0,47 TN Daging (kg) 1,76 1,77 TN Lemak (kg) 0,35 0,62 TN Tulang (%) 16,42 16,43 TN Daging (%) 64,23 61,89 TN Lemak (%) 19,34 21,68 TN MBR (- lemak) 2,95 3,16 TN MBR (+ lemak) 4,39 3,38 TN

N : ada perbedaan yang nyata (P < 0,05) TN : tidak ada perbedaan yang nyata (P > 0,05)

Rata-rata bobot potong sapi Jawa jantan yang dapat diambil sampel komponen karkasnya (potongan karkas bagian rib antara rusuk 9 – 12) sebesar 220,5 ± 21,92 kg lebih tinggi (P < 0,05) daripada bobot potong sapi Jawa betina dengan rata-rata 214,33 ± 38,49

ternak sapi dipengaruhi oleh jenis kelamin dan sebagian kecil dipengaruhi oleh umur. Bobot karkas sapi Jawa jantan sebesar 114,84 ± 14,62 kg hampir sama (P > 0,05) dengan bobot karkas pada sapi Jawa betina yaitu 113,6 ± 24,88 kg. Hal ini karena jumlah sampel yang diperoleh pada pemotongan sapi Jawa jantan lebih sedikit (5 ekor) daripada sapi Jawa betina (14 ekor).

Rata-rata bobot sampel karkas sapi Jawa betina sebesar 2,86 ± 0,48 kg terdiri atas tulang 16,43%, daging 61,89% dan lemak 21,68%. Dibandingkan dengan hasil penelitian AFFANDHY dan YUSRAN (1992) pada sapi PO betina yang memperoleh persentase tulang, daging dan lemak karkas masing-masing sebesar 14,57; 51,27 dan 34,27%, maka persentase tulang dan daging sapi Jawa betina lebih besar, sedangkan persentase lemak sapi Jawa lebih rendah. Perbedaan kedua hasil penelitian tersebut kemungkinan karena sapi Jawa betina pada penelitian ini dipotong pada kisaran umur yang lebih muda (P0 – P4) dengan bobot potong yang lebih rendah yaitu rata-rata 214,33 kg, sedangkan sapi PO betina hasil penelitian AFFANDHY dan YUSRAN (1992) dipotong pada umur P2 sampai P4 dengan kisaran bobot potong rata-rata 263,98 kg.

Rata-rata bobot sampel karkas sapi Jawa jantan sebesar 2,74 ± 0,91 kg terdiri atas tulang 16,42%, daging 64,23%, dan lemak 19,34%. Dibandingkan dengan hasil penelitian NGADIYONO (2001) pada sapi PO jantan yang memperoleh persentase tulang, daging dan lemak karkas masing-masing sebesar 20,25, 61,03 dan 18,71%, maka persentase daging dan lemak sapi Jawa jantan lebih besar, sedangkan persentase tulang sapi Jawa lebih rendah. Perbedaan kedua hasil penelitian tersebut kemungkinan karena sapi Jawa jantan pada penelitian ini dipotong pada kisaran umur yang lebih muda (P0 – P1) sehingga komponen karkasnya masih bisa berkembang lagi, sedangkan sapi PO hasil penelitian NGADIYONO (2001) tersebut dipotong pada umur di atas P1 dengan bobot potong rata-rata 250 kg. Berdasarkan gambaran komponen karkas hasil penelitian ini, terlihat bahwa komponen terbesar adalah daging karena daging merupakan komponen utama karkas, kemudian diikuti oleh lemak dan tulang. Persentase tulang hasil penelitian ini paling

(8)

berfungsi membentuk ukuran tubuh dan mengatur pergerakan, kecepatan pertumbuhan tulang terjadi lebih awal dibandingkan dengan kecepatan pertumbuhan otot dan lemak, sehingga tulang merupakan komponen tubuh yang paling cepat berhenti pertumbuhannya (TILLMAN et al., 1991).

