• Tidak ada hasil yang ditemukan

Journal of Lex Theory (JLT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Journal of Lex Theory (JLT)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 1, Nomor 1, Juni 2020 P-ISSN: 2722-1229, E-ISSN: 2722-1288

Website: http: pasca-umi.ac.id/indez.php/theory

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.

Konflik Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Di Kabupaten Maros

Bustam

1,2

, Syahruddin Nawi & Hamza Baharuddin

1

1 Magister Ilmu Hukum, Universitas Muslim Indonesia.

2 Koresponden Penulis, E-mail: bustam.bustam@gmail.com

ABSTRAK

Tujuan Penelitian ini adalah 1) Untuk mengetahui bentuk konflik yang timbul pada pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum di Kabupaten Maros setelah pemberlakuan Undang-undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah dan 2) Untuk mengetahui bentuk penyelesaian konflik dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum di Kabupaten Maros. Penelitian ini berbentuk socio legal research. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Bentuk-bentuk konflik dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah konflik horizontal yakni konflik yang melibatkan dua pihak atau lebih di mana pihak-pihak yang terlibat tidak berada dalam keseimbangan kedudukan.

Konflik ini terjadi karena faktor substansi hukum yang multitafsir, inkonsistensi pelaksanaan tugas dari penyelenggara pengadaan tanah dengan ketentuan dalam Undang-undang Pengadaan Tanah dan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai pengadaan tanah. 2) Bentuk penyelesaian terhadap konflik pengadaan tanah dilakukan melalui harmonisasi substansi hukum, sinkronisasi antar sektor dalam pengambilan keputusan, redefinisi beberapa konsep pengadaan tanah dan sosialisasi hukum pengadaan tanah kepada masyarakat, sosialisasi hukum kepada masyarakat.

Kata Kunci: Konflik; Pertanahan; Kepentingan Umum ABSTRACT

The objectives of this study are 1) To determine the form of conflict that arises in the implementation of land acquisition for development in the public interest in Maros Regency after the enactment of Law No. 2 of 2012 concerning Land Acquisition and 2) To determine the form of conflict resolution in the implementation of land acquisition for development in the public interest in Maros Regency. This research is in the form of socio legal research. The results showed that 1) The forms of conflict in the implementation of land acquisition for development of the public interest are horizontal conflicts, the conflicts involving two or more parties in which the parties involved are not in a balanced position.

This conflict occurred due to the substance of the law which has multiple interpretations, inconsistency in the implementation of the duties of the land acquisition organizer with the provisions in the Land Acquisition Law and the lack of public understanding of land acquisition. 2) The form of resolution of land acquisition conflicts is carried out through harmonization of legal substance, synchronization between sectors in decision making, redefinition of several land acquisition concepts and socialization of land acquisition law to the community, and socialization of the law to the community.

Keywords: Conflict; Land; Public interest

(2)

PENDAHULUAN

Pengejawantahan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 dapat dilihat dalam Pasal 2 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) menyatakan atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Sabardi, 2014).

Mencermati ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 195 maka dapat dikatakan bahwa negara memiliki hak menguasai tanah dan hal ini tidak dapat dilepaskan dari fungsi negara untuk mengatur dan mengurus. Rahayu Subekti mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum memerlukan bidang tanah yang sangat luas. Di lain pihak, tanah-tanah yang dibutuhkan tersebut pada umumnya sudah dilekati sesuatu hak atas tanah. Tanpa tanah, pembangunan hanya akan menjadi rencana. Dengan demikian upaya pengadaan tanah untuk keperluan tersebut penanganannya perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya dan dilakukan dengan memperhatikan peran tanah dalam kehidupan manusia serta prinsip penghormatan terhadap hak yang sah atas tanah. Tanah, di samping mempunyai nilai ekonomis, juga mempunyai fungsi sosial (Subekti, 2016).

Pasal 6 UUPA menyatakan semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ini dimaksudkan bahwa tidak hanya hak milik tetapi semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata- mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat (Rejekiningsih, 2016).

Keberadaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 sebagai payung hukum penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum diharapkan mampu memberikan keadilan bagi para pihak yang berproses dalam pengadaan tanah, yang selama ini masih belum dipenuhi oleh Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006

(Anugrah, 2016). Tujuan dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 adalah penyelenggaraan

pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis dan adil, sehingga penyelenggaraan pengadaan tanah harus dapat memenuhi prinsip kemanusiaan, demokratis dan yang terpenting prinsip keadilan bagi pihak yang terlibat dalam proses pengadaan tanah (Yusrizal. 2017).

Ganti kerugian sebagai suatu upaya mewujudkan penghormatan kepada hak-hak

dan kepentingan perseorangan yang telah dikorbankan untuk kepentingan umum,

dapat disebut adil, apabila hal tersebut tidak membuat seseorang menjadi lebih kaya,

atau sebaliknya menjadi lebih miskin dari keadaan semula (Sumardjono, 2007). Agar

terasa adil bagi pemegang hak, seyogianya berbagai kriteria tertentu itu diterapkan

secara obyektif, dengan standar yang telah ditentukan terlebih dahulu. Di samping

itu, penentuan akhir besarnya ganti kerugian haruslah dicapai secara musyawarah

antara pemegang hak dan instansi yang memerlukan tanah tersebut. Untuk

(3)

bangunan, taksiran ganti kerugian hendaknya dengan memperhitungkan biaya- biaya yang dikeluarkan untuk perbaikan seperlunya, setelah diumumkannya pengadaan tanah tersebut. Kebijakan mengenai pemberian ganti rugi sebenarnya tidaklah terbatas pada penggantian nilai tanah, bangunan dan tanam- tanaman, tetapi juga seharusnya meliputi penilaian kerugian yang bersifat immaterial dan kerugian yang timbul, seperti kegiatan usahanya, akibat perpindahan ketempat lain, jumlah pelanggan dan keuntungan yang berkurang (Sihombing, 2004).

Pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum bertujuan untuk mewujudkan keadilan sebagaimana diisyaratkan dalam Undang- undang No. 2 Tahun 2012 sehingga pelaksanaannya harus benar-benar mampu untuk memberikan hak yang sesuai dengan hal yang dikorbankan oleh pemilik tanah serta dampak yang diterima akibat pengadaan tanah tersebut baik langsung maupun tidak langsung. Dalam pengalaman pengadaan tanah di negara lain sebagaimana dikemukakan oleh Soumyananda Dinda

(2015) bahwa pembebasan

lahan dilaksanakan untuk menghilangkan ketidakseimbangan. Pengadaan tanah menimbulkan perpindahan penduduk skala besar sehingga diperlukan suatu bentuk ganti rugi yang meminimalkan perpindahan dalam arti bahwa orang yang dipindahkan akan selalu berada dalam posisi yang mampu untuk membeli tanah alternatif untuknya (Pujiriyani, 2014). Hal ini pada dasarnya menjadi salah satu jiwa dari Undang-undang Pengadaan Tanah di mana disebutkan bahwa dalam pengadaan tanah, kesejahteraan hidup pemilik tanah haruslah tetap sama atau lebih dari keadaan mereka sebelum pelaksanaan pengadaan tanah. Pengadaan tanah tidak boleh memiskinkan pemilik tanah (Djanggih & Salle, 2017).

