• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUBTITUSI KONSONAN PADA PENDERITA DISARTRIA. Retno Handayani Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdiknas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SUBTITUSI KONSONAN PADA PENDERITA DISARTRIA. Retno Handayani Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdiknas"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

FON SUBTITUSI KONSONAN PADA PENDERITA DISARTRIA

Retno Handayani

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdiknas retno.hdyn@gmail.com

PENDAHULUAN

Penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi terasa mudah karena pada dasarnya manusia sudah memiliki bahasa sejak lahir. Namun, sebenarnya menggunakan bahasa membutuhkan beberapa kemampuan yang saling berkaitan, termasuk menghasilkan bunyi bahasa. Bunyi bahasa merupakan unsur bahasa yang paling kecil yang diproduksi manusia untuk mengungkapkan sesuatu. Bunyi-bunyi bahasa tersebut akan membentuk suatu kata yang bermakna untuk menginformasikan sesuatu dalam peristiwa komunikasi. Dalam menghasilkan bunyi bahasa dibutuhkan alat ucap pembicara yang berfungsi dengan baik sehingga terjalin komunikasi yang baik pula.

Dalam komunikasi verbal, seseorang melakukan sederetan fungsi, yaitu simbolisasi, respirasi yang diperlukan untuk tenaga berbicara, resonansi untuk menghasilkan nada tertentu, fonasi untuk membunyikan suara, artikulasi untuk menghasilkan vokal dan konsonan, lafal yang menghasilkan bunyi bahasa, prosodi yang membentuk lagu kalimat serta yang penting lainnya adalah kemampuan komunikasi (

Yunus, 1999)

. Kemampuan komunikasi itu salah satunya adalah kemampuan bicara.

Bicara adalah sebuah sistem komunikasi yang dipakai untuk mengungkap dan mengerti proses berpikir yang mempergunakan simbol akustik. Sistem tersebut dihasilkan oleh getaran atau vibrasi dari pita suara dalam laring (fonasi), yang disebabkan oleh adanya aliran udara (respirasi) dan memberikan hasil akhir dalam bentuk gerakan bibir, lidah, dan pallatum atau artikulasi (

Kusumoputro, 1992)

. Apabila salah satu sistem tersebut terganggu maka akan terjadi gangguan dalam komunikasi.

Seseorang dapat terganggu bicaranya saja atau juga bahasanya saja tergantung pada letak kerusakan saraf-saraf otak. Gangguan bicara biasa dikenal dengan istilah disartria. Penderita disartria bisa mengalami gangguan artikulasi, fonasi, dan fluensi. Umumnya, penderita disartria mengalami kesulitan dalam menggerakkan artikulator yang berperan penting dalam penghasilan bunyi bahasa. Dalam penghasilan bunyi bahasa secara jelas diperlukan cara dan tempat artikulasi yang tepat. Ketidaktepatan cara atau tempat mengartikulasikan suatu bunyi bahasa dapat menghasilkan bunyi yang berbeda dengan bunyi yang ingin dilafalkan. Gangguan artikulasi yang dialami penderita disartria berpengaruh pada pelafalan bunyi bahasa. Gangguan ini akan menyebabkan pengucapan bunyi bahasa menjadi tidak jelas. Penderita disartria pada umumnya sulit menggerakkan alat-alat bicara sehingga pembentukan konsonan menjadi tidak tepat. Inilah yang menjadi dasar penentuan konsonan sebagai fokus penelitian untuk mengetahui bagaimana pola pelafalan konsonan pada penderita disartria, yaitu konsonan apa yang digantikan dengan konsonan lain.

PEMBAHASAN

Disartria disebut sebagai gangguan yang disebabkan oleh kelainan saraf dan organ lain yang mengatur fungsi berbicara. Sebagai suatu kelainan bicara, disartria terjadi akibat adanya kelumpuhan, kelemahan, spastisitas, atau gangguan koordinasi otot-otot organ bicara sehubungan dengan adanya kerusakan atau lesi pada susunan saraf pusat atau perifer. Kerusakan atau lesi pada susunan saraf baik pusat maupun perifer yang mengatur pergerakan dan koordinasi organ artikulasi menyebabkan terjadinya gangguan pergerakan organ bicara. Gangguan pergerakan organ bicara ini akan mempengaruhi kemampuan pernapasan, fonasi, dan terutama kemampuan artikulasi dan resonansi (Setyono, 1998). Menurut Soenjono Dardjowidjojo, disartria adalah gangguan yang berupa lafal yang tidak jelas, tetapi ujarannya utuh. Gangguan seperti ini terjadi karena bagian yang rusak pada otak hanyalah korteks motor saja sehingga mungkin hanya lidah, bibir, atau rahangnya saja yang berubah. Disartria menurut Reni Dharmapewira, adalah gangguan bicara yang diakibatkan cedera neuromuskuler. Gangguan bicara ini diakibatkan luka pada sistem saraf, yang pada gilirannya mempengaruhi bekerja baiknya satu atau beberapa otot yang diperlukan untuk berbicara.