Persentase tulang, daging dan lemak antara sapi Jawa betina dan jantan hampir sama (P > 0,05). Menurut CROUSE et al. yang disitasi SOEPARNO (2005), pada bobot tubuh dan bobot karkas yang sama, ternak jantan mengandung lebih banyak otot dan tulang, dan lebih sedikit lemak dari pada ternak betina. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin tidak mempengaruhi atau mempunyai pengaruh yang kecil terhadap persentase komponen karkas. Hal ini kemungkinan karena sapi Jawa belum dalam fase pertumbuhan penggemukan akibat pemberian pakan yang terbatas. Sebagaimana yang dikemukakan oleh SOEPARNO (2005), bahwa perbedaan komposisi karkas karena jenis kelamin baru dapat terjadi setelah mencapai fase pertumbuhan penggemukan.

Daging merupakan komponen karkas yang paling penting sehingga dalam penerapannya, total daging secara kuantatif dipergunakan sebagai titik akhir sarana pendugaan komposisi karkas (BERG dan BUTTERFIELD, 1976). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada sapi Jawa betina mempunyai rata-rata meat bone

ratio tanpa lemak sebesar 3,16 ± 0,5 dan meat bone ratio dengan lemak sebesar 3,83 ± 0,62.

Hasil penelitian ini lebih kecil bila dibanding dengan hasil penelitian AFFANDHY dan YUSRAN (1992) pada sapi PO betina, rata-rata

meat bone ratio tanpa lemak dan rata-rata meat bone ratio dengan lemak yang dihasilkan yaitu

5,65 dan 4,11. Rata-rata meat bone ratio tanpa lemak dan meat bone ratio dengan lemak pada sapi Jawa jantan yaitu 2,95 ± 0,61 dan 4,39 ± 0,77. Hasil meat bone ratio tanpa lemak sapi Jawa jantan pada penelitian ini lebih kecil dari hasil penelitian WIDYANINGRUM (2009) pada sapi PO jantan yaitu 3,33, sedangkan hasil

meat bone ratio dengan lemak hasil penelitian

ini lebih besar daripada hasil penelitian WIDYANINGRUM (2009) yaitu 3,89. Menurut BERG dan BUTTERFIELD (1976), genetik dan bangsa sapi mempengaruhi pertumbuhan relatif dari otot, tulang dan lemak. Pada stadium awal pertumbuhan, otot, tulang dan lemak

mempunyai pola pertumbuhan yang serupa, relatif terhadap bobot karkas sehingga meat

bone ratio (dengan lemak) meningkat,

sedangkan meat bone ratio (tanpa lemak) menurun dengan meningkatnya berat potong. Hasil uji-T pada meat bone ratio (tanpa lemak) dan meat bone ratio (dengan lemak) tidak berbeda nyata (P > 0,05) antara sapi Jawa jantan dengan sapi Jawa betina.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa bobot potong dan bobot karkas sapi Jawa jantan lebih besar dari pada sapi Jawa betina, tetapi persentase karkasnya hampir sama. Bobot dan persentase komponen karkas (tulang, daging dan lemak) sapi Jawa jantan dengan sapi Jawa betina relatif sama, demikian juga meat bone ratio tanpa lemak dan meat bone ratio dengan lemak pada sapi Jawa jantan maupun betina juga sama. Saran yang disampaikan adalah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang karakteristik karkas dan komponen karkas sapi Jawa jantan dan betina dengan sampel yang lebih banyak dan latar belakang nutrisi yang sama agar menunjukkan hasil yang maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

AFFANDHY, L. dan M.A. YUSRAN. 1992. Karakteristik karkas sapi peranakan ongole betina dalam hubungan dengan berat badan dan umur. Pros. Agro-Industri Peternakan Pedesaan. Balai Penelitian Ternak, Ciawi. hlm. 206 – 211.

BALIARTI, E. 1999. Kinerja Induk dan Anak Sapi Peranakan Ongole (PO) yang diberi Ransum Basal Jerami dengan Suplementasi Daun Lomtoro dan Vitamin A. Disertasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. BERG, R.T. and R.M. BUTTERFIELD. 1976. New

Concepts of Cattle Growth. 1st Ed. Sydney University Press, Sydney.

DISNAK BREBES. 2006. Sumber hayati ternak lokal (khas) Jawa Tengah. Makalah disampaikan pada Pertemuan Pelestarian Pengembangan Plasma Nutfah Indonesia di Yogyakarta, 28 – 29 Agustus 2006. Dinas Peternakan Brebes, Brebes.