Realitas pengadaan tanah di Indonesia menunjukkan banyaknya permasalahan yang timbul baik berupa sengketa, konflik maupun perkara baik pidana, perdata dan administrasi negara. Hal ini terjadi pula di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan penyanggah Kota Makassar dengan laju pembangunan infrastruktur yang semakin banyak dari hari ke hari. Beberapa pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum di Kabupaten Maros menimbulkan konflik baik horizontal maupun vertikal serta banyaknya sengketa atas objek pengadaan tanah yang menunjukkan bahwa pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan utnuk kepentingan umum masih sangat rentan dengan konflik.

Penolakan masyarakat terhadap pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum antara lain dapat dilihat dari data awal dalam pra penelitian yang diperoleh dari Kantor Pertanahan Kabupten Maros selaku Pelaksana Pengadaan Tanah yaitu penitipan uang ganti kerugian karena penolakan nilai ganti rugi mencapai 80 persen dari pemilik tanah yakni 800 bidang dari 1000 bidang tanah yang menjadi objek pengadaan tanah. Selain itu, diperoleh pula data awal mengenai banyaknya sengketa keperdataan yang terjadi dalam pelaksanaaan pengadaan tanah di Kabupaten Maros antara lain pada tahun 2019 dalam pengadaan tanah pembangunan Jalur Kereta Api, terdapat 24 (dua puluh empat) sengketa keperdataan atas objek pengadaan tanah pembangunan jalur kereta api Makassar- Parepare.

Pasal 2 Undang-undang No. 2 Tahun 2012 telah menegaskan asas-asas dalam

pelaksanaan pengadaan tanah yaitu asas kemanusiaan, asas keadilan, asas

(4)

kemanfaatan, asas kepastian, asas keterbukaan, asas kesepakatan, asas keikutsertaan, asas kesejahteraan, asas keberlanjutan, dan asas keselarasan. Mengacu pada asas ini, seharusnya pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum mampu untuk mewujudkan tujuan pengadaan tanah sebagaimana di atur dalam Pasal 3 Undang-undang No. 2 Tahun 2012 yaitu menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.

Namun berbagai konflik yang terjadi dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum menunjukkan bahwa pelaksanaan pengadaan tanah belum sepenuhnya mampu untuk mewujudkan tujuan pengadaan tanah yang ditegaskan dalam Undang-undang No 2 Tahun 2012 sehingga peneliti tertarik untuk melakukan pengkajian dengan melakukan penelitian terhadap bentuk konflik dan bentuk penyelesaian konflik pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum khususnya di Kabupaten Maros

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Maros dengan didasari pertimbangan bahwa Kabupaten Maros merupakan daerah penyanggah ibukota Provinsi Sulawesi sehingga sejak tahun 2015, pembangunan infrastruktur yang membutuhkan lahan menyebabkan di daerah ini banyak dilaksanakan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yaitu pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan perluasan Bandara Hasanuddin tahun 2013 dan tahun 2015, pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan pembangunan jalan by pass Mamminasata tahun 2015, pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan pembangunan kolam regulasi nipa-nipa tahun 2015, pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan pembangunan jalur kereta api Makassar-Parepare tahun 2017, pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan pembangunan Stasiun, Depo, Balaiyasa dan jalan keluar stasiun tahun 2019.

PEMBAHASAN

A. Bentuk-bentuk Konflik dan Faktor yang Menimbulkan Konflik pada Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Kabupaten Maros setelah Pemberlakuan Undang-undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah

1. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Konflik Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Kabupaten Maros

Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum di Kabupaten Maros setelah pemberlakuan Undang-undang No. 2 Tahun 2012 diawali dengan pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan perluasan Bandara Hasanuddin Tahun 2013 dan tahun 2015. Dalam wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Maros Ansyar Kadir, selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah pada tanggal 2 Juli 2020 dikemukakan bahwa untuk kegiatan pengadaan tanah perluasan Bandata Hasanuddin Tahun 2013, berjalan lancer tanpa hambatan ataupun konflik yang berarti. Permasalahan pada umumnya masih bersifat sengketa perorangan.

Berbeda dengan Pengadaan Tanah Perluasan Bandara Hasanuddin pada tahun 2015

(5)

yang menimbulkan permasalahan hukum yang besar karena menjadi objek pemeriksaan tindak pidana korupsi tahun 2016 yang melibatkan beberapa anggota pelaksana pengadaan tanah.

Dalam wawancara tersebut dikemukakan pula bahwa terjadinya kasus Bandara Hasanuddin pada dasarnya merupakan salah satu implikasi dari konflik yang terjadi di dalam masyarakat yakni banyaknya warga masyarakat yang mengklaim objek- objek pengadaan tanah pada saat pelaksanaan pengadaan tanah tahun 2015.

Banyaknya pihak yang keberatan terhadap nama-nama yang terdaftar sebagai penerima ganti rugi yang kemudian tidak diakomodir oleh pelaksana pengadaan tanah dan tetap dibayarkan tanpa melalui proses konsinyiasi menjadi pemicu timbulnya permasalahan dalam pengadaan tanah perluasan Bandara Hasanuddin tahun 2015.

Selanjutnya dalam wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Maros dikemukakan pula bahwa dalam pengadaan tanah pembangunan jalan By pass Mamminasata pada tahun 2015, diawal pelaksanaan pengadaan tanah ini mendapat banyak penolakan atas nilai ganti kerugian yang dalam dianggap sangat rendah oleh masyarakat namun kemudian penolakan ini perlahan menurun dan pelaksanaan pembayaran ganti kerugian untuk pengadaan tanah ini dapat terlaksana meskipun saat ini belum selesai karena belum tersedianya anggaran dari negara. Berkaitan dengan hal ini, dikemukakan pula bahwa pelaksanaan pembayaran ganti kerugian yang tertunda sampai saat ini memiliki risiko menimbulkan konflik karena bidang tanah masyarakat sudah tidak dapat dialihkan setelah adanya penetapan lokasi sementara mereka juga tidak menerima ganti kerugian.

Selanjutnya untuk pengadaan tanah pembangunan kolam regulasi nipa-nipa berdasarkan wawancara dengan Andi Sufiarma, Kepala Seksi Pengadaan Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Maros tanggal 3 Juli 2020 dikemukakan bahwa untuk pengadaan tanah pembangunan kolam regulasi nipa-nipa, meskipun telah selesai namun masih memiliki konflik yang melibatkan sebuah perusahaan besar dengan sekelompok warga masyarakat yang mengklaim bahwa bidang tanah yang menjadi milik perusahaan tersebut adalah bidang tanah milik mereka yang didaftarkan haknya ke Kantor Pertanahan tanpa sepengetahuan masyarakat pemilik tanah tersebut. Namun demikian, permasalahan ini sementara sedang menjadi objek perkara di Pengadilan Negeri Maros.

Dalam wawancara tersebut dikemukakan pula bahwa permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan pengadaan tanah kolam regulasi nipa-nipa adalah pada saat pihak yang memerlukan tanah dalam hal ini Balai Besar Sungai Wilayah Jeneberang melakukan penguasaan fisik atas lahan yang telah di konsinyiasi ke Pengadilan.

Pemilik tanah menolak untuk menyerahkan tanah mereka dengan alasan mereka belum menerima ganti rugi. Setelah melewati proses pendekatan persuasive akhirnya masalah ini dapat diselesaikan dan saat ini seluruh bidang tanah objek pengadaan tanah pembangunan kolam regulasi nipa-nipa telah dikuasai oleh pihak yang membutuhkan tanah.