Selain itu, masih adanya refleks menelan dan menggigit pada penderita disartria memperlihatkan kurangnya kemampuan dalam mengikuti gerakan mulut, bibir, dan lidah. Penyebab utama disartria adalah

cerebral palsy yang mempengaruhi adanya refleks menutup glottis yang menetap, sehingga pembukaan dan

penutupan glottis tidak terkendali. Kelumpuhan saraf pada disartria terjadi pada lima saraf otak, yaitu N.5 (

nervus trigeminus)

, N.7 (

nervus fasialis)

, N.9 (

nervus gloso-faringus)

, N.10 (

nervus vagus

), dan N.12 (

nervus hipoglosus)

(

Dharmaperwira, 1996)

.

(2)

Orang yang tidak dapat menggerakkan lidahnya dengan baik akan berpengaruh pada

artikulasinya. Ketidakmampuan ini mengakibatkan kemampuan seseorang dalam memproduksi bahasa

secara oral menjadi tidak jelas sehingga pengucapan sejumlah konsonan menjadi tidak sempurna.

Artikulasi merupakan proses pembentukan gelombang udara untuk menghasilkan bunyi-bunyi tertentu yang berarti. Terjadinya bunyi-bunyi bahasa ditentukan oleh alat-alat bicara baik secara langsung maupun tidak langsung. Konsonan adalah bunyi bahasa yang diproduksi dengan atau tanpa fonasi, dengan aliran udara daerah glotis dimodifikasi melalui hambatan, halangan otot-otot organ artikulasi di daerah onofaring (Setyono, 1998). Kontraksi otot-otot organ artikulasi tersebut akan mengubah, memperlambat, menghentikan, atau meletupkan udara yang mengalir dari daerah glottis dalam produksi bunyi bahasa.

Proses pembentukan bunyi bahasa dimulai dengan memanfaatkan arus udara dalam pernapasan sebagai sumber tenaganya, alat ucap yang bergerak atau artikulator, dan tempat tumpuan artikulator atau titik artikulator. Artikulator dibedakan menjadi dua macam, artikulator aktif dan artikulator pasif. Artikulator aktif adalah alat ucap yang aktif bergerak membentuk hambatan aliran udara, sedangkan artikulator pasif adalah alat ucap yang diam, tidak aktif bergerak yang berfungsi sebagai daerah artikulasi, yaitu lokasi tempat artikulator aktif menghambat udara. Yang termasuk artikulator aktif adalah, bibir bawah dan lidah. Yang termasuk artikulator pasif adalah bibir atas, gigi atas, gusi, langit-langit keras dan langit-langit lunak.

Bunyi bahasa yang dihasilkan tanpa adanya hambatan arus udara dalam saluran suara dinamakan bunyi vokal, sedangkan bunyi bahasa yang dihasilkan karena adanya hambatan terhadap arus udara dinamakan bunyi konsonan. Sesuai dengan artikulasinya, konsonan dalam bahasa Indonesia dapat dikategorikan berdasarkan tiga faktor : (1) keadaan pita suara, (2) daerah artikulasi, dan (3) cara artikulasinya (Alwi, 2003). Apabila ketiga kriteria pembentukan konsonan tersebut tidak tepat maka akan muncul kesalahan pelafalan konsonan. Kesalahan pelafalan konsonan merupakan realisasi dari gangguan berbahasa dan berbicara. Sebagai salah satu gangguan, kesalahan pelafalan konsonan konsonan dapat dikatakan sebagai ketidaksempurnaan dalam pelafalan bunyi konsonan. Kesalahan pada cara artikulasi dan daerah artikulasi menyebabkan penderita melakukan penggantian (substitusi) pada bunyi-bunyi bahasa khususnya bunyi konsonan.