(9)

DITJENNAK. 1987. Surat Keputusan Direktur Jendral Peternakan No.603/TN.410/KPTS/DJP/ Deptan/1987. Tentang Syarat-syarat Ternak yang Boleh Disembelih. Direktur Jenderal Peternakan, Jakarta.

ISNAINIYATI, N. 2001. Penggunaan Jerami Padi Fermentasi dan Kombinasi Jerami Padi Silase Rumput Raja Sebagai Pakan Basal Serta Pengaruhnya Terhadap Pertambahan Bobot Badan dan Kualitas Daging Sapi Peranakan Ongole (PO). Tesis. Magister Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

LAYA,N.K. 2005. Kinerja Produksi Sapi Peranakan Ongole (PO) dan Sapi Bali di Provinsi Gorontalo. Tesis Magister Peternakan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. MUTHALIB, R.A. 2003. Karakteristik karkas dan

daging turunan F1 empat bangsa pejantan dengan sapi Bali. J. Pengembangan Peternakan Tropis 28(1): 7 – 10.

NGADIYONO,N. 2001. Produksi dan kualitas daging sapi peranakan Ongole jantan yang dipelihara dengan bobot awal dan lama penggemukan berbeda. Buletin Peternakan. Edisi Tambahan: 61 – 73.

PRESTON, T.R. and W.B. WILLIS. 1979. Intensive Beef Production. 2nd Edition. Pergamon Press, New York.

SOEPARNO. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI), 2000.

Peternakan. Badan Agribisnis Departemen Pertanian. Jakarta.

SUGIYONO. 1997. Statistika untuk Penelitian. CV Alfabeta, Bandung.

TILLMAN, A.D.,H.HARTADI,S.REKSOHADIPRODJO, S. PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSOEKOJO. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

WIDIYANINGRUM,W.R. 2010. Persentase Karkas dan Non Karkas, Yield Grade dan Meat Bone

Ratio Sapi Peranakan Ongole yang diberi

Pakan Jerami Terurinasi dan Konsentrat dengan Level yang Bebeda. Skripsi. Sarjana Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.

YULIANI, E. 2008. Persentase Karkas dan Non Karkas Sapi Peranakan Ongole (PO) Jantan pada Bobot Potong yang Berbeda. Skripsi. Sarjana Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.

DISKUSI

Pertanyaan:

1. Apakah bobot potong tersebut sudah maksimal? 2. Apakah betina masih produktif?

3. Apakah kasus ini tidak melanggar Undang-undang?

Jawaban:

1. Kami belum tahu berapa bobot maksimal sapi Jawa, tetapi dugaan kami bobot sapi yang dipotong di RPH Brebes belum maksimal karena sapi tersebut diperoleh dari peternakan rakyat yang memberi pakan seadanya (sistem pemeliharaan semi intensif).

2. Sapi betina yang dipotong masih dalam kisaran umur produktif (1,5  (P0 – P4) > 5 tahun). 3. Kasus ini jelas melanggar Undang-undang. Hal ini dapat terjadi karena rasio jantan dan

Referensi

Dokumen terkait

sementara, perawatan kesehatan, serta obat-obatan. Dalam hal ini juga biasanya bekerja sama dengan badan kesehatan guna memberikan pengetahuan tentang pentingnya

Berasal dari bahasa Perancis trois yang berarti tiga, adalah gejala melakukan senggama dengan pasangannya dengan mengajak orang lain sebagai penonton. Penderita gangguan

Studi ini bertujuan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran pada matakuliah Kalkulus Integral berupa desain instruksional atau pembelajaran pada konsep volume benda putar

Jamur tidak membutuhkan larutan biak yang kompleks sebagai sumber nitrogen karena sudah dicukupi dengan adanya ureum sehingga pemisahan asam laktat dapat diperoleh

Ahmad Dahlan, pendidikan hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, yaitu alim dalam agama dan ilmu-ilmu umum dan bersedia berjuang

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan yaitu ditemukan serangga ordo Hymenoptera di Cagar Alam Imogiri sebanyak 22 jenis.

Jadi keluargakurang memahami dan mereka tidak mempunyai banyak waktu untukmemperhatikan perkembangan lansia Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

Based on the table above, it can be seen that the application of clinical supervision improved the ability of Cultural Arts teachers to apply the NHT (Numbered Head