Dalam wawancara berikutnya dengan Irfan Makmur, Pejabat Pembuat Komitmen

Satker Pengembangan Perkeretaapian Wilayah Sulawesi dalam wawancara tanggal 3

Juli 2020 dikemukakan bahwa pelaksanaan pengadaan tanah pembangunan jalur

(6)

keret api di Kabupaten Maros sangat terhambat karena adanya konflik berkepanjangan dengan pihak pemilik tanah yang sampai saat ini menolak nilai ganti kerugian yang ditetapkan oleh appraisal. Bentuk perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat adalah melakukan demonstrasi dan mencegah penguasaan fisik atas bidang tanah yang telah dibayar ganti ruginya dengan alasan apabila telah ada bidang tanah yang dikuasai maka kelak mereka akan kesulitan untuk bertahan karena tanah mereka akan dikelilingi dengan tanah milik perkeretaapian yang akan memaksa mereka untuk menerima ganti kerugian yang menurut mereka tidak berprikemanusiaan. Penolakan masyarakat terhadap nilai ganti kerugian untuk pembangunan rel kereta api ternyata berdampak terhadap pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan stasiun, depo dan balaiyasa yang ditandai dengan adanya penolakan masyarakat untuk pelaksanaan pengukuran bidang tanah mereka sebelum mereka mengetahui nilai tanahnya.

Dalam wawancara tersebut, dikemukakan bahwa permintaan masyarakat untuk mengetahui nilai sebelum pelaksanaan pengukuran adalah permintaan yang tidak dapat dipenuhi karena Undang-undang Pengadaan Tanah telah jelas memberikan norma terkait tahapan pelaksanaan pengadaan tanah yaitu kegiatan pengukuran dan pengumpulan data yuridis menjadi dasar untuk memberikan penilaian sehingga menjadi mustahil untuk dapat mengetahui nilai ganti kerugian sebelum diketahui luas tanah dan alas hak kepemilikan tanah para pemilik tanah objek pengadaan tanah.

Dari hasil wawancara di atas maka peneliti mencermati bahwa konflik dalam pelaksanaan pengadaan tanah di Kabupaten Maros pada umumnya disebabkan adanya perbedaan harapan masyarakat dengan nilai ganti kerugian yang ditetapkan untuk bidang tanah mereka. Berikut adalah tabel mengenai pihak-pihak yang terlibat dalam konflik pengadaan tanah di Kabupaten Maros berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan di atas.

Tabel 1

Pihak yang Terlibat dalam Konflik Pengadaan Tanah di Kabupaten Mar

os.

No Kegiatan Pihak yang

terkait Keterangan 1 Pengadaan Tanah Perluasan

Bandara Hasanuddin

Antara pihak individu dengan

individu Sudah selesai 2 Pengadaan Tanah By pass

Maminasata

Antara individu dengan

pemerintah Belum selesai

3 Pengadaan Tanah

Pembangunan Kolam Regulasi Nipa-nipa

Antara individu dengan perusahaan

Sementara Proses Pengadilan

4 Pengadaan tanah pembangunan Jalur Kereta Api

Antara masyarakat dengan

pemerintah Belum selesai 5 Pengadaan tanah pembangunan

Stasiun, depo, balaiyasa dan Jalan Keluar stasiun Kereta Api

Antara masyarakat dengan

pemerintah Belum selesai Sumber: Data Sekunder dari Kantor Pertanahan Kabupaten Maros, 2020

(7)

Beberapa bentuk konflik yang disebutkan di atas diuraikan sebagai berikut berdasarkan wawancara dengan Andi Ansyar Kadir, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Maros selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah pada tanggal 8 September 2020 sebagai berikut:

a. Konflik antara individu dengan individu yang dimaksud adalah konflik yang terjadi antara perseorangan terhadap sebidang tanah. Jenis konflik ini adalah sengketa ataupun perkara antara individu.

b. Konflik antara individu dengan pemerintah yang dimaksud adalah terjadinya perbedaan dan pertentangan antara kehendak individu dengan kehendak pemerintah. Dalam beberapa pengadaan tanah di Kabupaten Maros, bentuk konflik ini terjadi dalam hal nilai ganti kerugian atas tanah yang dalam pandangan masyarakat sangat jauh dari kemanusiaan karena tanah mereka dinilai sangat rendah. Bentuk lainnya adalah penolakan individu terhadap pelaksanaan pengadaan tanah yang menimbulkan dampak baik sosial, ekonomi maupun lingkungan hidup.

c. Konflik antara masyarakat dan pemerintah pada dasarnya hampir sama dengan konflik pada huruf b di atas hanya saja melibatkan masyarakat bukan individu.

Hal ini pada umumnya dipicu oleh timbulnya kerugian masyarakat sebagai dampak dari sebuah rencana pembangunan.

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa konflik yang mendominasi dalam pelaksanaan pengadaan tanah di Kabupaten Maros adalah konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Mengacu pada teori konflik yang telah diuraikan pada bab II hasil peneliitian ini maka bentuk konflik yang terjadi dalam pengadaan tanah di Kabupaten Maros adalah konflik vertikal yaitu konflik antara dua pihak yang berada pada status yang tidak sama.

B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Konflik dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum di Kabupaten Maros

Analisis terhadap faktor-faktor tersebut di atas akan diuraikan sebagai berikut:

a. Substansi Hukum

Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum secara khusus telah diatur dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2012 dan aturan-aturan pelaksanaannya.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya, pengadaan tanah tidak hanya berkaitan dengan undang-undang pengadaan tanah semata namun berkaitan dengan peraturan- peraturan lain yang sangat riskan dengan timbulnya konflik atau benturan norma.

Keberadaan berbagai aspek dalam proses pengadaan tanah menyebabkan beberapa realitas berupa konflik norma yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan pengaruh terhadap pengadaan tanah di Kabupaten Maros.

Pelaksanaan pengadaan tanah merupakan program pemerintah yang diharapkan

berjalan cepat dan tanpa hambatan khususnya untuk pembangunan infrastruktur yang

saat ini menjadi prioritas pemerintah. Untuk kepentingan percepatan ini, banyak

melahirkan aturan-aturan yang bersifat diskresi dalam rangka memudahkan

penyelenggaraanya. Hal inilah yang kemudian menjadi rentan dengan potensi konflik

norma. Beberapa konflik norma yang dimaksud adalah sebagai berikut:

(8)

1) Ketidakjelasan Norma

a) Norma mengenai Jangka waktu Pelaksanaan tugas Pengukuran dan Pengumpulan Data Yuridis

Pelaksanaan pengukuran untuk kegiatan pertanahan telah diatur secara jelas dalam aturan-aturan pertanahan antara lain dalam PP No. 24 Tahun 1997 di mana telah ditegaskan mengenai asas contradictur delimitatie yang mengharuskan ada persetujuan tetangga berbatasan dengan bidang tanah yang menjadi objek pengukuran sehingga dalam kegiatan pengukuran, keberadaan asas ini menjadi wajib bagi pelaksana pengukuran. Namun, dalam pengaturan pengadaan tanah, telah ditentukan jangka waktu pengukuran (pengumpulan data fisik) ternyata dibatasi hanya 30 hari berapapun bidang tanah yang menjadi objek sehingga penerapan asas contradictur delimitatie direduksi demi kepentingan percepatan pelaksanaan pengadaan tanah. Di kabupaten Maros, dalam kegiatan pengadaan tanah, para pemilik tanah ataupun tetangga berbatasan kerap tidak hadir dalam kegiatan pengukuran meskipun telah diundang namun karena ketentuan mengenai jangkawa waktu 30 hari sehingga pengukuran tetap dilaksanakan meskipun tanpa kehadiran pemilik tanah dan tetangga-tetangga batasnya.

b) Norma Mengenai Status Tanah Negara

Salah satu permasalahan yang terjadi di Kabupaten Maros adalah perbedaan interpretasi antara pihak pelaksana pengadaan tanah dengan aparat penegak hukum dalam memahami tanah negara. Dalam realitas pengadaan tanah perluasan bandara Hasanuddin, pembayaran ganti rugi atas tanah negara menjadi salah satu alasan untuk mendakwa para pelaksana sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Tanah negara dalam pandangan aparat penegak hukum dimaknai sebagai tanah milik negara sehingga tidak dapat diganti rugi dan hanya dapat diberikan kompensasi atas benda-benda di atasnya.