Denah Konsonan

Bilabial

Labio-

dental

dental

alveolar

Palato

-alveolar

palatal

velar

Labio-

velar

uvular

glottal

Stop

p b t d c j k g q ?

Nasal

m M

ŋ

N

Fricative

P B f v θ ð x y x+ y+ h

Sibilant

s z S C

Affricate

J

Lateral

l Y L

Flap

Trill

r R

approximant

glide

w METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan tujuan mendeskripsikan pola kesalahan pelafalan konsonan pada ujaran penderita disartria. Fokus penelitian ini adalah konsonan pada kata yang dilafalkan penderita. Objek penelitian adalah tiga dari enam penderita disartria berusia dewasa. Dari tiga responden, peneliti mengambil data berupa ujaran responden dan melakukan TEDYVA pada responden. Pengambilan data dilakukan dengan (1) wawancara, yaitu menanyakan kesiapan responden untuk diambil gambar dan suaranya, (2) rekaman, yaitu pengambilan gambar dan suara responden yang kemudian akan ditranskipsikan, dan (3) mencatat melalui pengamatan ketika terapi responden berlangsung sehingga dapat terlihat proses produksi pelafalan konsonan. Data yang diperoleh kemudian di analisis berdasarkan teori fonologi.

(3)

Pola-pola substitusi konsonan ditandai oleh adanya penggantian bunyi konsonan yang dilafalkan responden. Konsonan yang tergantikan ditemukan secara acak. Sehingga tidak seluruh konsonan dapat diketahui substitusi bunyinya. Menurut rancangan, subyek penelitian ini sebanyak 6 responden. Namun, karena kondisi pasien dan kehadiran yang tidak pasti, yang ditemukan hanya 3 responden. Data berikut disajikan berdasarkan data ketiga responden beserta analisis subtitusi konsonan pada saat melafalkan kata-kata.

Konsonan tunggal

“foto” = [poto] (R1) → substitusi konsonan /f/ menjadi konsonan /p/

Kata foto diucapkan [poto]. K

onsonan labiodental frikatif tak bersuara /f/ disubstitusikan menjadi

konsonan bilabial hambat tak bersuara /p/. Kata lain yang sama dalam substitusi ini adalah Feni

[peni], hafal → [hapal] (R2), fa → [pa] (R3), dan manfaat → [manpaat] (R2).

“ra” = [la] (R1) → substitusi konsonan /r/ menjadi konsonan /l/

Satu silabe ra diucapkan [la]. Konsonan getar alveolar bersuara /r/ disubstitusikan menjadi /l/

konsonan lateral bersuara.

“sakit” = [takit] (R1) → substitusi konsonan /s/ menjadi konsonan /t/

Kata sakit diucapkan [takit]. Konsonan apiko alveolar tak bersuara/s/ digantikan menjadi konsonan apikodental hambat tak bersuara /t/. Substitusi ini juga terjadi pada beberapa kata lain, yaitu: suka → [tuka], sekali → [tekali], saja → [taja], sama → [tama], dan Solo → [tolo].

“Devi” = [depi] (R1) → substitusi konsonan /v/ menjadi konsonan /p/

Kata Devi diucapkan [depi] konsonan labiodental frikatif bersuara /v/ mengalami subtitusi menjadi konsonan bilabial hambat tak bersuara /p/.

“kerja” = [kerJa] (R2) → substitusi konsonan /j/ menjadi konsonan /J/

Kata kerja diucapkan [kerJa]. Ini dipengaruhi oleh refleks menggigit yang sering dilakukan penderita disartria. Konsonan lamino palatal hambat bersuara /j/ disubstitusikan menjadi konsonan afrikat palatal-alveolar /J/. “riwayatmu” = [riwayatgu] (R1) → substitusi konsonan /m/ menjadi konsonan /g/

Kata riwayatmu diucapkan [riwayatgu].

Konsonan nasal bilabial bersuara /m/ terjadi penggantian

konsonan menjadi konsonan hambat dorsovelar bersuara /g/.

“Juwariyah” = [duwariyah] (R2) → substitusi konsonan /j/ menjadi konsonan /d/

Kata juwariyah diucapkan [duwariyah]. Konsonan afrikat palatal bersuara /j/ terjadi penggantian konsonan menjadi konsonan hambat dental alveolar bersuara /d/.