Pemahaman inilah yang menimbulkan masalah berkepanjangan dalam pengadaan tanah dan sampai saat ini belum menemukan titik temu.

Pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 telah menegaskan bahwa penguasaan negara atas tanah adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Rakyat dalam konsep negara hukum dan demokrasi secara hakiki adalah pemegang kedaulatan atas negara Republik Indonesia. Premis dasar teori ini, adalah Rakyat dalam hal ini warga negara Indonesia adalah pemilik sebenarnya atas tanah. Negara adalah pengurus (beheerder) yang berkewajiban mengurus penyediaan, serta menjaga dan mengatur penggunaan maupun pemanfaatan tanah, agar hasilnya bias dinikmati Rakyat dengan tidak melanggar Hak-Hak Azasi rakyat sebagai pemilik tanah sebenarnya. Jadi kedudukan hukum negara atas tanah berdasarkan Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD NRI 1945 adalah bukan pemilik mutlak tertinggi’ (dominium eminens), melainkan pemegang kewajiban public untuk mengurus’ (beheren) dalam mengelola hubungan hak keagrariaan warga negara Indonesia sebagai pemilik tanah sebenanya.

Berdasarkan hal ini maka kedudukan hukum orang (corpus) sebagai warga negara Indonesia secara otomatis demi dan karena hukum adalah pemilik tanah.

c. Norma tentang Musyawarah Ganti Kerugian

Terkait dengan penolakan masyarakat terhadap mekanisme ganti kerugian, Andi Ansyar Kadir, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Maros mengemukakan bahwa hampir di semua kegiatan pengadaan tanah, pada awalnya masyarakat akan menolak nilai ganti kerugian karena nilai

(9)

yang mereka tunggu adalah nilai yang mereka kehendaki sementara dalam undang-undang telah jelas bahwa nilai yang ditetapkan oleh Ketua Pengadaan Tanah untuk menjadi dasar musyawarah adalah nilai yang dihitung oleh tim penilai pertanahan yang professional dan independen. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa, pengadaan tanah merupakan mekanisme peralihan dan perolehan tanah yang memiliki krakteristik khusus karena sifatnya yang bertujuan untuk kepentingan umum sehingga prosesnya pun berbeda dengan transaksi tanah pada umumnya. Sifat memaksa dari undang-undang pengadaan tanah tidak dapat dibantah namun sifat memaksa tersebut tetap dalam kerangka penghargaan terhadap hak-hak keperdataan namun karena berada dalam wilayah publik dan tidak memungkinkan adanya pemindahan lokasi maka segala bentuk keberatan dan penolakan hanya dapat diselesaikan melalui pengadilan. Jika nilai harus berubah, maka hanya pengadilan yang dapat mengubahnya.

Berkaitan dengan perubahan nilai dalam pengadaan tanah, Andi Sufiarma, Kepala Seksi Pengadaan Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Maros mengemukakan bahwa tidak ada perubahan atas nilai yang telah ditaksir oleh tim penilai pertanahan. Satu-satunya hal yang dapat menjadi alasan untuk merevisi nilai adalah ditemukannya kekeliruan pihak pelaksana pengadaan tanah dalam hal ini satgas A atau satgas B dalam pengambilan data fisik dan data yuridis, misalnya tidak dicantumkannya tanaman dan bangunan dalam daftar nominatif padahal kenyataan di lapangan, terdapat tanaman dan bangunan. Perubahan ini pun tidak dilakukan hanya berdasarkan keberatan pemilik tanah tetapi harus ditindaklanjuti oleh pelaksana pengadaan tanah dengan verifikasi untuk memastikan kebenaran keberatan tersebut.

2). Disharmonisasi Norma

Harmonisasi norma yang berlaku dalam suatu pengaturan bidang kehidupan masyarakat merupakan salah satu syarat untuk terwujudnya hukum yang adil, bermanfaat dan berkepastian. Harmonisasi hukum dalam pelaksanaan pengadaan tanah menjadi salah satu faktor pendukung dalam mewujudkan tujuan pengadaan tanah yaitu tersedianya tanah untuk pembangunan dengan memberikan keadilan dan ganti rugi yang layak bagi para pemilik tanah. Undang-undang No. 2 Tahun 2012 dibentuk sebagai pelaksanaan amanah Pasal 33 UUD NRI 1945 serta pelaksanaan fungsi sosial tanah dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 dan sebagai sebuah peraturan perundang- undangan, Undang-undang No. 2 Tahun 2012 dan aturan pelaksanaannya haruslah harmonis dan sinkron dengan aturan di atasnya (vertikal) maupun yang sederajat (horizontal). Mencermati peraturan perundang-undangan dalam bidang pengadaan tanah, peneliti melihat terjadi beberapa disharmonisasi sebagai berikut: Disharmonisasi antara Undang-undang No. 2 Tahun 2012 dengan Undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-benda di atasnya. Undang-undang No. 2 Tahun 2012 mengenai Lembaga penitipan di Pengadilan sehingga dalam hal pemilik tanah menolak nilai ganti kerugian maka nilai ganti kerugiannya dititipkan di pengadilan sedangkan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 1961, dalam hal pemilik tanah menolak nilai ganti kerugian maka dapat dilakukan pencabutan hak atas tanah.

Permasalahan yang kemudian timbul dan menunjukkan ketidakharmonisan adalah ketidakjelasan kapan Undang-undang No. 20 Tahun 1961 dapat digunakan karena terbitnya Undang-undang No. 2 Tahun 2012 sama sekali tidak mencabut Undang- undang No. 20 tahun 1961.

1. Disharmonsasi antara Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

dengan Undang-undang No. 2 Tahun 2012. Ketidakharmonisan ini tampak dari

substansi dari kedua undang-undang ini yang tidak saling berkaitan sementara

dalam pelaksanaan pengadaan tanah, penerapan kedua undang-undang ini kerap

saling bersinggungan. Undang-undang Kehutanan sama sekali tidak mengakomodir

(10)

substansi hukum yang terkait dengan mekanisme ataupun pemberlakuan hukum dalam Undang-undang Kehutanan ketika di atas bidang tanah yang merupakan kawasan hutan, akan dilaksanakan pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum. Demikian pula dalam undang-undang pengadaan tanah sama sekali tidak mengakomodir mengenai pemberlakuan undang-undang ini terhadap objek yang merupakan kawasan hutan.

2. Disharmonsiasi Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 dengan Peraturan Menteri dalam Negeri No. 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa di mana dalam Perpres No. 71 Tahun 2012, untuk tanah kas desa, tidak boleh diganti rugi dengan uang namun dalam Peraturan Menteri dalam Negeri No. 1 Tahun 2016, pemindahtanganan asset desa dapat melalui penjualan dengan menggunakan uang.

b. Aparat Pelaksana seluruh Tahapan Pengadaan Tanah

Pelaksanaan pengadaan tanah merupakan kegiatan pemerintah yang melibatkan banyak sektor mulai dari tahapan perencanaan sampai tahapan pensertipikatan tanah.

Kehadiran berbagai sektor yang terkait dalam realitasnya sangat rentan terhadap konflik antar sektor sebagaimana diuraikan di bawah ini:

1) Penyelenggaraan Pengadaan Tanah oleh Tim Perencana Pengadaan Tanah

Dalam wawancara dengan Andi Ansyar Kadir, Kepala kantor Pertanahan Kabupaten Maros tanggal 2 Juli 2020 dikemukakan bahwa dalam dokumen perencanaan seharusnya telah ada data awal mengenai pemilik-pemilik tanah beserta alas hak pemilikan tanahnya sehingga tugas Pelaksana Pengadaan Tanah dari Badan Pertanahan Nasional hanya memverifikasi data-data tersebut tetapi realitas menunjukkan bahwa dokumen perencanaan pada umumnya tidak mencantumkan data-data yang valid mengenai kepemilikan tanah bahkan terdapat nama-nama yang berbeda dengan nama yang ditemukan dilapangan. Selain itu, dokumen perencanaan tidak mempertimbangkan secara matang nilai ganti kerugian sehingga estimasi nilai ganti kerugian dalam dokumen perencanaan sangat berbeda dengan nilai tanah pada saat penilaian. Pihak appraisal dalam pelaksanaan penilaian, dengan prinsip kehati-hatian, tidak memberikan penilaian melewati estimasi anggaran dalam dokumen perencanaan, sehingga terjadilah penilaian yang kerap kali dianggap tidak manusiawi oleh pemilik tanah.

2). Penyelenggaraan Pengadaan Tanah oleh Tim Persiapan

Pasal 16 Undang-undang No. 2 Tahun 2012 telah menegaskan bahwa dalam rangka

penetapan lokasi pengadaan tanah maka pemerintah provinsi melaksanakan

pemberitahuan rencana pembangunan, pendataan awal lokasi rencana pembangunan

dan konsultasi publik. Dalam wawancara dengan Andi Sufiarma, Kepala seksi

Pengadaan Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Maros, disebutkan bahwa apabila

dicermati, dokumen-dokumen dalam tahap persiapan yang menjadi lampiran dalam

dokumen yang diserahkan pada saat pengadaan tanah, nama-nama yang tercantum

dalam berita acara konsultasi publik sangat berbeda dengan nama pemilik tanah pada

saat pengumpulan data selain itu, pada saat penyerahan dokumen SK penetapan lokasi,

tidak pernah dilampiri dengan data-data pemilikan tanah sebagaimana yang telah diatur

dalam Pasal 16 Undang-undang Pengadaan Tanah. Hal inilah yang menyebabkan

pelaksanaan tugas Kantor Pertanahan selaku pelaksana pengadaan tanah menjadi

lambat dan sulit memenuhi waktu 30 hari karena data awal yang diamanahkan oleh

undang-undang tidak disiapkan oleh tim persiapan.

(11)

3). Penyelenggaraan Pengadaan Tanah oleh Pelaksana Pengadaan Tanah

Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional adalah pelaksana pengadaan tanah berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 dan tugas ini dapat dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas. Pelaksana pengadan tanah di Kabupaten Maros untuk beberapa pengadaan tanah adalah Kantor Pertanahan Kabupaten Maros dan pihak inilah yang paling banyak terlibat konflik dengan masyarakat karena pemahaman masyarakat bahwa pihak Kantor Pertanahan sebagai pihak penentu keputusan apapun yang terkait dengan pengadaan tanah. Penolakan masyarakat terhadap pelaksanaan musyawarah, penetapan nilai dan pelaksanaan konsinyiasi pada umumnya ditujukan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Maros.

1). Pemerintah Daerah

Secara normatif, objek pengadaan tanah yang telah ditetapkan melalui penetapan lokasi adalah objek yang telah bersih dari segala permasalahan yang dapat menghambat pelaksanaan pengadaan tanah. Namun hal ini sama sekali tidak terjadi dalam berbagai pelaksanaan pengadaan tanah bahkan masalah kerap kali datang dari pihak pemerintah daerah yang seharusnya menjadi salah satu stakeholder yang mendukung pelaksanaannya. Realitas di Kabupaten Maros menunjukkan bahwa sinkronisasi keputusan antar sektor belum berjalan optimal. Salah satu contoh adalah pelaksanaan Peraturan Daerah di Kabupaten Maros mengenai penerbitan rekomendasi kesesuaian tata ruang untuk bidang tanah yang merupakan tanah yang belum terdaftar atau belum bersertipikat.

Dalam proses pengumpulan dokumen pemilikan dan penguasaan tanah, beberapa lurah dan kepala desa menolak menandatangani surat keterangan tanah dari para pemilik tanah dengan alasan belum ada rekomendasi kesesuaian tata ruang dari Dinas Perumahan, Pemukiman dan Pertanahan. Hal ini menyebabkan proses pengadaan tanah menjadi terhambat karena keberadaan surat keterangan tanah tersebut adalah sebagai alas hak dari pemilik tanah.

Pemahaman dari pihak aparat pemerintah daerah terhadap filosofi pengadaan tanah masih sangat minim. Rekomendasi kesesuaian tata ruang seharusnya tidak diterapkan lagi untuk kegiatan pengadaan tanah karena sebelum tahap pelaksanaan telah terbit Surat Keputusan tentang Penetapan Lokasi. Hal ini berarti bahwa segala hal yang berkaitan dengan tata ruang telah selesai sebelum diterbitkannya SK Penetapan Lokasi tersebut. Secara logis, penetapan lokasi tidak akan diterbitkan apabila objek pengadaan tanah tersebut tidak sesuai dengan tata ruang wilayah.

2). Sektor Lain

Salah satu konflik yang sering terjadi dalam pelaksanaan pengadaan tanah adalah konflik yang terkait dengan kawasan hutan. Beberapa kegiatan pengadaan tanah di Sulawei Selatan menunjukkan bahwa antara pengadaan tanah dengan sektor kehutanan terjadi konflik akibat keberadaan kawasan hutan yang baru diketahui ketika pelaksanaan pengadaan tanah sehingga penetapan lokasi pengadaan tanah berada di atas bidang tanah yang merupakan kawasan hutan.

Pelepasan hak atas tanah kawasan hutan juga telah ditegaskan dalam UU Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 Tentang

(12)

Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan. Istilah yang dipakai dalam peraturan tersebut adalah pelepasan kawasan hutan. Ditegaskan dalam Pasal 1 angka 16 Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 bahwa pelepasan kawasan hutan adalah perubahan peruntukan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi bukan kawasan hutan. Pelepasan kawasan hutan diawali dengan permohonan pelepasan kawasan hutan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

c. Budaya Hukum Masyarakat

1. Penolakan atas nilai yang tidak didasari kesepakatan sebelum penilaian

Nilai ganti kerugian merupakan bagian paling peka dalam proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum karena dengan ganti kerugian tersebut menjadi dasar untuk memutuskan hubungan seseorang dengan bidang tanahnya.