”bojong ” = [bod&ong] (R2) → substitusi konsonan /j/ menjadi konsonan /d/ dan /&/

Kata bojong diucapkan [bod&ong]. Konsonan afrikat palatal bersuara /j/ tergantikan dengan konsonan hambat dental alveolar bersuara /d/ disertai /&/.

Deret Konsonan

”abjad” = [ampisat] (R2)

Bunyi konsonan bilabial /b/ dan /j/ yang berdekatan pada abjad mempengaruhi munculnya bunyi nasal bilabial /m/ dan hambat bilabial /p/ karena adanya aktivitas bibir atas dan bibir bawah yang tidak tepat saat pengucapannya. Konsonan /s/ muncul sebagai bunyi yang menggantikan konsonan /j/ akibat dari adanya

aktivitas antara ujung lidah dan langit-langit keras, sedangkan yang seharusnya adalah aktivitas antara

daun lidah dan gusi dalam. Konsonan /d/ disubtitusikan menjadi /t/ karena kedua bunyi ini dihasilkan

dari adanya aktivitas antara ujung lidah dan gusi atas.

”jadwal” = [jatpwal] (R2)

Deret konsonan /d/ dan /w/ pada jadwal mempengaruhi munculnya konsonan bilabial /p/. Konsonan /d/ menjadi konsonan /t/ terjadi akibat adanya aktivitas antara ujung lidah dan gusi atas, sedangkan konsonan /w/ terjadi akibat adanya aktivitas antara bibir bawah dan gigi atas sehingga /p/ muncul sebagai konsonan baru yang memisahkan bunyi /d/ dan /w/.

”program” = [rokpram] (R2)

Konsonan hambat velar bersuara /g/ terjadi penggantian konsonan menjadi konsonan hambat velar tak bersuara /k/. Bunyi bilabial /p/ di awal kata hilang. Namun, muncul ditengah kata antara konsonan /g/ dan /r/ yang berdekatan.

Dari deskripsi data di atas, dapat dibuat rekapitulasi pola subtitusi konsonan pada tiap responden sebagai berikut :

Pola Subtitusi Konsonan Penderita Disartria Konsonan

Awal R1 R2 R3

Konsonan yang dilafalkan

(4)

/r/ √ /l/ /v/ √ /p/ /j/ √ /d/ /j/ √ /d&/ /j/ √ /s/ /m/ √ /g/ /s/ √ /t/ /d/ √ /t/ /g/ √ /k/ R1 : Responden I R2 : Responden II R3 : Responden III

Dari tabel tersebut dapat diperoleh informasi pola substitusi konsonan pada setiap responden berbeda. Namun dari ketiganya diketahui substitusi yang terjadi terdapat pada beberapa konsonan antara lain : /f/, /r/, /v/, /m/, /s/, /j/, /d/, dan /g/. Konsonan-konsonan yang disubtitusikan adalah konsonan yang dibentuk dengan artikulator aktif. Ini memperlihatkan bahwa penderita disartria tidak mampu menggerakkan artikulator aktif karena terdapat lesi atau kerusakan pada saraf yang berfungsi mengatur gerak artikulator tersebut. Dari ketiga responden, konsonan yang sama mengalami subtitusi adalah konsonan /f/ menjadi konsonan /p/. Selain substitusi konsonan tunggal, deret konsonan juga mempengaruhi terjadinya perubahan bunyi karena ketidakmampuan koordinasi artikulator pada responden kedua.

Responden pertama lebih banyak melakukan substitusi pada konsonan /s/ yang diganti menjadi konsonan /t/. Kecenderungan penggantian konsonan /s/ menjadi /t/ terjadi karena responden tidak mampu menggerakkan lidahnya hingga ke langit-langit, sehingga bunyi /s/ yang terjadi karena adanya aktivitas antara daun lidah dan gusi dalam tidak terbentuk. Responden kedua lebih banyak melakukan substitusi pada konsonan /j/ yang diganti menjadi /d/, /j/ menjadi /s/, dan /j/ menjadi /d&/. Konsonan /j/ menjadi /d/ disebabkan karena adanya aktivitas daun lidah dengan langit-langit keras yang menghasilkan konsonan /j/ berubah menjadi aktivitas ujung lidah dengan langit-langit keras yang menghasilkan konsonan /d/. Konsonan /j/ menjadi /s/ disebabkan karena adanya aktivitas daun lidah dengan langit-langit keras berubah menjadi aktivitas aktivitas antara daun lidah dan gusi dalam. Pada responden ketiga tidak banyak data yang ditemukan karena kondisi pasien yang mudah lelah dan lemas.