Hak milik keberadaannya dilindungi oleh hukum (Permatasari, Adjie & Djanggih, 2018), namun juga dibatasi dengan fungsi sosial. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 37 ayat (1) UU HAM, bahwa “Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”; ayat (2)

“Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu, maka hal itu dilakukan dengan mangganti kerugian sesuai dengan ketentuan perundang- undangan kecuali ditentukan lain”.

Uraian di atas menunjukkan bahwa fungsi sosial tanah sebagai salah satu kewajiban bagi masyarakat haruslah disertai dengan penghargaan negara terhadap pemilikan dan penguasaan atas bidang tanah tersebut dengan cara memberikan ganti kerugian. Konsep inilah yang kemudian mendasari dibentuknya Undang-undang Pengadaan Tanah

(Usman, 2015). Namun demikian, proses pemberian ganti kerugian terhadap tanah yang

akan digunakan sebagai kepentingan umum tidak dapat diberlakukan sama dengan proses jual beli dalam hubungan keperdataan biasa. Hal inilah yang tidak dipahami oleh masyarakat sehingga dalam beberapa pelaksanaan pengadaan tanah di Kabupaten Maros, pemilik tanah sangat menolak harga yang telah ditetapkan oleh penilai tanah dan meminta agar harga ditentukan berdasarkan kesepakatan.

Keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum dalam pengadaan tanah merupakan suatu keadilan bagi kedua belah pihak, karena pihak pemerintah sebagai pihak yang membutuhkan tanah memperoleh tanah yang akan digunakan untuk pelaksanaan fungsi-fungsinya yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, sedangkan individu memperoleh ganti rugi atas tanah tersebut. Selain itu, penyerahan hak atas tanah dengan disertai ganti rugi atas tanah yang dimiliki oleh rakyat merupakan bentuk keikutsertaan rakyat dalam pembangunan, sehingga hakikat pengadaan tanah yang saat ini masih kurang dibahas dan dijadikan wacana adalah hakikatnya sebagai peran serta masyarakat dalam pembangunan

(Setiabudhi &

Palilingan, 2015).

Pengertian ganti kerugian dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pasal 1 ayat (10), yaitu

penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan

(13)

tanah. Ganti rugi dalam sudut pandang pengadaan tanah berdasarkan defenisi dalam Undang-undang Pengadaan Tanah pada dasarnya merupakan suatu upaya mewujudkan penghormatan kepada hak-hak dan kepentingan perseorangan yang telah dikorbankan untuk kepentingan umum, dapat disebut adil apabila hal tersebut tidak membuat seseorang menjadi lebih kaya, atau sebaliknya, menjadi lebih miskin daripada keadaan semula. Konsep ganti rugi dalam Undang-undang pengadaan tanah kerap disebutkan sebagai ganti untung meskipun istilah tersebut pada dasarnya bukan redaksi peraturan perundang-undangan. Lahirnya istilah ganti untung adalah implikasi dari perubahan dasar nilai jual objek pajak dalam penentuan harga menjadi nilai pasar yang dianggap lebih adil untuk masyarakat.

2). Menolak Konsinyiasi

Sebuah kepentingan umum menghendaki suatu perolehan tanah oleh pemerintah yang diawali dengan adanya penetapan lokasi dan dengan adanya penetapan lokasi tersebut maka tidak ada kemungkinan pemindahan pembangunan ke tempat lain dan untuk tetap menjaga sifat kepentingan umum dalam perolehan tanah oleh pemerintah maka mekanisme konsinyiasi adalah pilihan yang tidak dapat ditolak karena dengan adanya konsinyiasi pemerintah dapat tetap melaksanakan pembangunan tanpa menghilangkan hak masyarakat untuk memperoleh harga tanahnya di pengadilan. Namun, realitas dalam pengadaan tanah khususnya di Kabupaten Maros, masyarakat menilai bahwa penitipan ganti kerugian ke pengadilan merupakan bentuk kesewenang-wenangan negara terhadap masyarakat.

Mencermati timbulnya permasalahan terkait konsinyiasi, penulis berpandangan keberadaan lembaga konsinyiasi dalam pengadaan tanah merupakan salah satu solusi dari negara untuk menjaga kewibawaan negara dalam melakukan pengaturan, pengukuran dan pengambilan kebijakan terkait dengan tanah sesuai ketentuan dalam kosntitusi terkait hak menguasai negara atas tanah. Jadi, sepanjang dilaksanakan dalam kerangka penyelenggaraan fungsi negara, maka konsinyiasi adalah upaya yang harus ditempuh agar negara tetap dapat melaksanakan fungsinya dan masyarakat tetap dapat memperoleh ganti rugi atas tanahnya.

Dari seluruh uraian di atas, berikut adalah pandangan responden mengenai penyebab utama terjadinya konflik pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum

.

Tabel 4

Pandangan Instansi terkait Penyebab Utama Konflik Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

N= 50

(pelaksana pengadaan tanah, pihak yang membutuhkan tanah dan aparat penegak hukum)

No Kategori F P

1 Substansi hukum 5 10 %

2 Aparat pelaksana 20 40 %

3 Pemahaman Masyarakat 25 50 %

Jumlah 50 100 %

Sumber: Data Primer yang telah diolah, 2020

(14)

Tabel di atas menunjukkan bahwa 5 (lima) responden atau 10 (sepuluh) persen responden menyatakan bahwa penyebab utama timbulnya konflik dalam pengadaan tanah adalah substansi Undang-undang Pengadaan Tanah dan peraturan pelaksanaannya. Selanjutnya 20 (dua puluh) responden atau 40 (empat puluh) persen responden menyatakan bahwa penyebab utama timbulnya konflik dalam pengadaan tanah adalah aparat pelaksana mulai dari tahap perencanaan sampai pada tahap penyerahan hasil pengadaan tanah. Kemudian 25 (dua puluh lima) responden atau 50 (lima puluh) persen responden menyatakan bahwa penyebab utama konflik pengadaan tanah adalah kurangnya pemahaman masyarakat mengenai pengadaan tanah.

Selanjutnya dalam tabel di bawah ini akan digambarkan pandangan masyarakat pemilik tanah mengenai penyebab utama timbulnya konflik dalam pengadaan tanah

.

Tabel 5

Pandangan Masyarakat terkait Penyebab Utama Konflik Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

N= 50

No Kategori f P

1 Substansi hukum 5 10 %

2 Aparat pelaksana 45 90 %

3 Pemahaman Masyarakat 0 0

Jumlah 50 100 %

Sumber: Data Primer yang telah diolah, 2020

Tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat 5 (lima) responden atau 10 (sepuluh) persen responden menyatakan bahwa penyebab utama konflik pengadaan tanah adalah substansi hukum dan 45 (empat puluh lima) responden atau 90 (Sembilan puluh) persen responden menyatakan bahwa penyebab utama timbulnya konflik adalah pihak aparat pelaksana.

Dari kedua tabel di atas dapat dilihat bahwa pihak penyelenggara negara baik pemerintah maupun yudikatif berpandangan bahwa penyebab utama terjadinya konflik adalah pemahaman masyarakat yang kurang terhadap pengadaan tanah dan sebaliknya bagi masyarakat, penyebab utama timbulnya konflik adalah aparat penyelenggara negara dalam hal ini pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pengadaan tanah dari tahap perencanaan sampat tahap penyerahan hasil.

3) Disfarmonisasi substansi hukum

Harmonisai hukum adalah upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan

perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam. Upaya atau proses

merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, keseimbangan diantara

norma-norma hukum di dalam peraturan perundangan sebagai system hukum dalam

satu kesatuan kerangka hukum nasional. Harmonisasi peraturan perundang-undangan

mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjaga keselarasan dan mencegah

tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain yang

dapat mengakibatkan terciptanya kondisi ketidakpastian hukum sehingga dapat

menjamin tercapainya tujuan hukum yakni mengabdikan kepada tujuan Negara untuk

menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi rakyatnya.

(15)

Norma hukum bukanlah sebuah norma yang sempurna karena sarat dengan keterbatasan dalam pembentukannya namun demikian perlu dilakukan upaya untuk meminimalkan terjadi pemasalahan dalam penerapannya akibat kekurangan- kekurangan dalam substansi dan materi muatan baik karena konflik norma, kekaburan norma ataupun kekosongan norma. Untuk itu maka dalam rangka menciptakan keselarasan dalam pelaksanan pengadaan tanah maka harmonisasi baik secara vertikal maupun horizontal harus dilakukan untuk dapat melakukan perbaikan atau pun permbaharuan atas hukum yang sedang berlaku. Hal ini penting pula untuk menjaga agar hukum yang berlaku memiliki keberlakuan baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

Pengambilan keputusan untuk melakukan diskresi dalam kegiatan pengadaan tanah baik melalui surat edaran ataupun juknis harus dilakukan secara hati-hati dan melalui kajian yang komprehesif agar pemberlakuannya tidak menimbulkan kerumitan ataupun penolakan akibat pertentangannya dengan aturan yang lebih tinggi atau aturan lain yang sederajat.

Harmonisasi dalam pembentukan undang-undang mempunyai fungsi yang sangat penting, karena pemberlakuannya nanti tidak terjadi tumpang tindih (overlap) kewenangan antara undang-undang yang satu dengan undang-undang lainnya. Dengan kata lain, harmonisasi dalam pembentukan undang-undang bertujuan untuk mengharmoniskan aturan yang terdapat di dalam materi muatan undang-undang.

Apabila terjadi tumpang tindih antara materi undang-undang yang satu dengan yang lainnya, maka akan terjadi kekacauan dalam penegakan hukumnya (law enforcement).

Selain itu, terjadi “dualisme” hukum, yang akan mengacaukan prosedur penegakan hukum itu sendiri.

Dari dimensi ketertiban hukum (rechtsorde), sistem hukum adalah keseluruhan tertib hukum yang didukung oleh sejumlah asas. Asas sistem hukum nasional yang dijiwai Pancasila dan bersumber pada UUD 1945. Dengan demikian asas tersebut satu sama Iain berfungsi sebagai pendukung hukum, menciptakan harmonisasi, keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan mencegah kemungkinan terjadinya tumpang tindih, serta menciptakan kepastian hukum di daiam keseluruhan sistem hukum nasional."

Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Pengadaan Tanah yang menyebabkan

konflik dalam pelaksanaan pengadaan tanah adalah terutama yang berkaitan dengan

pelaksanaan musyawarah di mana defenisi musyawarah dalam undang-undang

tersebut secara hakiki berbeda dengan musyawarah yang dikenal secara umum dalam

masyarakat. Mencermati mekanisme pengadaan tanah di mana musyawarah hanya

memberikan persetujuan atau penolakan mengenai nilai ganti rugi dan penentuan

mengenai bentuk ganti kerugian serta perbedaan istilah musyawarah dalam Undang-

undang Pengadaan Tanah dengan Perpres No. 71 Tahun 2012 merupakan salah satu

penyebab timbulnya permasalahan dalam pelaksanaan pengadaan tanah bahkan aparat

penegak hukum pun memiliki pandangan yang berbeda mengenai musyawarah di

mana berdasarkan wawancara dengan Ketua Pengadilan Negeri Maros yang

menyatakan bahwa penggunaan istilah musyawarah bentuk ganti rugi merupakan satu

kekeliruan dalam pelaksanaan pengadaan tanah karena mereduksi ketentuan dalam

undang-undang maka perlu adanya upaya untuk melakukan harmonisasi hukum antara

(16)

Undang-undang No. 2 Tahun 2012 dengan aturan-aturan pelaksanannyaa sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian bagi masyarakat.

C. Upaya Penyelesaian Konflik pada Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk kepentingan umum di Kabupaten Maros

1. Penyelesaian Konflik Melalui Jalur Pengadilan

Berdasarkan data dalam pelaksanaan pengadaan tanah Bagi Pembangunan untuk kepentingan umum di Kabupaten Maros, penyelesaian konflik melalui pengadilan dilakukan dengan dua cara yaitu :

a) Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Pada tahapan persiapan terdapat kegiatan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum dalam bentuk surat keputusan yang diterbitkan oleh gubernur. Pada kegiatan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum dapat ditolak oleh pihak yang berhak dalam bentuk keberatan Pasal 23 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 menetapkan cara penyelesaian terhadap penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, yaitu: Pertama, Dalam hal setelah penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum masih terdapat keberatan, pihak yang berhak terhadap penetapan lokasi lokasi dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara setempat paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dikeluarkannya penetapan lokasi. Kedua, Pengadilan Tata Usaha Negara memutus diterima atau ditolaknya gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya gugatan. Ketiga, Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Keempat, Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima. Kelima, Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi dasar diteruskan atau tidaknya pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Sengketa yang diselesaikan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan sengketa yang bersifat tata usaha negara sebagai akibat diterbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat KTUN). Keputusan Gubernur tentang penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum merupakan KTUN sehingga penyelesaiannya melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara oleh pihak yang merasa dirugikan atas diterbitkan Keputusan Gubernur. Pengertian KTUN disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

b) Keberatan ke Pengadilan Negeri. Pada tahapan pelaksanaan kegiatan dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum diadakan kegiatan musyawarah penetapan ganti kerugian. Musyawarah untuk menetapkan ganti kerugian dilakukan oleh Lembaga Pertanahan (BPN RI) dengan pihak yang berhak.

Dalam musyawarah terdapat kegiatan saling mendengar, saling memberi, dan

(17)

saling menerima pendapat, serta keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai sengketa ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Dalam musyawarah ini, Lembaga Pertanahan Nasional (BPN RI) dan pihak yang berhak dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum kedudukannya sejar atau sederajat, atau tidak ada yang berkedudukan lebih tinggi daripada pihak yang lain. Para pihak yang bersengketa mempunyai hak atau kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya, tidak boleh ada penekanan atau pemaksaan kehendak oleh satu pihak terhadap pihak yang lain. Hasil musyawarah antara Lembaga Pertanahan Nasional RI dan pihak yang berhak adalah mencapai kesepakatan (mufakat) atau tidak mencapai kesepakatan (mufakat). Musyawarah penetapan ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012, yaitu: Pertama, Lembaga Pertanahan melakukan musyawarah dengan pihak yang berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil penilaian dari Penilai Pertanahan disampaikan kepada Lembaga Pertanahan untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. Kedua, Hasil kesepakatan dalam musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak yang dimuat dalam berita acara kesepakatan. Kalau dalam musyawarah antara Lembaga Pertanahan (BPN RI) dan pihak yang berhak mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian mencapai kesepakatan, maka kesepakatan tersebut dimuat dalam berita acara kesepakatan.