PENUTUP

Berdasarkan data di atas diketahui bahwa setiap responden memiliki pola substitusi konsonan yang berbeda. Penggantian terjadi karena penderita tidak mampu melafalkan konsonan yang seharusnya dilafalkan. Konsonan yang menggantikan adalah konsonan yang cara dan daerah artikulasinya tidak jauh dari cara dan daerah artikulasi konsonan yang seharusnya dilafalkan. Dalam pelafalan konsonan, kerja alat artikulasi sangat mempengaruhi jelas atau tidaknya suatu bunyi konsonan. Alat artikulasi atau artikulator yang dapat berfungsi dengan baik akan menghasilkan bunyi konsonan dengan jelas. Pengucapan bunyi konsonan dengan jelas dapat diwujudkan dengan melatih artikulator-artikulator yang berperan aktif dalam pembentukan bunyi konsonan tersebut.

Masalah gangguan bicara tidak hanya terjadi pada salah satu komponen komunikasi saja tetapi juga terdapat gangguan bicara lain yang mempengaruhi kemampuan berbahasa dan berbicara seseorang. Dalam kasus disartria, selain ciri kelainan bicara pada pembentukan konsonan yang tidak tepat terdapat juga ciri lain yang mempengaruhi produksi ujaran yaitu, respirasi, fonasi, resonansi, atau prosodi. Penderita disartria pada umumnya memiliki ciri-ciri kelainan bicara antara lain: bicara yang lemas,

tekanan berkurang atau

berlebihan, suara serak

,

monotoni

, dan refleks sering menggigit atau menelan. Selain itu, ketidaktepatan pelafalan konsonan dipengaruhi oleh saraf bicara apa yang mengalami kerusakan sehingga membuat gerakan koordinasi antara artikulator tidak berfungsi dengan baik.

(5)

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka.

Crowley, Terry. 1997. An Introduction to Historical Linguistic: Third Edition. New Zealand: Oxford University Press

Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Dharmaperwira, Reni. 1996. Disartria-Apraksia Verbal dan TEDYVA. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Kushartanti, dkk. 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kusumoputro, Sidiarta. 1992. Afasia: Gangguan Berbahasa. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Lazuardi, Samuel. 1991. Perkembangan Otak Anak Sesuai dengan Kemampuan Berbahasanya dalam Jurnal PELLBA 4: Linguistik Neurologi, Cetakan Pertama, Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atmajaya: Keempat 027432. Kanisius, halaman 109-110.Setyono, Bambang. 1998. Terapi Wicara Untuk Praktisi Pendidikan dan

Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sidharta, Priguna. 1980. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Jakarta: Pustaka Universitas. Yunus, Syafrudin. 1999. Anatomi dan Sindromologi Afasia dalam Neurona, Volume 16. No. 1-2.

Referensi

Dokumen terkait

Tidak seperti di madrasah, kurikulum pembelajaran bahasa Arab yang digunakan di perguruan tinggi Islam agaknya lebih fleksibel, karena pencapaian tujuan

Hasil analisis data menunjukkan bahwa secara simultan maupun secara parsial kontrol diri, religiusitas, literasi keuangan, inklusi keuangan berpengaruh signifikan

Taksonomi pengetahuan (knowledge) dari Bloom degan revisi oleh.. Anderson meliputi: knowing/ remembering, understanding, appllying, analyzing, evaluating, dan creating.

Dalam meningkatkan kekuatan tawar menawar pengusaha juga dapat memberikan informasi yang jelas mengenai produk yang dimiliki dan sebaliknya pemasok juga

Dengan kata lain, ia dapat diamati dari bagaimana wartawan menyusun peristiwa ke dalam bentuk umum berita, cara wartawan mengisahkan peristiwa, kalimat yang

Sarana, prasarana, dan peralatan rumah sakit yang telah diperbaiki dan kembali berfungsi dengan baik langsung diserahkan kepada pengguna dengan berita

ICRA Indonesia memiliki pandangan yang positif terhadap produsen dengan fasilitas produksi berada di berbagai daerah, karena diversifikasi geografis biasanya memungkinkan pemain

ability in telling their experience in front of the class. In the second and the third meeting, the teacher taught the students about some expression and the way to tell