2. Bentuk Penyelesaian Konflik Melalui Jalur Nonlitigasi

Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal dan teknis, menghasilkan kesepakatan yang bersifat menang kalah, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif dan menimbulkan permusuhan diantara para pihak yang bersengketa. Kondisi ini menyebabkan masyarakat mencari alternatif lain yaitu penyelesaian sengketa di luar proses peradilan formal. Penyelesaian sengketa di luar proses peradilan formal ini lah yang disebut dengan “Alternative Dispute Resolution” atau ADR.

Dalam penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, kita telah mengenal adanya penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR), yang dalam perspektif Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Alternative Dispute Resolution adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan.

Mediator yang netral mengandung pengertian bahwa mediator tidak berpihak

(impartial), tidak memiliki kepentingan dengan perselisihan yang sedang terjadi,

serta tidak diuntungkan atau dirugikan jika sengketa dapat diselesaikan atau jika

mediasi menemui jalan buntu. Bantuan mediator yang bersifat prosedural antara lain

mencakup tugas-tugas memimpin, memandu, dan merancang sesi-sesi pertemuan

atau perundingan, sedangkan bantuan substansial berupa pemberian saran-saran

kepada pihak yang bersengketa tentang penyelesaian pokok sengketa (Takdir

(18)

Rahmadi, 2011: 14). Peran mediator dapat bersifat aktif maupun pasif dalam membantu para pihak. Peran aktif harus dilakukan bila para pihak yang bersengketa tidak mampu melaksanakan perundingan yang konstruktif. Sebaliknya mediator memainkan peran pasif jika para pihak sendiri mampu melaksanakan perundingan yang konstruktif dalam arti para pihak sendiri mampu mengusulkan kemungkinan - kemungkinan pemecahan masalah dan membahas usulan pemecahan masalah itu guna mengakhiri sengketa. Dengan demikian, tingkatan peran mediator dalam membantu para pihak menyelesaikan perbedaan-perbedaan mereka sangat situasional, yaitu tergantung pada kemampuan para pihak dalam melaksanakan perundingan .

Penyelesaian konflik dalam pengadaan tanah di Kabupaten Maros dilakukan pula dengan mengacu pada kearifan lokal masyarakat sehingga upaya penyelesaian yang paling sering ditempuh adalah melalui mediasi. Yang dimaksud dengan mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa berupa negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak luar yang netral dan tidak memihak, yang akan bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa tersebut secara memuaskan kedua belah pihak. Pihak ketiga yang netral tersebut disebut dengan mediator

KESIMPULAN

1. Bentuk-bentuk konflik dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah konflik horizontal yakni konflik yang melibatkan dua pihak atau lebih di mana pihak-pihak yang terlibat tidak berada dalam keseimbangan kedudukan. Faktor Penyebab terjadinya konflik adalah faktor substansi hukum yang multitafsir, inkonsistensi pelaksanaan tugas dari penyelenggara pengadaan tanah dengan ketentuan dalam Undang-undang Pengadaan Tanah dan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai pengadaan tanah.

2. Upaya penyelesaian terhadap konflik pengadaan tanah dilakukan melalui jalur pengadilan (litigasi) yaitu dengan mengajukan keberatan ke pengadilan atau mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri setempat dan melaluijalur nonlitigasi yaitu melakukan penyelesaian dengan didasarkan pada kearifan lokasi masyarakat melalui mediasi.

SARAN

1. Perlu dilakukan evaluasi rutin terhadap pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan sebagai cara untuk mngetahui permasalahan- permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan sehingga dapat menjadi bahan untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal termasuk melakukan harmonisasi dengan sektor lain dalam pengambilan keputusan .

2. Upaya penyelesaian konflik dalam pelaksanaan pengadaan tanah seyogianya

mengutamakan cara yang sejalan dengan kearifan lokal masyarakat yaitu

melalui penyelesaian secara nonlitigasi.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Anugrah, F. N. (2016). Penetapan Ganti Rugi Hak Atas Tanah Berdasarkan Undang- undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Al-Adl: Jurnal Hukum, 8(2).

Dinda, S. (2015). Development and Land Acquisition in the View of Law and Economics.

Djanggih, H., & Salle, S. (2017). Aspek Hukum Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pandecta: Jurnal Penelitian Ilmu

Hukum (Research Law Journal), 12(2), 165-172.

Maria, S. W. (2007). Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi.

Permatasari, E., Adjie, H., & Djanggih, H. (2018). Perlindungan Hukum Kepemilikan Tanah Absentee yang Diperoleh Akibat Pewarisan. Varia Justicia, 14(1), 1-9.

Pujiriyani, D. W. (2014). Pengadaan tanah dan problem permukiman kembali:

skema pemberdayaan untuk perlindungan masyarakat terdampak. BHUMI:

Jurnal Agraria dan Pertanahan, (40), 633-648.

Rejekiningsih, T. (2016). Asas fungsi sosial hak atas tanah pada negara hukum (suatu tinjauan dari teori, yuridis dan penerapannya di indonesia). Yustisia Jurnal

Hukum, 5(2), 298-325.

Sabardi, L. (2014). Konstruksi Makna Yuridis Masyarakat Hukum Adat dalam Pasal 18B UUDN RI Tahun 1945 untuk Identifikasi Adanya Masyarakat Hukum Adat. Jurnal Hukum & Pembangunan, 44(2), 170-196.

Setiabudhi, D. O. & Palilingan, T.N. (2015). Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan UmumProsedur dan Permasalahannya. Wiguna Media :Makassar

Sihombing, B. F. (2004). Pergeseran Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Dan Swasta (Studi Kasus Pengaturan Pemilikan, Penguasaan Tanah Di Provinsi DKI Jakarta). Universitas Indonesia.

Subekti, R. (2016). Kebijakan Pemberian Ganti Kerugian Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Yustisia Jurnal Hukum, 5(2), 376-394.

Usman, A. H. (2015). Kesadaran Hukum masyarakat dan Pemerintah sebagai Faktor Tegaknya Negara Hukum di Indonesia. Jurnal Wawasan Yuridika, 30(1), 26-53.

Yusrizal, M. (2017). Perlindungan Hukum Pemegang Hak Atas Tanah Dalam

Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. DE LEGA LATA: Jurnal Ilmu

Hukum, 2(1), 113-138

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran dan masukan bagi pembaca maupun perusahaan agar dapat mengetahui hubungan antara karakteristik

Ringkasan Analisis Variansi Pengaruh Konsentrasi dan Asal Ekstrak Gulma terhadap Persentase Perkecambahan Biji Mimosa pudica .... Ringkasan Analisis Variansi Pengaruh Konsentrasi

Penelitian ini dilatarbelakangi penurunan penjualan yang dipengaruhi oleh persaingan dan kualitas produk yang dirasakan oleh pelanggan. Persaingan pada mie instan

Faktor masyarakat yang menghambat upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika di wilayah hukum Polres Gorontalo adalah adanya masyarakat pelaku

Agar Pembuat Undang-undang dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat berinisiatif melakukan upaya perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Pembangunan Kampus 2 UIN Sunan Kalijaga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum di Kabupaten

Indikator adanya kasus konflik SARA tercapai 100 %, hal ini ditunjukkan pada periode tahun 2020 di Kapanewon Depok tidak terjadi kasus SARA. Sedangkan untuk indikator adanya kasus